• Tidak ada hasil yang ditemukan

Kondisi Lingkungan, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan Japanese Encephalitis di Daerah yang Pernah Mengalami KLB.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Kondisi Lingkungan, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan Japanese Encephalitis di Daerah yang Pernah Mengalami KLB."

Copied!
37
0
0

Teks penuh

(1)

UNIVERSITAS UDAYANA

KONDISI LINGKUNGAN, PENGETAHUAN, SIKAP DAN

PERILAKU PENCEGAHAN JAPANESE ENCEPHALITIS DI

DAERAH YANG PERNAH MENGALAMI KLB

NURHIDAYAH

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(2)

ii

UNIVERSITAS UDAYANA

KONDISI LINGKUNGAN, PENGETAHUAN, SIKAP DAN

PERILAKU PENCEGAHAN JAPANESE ENCEPHALITIS DI

DAERAH YANG PERNAH MENGALAMI KLB

NURHIDAYAH

NIM. 1220025002

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(3)

iii

UNIVERSITAS UDAYANA

KONDISI LINGKUNGAN, PENGETAHUAN, SIKAP DAN

PERILAKU PENCEGAHAN JAPANESE ENCEPHALITIS DI

DAERAH YANG PERNAH MENGALAMI KLB

Skripsi ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar

SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT

NURHIDAYAH

NIM. 1220025002

PROGRAM STUDI KESEHATAN MASYARAKAT

FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS UDAYANA

(4)
(5)
(6)

vi

KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah S.W.T. karena atas berkat limpahan rahmat dan hidayah-Nya skripsi yang berjudul “Kondisi Lingkungan, Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Pencegahan Japanese Encephalitis di Daerah yang Pernah Mengalami KLB “ dapat diselesaikan tepat pada waktunya.

Ucapan terima kasih diberikan atas kerjasamanya dalam penyusunan skripsi ini kepada :

1. Dr. I Made Adi Wirawan, M.PH., PhD, selaku ketua Program Studi Kesehatan Masyarakat, Fakultas Kedokteran, Universitas Udayana.

2. Ibu Ni Luh Putu Suariyani, SKM., Mhlth&IntDev, selaku koordinator Bagian Epidemiologi Program Studi Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.

3. Bapak Made Pasek Kardiwinata, S.KM., selaku pembimbing yang telah meluangkan waktu dalam memberikan bimbingan, saran, arahan dan motivasi dalam penyusunan skripsi ini.

4. Kepala Dinas Kesehatan Provinsi Bali, atas izin yang diberikan dalam memperoleh data kesehatan di Bali.

5. Kepala Desa Canggu, atas informasi dan izin untuk memperoleh data dalam pembuatan skripsi ini.

(7)

vii

7. Teman-teman seperjuangan di IKM FK Unud 2012 yang telah memberikan masukan dan dukungan dalam penyusunan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna, oleh karena itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun guna dapat menyempurnakan skripsi ini. Demikian skripsi ini penulis susun, semoga dapat memberikan manfaat bagi penulis sendiri dan pihak lain yang menggunakannya.

(8)

viii

KONDISI LINGKUNGAN, PENGETAHUAN, SIKAP DAN PERILAKU PENCEGAHAN JAPANESE ENCEPHALITIS DI DAERAH YANG PERNAH

MENGALAMI KLB

ABSTRAK

Desa Canggu merupakan daerah yang pernah mengalami KLB JE pada tahun 2015 dengan kasus klinis JE sebanyak 18 kasus. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kondisi lingkungan, pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan

japanese encephalitis di Desa Canggu.

Penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan desain crossectional. Teknik pengambilan sampel menggunakan quota sampling, dari 7 banjar yang ada di Desa Canggu diambil masing-masing 22 orang responden yang akan dijadikan sampel dalam penelitian hingga memenuhi kuota sampel minimum yang dibutuhkan. Jumlah responden yang di wawancara adalah sebanyak 151 orang yang terdiri dari 17 orang penderita JE dan 134 orang non JE.

Hasil menunjukkan bahwa 50,33% responden berumur ≤45 tahun, 57,62% berjenis kelamin perempuan, 64,90% berpendidikan tinggi, dan 58,28% bekerja. sebesar 78,15% responden memiliki pengetahuan kurang, 84,77% sikap positif, 95,36% perilaku kurang dan 82,84% responden memiliki kondisi lingkungan yang berisiko, dimana 88,24% penderita JE tinggal dekat dengan sawah dengan OR 2 dan 11,76% penderita JE disekitar rumahnya ada genangan air kotor dengan OR 2,4.

