• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang - Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/Pn-Bi)"

Copied!
20
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang dibentuk berdasarkan hukum dan telah di gunakan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari- hari. Sehingga dalam setiap pergerakan atau perbuatan masyarakat memiliki nilai-nilai hukum di dalamnya. Tetapi, seiring dengan perkembangan zaman jenis-jenis perbuatan yang melanggar hukum yang ada semakin beraneka ragam yang terjadi di dalam masyarakat. Pemerintah dan pihak-pihak yang berwenang telah berualng kali memberikan penyuluhan untuk menyadarkan masyarakat mengenai akibat yang di timbulkan dari suatu perbuatan pidana yang dilakukanya bukan hanya merugikan orang lain tetapi diri mereka juga sendiri, tetapi dalam perkembanganya usaha ini belum cukup untuk menyadarkan masyarakat.

Tindak pidana pencabulan adalah suatu tindak pidana yang bertentangan dan melanggar kesopanan dan kesusilaan seseorang mengenai dan yang berhubungan dengan alat kelamin atau bagian tubuh lainnya yang dapat merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.1

Pencabulan termasuk salah satu tindak pidana terhadap kesusilaan yang semakin berkembang dari waktu ke waktu dan merupakan salah satu kenyataan dalam kehidupan yang mana memerlukan penanganan secara khusus. Hal tersebut

1

(2)

dikarenakan tindak pidana terhadap kesusilaan akan menimbulkan keresahan dalam kehidupan masyarakat. Oleh karena itu, selalu diusahakan berbagai upaya Untuk menanggulangi tindak pidana tersebut, meskipun dalam kenyataannya sangat sulit untuk memberantas tindak pidana secara tuntas karena pada dasarnya tindak pidana akan senantiasa berkembang pula seiring dengan perkembangan masyarakat

Salah satu yang menjadi fenomena tindak kejahatan yang selalu terjadi dalam masyarakat ialah kejahatan seksual dan pelecehan seksual. Kejahatan ini merupakan suatu bentuk pelangaran atas norma kesusilaan yang merupakan masalah hukum nasional, juga merupakan masalah hukum hampir seluruh negara di dunia

Persoalan kejahatan kemudian menjadi problem serius yang dihadapi oleh setiap bangsa dan Negara di dunia ini, karena kejahatan pasti menimbulkan korban. Problem kejahatan tetap menjadi momok yang menakutkan bagi masyarakat yang kemungkinan munculnya seringkali tidak dapat diduga atau tiba-tiba saja terjadi di suatu lingkungan dan komunitas yang sebelumnya tidak pernah diprediksi akan timbul suatu kejahatan. Siapa saja dapat menjadi korban kejahatan namun pada umumnya adalah perempuan dan anak karena berdasarkan fisik mereka lebih lemah dari pelaku yang pada umumnya laki- laki.

(3)

merangsang nafsu seksual. Misalnya mengelus-elus atau menggosok-gosokan penis atau vagina, memegang buah dada, mencium mulut seorang perempuan.2

Tindak pidana pencabulan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) pada bab XIV buku ke-II yakni dimulai dari Pasal 289-296 KUHP yang dikategorikan sebagai kejahatan terhadap kesusilaan. Pencabulan pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan semata-mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi. Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dengan dengan sex dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti yang luas.

2

(4)

Pelecehan seksual atau pun pencabulan pada dasarnya adalah merupakan bagian dari kekerasan gender, artinya kedua bentuk tindak pelanggaran terhadap hak perempuan ini dilakukan bukan semata-mata karena faktor spontanitas atau sekedar penyaluran libido para lelaki bejat yang sudah tak bisa lagi ditunda, melainkan peristiwa ini terjadi karena di belakang benak pelaku maupun korban terdapat nilai dan ideologi gender yang menempatkan perempuan, khususnya anak perempuan dalam posisi yang marginal atau tersubordinasi.

