• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pemetaan Konflik Sosial di Aceh Tengah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "Pemetaan Konflik Sosial di Aceh Tengah "

Copied!
40
0
0

Teks penuh

(1)

PE M E T A A N K O N F L IK S O S IA L

K A B U PA T E N A C E H T E N G A H

C H A IRU L F A H M I

DIN AS SOSIAL PROVIN SI ACEH

(2)

BAB III

PROFIL DAERAH PEM ETAAN

3.1. Data Geografis Daerah Pemetaan

Aceh Tengah merupakan salah satu kabupaten yang terletak di tengah-tengah p rovinsi Aceh. Secara geografis kebupaen Aceh Tengah berada pada posisi antara 40 10” – 4058” lintang utara (LU) dan 96018” - 96022” bujur timur (BT).

Wilayahnya yang seluas 431.839 Ha atau setara dengan 4.318,39 km2, berbatasan lang sung dengan kabupaten Bener M eriah dan Bireuen di sebelah utara, kabupaten Gayo Lues di sebelah selatan, kabupaten Nagan Raya dan Pid ie di sebelah barat, serta kabupaten Aceh Timur disebelah timur. Secara administrative, wilayahnya terb agi menjadi 14 kecamatan yang meliputi 269 desa/ kampong defenitif dan 27 kampung p ersiapan.

Gambar 1: Peta kabupaten Aceh Tengah

(3)

Pada triwulan I tahun 2011, jumlah p endudukannya mencapai 202.114 jiwa dengan kepadatan rata- rata 47 jiwa/ km2 . kead aan penduduk berd asarkan suku bangsa, kabuapten Aceh Tengah merupakan daerah yang majemuk d engan komposisi penduduk bersuku Gayo ± 60%, suku Jawa 30%, Aceh pesisir 5%, dan sisanya merupakan suku lainnya seperti Batak, Padang, Cina, dsb dengan mayo ritas penduduk berag ama Islam yakni sebanyak 97%.

Sedangkan mata pencaharian penduduknya didominasi oleh kegiatan pertanian dengan tenaga kerja sebesar 80%, disusul bidang perd agangan 8%, sector jasa sebesar 5% dan sector lainnya sebesar 7%. Berikut data kependudukan kabupaten Aceh Tengah berd asarkan kecamatan.

Tabel 1: Jumlah kecamatan d i kabupaten Aceh Tengah

Sumber:BPS Aceh Tengah, 2013

(4)

dido minasi oleh kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau 64,98% dari luas wilayah, dan sisasnya berup a tanah bangunan, sawah, kebun, hma/ ladang, pad ang rumput, rawa-rawa, ko lam, tambak, p erkebunan dan area peruntukan lainnya.

Pada umumnya jenis tanahnya bervariasi, 68% d iantaranya terdiri dari tanah podso lik co klat dan merah kuning dengan tekstur liat berpasir, struktur remuk, konsistensi gembur permeabilitas sedang. Keadaan tersebut menjadikan Aceh Teng ah sebag ai daerah yang subur dan menjadi pusat p roduksi hasil pertanian dataran tinggi di pro vinsi Aceh. Hal ini juga didukung oleh iklim equatorial, dengan jumlah hari hujan rata- rata 137 hari/ tahun dan curah hujan rata- rata 1.822 m/ tahun. Suhu udara rata- rata berkisar pada 20 derajat celcius deng an kelembab an nisbi antara 80- 84%.

Kabupaten ini memiliki sebuah danau yang d iberi nama Danau Laut Tawar. Danau tersebut dikelilingi oleh perbukitan yang ditumbuhi po hon Pinus M erkusi. Adapun luas danau ini sekitara 5.472 Ha dengan air yang bersumber dari sejumlah mata air d an 21 buah sungai kecil termasuk sebuah sungai besar yaitu “Krueng Peusangan” yang saat ini sedang dibangan pembang kit listrik tenaga air (PLTA).

3.2. Sumber Daya Alam dan Ekonomi

Kabupaten Aceh Tengah memiliki sumber daya alam yang cukup beragam dan potensial bagi kegiatan investasi d an perdagangan. Beberapa sektor ung gulan yang prospektif untuk dikemb ang kan masih diarahkan pad a sektor pertanian seb agai sektor dominan, d isamp ing sekto r lain yang juga cukup po tensial seperti sektor perikanan, perternakan, industri dan pariwisata.

Beragamnya potensi yang dimiliki ini, sebagian besar belum dimanfaatkan secara optimal akib at kurangnya sarana pendukung dan penguasaan tekno logi termasuk tenaga skill, sehingga memb erikan peluang yang cukup besar untuk pengembangan/ pemberdayaan ekonomi berb asis kerakyatan.

3.2.1. Perkebunan

Sektor perkebunan merup akan sektor unggulan di kabupaten Aceh Tengah yang memberikan kontribusi terbesar terhadap pembentukan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Komoditi perkebunan yang menjadi unggulan adalah kopi. Luas perkebunan kop i di kabupaten Aceh Tengah mencapai 47.854 ha atau 11% dari luas wilayah kabupaten, dengan jumlah prod uksi kop i (biji hijau) rata- rata sebesar 21.861,42 ton/ tahun.

(5)

total p roporsi ekspor kop i Aceh Tengah mencapai 7% dari volume total eksp or nasional. Namun keuntungan dari hasil produksi dan penjualan kop i belum berpihak kepada petani secara lang sung, melainkan, komo diti ini masih dinikmati oleh para pedagang , akibat keterb atasan pengetahuan dan informasi para petani.

Disamp ing tanaman ko pi, ko moditi lain pada sektor p erkebunan yang mempunyai po tensi untuk dikembangkan sesuai dengan potensi lahan dan budidaya serta p rospek pasa baik lokal maupun ekspor adalah tebu. Tanaman tebu di kabupaten Aceh Tengah yang diusahakan oleh penduduk adalah merupakan bahan baku untuk membuat gula merah, yang d iproduksi oleh masyarakat petani tebu di dearah ini.

Pada saat ini luas tanaman tebu mencapai 5.532 ha dengan luas produksi sebanyak 31.118 ton pertahun. Secara keseluruhan, tanaman perkebunan d i kabupaten Aceh Tengah meliputi 16 jenis tanaman, jenis dan besar produksi tahunan seperti tersaji pada tabel berikut:

Tabel 2: Produksi hasil perkebunan

Sumb er : Aceh Tengah Dalam Angka, 2013

2.3.2. Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura

(6)

tercatat sekitar 11.621 ton, dengan produksi terbesar adalah jeruk kepro k, pisang, alpukat, jeruk siam, durian, nenas dan jenis buah-buahan dataran tingg i lainnya.

Sebagai sentra tanaman ho rtikultura di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Tengah memiliki potensi lahan untuk pengembangan seluas 32.520 Ha. Berdasarkan luas tanam dan luas panen yang ada, peluang perluasan lahan masih sangat memungkinkan. Adapun peluang investasi yang dan perd agangan yang d itawarkan adalah pembangunan industri pengo lahan hasil pertanian, penyediaan alat pertanian, pengembangan tekhnologi dan pemasaran hasil.

2.3.3. Peternakan

M eskipun masih dilakukan dalam skala terbatas dan pengg unaan tekhnologi yang sederhana, usaha peternakan baik ternak besar maupun ternak kecil di Kabupaten Aceh Tengah telah banyak diusahakan oleh petani. Dari berbagai jenis ternak yang dikembangkan, jenis ternak yang cukup prospektif untuk dikembangkan adalah kerbau, sapi, kambing / domba, dan kuda. Potensi ini didukung oleh ketersediaan lahan pengembalaan yang cukup luas. Pad ang pengembalaan yang d idaerah ini dikenal dengan ”peruweren” memiliki areal seluas 41.500 Ha. Areal tersebut merupakan aset daerah yang diatur dalam Perda/ Qanun Kabupaten Aceh Tengah. Disamp ing areal tersebut, 11,02% dari luas hutan didaerah ini juga d itumbuhi padang rumput yang sangat cocok untuk pengembangan usaha peternakan. Berdasarkan pada potensi tersebut, Pemerintah Kabupaten Aceh Tengah saat ini sedang melaksanakan/ mengembangkan Pro yek Sentra Penghasil Ternak yang berlokasi di Ketapang dengan luas areal lebih kurang 3.000 Ha. M elalui prog ram ini, Peternakan Terpadu Ketapang nantinya akan menjadi pusat penjualan ternak, ind ustri dendeng sapi serta kawasan agrowisata yang indah.

2.3.4. Perikanan

(7)

dari p enangkapan di danau, 25% hasil budidaya keramba/ jaring tancap, 13% b udidaya kolam dan sisanya sebanyak 12% bersumber dari penang kapan di sung ai. Dari keseluruhan produksi ikan terseb ut masih belum mampu mencukupi kebutuhan konsumsi masyarakat. Oleh karena itu, selama ini sebagian besar kebutuhan ikan d ipaso k d ari Kabupaten Bireuen.

Peluang bisnis dan investasi yang masih cukup terbuka pada sektor perikanan ini adalah pembudidayaan ikan air tawar yang dapat dikembangkan dikolam- ko lam masyarakat, atau dip ingg iran Danau Laut Tawar dengan cara membuat keramba tancap dan jaring apung .