Kesimpulan dari penelitian ini adalah sebagian besar responden memiliki pengetahuan kurang, perilaku kurang, dan sebagian besar responden memiliki kondisi lingkungan yang berisiko. Dimana diantaranya sebagian besar responden tinggal dekat dengan sawah yang merupakan faktor risiko JE. Oleh karena itu disarankan kepada pemerintah untuk memberikan edukasi atau penyuluhan secara merata kepada masyarakat terkait JE, tidak hanya kepada masyarakat yang pernah mengalami gejala klinis JE tapi juga masyarakat yang berisiko tinggi terhadap JE. Keywords : Japanese Encephalitis, Kondisi Lingkungan, Pengetahuan, Sikap,

(9)

ix

ENVIRONMENTAL CONDITIONS, KNOWLEDGE, ATTITUDES AND BEHAVIOR OF JAPANESE ENCEPHALITIS PREVENTION IN AREAS

THAT HAVE EXPERIENCED OUTBREAKS ABSTRACT

Canggu Village is an area that has experienced outbreaks of JE in 2015 by JE clinical cases as many as 18 cases. This study aims to determine the environmental conditions, knowledge, attitudes and behavior of japanese encephalitis prevention in the village of Canggu.

This research is a descriptive with cross-sectional design. The sampling technique using quota sampling, from 7 hamlets in the village of Canggu taken each 22 respondents to be sampled in the study to meet the minimum required quota sample. The number of respondents in the interview are as many as 151 people consisting of 17 patients and 134 non JE.

The results showed that 50.33% of respondents aged ≤45 years, 57.62%

female, 64.90% are highly educated, and 58.28% working. Amounting to 78.15% of respondents had low knowledge, positive attitude 84.77%, 95.36% less behavior and 82.84% of respondents have a risky environment, where 88.24% of JE patients to stay close to the field with OR 2 and 11.76% of patients JE around the house there is a dirty puddle with OR 2.4.

The conclusion from this study are that most respondents had low knowledge, mostly less behavior, and most respondents have a risk of environmental conditions. Where the most part of them is stay close to the field as a risk factor of JE. It is recommended that the government to provide education or counseling equitably to people, not only who have experienced clinical symptoms of JE but also high-risk society.

(10)

x

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN PENGESAHAN ... ii

HALAMAN PENGESAHAN ... iii

PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. PERNYATAAN PERSETUJUAN ... Error! Bookmark not defined. KATA PENGANTAR ... vi

DAFTAR LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH ... xvi

BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Rumusan Masalah ... 3

1.3 Pertanyaan Penelitian ... 3

1.4 Tujuan ... 4

1.6 Ruang Lingkup Penelitian ... 6

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 7

2.1 Japanese Encephalitis ... 7

2.1.1 Etiologi ... 7

2.1.2 Epidemiologi JE ... 8

2.1.3 Mekanisme Penularan ... 10

2.1.4 Faktor Risiko ... 11

(11)

xi

2.1.6 Cara Pengendalian Vektor JE... 14

2.2 Teori Perilaku ... 17

2.3 Penelitian Japanese Encephalitis Sebelumnya ... 19

BAB III KERANGKA KONSEP DAN DEFINISI OPERASIONAL ... 22

3.1 Kerangka Konsep ... 22

3.2 Variabel Dan Definisi Operasional ... 23

BAB IV METODE PENELITIAN ... 26

4.1 Desain Penelitian ... 26

4.2 Tempat dan Waktu Penelitian ... 26

4.2.1 Tempat Penelitian... 26

4.2.2 Waktu Penelitian ... 26

4.3 Populasi dan Sampel Penelitian ... 26

4.3.1 Populasi Penelitian ... 26

4.3.2 Sampel Penelitian ... 27

4.3.3 Penentuan Besar Sampel ... 27

4.3.4 Teknik Sampling ... 28

4.4 Data dan Pengumpulan Data ... 28

4.5 Pengolahan Data ... 29

4.6 Teknik Analisis Data ... 30

BAB V HASIL ... 32

5.1 Gambaran Lokasi Penelitian... 32

5.2 Karakteristik Responden ... 33

5.3 Gambaran Pengetahuan Responden terhadap JE ... 34

5.4 Gambaran Sikap Responden terhadap JE ... 35

5.5 Gambaran Perilaku Responden terhadap JE ... 36

5.6 Gambaran Kondisi Lingkungan Responden terhadap JE ... 38

5.7 Gambaran Pengetahuan, Sikap dan Perilaku Responden Berdasarkan Kejadian JE ... 39

5.8 Gambaran Kondisi Lingkungan Responden Berdasarkan Kejadian JE ... 40

BAB VI PEMBAHASAN ... 43

6.1 Pengetahuan Responden terhadap JE di Desa Canggu... 43

6.2 Sikap Responden terhadap JE di Desa Canggu ... 45

(12)

xii

6.4 Kondisi Lingkungan Responden Terkait JE di Desa Canggu ... 49

6.5 Keterbatasan Penelitian ... 51

BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 52

7.1 Simpulan ... 52

7.2 Saran ... 53

(13)

xiii

DAFTAR TABEL

(14)

xiv

DAFTAR GAMBAR

Halaman

Gambar 2.1 Struktur Virus Japanese Encephalitis ... 7

Gambar 2.2 Distribusi Global Negara Infeksi Japanese ... 9

Gambar 2.3 Mekanisme Penularan JE ... 10

(15)

xv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Jadwal Penyusunan Skripsi ... 58

