• Tidak ada hasil yang ditemukan

UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pend

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2018

Membagikan "UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pend"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

Position Paper

Diskusi Publik Pro dan Kontra UU Pendidikan Tinggi

“UU Pendidikan Tinggi Menjamin Akses Pendidikan untuk

Semua? Tidak!”

Ahmad Rizky Mardhatillah Umar

Wakil Presiden/Koordinator Kebijakan Eksternal Badan Eksekutif Mahasiswa—Universitas Gadjah Mada

ahmad.rizky.m@mail.ugm.ac.id

RINGKASAN EKSEKUTIF

Pada tanggal 13 Juli 2012, DPR-ri mengesahkan UU Nomor 12 Tahun Pendidikan Tinggi yang menggantikan UU BHP sebagai payung hukum penyelenggaraan pendidikan tinggi di Indonesia.

BEM KM UGM berada dalam posisi menolak UU ini.Argumentasi penolakan ini disarikan ke dalam empat poin: (1) semangat dan substansi UU Pendidikan Tinggi tidak bisa lepas dari kooptasi kepentingan lembaga keuangan internasional; (2) UU Pendidikan Tinggi memilah perguruan tinggi dalam 'Badan Hukum' dan Menyajikan Otonomi; (3) semangat UU PT mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan; (4) UU Pendidikan Tinggi tidak memberikan kepastian hukum.

Selama ini, akses terhadap pendidikan tinggi di Indonesia terbilang didominasi oleh golongan kelas menengah ke atas, dilihat dari besarnya biaya masuk perguruan tinggi dan tidak memadainya kuota beasiswa. Survey Pamela Nilan di sembilan daerah di Indonesia menyatakan bahwa anak muda dari kelas menengah ke bawah kehilangan harapan di masa depan karena biaya pendidikan yang mahal. Konsekuensinya, peran negara untuk memenuhi hak dasar warga negara untuk mengakses pendidikan yang murah dan berkualitas menjadi sangat penting, sebab dengan sumber daya yang dimilikinya, negara memiliki kapasitas untuk membiayai pendidikan dan mendistribusikan kesempatan kepada seluruh warga negara untuk dapat mengaksesnya secara merata.

Ironisnya, dalam UU Pendidikan Tinggi, peran negara ini dilepaskan atas dalih otonomi. Dengan adanya otonomi yang diperkuat oleh internasionalisasi pendidikan tinggi, terjadi proses pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi negara atas pendidikan tinggi. Substansi UU Pendididikan Tinggi menggeser peran negara dengan melepaskan pengelolaan dan pembiayaan institusi pendidikan tinggi sebagai entitas yang mandiri dan otonom dalam mencari dana sendiri. Hal ini memberikan konsekuensi, negara tidak lagi menjadikan pendidikan tinggi sebagai ‘hak dasar’ yang harus dipenuhi kepada warganya, melainkan komoditas yang diperebutkan oleh warga negara melalui persaingan dan modal.

(2)

dengan memainkan pasal-pasal yang berada di dalamnya, serta memberikan proyek-proyek kepada pemerintah untuk menginjeksikan logika pasar bebas dalam pengelolaan pendidikan tinggi di Indonesia.

Atas dasar itulah BEM KM UGM menyatakan bahwa UU Pendidikan Tinggi tidak sesuai dengan amanah konstitusi untuk mencerdaskan kehidupan bangsa dan menjamin hak warga atas pendidikan. Maka, upaya hukum untuk mencabut UU Pendidikan Tinggi adalah pilihan tindakan yang patut untuk dipertimbangkan.

****

“Pengelolaan dana secara mandiri dan prinsip nirlaba tidak secara otomatis menjadikan pendidikan murah bagi peserta didik, padahal biaya yang terjangkau adalah salah satu masalah pendidikan di Indonesia”.

(Putusan Mahkmah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009)

A.

ARGUMENTASI

Dalam menyikapi UU Nomor 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, BEM KM UGM menyatakan sikap untuk menolak keberadaan UU ini. Penolakan tersebut didasarkan atas empat argumen berikut:

(3)

Sementara itu, Bank Dunia melakukan penetrasi agenda ‘higher education reform’ sejak dokumen policy framework-nya yang berjuduk, “Higher Education: Lessons of Experience” diterbitkan pada tahun 1994.Agenda ‘reformasi’ tersebut dapat disarikan ke dalam 4 hal: Pertama, mendorong diferensiasi Institusi PT, Kedua, mendorong diferensiasi pendanaan dari publik; Ketiga, mendefinisi ulang peran pemerintah; Keempat, fokus pada kualitas, performativitas, dan persamaan (World Bank, 1994).

