• Tidak ada hasil yang ditemukan

Edema Paru pada gagal jantung

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Edema Paru pada gagal jantung "

Copied!
43
0
0

Teks penuh

(1)

REFERAT STASE RADIOLOGI

RSUD PACITAN

I. DEFINISI

Edema merupakan akumulasi cairan di dalam tubuh. Kata edema atau pembengkakan tubuh lebih tepat jika disebut sebagai limfadema, hal ini dikarenakan peningkatan cairan interstitial biasanya disebabkan oleh blockade limfonodi (Walsh, 2008). Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru (ruang interstitial dan alveolus). Cairan ini memenuhi alveolus di dalam paru-paru yang menyebabkan seseorang sulit untuk bernafas. Penyebab tersering edema paru disebabkan oleh permasalahan jantung. Namun, akumulasi cairan di dalam paru dapat disebabkan oleh beberapa alasan diantaranya adalah pneumonia, beberapa racun, maupun obat-obatan. Edema paru yang terjadi secara akut merupakan kondisi kegawatan medis yang harus segera ditangani. Walaupun edema paru kadang merupakan kondisi yang fatal, namun penanganan yang tepat untuk edema paru dan kondisi yang mendasarinya dapat memberikan tingkat perbaikan yang tinggi. Terapi untuk edema paru sangat bervariasi, tergantung dari penyebab yang mendasarinya, namun secara umum terapi ini termasuk suplementasi oksigen dan pengobatan medikametosa (Mayo Clinic, 2012).

(2)

Menurut salah satu penelitian, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita edema paru di seluruh dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu pengobatan dan pengawasan secara komprehensif, di Amerika serikat diperkirakan 5,5 juta penduduk menderita edema paru, dan di Jerman sekitar 6 juta penduduk menderita edema paru. Penyakit edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, hingga sampai tahun 1980 seluruh propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan hasil dengan kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden terbesar terjadi pada tahun 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24 (tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).

II. ANATOMI

Edema paru merupakan kondisi yang disebabkan oleh akumulasi cairan di paru-paru. Edema pada paru biasanya terjadi di alveolus dan ruang interstitial diantara endotel kapiler darah dan dinding alveolus. Penyebab edema paru ini diantaranya adalah ketidakseimbangan tekanan hidrostatik dan onkotik, obstruksi sistem limfatik pulmonal, dan penyakit yang dapat merusak epitel kapiler ataupun alveolus.

2.1. Alveolus

(3)

terdiri dari fosfolipid dan lipoprotein. Surfaktan berfungsi menurunkan tekanan cairan alveolus, yang menurunkan tendensi alveolus untuk kolaps (Derrickson & Tortora, 2008).

Gambar 2. Anatomi Alveolus

(4)

proses difusi melalui dinding alveolus dan endotel, yang bersama disebut sebagai membrane pernafasan atau respiratory membrane. Jika dimulai dari rongga udara alveolus menuju ke plasma darah, membrane pernafasan terdiri dari empat lapisan. Lapisan pertama adalah dinding alveolus yang terdiri dari sel alveolar tipe1, 2, dan alveolar makrofag; lapisan kedua adalah epitel membrane basement yang berada di luar dinding alveolus; lapisan ketiga adalah membrane basement kapiler; dan lapisan terakhir adalah endotel kapiler. Walaupun terdiri dari beberapa lapisan, ketebalan lapisan ini hanya 0,5 µm sehingga difusi gas dapat terjadi. Perkiraan jumlah alveoli di dalam paru-paru adalah sekitar 300 juta alveoli (Derrickson & Tortora, 2008).

2.2. Ruang Intersitial Paru

(5)

Gambar 3. Alran Cairan Interstitial

Diantara sel endotel dan epitel, terdapat lubang atau penghubung yang memungkinkan aliran cairan dari ruang intravaskuler ke ruang interstitial, dan akhirnya dari ruang interstitial menuju ruang alveolar. Penghubung antara sel endotel biasanya lebih besar dan disebut loose, sedangkan penghubung antara sel epitel relative lebih kecil yang disebut tight. Untuk mengetahui bagaimana cairan interstitial paru diproduksi, disimpan, dan dibersihkan, maka kita harus mengetahui konsepnya. Konsep pertama adalah ruang interstitial paru merupakan terusan dari ruangan di antara jaringan ikat perianteriolar dan peribronchial yang berlanjut menjadi ruang interstitial di antara membrane basement endotel dan epitel di alveolus; kedua, tekanan negatifnya progresif dari distal ke proksimal (Chruchill Livingstone, 2010).

(6)

saluran limfa oleh mekanisme gradient tekanan, yang disebabkan karena tekanan ruang interstitial yang lebih negative di daerah arteri besar dan brokus. Aliran cairan interstitial yang menuju hilum dibantu oleh perbedaan tekanan negative, katub limfatik, dan pulsasi arteri pulmonalis. Cairan tersebut akhirnya diteruskan dari limfonodi ke sirkulasi vena sentral. Peningkatan tekanan vena sentral menurunkan aliran limfa di paru-paru, yang dapat menjadi faktor edema interstitial (Chruchill Livingstone, 2010).

III. KLASIFIKASI

(7)

Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru 3.1. Edema Paru Kardiogenik

(8)

Gambar 5. Klasifikasi Edema Paru Kardiogenik 3.1.1. Etiologi

Edema paru kardiogenik disebabkan karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru yang menyebabkan transudasi cairan ke dalam interstitium dan alveolus paru. Peningkatan tekanan atrium kiri, peningkatan tekanan vena paru, dan tekanan mikrovaskular paru dapat menyebabkan edema paru.

3.1.1.1. Obstruksi Aliran Atrium

Obstruksi aliran atrium dapat disebabkan karena stenosis katub mitral, atau dalam kasus yang jarang dapat disebabkan oleh myxoma atrium, thrombosis pada katub prostetik, atau adanya membrane kongenital di atrium kiri (contohnya, cor triatrium). Stenosis mitral sering disebabkan karena demam rematik, yang akhirnya dapat bermanifestasi sebagai edem paru. Penyebab lainnya terjadinya edem paru kardiogenik yang bersamaan dengan stenosis katub mitral adalah penurunan pengisian ventrikel kiri, yang dapat disebabkan oleh takikardia dan aritmia (penyebab tersering adalah atrial fibrilasi) (Henry & Sovari, 2012).