Lampiran 2 Informed Consent ... 59

Lampiran 3 Kuesioner Penelitian ... 60

Lampiran 4 Anaisis Data ... 63

Lampiran 5 Peta Lokasi Penelitian ... 76

Lampiran 6 Dokumentasi ... 78

Lampiran 7 Kode Etik Penelitian...81

(16)

xvi

DAFTAR LAMBANG, SINGKATAN DAN ISTILAH

Daftar Lambang : Lebih kecil

≤ : kurang dari sama dengan : Lebih dari

= : Sama dengan % : Persen

Daftar Singkatan

JE : Japanese encephalitis

VJE : Virus Japanese encephalitis

CFR : Case fatality rate

Ab : Antibodi

KLB : Kejadian luar biasa RNA : Asam ribonukleat

(17)

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Penyakit Japanese encephalitis (JE) merupakan salah satu penyakit yang cukup berbahaya dan menjadi masalah kesehatan masyarakat. Virus Japanese

encephalitis (VJE) merupakan penyebab penyakit JE. Penyakit ini bersifat zoonosis

akut yang menyebabkan terjadinya radang otak pada manusia serta ditularkan melalui gigitan nyamuk dan akhirnya dapat menyebabkan kematian, cacat fisik, dan cacat mental pada pasiennya (Erlanger et al, 2009).

Tsai (2000) melaporkan bahwa kasus JE di dunia berkisar anatara 30.000-50.000 kasus per tahun dengan CFR 20%-30%. Erlangger et al (2009) melaporkan bahwa diperkirakan terdapat 50.000 kasus klinis JE dengan CFR yang sama yaitu sekitar 20%-30%. Sedangkan Paramarta (2009) melaporkan bahwa di beberapa wilayah Asia, lebih dari 35.000 kasus dilaporkan JE setiap tahunnya dengan CFR sebesar 20%-28%. Di Indonesia pada tahun 2005 dilaporkan bahwa terjadi infeksi JE pada berbagai tempat. Berdasarkan hasil surveilans berbasis rumah sakit di enam provinsi di Indonesia tahun 2005-2006 mengatakan bahwa Indonesia merupakan daerah endemis JE dimana persentase positif Ab JE berkisar antara 1,8% hingga 17,9% (Ompusunggu et al, 2008).

(18)

2

delapan kabupaten yang ada di Bali. Pada tahun 2015 kasus klinis JE terus mengalami peningkatan di masing-masing kabupaten. Salah satu daerah yang mengalami KLB JE adalah Desa Canggu, Kabupaten Badung. KLB ini terjadi pada bulan November 2015 tepatnya di Banjar Canggu, Desa Canggu. Daerah ini merupakan daerah dengan kasus klinis JE terbanyak selama tahun 2015 yaitu sebanyak 18 kasus yang pada tahun sebelumnya sama sekali tidak terdapat kasus klinis JE, dimana 17 diantaranya merupakan warga asli Desa Canggu dan 1 orang merupakan warga negara asing (Dinas Kesehatan Provinsi Bali, 2015).

Nyamuk yang paling sering di jumpai di Indonesia yang dapat menularkan penyakit ini adalah Culex tritaeniorhynchus (Maha, 2012). Sebuah penelitian di Bali mengatakan bahwa jenis nyamuk Culex yang ada di Bali antara lain Culex

tritaeniorhychus, Culex gelidux, dan Culex fuschophala (Paramarta, 2009). Habitat

perkembangbiakan larva Culex banyak ditemukan di got/saluran air, rawa-rawa, parit, sawah, sumur, kubangan, kobakan, bak mandi, dan tempat-tempat penyimpanan air (Kemenkes RI, 2013). Berdasarkan penelitian Paramarta (2009) mengatakan bahwa sawah disekitar rumah menunjukkan hasil yang bermakna secara statistik terhadap penyakit JE yaitu dengan RR 69,9 dan p=0,029. Dalam penelitian Cao, et al (2010) mengatakan bahwa faktor risiko lingkungan yang mempengaruhi infeksi JE antara lain adanya daerah persawahan disekitar tempat tinggal (P=0,34, p<0,001), adanya kandang babi disekitar tempat tinggal (P=0,56) dan populasi daerah pedesaan (P=0,40). Dalam penelitian Ardias, dkk (2012), habitat nyamuk seperti adanya keberadaan rawa/kubangan/parit dapat menjadi tempat yang potensial

untuk berkembangbiaknya nyamuk Culex, karena di rawa/kubangan/parit paling

banyak di jumpai tanaman air (p=0,02). Selain adanya habitat nyamuk, hasil

(19)

3

kandang ternak, pakaian yang digantung akan berpengaruh terhadap

perkembangbiakan nyamuk Culex dengan nilai p=0,006. Semua habitat tersebut berada di lingkungan masyarakat dan akan memberikan dampak yang buruk bagi masyarakat setempat apabila tidak dilakukan upaya pencegahan dengan segera.