Pada laporannya yang terbaru di Asia (“Putting Higher Education to Work”), Bank Dunia (2012: 94-95) merekomendasikan pembiayaan yang efisien dan punya prioritas agar alokasi sumber daya yang digunakan untuk membiayai pendidikan tinggi dapat dapat mengatasi market failure (2012: 101). Di sektor manajerial, Bank Dunia merekomendasikan otonomi seiring pembiayaan yang efisien (2012: 127). Sementara di level pekerjaan, Bank Dunia sangat merekomendasikan pengelolaan perguruan tinggi yang punya link and match dengan sektor privat (2012: 147)

Di UU pendidikan Tinggi, kooptasi wacana pembangunan dari dua lembaga ini terlihat dalam beberapa pasal: Pasal 48 (Kerjasama penelitian dengan industri dan dunia usaha), pasal 65 (wewenang PTN Badan Hukum untuk mendirikan badan usaha dan mengembangkan dana abadi), pasal 85 (pembiayaan pendidikan tinggi oleh mahasiswa), pasal 86 (insentif kepada dunia usaha untuk membiayai pendidikan tinggi), pasal 87 (hak mengelola kekayaan negara), pasal 88 (standar satuan biaya operasional pendidikan), pasal 89 (pendanaan PTN Badan Hukum), dan yang paling mencolok, pasal 90 (penyelenggaraan pendidikan tinggi oleh PT negara lain).

Kooptasi wacana pembangunan tersebut bersifat diskursif. Jika mempelajari Naskah Akademik perumusan UU PT ini, pemerintah menyatakan bahwa “untuk meningkatkan daya saing dalam interaksi global, perlu adanya perguruan tinggi yang sehat, bermutu, otonom, dan maju”. Rumusan naskah akademik ini jelas menyiratkan discourse globalisasi yang ditawarkan WTO dan Bank Dunia. Kata kunci “daya saing” (dalam key framework Bank Dunia: competitiveness) mengantarkan UU PT pada discourse tentang reformasi pendidikan tinggi yang liberal, pro-pasar, serta lepas dari campur tangan negara.

Kedua, UU Pendidikan Tinggi ini masih memilah perguruan tinggi dalam 'Badan Hukum' dan Menyajikan Otonomi. Pasal 65 telah menyatakan hal tersebut dengan gamblang. Konsekuensi dari Pasal 65 ini adalah memberikan hak istimewa pada PTN Badan Hukum, di antaranya hak mengelola dana, mengangkat dosen sendiri, atau mendirikan badan usaha dan mengelola dana abadi (pasal 65).

Dalam amar putusan putusan nomor 11-14-21-126-136/PUU tentang pembatalan UU BHP, terlihat jelas bahwa konsep ‘Badan Hukum’ yang ditafsirkan oleh Mahkamah Konstitusi dimaksud bukanlah nama atau bentuk hukum tertentu, melainkan fungsi penyelenggaraan pendidikan. Statuta UGM 1950 dan 1977 telah memberikan kerangka 'badan hukum' secara tegas, bahwa badan hukum adalah fungsi masyarakat hukum kepentingan yang menjalankan fungsi pendidikan, bukan format kelembagaan.

(4)

memungkinkan PTN melakukan praktik komersialisasi dan liberalisasi, di antaranya melalui pendirian badan usaha ataupun kerjasama industri. Hal lain yang bermasalah -dan ini dialami oleh kawan-kawan pekerja di UI- yaitu praktik outsourcing dan ketidakjelasan status pegawai.

Poin berikutnya adalah soal otonomi. Dalam naskah akademik perumusan UU PT, pemerintah menyebutkan, “Otonomi Perguruan tinggi menjadi salah satu prasyarat utama agar peran yang diharapkan dapat dijalankan dengan baik dan dapat menunjukkan akuntabilitas yang baik pula yang dapat diterima oleh masyarakat luas sesuai dengan perannya”. Pada naskah akademik UU ini, terlihat jelas bahwa ruh (semangat) UU Pendidikan Tinggi pada dasarnya adalah otonomi.

Mahkamah Konstitusi dalam amar putusan pembatalan UU BHP menyatakan bahwa UUD 1945 tidak menghendaki adanya otonomi pengelolaan pendidikan. UUD 1945 tidak meilihat bahwa dalam mewujudkan pendidikan yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945 tidak dibutuhkan sistem pengelolaan pendidikan secara otonom Selain itu, Mahkamah Konstitusi melihat otonomi pendidikan hanya sebatas trial dan error belaka, tanpa adanya kajian empirik, yang dapat menyebabkan tujuan pendidikan nasional tidak tercapai.

