• Tidak ada hasil yang ditemukan

Masalah perencanaan wilayah selatan ta

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Masalah perencanaan wilayah selatan ta"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

masalah perencanaan wilayah

Peran Penataan Ruang dalam Mewujudkan Kota Berkelanjutan di Indonesia

Kawasan perkotaan di Indonesia dewasa ini cenderung mengalami permasalahan yang tipikal, yaitu tingginya tingkat pertumbuhan penduduk terutama akibat arus urbanisasi sehingga menyebabkan pengelolaan ruang kota makin berat. Selain itu daya dukung lingkungan dan sosial yang ada juga menurun, sehingga tidak dapat mengimbangi kebutuhan akibat tekanan kependudukan. Permasalahan lainnya berkaitan dengan tingginya tingkat konversi atau alih guna lahan, terutama lahan-lahan yang seharusnya dilindungi agar tetap hijau menjadi daerah terbangun, yang menimbulkan dampak terhadap rendahnya kualitas lingkungan perkotaan. Lemahnya penegakan hukum dan penyadaran masyarakat terhadap aspek penataan ruang juga merupakan masalah seperti misalnya munculnya permukiman kumuh di bantaran sungai dan timbulnya kemacetan akibat tingginya hambatan samping di ruas-ruas jalan tertentu.

Data yang ada menunjukkan bahwa jumlah penduduk perkotaan di Indonesia menunjukkan perkembangan yang cukup pesat. Pada 1980 jumlah penduduk perkotaan baru mencapai 32,8 juta jiwa atau 22,3 persen dari total penduduk nasional. Pada tahun 1990 angka tersebut meningkat menjadi 55,4 juta jiwa atau 30,9 persen, dan menjadi 90 juta jiwa atau 44 persen pada tahun 2002. Angka tersebut diperkirakan akan mencapai 150 juta atau 60 persen dari total penduduk nasional pada tahun 2015.

Jumlah penduduk perkotaan yang terus meningkat dari waktu ke waktu tersebut akan memberikan implikasi pada tingginya tekanan terhadap pemanfaatan ruang kota, sehingga penataan ruang kawasan perkotaan perlu mendapat perhatian yang khusus, terutama yang terkait dengan penyediaan kawasan hunian, fasilitas umum dan sosial serta ruang-ruang terbuka publik (open spaces) di perkotaan.

(2)

Secara hirarkis, struktur pelayanan kota harus dapat mengakomodasi ruang terbuka publik dalam perencanaan tata ruang perkotaan pada setiap tingkatannya. Dari mulai lingkungan yang terkecil (RT/RW), kelurahan, kecamatan hingga tingkat metropolitan, unsur RTH yang relevan harus dapat disediakan.

Issue yang kita hadapi berkaitan dengan ruang terbuka publik atau ruang terbuka hijau secara umum terkait dengan beberapa permasalahan perkotaan, seperti menurunnya kualitas lingkungan hidup, yang dapat membawa dampak perubahan perilaku sosial masyarakat yang cenderung kontra-produktif dan destruktif, serta timbulnya bencana banjir dan longsor.

Dari aspek kondisi lingkungan hidup, rendahnya kualitas air tanah, tingginya polusi udara dan kebisingan di perkotaan, merupakan hal-hal yang secara langsung maupun tidak langsung terkait dengan keberadaan RTH secara ekologis. Kondisi tersebut secara ekonomis juga dapat menurunkan tingkat produktivitas, dan menurunkan tingkat kesehatan serta tingkat harapan hidup masyarakat, bahkan menyebabkan kelainan genetik dan menurunkan tingkat kecerdasan anak-anak pada generasi mendatang akibat exposure terhadap polusi udara yang berlebihan. Selain itu dari aspek perilaku sosial, tingginya tingkat kriminalitas dan konflik horizontal di antara kelompok masyarakat perkotaan secara tidak langsung juga disebabkan oleh kurangnya ruang-ruang kota yang dapat menyalurkan kebutuhan interaksi sosial dan pelepas ketegangan (stress releaser) yang dialami oleh masyarakat perkotaan. Di samping itu tingginya frekuensi bencana banjir dan tanah longsor di perkotaan dewasa ini juga diakibatkan karena terganggunya sistem tata air karena terbatasnya daerah resapan air dan tingginya volume air permukaan (run-off).