Karena begitu besarnya peran lingkungan terhadap JE, kasus yang semakin meningkat tiap tahunnya, belum adanya data tentang kondisi lingkungan terkait JE di Dinas Kesehatan Provinsi Bali, serta belum pernah dilakukannya penelitian terkait kondisi lingkungan JE, oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti mengenai kondisi lingkungan terkait JE, disamping itu juga ingin melihat pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan JE di daerah endemis, Desa Canggu tahun 2016.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas, penyebaran penyakit JE di Bali semakin meningkat tiap tahunnya. Pada bulan November 2015 terjadi KLB JE di Desa Canggu dengan jumlah kasus sebanyak 18 orang, 17 orang diantaranya merupakan warga Desa Canggu dan 1 orang merupakan warga negara asing. Hal ini tidak lepas dari peran kondisi lingkungan terhadap penyebaran penyakit JE. Salah satu cara untuk menurunkan kasus JE adalah dengan menghindari berbagai faktor risiko deperti menjaga kondisi lingkungan sekitar dan menerapkan perilaku menghindari gigitan nyamuk.

1.3 Pertanyaan Penelitian

(20)

4

1.4 Tujuan

1.4.1 Tujuan Umum

Mengetahui gambaran kondisi lingkungan, pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan JE di daerah yang pernah mengalami KLB.

1.4.2 Tujuan Khusus

1. Mengetahui gambaran kondisi lingkungan di daerah yang pernah mengalami KLB.

2. Mengetahui gambaran pengetahuan masyarakat di daerah yang pernah mengalami KLB.

3. Mengetahui gambaran sikap masyarakat di daerah yang pernah mengalami KLB.

4. Mengetahui gambaran perilaku pencegahan masyarakat JE di daerah yang pernah mengalami KLB.

1.5 Manfaat

1.5.1 Manfaat Praktis 1. Bagi Pemerintah

a. Menjadi bahan masukan dan informasi terkait pengetahuan, sikap dan perilaku serta kondisi lingkungan masyarakat di daerah yang pernah mengalami KLB.

(21)

5

2. Bagi Penulis

a. Menambah wawasan dan pengetahuan mengenai kondisi lingkungan, pengetahuan, sikap dan perilaku pencegahan JE di daerah yang pernah mengalami KLB.

b. Sebagai sarana untuk mengaplikasikan ilmu dan teori yang diperoleh selama proses perkuliahan.

3. Bagi Penduduk di Daerah yang Pernah Mengalami KLB JE

Memberi informasi kepada penduduk di daerah yang pernah mengalami KLB JE terkait dengan berbagai faktor risiko JE serta pencegahannya sehingga penularan JE dapat dihindari.

4. Bagi Masyarakat

Menjadi sumber informasi terkait dengan kondisi lingkungan dan berbagai faktor risiko JE di daerah yang pernah mengalami KLB, sehingga dengan hal ini diharapkan dapat membantu dalam upaya pencegahan.

1.5.2 Manfaat Teoritis

(22)

6

1.6 Ruang Lingkup Penelitian

(23)

7

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Japanese Encephalitis

2.1.1 Etiologi

Gambar 2.1 Struktur Virus Japanese Encephalitis

Japanese encephalitis adalah suatu penyakit zoonosis yang menginfeksi

binatang peliharaan dan binatang liar seperti babi, burung, kelelawar, kera, bebek, tikus, sapi, ular, kerbau, kambing, kodok dan kucing, namun kadang-kadang menyerang manusia secara kebetulan. VJE merupakan penyebab penyakit ini. VJE termasuk dalam famili flaviviridae, genus flavivirus yang ditularkan oleh gigitan nyamuk tipe spesifik terutama jenis Culex tritaeniorhynchus yang hidup di daerah persawahaan dan peternakan babi. Dalam proses terjadinya penyebaran penyakit diperlukan adanya reservoir (sumber infeksi) terutama babi dan vektor lain dari berbagai jenis nyamuk culex serta nyamuk lainnya, oleh sebab itu infeksi JE termasuk arbovirosis (Putra, 2007).

Virus japanese encephalitis berasal dari genus Flavivirus dan familia

(24)

8

sferis, berdiameter 40-60 nm dan memiliki inti virion yang terdiri dari asam ribonukleat (RNA) rantai tunggal yang sering bergabung dengan protein yang disebut nukleoprotein. Kapsid merupakan pelindung inti virion yang terdiri dari polipeptida yang berbentuk tata ruang dan dibatasi oleh 20 segi sama sisi dengan aksis rotasi ganda. VJE pada umumnya bersifat labil terhadap suhu tinggi dan rentan terhadap berbagai pengaruh disinfektan, pelarut lemak, deterjen, serta enzim proteolik. Virus ini memiliki infektivitas yang paling stabil pada pH 7-9, tapi virus ini dapat dilemahkan oleh eter, radiasi elektromagnetik, dan natrium deoksikolat. VJE berkembangbiak dalam sel hidup, tepatnya dalam sitoplasma. Kesulitan dalam mengisolasi virus dari darah pasien disebabkan karena VJE memiliki masa viremia yang pendek. Namun bila organ otak yang terinfeksi, akan sangat sulit dilakukan isolasi virus karena alasan budaya (Kemenkes RI, 2013).