Berdasarkan tafsiran MK ini, Otonomi jelas problematis. Di satu sisi, ia merupakan ‘injeksi’ dari kepentingan institusi keuangan internasional yang punya kepentingan untuk memasukkan logika pasar bebas dalam pengelolaan pendidikan tinggi. Di sisi lain, ia juga tidak berkaitan langsung dengan tujuan pendidikan nasional. Ini yang perlu dikritisi.

Ketiga, semangat UU PT masih mencerminkan pelepasan tanggung jawab negara dalam hal pembiayaan perguruan tinggi. Jika dicermati, pelepasan tanggung jawab negara yang muncul dalam substansi UU Pendidikan Tinggi tersebut berlangsung secara diskursif. UU ini memiliki dua kelemahan. Pemerintah mencoba memberikan tanggung jawab dengan memberikan redaksi kewenangan yang cukup banyak secara birokratis (misalnya, tanggung jawab dan sumber pembiayaan pendidikan tinggi “dapat” dibiyai pemerintah melalui APBN dan APBD di BAB V).

Akan tetapi, di saat yang bersamaan pemerntah menyerahkan pendanaan kepada masyarakat. pasal 86 memberikan peluang pembiayaan dari dunia usaha dan industri melalui fasilitasi dan insentif, pasal 88 mengatur standar satuan biaya operasional yang ditanggung oleh mahasiswa tanpa ada kejelasan regulasi dan jaminan hak rakyat untuk mendapatkan pendidikan tinggi, serta pasal 89 yang menyatakan dengan jelas bahwa pendanaan PTN Badan Hukum adalah subsidi.

(5)

sebagai pilihan, dan memberikan peluang-peluang pelepasan tanggung jawab pada prosesnya.

Konsekuensi dari pelepasan tanggung jawab negara ini adalah pembebanan tanggung jawab masyarakat dalam membiayai pendidikan. Dalam konteks pembebanan tanggung jawab kepada mahasiswa, UU Pendidikan Tinggi berpotensi menutup akses mereka yang tidak mampu untuk masuk ke perguruan tinggi. Padahal, akses terhadap pendidikan adalah amanah konstitusi (Pasal 31 UUD 1945). Selain berpotensi menutup akses, UU ini juga akan menjadikan biaya kuliah tidak terjangkau oleh masyarakat yang miskin dan bodoh, sehingga pendidikan tidak dapat membebaskan mereka dari kemiskinan sebagaimana diamanahkan pembukaan UUD 1945.

Keempat, UU PT tidak memberikan kepastian hukum. Hal ini tercermin dari masih banyaknya peraturan pemerintah dan peraturan menteriyang akan mengiringi UU ini. Sebagai contoh, masalah standar biaya operasional pendidikan di pasal 88 atau PTN Badan Hukum di pasal 65. Pasal 88 tidak tegas menyebutkan berapa besar dana yang ditanggung oleh mahasiswa. Pun pasal 65 tidak dengan tegas menyatakan apa saja wewenang, peran, dan kategori PTN Badan Hukum. Akan ada peraturan pemerintah dan peraturan menteri yang akan mengikuti UU PT.

Artinya, UU ini belum memberikan kepastian hukum. Mengapa? Dengan banyaknya klausa yang akan diatur dalam PP dan Peraturan Menteri, UU ini akan ‘menyesuaikan diri’ dengan kebijakan menteri yang bersangkutan. Belum lagi dengan UU lain yang akan ‘bertabrakan’ seperti UU Ketenagakerjaan yang juga menjadi dasar hukum dari ‘pekerja’ di kampus-kampus Badan Hukum atau UU Sisdiknas.

Dalam aspek formiilnya, UU PT ini memiliki masalah yang cukup mendasar. Dengan demikian, peraturan-peraturan yang ada di UU PT tidak memberi arah yang jelas bagi pengelolaan pendidikan tinggi ke depan. UU ini akan memberikan celah penafsiran yang, jika mengacu pada amar putusan MK, dapat memicu liberalisasi pendidikan dengan wajah baru.

B.