Sementara itu secara teknis, issue yang menyangkut penyelenggaraan RTH di perkotaan antara lain menyangkut kurangnya optimalisasi penyediaan RTH baik secara kuantitatif maupun kualitatif, lemahnya kelembagaan dan SDM, kurangnya keterlibatan stakeholder dalam penyelenggaraan RTH, serta terbatasnya ruang/ lahan di perkotaan yang dapat digunakan sebagai RTH.

Kurangnya optimalisasi ketersediaan RTH terkait dengan kenyataan kurang memadainya proporsi wilayah yang dialokasikan untuk ruang terbuka, maupun rendahnya rasio jumlah ruang terbuka per kapita yang tersedia. Hal ini menyebabkan rendahnya tingkat kenyamanan kota, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat dan secara tidak langsung menyebabkan hilangnya nilai-nilai budaya lokal (artefak alami dan nilai sejarah).

(3)

Dengan pengembangan kawasan agropolitan, di desa dikembangkan sarana produksi untuk mengolah bahan baku yang dihasilkan di desa tersebut, sehingga di desa tersebut akan terjadi nilai tambah yang pada akhirnya akan meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Selain melalui pengembangan sarana produksi, juga dikembangkan sarana dan sarana pendukung lainnya, sehingga kawasan perdesaan tersebut akan menjadi kawasan perkotaan yang bernuansa pertanian.

(4)

Globaliisasi Dan Tata Ruang Wiilayah Dan Kota:Darii Era Boom Ekonomii Ke Otonomii Daerah Dan Desentraliisasii Fiiskal

Di masa silam, tata ruang serta perkembangan wilayah dan kota lebih dipandang sebagai fenomena internal saja, namun kini dengan semakin terintegrasinya perekonomian secara global, harus diakui bahwa tata ruang bukanlah suatu fenomena internal semata, tetapi dinamikanya sangat dipengaruhi faktor-faktor global.

Mungkin tidak terbayang sekitar 30 tahun yang lalu, bahwa gejala globalisasi ekonomi akan melanda dunia dengan sangat hebat, memasuki abad 21. Globalisasi, yang pada dasarnya ditandai dengan bebasnya aliran, modal, manusia, barang, serta informasi, pada gilirannya telah membawa implikasi semakin terintegrasinya sistem sosioekonomi dan politik secara global. Seperti dikemukakan Castells (1996) bahwa space of places telah berubah menjadi space of flows. Tentu saja, hal ini, berdampak luar biasa pada negara sedang berkembang, seperti Indonesia, sehingga masalah pembangunan yang dihadapi negara sedang semakin rumit.

(5)

yang berbatasan secara langsung, misalnya Hongkong (sebelum manjadi bagian dari Cina) dengan beberapa Propinsi di Cina Selatan, seperti Ghuang Zhu; Mexico dengan Amerika Serikat, khususnya disekitar negara bagian Texas dan California; dan Segitiga Pertumbuhan (Growth Triangle) Sijori (Singapura-Johor-Riau).

Globalisasi telah mengakibatkan restrukturisasi kota dan wilayah di dunia (Knock, 1994; Sassen, 1994). Kota dan wilayah terintegrasi dalam suatu jejaring (networks), satu dengan lainnya terkait erat. Namun kota dan wilayah yang terimbas serta terintegrasi ke dalam jejaring itu bersifat selektif, artinya tidak semua kota atau wilayah mempunyai kesempatan sama dapat masuk kedalam jejaring tersebut. Hanya kota dan wilayah yang memiliki keunggulan (competitiveness) yang dapat masuk. Sementara itu, persaingan antarkota dan wilayah untuk menarik investasi, terjadi dalam jejaring tersebut. Artinya, fungsi srta peran kota dan wilayah bisa naik-turun sesuai kinerjanya. Proses ini, pada gilirannya, berdampak pada restrukturisasi tata ruang kota dan wilayah.

