• Tidak ada hasil yang ditemukan

STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN EFEKTIF DI PERGURUAN TINGGI Haryono

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "STRATEGI PENGEMBANGAN PEMBELAJARAN EFEKTIF DI PERGURUAN TINGGI Haryono"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

DI PERGURUAN TINGGI

Haryono

Mahasiswa S3 UNS, Dosen DPK STKIP PGRI Ngawi E-mail: haryonostkip@yahoo.co.id

Abstract: a lecturer quality is one of the keys to be succeed in teaching process. The phenomenon says that a qualified lecturer will give good impacts to the graduation of students. Effective teaching strategy is the important part in the teaching and learning process. To get a qualified teaching, a lecturer must use the effective teaching strategy.

Key words: teaching strategy, quality of lecturer, and the effective teaching development.

Peningkatan kualitas pendidikan untuk menghasilkan lulusan yang berkualitas dan unggul merupakan tuntutan yang tidak terelakkan untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang tidak pernah berhenti. Lulusan lembaga pendidikan harus mampu menjawab tantangan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang. Setiap jenjang pendidikan harus

memberikan sumbangan untuk

menghasilkan sumber daya insani yang unggul yang siap menghadapi tuntutan kebutuhan tersebut. Perguruan Tinggi khususnya

Lembaga Pendidikan Tenaga

Kependidikan (LPTK) mempunyai

kewajiban untuk menyiapkan

lulusannya menjadi tenaga yang profesional sesuai dengan standar lulusan yang dapat diterima secara global pada dunia kerja.

Tuntutan kualitas sumber daya insani yang unggul dan mandiri memang seiring dengan tuntutan globalisasi. Di era globalisasi setiap negara berusaha meningkatkan daya saingnya dalam menghasilkan barang dan jasa dengan cara peningkatan produktivitas melalui peningkatan

keunggulan kualitas sumber daya

insaninya. Edwards (1997)

menyatakan bahwa setiap negara mempunyai kepentingan untuk

meningkatkan kemampuan

ekonominya bagi peningkatan daya saingnya. Terkait tentang perlunya meningkatkan sumber daya insani, Kember (2000) menyatakan bahwa setiap negara mengakui betapa pentingnya memiliki angkatan kerja yang terdidik dengan baik yang mampu mengikuti perkembangan teknologi agar dapat memiliki daya saing ekonomi yang baik pula. Bahkan Gardner (2000) lebih tegas lagi menyatakan bahwa kualitas sistem pendidikan nasional suatu bangsa merupakan faktor penentu utama keberhasilan dalam abad-abad mendatang.

(2)

depan akan ditentukan oleh pengalaman belajar dalam hidupnya, baik belajar di sekolah maupun di luar sekolah. Oleh karenanya, masyarakat perlu merancang sistem pendidikan yang akan menyediakan kemungkinan-kemungkinan untuk masa depan tersebut.

Pewujudan pendidikan yang bertujuan menghasilkan sumber daya insani yang sesuai kebutuhan masa depan, maka pemerintah bersama-sama pemerintah daerah idealnya

menyelenggarakan

sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar. Dan sekurang-kurangnya satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional. (PP Nomor 19/2005

tentang Standar Nasional

Pendidikan, pasal 61 ayat 1; lihat pula UU Nomor 20/2003 tentang Sisdiknas, pasal 50 ayat 3). Untuk menerjemahkan bunyi pasal 61 ayat 1 PP 19/2005 dan pasal 50 ayat 3 UU Nomor 20/2003 tersebut maka dilakukan perintisan Sekolah Bertaraf Internasional (SBI) yaitu

sekolah yang melaksanakan

kurikulum nasional dengan

mengembangkan potensi yang

dimiliki sehingga mampu

menghasilkan siswa yang

mempunyai daya saing dengan dunia internasional. Implikasinya di bidang pembelajaran adalah perlunya dilakukan upaya agar terjadi peningkatan keluaran pembelajaran siswa dengan: (1) memperkuat standar, kurikulum, dan penilaian hasil belajar siswa, (2) meningkatkan kinerja guru dan staf pendukung pembelajaran, (3) meningkatkan materi pembelajaran, peralatan, dan

fasilitas, (4) meningkatkan kesiapan siswa pasca pendidikan menengah atas.

Agar dapat mendukung hal-hal yang disebutkan tadi dipandang sangat perlu adanya transformasi orientasi dalam pengelolaan pembelajaran. Pembelajaran tidak lagi dipandang semata-mata sebagai transfer ilmu, melainkan lebih berorientasi pada keterampilan kemampuan belajar para peserta didik. Kemandirian belajar menjadi kata kunci dalam transformasi orientasi tersebut. Pilihan terhadap pendekatan, model, strategi, maupun metode-metode pembelajaran harus diarahkan untuk menumbuhkan dan meningkatkan kemandirian belajar peserta didik. Perguruan Tinggi berperan menyiapkan tenaga-tenaga profesional untuk mendukung program tersebut.

METODE

Dalam pembahasan ini

penulis menggunakan metode pustaka (library research), yaitu penelitian yang menggunakan buku-buku sebagai sumber datanya (Sutrisno Hadi, 1990: 9). Sedangkan pengumpulan data yang digunakan adalah data primer dan data sekunder. Adapun yang menjadi sumber data primer dalam penelitian ini adalah Effective Teaching Methods 3rd Ed. Englewood karya Daniel, John S, 1999 dan Teaching Principles and Practice. 2nd Ed, 19954 karya Borich, Gary D. Sedangkan sumber data sekunder adalah berbagai buku yang relevan dengan pembahasan.