(9)

Disfungsi sistolik merupakan penyebab tersering terjadinya edem paru kardiogenik, hal ini didefinisikan sebagai penurunan kontraktilitas sel miokardium yang dapat menurunkan volume output jantung. Penurunan output jantung menstimulasi aktivitas simpatik dan meningkatkan volume darah dengan mengaktivasi sistem rennin-angiotensin-aldosteron yang nantinya akan menyebabkan penurunan waktu pengisian ventrikel kiri, dan peningkatan tekanan hidrostatik kapiler (Henry & Sovari, 2012).

Kegagalan ventrikel kiri kronis, biasanya disebabkan karena penyakit gagal jantung kongestif atau kardiomiopati. Penyebab eksaserbasi akut penyakit ini meliputi, infark miokard akut (IMA), pasien dengan ketidakpatuhan pembatasan diet garam, pasien dengan ketidakpatuhan mengkonsumsi obat diuretic, anemia berat, sepsis, thyrotoksikosis, myokarditis, toksin myocardial (alkohol, kokain, agen kemoterapi), penyakit katub jantung kronis, stenosis aorta, regurgitasi aorta, dan regurgitasi mitral (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.3. Disfungsi Diastolik Ventrikel Kiri

Infark dan iskemia dapat menjadi penyebab terjadinya disfungsi diastolic ventrikel kiri. Dengan mekanisme yang hampir sama, kontusio myocardial menyebabkan disfungsi baik sistolik maupun diastolic. Disfungsi diastolic merupakan pertana penurunan pada distensisitas atau compliance diastolic ventrikel kiri. Karena distensisitas ventrikel kiri menurun, peningkatan tekanan diastolic diperlukan untuk mendapatkan stroke volume yang normal. Meskipun kontraktilitas ventrikel kiri normal, penurunan output jantung dalam hubungannya dengan peningkatan tekanan akhir diastolic, menyebabkan timbulnya edema paru hidrostatik. Abnormalitas diastolic dapat pula disebabkan karena konstriksi pericarditis dan tamponade jantung (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.4. Disritmia

(10)

3.1.1.5. Hipertrofi dan Miopati Ventrikel Kiri

Hiperttofi dan miopati ventrikel kiri dapat meningkatkan kekakuan ventrikel kiri dan peningkatan tekanan akhir diastolic, yang nantinya akan menimbulkan edema paru yang terjadi karena peningkatan tekanan hidrostatik kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.6. Cairan Berlebih Ventrikel Kiri

Cairan berlebih dapat terjadi pada keadaan kardiak maupun non-kardiak. Kondisi kardiak dapat disebabkan karena rupturnya septum ventrikel, insufisiensi aorta akut maupun kronik, dan regurgitasi mitral akut maupun kronik. Endokarditis, disseksi aorta, rupture trauma, rupturnya fenestrasi katub kongenital, dan penyebab iatrogenic merupakan etiologi penting terjadinya regurgitasi akut aorta yang nantinya dapat menyebabkan edema paru (Henry & Sovari, 2012).

Ruptur septum ventrikel, insufisiensi aorta, dan regurgitasi mitral dapat menyebabkan peningkatan tekanan akhir diastolic ventrikel kiri dan peningkatan tekanan atrium kiri, dan dapat menjadi penyebab terjadinya edema paru. Obstruksi aliran ventrikel kiri, seperti pada kasus stenosis aorta, dapat menyebabkan peningkatan tekanan pengisian akhir diastolic, penignkatan tekanan atrium kiri, dan akhirnya terdapat peningkatan tekanan kapiler paru (Henry & Sovari, 2012).

Peningkatan retensi sodium dapat terjadi pada kasus disfungsi sistolik ventrikel kiri. Namun, dalam kondisi tertentu, seperti pada penyakit ginjal primer, retensi sodium, dan kelebihan cairan dapat memainkan peran utama terjadinya edema paru. Edema paru kardiogenik dapat pula terjadi pada pasien gagal ginjal yang memerlukan hemodialisis (Henry & Sovari, 2012).

3.1.1.7. Infark Miokardial

(11)

Stenosis akut pada katub aorta dapat menyebabkan edema paru. Namun, stenosis yang diakibatkan karena penyakit kongenital, kalsifikasi, disfungsi prostetik, atau penyakit rematik, biasanya berlangsung secara kronis dan dapat menimbulkan adaptasi hemodinamik pada jantung. Adaptasi hemodinamik ini diantaranya adalah hipertrofi ventrikel kiri, yang dapat menyebabkan edema paru karena disfungsi diastolic ventrikel kiri. Hipertrofi kardiomiopati merupakan penyebab obstruksi aliran dinamik ventrikel kiri (Henry & Sovari, 2012).

3.1.2. Patofisiologis

Kapiler pembuluh darah paru dan gas di dalam alveolus dipisahkan oleh membrane kapiler-alveolar. Membran ini terbagi menjadi tiga lapisan, lapisan pertama adalah endotel kapiler; lapisan kedua adalah ruang interstitial yang terdiri dari jaringan ikat, fibroblast, dan makrofag; dan lapisan terakhir adalah epitel alveolus. Pertukaran cairan normalnya terjadi diantara vascular bed dan ruang interstitium. Edema paru terjadi saat aliran cairan dari vaskuler ke dalam ruang interstitial meningkat (Henry & Sovari, 2012).

Hukum starling menentukan keseimbangan cairan diantara alveolus dan vascular bed. Aliran cairan yang melintas antar membrane ditentukan oleh persamaan:

Q = K (Pcap – Pis) – I (Pcap – Pis)

dimana Q adalah filtrasi cairan; K adalah koefisien filtrasi; Pcap adalah tekanan hidrostatik kapiler, yang cenderung untuk mendorong cairan keluar; Pis adalah tekanan hidrostatik cairan interstitial, yang cenderung untuk mendorog cairan ke kapiler; dan I adalah koefisien refleksi, yang menunjukkan efektivitas dinding kapiler dalam mencegah filtrasi protein; Pcap kedua adalah tekanan osmotic koloid plasma, yang cenderung menarik cairan ke kapiler; dan Pis kedua adalah tekanan osmotic koloid dalam cairan interstitial, yang menarik cairan keluar dari kepiler (Henry & Sovari, 2012).