Dalam berbagai kasus pencabulan atau kekerasan seksual lainnya, sering kali yang dipersalahkan adalah pihak korban. Pengertian cabul menurut Oemar Seno Adji adalah sesuatu yang melanggar kesusilaan yang dilakukan dengan perbuatan-perbuatan. Berbeda dengan pengertian cabul, pornografi diartikan sebagai pelanggaran kesusilaan dengan tulisan atau gambaran. Kedua hal tersebut tersebut termasuk dalam ruang lingkup dari delik susila. Pengertian delik susila adalah segala delik yang berhubungan dan karena itu selalu sex related sifatnya. Sebagai delik susila dan sebagai obyek hukum pidana ia didasarkan aturan-aturan kesusilaan dalam arti yang luas. Jadi pada dasarnya menurut Oemar Seno Adji antara cabul maupun pornogarfi mempunyai pengertian yang sama yaitu merupakan sesuatu yang melanggar kesusilaan3

Perbuatan cabul merupakan salah satu bentuk kejahatan terhadap kesusilaan yang diatur dalam bab XIV Buku ke dua KUHP tentang kejahatan kesusilaan. Pengertian perbuatan cabul itu sendiri adalah segala perbuatan yang melanggar kesusilaan atau perbuatan keji, yang semuanya itu dalam lingkungan

3

(5)

nafsu birahi kelamin misalnya mencium, raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada. Persetubuhan masuk pula dalam pengertian perbuatan cabul akan tetapi dalam undang-undang ditentukan sendiri.4

Perbuatan cabul tidak hanya didefinisikan sebagai perbuatan yang melanggar kesusilaan dalam lingkungan nafsu birahi kelamin terhadap anak saja, tetapi juga apabila dilakukan terhadap orang dewasa. Pelaku perbuatan cabul terhadap orang yang memiliki gangguan jiwa dapat diancam pidana sesuai Pasal 290 ayat (1) KUHP.

Berdasarkan uraian di atas maka merasa tertarik memilih judul Pertanggungjawaban Pidana Bagi Pelaku Cabul Terhadap Wanita Yang Mengalami Gangguan Jiwa (Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimanakah pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan? 2. Bagaimanakah dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi

pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?

4

(6)

C. Tujuan dan Manfaat Penulisan

1. Tujuan Penulisan

Tujuan dari dilakukannya penelitian ini adalah :

a. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pencabulan.

b. Untuk mengetahui yang menjadi dasar pertimbangan Hakim dalam menjatuhkan sanksi bagi pelaku tindak pidana pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI)?

2. Manfaat Penulisan

Adapun manfaat yang dapat diperoleh dari penulisan ini adalah :

a. Secara teoritis memberikan sumbangan terhadap pengembangan ilmu hukum pidana khususnya pertanggungjawaban pidana bagi pelaku cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa

(7)

D. Keaslian Penelitian

Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak ditemukan skripsi dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan

E. Tinjauan Pustaka

1. Pengertian Pertanggungjawaban Tindak Pidana

Istilah tindak pidana merupakan istilah yang secara resmi digunakan dalam peraturan perundang-undangan. Pembentuk Undang-Un dang kita telah menerjemahkan istilah strafbaar feit yang berasal dari KUHPBelanda ke dalam KUHP Indonesia dan peraturan perundang-undangan pidana lainnya dengan istilah tindak pidana.

Tindak pidana dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang selanjutnya disebut KUHP, dikenal dengan istilah “stratbaar feit”. Istilah

(8)

dengan menggunakan istilah peristiwa pidana atau perbuatan pidana atau tindak pidana.

Menurut Simon, berpendapat bahwa pengertian tindak pidana adalah sebagai suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang-undang, bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab.5

Tindak pidana sebagai berikut:“Tindak pidana ialah suatu tindakan pada tempat, waktu dan keadaan tertentu, yang dilarang (atau diharuskan) dan diancam dengan pidana oleh undang-undang, bersifat melawan hukum, serta dengan kesalahan dilakukan oleh seseorang (mampu bertanggung jawab).6

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.7

Berdasarkan pendapat-pendapat di atas, maka dapat diartikan bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang mana perbuatan tersebut melangggar apa yang dilarang atau diperintahkan oleh undang-undang dan diberi sanksi berupa sanksi pidana