(3)

pemecahan masalah yang ada, kemudian data yang sudah ada disusun untuk dianalisa

(

Sanapiyah Faisal, 1982: 162). Untuk memberikan kesimpulan yang valid maka data-data yang terkumpul selanjutnya diolah dengan menggunakan metode sebagai berikut: (a) induktif, yaitu cara berfikir yang bertolak dari suatu peristiwa khusus kemudian ditarik ke suatu peristiwa umum (generalisasi) dan; (b) deduktif, yaitu suatu cara menarik kesimpulan dari sumber data yang bersifat umum kedalam suatu kesimpulan yang bersifat khusus.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil

Setiap orang pada dasarnya mempunyai dorongan alami untuk terus belajar. Dorongan ini bersumber dari kebutuhan untuk mempertahankan keberadaan serta fungsi dan perannya sebagai sumber daya insani. Dorongan ini akan makin kuat apabila pada diri seseorang memiliki kebutuhan untuk meningkatkan kesuksesan yang telah diraihnya (Havelock dan Zlotolow, 1995). Dorongan untuk terus belajar juga diperlukan sehubungan dengan perubahan cepat yang terjadi sebagai akibat dari perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.

Perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi telah membawa kita dalam era dengan masyarakat yang tidak dapat berkembang tanpa ilmu pengetahuan karena setiap upaya peningkatan kesejahteraan hidup memerlukan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta

tuntutan globalisasi secara

bersama-sama telah mengakibatkan

persaingan yang makin ketat tentang perlunya penyediaan sumber daya insani unggul. Untuk dapat mempertahankan daya saingnya, sumber daya insani juga perlu terus

meningkatkan kemampuannya.

Bahkan seperti diungkapkan Mansell dan When (1998), sumber daya paling pokok dalam perekonomian modern adalah ilmu pengetahuan; dan untuk itu proses belajar pada diri setiap orang menjadi hal yang paling

penting untuk dilakukan.

Pembangunan ekonomi dalam suatu negara harus disertai hasrat belajar yang tinggi dari setiap anggota masyarakatnya. Hasrat belajar mencakup juga keinginan untuk meningkatkan atau memperbaiki pengetahuan tradisional dalam rangka meningkatkan kualitas sumber daya insani.

Dalam era seperti

digambarkan tersebut, setiap orang harus menjadi pembelajar sepanjang hayat. Setiap orang harus mengembangkan potensi dirinya melalui usaha berkelanjutan untuk terus memperoleh atau meningkatkan pengetahuan, sikap, nilai-nilai, dan pemahaman yang diperlukan untuk dapat diterapkan dengan rasa nyaman, percaya diri, dan kreatif sesuai peran, suasana, dan

lingkungan masing-masing

(4)

yang dikeluarkan UNESCO’s International Commision on Education for the Twenty-first Century yang menyatakan bahwa setiap individu perlu memiliki bekal

untuk dapat memanfaatkan

kesempatan belajar sepanjang hayatnya, baik untuk memperluas pengetahuan, keterampilan, dan sikap yang telah dimiliki maupun untuk beradaptasi dengan kondisi dunia yang berubah, bersifat kompleks, dan saling tergantung satu sama lain. Untuk memperoleh bekal seperti itu komisi ini juga

merekomendasikan perlunya

pembelajaran bertumpu pada empat pilar, yaitu: (1) learning to know, untuk memperoleh pengetahuan umum yang bersifat luas sebagai alat untuk pemahaman dan belajar bagaimana seharusnya belajar; (2) learning to do, untuk memperoleh kompetensi dalam menghadapi berbagai situasi dan untuk dapat bertindak kreatif pada lingkungan tertentu; (3) learning to live together,

untuk mengembangkan saling

pengertian satu sama lain, sebagai

pengakuan adanya saling

ketergantungan, dan untuk

berpartisipasi dan bekerjasama dengan orang lain; (4) learning to be, untuk mengembangkan kemandirian, kemampuan pengambilan keputusan, dan tanggung jawab pribadi melalui pengembagan seluruh aspek dari potensi diri.

Setiap anggota masyarakat yang memposisikan dirinya sebagai pembelajar sepanjang hayat akan membentuk masyarakat gemar belajar yang merupakan prasyarat tumbuhnya masyarakat pecinta ilmu pengetahuan. Setiap orang akan selalu berusaha memperbarui atau

meningkatkan kemampuan dan keterampilannya sesuai dengan tuntutan yang dihadapinya (Edwards, 1997). Penyesuaian kemampuan seseorang perlu terus dilakukan mengikuti perkembangan yang terjadi dalam masyarakat, dalam dunia industri, ataupun lembaga tempat seseorang mengabdikan dirinya. Tanpa penyesuaian kemampuan diri, sesorang sulit untuk dapat terus berperan secara maksimal.

Kemampuan-kemampuan dan keterampilan-keterampilan tertentu yang harus terus ditumbuhkan, dikembangkan dan ditingkatkan karena diperlukan dalam pergaulan masyarakat, dalam lembaga ataupun dalam dunia kerja mencakup banyak dimensi, seperti: kemampuan berkomunikasi, kemampuan di

dalam pemecahan masalah,

kepemimpinan, kemampuan bekerja sama dalam tim (berkolaborasi), kemampuan bernegosiasi dan persuasi, kemampuan di dalam

pengambilan keputusan,

menciptakan peluang, penanggungan resiko, fleksibelitas, dan sikap pro-aktif, kemampuan menangani hal yang bersifat kompleks, serta aspek-aspek psikologi lain seperti: komitmen, integritas, semangat, kreativitas, dan konsistensi (Ary Ginanjar Agustian, 2002); atau

secara ringkas mencakup

kemampuan kognitif dan

(5)

pekerjaan, maupun dalam suatu organisasi.

Mengembangkan Pembelajaran Efektif

Menurut teori belajar Gagne, proses belajar merupakan suatu proses transformasi masukan (input) menjadi hasil/keluaran (output).