2.3.5. Kehutanan

Kabupaten Aceh Tengah memiliki kawasan hutan seluas 280.647 Ha atau 64,98% dari luas kabup aten, yang terdiri dari hutan lindung (142.490 Ha), suaka alam/ taman buru (85.381 Ha), dan hutan produksi/ prod uksi terbatas (52.776 Ha). Sebag ian besar hutan yang ada merupakan hutan alam tro pis heterogen dan hutan pinus homogen, sehingga memiliki potensi yang sangat tinggi.

Hasil utama hutan Aceh Tengah adalah kayu pinus mercusii, kayu rimb a campuran, meranti, gerupel, jeumpa dan lain- lain, serta hasil ikutan (hasil hutan non kayu) berupa ro tan, sarang burung walet dan seb againya.

Potensi hutan digunakan untuk kepentingan pembangunan daerah dan kesejahteraan masyarakat, dengan memanfaatkan hasil hutan yang ada dengan prinsip tetap memelihara kelestarian dan ekosistemnya, yaitu dengan upaya mencegah berbagai aktifitas seperti penjarahan dan pengrusakan hutan p enataan hutan sebagai sumber daya alam memiliki potensi ekono mi terus ditempuh melalui peningkatan penertiban penebangan hutan, penghijauan, reboisasi, dan rehabilitasi lahan kritis.

2.3.6. Pertambangan dan Energi

(8)

2.3.7. Industri

Sektor industri merupakan salah satu lapangan usaha yang cukup besar dalam membentuk PDRB Kabupaten Aceh Tengah. Lap angan usaha ini memberikan ko ntribusi sebesar 6,84% d an secara perlahan terus menunjukkan peningkatan setiap tahunnya. Sesuai dengan potensi alam, maka jenis industri yang berkembang didominasi oleh industri kilang pengupasan/ penggilingan kopi dan industri kilang tebu. Kedua jenis industri ini selalu d ilakukan pembinaan d alam upaya menjag a kualitas hasil produksi.

Disamp ing industri berbasis pertanian, industri pada sektor non agraris sebagai industri yang paling kecil, keberadaannya juga d inilai cukup memadai dalam penyediaan kebutuhan masyarakat. M elihat pada potensi daerah yang begitu besar serta keadaan sarana dan p rasarana ekonomi yang semakin baik, pengembangan industri di masa depan masih sangat memungkinkan, dengan beberapa peluang yang dapat dimanfaatkan, antara lain peluang pasar untuk p ro duk ind ustri kecil sangat luas, bahan baku termasuk dari sekto r pertanian sangat melimp ah, pasar luar daerah semakin luas d eng an terciptanya perdamaian dan mulai banyaknya para investor untuk menginvestasikan modalnya pada industri kecil dan menengah.

2.3.8. Pariwisata

Dalam pembagian Zona Pembangunan Daerah Istimewa Aceh (sekarang Pro vinsi Aceh), Kabupaten Aceh Tengah ditetapkan sebagai zona pertanian dan pariwisata. Hal ini didasarkan pada potensi alam dan keadaan iklim yang sangat cocok sebag ai daerah peristirahatan. Kabupaten Aceh Tengah memiliki 36 o bjek wisata, diantaranya terdiri dari agro wisata (2 jenis), wisata alam/ ekowisata (20 jenis), dan wisata budaya (14 jenis), yang tersebar hampir diseluruh kecamatan. Danau Laut Tawar adalah salah satu ob jek wisata unggulan yang cukup dikenal baik bagi wisatawan local maupun regional. Selama ini, atraksi wisata yang telah membudaya adalah lomba perahu, atraksi seni d an b udaya serta pag elaran pacuan kuda tradisio nal yang diadakan setiap tahunnya pada bulan agustus.

(9)

2.4. Penduduk

2.4.1. Jumlah dan Laju Pertumbuhan Penduduk

Penduduk kabupaten Aceh Tengah pada tahun 2012 mencapai 184.297 orang, dimana kecamatan Bebesan merupakan kab upatan yang paling banyak penduduknya yaitu mencapai 36.060 jiwa. Sedangkan pendudukan yang paling sedikit terdapat d i kecamatan Rusip Antara, dimana penduduk di kecamatan ini berjumlah Rusip Antara.

Banyaknya penduduk yang tinggal di kecamatan Bebesan, karena pusat ibu kota Aceh Tengah terletak di kecamatan ini. sehing ga kep adatan penduduk tidak saja berasal dari masyarakat asal kecamatan tersebut, akan tetapi juga berasal d ari pend uduk pendatang seperti pedagang yang mendiami kawasan ini.

Tabel 3: Jumlah pend uduk kabupaten Aceh Tengah

(10)

2.4.1. Persebaran dan Kepadatan Penduduk

Persebaran dan kepadatan penduduk d i kabupaten ini tersebar dalam berb agai kecamatan, d imana ting kat persebaran dan kepadatan yang p aling tinggi terdapat di kecamatan Bebesen, yaitu mencapai 19,57% atau kepadatan penduduk mencap ai 764 dengan total penduduknya 36.060 jiwa, dan luas kampus 47,19 km2.

Sebaliknya, kecamatan yang paling rendah kep adatan penduduk berd asarkan luas wilayah terdapat di kecamatan Rusip Antara, d imana persebaran penduduk hanya 3,49% dari luas wilayah yang mencap ai 669,00 km2. Salah satu faktor rendahnya persebaran penduduk di kawasan ini karena kawasan ini merupakan daerah pertanian d an umumnya mereka merupakan para petani.

Tabel 4: Kepadatan dan Persebaran Penduduk

Sumber: BPS Aceh Tengah, 2013

2.5. Sosial Budaya

(11)

adat-istiad at sendiri yang berbeda dengan bahasa dan adat - adat-istiadat Aceh. Adapun persamaannya yaitu d ari sesi nilai- nilai islami, karena kedua etnis ini menganut ajaran Islam.

Disamp ing itu, kehidupan so sial budaya masyarakat disini juga dipengaruhi oleh kebudayaan melayu, terutama d alam hal tata bahasa. Hal ini disebabkan oleh penyebaran, pengembangan dan pendidikan agama Islam. Buku-buku dan naskah buku/ kitab umumnya d itulis dalam bahasa arab- melayu (jawi), disamping juga dalam bahasa Aceh, dan Gayo sendiri.

Secara kebudayaan, masyarakat di kabupaten ini juga sangat kaya, apalagi terd apat berbagai etnis lainnya, seperti etnis Jawa yang mencap ai 30%, etnis Aceh (5%), Tionghoa, M inangkabau, Sunda, Batak, Karo dan lainnya yang totalnya juga mencapai lebih kurang 5% dari populasi penduduk Aceh Tengah.

Kond isi ini melahirkan keragaman budaya, serta interaksi sosial antara satu sama lainnya. Proses akulturasi dan asimilasi dalam interaksi so sial juga berjalan dengan baik, karena sedikit diantara warga yang berbeda etnis melakukan perkawinan, seperti antara suku Gayo dengan Aceh, Jawa ataupun d eng an Padang. Kehidupan so sial juga berkembang karena adanya kebutuhan yang saling mengikat satu sama lain. Interaksi ekonomi antara petani dengan pedag ang ini melahirkan kohesi sosial yang baik d i kawasan ini.

Sedangkan dalam konteks budaya, masyarakat kabupaten Aceh Tengah sangat mengharg ai perbedaan b udaya (kebudayaan) berbagai etnis yang mendiami kawasan ini, bahkan keberagaman ini menjadi sebuah kekayaan kebudayaan, baik yang berasal dari etnis Gayo, Aceh, Jawa, Batak, Toba, Padang, dan lainnya.

Kebudayaan Gayo sendiri sangat kaya dan beragam, mulai dari tarian, music, teater, d ll. Beberapa jenis tarian masyarakat Gayo yang terkenal antara lain tarian Saman, tari Guel, tari Biner, tari M unalo Didong, tari Sining, tari Turun Ku Aih AUnen, tari Resam Berume, Tuak Kukur, M eleng kan dan Dabus.

Berbagai bentuk kebudayaan masyarakat Gayo juga sangat kental nilai-nilai islami, karena kehidupan masyarakat Gayo sangat taat d an Islam menjadi panutan dan pedoman dalam kehidup an sehari- hari, terutama dalam kehidupan sosial-budaya.

2.5.1. Agama

(12)

Secara kuantitas, pad a tahun 2013 seperti data yang d ilansir BPS menunjukkan b ahwa jumlah penduduk Aceh Tengah yang agama Islam berjumlah 179.042 orang, protestan 100 o rang, katolik 208 o rang , Hindu 4 orang, Budha 191 orang dan lainnya 0 o rang .

Persebaran pendudukan yang non- Islam juga terseb ar diberbag ai kecamatan antara lain di kecamatan Jag ong Jeget, Bintang , Kebayakan, Silih Nara, dan Keto l (BPS, 2013).

Tabel 5: Persebaran penganut agama di kab upaten Aceh Teng ah

Sumber: BPS Aceh Tengah, 2013

Kehidupan beragama di kabupaten ini berjalan dengan baik, dimana antara satu penganut dengan peng anut agama lainnya saling menghargai satu sama lain. Peran pemerintah melalui FKUB juga menjadi instrument dalam menjadi harmonisasi hubung an diantara penganut agama yang berbeda di kawasan ini.

(13)

masyarakat Islam, termasuk dalam mengontro l jika terdapat aliran-aliran yang dianggap bertentangan dengan kenyakinan masyarakat secara umum.

Secara umum, organisasi kemasyarakat Islam yang mempunyai peran dan pengaruh besar di kawasan ini yaitu ormas Islam M uhammad iyah. Sehing ga secara tidak langsung juga mempengaruhi kepad a kenyakinan masyarakat dalam menjalankan perihal ibadah sesuai dengan kenyakinan para alim ulama dari o rmas ini.