(12)

paru yang terjadi karena peningkatan tekanan kapiler paru, maka tekanan kapiler parunya harus lebih tinggi dibandingkan dengan tekanan koloid osmotic plasma. Tekanan kapiler paru normalnya 8 – 12 mmHg, dan tekanan osmotic koloidnya adalah 28 mmHg (Henry & Sovari, 2012).

Sistem limfa memainkan pernana penting dalam menjaga agar cairan di paru selalu seimbang dengan cara membuang cairan, koloid, atau liquid dari ruang interstitial dengan kecepatan 10 – 20 mL/jam. Pada peningkatan tekanan kapiler arteri paru melebihi 18 mmHg, hal ini dapat meningkatkan filtrasi dari cairan ke dalam ruang interstitium, namun kecepatan pembuangan sistem limfa tidak ikut meningkat. Hal ini berbeda dengan peningkatan tekanan atrium kiri yang kronis, dengan kecepatan pembuangan sistem limfe bisa sampai 200 mL/jam, yang dapat memproteksi paru dari edema paru (Henry & Sovari, 2012).

3.1.3. Stadium

(13)

3.1.4. Manifestasi Klinis

Pasien dengan edema paru kardiogenik biasanya memiliki gejala klinis gagal jantung kiri. Pasien biasanya mengeluhkan sesak nafas yang tiba-tiba dan berat, rasa cemas, dan perasaan seperti tenggelam. Manifestasi klinis dari edema paru kardiogenik akut mencerminkan bukti adanya hipoksia dan peningkatan tonus simpatis. Pada pasien dengan edema paru kardiogenik, keluhan paling sering adalah sesak nafas dan diaphoresis atau keringat berlebihan. Pasien biasanya mengeluhkan dispneu saat aktifitas, ortopneu, dan paroksismal nocturnal dispneu. Batuk adalah keluhan yang sering dan dapat memberikan petunjuk awal adanya perburukan edema pada paru pasien dengan disfungsi ventrikel kiri yang kronis. Sputum berwarna pink dan berbusa mungkin dikeluhkan oleh pasien dengan penyakit yang parah. Kadang disertai suara serak dikarenakan gangguan di persarafan laring karena stenosis mitral atau hipertensi pulmonal. Nyeri dada harus diwaspadai oleh dokter sebagai kemungkinan untuk infark miokardial akut, atau diseksi aorta dengan regurgitasi aorta (Henry & Sovari, 2012).

3.1.5. Pemeriksaan Fisik

Temukan fisik pada pasien dengan edema paru kardiogenik didapatkan takipneu dan takikardi. Pasien mungkin duduk secara tegak untuk mendapatkan udara yang lebih. Selain itu pasien juga dapat menjadi gelisah, cemas, bingung, dan mengeluarkan banyak keringat. Hipertensi sering didapatkan karena adanya keadaan hiperadrenergik. Hipotensi menunjukkan disfungsi sistolik ventrikel kiri yang parah yang dapat merupakan kemungkinan adanya syok kardiogenik. Auskultasi paru-paru biasanya menunjukkan hasil normal, tapi ronki atau wheezing mungkin dapat terdengar. Pada auskultasi kardiovaskuler biasanya penting untuk mendengarkan adanya S3 pada jantung, penemuan adanya murmur dapat membantu dalam diagnosis gangguan katub akut. Stenosis aorta dikaitkan dengan murmur sistolik yang keras yang dapat terdengar baik sternum atas dan menjalar ke arteri karotis. Sebaliknya, regurgitasi aorta akut dapat ditemukan murmur diastolic yang lembut (Henry & Sovari, 2012).

(14)

menghasilkan S1 keras, dan gemuruh diastolik pada apeks jantung. Gejala klinis lain adalah kulit yang pucat atau bintik-bintik yang diakibatkan vasokonstriksi perifer. Pasien dengan gagal jantung ventrikel kanan mungkin dapat ditemukan hepatomegali, hepatojugular reflux, dan edema perifer. Edema paru kardiogenik parah mungkin terkait dengan perubahan status mental, yang dapat disebabkan oleh hipoksia atau hiperkapnia. Meskipun edema paru kardiogenik biasanya berhubungan dengan hipokapnia, hiperkapnia dengan asidosis respiratorik dapat dilihat pula pada pasien dengan edema paru kardiogenik parah atau penyakit obstruktif kronik yang mendasari (Henry & Sovari, 2012).

3.1.6. Pemeriksaan Penunjang 3.1.6.1. Pemeriksaan Laboratorium

Pemeriksaan laboratorium yang dapat digunakan dalam evaluasi pasien dengan penyakit edema paru kardiogenik adalah sebagai berikut; hitung darah lengkap, pemeriksaan ini digunakan untuk membantu dalam menilai apakah terdapat anemia berat, sepsis, atau infeksi yang dapat dinilai dari hitung leukosit; hitung elektrolit, pasien dengan CHF kronis sering mendapatkan terapi diuretic yang merupakan suatu predisposisi abnormalitas elektrolit, terutama hipokalemia dan hipomagnesia; BUN dan kreatinin, pemeriksaan ini digunakan untuk mengetahui apakah terdapat gagal ginjal dan mengantisipasi respon diuretic, pada disfungsi sistolik, penurunana BUN dan kreatinin merupakan pertanda adanya hipoperfusi dari ginjal; Oksimetri, pemeriksaan yang digunakan untuk mengetahui adanya hipoksia, pemeriksaan ini penting dalam memonitoring respon pasien untuk suplementasi oksigen dan terapi lainnya; analisis gas darah digunakan untuk melihat secara akurat saturasi oksigen (Henry & Sovari, 2012).

3.1.6.2. Elektrokardiografi

(15)

3.1.6.3. Ekokardiografi

Pemeriksaan ekokardiograf pada pasien dengan gagal jantung kronis sangat penting dilakukan sebagai pemeriksaan diagnosis untuk mengetahui etiologi dari edema paru. Ekokardiograf dapat digunakan untuk mengetahui fungsi dari sistolik maupun diastolic ventrikel kiri, gangguan fungsi katub, dan

Manajemen utama pada pasien dengan edema paru kardiogenik termasuk didalamnya adalah resusitasi ABC (airway, breathing, dan circulation). Oksigen seharusnya diberikan pada semua pasien untuk menjaga saturasi oksigen lebih dari 90%. Penyakit yang mendasari seperti aritmia atau infark miokard seharusnya diterapi dengan sesuai. Oksigen diberikan melalui face mask¸ CPAP, intubasi, dan ventilasi mekanis dapat dipilih tergantung dari keadaan hipoksemia dan asidosis, sertia kesadaran pasien (Henry & Sovari, 2012).