Berdasarkan uraian tersebut, maka dalam tulisan ini akan dikemukakan sejauh mana globalisasi telah mempengaruhi tata ruang di Indonesia, khususnya pada periode dua dasawarsa terakhir. Lebih spesifik lagi, dibahas tentang implikasi globalisasi pada perkembangan serta tata ruang wilayah dan kota pada masa boom ekonomi (1980 sampai pertengahan 1990an), krisis ekonomi (1998- 2000) dan pasca krisis (era otonomi daerah dan desentralisasi fiskal).

(6)

Kawasan pusat kota secara besar-besaran juga mengalami pergeseran fungsi, dari pusat industri manufaktur menjadi pusat kegiatan bisnis, keuangan dan jasa. Industri manufaktur bergeser ke arah tepi kota. Permukiman di pusat kota beralih fungsi menjadi kawasan bisnis, supermall, perkantoran dan sebagainya, sedangkanpermukiman begeser ke arah pinggir kota. Namun demikian perlu dicatat bahwa perkembangan kegiatan industri di tepi kota-kota besar merupakan industri yang bersifat footloose, yakni jenis industri yang keterkaitannya dengan bahan baku lokal serta perekonomian lokal sangat lemah, misalnya industri-industri barang elektronik, garmen, sepatu dan sebagainya, dimana bahan bakunya dipasok dari luar negeri. Keterkaitan dengan ekonomi lokal hanya sebatas penyediaan tenaga kerja murah.

Tidak mengherankan pula kalau arus migrasi menuju kotakota besar semakin meningkat, terutama buruh wanita yang bekerja di industri-industri tersebut, yang pada gilirannya menyebabkan pertambahan pesat penduduk di kota-kota tersebut, terutama di bagian tepinya (Firman, 2003). Untuk kasus Jabotabek, hal tersebut ditunjukkan dengan sangat tingginya laju pertambahan penduduk di kabupaten dan kota sekitar Jakarta, seperti Tangerang, Bekasi, dan Depok. Sementara itu pertambahan penduduk di Kota Jakarta sendiri relatif sangat kecil, bahkan Sensus Penduduk 2000 memperlihatkan bahwa laju pertambahan penduduk wilayah Jakarta Pusat selama kurun 1990-2000 menunjukkan angka yang negatif (BPS, 2000).

(7)

Wujud tata ruang perkembangan wilayah dan kota di Jawa ditandai dengan semakin intensifnya hubungan kota-desa. Perbedaan kota dan desa secara fisik semakin tidak jelas. Demikian juga kegiatan sosio-ekonomi masyarakat perdesaan tidak selalu indentik dengan agraris (pertanian), tapi sudah merupakan suatu campuran dengan kegiatan bukan pertanian. Kehidupan masyarakat perdesaan juga diwarnai dengan semakin berkembangnya kegiatan off-farm employment. Hal ini dikarenakan semakin terbukanya kesempatan-kesempatan kerja di luar pertanian, sementara sempitnya lahan pertanian yang mereka miliki tidak memungkinkan dijadikan sebagai gantungan kehidupan sepenuhnya.

Dapat pula diamati bahwa perkembangan sosioekonomi serta fisik kawasan-kawasan tepi kota telah membentuk kecenderungan perkembangan sabuk (belt) wilayah perkotaan yang menghubungkan kota-kota besar, seperti misalnya sabuk Jakarta-Bandung; Semarang-Solo-Yogyakarta; Semarang-Surabaya dan lainnya. Perkembangan ini berjalan seolah tanpa kendali, karena memang rencana tata ruang hampir-hampir tidak berdaya mengendalikannya.