2.5.2. Etnis

Etnis mayoritas penduduk kabupaten Aceh Tengah adalah Gayo yang mencapai 60% lebih, dan kemudian etnis jawa yang mencapai 30%, etnis Aceh 5% serta etnis lainnya seperti Batak, Padang, Tio ghoa, dll yang totalnya mencapai lebih kurang 5% dari total populasi penduduk kabupaten Aceh Tengah.

Ada hal menarik terkait d engan pro porsi etnis jawa yang mencapai 30% dari total penduduk, dan ini merupakan jumlah terb esar etnis jawa di provinsi Aceh yang berada di Aceh Tengah. Etnis jawa di kabupaten Aceh Tengah sebenarnya berbeda d eng an etnis Jawa lainnya yang tersebar diseluruh nusantara, karena etnis jawa di Aceh Tengah bukanlah pedatang baru dalam program transmigrasi p ada masa orde baru. Sebaliknya mereka sudah ada di kawasan Aceh Tengah sejak zaman Belanda masuk ke Aceh tahun 1873. Beberapa diantara mereka tergabung dalam pasukan M arsose, dan beberapa lainnya dibawa oleh Hindia Belanda untuk membuka perkebunan kopi.

Kehidupan etnis Jawa di daerah ini tetap mempertahankan budaya dan kehidup an sosial etnis Jawanya, dimana bahasa Jawa tetap menjadi bahasa pertama (bahasa Ibu), dan berbagai tradisi d an budaya jawa juga tetap lestari, seperti kuda lumping, dll. Etnis Jawa umumnya tinggal didaerah pedesaan, dan mata pencaharian mereka adalah petani kopi.

(14)

2.5.3. Organisasi M asyarakat dan Lembaga Adat

Org anisasi M asyarakat (ormas) dan lembaga adat di kabupaten ini terdapat puluhan ormas, baik yang berbasis penguyuban, ko munitas, profesi, dll.

Data organisasi masyarakat yang tercatat di Badan Kesbangpol dan Linmas kabupaten Aceh Tengah sebanyak 71 ormas. Ormas ini b ergerak dibidang isu- isu so sial, budaya, pendidikan dan juga keagamaan.

Table 6: Nama-nama ORM AS yang tercatat di Kesbangp ol dan Linmas

No Nama ORM AS No Nama ORM AS No Nama ORM AS

Sumber: Kesb ang pol dan Linmas Kab .Aceh Tengah 2014

(15)

Sementara secara adat sendiri, khususnya etnis Gayo d ibedakan dalam tiga kelompok adat, yaitu kelo mpok adat Cik dari Linge Isaq, kelompok adat Bukit dari Pesisir d anau Laut Tawar d an kelompok adat Blangkejeren dari Kuta Cane atau sering juga disebut kelompok Gayo Alas.

Berbagai lembaga adat yang ad a di kawasan ini dip ayung i oleh M ajelis Adat Gayo , dimana badan ini merupakan institusi pemerintah yang mempunyai tugas untuk menjaga kelestarian berbagai jenis kehidupan adat yang ada di kabupaten Aceh Tengah.

Lembaga adat ini juga mempunyai peran d alam menguatkan mejelis-majelis ad at yang ada di setiap kampong, terutama dalam menyelesaikan berbagai persoalan sosial-kemasyarakatan yang berbasis adat yaitu musyarakat untuk mencapai mufakat.

(16)

BAB IV

REVIEW KEJADIAN KONFLIK DI ACEH TENGAH

4.1. Konflik Lahan / Sumber Daya Alam

Secara umum, konflik lahan dan sumber daya alam yang terjadi di kabupaten Aceh Tengah yaitu terkait dengan pembangunan p ro yek PLTA (Perusahaan Listrik Tenaga Air) Krueng Peusangan d i kecamatan Silih Nara. Konflik ini terjadi antara masyarakat yang tinggal di dekat pembangunan bendungan air dengan perusahaan PLTA yang sedang membangun proyek tersebut.

Konflik ini pun sebenarnya tidak terkait dengan pembebasan lahan yang tidak diselesaikan ataupun pencaplokan lahan masyarakat oleh perusahaan, melainkan dampak dari pembangunan PLTA yang menyebabkan lahan masyarakat menjadi banjir, serta mematikan sejumlah binatang peliharaan. Sehing ga lahan p ertanian masyarakat sekitar pembangunan p royek PLTA tidak d apat digunakan untuk bercocok tanam, serta mengalami kerugian lainnya.

M asyarakat kemud ian menuntut perusahaan dengan melakukan sejumlah demontrasi agar memb ayar ganti rugi terhadap kerugian yang mereka alami. Demontrasi yang dilakukan oleh masyarakat dengan mendatang i gedung DPRK dan kanto r Bupati, serta dengan memblokir jalan masuk- - keluar kendaraan operasional perusahaan PLTA.

Aksi massa ini menyebabkan proyek pembangunan PLTA ini sempat berhenti, karena umumnya pekerja merupakan pendatang, khususnya p ara ahli dari Ko rea Selatan yang khawatir terhadap keselamatannya. Kondisi ini direspon oleh pihak M uspida dengan memfasilitasi pertemuan antara masyarakat Silih Nara dengan p ihak p erusahaan, dimana pihak perusahaan menyatakan akan melakukan ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh masyarakat. Namun demikian proses ganti rugi ini tid ak dilakukan dengan pembayaran lang sung, melainkan dengan pelaksanaan prog ram CSR (Corpo rate Social Responsib ility). Sayangnya sampai sekarang pelaksanaan CSR belum berjalan, sehingga masyarakat merasa kecewa dengan kondisi tersebut.

Hal ini sebagaimana disampaikan juga oleh Kapolres Aceh Tengah AKBP Artanto

(17)

telah d ijanjikan, informasi yang kami terima karena perusahaan belum memutuskan berapa jumlah CSR yang akan diberikan kepada masyarakat, serta bagaimana mekanismenya, ini yang belum diputuskan, karena keputusannya di Jakarta”.

Hasil o bservasi penulis di kawasan Silih Nara menunjukkan ko ndisi masyarakat sudah normal kembali, begitu jug a dengan perusahaan PLTA sudah melanjutkan pembangunan pro yek- nya tanpa ad a gangguan lagi, namun menurut Kapolres, jika pelaksanaan CSR ini tidak segera dilaksanakan akan melahirkan ko nflik kembali, karena potensi tersebut masih ada.

Disamp ing kasus terkait dengan PLTA, juga terdapat beberapa kasus lainnya yang berkaitan dengan lahan yaitu penebangan hutan pinus oleh PT.KKA yang menyebabkan kondisi kabupaten Aceh Tengah sebagian menjadi “gundul”, karena tidak seimbang dengan penanaman kembali oleh PT.Hutan Lestari. Hal ini telah menyebabkan kawasan Aceh Tengah menjadi lebih panas dari sebelumnya cukup dingin.

Selain itu menurut salah satu tokoh masyarakat Aceh Tengah Drs. Ibnu Basyir, bahwa selama HPH d iberikan kepada PT.KKA, banyak pohon dammar/ pinus yang tumbuh diladang/ kebun milik masyarakat diklaim secara sepihak o leh perusahaan tersebut, padahal pohon itu tumbuh sejak zaman Belanda. Namun saat itu, masyarakat tidak berani melawan, karena perusahaan disokong o leh pemerintah dan TNI/ Polri.

Pasca perusahaan PT.KKA ditutup b aik karena tidak ada suplai gas dari Exxon M ob il maupun suplai pohon pinus lagi oleh PT.Tusam Inhutani Lestari karena kebijakan go green dan moratorium logging pada masa pemerintahan Irwand i Yusuf; hutan pinus dieksploitasi oleh perusahaan Hanceng yang berasal dari Cina dengan mengambil getah dari po hon tersebut. Namun demikian, akibat dari tehnik p eng amb ilan getah secara amburadul menyebab kan sejumlah pohon pinus mati.

(18)

Sengketa tapal batas/ lahan ini menjadi isu strategis, karena mempengaruhi berbagai hal, terutama terkait dengan administrasi kependudukan warga yang tingg al diperbatasan tersebut, pembangunan dan akses jalan/ jembatan yang menjad i kewenangan pembangunan oleh kabupaten, serta terkait dengan kekayaan alam yang ada termasuk hal ihwal penerb itan surat izin bagi pengelo la kawasan perbatasan tersebut.

4.2. Konflik Agama

M asyarakat kabupaten Aceh Tengah mayo ritas beragama Islam, khususnya masyarakat inlander (p ribumi), hanya 0,5% saja yang beragama selain Islam yaitu agama Kristen dan Budha. Penganut kedua agama tersebut merupakan warga pendatang, seperti pemeluk agama Kristen umumnya merupakan warga yang berasal dari etnis batak dan cina, dan beg itu juga warga beragama budha juga berasal dari etnis cina.

Secara umum, masyarakat Aceh Tengah merupakan warga yang fanatic terhadap agama (Islam), dengan tetap mengho rmati agama – agama lainnya. Hanya saja, mereka sangat sensitive jika terjadi “pelecehan” dan atau penyimpangan terhadap agama Islam.

Hal ini terbukti dengan aksi massa yang sering terjadi di Takengon jika ada peng hinaan terhadap Islam, meskipun kasus itu terjadi di luar negeri, seperti saat adanya penghinaan terhadap nabi Muhammad saw oleh Koran di Denmark. M assa yang tergabung dalam organisasi Islam sangat aktif dari berb agai aksi solidaritas untuk isu- isu keislaman.