Masukan berupa pesan atau

informasi ditransformasikan ke dalam susunan syaraf kemudian disimpan untuk ditransformasikan kembali menjadi pesan yang akan mengontrol munculnya perilaku sebagai hasil belajar (Gagne dan Driscoll, 1989). Pembelajaran efektif adalah pembelajaran yang mampu memudahkan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik (mahasiswa). Untuk memudahkan terjadinya proses belajar, peran

dosen dalam merancang

pembelajaran menjadi sangat strategis. Pilihan metode, media, bahan, dan cara-cara evaluasi yang tepat akan mendorong keaktifan belajar peserta didik (student active learning) yang selanjutnya mendorong percepatan terjadinya proses belajar pada diri peserta didik. Menciptakan sebuah pembelajaran yang bersifat konstruktivistik merupakan salah satu wujud nyata upaya mendorong student active learning. Belajar dalam pandangan kaum konstuktivistik mencakup: (1) proses dan perolehan informasi melalui aktivitas bertanya, menginterpretrasi, dan analisis; (2) menggunakan informasi dan proses penalaran untuk mengembangkan, membangun, dan mencari

alternatif-alternatif pemaknaan dan

pemahaman atas konsep-konsep dan

gagasan-gagasan; (3)

mengintegrasikan pengalaman yang sedang dihadapi dengan pengalaman yang lalu atau pengetahuan yang telah dimiliki tentang sesuatu hal.

Dengan demikian, kaum

konstruktivistik memaknai belajar

sebagai suatu proses

mengkonstruksi, mengkreasi, menemukan, dan mengembangkan sendiri sebuah ilmu pengetahuan (Marlowe, & Page, 1998).

Belajar memang merupakan suatu proses internal pada diri seseorang, namun proses internal tersebut dipengaruhi oleh faktor eksternal berupa rangsangan yang berasal dari lingkungan sekitar sebagai sumber belajar. Rancangan program pembelajaran pada dasarnya adalah merupakan penyediaan faktor eksternal yang secara sengaja direncanakan dan diselenggarakan dengan tujuan untuk menggerakkan, memudahkan, dan meningkatkan proses internal pada diri seseorang. (Gagne, 1976).

(6)

terhadap gejala yang berbentuk perilaku yang tampak oleh mata termasuk prestasi atau hasil belajar. Pengujian terhadap prinsip-prinsip belajar menurut teori ini dilakukan dengan menghubungkan hasil belajar yang diperkirakan dengan hasil senyatanya (Gagne dan Driscoll, 1989).

Teori belajar yang

dikemukakan Gagne yang disebut teori pengolahan informasi (information-processing theory) menjelaskan bahwa penerimaan rangsangan berupa materi belajar akan menyebabkan terjadinya proses belajar yang melibatkan kerja syaraf otak yang kemudian ditampilkan sebagai hasil belajar berupa perubahan perilaku. Bahkan menurut Richey (1986) didasarkan atas pandangan bahwa otak manusia merupakan pengolah informasi melalui bekerjanya sistem ingatan, sedangkan menurut Snelbecker

(1984), manusia merupakan

pengolah informasi yang aktif. Lewat bekerjanya sistem ingatan yang merupakan proses kerja mental secara aktif terjadilah proses pengolahan informasi sebagai proses belajar. Tiga anggapan dasar dari teori ini seperti dikemukakan Newell dan Simon (1976), adalah: (1) terdapatnya suatu sistem kendali terdiri dari ingatan-ingatan yang berisikan berbagai informasi yang

dihubungkan oleh berbagai

hubungan yang teratur, (2) terjadi pengolahan-pengolahan sederhana atas informasi-informasi yang tersimpan dalam ingatan, dan (3) kaidah-kaidah pengolahan dalam

keseluruhan program telah

terfomulasikan.

Belajar pengolahan informasi dapat dilihat kesamaannya dengan teori Bruner (1977), bahwa proses belajar pada diri seseorang mengandung tiga proses simultan. Pertama, proses untuk mendapatkan perolehan (akuisisi) sesuatu dari informasi baru. Hal yang diperoleh dari informasi baru sering merupakan pengganti atau perbaikan atas pengetahuan sebelumnya. Kedua, proses transformasi

pengetahuan yang diperoleh

disesuaikan dengan kebutuhan atau tugas. Dalam proses ini terjadi analisis atas informasi lalu diubah dalam bentuk lain seperti simbol-simbol. Ketiga, proses evaluasi. Dalam proses ini terjadi penilaian, apakah transformasi yang dilakukan sudah sesuai dengan kebutuhan atau tugas yang dihadapi. Program pembelajaran pada dasarnya adalah usaha untuk memberi bantuan memudahkan terjadinya tiga proses simultan tersebut.

(7)

penyam-bungan pengetahuan terdahulu dengan informasi yang sedang masuk.

Berdasarkan teori pengolahan informasi tersebut, diakui bahwa sistem pengo-lahan informasi yang terjadi pada diri seseorang memiliki keterbatasan yakni hanya mampu mengolah sedikit atau beberapa macam informasi dalam satu waktu. Simbol-simbol yang diproses harus diatur dalam struktur ingatan dan isinya dapat berubah cepat. (Snelbecker, 1974). Menyadari akan keterbatasan ini, maka perlu dicari cara untuk memudahkan belajar antara lain dengan menyajikan masalah yang sederhana yang cepat dapat dipecahkan dan hasilnya dimanfaatkan untuk menghadapi masalah yang lebih sulit.

Bekerjanya syaraf otak seperti itu juga dikemukakan Silberman (1996) yang menyatakan bahwa otak orang yang sedang belajar bukan sekedar menerima informasi melainkan memprosesnya. Kerja syaraf otak akan semakin efektif apabila informasi yang menjadi materi belajar didiskusikan dengan sesama teman atau paling tidak ditanyakan. Akan lebih bagus lagi kalau orang yang belajar dapat melakukan sesuatu terkait dengan informasi tersebut. Silberman memformulasikan hal ini dengan Kredo belajar aktifnya, yaitu:

What I hear, I forget.