Tujuan manajemen dari edema paru kardiogenik adalah, pertama penurunan venous return paru (preload reduction), penurunan resistensi vascular sistemik (afterload reduction), dan penggunaan obat inotropik. Reduksi preload digunakan untuk menurunkan tekanan hidrostatik kapiler paru dan penurunan transudari cairan ke dalam ruang interstitium dan alveolus paru. Reduksi afterload digunakan untuk meningkatkan cardiac output dan meningkatkan perfusi ke ginjal, sehingga dieresis dapat berjalan pada pasien dengan kelebihan cairan (Henry & Sovari, 2012).

(16)

oksigen serta pada pasien dengan distress pernafasan memerlukan bantuan ventilasi (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.1. Ultrafiltrasi

Ultrafiltrasi cairan merupakan prosedur membuang cairan yang sangat berguna pada pasien dengan disfungsi ginjal dan pada pasien dengan resistensi diuretic (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.2. Intra-aortic Balloon Pumping

Intra-aortic balloon pumping dapat digunakan untuk menstabilasi hemodinamik pada pasien sebelum dimulainya terapi definitive. Fungsi dari intra-aortic balloon pumping ini adalah menurunkan afterload, saat diatol balon ini gunakan untuk meningkatkan aliran darah koroner (Henry & Sovari, 2012).

3.1.7.3. Diet

Pasien dengan gagal jantung atau edema paru seharusnya diberikan diet rendah garam untuk menurunkan retensi cairan. Selain itu, keseimbangan cairan seharusnya juga dimonitor (Henry & Sovari, 2012).

3.2. Edema Paru Non-Kardiogenik

Edema paru non-kardiogenik adalah edema yang disebabkan karena perubahan permeabilitas dari membrane kapiler paru yang mengakibatkan keadaan patologis baik secara langsung maupun tidak langsung. Edema paru non-kardiogenik dapat disebut juga sebagai respiratory distress syndrome. RDS yang ringan disebut sebagai acute lung injury, dan RDS yang berat disebut sebagai acute respiratory distress syndrome. Edema paru non-kardiogenik mempunyai karakteristik kerusakan alveolus difus yang ditandai dengan peningkatan permeabilitas membrane kapiler alveolus dan juga akumulasi cairan yang kaya protein di ruang alveolus.

3.2.1. Etiopatologi

(17)

atau reekspansi edema), edema neurogenik, vaskulitis, dan peningkatan edema paru. Sebagai contoh, penyebab penurunan tekanan alveolus adalah karena obstruksi saluran nafas atas seperti paralisis laring, penyebab peningkatan permeabilitas adalah leptospirosis dan ARDS, sedangkan edema neurogenik disebabkan oleh epilepsy, trauma otak, maupun elektrolusi. Penurunan tekanan alveolus mungkin juga terjadi setelah pleurosentesis, pneumotorax, obstruksi saluran nafas atas (sindroma brachycephalic, paralisis laring, ataupun kolaps trakeal). Pada neurogenik edema, secara patofisiologi terjadi karena peningkatan aktivasi simpato-andregenik di medulla oblongata. Hal ini berpengaruh pada konstriksi vena paru yang membuat darah mengalir lebih banyak dari sistemik ke sirkulasi pulmonal, hal ini akan menyebabkan peningkatan tekanan hidrostatis yang akhirnya dapat menyebabkan edema. Peningkatan permeabilitas vaskuler menjadi masalah besar penyebab edema paru non-kardiogenik. Hal ini diakibatkan karena kerusakan berat dan difus pada parenkim paru, yang menyebabkan permeabilitas endotel dan epitel terganggu, sehingga menyebabkan cairan yang kaya akan protein keluar (Glaus, 2012).

(18)

Menurut penyebabnya, edema paru non-kardiogenik dibagi menjadi penyebab langsung dan penyebab tidak langsung. Penyebab langsung dari edema paru non-kardiogenik adalah aspirasi, injuri inhalasi, kontusio pulmonal, infeksi difus paru. Sedangkan penyebab tidak langsung dari edema paru non-kardiogenik ini adalah sepsis, syok sepsis, overdosis obat, pancreatitis, uremia, dan koagulopati. Penyebab langsung berarti etiologi tersebut menyebabkan kerusakan langsung pada epitel alveolus, sedangkan penyebab tidak langsung berarti kerusakan epitel terjadi karena dampak tidak langsung atau karena penyebaran mediator inflamasi secara hematogen. Peneybab tersering terjadinya edema paru non-kardiogenik adalah infeksi difus paru (direk) dan sepsis (indirek) (Perina, 2003).

Gambar 7. Toxin Penyebab Tersering Non-Kardiogenik

(19)

Kerusakan sel ini akan mengeakibatkan permeabilitas vascular meningkat, yang menyebabkan akumulasi cairan berisi protein di alveolus, dan akhirnya akan membentuk membrane hialin yang berisi fibrin atau protein. Selain itu, kerusakan sel dapat menimbulkan penurunan produksi surfaktan yang menyebabkan alveolus dapat kolaps yang akhirnya akan menurunkan compliance paru yang menyebabkan peningkatan usaha untuk bernafas sehingga timbul distress respirasi (Perina, 2003).

3.2.2. Manifestasi Klinis

(20)

terdapat infiltrate difus bilateral, ataupun infiltrate alveolus. Gambaran jantung biasanya normal (Perina, 2003).

3.2.4. Tata Laksana

Pada awal terjadinya kerusakan, mungkin pasien tidak mengeluhkan adanya gejala dan tanda gangguan pernafasan. Tanda awal adalah terjadinya peningkatan frekuensi pernafasan yang diikuti oleh dispneu. Analisis gas darah arteri sebaiknya dilakukan untuk melihat tipe dan derajat abnormalitas pertukaran darah. Pada pasien dengan hipoksemia (PO2 <60 mmHg) tanpa hiperkapnia, dapat diberikan oksigen yang diberikan melalui nasal prongs atau venture mask dengan reservoir. Jika hiperkapnia terjadi maka tata laksananya adalah dengan ventilasi mekanis (Kakauros & Stravros, 2003).