Di wilayah luar Jawa yang menonjol adalah perkembangan wilayah Pulau Batam yang melaju pesat. Tidak mengherankan hal ini terjadi, karena Batam merupakan bagian dari Segitiga Pertumbuhan Sijori (Singapura-Johor-Riau). Kelangkaan lahan di Singapura, menyebabkan investor menanamkan investasinya di Batam. Proses ini ditunjang kerja sama Singapura, Malaysia dan Indonesia. Pada gilirannya, hal ini menyebabkan Batam berkembang menjadi suatu konsentrasi kegiatan industri di luar Pulau Jawa. Sementara itu, Batam juga mengalami laju pertumbuhan penduduk pesat, yakni 15,6% per tahun dalam kurun waktu tahun 1990-2000 (Badan Pusat Statistik, 2000), karena derasnya laju pendatang yang tertarik kesempatan kerja di sana, terutama dari Pulau Jawa. Hal ini merupakan salah satu penyebab munculnya berbagai masalah perkotaan di Batam, seperti rumah liar (ruli), kriminalitas dan lainnya.

(8)

Hal ini mencerminkan berkembangnya kegiatan ekonomi pada sektor minyak dan gas bumi, serta sumberdaya mineral, yang pada dasarnya digerakkan investasi dari luar negeri. Ini pun mencerminkan bagaimana aliran investasi, sebagai bagian dari globalisasi, mempengaruhi perkembangan di Propinsi tersebut, dan tata ruang nasional. Perkembangan ini pada gilirannya telah mendorong pertumbuhan kota Balikpapan dan Samarinda.

Propinsi lain yang berkembang pesat karena dampak global, antara lain, Bali dan Sumatera Utara. Bali yang merupakan salah satu pusat tourisme dunia, telah mencapai tingkat urbanisasi hampir 50% pada tahun 2000, yang berarti dalam sekitar setengah penduduk Bali bermukim di kawasan yang dikategorikan sebagai urban. Sementara itu, laju pertumbuhan penduduk Kabupaten Badung yang merupakan lokasi perhotelan dan kegiatan pariwisata lainnya mencapai 2,77% per tahun selama kurun waktu tahun 1990- 2000. Perkembangan kegiatan ekonomi di Bali sangat bergantung pada sektor pariwisata. Jelas bahwa setiap goncangan yang berdampak pada pariwisata, seperti misalnya terorisme atau wabah penyakit, berdampak pada perkembangan ekonomi di Bali. Contohnya, peristiwa Bom Bali 12 Oktober 2002 berdampak buruk pada perekonomian Bali. Sementara itu, Propinsi Sumatera Utaraperkembangan ekonominya ditunjang potensi perkebunan, khususnya kelapa sawit.

Referensi

Dokumen terkait

Dititrasi natrium thiosulfat dengan kalium iodide sampai terjadi perubahan warna kuning hamper hilang dan kemudian ditambahkan 1 ml indicator

Saya sering tertarik pada apa yang ada di dapur tersebut karena walaupun keadaannya berantakan, makanan enak yang disajikan di bagian depan warung dihasilkan dari dalam sana.. Fasad

Pada umunya pola subduksi pada tiap segmen irisan menunjukkan pola penunjaman pendek karena kejadian gempa paling banyak pada daerah dengan kedalaman dangkal,

Hal-hal yang diperlukan pada pengujian ini adalah posisi tempat (lintang dan bujurnya), rumus arah kiblat, dan software QiblaLocator. Pada tabel 4 di bawah adalah

Perubahan tutupan/penggunaan lahan periode 2004-2012 menunjukkan adanya trend peningkatan dan penurunan luasan. Peningkatan luasan terjadi pada beberapa jenis

Ducting yang satu ini mirip dengan fresh air ducting, yang membedakan adalah fungsinya yaitu sebagai jalur pembuangan udara dari AHU (Air Handling Unit) hasil

Perhitungan sebelumnya menggunakan cara manual didapatkan hasil sebagai berikut: dinding basement dinyatakan aman dan dapat digunakan sebagai dinding penahan tanah karena

Data primer diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah terstruktur dengan tujuan untuk mengumpulkan informasi dari auditor atau