What I hear and see, I remember a little.

What I hear, see, and ask questions about or discuss with someone else, I begin to understand.

What I hear, see, discuss, and do, I acquire knowledge and skill.

What I teach to another, I master.

Banyak pilihan metode atau strategi yang dapat dilakukan dalam mengaplikasikan kredo tersebut antara lain cooperative learning, problem-based learning, discovery-inquiry learning, dan sebagainya.

Penggunaan metode ceramah

(lecturing) bagaimanapun sulit untuk ditinggalkan, namun perlu variasi-variasi dipadukan dengan berbagai teknik atau metode yang lain. Silberman (1996) menawarkan 101 teknik atau strategi active learning yang secara praktis diharapkan mampu mendorong partisipasi aktif mahasiswa dalam pembelajaran.

Upaya mengaplikasikan

active learning perlu dukungan manajemen Perguruan Tinggi maupun kesungguhan Dosen dalam menekuni profesinya. Di samping itu, dosen harus terus menerus meningkatkan kemampuannya agar memiliki predikat dosen yang baik. Borich (1996) menyatakan bahwa dosen yang baik harus memiliki sikap bijak, memiliki kepandaian

yang memadai, memiliki

kemampuan memahami peserta didik, dan memiliki jiwa dedikasi.

Active learning juga sangat

tergantung bagaimana dosen

mengelola pembelajaran. Dalam mengelola pembelajaran (proses belajar mengajar), dosen dengan

dukungan pihak manajemen

Perguruan Tinggi harus berusaha menjadikannya sebagai pembelajaran yang berkualitas melalui kegiatan evaluasi diri yang diintegrasikan

dengan kegiatan mengelola

(8)

yang dikemukakan Kember (2000) berikut.

Keterangan:

1) Evaluasi sumatif oleh pengajar; 2) Evaluasi portofolio perihal pengajaran

untuk tujuan peningkatan;

3) Review pengajaran oleh pihak eksternal; 4) Review pengajaran oleh sejawat;

5) Lokakarya membahas didaktik untuk perumusan saran perbaikan;

6) Lokakarya evaluasi diri; 7) Proyek riset tindakan;

8) Proyek riset tindakan menggunakan teknik evaluasi melalui riset student

active learning;

9) Proyek riset tindakan individual atas masalah pengajaran yang dihadapi

Gambar 2

Paradigma Peningkatan Kualitas Proses Belajar Mengajar

(Sumber: David Kember. 2000. Action Learning & Action Research, p. 19)

Aplikasi Student Active Learning (SAL) memerlukan suasana kondusif dari Lembaga. Kampus sendiri harus

difungsikan sebagai sebuah

organisasi belajar yang didukung oleh seluruh stakeholder-nya

terutama para dosen dalam

mengoperasionalkan SAL. Kampus sebagai sebuah organisasi belajar harus menunjukkan ciri-ciri berikut: (1) setiap orang harus merasa terlibat; (2) setiap orang harus meningkatkan kapasitasnya untuk berkreasi; (3) seluruh anggota

organisasi harus lebih

mengutamakan kebersamaan; segala sesuatunya lebih baik dikerjakan oleh tim bukan menyandarkan pada kehendak satu orang; (4) secara berkelanjutan, organisasi harus meningkatkan kesadarannya untuk bertumpu pada ilmu pengetahuan dan menanamkannya kepada setiap anggotanya; (5) visi dari organisasi harus dimunculkan dari seluruh

tingkatan yang ada dalam organisasi, tanggung jawab manajemen puncak adalah menangani proses tersebut sehingga benar-benar visi organisasi merupakan sumbangan semua pihak; (6) setiap anggota organisasi diajak mempelajari proses yang sedang berjalan pada setiap tingkatan sehingga mereka paham bahwa tindakan mereka mempengaruhi yang lain; (7) setiap orang bebas untuk saling menyoroti, sehingga hampir tidak ada yang harus ditabukan dan tidak ada hal yang tidak dapat didiskusikan; (8) setiap orang saling memperlakukan satu sama lain sebagai mitra yang setara; dalam berbicara satu sama lain dan dalam bekerja, mereka saling menghormati dan mempercayai satu sama lain tanpa membedakan posisi masing-masing; dan (9) semua orang harus diberi kebebasan melakukan percobaan, mengambil resiko, dan menilai secara terbuka 4

2 9 8 7

(9)

hasil-hasilnya; bila seseorang membuat kesalahan tidak harus disingkirkan (Sange et al., 1996).

Marcuardt (1996)

menguatkan pendapat Sange et al. tersebut dengan penegasannya bahwa proses belajar pada dasarnya adalah suatu proses untuk menumbuhkan

dan meningkatkan kemampuan

berkreasi yang langsung berkaitan dengan tindakan dalam dunia nyata. Belajar harus dipandang sebagai gejala atau proses sosial karena kemampuan belajar seseorang sangat ditentukan oleh kualitas dan sikap

keterbukaan dalam menjalin

kerjasama dengan orang lain. Penyelenggaraan pembelajaran yang efektif dalam sebuah lembaga pendidikan formal memerlukan dukungan manajemen yang efektif pula. Pihak manajemen lembaga pendidikan mempunyai banyak peran dan fungsi. Pihak manajemen

lembaga pendidikan harus

memfungsikan lembaga yang

dipimpinnya sebagai organisasi belajar dan membawa organisasi beserta seluruh pihak yang terlibat di dalamnya untuk belajar lebih cepat

dibandingkan dengan para

pesaingnya.