3.2.4.1. Ventilasi Mekanis

Ventilasi mekanis merupakan tatalaksana yang dibutuhkan untuk pasien dengan edema paru non-kardiogenik. Jika hipoksemia tidak dapat dikoreksi dengan menggunakan ventilasi mekanis, maka dapat digunakan positive end-expiratory pressure atau PEEP. Pada kondisi ini PEEP yang digunakan adalah 5 -10 cm H20. Fungsi dari PEEP adalah untuk menghindari kolaps alveolus. PEEP juga dapat meningkatkan FRC dan menghindari risiko dari kerusakan paru lanjutan. Walaupun penggunaan PEEP efektif dalam meningkatkan oksigenasi pada pasien, namun risiko komplikasi juga akan bertambah saat digunakan bersama dengan alat mekanis lainnya. Penggunaan PEEP dengan tekanan yang sangat tinggi mungkin dapat menyebabkan komplikasi berupa edema alveolar yang bertambah, penurunan curah jantung, dan penurunan tekanan serta aliran darah ke ginjal. Komplikasi lainnya penggunaan PEEP adalah barotrauma, yang insidensinya 5-15% dan berupa pneumomediastinum, pneumothorax, dan emfisema subkutaneus (Kakauros & Stravros, 2003).

IV. GAMBARAN RADIOLOGIS

(21)

interlobar biasanya tidak terlihat pada rontgen dada. Septa ini akan terlihat jika terdapat akumulasi cairan di daerah tersebut.

Gambar 8. Anatomi Interstitium Paru

(22)

Gambar 9. [Gambar Atas] Kerley lines A (panah putih), Kerley lines B (kepala panah putih), Kerley lines C (kepala panah hitam), [Gambar Bawah]

Peribronchial cuffing, pleural effusion.

(23)

interstitial difus dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan dilatasi ventrikel. Pada stadium 1 edema paru pada pasien yang hampir tenggelam bermanifestasi dengan kerley lines, peribronchial cuffing, dan patchy, konsolidari perihilar alveolus; sedangkan pada stadium 2 dan 3 manifestasi radiologisnya tidak spesifik. Edema paru pada ketinggian bermanifestasi sebagai edema interstitial sentral yang berhubungan dengan peribronchial cuffing, dan konsolidasi patchy rongga udara. Pada edema paru neurogenik manifestasinya bilateral dengan konsolidasi homogen ruang udara yang hampir ditemukan pada 50% kasus. Reperfusi edema paru digambarkan dengan konsolidasi heterogen ruang udara yang predominan pada bagian distal menuju kanal pembuluh darah. Post reduksi edema paru digambarkan dengan konsolidasi ipsilateral paru, sedangkan edema paru dikarenakan emboli udara digambarkan dengan terstitial edema diikuti bilateral opasitas pada alveolus yang predominan di basis paru.

4.1. Edema karena Peningkatan Tekanan Hidrostatik

Terdapat dua stadium patofisiologi dan radiologi pada perkembangan tekanan edema, yaitu stadium edema interstiial dan edema alveolar. Kedua stadium ini identik pada gagal jantung kiri dan kelebihan cairan intravaskuler. Keduanya sering dijumpai pada pasien dengan edema tekanan di ICU maupun IGD. Intensitas dan durasi dari kedua stadium ini tergantung dari peningkatan tekanan yang terjadi, yaitu tergantung dari rasio tekanan hidrostatik dan onkotik.

(24)

gambar b menunjukkan adanya pelebaran progresif pembuluh darah lobus (peribronchial cuffing), panah putih gambar c menunjukkan adanya bilateral kerley lines, dan juga terdapat area noduler dengan peningkatan opasitas. Kelebihan cairan dapat dikonfirmasi dari pertambahan ukuran dari vena zygos.

Gambar 11. Gambaran CT-scan pada pasien laki-laki 53 tahun, dengan edema peningkatan tekanan hidrostatik. Didapatkan adanya peribronchial cuffing (panah hitam) pada bagian anterior paru kiri. Kedua paru terlihat adanya ground-glass area.

(25)

atau acinar area dengan peningkatan opasitas yang dapat bergabung dan membentuk suatu konsolidasi frank atau frank consolidation.

Gambar 12. Hubungan antara Tekanan Kapiler Paru dengan Temuan Radiologi. 4.2. Bat Wing Edema

(26)

Gambar 13. Bat wing edema pada pasien wanita, 77 tahun dengan kelebihan cairan dan gagal jantung. Pada gambaran foto thorax dada (3.a) dan gambaran CT-scan (3.b) menunjukkan adanya wing alveolar edema yang distribusinya sentral dan sparing dari konteks paru. Infiltrat pada pasien ini berkurang setelah 32 jam menjalani pengobatan.

(27)

Gambar 14. Bat wing edema pada pasien wanita, 66 tahun, dengan overload cairan dari gangguan ginjal dan sudah dilakukan hemodialisis untuk nefroangiosklerosis hipertensinya. Pasien ditemukan tidak sadarkan diri setelah berbaring ke sisi kanannya dalam beberapa jam. Gambaran radiologis menunjukkan adanya unusual recumbent bat wing pulmonary edema yang berhubungan dengan efusi pleura sebelah kanan.

4.3. Distribusi Asimetris dari Edema Peningkatan Tekanan

Penyebab tersering terjadinya distribusi asimetris dari edema tekanan adalah perubahan morfologi dari parenkim paru pada kasus penyakit paru obstruksi kronis. Selain itu, pada kasus gagal jantung, emfisema pada apices atau gambaran destruksi dan fibrosis pada bagian paru bagian atas dan tengah (sering ditemukan pada kasus end-stage tuberculosis, sarcoidosis, atau asbestosis) akan terlihat pada kasus edema paru yang predominan pada bagian yang kurang berpengaruh pada proses penyakit ini.