Jadi, secara umun tidak terjadi konflik agama d i kabupaten Aceh Tengah ini, khususnya dalam hubungannya dengan agama minoritas lainnya. Salah satu bukti, di Aceh Tengah terdapat 1 gereja Khatolik, 1 gereja HKPB (huria Kristen protestan batak), dan 1 vihara (tempat ibadah umat budha).

Satu- satunya kasus yang terkait isu agama adalah kasus penolakan warga di kecamatan Lut Tawar terhadap aliran tariqah nahsyabandiah. Penolakan ini disebabkan karena warga di Takeng on, khususnya di Lut Tawar adalah muhammadiyah, dimana ajaran- ajaran Islam harus sesuai dengan sunnah Muhammad saw. Disamping itu, ajaran yang dikembangkan oleh pengikut tariqat tersebut terkesan eksklutif dan tertutup. Sehingga sebagian warga meng anggu keg iatan dan aktivitas dari pengikut tariqat tersebut, termasuk deng an melempar batu ke rumah tempat d ilaksanakan kegiatan tariqat.

(19)

telah menyepakati saling menghormati perbedaan dalam pelaksanaan kenyakinannya.

M enurut ketua M PU Aceh Tengah Tgk. H. Ali Jaduun bahwa kejad ian penyerang an terhad ap peng ikut tarikat kerena bertentangan dengan kenyakinan secara umum masyarakat di kawasan Lut Tawar. Ia bahkan menyatakan kalau bisa tidak ada ajaran-ajaran yang mengkultuskan guru untuk mencap ai keridhaan Allah seperti yang diajarkan dalam tariqat itu. Ia mengatakan:

“…menurut saya tidak perlu ada ajaran- ajaran tariqat yang menjadikan guru sebagai wasilah untuk mencapai keridhaan Allah, karena wasilah yang sebenarnya adalah al- Quran dan hadis, seperti sabda rasul pegang lah pada kedua hal itu maka kamu akan selamat di dunia dan akhirat. Jadi janganlah ada ajaran- ajaran yang berbeda dengan kenyakinan umum masyarakat di sini, apalag i diajari secara tertutup dan eksklutif. Tapi kasus ini sud ah ditangani oleh pihak kecamatan dan kepolisianlah, sudah didamaikan…”

4.3. Konflik Etnis

Ada beberapa etnis yang mendiami dataran tinggi Aceh Tengah, diantaranya etnis Gayo yang juga merup akan etnis pribumi dan mayo ritas, kemud ian etnis Aceh—umumnya sebagai pedagang dan juga petani, etnis jawa yang juga dominan karena mereka sudah mendiami kabupaten ini sejak masa penjajahan Belanda, baik sebagai serdadu (marsose) maupun sebagai pekerja keb un kopi yang dibawa Belanda, dan etnis kecil lainnya seperti etnis cina, padang, b atak, toba, dan lainnya.

Secara umum, tidak ada konflik yang berbau etnis d i daerah ini khususnya dalam kontek sosial. M asyarakat yang berasal dari berbag ai etnis ini hidup secara berdampingan, khususnya etnis Gayo, Aceh dan Jawa karena diikat oleh adanya kesamaan agama (islam). Selain itu juga terbentuk suatu kohesi sosial karena adanya akulturasi secara sosial-kebudayaan yang dipengaruhi oleh adanya interaksi, baik dalam ko nteks interaksi ekonomi maupun adanya interaksi berupa perkawinan diantara etnis yang berbeda tersebut.

(20)

tahun 1978-1998 yang umumnya berasal dari Jawa. Selain itu, tumbuhnya etno -nasionalisme ke- acehan yang menganggap p emerintah Indonesia merupakan pemerintah jawa, yang juga mengemb angkan politik “jawanisasi” Indonesia, melalui program transmigrasi.

Sehingga pada masa kebang kitan gerakan GAM pasca reformasi, terjadilah berbagai aksi penyerangan terhadap komunitas- komunitas etnis Jawa, khususnya jawa- tran (jawa transmigrasi). Sehingga ko munitas etnis – jawa yang terd apat di Aceh Tengah merap atkan barisan dengan membentuk organisasi-organisasi massa agar lebih terkoo rdinir, seperti organisasi PETA. Organisasi ini juga tidak murni diinisiasii oleh masyarakat sipil yang beretnis jawa, melainkan juga didesign oleh TNI/ Po lri, bahkan beberap a d iantaranya dilatih dan dipersenjatai deng an senjata api.

Disisi lain, b eberapa warga etnis Gayo dan Aceh bergabung dalam Gerakan Aceh M erdeka (GAM ). M ereka juga mempengaruhi masyarakat yang beretnis Aceh atau Gayo untuk mendukung gerakannya. Kondisi ini menyebabkan lahirnya polarisasi – p olarisasi kesukuaan, dimana Aceh menjadi satu komunitas, Gayo seb agai ko munitas yang memp unyai karaktek d an budaya sendiri, dan b egitu juga dengan etnis Jawa dengan komunitasnya sendiri; terpisah oleh konflik politik. Polarisasi kesukuan ini juga terbentuk karena perkampungan etnis Jawa juga terpusat disatu zona yang didiami o leh mayoritas Jawa saja, tidak adanya percampuran tempat tingg al dengan etnis lainnya. Proses pemusatan ini juga tidak terlepas dari historis, d imana penempatan etnis jawa dilakukan secara by design (terencana) melalui program transmigrasi, sehingga pendudukan suatu wilayah secara khusus diperuntukkan untuk etnis jawa.

Saat konflik terjadi, terutama pasca reformasi dimana pemerintah M eg awati memberlakukan darurat militer tahun akhir tahun 2002 sampai darurat sipil menjelang bencana Tsunami 2004, polarisasi ini semakin terlihat, dimana etnis jawa dilindungi oleh TNI/ Polri, sementara komunitas Aceh menjad i tempat perlindungan kelompok GAM . Sehingga permusuhan antara TNI/ Polri dengan GAM telah menyeret warga sipil yang berbeda etnis ini menjadi dilematis, pun begitu dengan etnis Gayo menjadi etnis yang berada dipersimpangan ketika seb agian etnis Jawa dibentuk menjadi milisi oleh TNI/ Polri, dan sebag ian etnis Aceh d idoktrin menjadi bagian dari GAM oleh gerilyawan GAM saat itu yang umumnya berasal d ari etnis Aceh.

(21)

kelompok PETA dengan kelomp ok eks- GAM yang bergabung dalam organisasi KPA (komite peralihan Aceh).

Namun demikian, masyarakat dilevel bawah (g rass- roo t), tidak ada pertentangan karena adanya perbedaan etnis ini, mereka hidup damai dalam aktivitasnya sebagai petani kopi, mereka tetap berhubungan baik dalam konteks relasi sosial, bud aya maupun b isnis. Hanya mereka yang terpo lasasi karena kepentingan po litik saja yang tetap menyimpan potensi konflik, dan isu etnisitas tetap menjadi isu yang sensitive untuk dibangkitkan, apalagi tingkat pend idikan yang rendah, maka sangat rentan jika “sumb u” konflik dinyalakan karena alasan kehormatan yang bernama etnis/ suku.

4.4. Konflik Antar Aparat Negara

Secara umum tidak ada konflik antara aparat Negara di kabupaten Aceh Tengah, hal ini sebagaimana dikatakan o leh kepad a Kesbangpol dan Linmas Drs. M unaward i Ridha (2014) bahwa relasi diantar aparatur pemerintahan di Aceh Tengah baik- baik saja, tidak ada persoalan yang besar. Namun jika terkait dengan adanya perdebatan, maka itu adalah suatu hal yang lumrah dimanapun.

Satu- satunya terjadi konflik yang melibatkan ap aratur Negara ketika pelaksanaan pemilu kepala daerah (pilkada) tahun 2012 lalu. Konflik ini sebenarnya terjad i antara calon pasangan dengan penyelenggara, dalam hal ini Ko misi Independen Pemilihan (KIP). Adapun pemicu konflik ini karena fakto r kekalahan salah satu kandidat dari kand idat lainnya, dan kekalahan itu tidak terlalu tajam. Sementara yang menjadi objek dari aksi protes ini adalah KIP, karena KIP dianggap tidak netral dan tidak independen.

Konflik ini leb ih tepat d isebut dengan perselisihan hasil pemilukad a, dan kasus ini kemudian didaftarkan ke Mahkamah Konstitusi (M K), sebagai lembaga yang berwenang untuk memutuskan dan menetapkan pemenang yang sah. Ketetapan M K kemudian memperkuat ketetapan KIP yang menyatakan calon Nasaruddin sebagai pemenang pilkda tahun 2012.

M unculnya konflik ini menjad i salah satu hal penting karena menimbulkan berbagai efek lainnya, salah satu efeknya yaitu ad anya ancaman pembunuhan terhadap kepala sekretariatan KIP M unawardi Ridha yang sekarang menjabat kep ala Kesb ang pol dan Linmas setda Aceh Tengah. Ia menyatakan:

(22)

pilkad a. Pad ahal saya tidak ada kaitan dengan hasil tersebut, karena urusannya hanya administrasi”

M unculnya konflik hasil pemilukada ini juga diikuti o leh berbagai aksi demontrasi yang “destruktif”, karena menyebakan p erkanto ran KIP kabupaten Aceh Tengah terbakar dan hacur dirusak massa.