Oleh karena itu, pihak manajemen harus membawa lembaga

pendidikan antara lain untuk: (1) memahami visi dan motivasi yang jelas sebagai organisasi belajar, (2) selalu responsif secara sigap dan efektif terhadap setiap perubahan kondisi kompetitif, (3) secara cepat mengubah setiap informasi menjadi pengetahuan yang berharga, (4) mendorong penggunaan teknologi yang mutakhir, (5) selalu berusaha melakukan percepatan pencapaian target, (6) berusaha lebih inovatif dibandingkan pesaingnya, (7) memiliki konfidensi dan kemampuan mengelola perubahan (Guns & Anundsen, 1996). Di samping itu, Eble dan McKeachie (1986) menyatakan bahwa pihak manajemen harus memelihara suasana yang kondusif di Kampus yang dapat mendatangkan kepuasan dan rasa kemandirian atau otonomi pada para tenaga pengajar. Pengajar yang memperoleh kepuasan di sekolah atau di kampus cenderung akan sukses dalam tugas-tugas mereka. Pihak manajemen harus terus

berusaha menumbuhkan dan

memelihara faktor-faktor yang dapat menumbuhkan kepuasan. Faktor-faktor dimaksud adalah seperti diperlihatkan dalam gambar berikut:

Gambar 2

(10)

Keterangan

1) Rasa mampu mencapai sukses; 2) Rasa kemandirian;

3) Kesempatan untuk terus; 4) Maju/mengembangkan diri; 5) Memiliki siswa yang cakap; 6) Rasa aman dalam berkarya.

Dalam konteks ini, karena inovasi merupakan jantungnya perubahan, maka pihak manajemen harus menyediakan kondisi yang menunjang tumbuhnya inovasi, baik yang dilakukan oleh individu, kelompok, maupun lembaga. Pihak manajemen harus secara konsisten

meningkatkan kemampuan

berinovasi dan melakukan adopsi atau adaptasi atas inovasi-inovasi di bidang pendidikan (Wheatley, 2002). Pihak manajemen perlu mendorong seluruh tenaga pengajar untuk secara terus-menerus melakukan kajian tentang belajar dan pembelajaran dan melakukan tindakan bersama untuk

mengatasi masalah-masalah

pembelajaran yang tidak dapat diatasi secara individual; para tenaga pengajar perlu ditumbuhkan pada diri mereka motivasi yang kuat untuk melaksanakan tugas bukan karena hal itu merupakan tugas

semata-mata, melainkan karena mereka memiliki keinginan yag kuat untuk

mengabdi dalam tugasnya

(Goldsmith, 2002).

Pihak manajemen perlu memfasilitasi kegiatan-kegiatan diskusi untuk saling tukar pengalaman di antara para dosen menyangkut metode mengajar, media pembelajaran, dan evaluasi hasil belajar yang digunakan. Kegiatan-kegiatan untuk melakukan inovasi, mengadaptasi, memodifikasi ataupun mengujicobakan metode, media, dan teknik-teknik evaluasi juga perlu mendapat dukungan pihak manajemen. Penyediaan fasilitas juga harus mencakup penetapan standar kualitas yang diinginkan

sesuai dengan tuntutan

perkembangan standar kualitas yang terus meningkat. Pentingnya pelibatan semua pihak, khususunya

tenaga pengajar, dalam

meningkatkan baik kualitas proses

maupun hasil pembelajaran

(11)

harus dilakukan di kelas oleh para pengajar dengan disertai adanya keinginan kuat dari mereka dalam

upaya peningkatan proses

pembelajaran disertai dengan adanya proses monitoring dan evaluasi.

Pembahasan

Berdasar pada hasil tersebut di atas, dapat diketahui bahwa untuk

mewujudkan apakah suatu

pembelajaran efektif atau tidak, akan sangat ditentukan oleh peran atau posisi sentral pengajar atau dosen sebagai pengelola pembelajaran. Penampilan dosen dalam mengajar

sangat berpengaruh dalam

menentukan kualitas belajar peserta didik, sedangkan kualitas belajar peserta didik akan menjadi indikator utama pembelajaran yang efektif (Cave, Hanney, Henkel, & Kogan, 1997; Raka Joni, 1992). Peran dosen terutama dosen yang berkualitas tidak dapat digantikan oleh apa pun termasuk oleh teknologi (Elliott, 1999). Kualitas mengajar tenaga pengajar di perguruan tinggi merupakan hal paling utama dalam menilai kualitas sebuah perguruan tinggi. Begitu pentingnya peranan seorang dosen, Borich (1996) membuat kiasan bahwa dalam diri seorang dosen yang efektif harus didapati sikap bijak Nabi Sulaiman, kemampuan memahami Sigmund Freud, kepandaian Einstein, dan dedikasi Florence Nightingale.

Jelasnya,dosen yang efektif adalah dosen yang mampu mengajar secara efektif. Untuk dapat mengajar secara efektif, pertama-tama harus dipahami bahwa mengajar adalah merupakan seni sekaligus sebagai ilmu (Ornstein dan Lasley, II, 2000). Oleh karenanya, seorang dosen

adalah seorang seniman dalam arti sebagai seorang tenaga profesional yang terlatih sekaligus sebagai ilmuwan. Mengajar sebagai seni ditunjukkan oleh perlu adanya keinginan kuat atau keantusiasan pelakunya terhadap bidang studi yang akan diajarkannya. Dalam hal ini dosen tidak terpaku pada sebuah gaya mengajar tertentu, tetapi berusaha mengembangkan gaya khas sendiri yang unik yang dianggap paling efektif olehnya dan terus berusaha memodifikasikannya. Orang-orang seperti ini tidak akan pernah kehilangan perspektif mengenai hal-hal baru. Mereka justru selalu ingin mencoba sesuatu yang baru dalam rangka peningkatan diri.