2.1.2 Epidemiologi JE

Virus japanese encephalitis merupakan penyebab radang otak pada manusia yang ditularkan dari babi melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi. Epidemiologi JE telah banyak dilapoorkan di beberapa negara Asia diantaranya Kamboja, Cina, Indonesia, Jepang, Laos, Malaysia, Myanmar, Filipina, Korea, Thailand, Vietnam, daerah Selatan-Timur Federasi Rusia dan India. Beberapa tahun terakhir, secara bertahap JE menyebar ke wilayah Asia yang sebelumnya tidak terpengaruh oleh penyakit ini (Sendow & Sjamsul, 2005).

(25)

9

karakteristik musimam yang khas dengan wabah sesekali. Sedangkan pola endemik dapat ditemukan di daerah selatan yaitu Australia, Burma, Brunei Darussalam, Kamboja, Indonesia, Laos, Malaysia, Papua New Guinea (PNG), Filipina, Singapura, Vietnam Selatan, Selatan Thailand, India Selatan, Sri Lanka, dan Timor-Leste yang terjadi secara sporadis pada sepanjang tahun(Wang et al, 2015).

Gambar 2.2 Distribusi Global Negara Infeksi Japanese encephalitis

Di Indonesia kasus JE pertama kali dilaporkan oleh Kho et al (1972) berdasarkan gejala klinis dan adanya antibodi penghambat aglutin (HI) serta terdapat virus nakayama JE dalam darah seorang penderita (Kanamitsu et al, 1979).

(26)

10

isolat virus yang diidolasi dari Malaysia, Thailand dan Indonesia yaitu termasuk dalam kelompok genotipe 3(World Health Organization, 2006).

2.1.3 Mekanisme Penularan

Gambar 2.3 Mekanisme penularan JE

Penyakit JE merupakan penyakit yang termasuk arbovirus (arthropod born

viral disease) yaitu suatu penyakit yang disebabkan oleh virus dan ditularkan oleh

artropoda. Dalam perjalanan alamiah penyakit arbovirus diperlukan adanya reservoir

(27)

11

Pada dasarnya penyakit zoonosis adalah penyakit yang ditularkan dari hewan ke hewan. VJE dapat menyerang manusia disebabkan karena nyamuk yang terinfeksi VJE secara kebetulan menggigit manusia. Populasi nyamuk yang terlalu padat dan nyamuk betina yang memerlukan makanan (darah) untuk bertelur yang kebetulan akhirnya menggigit babi dan manusia (Paramarta, 2009).

Siklus penularan JE dapat terjadi anatar sesama hewan, babi, atau hewan besar, atau unggas lainnya serta dari hewan besar lainnya, unggas, atau babi kepada manusia, dimana kedua penularan ini terjadi melalui gigitan nyamuk yang terinfeksi, terutama babi yang merupakan amplifier terbaik. Jika darah babi yang mengandung VJE dihisap oleh nyamuk, maka nyamuk tersebut akan menyebarkan virus melalui gigitannya pada manusia ataupun hewan lain. Jarak terbang nyamuk Culex berkisar antara 1-4 km. Dibandingkan pada siang hari, nyamuk Culex lebih banyak menghisap darah manusia pada malam hari dengan puncak kepadatan pada jam 18.00-22.00. Nyamuk ini lebih banyak menghisap darah diluar rumah dan ditemukan beristrahat di luar rumah maupun didalam rumah. Di luar rumah nyamuk ini beristrahat di rerumputan, dedaunan, pohon, kandang ternak, daun kering dan tempat lainnya. Sedangkan di dalam rumah nyamuk ini berada di pakaian yang menggantung, dinding dan lemari, kolong tempat tidur serta tempat-tempat yang lembab dan gelap (Kemenkes RI, 2013).

2.1.4 Faktor Risiko

Infeksi VJE pada manusia sangat berfariasi, dapat berupa asimtomatik dengan serokonversi antibodi, gejala subklinis atau demam, atau tanda-tanda

meningomieloencephalitis akut. Adapun beberapa faktor risiko yang mempengaruhi

(28)

12

didapat secara alamiah ataupun karena di vaksinasi, tinggal di daerah endemik JE, dan perilaku yang dapat meningkatkan risiko tertapapar oleh vektor JE, seperti berada di luar rumah pada malam hari, tidak menggunakan lotion antinyamuk dan tidak menggunakan kelambu pada saat tidur (Kemenkes RI, 2013).