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa

5

Erdianto Effendi. Hukum Pidana Indonesia Suatu Pengantar. (Bandung: Rafika Aditama, 2011), hal 98

6Ibid

., hal 99 7

(9)

mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak.8

Tindak pidana adalah suatu bentuk tingkah laku yang bertentangan dengan moral kemanusiaan, merugikan masyarakat, asosial, melanggar hukum serta undang-undang pidana. Unsur-unsur yang mengakibatkan dipidananya seorang terdakwa adalah mampu bertanggungjawab, syarat-syarat seorang terdakwa mampu bertanggungjawab adalah faktor akal dan faktor kehendak. Faktor akal dan faktor kehendak yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Faktor kehendak yaitu menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan yang tidak.9

Perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh suatu aturan hukum larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa pidana tertentu, bagi barang siapa melanggar larangan tersebut.10 Syarat-syarat untuk menjatuhkan pidana adalah seseorang harus melakukan perbuatan yang aktif atau pasif seperti yang di tentukan oleh undang-undang pidana yang melawan hukum, dan tidak adanya alasan pembenar serta adanya kesalahan dalam arti luas (meliputi kemampuan bertanggungjawab, sengaja atau kelalaian) dan tidak adanya alasan pemaaf. Jika

8

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana.(Jakarta: Askara Baru,1999), hal 84

9

Roeslan Saleh. Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana. (Jakarta: Askara Baru.. 1999), hal. 84

10

(10)

kita telah dapat membedakan antara perbuatan pidana (yang menyangkut segi objektif) dan pertanggungjawaban pidana (yang menyangkut segi subjektif, jadi menyangkut sikap batin si pembuat) maka mudahlah kita menentukan dipidana atau dibebaskan ataupun dilepaskan dari segala tuntutan pembuat delik.11

Orang yang melakukan perbuatan pidana akan mempertanggungjawabkan perbuatannya tersebut dengan pidana, apabila ia mempunyai kesalahan. Seseorang mempunyai kesalahan apabila pada waktu melakukan perbuatannya, dilihat dari segi masyarakat menunjukkan pandangan yang normatif mengenai kesalahan yang telah dilakukan oleh orang tersebut.

Seseorang dikatakan mampu bertanggungjawab apabila memenuhi 3 (tiga) syarat, yaitu:12

a. Dapat menginsyafi makna daripada perbuatannya.

b. Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patut dalam pergaulan masyarakat.

c. Mampu untuk menentukan niat atau kehendak dalam melakukan perbuatan Alasan seseorang tidak dapat bertanggungjawab atas tindak pidana yang dilakukan, yaitu:13

a. Jiwa si pelaku cacat.

b. Tekanan jiwa yang tidak dapat ditahan. c. Gangguan penyakit jiwa.

11

Andi Zainal Abidin. Asas-Asas Hukum Pidana Bagian Pertama. (Bandung: Alumni, 2007), hal.72

12

Roeslan Saleh. Op.cit. hal 80 13

(11)

Pertanggungjawaban pidana dalam hukum pidana dikenal dengan adanya 3 (tiga) unsur pokok, yaitu:

a. Unsur perbuatan

b. Unsur yang dilarang (oleh aturan hukum). c. Unsur pidana (bagi yang melanggar larangan).

2. Tindak Pidana terhadap Kesusilaan menurut KUHP dan

Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi

Pencabulan cukup sering digunakan untuk menyebut suatu perbuatan atau tindakan tertentu yang menyerang kehormatan kesusilaan.Bila mengambil definisi dari buku Kejahatan Seks dan Aspek Medikolegal Gangguan Psikoseksual, maka definisi pencabulan adalah “semua perbuatan yang dilakukan untuk mendapatkan kenikmatan seksual sekaligus mengganggu kehormatan kesusilaan”

Pencabulan menurut Kamus Besar Indonesia adalah pencabulan adalah kata dasar dari cabul, yaitu kotor dan keji sifatnya tidak sesuai dengan sopan santun (tidak senonoh), tidak susila, bercabul: berzinah, melakukan tindak pidana asusila, mencabul: menzinahi, memperkosa, mencemari kehormatan perempuan, film cabul: film porno. Keji dan kotor, tidak senonoh (melanggar kesusilaan,kesopanan) 14