(28)

Gambar 15. Edema paru asimetris pada pasien pria dengan chronic obstructive pulmonary disease. Pada gambar 5.a yang merupakan parenkim paru dan gambar 5.b yang merupakan gambaran mediastinum menunjukkan edema dengan gambaran diffuse ground-glass attentuation dengan gradien anteroposterior. Cairan yang memenuhi bula subpleura paling jelas terlihat pada gambar 5.b di bagian kiri bawah.

(29)

Fibrosis interstitial yang disebabkan karena asbestosis dapat menjadi tempat masuknya edema ke ruang alveolus.

Gambar 17. Edema paru dengan serangan asma akut pada anak-anak berumur 3 tahun. Gambaran radiografi ditemukan adanya edema paru yang berhubungan dengan peribronchial cuffing, ill-defined vessels, pembesaran hilus, dan peningkatan opasitas area alveolar.

Akhirnya, posisi pasien juga menentukan distribusi cairan intra dan extravaskuler ini. Pada pasien dengan posisi supine, CT scan axial selalu menunjukkan gradien anteroposterior dengan distribusi asimetris dari edema yang disebabkan karena operasi prolong atau imobilisasi. Distribusi ini juga dapat didapatkan pada pasien dengan gagal jantung kongestive dan pasien dengan overghidrasi.

4.4. Edema Paru dengan Asma Akut

(30)

cm air, dibandingkan dengan anak yang sehat dengan penurunan tekanan sekitar -5 cm air. Tekanan negatif pleura saat serangan asma akut ini membantu untuk pelebaran saluran pernafasan. Obstruksi saluran nafas pada kasus asma menyebabkan akumulasi cairan ekstravaskular. Dari salah satu pusat penelitian, didapatkan bahwa kasus ini sangat jarang, dan hanya ada satu kasus selama lima tahun. Gambaran radiologi pada kasus ini adalah adanya Kerley lines, peribronchial cuffing, dan peningkatan opasitas area alveolus.

4.5. Edema Paru Postobstruksi

Edema paru postobstruksi terjadi setelah obstruksi saluran pernafasan atas dan membentuk edema hidrostatik. Edema paru ini sering terjadi karena masuknya benda asing, laringospasme, epiglotitis, atau strangulation. Jika obstruksi terjadi obstruksi saat inspirasi, hal ini mengakibatkan tekanan negatif intratorax meningkat dan membuat venous return meningkat pula. Edema terjadi karena penurunan tekanan negatif pleura secara tiba-tiba, yang menyebabkan gradien tekanan hidrostatik antara intravaskular dan ekstravaskular meningkat. Jika obstruksi terjadi saat inspirasi dan ekspirasi, maka tekanan positiv intratorax akan meningkat dan dapat membuat terjadinya edem.

(31)

Pada gambaran radiografi dada dan CT, edema paru postobstruksi ditandai dengan garis septal atau septal lines, peribronchial cuffing, dan pada kasus yang berat akan didapatkan central alveolar edema. Gambaran ini hampir sama dengan gambaran pada edema karena tekanan hidrostatik. Ukuran jantung biasanya normal, yang mengindikasikan tekanan edema tidak berhubungan dengan overhidrasi. Resolusi biasanya didapatkan pada hari ke 2 sampai ke 3 setelah terapi yang cepat dan sesuai.

4.6. Edema Paru dengan Emboli Paru Akut dan Kronis

Selama beberapa tahun ini, didapatkan gambaran edema paru pada foto thorax pasien dengan emboli paru akut, kasusnya sekitar 10% dari emboli paru akut. Gambaran CT yang terlihat adalah meningkatnya ground-glass attenuation yang terlokalisasi pada arteri segmental atau subsegmental. Beberapa peneliti percaya bahwa mekanisme edema paru masif pada kasus emboli paru akut adalah berhubungan dengan hipertensi pulmonal. Hipertensi ini menyebabkan oklusi lebih dari 50% pulmonary arterial bed. Hal ini menyebabkan meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler, akhirnya perfusi aliran ke area ini ikut meningkat dan dapat menimbulkan edema.

(32)

ground glass attentuation dan pembesaran arteri. Hipoperfusi pada lobus kiri bawah berhubungan dengan penurunan ukuran pembuluh darah.

Gambar 20. Angiogram dari paru kanan yang menunjukkan segmental webs (panah hitam) dan oklusi vaskular.

4.7. Edema Paru pada Penyakit Oklusi Vena

(33)

Gambar 21. Gambaran foto thorax edema paru yang berhubungan dengan penyakit oklusi vena pada pasien wanita 28 tahun dengan dispneu akut.

Gambar 22. Gambaran angiogram didapatkan arteri paru perifer paten, kecil, dan elongasi. Tekanan kapiler paru normal, namun tekanan arteri paru meningkat 54 mmHg.

Gambar 23. High resolusi CT scan, didapatkan penebalan septum inter dan intralobular, peribronchial cuffing, efusi pleura minimal, dan residual diffuse ground-glass attenuatin. Oklusi vena paru didiagnosis dengan biopsi paru.

4.8. Near Drowning Pulmonary Edema

(34)

konsolidasi alveolar perihilar. Gambaran tersebut akan hilang setelah 24 sampai 48 jam dilakukan terapi. Pada stadium kedua, masih terdapat laringospasme pada korban, dan sebagian air akan ditelan ke perut. Pada stadium ketiga, 10-15% pasien masih menampakkan gejala dry drowning dikarenakan laringospasme yang persisten, sedangkan sisanya sekitar 90% pasien, laringospasme yang terjadi akan mulai berelaksasi karena hipoksia dan aspirasi air dalam jumlah yang cukup banyak. Pada kasus seperti ini, lesi di paru tidak lagi berhubungan dengan edema tekanan, namun lebih karena hipoksia yang dapat menyebabkan pengeluaran sitokin, dan akhirnya terjadi edema permeabilitas. Gambaran radiologis pada stadium dua dan tiga biasanya tidak spesifik. Bisa didapatkan gambaran ill-defiined lessions dan konsolidasi ruang udara lobus. Besarnya lesi tergantung dari volume air yang dihirup dan durasi dari hipoksia, maupun jenis air yang terhirup (air garam atau air segar).

(35)

Gambar 25. Gambaran foto thorax dan CT scan setelah 3 jam kejadian, menunjukkan adanya penurunan edema paru.