Namun, hal ini tidak cukup karena dosen juga harus merupakan seorang ilmuwan yang dituntut selalu menerapkan prinsip-prinsip ilmiah

dalam menjalankan tugas

pekerjaannya. Sebagai ilmuwan dalam proses pembelajaran perlu dilakukan langkah-langkah dari prinsip-prinsip ilmiah berikut: (1) mengidentifikasi tujuan, (2) merencanakan strategi atau merumuskan serangkaian langkah logis dalam mencapai tujuan, (3) mengumpulkan dan mengevaluasi data, dan (4) mengkomunikasikan hasil-hasilnya (Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers, 2000). Sebagai ilmuwan seorang dosen juga dituntut untuk terus belajar. Dia harus menjadi teladan bagi mahasiswanya, menjadi pembelajar sepanjang hayat dan menjadi pelopor anggota

masyarakat pecinta ilmu

(12)

belajar telah mengalami perubahan cepat. Mengajar tidak lagi dipahami hanya sebagai proses menyampaikan ilmu pengetahuan dari mereka yang tahu (dosen) ke yang tidak tahu (peserta didik) melainkan lebih sebagai tugas mengatur aktivitas-aktivitas dan lingkungan yang bersifat kompleks dari peserta didik (Shuell, 1996). Dengan demikian, seorang dosen harus memiliki jiwa inovatif yang menonjol serta selalu melakukan refleksi diri. Dosen yang bersifat reflektif (reflective teacher) akan selalu melakukan evaluasi

terhadap setiap langkah

pembelajaran yang dilakukannya. Berdasarkan evaluasi tersebut, ia akan berusaha mencari cara-cara inovatif dalam upaya meningkatkan penampilan diri yang lebih efektif. Dosen efektif adalah dosen yang mampu membantu peserta didik memperoleh yang terbaik dari pembelajaran yang dikelolanya (Cruickshank, Bainer, & Metcalf, 1999}, atau dosen yang berhasil membawa peserta didik dapat

menguasai kemampuan yang

menjadi tujuan pembelajaran (Crowl, Kaminsky, & Podell, 1997; Evans dan Nation, 2000). Dalam hal ini, faktor kemampuan dosen dalam memotivasi peserta didik untuk memperoleh sesuatu yang terbaik dari proses belajar yang dijalaninya

merupakan hal yang sangat

mendasar. Dosen dituntut

kemampuannya untuk menciptakan

suasana kelas sebagai “masyarakat belajar” yaitu tempat para peserta

didik datang dengan maksud utama untuk belajar, bekerja sama dengan dosen dan seluruh teman sekelasnya untuk meraih kesuksesan. Untuk menciptakan suasana kelas seperti

itu, dosen dalam mengelola

pembelajaran harus pandai

memimpin, bukan memerintah, selama proses pembelajaran. Sebagai pemimpin, dosen harus memberikan penguatan bukan menghukum; dosen lebih banyak menunjukkan bukan menceritakan; dosen harus mampu memberdayakan peserta didik dan mengutamakan kerja sama, bukan memaksakan otoritasnya, sehingga rasa tanggung jawab tiap peserta didik dapat ditumbuhkan. Dengan menciptakan suasana kelas seperti itu, setiap peserta didik akan merasa aman, nyaman, dan dihargai sehingga mendorong tumbuhnya ikatan emosional yang positif pada diri peserta didik dengan dosen dan kampus yang pada gilirannya akan mendorong tumbuhnya motivasi belajar dan motivasi berprestasi (Brophy, 1998).

Pembelajaran yang Efektif

(13)

kemampuan mengatur pembelajaran sedemikian rupa agar mahasiswa mencurahkan waktu yang cukup terlibat aktif dalam proses belajar; (e) komitmen pada standar profesi: orientasi pada capaian hasil belajar yang tinggi bagi peserta didik; (f) komitmen pada standar etika; (g) strategi analitik dan gaya reflektif; (h) kepercayaan diri pada kemampuan menjalankan tugas; (i) kemampuan berkomunikasi dengan bahasa simbol; (j) kepercayaan bahwa peserta didik memiliki kemampuan untuk belajar; (k) kehangatan, antusiasme, dan kepedulian terhadap peserta didik

Kemampuan memonitor

perkembangan peserta didik; (l) kemampuan memberikan umpan balik berdasarkan hasil pengukuran dan evaluasi; (m) memiliki

kreativitas; (n) kemampuan

membangkitkan minat dan motivasi peserta didk, dan (p) kemampuan merumuskan tujuan pembelajaran dengan jelas dan kemampuan menyampaikannya kepada peserta didik.

Kompetensi dan aspek

psikologik yang harus dikuasai dan atau dimiliki dosen yang efektif tersebut, diringkas oleh Elliott, Kratochwill, Cook, & Travers (2000) ke dalam tiga hal pokok yang harus mereka kuasai, yakni: (1) penguasaan aspek-aspek didaktik-paedagogik, (2) penguasaan bidang studi yang akan diajarkan; dan (3) penguasaan metode atau teknik mengajarkan bidang studi tersebut. Atau versi dosen di Indonesia, seorang dosen harus memiliki kompetensi pedagogik, kompetensi kepribadian, kompetensi profesional,

dan kompetensi sosial (PP Nomor 19/2005 pasal 28 ayat 3).