Adapun beberapa faktor risiko JE menurut Kementrian Kesehatan RI dalam

bukunya “Pedoman Pengendalian Japanese Encephalitis” antara lain sebagi berikut :

1. Agent, yang meliputi : VJE

2. Host, yang meliputi : status imunologi, tinggal/bekerja di daerah dekat dengan reservoir (terutama babi)

3. Lingkungan/environment, yang meliputi : daerah persawahan, curah hujan yang mengakibatkan banyak terdapat genangan air, sanitasi lingkungan yang buruk

4. Vektor, yang meliputi : kepadatan jentik, resistensi terhadapa insektisida 5. Perilaku masyarakat, yang meliputi : pemberantasan tempat

perkembangbiakan nyamuk, menghindari gigtan nyamuk (seperti, memakai kelambu, repellent dan obat anti nyamuk lainnya).

(29)

13

kelamin (p=0,03l, OR=1,84), tingkat pengetahuan ibu (p=0,000, OR=3;59), kebiasaan memakai kelambu (p=0,029, OR = 2,93), kebiasaan memakai obat nyamuk (p=0,007, OR = 2,18), pemakaian kawat kasa (p=0,006, OR = 2,78).

2.1.5 Kondisi Lingkungan

Japanese encephalitis merupakan penyakit yang disebabkan oleh virus yang

penyebarannya sangat berkaitan erat dengan kondisi lingkungan. Pada daerah persawahaan, terutama pada musim tanam yang selalu digenangi air dan hal ini diduga dapat berpengaruh terhadap endemisitas penyakit JE. sedangkan di daerah perkotaan, nyamuk ini dapat ditemukan dengan mudah di selokan dan air yang tergenang. Peningkatan transmisi penyakit ini juga dapat disebabkan karena peningkatan populasi nyamuk pada saat musim hujan (Departemen Kesehatan RI, 2007).

Beberapa penelitian telah dilakukan terkait dengan kondisi lingkungan penyakit JE. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Kari di RSUP Sanglah, Bali pada tahun 2007. Hasil penelitian didapatkan 2 faktor yang berhubungan dengan JE yaitu tempat tinggal dekat sawah (OR = 5,618, p = 0,000, IK95% = 2,622-12,034) dan memelihara babi (OR = 5,010, p = 0,000, IK95% = 2,286-10,978). Penelitian lain yang dilakukan oleh Ghimire, et al (2014) di Nepal menunjukkn bahwa tingkat infeksi peternak sangat berhubungan dengan kedekatan dengan sawah (p<0,005), kedekatan dengan air yang tergenang (p<0,005), paparan burung liar (p<0,005), dan gigitan nyamuk pada babi (p<0,005). Dalam penelitian

Ardias, dkk (2012), habitat nyamuk seperti adanya keberadaan rawa/kubangan/parit

dapat menjadi tempat yang potensial untuk berkembangbiaknya nyamuk Culex,

(30)

14

adanya habitat nyamuk, hasil penelitian menunjukkan bahwa adanya tempat istrahat

nyamuk seperti semak-semak, kandang ternak, pakaian yang digantung akan

berpengaruh terhadap perkembangbiakan nyamuk Culex dengan nilai p=0,006.

2.1.6 Cara Pengendalian Vektor JE

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2007) bahwa perilaku pencegahan adalah suatu proses, cara, tindakan mencegah atau tindakan menahan agar sesuatu tidak terjadi. Sehingga dengan demikian, pencegahan merupakan suatu tindakan dan sangat identik dengan perilaku.

Berdasarkan Kementrian Kesehatan RI dalam buku “Pedoman Pengendalian

Japanese Encephalitis” bahwa perilaku pencegahan atau upaya pencegahan dan

pengendalian terhadap vektor penyebab JE dapat dilakukan secara cara non kimiawi dan kimiawi.

1. Secara non kimiawi

Pengendalian secara non kimiawi merupaka upaya pertama yang dapat dilakukan untuk mencegah penyakit JE. Upaya ini meliputi :

a. Pengendalian sarang nyamuk (PSN) JE.

Dalam hal pemmberantasan nyamuk Culex yang paling penting adalah melakukan pengelolaan terhadap tempat perkembangbiakanya (breeding

places) yang dapat dilakukan dengan mengatur aliran saluran air/got agar

(31)

15

baju kotor juga harus segera dicuci, di lipat dan dimasukkan ke dalam lemari agar jangan sampai menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk

Culex.

b. Penggunaan kelambu

Pemakaian kelambu merupakan upaya pencegahan yang efektif untuk dilakukan jika ditemukannya kasus JE dan pada populasi nyamuk Culex

yang tinggi. c. Kawat kasa

Kawat kasa merupaka barrier yang biasa digunakan untuk menghindari kontak dengan nyamuk atau untuk mencegah nyamuk masuk ke dalam rumah.

d. Bahan biologi

Ikan pemangsa jentik yaitu bachillus parasit dan lainnya merupakan bahan biologi yang dapat digunakan untuk upaya pengendalian vektor JE. e. Membersihkan got/saluran air secara rutin agar terjaga kelancaran

alirannya.

f. Ruangan rumah dijaga cahaya dan suhunya agar tidak gelap dan lembab. Sebab rumah yang gelap dan lembab sangat disukai oleh nyamuk Culex

sebagai tempat perkembangbiakannya.

g. Sirkulasi udara dalam rumah harus dijaga dengan baik. Hal ini dapat dilakukan dengan membuka ventilasi pada siang hari.

h. Pencahayaan rumah harus dijaga jangan sampai gelap.