4.9. Edema Permeabilitas dengan DAD (diffuse alveolar damage)

Acute respiratory distress syndrome atau ARDS merupakan istilah yang digunakan untuk akut atau subakut, lesi difus paru yang dapat menyebabkan hipoksemia berat. Lesi ini berhubungan dengan beberapa faktor persipitasi dan tidak berhubungan dengan insufisiensi jantung. Lebih lanjut, ARDS terjadi tanpa peningkatan tekanan kapiler paru. Kerusakan difus alveolus merupakan hasil dari beberapa faktor persipitasi, atau terjadi karena kondisi sekunder sistemik. Kerusakan langsung sel biasanya terjadi karena agen kimia, agen infeksi, cairan lambung, dan gas toksin yang dapat menyebabkan kerusakan berat pada sel. Sedangkan kerusakan tidak langsung atau secondary damage terjadi karena kaskade biokimia sistemik yang dapat menimbulkan agen oksidatif, mediator inflamasi, dan enzim yang dapat merupakan endotel, contoh penyebabnya adalah sepsis, pankreatitis, trauma berat, dan transfusi darah.

(36)

parut dan formasi dari subpleural dan intrapulmonary cysts. Pada stadium pertama gambaran radiologis yang dapat terlihat adalah adanya edema interstitial diikuti dengan opasitas pada daerah perihilar. Selanjutnya dapat terlihat gambaran konsolidasi dengan air bronkogram jika edema sudah berlanjut ke edema alveolar. Tidak didapatkan adanya kardiomegali, apical vascular redistribution, dan Kerley lines. Pada stadium proliferasi akan terlihat gambaran ground glass yang opasitasnya meningkat. Pada stadium fibrotik, akan didapatkan adanya lesi subpleural dan intrapulmonary cystic, hal ini dapat menjadi pneumotoraks.

(37)

menunjukkan adanya konsolidasi pada anteroposterior gradien. Hiperlusensi pada area perifer bilateral menunjukkan adanya udara yang terperangkap. Tidak terdapat Kerley lines pada gambaran di atas. Gambar d, e menunjukkan hasil CT scan 1 hari setelah pasien diposisikan secara prone position selama 12 jam menunjukkan hasil konsolidasi yang berkurang pada bagian posterior, dan juga efusi pleura yang mulai berkurang.

Gambar 27. Gambaran atipikal ARDS yang disebabkan karena shyok septik pada pasien laki-laki berumur 47 tahun. Gambaran CT scan pasien tersebut menunjukkan bilateral konoslidasi yang predominan pada bagian anterior.

(38)

4.10. Edema Permeabilitas tanpa DAD

Edema permeabilitas tanpa DAD berarti tidak adanya kerusakan sel pada kondisi patologis. Beberapa kondisi edema permeabilitas tanpa DAD adalah edema paru dikarenakan heroin, edema paru yang mengikuti sitokin, dan high-altitude pulmonary edema.

4.10.1. Edema Paru dikarenakan Heroin

Edema paru yang terjadi secara langsung berhubungan dengan kondisi overdosis dari opiat, heroin, atau cocain. Edema paru terjadi pada 15% kasus overdosis heroin dengan mortalitas 10%. Overdosis heroin dipercaya akan menyebabkan depresi dari pusat pernafasan yang akan menimbulkan hipoksia dan asidosis, yang keduanya dapat menyebabkan edema permeabilitas tanpa DAD. Kondisi absen-nya DAD dapat diduga karena resolusi yang terjadi secara cepat. Gambaran radiologi dari edema paru dikarenakan heroin tidak dapat dibedakan dengan gambaran radiologi dari edema permeabilitas tanpa DAD lainnya. Manifestasinya berupa patchy, bilateral konsolidasi, ill-defined vessels, dan peribrochial cuffing. Sering terjadi komplikasi berupa insufisiensi ginjal dan aspirasi cairan lambung pada kondisi ini.

(39)

merupakan gambar thorax setelah 28 jam, yang menunjukkan resolusi cepat infiltrat pada paru.

4.10.2. Edema Paru yang Mengikuti Sitokin

Interleukin atau IL-2 merupakan glukoprotein memiliki aktivitas tumoricidal yang berguna pada pasien dengan metastase melanoma dan metastase adenocarcinoma ginjal. Sitokin lain yang mungkin berpengaruh adalah TNF (tumor necrosis factor). Baik IL-2 maupun TNF dapat menimbulkan gangguan permeabilitas tanpa DAD yang akhirnya dapat menimbulkan edema paru. Sitokin ini lebih sering menyerang pada sel endotel kapiler. Gambaran radiologis pada keadaan ini adalah bilateral simetris interstitial edema dengan penebalan septal lines, dan tidak didapatkannya adanya edema alveolar. Selain itu peribronchial cuffing juga didapatkan pada 75% kasus.

(40)

4.10.3. High-altitude Pulmonary Edema

High-altitude pulmonary edema adalah kondisi fatal yang terjadi pada individu yang sebelumnya sehat. Hal ini terjadi karena prolong exposure dari lingkungan yang mengandung sedikit tekanan oksigen atmosfir. Hal ini sering terjadi pada anak muda yang sering naik gunung dengan ketinggian lebih dari 3.000 meter. Manifestasi klinisnya antara lain adalah dyspneu saat istriahat, batuk dengan sputum pink, dan gangguan neurogenik yang terjadi karena edema otak.

Proses patofisiologinya masih kontroversial. Namun beberapa peneliti setuju bahwa kondisi hipoksia akut menyebabkan vasokontriksi heterogen yang dapat menyebabkan hipertensi pulmonal. Akibatnya, terjadi kebocoran endotel yang akan menyebabkan edema interstitial dan alveolar tanpa disertai DAD. Kebocoran vaskuler ini menyebabkan akumulasi cairan yang berisi protein tinggi, yang nantinya akan membentuk sputum yang berbusa. Keadaan ini akan cepat membaik dengan terapi yang adekuat dengan oksigen dan vasodilator paru. Gambaran radiologis pada kondisi ini adalah edema interstitial sentral, peribronchial cuffing, ill-defined vessels, patchy, dan konsolidasi asimetris. Beberapa Kerley lines mungkin dapat terlihat.