Pencabulan adalah segala perbuatan yang melanggar susila atau perbuatan keji yang berhubungan dengan nafsu kekelaminannya.Definisi yang diungkapkan Moeljatno lebih menitikberatkan pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang

14

(12)

berdasarkan nafsu kelaminanya, di mana langsung atau tidak langsung merupakan perbuatan yang melanggar susila dan dapat dipidana.15

Berdasarkan pengertian di atas, Penulis berkesimpulan bahwa tindak pidana pencabulan adalah segala tindakan atau perbuatan yang keji, tidak senonoh, kotor, dan melanggar kesusilaan (kesopanan), dimana semua itu dalam lingkup nafsu birahi kelamin. Contohnya, cium-ciuman, meraba-raba anggota kemaluan, meraba-raba buah dada, dan sebagainya.

Menurut KUHP Pasal 289 Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, diancam karena melakukan perbuatan yang menyerang kehormatan kesusilaan, dengan pidana penjara paling lama sembilan tahun.

Pengaturan tentang delik kesusilaan di dalam KUHP menggolongkan jenis tindakan pidana kesusilaan, penggolongan tindak pidana kesusilaan tersebut yakni:

1. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis kejahatan, yakni Pasal 281 s.d. 303 Bab 14 Buku ke 2 KUHP.

2. Tindak pidana kesusilaan dengan jenis pelanggaran, yakni Pasal 532 s.d. 547 Bab 6 Buku 3 KUHP.RUU KUHP hanya mengelompokkan dalam 1 (satu) bab dengan judul tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan. Tindak pidana terhadap perbuatan yang melanggar kesusilaan tersebut diatur dalam Pasal 467 s.d. 505 Bab 16 RUU KUHP.

15

(13)

Adapun pengaturan delik kesusilan dalam Undang-Undang Pornografi meliputi larangan dan pembatasan perbuatan yang berhubungan dengan pornografi sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 4 Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi, yakni:

1. Setiap orang dilarang memproduksi, membuat, memperbanyak,

menggandakan, menyebarluaskan, menyiarkan, mengimpor, mengekspor, menawarkan, memperjualbelikan, menyewakan, atau menyediakan pornografi yang secara eksplisit memuat:

a. persenggamaan, termasuk persenggamaan yang menyimpang; b. kekerasan seksual;

c. masturbasi atau onani;

d. ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan; e. alat kelamin; atau

f. pornografi anak.

2. Setiap orang dilarang menyediakan jasa pornografi yang:

a. menyajikan secara eksplisit ketelanjangan atau tampilan yang mengesankan ketelanjangan;

b. menyajikan secara eksplisit alat kelamin;

(14)

3. Kekuasan Kehakiman

Kekuasaan Kehakiman adalah kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.

Pasal 2 ayat (1) Peradilan dilakukan "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa". (2) Peradilan negara menerapkan dan menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila. (3) Semua peradilan di seluruh wilayah negara Republik Indonesia adalah peradilan negara yang diatur dengan undang-undang. (4) Peradilan dilakukan dengan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

4. Analisis Yuridis PN-Boyolali No. 142 / Pid.Sus/2011/PN-BI

Sanksi yang diberikan hakim terhadap terdakwa untuk dididik dan dibina di Panti Sosial selama 6 (enam) bulan sudah tepat dan telah berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang adil terutama fakta-fakta yang diperoleh dipersidangan. Diharapkan terdakwa dapat menjadi lebih baik lagi setelah menjalani sanksi berupa tindakan tersebut.

(15)

mempertimbangkan faktor non yuridis dan telah sesuai dengan teori dasar pertimbangan hakim, seperti teori keseimbangan yaitu hakim melihat kepentingan terdakwa, kepentingan korban dan keluarganya, serta masa depan terdakwa. Teori pendekatan seni dan intuisi yaitu hakim melihat keadaan terdakwa pada saat melakukan tindak pidana karena tidak semua pelaku anak dijatuhkan sanksi yang sama. Teori Pendekatan keilmuan yaitu hakim memutus suatu perkara dengan ilmu pengetahuan hukum dan wawasan keilmuan hakim, dalam perkara anak ada upaya Diversi dan Restorative Justice sehingga pelaku anak tidak dipidana.