(32)

16

terlalu lama dicuci akan menjadi tempat yang bagus untuk perkembangbiakan nyamuk Culex.

j. Lingkungan peternakan harus dijaga kebersihannya, dengan membersihkan kandang ternak setiap hari secara rutin.

k. Kobakan, kubangan dan genangan air lainnya harus dikeringkan agar tidak menjadi habitat perkembangbiakan nyamuk.

l. Kandang harus dijaga agar tidak lembab dan gelap. Karena tempat seperti ini akan menjadi habitat yang sangat baik perkembangbiakan nyamuk

Culex.

2. Secara kimiawi

Cara ini merupakan cara terkahir yang dapat dilakukan dalam pengendalian vektor JE jika upaya PSN dan pengendalian biologi hasilnya kurang optimal. Cara kimiawi ini harus dilakukan secara hati-hati serta memperhatikan dampak residu lingkungan dan faktor resistensi vektor. Adapun upaya pencegahan secara kimiawi anatara lain sebagai berikut :

a. Pengasapan (fogging)

Fogging tidak dilakukan sembarangan, fogging hanya dilakukan jika

ditemukan kasus. Sebelum melakukan fogging harus mendapatkan informasi yang akurat tentang efektivitas insektisida dan status kerentanan nyamuk terhadap insektisida tersebut. Jika status nyamuk tersebut rentan efektif terhadap insektisida, maka dalam aplikasi fogging

(33)

17

b. Kelambu berinsektisida

Pada wilayah yang endemis JE, kelambu berinsektisida sangat efektif untuk menurunkan populasi vektor nyamuk yang sangat tinggi.

c. Insektisida rumah tangga

Obat nyamuk bakar, obat nyamuk semprot, repellent dan lainnya merupakan jenis insektisida rumah tangga yang dapat digunakan untuk melindungi diri dari gigitan nyamuk.

d. Penyuluhan masyarakat

Penyuluhan ini dilakukan dengan tujuan untuk meningkatkan pengetahuan masyarakat terhadap vektor serta cara pengendaliannya, sehingga masyarakat dapat melakukan upaya pencegahan atau perilaku pencegahan secara mandiri. Dalam hal ini kemandirian masyarakat lebih ditekankan pada PSN maupun gotong royong, baik di lingkungan penduduk ataupun di kandang ternak.

2.2 Teori Perilaku

Perilaku adalah kegiatan atau aktifitas yang dilakukan oleh makhluk hidup yang bersangkutan. Jadi, yang dimaksud dengan perilaku manusia adalah kegiatan atau tindakan manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan sangat luas yang meliputi, berjalan, berbicara, menangis, tertawa, bekerja, kuliah, menulis, membaca dan sebagainya sementara itu Skiner, seorang ahli psikolog menyatakan bahwa perilaku adalah suatu respons seseorang terhadap suatu timulus atau rangsangan. (Notoatmodjo, 2007).

(34)

non-18

behavior causes). Faktor perilaku dipengarui predisposing, enabling dan reinforcing

causes in educational diagnosis and evaluation yang merupakan suatu arahan dalam

mendiagnosis atau menganalisis serta valuasi perilaku untuk promosi kesehatan. Sedangkan faktor di luar perilaku dipengaruhi oleh policy, regulatory, organizational

construct in educational and environmental development yang merupakan arahan

dalam perencanaan, implementasi, dan evaluasi promosi kesehatan. (Notoatmodjo, 2010).

Dari uraian diatas dapat diketahui bahwa faktor perilaku ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu faktor predisposisi, faktor pemungkin, faktor pendorong atau penguat.

1. Faktor-faktor predisposisi (predisposing factors), yang meliputi pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya.

2. Faktor-faktor pemungkin (enabling factors), yang meliputi lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana kesehatan.

3. Faktor-faktor pendorong atau penguat (reinforcing factors), yang meliputi sikap dan perilaku petugas kesehatan atau petugas lain, yang merupakan kelompok referensi dari perilaku masyarakat.

(35)

19

2.3 Penelitian Japanese Encephalitis Sebelumnya

Penelitan yang dilakukan oleh Prasetyowati (2004) di Bali tentang kejadian JE dan faktor-faktor yang mempengaruhi di Provinsi Bali tahun 2002-2003, menunjukkan bahwa variabel yang berhubungan dengan kejadian JE pada anak-anak antara lain adanya ternak babi (p=0,002, OR = 2,81), tempat perindukan nyamuk (p=0,005, OR = 2,59), kualitas rumah (p=0,003, 0R= 3,49), umur (p=0,0l7, OR = 2,04), jenis kelamin (p=0,03l, OR=1,84), tingkat pengetahuan ibu (p=0,000, OR=3;59), kebiasaan memakai kelambu (p=0,029, OR = 2,93), kebiasaan memakai obat nyamuk (p=0,007, OR = 2,18), pemakaian kawat kasa (p=0,006, OR = 2,78).