(41)

4.11. Edema Paru Neurogenik

Edema paru neurogenik terjadi pada lebih dari 50% pasien dengan gangguan otak berat seperti pada trauma, perdarahan subaraknoid, stroke, maupun status epileptikus. Diagnosis dari edema paru neurogenik dibuat menggunakan metode eksklusi. Penyebabnya masih kontroversional, beberapa mengemukakan kombinasi antara faktor yang mempengaruhi edema hidrostatik dan faktor yang mempengaruhi edema permeabilitas tanpa DAD. Gejala dari edema paru neurogenik ini diantaranya adalah dispneu, takipneu, dan sianosis yang terjadi setelah adanya gangguan pada otak. Gejala dan tanda ini akan berkurang secara cepat pada kebanyakan kasus. Gambaran radiografi pada kasus ini adalah adanya bilateral, homogen konsolidasi, dengan predominasi apices pada 50% kasus. Gambaran radiologi ini biasanya menghilang setelah 1-2 hari.

Gambar 32. Edema paru neurogenik pada pasien wantia berumur 54 tahun dengan perdarahan intrakranial karena hipertensi arteri. Gambar a. menunjukkan foto rontgen thorax dengan gambaran konsolidasi yang predominan pada daerah apices. Tanpa disertai efusi pleura, Kerley lines, maupun ukuran jantung yang abnormal. Gambar b. menunjukkan CT scan dengan gambaran konsolidasi alveolar pada sentral paru, dan penebalan septum interlobus (tanda panah hitam). 4.12. Edema Paru karena Emboli Udara

(42)

prosedur neurosurgery dengan posisi pasien adalah duduk dan dengan penempatan central venous lines. Selain itu, kondisi ini dapat diakibatkan karena trauma dada terbuka maupun tertutup. Patofisiologi mekanisme dema paru karena emboli udara adalah adanya emboli udara karena obstruksi mekanis pada microvasculature paru karena rendahnya koefisien absorbsi udara. Akumulasi udara ini menyebabkan aliran turbulensi yang dapat menyebabkan agregasi trombosit, formasi fibrin, dan vasokonstriksi. Faktor non-mekanis (pembebasan radikal oksigen oleh neutrofil) juga berperan dalam gangguan endotel kapiler. Makromolekul, protein, dan sel darah dapat masuk ke ruang interstitial dan alveolar. Hal ini akan menimbulkan gambaran patologis dari edema interstitial ringan sampai konsolidasi perdarahan pada saluran udara.

Gambar 33. Edema paru karena emboli udara pada wanita berumur 72 tahun setelah dilakukan coronary artery bypass graft surgery. Gambar a, menunjukkan

(43)

DAFTAR PUSTAKA

Cinteza, M., Margulescu, A.D., Darabont, Roxana O., 2007. Acute Cardiogenic Pulmonary Edema – an Important Clinical Entitiy with Mechanisms on Debate. A Journal of Clinical Medicine. 2;1, 56-64Clein, Lawrence J., 2008. Walsh: Palliative Medicine. Saunders An Imprint of Elsevier: United States of America

Churchill Livingstone, 2000. Pulmonary Microcirculation, Pulmonary Interstitial Space, and Pulmonary Interstitial Fluid Kinetics (Pulmonary Edema).

http://web.squ.edu.om/med-Lib/MED_CD/E_CDs/anesthesia/site/content/v02 /020519r00. htm. dilihat pada 1 April 2014.

Derrickson, B., Tortora, Gerard J., 2009. Principles of Anatomy and Physiology. John Wilay & Sons, United States of America.

Glaus, T., Schellenberg, S., Lang, J., 2010. Cardiogenic and Non Cardiogenic Pulmonary Edema: Pathomechanisms and Causes. Schweiz Arch Tierheilkd, 152:7, 311-317.

Gluecker, T., Capasso, P., Schnyder, P., Guidinchet, F., Schaller, M.D., Revelly, Jean P., Chiolero, R., Vock, P., Wicky, S., 1997. Clinical and Radiologic Features of Pulmonary Edema. Scientific Exhibit. 19, 1507-1531.

Mayo Clinic Staff. 2011. Pulmonary Edema. http://www.mayoclinic.org/diseases-conditions/pulmonary-edema/basics/definition/con-20022485. dilihat pada 1 April 2014.

Perina, Debra G., 2003. Noncardiogenic Pulmonary Edema. Emrg Med Clin N Am. 21;2003, 385-393

Gambar

Gambar 1. Ilustrasi Edema Paru
Gambar 2. Anatomi Alveolus
Gambar 3. Alran Cairan Interstitial
Gambar 4. Klasifikasi Edema Paru
+7

Referensi

Dokumen terkait

Relations between Chronic Renal Failure and Pulmonary Edema in Terms of Radiology HUBUNGAN GAGAL GINJAL KRONIK DENGAN EDEMA PARU DITINJAU DARI..

Hasil penelitian menunjukan evaluasi antibiotik untuk pasien anak terdiagnosis tuberkulosis paru di RSUD Dr.Moewardi menjalani penggobatan rawat jalan sebanyak 34 pasien

Parameter ekokardiografi diatas dapat membantu menentukan apakah edema paru disebabkan oleh faktor kardiak atau non kardiak dengan cara memperkirakan peningkatan

Berdasarkan gejala klinis berupa adanya sesak, batuk, riwayat merokok, riwayat PPOK, serta pemeriksaan dapat disimpulkan bahwa pasien ini merupakan pasien dengan penyakit paru

Affiliasi penulis : Bagian Kardiologi dan Kedokteran Vaskular FK UNAND/RSUP Dr. Djamil Padang dengan edema paru akut. Pasien sekitar 5 jam SMRS mengeluhkan nyeri

Tekanan darah mungkin normal pada saat pemeriksaan jika pasien mendapatkan pengobatan antihipertensi yang adekuat atau jika pasien menderita disfungsi ventrikel kiri tingkat

sebaiknya digunakan untuk mengembalikan dan menjaga status volume pada pasien dengan gejala kongestif (sesak napas, orthopnea, dan edema) atau tanda peningkatan tekanan pengisian

Proses Pemulihan Pasca-Edema Paru Setelah mengalami edema paru, pasien harus mengikuti program pemulihan yang melibatkan istirahat yang cukup, pola makan yang sehat, serta menghindari