Disamp ing itu, Bupati terp ilih juga tidak dilantik sampai beberapa waktu setelah ditetapkan final dan meng ikat sebagai pemenang o leh M K. Namun karena proses pelantikannya oleh Gubernur yang berasal dari partai berbeda dengan bupati menyebab kan pelantikan ini dilakukan samp ai adanya intervensi dari kementerian d alam negeri.

Namun demikian, konflik ini cenderung dipengaruhi oleh konflik politik, bukan konflik diantara aparatur pemerintahan, karena aparatur pemerintaha, baik aparatur sipil maupun militer berjalan dengan baik tanpa ada sengket apapun. Salah satu faktor yang mendorong adanya hubungan baik diantara aparatur pemerintah arena fung si muspid a yang berjalan dengan baik, dan secara regular melakukan pertemuan koo rdinasi, b aik sesama d inas, maupun antara pemerintah kabupaten dengan kepolisian dan militer, khususnya dalam rapat regular kominda.

Satu hal yang sering menimbulkan “perselisihan” dalam konteks aparatur pemerintahan yaitu terkait dengan usulan rencana kegiatan/ pro gram dinas yang dicoret o leh DPRD. Disamping itu juga ada usulan dinas tertentu dipindahkan ke dinas lainnya ketika pembahasan ang garan di dewan. Hal ini yang kemudian menimbulkan “perdebatan”, disaat terjadinya rasionalisasi dan sinkronisasi program dalam pembahasan RAPBD. M eskip un demikian, perselisihan ini tidak menimbulkan konflik dikalangan ap aratur pemerintahan karena memang menjadi bagian dari dinamika pengelolaan pemerintahan d i kabupaten Aceh Tengah.

4.5. Konflik Politik

Sebagaimana d isebutkan d i atas, salah satu potensi konflik yang sering muncul di Aceh Tengah terkait deng an isu politik. Konflik politik ini muncul karena etnisitas dan entitas warga Aceh Tengah yang mayoritas beretnis Gayo , dan hal ini berbeda dengan p enguasa di provinsi yang umumnya beretnis Aceh.

(23)

Konflik p olitik yang menuntut pembentukan p rovinsi ALA setidaknya dipengaruhi oleh beberap a faktor, antara lain upaya pemerintah pusat untuk meminimalisir p ergerakan GAM diwilayah Aceh Tengah dan beberap a kabupaten beretnis selain Aceh, seperti Aceh Tenggara yang beretnis ALAS. Disamping itu, ditingkat tokoh lokal, tuntuan terhadap pembentukan ALA jug a dipengaruhi oleh perasaan ketidakadilan pembangunan provinsi terhadap wilayah Aceh Tengah, pun beg itu terkait dengan penempatan pejabat di birokrasi pemerintahan provinsi juga mendorong tokoh- tokoh po litik di Aceh Tengah untuk menggagas pembentukan pro vinsi ALA.

Tuntutan pembentukan provinsi ALA semakin berkembang di dalam masyarakat Aceh Tengah, ketika provinsi di bawah kepemimpinan Zaini Abdullah dan M uzakir M anaf serta anggota legislatif yang mayoritas dari Partai Aceh (PA) mengesahkan qanun Wali Nang groe. Qanun ini dianggap tidak mewakili dari budaya etnis Gayo atau etnis lainnya karena salah satu pasal dalam qanun tersebut, mewajibkan calon wali nanggroe mampu/ wajib berbicara bahasa Aceh. Sementara di Aceh sendiri terdapat puluhan bahasa etnis yang berbeda satu sama lain.

Beberapa tokoh p olitik dari etnis Gayo dan juga mantan bupati Bener M eriah Ir. Tagore Abu Bakar menjadi toko h yang paling popular mengangkat isu pemekaran provinsi Aceh. Ia bersama dengan beberapa toko h lainnya termasuk mantan bupati Aceh Tenggara yaittu Drs. Armen Desky. Tuntutan ini semakin memunjak saat kedua to koh tersebut tidak terpilih lagi pada p ilkada tahun 2012, sehingga isu ALA menjadi isu strategis yang d iperjuangkan pasca kekalahan tersebut.

Kepala Bappeda kabupaten Aceh Teng ah, M awar, SE, M M menyatakan bahwa usulan dari beberapa tokoh dan rakyat gayo untuk pembentukan pro vinsi ALA merupakan bentuk dari kekecewaan kebijakan dan pemb ang unan diskriminatif dari pemerintah pro vinsi, selain itu dengan adanya provinsi ALA akan memudahkan perencanaan serta akses administrasi bagi pemerintah kabupaten serta warga secara umumnya.

Pada saat pemilu kepada daerah (Pemilukada) tahun 2012, terjadi konflik khususnya saat rekap itulasi suara, dimana KIP Aceh Tengah ditunding tidak netral. Massa yang melakukan demontrasi juga sehingga menyebabkan terjadinya peng rusakan kantor KIP serta pembakaran satu unit mob il o perasional KIP Aceh Tengah.

(24)

menginginkan pembentukan provinsi ALA hanyalah ide orang- orang menyerang kota Takengon, dan mencari sejumlah anggota PETA yang terlibat dalam pengurusakan dan pembakaran motor milik anggota PA. aksi aktivis PA ini membuat kota Takengon mencekam, to ko- toko ditutup dan aktivitas b erhenti. Rombongan lainnya ditahan tidak memasuki kota Takengon, dan mereka akhirnya menyerang kantor koperasi milik Ir.Tagore Abu Bakar yang juga merup akan ketua PETA Aceh Teng ah dan Bener M eriah. Kop erasi ini musnah d i bakar massa, namun tidak ad a korban jiwa. Kasus ini diselesaikan deng an musyawarah, dimana perangkat pemerintahan kabupaten Aceh Teng ah yang difasilitasi oleh kapolres dan dandim mengundang para pihak untuk mendinginkan suasana, serta membuat kesep akatan perdamaian. Pertamuan ini d ihadiri oleh to koh-toko h dari kelo mpok PETA, namun dari kelompok PA tidak ada yang hadir, meskipun sudah diundang secara resmi.

Disisi lain, kap olres juga meng atakan bahwa aktor- aktor yang terlibat dalam kerusuhan dan pembakaran tersebut tetap dip eriksa dan dipro ses secara hukum. Hanya saja proses hukum terhad ap pelaku tidak dilakukan pada saat kejadian, melainkan beberap a bulan setelah kejadian. Hal ini seperti peng akuan kapolres agar situasi “politis” dilalui, dan tidak terjadi aksi lainnya.

4.6. Konflik Sumber Daya Ekonomi

kasus perebutan pengusaan lahan terminal antara mantan GAM dengan kelompo k PETA1 yang terjadi pada tahun 2008. Kasus ini menimbulkan aksi kekerasan dan perkelahian diantara kelompok pendukung baik dari kelompok eks- GAM m aupun dari kelomp ok PETA.

1

(25)

Salah satu motif terjadinya perselisihan ini yaitu masing- masing kelompok meng- klaim sebag ai “penguasa” diterminal terseb ut, dan mereka berhak untuk mengambil “upeti” (iuran/ ”pajak nanggroe”), baik dari p enjualan tiket penumpang, perparkiran maupun dari kios- kio s yang menjual di dalam terminal.

Dampak dari konflik diantara kelompok ini, menyebabkan sejumlah ang gota eks- GAM terbunuh, dalam penyerangan yang dilakukan oleh ang gota PETA di Atu Lintang, dimana sebanyak 6 anggota eks- GAM terbunuh, dan kantornya di bakar.

M unculnya konflik antara kelompok PETA dengan mantan kombatan GAM juga dipengaruhi oleh fakto r lainnya, seperti pelibatan dalam pengelolaan bantuan untuk korban konflik di bawah Badan Re-Integrasi Aceh (BRA). Badan ed-ho c yang dib entuk berdasarkan Pergub No . 330/ 032/ 2006 menimbulkan kecemburuan diantara pihak-p ihak yang terlibat dalam konflik Aceh masa lalu.

Konflik ini didasari pada tidak adanya keterlibatan anggota PETA dalam pengelolaan bantuan korban tersebut, sebaliknya, bantuan perumahan dan ekonomi untuk korban konflik, lebih do minan dikelola oleh mantan kombatan GAM . Sementara itu, kelompok PETA juga menyatakan menjadi bagian d ari korb an sekaligus pelaku yang terlibat dalam konflik Aceh, yang semestinya juga dilibatkan dalam struktur BRA atau terlibat dalam pengelolaan dana bantuan tersebut.

Selain itu, konflik yang terkait d eng an sumber daya ekonomi yang muncul dalam dua tahun belakangan yaitu terkait dengan alokasi dana pembangunan rumah korban gempa yang terjadi pada 2 Juli 2013 lalu. Bencana gempa ini menyebabkan 39 o rang mening al dunia, melukai lebih dari 400 orang, dan lebih dari 4000 rumah hancur/ rusak berat serta melumpuhkan perekonomian warga ko rban gempa.

Pemerintah kemud ian mengeluarkan kebijakan pembangunan kembali perumahan yang hancur dan rusak akib at bencana tersebut. Adapun sumber dana untuk pembangunan berasal dari APBN, ABPA dan APBK. Pemb ang unan ini d iko ordinir oleh BNPB serta BPBD kabupaten Aceh Tengah serta dinas lainnya yang terkait seperi Dinas So sial, Bappada, M uspika, dan pihak lainnya.