Hakim telah melihat dari teori pendekatan pengalaman yaitu hakim memutus perkara dengan pengalaman yang dimilikinya dan dapat mengetahui bagaimana dampak dari putusan yang dijatuhkan, hakim melihat sanksi yang diberikan kepada terdakwa untuk dibina dan didik adalah yang terbaik untuk masa depan terdakwa yang masih anak-anak karena jika terdakwa dipidana akan membuat terdakwa semakin parah.

Teori Ratio Decidendi yaitu hakim memutus suatu perkara didasarkan pada landasan filsafat yang mendasar dan mempertimbangkan segala aspek yang berkaitan dengan pokok perkara serta peraturan perundang-undangan sebagai dasar hukum dalam penjatuhan putusan. Hal-hal yang memberatkan dan hal-hal meringankan terdakwa serta saran Balai Pemasyarakatan adalah salah satu pertimbangan hakim dalam menjatuhkan sanksi sehingga kepada terdakwa dijatuhi sanksi.

(16)

merampas kemerdekaannya dan dapat memberikan stigma yang kurang baik pada diri terdakwa dimasa depan, karena dalam menjatuhkan sanksi kepada anak tidak boleh merampas masa depannya, terdakwa diupayakan untuk dihindarkan dari hukuman penjara yang dapat merampas masa depannya. Dengan diberikan sanksi berupa tindakan dididik dan dibina menjadi anak Negara diharapkan dapat mencegah pengulangan tindak pidana dan menjadikan terdakwa lebih baik lagi.

F. Metode Penulisan

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah metode penelitian yang mengacu pada norma-norma hukum yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan dan putusan pengadilan,16 yang berkaitan dengan Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Tindak Pidana Pencabulan (Analisis Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI).

2. Spesifikasi penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, artinya bahwa penelitian ini, menggambarkan, menelaah dan menjelaskan secara analitis tindak pidana pencabulan. Pendekatan penelitian ini adalah penelitian hukum normatif,17 yaitu dimaksudkan sebagai pendekatan terhadap masalah dengan melihat dari segi peraturan-peraturan yang berlaku oleh karena itu dilakukan penelitian

16

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,2004), hal 14.

17

(17)

kepustakaan. Pada penelitian hukum, bahan pustaka merupakan data dasar yang dalam penelitian digolongkan sebagai data sekunder. Data sekunder tersebut mempunyai ruang lingkup yang sangat luas, sehingga meliputi surat-surat pribadi, buku-buku harian, buku-buku, sampai pada dokumen-dokumen resmi yang dikeluarkan oleh pemerintah. 18

3. Sumber data

Data penelitian ini didapatkan melalui studi kepustakaan, yakni dengan melakukan pengumpulan referensi yang berkaitan dengan obyek penelitian yang meliputi data sekunder yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research). Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan konsep-konsep, teori-teori dan informasi serta pemikiran konseptual dari penelitian pendahulu baik berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Data sekunder terdiri dari:

1. Bahan hukum primer, antara lain: a. Norma atau kaedah dasar

b. Peraturan dasar landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah Kitab Undang-undang Hukum Pidana.

c. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman

d. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi.

18

(18)

2. Bahan hukum sekunder berupa buku yang berkaitan dengan tindak pidana tindak pidana pencabulan, hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini.

3. Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer, sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, majalah dan jurnal ilmiah, serta bahan-bahan di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian.

44

3. Alat pengumpulan data

Pengumpulan data pada penelitan skripsi ini menggunakan teknik studi dokumen berupa buku-buku, tulisan-tulisan para ahli hukum, artinya data yang diperoleh melalui penelurusan kepustakaan berupa data sekunder ditabulasi yang kemudian disistematisasikan dengan memilih perangkat-perangkat hukum yang relevan dengan objek penelitian.