ANALISIS

Dengan kata lain, UU Pendidikan Tinggi masih berada dalam dislokasi dan tarik-ulur konsepsi pembangunan internasional dalam pendidikan tinggi. Konsekuensi dari hal ini adalah menjadikan pendidikan tinggi sebagai entitas 'privat' yang bersaing untuk melahirkan tenaga kerja yang ujung-ujungnya dieksploitasi, alih-alih mencetak intelektual yang terlibat aktif dalam produksi pengetahuan dalam semua level profesi yang digeluti.

(6)

Bentuk 'otonomi' atau 'badan hukum' dalam dunia pendidikan ini dikritik oleh beberapa pihak (Mamdani, 2007; Rey, 2011; Eagleton, 2010). Argumennya, Bentuk ini mengimplikasikan adanya penarikan tanggung jawab negara pada pendanaan universitas, yang tidak hanya berimplikasi pada 'komersialisasi tetapi juga berimplikasi pada munculnya praktik-praktik kekuasaan baru di universitas, yang seharusnya menjadi arena berpengetahuan (Mamdani, 2007).

Praktik-praktik kekuasaan baru itu semakin mengarah pada peneguhan "kekuasaan pasar" yang, menurut Hadiz dan Robison (2004), muncul kembali pasca-keruntuhan Orde Baru. Konsekuensi paling nampak dari peneguhan kekuasaan pasar adalah komersialisasi dan pencabutan sedikit-demi-sedikit subsidi atas pendidikan tinggi atas dalih otonomi kampus.

Masalah pendidikan mahal ini perlu pula dilihat dalam kerangka proses dan cara berpengetahuan yang ada di kampus. Rey (2011), berargumen bahwa privatisasi pendidikan membuat kampus menjadi alat reproduksi dari ketimpangan social. Mengutip Eagleton (2010), Rey menyatakan bahwa kampus dan civitas akademika di dalamnya justru ‘melayani status quo’ dan tidak memberikan alternatif keadilan, tradisi, atau kemanusiaan di dalamnya. Cara berpengetahuan seperti ini, yang menurut Eagleton (2010), lahir dari biaya kuliah yang mahal, berakibat pada hilangnya dimensi kemanusiaan (humanity) dari pendidikan sehingga berakibat pada “kematian” dari nafas universitas iutu sendiri.

Nafas yang sama juga diperlihatkan dalam studi Mamdani (2007), yang melihat reformasi pendidikan neoliberal yang dipromosikan oleh Bank Dunia di Uganda justru berakibat pada perubahan cara berpengetahuan, di mana pendidikan justru menjadi wahana komersialisasi, subversi institusi publik oleh kepentingan privat dan mengakibatkan proses pendidikan dilakukan di atas fondasi komersial, bukan pada knowledge sharing atau pengembangan pengetahuan.

Dalam studinya di Universitas Makarere, Uganda, Mamdani melihat bahwa reformasi pendidikan gaya neoliberal yang dijkampanyekan oleh Bank Dunia memberi implikasi kepada cara-cara berpengetahuan di universitas tersebut. Sebagai contoh sederhana, ia melihat fenomena 'the winners and the losers': Departemen dan Fakultas yang tidak memiliki kesempatan pasar yang kuat akan cenderung untuk mengajarkan hal-hal yang sifatnya practice-industrial ketimbang teoretik atau berbau pengetahuan.

Hal ini, menurut Mamdani, ditopang oleh kebijakan-kebijakan universitas pada bidang kurikulum yang sangat berorientasi pada permintaan pasar, mengakibatkan struktur kurikulum dengan mudah diubah menjadi lebih friendly dengan kepentingan pasar. Akibatnya, kebijakan menjadi sangat desentralistik. Hal ini secara otomatis mengubah cara universitas dalam memproduksi pengetahuan di berbagai bidang studi yang ada.

(7)

kampus. Dengan ditariknya tanggung jawab negara atas pendidikan tinggi, kepentingan-kepentingan privat mulai masuk pada praktik-praktik berpengetahuan di kampus.

Sementara itu, di Indonesia, elit-elit birokrasi terlihat sangat menikmati kucuran donor dari Bank Dunia dan USAID (melalui beberapa program, seperti HPEQ, DUE LIKE, LSE3, SISWA, dll). Alih-alih menegaskan jati dirinya sebagai kampus kerakyatan dan kampus perjuangan melawan penjajahan (dalam segala bentuknya), banyak yang justru mengampanyekan wacana-wacana yang bertaut dengan kepentingan orang lain.

C.