Konflik sumber d aya ekono mi terkait dengan pembangunan pasca gempa ini bermula dari mekanisme pemb ang unan yang dirancang oleh pemerintah, dimana pada dasarnya konsep dan pendekatan pembangunan cukup baik, yaitu dengan pendekatan partisipatif.

(26)

kelompok tergantung dari berapa jumlah KK dalam desa tersebut. Umumnya 1 (satu) kelompok terdiri dari 9 KK, dan masing- masing memilih 1 orang ketua, 1 orang sekretaris d an 1 orang b endahara. Setiap kelompok harus membuka rekening d i Bank yang telah ditentukan, dan uang pembangunan di transfer ke dalam rekening tersebut secara bertahap. M asing- masing keluarga korb an harus mengajukan proposal pembangunan rumahnya beserta dengan RAB (rencana anggaran belanja). Selain itu, setiap warga yang mengajukan prop osal pembangunan perumahan ko rban gempa, juga harus memenuhi 18 syarat kelayakan yang ditentukan oleh BNPB, salah satunya yaitu reko mendasi d ari kepala desa. Sebaliknya, jika syarat ini tidak d ipenuhi, maka proposal keluarga korb an tidak dapat diterima.

Dalam realisasinya, mekanisme ini menimbulkan berbagai persoalan, salah satunya ketidakmampuan keluarga korban untuk membuat proposal dan RAB. Kondisi ini melahirkan sejumlah makelar yang membuat proposal dan RAB dengan kompensasi sejumlah uang (persentase) dari total yang dibayar. Disamping itu, proses pembayaran juga dilakukan secara bertahap, sampai kemudian keluarg a korban melaporkan prog ress dari pembangunannya, seb aliknya jika tidak melaporkan p rogress dan peng gunaan anggaran, maka ia tidak dapat mengambil uang pad a tahap berikutnya (pemberian dana pembangunan dalam tiga tahap).

Disamp ing itu, pemerintaha melalui BNPB yang merupakan lembaga leading dalam pembangunan kembali rumah korban gempa tidak membuat sebuah kateg ori klasifikasi kerusakan rumah. Artinya, tidak ada sebuah kriteria khusus bagaimana yang dikatakan rumah hancur total, rusak berat, rusak sedang dan rusak ringan. Sebaliknya, alokasi dana untuk masing- masing katego ri berbeda satu sama lain. Satu- satunya lembaga yang berwenang untuk menentukan klasifikasi itu adalah kepala desa (raje), sehingga kepada desa menjad i objek kemarahan dari korb an ketika klasifikasi rumahnya masuk katego ri yang berbeda dengan yang sebenarnya, ataupun mereka menuntut agar masuk kategori berat, pad ahal menurut penilaian kepala desa kategori ringan.

(27)

4.7. Konflik Tawuran

Kasus tawuran yang terjad i d i Aceh Tengah dalam dua tahunan belakang an umumnya terjadi pada saat pelaksanaan pesta demokrasi, seperti pada tahun 2012 dan pemilu legislatif 2014.

Pasca perhitungan suara o leh KIP yang menetapkan pemenang oleh in- cumbent yaitu Ir. H. Nasaruddin, M M/ Drs. Khairul Asmara, M M,

pendukung kandidat lainnya melakukan aksi demo memprotes bahwa KIP melakukan kecurang an, Mereka juga mendesak ag ar hasil perhitungan dilakukan pemilu ulang, karena incumbent “dituduh” melakukan kecurangan. Hal ini seperti diberitakan oleh jpnn.com (10/ 4/ 2012).

“Sebanyak 10 Kandidat dari 11 Kand idat Bupati/ Wabub Aceh Tengah dan ribuan massa pendukung meminta agar Pemilukada Aceh Tengah diulang dan hasil sementara perolehan suara dibatalkan”.

Selain itu, pada pelaksanaan pemilu legislatif (pileg) 2014 lalu, juga terjadi konflik tawuran antara massa pendukung partai Aceh (PA) dengan kelompok PETA (Pembela Tanah Air). Aksi ini awalnya dipicu oleh pernyataan juru kampanye (jurkam) d ari partai Aceh yang dianggap oleh kelompok PETA menghina tokoh- tokoh yang memperjuangkan terbentuknya provinsi ALA, salah satu d iantara tokoh tersebut yaitu Ir. Tagore Abu Bakar yang juga merupakan ketua umum PETA.

Akibatnya, sejumlah massa dari kelo mpo k PETA menyerang kantor DPW PA di ko ta Takengon, merusak perkantoran PA serta membakar sejumlah sepeda motor milik pengurus PA. Massa juga mencabut bendera dan sejumlah atribut kampanye milik PA dan membakarnya. Disamping itu massa PETA juga melakukan p engejaran (sweep ing) terhadap sejumlah pendukung PA yang ada d i kota Takengon.

Aksi kelompok PETA ini kemudian d irespon oleh pendukung PA yang berasal dari kabupaten Bener M eriah dan Bireuen. M ereka kemudian melakukan konvoi menuju kota Takengon untuk mencari tokoh PETA, Ir. Tagore beserta dengan kelompo knya. Aksi ini dihadang oleh kepolisian kabupaten Aceh Tengah, deng an melakukan ko ordinasi d eng an polres Bener M eriah. Massa kemudian membakar bangunan kop erasi milik Ir. Tagore Abu Bakar yang berada di kecamatan Timang Gajah, kabupaten Bener M eriah.

(28)

beberap a tokoh PA lainnya untuk didamaikan serta membuat kesepakatan untuk tidak mengerahkan massa lag i. Proses perdamaian ini berjalan lancar, meskipun ketua DPW PA tidak menghadiri undangan pihak muspida tersebut.

Selain itu, beberapa aksi demontrasi kerap terjadi di kabupaten Aceh Tengah, baik dalam konteks isu lokal maupun internasional. Beberapa isu lokal yang sering disuarakan melalui aksi demontrasi di kota dingin ini terkait dengan pengesahan qanun bendera Aceh dan qanun lembaga wali nanggroe. Kedua isu ini menjad i sangat sensitif bagi masyarakat Aceh Tengah, terutama para politisi, dan tokoh masyarakat/ pemuda, d imana mereka cenderung menolak kedua qanun tersebut. Isu ini juga menjadi pemicu untuk terus menyuarakan terbentuknya propinsi ALA, karena kedua qanun itu dianggap diskriminatif bag i masyarakat Aceh Tengah, khususnya etnis Gayo.

(29)

BAB V

PEM ETAAN DAERAH RAWAN KON FLIK SOSIAL

5.1. Analisa Intensitas Kejadian Konflik

Dari sejumlah kejad ian ko nflik yang terjadi d i kabupaten Aceh Tengah, penulis melihat konflik po litik menjadi konflik yang sering muncul terutama pada saat-saat menjelang pesta demokrasi dilaksanakan, baik pesta demokrasi dalam rangka pemilihan kepala daerah, maupun pada saat pemilihan anggota legislatif. Sedangkan pada saat pemilihan presiden cenderung kondusif.

Konflik politik ini tidak terlepas dari rendahnya pemahaman politik masyarakat yang deng an mudah dipolitisasi dan d imobilisir oleh pihak-pihak tertentu dan untuk kepentingan tertentu. Disamping itu juga dipengaruhi oleh konflik masa lalu yang belum sepenuhnya terwujud rekonsiliasi diantara pihak- pihak yang pernah bertikai, khususnya antara kelompok PETA dengan pendukung partai Aceh yang merupakan partai politik yang d idirikan oleh mantan kombatan GAM .

Isu lainnya yang dimunculkan yang juga menjadi potensi laten konflik di Aceh Tengah yaitu isu etno-geo grafis. Etno geografis dan bahkan etno- nasional ini muncul karena umumnya etnis di kabupaten Aceh Tengah adalah etnis Gayo. Dalam konteks po litik, isu ketidakadilan pembangunan serta ketidakadilan penembatan pejabat public berdasarkan geografis dipusat pemerintahan provinsi sering dijadikan sebagai “fakto r” untuk memunculkan anti-pemerintahan Aceh. Salah satu bentuk respon dari kondisi ini adalah melahirkan isu pemekaran provinsi dari provinsi Aceh dan membentuk provinsi ALA (Aceh Leuser Antara).

(30)

warga gayo yang merupakan etnis terbesar kedua di Aceh, karena mereka menganggap tidak menjadi b agian dari provinsi Aceh.

Selain itu, ko nflik tawuran juga menjadi konflik yang mempunyai intensitas tinggi, meskipun konflik ini tidak terjad i secara permanen. Tawuran ini umumnya juga d ipengaruhi oleh faktor politik pada masa-masa pelaksanaan pesta demokrasi. Tawuran ini tidak terlepas dari rend ahnya pendid ikan politik warga serta masih kuatnya patron- klient terhadap tokoh-tokoh di Aceh Tengah, b aik karena ketoko han agama, maupun ketokohan po litik (public).

Terakhir, ko nflik lainnya seperti lahan/ sumber d aya alam, agama, etnis, aparatur pemerintahan d an juga sumber daya ekonomi cenderung tidak terlalu muncul d i kabupaten Aceh Tengah. Untuk konflik lahan terjadi beberap a puluh tahun lalu, karena adanya eksplorasi hutan oleh PT.KKA yang merupakan perusahaan BUM N yang menebang hutan untuk prabrik kertas di kabupaten Aceh Utara. Namun saat ini pab rik tersebut sudah ditutup karena tidak ada lagi sup lai gas dari PT. Exxon M ob il Ind onesia. Satu- satunya isu yang muncul terkait dengan konflik lahan yaitu pada pembangunan PLTA Peusangan di kecamatan Silih Nara, d imana pembangunan PLTA tersebut merusak fungsi lahan pertanian mereka, karena menyebabkan banjir serta menyebabkan matinya sejumlah binatang ternak mereka.