Penelitian yang dilakukan oleh Putra dan Kari di RSUP Sanglah, Bali pada tahun 2007 tentang manifestasi klinis dan faktor-faktor yang berhubungan dengan JE di RSUP Sanglah Denpasar, menunjukkan bahwa dari 155 pasien yang dirawat dengan diagnosis ensefalitis. Ditemukan 73 pasien (47,1%) disebabkan oleh virus JE (VJE); sebagian besar berumur < 6 tahun, dan laki-laki 45 (61,64%). Didapatkan 2 faktor yang berhubungan dengan JE yaitu tempat tinggal dekat sawah (OR = 5,618, p = 0,000, IK95% = 2,622-12,034) dan memelihara babi (OR = 5,010, p = 0,000, IK95% = 2,286-10,978).

Sementara itu penelitian lain juga yang dilakukan di Bali yaitu di RSUP Sanglah oleh Paramarta, dkk (2009) tentang faktor risiko lingkungan pada pasien JE, mengemukakan bahwa dari beberapa variabel yang diteliti yaitu sawah (P=0,016), babi (P=0,018) dan jarak kandang < 100 meter (P=0,004), berdasarkan hasil analisis menunjukkan bahwa hanya variabel sawah disekitar tempat tinggal pasien yang bermakna secara statistik yaitu dengan nilai P=0,029.

(36)

20

meneliti hubungan antara faktor risiko dengan distribusi daerah JE penduduk di China. Hasil penelitian menunjukkan sebanyak 22.334 kasus JE di China dari tahun 2004-2007. Ditemukan sebanyak 46% JE pada anak usia dibawah 5 tahun, 42% anak usia 5-12 dan sekitar 12% pada umur >15 tahun. Kasus JE telah menyebar di seluruh provinsi di China kecuali Qinghai, Xinjiang dan Xizang. Provinsi dengan insiden JE tertinggi adalah Guizhou, Chongqing, Sichuan, Yunnan, Guangxi dan Shaanxi. Berdasarkan hasil peneliti diperoleh hasil yang signifikan antara SMR JE dan proporsi daerah persawahan sebesar 0,34 (P < 0,001), luas kandang babi sebesar 0,56 (P < 0,001), dan proporsi penduduk di daerah pedesaan sebesar 0,40 (P<

0,001).

Sebuah penelitian oleh Khanal, et al (2013) yang berjudul “Knowledge and

epidemiological risk factors of JE in community members of rupandehi district,

Nepal” bertujuan untuk membandingkan pengetahuan antara 50 responden yang memelihara babi dan 50 responden yang tidak memelihara babi. Hasil analisis menunjukkan bahwa sebesar 54% responden pernah mendengar tentang JE, namun dari persentase teersebut hanya 30 orang (60%) peternak babi yang pernah mendengar tentang JE dan 24 orang (48%) bukan peternak babi yang belum pernah mendengar tentang JE dengan nilai P yang tidak terlalu signifikan yaitu p>0,05. Pengetahuan tentaang JE ditemukan bermakna pada usia dewasa pada rentang usia 16-40 tahun dengan nilai p<0,05. Selanjutnya dari survey pada 100 peternak babi diperoleh sebesar 84,5% peternak yang melihat nyamuk di kandang babi dan 52% peternak yang melihat nyamuk menggingit babi.

(37)

21

Gambar

Gambar 2.1 Struktur Virus Japanese Encephalitis
Gambar 2.2 Distribusi Global Negara Infeksi Japanese  encephalitis
Gambar 2.3 Mekanisme penularan JE

Referensi

Dokumen terkait

Hal tersebut dikarenakan kelebihan dari antar jemput konvensional menggunakan kendaraan roda dua adalah selain biaya yang lebih murah, dan efektifitas dalam berkendara

Penelitian dimulai dengan mengidentifikasi approachability, acceptability, availability and accomodation, dan affordability, ability to perceive, ability to seek, ability

Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa Tugas Akhir dengan judul : PERANCANGAN TYPEFACE TAPIS TERINSPIRASI DARI KAIN TAPIS LAMPUNG y ang dibuat sebagai karya tugas akhir

Rangsangan merupakan perubahan di dalam persepsi atau pengalaman dengan lingkungan yang membuat seseorang bersifat aktif. Stimulus yang unik akan menarik perhatian setiap

Dengan adanya perancangan promosi obyek wisata melalui media audio visual dapat memberi gambaran tentang teknik pengambilan gambar bangunan (arsitektur) dan

konsumen; 7) hak untuk diperlakukan atau dilayani secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif; 8) hak untuk mendapatkan kompensasi, ganti rugi

7) Melakukan normalisasi matrik keputusan dengan cara menghitung nilai dari rating setiap kriteria ternormalisasi (rij) dari alternatif Ai pada kritera Cj seperti

Siispä vaikuttaa siltä, että hän olisi sanonut turhaan: ”Että olet kuullut minua.” Mutta hän puhuu näin juutalaisten takia osoittaen, että hän on