Sedangkan untuk memilih metode atau teknik mengajar terbaik yang akan digunakan, Hergenhahn dan Olson (1997) memberikan kriteria bahwa teknik mengajar yang terbaik adalah teknik mengajar yang dapat digunakan untuk mencapai tujuan pembelajaran secara paling efektif dan efisien. Untuk dapat mengukur keefektifan dan efiesiensi tersebut, syaratnya adalah adanya tujuan pembelajaran yang dapat diukur pula. Pada sisi lain Cole dan Chan (1994) mengemukakan sebuah model mengenai prinsip-prinsip mengajar yang efektif yang telah teruji untuk berbagai bidang studi dengan ukuran keberhasilan tingginya prestasi belajar peserta didik apabila dosen menerapkan model tersebut. Inti model ini menyebutkan bahwa kunci utama agar dapat mengajar efektif adalah pemahaman yang baik atas nilai-nilai yang terkandung dalam prinsip-prinsip dan teori-teori tentang belajar- mengajar serta penerapannya dalam praktik. Prinsip-prinsip dalam model ini terdiri dari tiga tingkatan. Prinsip tingkat pertama adalah kemampuan berkomunikasi. Tingkat kedua mencakup kemampuan: (1) membuat perencanaan dan persiapan,

(2) menjelaskan dan

(14)

perlunya tindakan atau peran profesional dosen dalam memberi kuliah di dalam kelas.

Di samping metode yang sudah sering digunakan yakni metode ceramah atau ceramah bervariasi, berbagai pendekatan, strategi, metode, atau teknik lain

yang akan digunakan dalam

melaksanakan pembelajaran di kampus harus lebih dikenali, dipahami, dan ditetapkan untuk dipilih yang paling tepat untuk

membawa mahasiswa mencapai

tujuan pembelajaran yang telah dirumuskan. Di luar metode ceramah atau ceramah bervariasi beberapa pendekatan, strategi, metode, dan teknik dapat dipertimbangkan untuk digunakan antara lain: (a) belajar dengan kerja sama (cooperative learning), dengan metode ini para peserta didik diharapkan dapat saling membantu satu sama lain, berdiskusi, saling berargumentasi, saling mengisi kekurangan satu sama lain (Slavin, 1995); (b) belajar berbasis pemecahan masalah (problem-based learning), antara lain dengan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi (Naidu, Cunnington, & Jasen, 2002); problem-based learning dapat digunakan untuk banyak bidang studi baik bidang sosial maupun nonsosial (Boud & Feletti, 1997); (c) pendekatan kolaboratif untuk mendorong peserta didik belajar secara mendalam untuk

memperoleh

kemampuan-kemampuan tingkat tinggi seperti kemampuan berpikir kritis dan belajar bagaimana seharusnya belajar

sehingga dapat dihindarkan

terjadinya miskonsepsi mengenai hal-hal yang dipelajari (Evan & Nation, 2000); (d) belajar kelompok,

dalam rangka membangun kerja sama dan saling memahami satu sama lain (Mulder, Swaak, & Kessels, 2002); (e) belajar bermedia teknologi (technology-mediated learning), misalnya yang diterapkan dalam Best Practices in Technology-Mediated Learning in American Business Education (Gemeinhardt, 2002); (f) model simulasi bisnis dengan multimedia interaktif, misalnya seperti yang digunakan dalam Human Resources Skills: Learning through an Interactive Multimedia Business Simulation yang berhasil meningkatkan

pemahaman tentang proses

penjaringan karyawan dan proses pengambilan keputusan (Klassen & Drummond, 2000); (g) pendekatan konstruktivistik untuk mendorong peserta didik tidak hanya pasif menerima informasi melainkan aktif membangun ilmu pengetahuan; (h) pendekatan pembelajaran dengan penggunaan bahan ajar tertulis yang dikembangkan berdasarkan model Dick dan Carey disertai penggunaan advance organizer; (i) pendekatan pembelajaran dengan penggunaaan

bahan ajar tertulis yang

dikembangkan berdasarkan model Dick dan Carey dengan disertai penggunaan strategi-strategi kognitif;

(j) pendekatan observasi

berpartisipasi (observation participation approach), misalnya yang diterapkan dalam Observation Participation Approach mata ajaran Pengantar Ilmu Politik; (k)

model-modsel lain yang dapat

dikelompokkan ke dalam model sosial, model personal, model pengolahan informasi, dan model

(15)

belajar aktif yang lain lagi, baik untuk memulai pelajaran, maupun untuk belajar tentang pengetahuan, keterampilan, dan sikap.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Sumber daya insani

profesional dan unggul yang mempunyai daya saing dengan dunia kerja merupakan tuntutan harus dipenuhi oleh penyelenggaraan pendidikan. Hal ini pada hakikatnya

merupakan tujuan

diselenggarakannya

program-program pendidikan di setiap satuan pendidikan. Untuk menghasilkan

lulusan yang unggul atau

berkualitas/profesional diperlukan pembelajaran yang berkualitas. Penyelenggaraan pembelajaran yang berkualitas memerlukan lembaga pendidikan yang memfungsikan dirinya sebagai organisasi belajar,

memerlukan manajemen yang

efektif, memerlukan dosen yang efektif, dan memerlukan peserta didik yang aktif dan efektif dalam proses belajarnya.

Dosen yang efektif adalah salah satu kunci keberhasilan pembelajaran. Untuk dapat mengajar yang efektif, maka dosen yang bersangkutan harus memahami metodologi pembelajaran, strategi pembelajaran dan menjadikan dirinya menjadi manusia pembelajar.

Saran

Berdasar keseluruhan uraian tersebut, dikedepankan saran-saran kepada berbagai pihak sebagai

berikut: Pertama, pihak

manajemen/pengelola perguruan tinggi tidak sedikit yang kurang

memberikan motivasi agar para dosen melakukan proses perkulihan yang lebih efektif, maka sebaiknya pihak manajemen senantiasa memberikan dorongan dan motivasi

kepada para dosen untuk

meningkatkan kualitas pembelajaran. Kedua, masih banyak dosen yang belum menerapkan pembelajaran yang efektif, maka sebaiknya para dosen mulai menggunakan metode dan strategi yang lebih baik. Ketiga, banyak mahasiswa yang tidak berani mengutarakan pendapat jika seorang dosen tidak kreatif dan inovatif dalam perkuliahan, sehingga dosennya pun tidak mengetahui kekurangan. Sebaiknya, mahasiswa diharapkan berani memberikan umpan balik atau masukan kepada dosen tersebut, agar ada perbaikan.