Grafik 1: Intensitas kejadian/ peristiwa berdasarkan data media online

Sumber: www.lintasgayo.co m

(31)

terjadi di kawasan ini antara lain kasus pencurian termasuk curanmor, pembakaran, pembunuhan, penganiayaan, illegal loging , korup si, g anja, pelecehan seksual, pemerko saan, penipuan, dll.

Sedangkan yang terkait deng an kasus- kasus sosial umunya terkait dengan perceraian, pertaruhan/ judi di arena pacuan kud a, hamil diluar nikah, KDRT, kebakaran, dll. Kasus- kasus terkait isu sosial menjadi hal yang juga relative sering terjad i di daerah ini. Sementara yang terkait dengan peristiwa politik, umumnya terjadi secara tempo rar, dimana peristiwa ini muncul secara dominan pada saat – saat pelaksanaan pesta demokrasi, baik pilkada maupun pileg. Kasus perselisihan d iantara aparatur pemerintahan cenderung tidak muncul di daerah ini, dan relasi antara aparatur pemerintaha berjalan dengan baik.

Grafik 2: Jenis kasus yang terjadi secara umum di Aceh Tengah

Sumber: www.lintasgayo.co m

Beg itupun dalam ko nteks agama, tidak terjadi konflik d iantara agama yang b erbeda di kabupaten Aceh Tengah. Ag ama-agama minoritas seperti Kristen, Pro testan, Budha dan lainnya dapat hidup secara damai dan harmonis di kabupaten ini. Pun demikian dengan relasi masyrakat yang berbeda etnis, baik Gayo, Aceh, Jawa, Padang, Batak, dll hidup bersama d an melakukan hubungan ekonomi secara bersamaan, tanpa ada konflik yang terkait dengan isu etnis.

5.2. Analisa Dampak Konflik

(32)

-masing pendukung dalam perebutan kekuasaan politik, baik pada saat pilkad a maupun pemilihan leg islatif.

Dampak dari aksi massa ini menimbulkan korban luka- luka serta kerugian terhadap material, karena terjad inya pengrusakan serta pembakaran terhadap perkanto ran yang dilakukan o leh massa pendukung kandidat tertentu yang tidak puas terhadap hasil perhitung an suara. Hal ini seperti dilakukan oleh massa pendukungan pasangan yang kalah pada saat p ilkada 2012. Selain itu pada tahun 2014 juga dampak dari aksi massa kelompok PETA yang merusak d an membakar fasilitas milik PA di kota Takengon, dan dibalas deng an membakar koperasi milik ketua PETA oleh massa PA.

Sedangkan dampak terkait dengan konflik perselisihan lahan pembangunan PLTA Peusangan adalah terjadinya pemb lokiran pekerjaan oleh masyarakat terhadap pengerjaan proyek tersebut. Sehingga pembangunan PLTA sempat d ihentikan sampai adanya kesepakatan damai yang difasilitasi oleh kapolres Aceh Tengah. Salah satu tuntutan warga yaitu pemberian ganti rug i terhadap kerugian yang d ialami o leh warga. Sayangnya sampai saat ini proses ganti rugi tersebut belum d ilaksanakan oleh PT.PLN sebagai principal dari proyek pembangunan PLTA tersebut.

Hal lainnya yang terkait dengan dampak konflik lahan yaitu konflik perb atasan antara kabupaten Aceh Tengah dengan kabupaten Bener M eriah, Gayo Lues dan Aceh Barat.

Dampak dari konflik perbatasan lahan ini menyebabkan terganggunya proses pencatatan administrasi kependudukan warg a yang tingg al diperbatasan. Disatu sisi mereka d apat diuntungkan dengan memiliki catatan kependudukan ganda, disisi lain bahkan tidak tercatat sama sekali karena wilayah administrasinya dipersengketakan. Hal ini menyebabkan mereka tidak dapat ikut dalam proses pelaksanaan pemilu baik pilkada, legislatif maupun presiden karena tidak terdaftar, dan sangat merugikan mereka. Disamping itu juga masyarakat miskin yang tinggal diperbatasan yang dipersengketakan tersebut jarang mendapatkan bantuan beras miskin (raskin) atau b antuan lainnya, karena tidak terdaftar baik di kab upaten Aceh Tengah maupun kabupaten tetangg a yang merupakan kawasan perbatasan.

(33)

adalah bagian dari wilayah adminitrasinya menyebabkan wilayah tersebut menjadi wilayah terbengkalai d an tak bertuan.

Grafik 3: Dampak berbagai kasus/ peristiwa

Sumber: www.lintasgayo.co m

Data di atas menunjukkan bahwa beberapa peristiwa/ kasus yang terjadi di Aceh Tengah telah menimbulkan dampak yang cukup signifikan terutama terhadap kerugian materi, disamping juga korban baik luka- luka maupun meninggal dunia.

Beberapa kasus yang menyebabkan meninggal dunia antara lain kasus p embunuhan warga Keto l di kawasan Lut Tawar. Sedangkan korban jiwa yang dominan terjad i pada tahun 2013 yaitu dampak dari bencana alam, gempa bumi yang menyebab kan 39 orang meninggal dunia, dan leb ih dari 400 o rang meng alami luka-luka. Sedangkan kerugian material diperkirakan lebih dari 4000 rumah hancur/ rusak.

5.3. Analisa Potensi Konflik dan Pembangunan Perdamaian

Salah satu potensi konflik yang tetap muncul d i kabupaten Aceh Tengah yaitu potensi konflik yang terkait dengan politik; baik dalam konteks pemilu maupun dalam konteks politik hukum dan pembangunan. Potensi konflik dalam konteks pemilu karena pendidikan politik warga masih rendah, patron- klien terhadap tokoh masih kuat serta isu SARA yang dijadikan sebagai modal untuk mobilisasi massa juga masih “seksi” untuk digunakan oleh p ara politisi.

(34)

untuk membangkitkan rasa “nasionalisasi” kesukuan terhadap kebijakan-kebijakan po litik pemerintahan Aceh yang diang gap mendiskreditkan dan memarg inalkan kesukuan gayo . Sehingga isu SARA ini dapat menjadi senjata untuk melahirkan kembali konflik politik, khususnya untuk terus memperjuangkan berdirinya p rovinsi ALA (Aceh Leuser Antara).

Disisi lain, kelompok-kelompok PETA yang umumnya berasal dari entis Jawa juga menjadi bag ian dari potensi konflik dimasa yang akan datang. Hal ini tidak terlepas dari aksi- aksi PETA yang selama ini masih mengalami post- trautic syndro me, yaitu kondisi yang menganggap bahwa Aceh masih seperti ko nflik dulu. Kond isi ini tercermin dari masih terpeliharanya sikap- sikap eksklusifisme, premanisme serta sikap- sikap nasio nalisme sempit yang diperlihatkan o leh b eberapa to koh dari PETA. Disamp ing itu juga sikap resistensi kelompo k ini terhadap isu- isu bendera Aceh dan Wali Nanggroe yang merupakan bag ian dari ko nsesi perdamaian Aceh.

Kasus Atu Lintang pada tahun 2008 silam juga menunjukkan bahwa kelompok ini masih memiliki sejumlah senjata api, yang pad a masa konflik memang dipersenjatai oleh TNI/ Po lri sebagai bag ian dari upaya melawan kelompok pemberontak GAM . M ereka p ada saat konflik sering disebut sebagai kelompo k milisi atau pam swakarsa, d imana beberapa elit warga direkrut untuk membantu operasi- operasi anti- saparatisme GAM . Kelompok ini p asca M o U Helsinki tetap mempunyai hubungan dekat dengan TNI/ Polri, dan saat ini terdaftar sebagai organisasi masyarakat di kesb angpol dan Linmas kabupaten Aceh Tengah.

M erujuk pada kond isi demikian, d imana potensi konflik “laten” tetap akan terjad i di kabupaten Aceh Tengah, maka diperlukan upaya pembangunan yang b erkelanjutan. Upaya pembangunan ini tidak saja menjadi tugas pemerintah daerah kabupaten Aceh Tengah, melainkan juga pemerintah pro vinsi dan pusat serta seluruh stakeholders termasuk instansi TNI/ Po lri, dan lainnya.

(35)

pengrusakan dan pembakaran fasilitas baik fasilitas milik PA maupun fasilitas koperasi milik Ir. Tagore Abu Bakar.

Pun begitu dalam ko nteks konflik agama khususnya terkait dengan intimidasi dan pelemparan b atu oleh warga di kecamatan Lut Tawar terhadap sekolompok orang yang melakukan ajaran tariqat Nahsyabandiah d iselesaikan melalui musyawarah dan mufakat. Semua pihak menyadari bahwa ada kesalahan dan kekhilafan yang dilakukan oleh masing- masing dan saling meminta maaf.

Sementara dalam kasus konflik lahan terutama terkait dengan pembangunan PLTA di kecamatan Silih Nara, juga diselesaikan melalui non- judicial yaitu melalui musyawarah. Pihak PLTA berjanji akan membayar ganti rugi terhadap kerugian yang dialami oleh warga karena dampak dari pembangunan PLTA, namun proses pembayaran ganti rugi dilakukan dengan kegiatan CSR, tidak dilakukan langsung per- individu. Hal ini diseb abkan bahwa kerugian yang dialami o leh warga juga tidak lang sung, karena faktor lainnya seperti genangan air yang menyebab kan warga tidak dap at berco co k tanam.