POSISI

Berpijak dari analisis tersebut, BEM KM UGM tetap menegaskan sikap:

1. Menolak UU Pendidikan Tinggi dan akan memperjuangkan pencabutannya.

2. Menolak Penetrasi Bank Dunia dan WTO dalam Pengelolaan Pendidikan Tinggi di Indonesia.

3. Mendesak Pemerintah untuk dapat bertanggung jawab mengelola pembiayaan pendidikan tinggi sebagai hak dasar rakyat Indonesia.

REFERENSI

Abrahamsen, Rita. (2010). Disciplining Democracy: Good Governance and Discourses of Development in Africa. London: Zed Books.

Brodjonegoro, Satryo Soemantri. (2012). “Higher Education Reform in Indonesia” in Sulistyowati Irianto dan Sidharta (eds). Otonomi Perguruan Tinggi: Suatu Keniscayaan. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.

Carroll, Toby. (2010). Delusion of Development: The World Bank and The Post-Washington Consensus in Southeast Asia. New York: Palgrave McMillan.

Eagleton, Terry. (2010). “The Death of Universities”. The Guardian, 17 December.

Foucault, Michael. (2009). The Birth of Biopolitics:Lectures at The College de France, 1978–79 (translated by Graham Burchell). New York: Palgrave-MacMillan.

Hadiz, Vedi R. (2010). Localising Power in Southeast Asia. Stanford: Stanford University Press.

Hadiz, Vedi R. and Richard Robison. (2004). Reorganising Power in Indonesia: The Politics of Oligarchy in an Age of Markets. London: RoutledgeCurzon.

Holmwood, John. (2011). “The Idea of Public University” in John Holmwood (ed). Manifesto for The Public University. London: Bloomsbury.

Mahkamah Konstitusi. (2010). Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 11-14-21-126 dan 136/PUU-VII/2009. Jakarta: Mahkamah Konstitusi.

(8)

Nugroho, Heru. (2006). “Ekonomi Politik Pendidikan Tinggi” dalam Vedi R. Hadiz dan Daniel Dhakidae. Ilmu Sosial dan Kekuasaan di Indonesia. Jakarta: Equinox.

Nugroho, Heru. (2012). "Negara, Universitas dan Banalitas Intelektual: Sebuah Refleksi Kritis Dari Dalam". Pidato Pengukuhan Guru Besar. Yogyakarta: FISIPOL UGM.

Rey, Dianne. (2011). “Universities and The Reproduction of Inequality” in John Holmwood (ed). Manifesto for The Public University. London: Bloomsbury.

The World Bank (1994). Higher Education: Lessons of Experience. Washington: IBRD/World Bank.

The World Bank. (2012). Putting Higher Education to Work: Skills and Research for Growth in East Asia. World Bank East Asia and Pacific Regional Report, 2012.

Tim Perumus UU Pendidikan Tinggi. (2012). Naskah Akademik UU Pendidikan Tinggi.

Umar, Ahmad Rizky Mardhatillah. (2012). “RUU Pendidikan Tinggi: Bentuk Liberalisasi Pendidikan Gaya Baru?” Diskusi Publik Pendidikan Nasional, BEM FMIPA Universitas Negeri Semarang, 13 April 2012.

UU Nomor 12 Tahun 2012.

Referensi

Dokumen terkait

Rumusan masalah yang penulis ajukan dalam penelitian ini adalah: (1) Mampukah penulis merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi pembelajaran memproduksi teks

Artinya, dalam pemikiran Nietzsche menciptakan konsep Tuhan dalam kehidupan manusia hanya akan melahirkan “manusia lemah” dan “manusia budak” sebagai alas an untuk

17,39% lainnya merupakan materi ekstrakurikuler dan kegiatan khusus sebagai kekhasan amal usaha Muhammadiyah di bidang pendidikan; (2) Guru dalam pelaksanaan

memang masuk akal, tetapi yang mengusik penulis adalah pendaat yang dikemukakan oleh Ibnu Abbas yang menjelaskan bahwa pembatasan dua tahun tersebut hanya berlaku

Insentif non fiskal adalah insentif yang berbentuk fasilitas baik fisik maupun non fisik, seperti keamanan, lokasi, pelayanan, dan infrastruktur (misal: jalan

Singapore International Arbitration Centre (SIAC) Dengan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan Dalam Penyelesaian Kasus Astro All Asia Networks Plc Beserta Afiliasinya

Untuk menghitung waktu yang dibutuhkan dalam menyelesaikan suatu pekerjaan perlu diketahui volume atau jumlah dan satuan dari jenis pekerjaan tersebut, baik yang

Resti Puji Lestari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta 2019 Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hasil survei dan kesesuaian implementasi program penguatan pendidikan