Dalam penulisan skripsi ini, digunakan metode pengumpulan data untuk memperoleh data dan informasi yaitu melalui metode penelitian kepustakaan (Library Research). Metode penelitian kepustakaan (Library Research) yaitu penelitian yang dilakukan dengan menelaah berbagai bahan pustaka yang berhubungan dengan kasus dalam penelitian ini.

(19)

4. Analisis data

Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan selanjutnya akan ditelaah dan dianalisis secara kualitatif. Analisis kualitatif ini dilakukan dengan cara pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaidah-kaidah hukum yang mengatur tentang tindak pidana pencabulan, kemudian membuat sistematika dari Pasal-Pasal tersebut sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian ini. Data yang dianalisis secara kualitatif akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data, selanjutnya semua data diseleksi dan diolah kemudian dianalisis secara deskriptif sehingga selain menggambarkan dan mengungkapkan diharapkan akan memberikan solusi atas permasalahan dalam penelitian dalam skripsi ini.

G. Sistematika Penulisan

Penulisan ini dibuat secara terperinci dan sistematis, agar memberikan kemudahan bagi pembacanya dalam memahami makna dan memperoleh manfaatnya. Keseluruhan sistematika ini merupakan satu kesatuan yang saling berhubungan satu dengan yang lain. Adapun sistematika penulisan yang terdapat dalam skripsi ini adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

(20)

manfaat penulisan, keaslian penulisan, metode penelitian dan sistematika penulisan.

BAB II PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PELAKU TINDAK

PIDANA PENCABULAN

Bab ini berisikan mengenai Ketentuan Pidana Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Delik-Delik Susila Tentang Perbuatan Cabul dan Pertanggungjawabannya, Pertanggungjawaban Pidana Pelaku bagi pelaku cabul terhadap wanita yang mengalami gangguan jiwa.

BAB III DASAR PERTIMBANGAN HAKIM DALAM MENJATUHKAN SANKSI PELAKU TINDAK PIDANA PENCABULAN (ANALISIS YURIDIS PUTUSAN PENGADILAN NEGERI BOYOLALI NO. 142 /PID. SUS/2011/PN-BI)

Bab ini berisikan tentang Pengaturan Tindak Pidana Pencabulan dan Analisis Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Posisi Kasus Putusan Pengadilan Negeri Boyolali No. 142/Pid.Sus/2011/PN-BI, Dakwaan, Fakta Hukum, Tuntutan, Putusan Hakim, Analisis Kasus

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN

Referensi

Dokumen terkait

Namun dua dari lima subyek penelitian menyatakan bahwa fungsi bimbingan dan konseling belum memberikan manfaat bagi dirinya, sehingga subyek merasa mampu menyelesaikan

Dilihat dari keseluruhan populasi bakteri Rhizobium pada beberapa perakaran tanaman (Tabel 1 dan 2) menunjukkan bahwa populasi bakteri Rhizobium

Antara berikut, yang manakah bukan bahan digunakan untuk menghasilkan projek.. Momotong kepingan kertas

Secara simultan Pelaksanaan Kebijakan Standar Pelayanan Minimal Kesehatan dan Pengembangan Desa Siaga (X) berpengaruh terhadap Kinerja Pos Kesehatan Desa (Y), Efektifitas

Siti Rahayu Hassan, Mohammad Syuhaimi Ab-Rahman, Aswir Premadi and Kasmiran Jumari. The Development of Heart Rate Variability Analysis Software for Detection of Individual

Penulis melakukan survei di SD Negeri Sruni I, SD Negeri Sruni II, SD Negeri Sawotratap dengan melakukan forum diskusi grup kepada beberapa narasumber guna

Berdasarkan latar belakang masalah tersebut, perlu dilakukan studi komparatif sekaligus korelasional untuk mengetahui sejauhmana pengaruh model pembelajaran (PBM, Inkuiri,

dikarenakan pembuatan PLA menggunakan katalis pada kondisi waktu dan suhu polimerisasi yang sama dengan pembuatan PLA tanpa katalis memiliki laju polimerisasi lebih