DAFTAR PUSTAKA

Andrik Purwasito. 2003. Inovasi Pengembangan Metode Pembelajaran: Observation Participation Approach Mata Ajaran Pengantar Ilmu Politik. Ringkasan Laporan Teaching Grant Proyek QUE Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sebelas Maret Tahun 2002.

Ary Ginanjar Agustian. 2002. Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual: ESQ. Jakarta: Penerbit Arga.

(16)

Universities. London: The Falmer Press.

Banathy, Bela H. 1991. Systems Design of Education: A Journey to Create the Future. Englewood Cliffs,

N. J.: Educational

Technology Publications.

Borich, Gary D. 1996. Effective Teaching Methods. 3rd Ed. Englewood Cliffs, N. J.: Prentice Hall Inc.

Cole, Peter G., & Lorna Chan. 1994. Teaching Principles and Practice. 2nd Ed. New York: Prentice Hall

Cruickshank, Donald R., Deborah L. Bainer, & Kim K. Metcalf. 1999. The Act of Teaching. 2nd Ed. Boston: McGraw-Hill College.

Daniel, John S. 1999. Mega-Universities and Knowledge Media: Technology Strategies for Higher Education. London: Kogan Page.

Eble, Kenneth E., & Wilbert J.

McKeachie. 1986.

Improving Undergraduate Education through Faculty Development. San Francisco: Jossey-Bass Publishers.

Edwards, Richard. 1997. Changing Places: Flexibility, Lifelong Learning and a Learning Society. London: Routledge.

Elliott, Geoffrey. 1999. Lifelong Learning: The Politics of the New Learning Environment. London: Jessica Kingsley Publishers.

Evans, Terry, & Daryl Nation. 2000. Changing University Teaching: Reflection on Creating Educational Technologies. London: Kogan Page.

Gagne, Robert M. 2000. “Mastery

Learning and Instructional

Design.” Dalam Rita C.

Richey (Ed.). The Legacy of Robert Gagne. Syracuse: ERIC-Clearinghouse.

Gardner, Howard. 2000. The Disciplined Mind. New York: Penguin Putnam, Inc.

Guns, Bob, & Kristin Anundsen. 1996. The Faster Learning Organization: Gain and Sustain the Competitive

Edge. Johannesburg:

Pfeiffer Company.

Havelock, Ronald G., & Steve

Zlotolow. 1995. The

Change Agent’s Guide. 2nd Ed. Englewood Cliffs, N.J.: Educational Technology Publications.

Henson, Kenneth T., & Ben F. Eller.

1999. Educational

Psychology for Effective Teaching. Belmont, CA:

Wadsworth Publishing

(17)

Hoy, Charles, Colin Bayne-Jardine, & Margaret Wood. 2000. Improving Quality in Education. London: Falmer Press.

Joice, Bruce, Marsha Weil, & Emily Calhoun. 2000. Models of Teaching. 6th Ed. Boston: Allyn and Bacon.

Kember, David. 2000. Action Learning and Action Research: Improving the Quality of Teaching and Learning. London: Kogan Page.

Komaruddin. 1994. “Iptek dan

Peningkatan Kualitas

Sumberdaya Manusia”.

Sintesis. Nomor 10 Tahun ke-2. (Pp. 58-64).

Malone, Samuel A. 1997. How to Set Up and Manage a Corporate Learning Centre. Brookkfield: Gower.

Mansell, Robin, & Uta When. 1998. Knowledge Societies: Information Technology for Sustainable Development.

New York: Oxford

University Press.

Marlowe, Bruce A., & Marilyn L. Page. 1998. Creating and

Sustaining the

Constructivist Classroom. Thousand Oaks, CAL.: Corwin Press, Inc.

Ornstein, Allan C., & Thomas J. Lasley, II. 2000. Strategies for Effective Teaching.

Boston: McGraw-Hill

Higher Education.

Raka Joni, T. 1992. Pokok-pokok Pikiran Mengenai Pendidikan Guru. Jakarta:

Konsorsium Ilmu

Pendidikan – Ditjen Dikti Depdikbud.

Silberman, Mel. 1996. Active Learning: 101 Strategies to Teach Any Subject. Boston: Alyn and Bacon.

Slavin, Robert E. 1995. Cooperative Learning: Theory, Research, and Practice. 2nd. Ed. Boston: Allyn and Bacon.

Gambar

Gambar 2 Paradigma Peningkatan Kualitas  Proses Belajar Mengajar

Referensi

Dokumen terkait

Dokumen perencanaan tersebut dapat berupa Master Plan, DED (Detail Engineering Design) , serta Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan. Sebagai pengembangan dari visi dan

Kemajuan ini sudah tentu hasil kerja Bank Indonesia perwakilan Ambon yang telah membaca dan mengamati bahwa tingkat tabungan potensial yang adalah kemampuan

Pada proses 2.2.3 delete dapat dilakukan oleh user untuk menghapus data model yang telah di-input user sebelumnya dengan cara memilih data yang ingin di hapus, lalu keluaran dari

Untuk menghindari kesalahfahaman dalam masalah yang akan di bahas, yaitu pengaruh teknik pembelajaran think-pair-share berbantu alat peraga puzzle venn terhadap kemampuan

[r]

Dengan melihat kecenderungan skor pada variabel kemampuan guru PAI, dapat disimpulkan bahwa variabel keterampilan mengelola kelas SMK Negeri 2 Kota Pangkalpinang termasuk

Peneliti akhirnya meminta bantuan kepada guru-guru tersebut untuk menunjukkan siapa saja guru ekonomi yang berasal dari lulusan Pendidikan Ekonomi UNY dan