Sedangkan dalam kasus pembunuhan di Atu Lintang yang terjadi pad a tahun 2008, para pelaku d iproses sesuai dengan hukum yang berlaku, yaitu sesuai dengan KUHP. M ereka ditangkap dan diputuskan bersalah oleh pengadilan, karena meng hilangkan nyawa orang lain.

Grafik 4: Kasus/ peristiwa yang terjadi berdasarkan informasi media

Sumber: www.lintasgayo.co m

(36)

aparatur pemerintah, dan juga criminal menunjukkan b ahwa yang paling variatif terjadi/ berpusat diko ta takengon. Artinya meskipun beberapa kasus terjadi di kecamatan lain namun proses tindak- lanjutnya d i kota Takengon, baik terkait criminal, konflik kep entingan politik, tawuran, perebutan sumber ekonomi maupun perselisihan antara aparatur pemerintahan. Sedangkan dari sejumlah kecamatan, hanya kecamatan Kute Panang yang relative tidak ada pemberitaan dalam media d imana ada kasus- kasus yang menjadi perhatian public.

Gambar 2: Pola Penyelesaian Kasus/ Peristiwa

Data ini menunjukkan bahwa beberapa pola penyelesaian kasus/ p eristiwa yang terdap at di kabup aten Aceh Umum mayoritas diselesaikan melalui mekanisme hukum (pidana), khususnya yang terkait dengan kriminal yaitu mencapai 41%. Hal menarik, juga terd apat 41% lainnya tidak ada penyelesaian, khususnya dalam berbagai peristiwa so sial (kebakaran), atau kegiatan demontrasi. Hanya 5% yang d iselesaikan melalui mekanisme musyawarah, dan 13% lainnya terkait dengan persolan administrasi, seperti dalam kasus PAW dewan dan juga dalam beberapa kasus pelaporan kecurangan pilkada/ pileg.

(37)

BAB VI PENUTUP

6.1. Kesimpulan

Berdasarkan uraian di atas, penulis dapat menyimpulkan beberapa hal penting terkait dengan review ko nflik, intensitas, dampak dan pembangunan perdamaian di Aceh Tengah, antara lain:

1. Secara umum, kabupaten Aceh Tengah merupakan kabupaten yang mempunyai etnisitas yang beragam, dimana mayoritas beretnis Gayo (60%), namun jug a tidak sed ikit beretnis Jawa (30%) dan Aceh(5%). Disana juga terdapat etnis minoritas (5%) seperti etnis cina, batak, padang , alas, mandailing, toba, dll. 2. M asyarakat di Aceh Tengah pada umumnya adalah petani kopi,

yaitu mencapai lebih 70%. Sisanya Pegawai Negeri/ Swasta, serta pengusaha/ pedagang. Pedagang disana umumnya berasal dari etnis Aceh dan Padang, serta Cina.

3. Pasca konflik Aceh dan setelah ditanda-tangani perdamaian antara GAM dan pemerintah RI di Helsinki pada 15 Agustus 2005 lalu, kondisi Aceh Tengah menjadi leb ih kondusif. M eskip un demikian, beberapa kasus yang terjadi pasca M o U tetap menjad ikan kabupaten d idataran tinggi Aceh ing in hang at. Beberapa kasus terakhir seperti konflik antara kelompok Peta dengan kelompok PA. kasus ini diawali dengan kampanye PA yang dinggap menghina tokoh- tokoh ALA yang diantaranya merup akan ketua PETA, Ir. Tag ore Abu Bakar. Sehingga kelo mpo k PETA merusak dan memb akar fasilitas PA di kota Takeng on. Sebaliknya, kelompo k PA merusak d an membakar fasilitas milik Ir.Tago re d i kabupaten Bener M eriah (tetangga Aceh Tengah). Kasus ini diselesaikan dengan musyawarah dan mencap ai mufakat.

4. Konflik lahan tidak terlalu dominan terjadi di kabupaten ini, hanya beberapa kasus terakhir yaitu tuntutan warga di kecamatan Silih Nara agar perusahaan PLTA membayar ganti rug i yang mereka alami akibat pemb ang unan proyek yang menyeb abkan banjir, sehingg a banyak ternak mereka mati, dan lahan tidak dapat d igunakan untuk cocok tanam.

(38)

berakhir dengan penyerangan kantor KPA di Atu Lintang dan menyeb abkan 6 o rang meninggal, serta kanto r dib akar oleh massa PETA. Konflik sumber ekonomi paling temporer terjadi terkait dengan pemb ang unan rumah ko rban gempa, d imana masyarakat ko rban melakukan demonstrasi ke DPRK yang menuntut agar pemerintah segera mencairkan dana pembangunan. M ekanisme pembangunan paska gempa dengan pendekatan partisip atif (melalui kelompok), juga melahirkan konflik sesama warga, khususnya warga dengan kepala desa. Karena penanggung jawab terbesar dalam proses pembangunan tersebut adalah kepala desa, dan kepala desa yang menyetujui alokasi dana untuk pembangunan rumah korban.

6. Terkait dengan konflik etnis, tidak muncul konflik etnis di kabupaten ini, meskipun etnis jawa merupakan etnis kedua terbesar setelah etnis Gayo, sementara etnis Aceh sebagai etnis pendatang (umumnya mereka pedagang).

7. Konflik aparatur pemerintahan tidak terlalu dominan, karena konflik jenis ini sangat minor. Umumnya hanya karena usulan pro gram dicoret pada pembahasan anggaran di dewan. Jadi konflik antar aparatur pemerintahan lebih cenderung terkait dengan konflik kepentingan usulan anggaran pembangunan. Namun hal tersebut sangat wajar, karena proses rasionalisasi dan sinkronisasi anggaran tidak jarang harus menghapus satu atau lebih usulan dari instansi tertentu. Sebaliknya relasi muspida dengan instasi vertical seperti TNI/ Polri berjalan dengan b aik.

6.2. Rekomendasi

Adapun reko mendasi dari hasil penelitian ini antara lain:

1. Pemerintah pusat perlu membangun satu mekanisme re-integrasi secara politik, ekonomi dan sosial terhadap kelompok-kelo mpo k yang pernah bertikai pada saat konflik dulu, agar tid ak menimbulkan rasa saling curiga satu sama lain dimasa yang akan d atang, khususnya jika terkait d engan politik kepentingan.

(39)

Teng ah, serta mereduksi berbagai perbedaan yang dapat menyeb abkan disentigrasi secara politik, sosial dan budaya. 3. Pemerintah harus merancang pembangunan secara socio

-cultural masyarakat di Aceh Tengah yang terdiri dari berbagai etnis, suku, ras dan agama. Sehingga p rogram inter-socio cultural akan mewujudkan rasa keberagaman satu-sama lain, meskipun mereka mempunyai perbedaan secara bud aya d an kenyakinan namun dapat disatukan o leh kehidupan sosial unity

in diversity.

4. Perlu peningkatan pendidikan keberagama politik bagi kelo mpo k- kelompok yang berbeda agar lahir toleransi dan interaksi b ersama untuk kepentingan bang sa yang leb ih besar

6.3. Rencana Tindak lanjut

Rencana tindak lanjut dari temua ini adalah:

(40)

Gambar

Tabel 1: Jumlah kecamatan di kabupaten Aceh Tengah
Tabel 2: Produksi hasil perkebunan
Tabel 3: Jumlah penduduk kabupaten Aceh Tengah
Tabel 4: Kepadatan dan Persebaran Penduduk
+6

Referensi

Dokumen terkait

1 Kabupaten Aceh Barat 2 Kabupaten Aceh Barat Daya 3 Kabupaten Aceh Jaya 4 Kabupaten Aceh Selatan 5 Kabupaten Aceh Singkil 6 Kabupaten Aceh Tamiang 7 Kabupaten Aceh Tengah

"Kita bekerja sama dengan pihak Kantor Urusan Agama untuk memberikan pemahaman kepada masyarakat tentang adanya peraturan pemerintah untuk proses pelaksanaan pencatatan nikah di

Studi mengenai penentuan strain rate pada test konsolidasi metode CRS telah dilakukan untuk tanah lempung yang mempunyai tingkat plastisitas yang berbeda.. Disamping

Berdasarkan data yang diperoleh dari penelitian terhadap pemeriksaan sel darah merah dalam urin yang diperiksa dengan metode carik celup dan metode mikroskopis pada

Hasil penelitian menunjukkan adanya variasi konsentrasi enzim papain pada pH 5,5 dan pH 7,0 memberikan pengaruh yang berbeda nyata terhadap kadar lemak, kadar

Dari hasil penilaian tingkat kepentingan kriteria dalam pemilihan supplier menghasilkan skala prioritas/bobot sebagai berikut: prioritas I kualitas (0,486), prioritas II

Skripsi dengan judul “Korelasi Antara Tingkat Pendidikan Formal Orang Tua Dengan Prestasi Belajar Siswa Kelas VIII pada Mata Pelajaran PAI di SMPN 1.. NGUNUT Tahun 2014/2015”

Dari hasil penelitian yang telah dilakukan dapat dilihat bahwa pada penelitian ini, pengaruh Faktor sumber yang terdiri dari kredibilitas (credibility), daya tarik