• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II TELAAH PUSTAKA. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber daya yang berasal dari dalam

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II TELAAH PUSTAKA. pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber daya yang berasal dari dalam"

Copied!
31
0
0

Teks penuh

(1)

8 BAB II

TELAAH PUSTAKA

2.1 Landasan Teori.

2.1.1 Pengertian Pajak

Salah satu usaha untuk mewujudkan kemandirian suatu Negara dalam pembiayaan pembangunan yaitu menggali sumber daya yang berasal dari dalam negeri berupa pajak. Pajak digunakan untuk membiayai pembangunan yang berguna bagi kepentingan bersama. Pajak sebagai salah satu sumber pendapatan utama yang diperoleh dari sumber dana dalam negeri, yang merupakan iuran rakyat sebagai kas Negara yang tidak mendapat balas jasa secara langsung dan digunakan dalam pembiayaan pembangunan Negara yang berguna bagi kepentingan bersama atau masyarakat pada umumnya. Pajak merupakan kewajiban yang telah ditentukan berdasarkan Undang-undang, sehingga setiap jenis pajak memiliki Undang-undang tersendiri.

Adapun beberapa beberapa definisi yang dikemukakan tentang pajak oleh tokoh-tokoh di Indonesia dan Undang-undang sebagai berikut:

1. Menurut Mardiasmo (2011:01)

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tiada mendapat jasa timbale balik yang langsung dapat ditunjukkan dan yang digunakan untuk membayar pengeluaran umum

(2)

2. Menurut Soemitro (2011:7)

Pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan Undang-undang (yang dapat dipaksakan) dengan tidak mendapat jasa timbal balik (kontra-prestasi) yang langsung dapat ditujukan dan digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

3. Menurut Waluyo (2010:2)

Pajak adalah iuran masyarakat kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan-peraturan umum (undang-undang) dengan tidak mendapat prestasi kembali yang langsung dapat ditunjuk dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum berhubung tugas negara untuk menyelenggarakan pemerintahan.

4. Menurut S. I. Djajadiningrat (2010:3)

Pajak adalah suatu kewajiban menyerahkan sebagian dari kekayaan ke kas negara yang disebabkan suatu keadaan, kejadian dan perbuatan yang memberikan kedudukan tertentu, tetapi bukan sebagai hukuman, menurut peraturan yang ditetapkan pemerintah serta dapat dipaksakan tetapi tidak ada jasa timbal balik dari negara secara langsung untuk memelihara kesejahteraan umum.

5. Undang-undang No. 6 tahun 1983 tentang ketentuan umum dan tata cara perpajakan sebagaimana yang telah beberapa kali diubah terakhir dengan UU No. 28 tahun 2007 (selanjutnya disebut dengan UU KUP), yang memiliki definisi :

Pajak adalah kontribusi wajib kepada Negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-undang, dengan tidak mendapat imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Negara bagi bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.

Dari definisi tentang pajak tersebut, dapat disimpulkan bahwa pajak memiliki beberapa unsur, yaitu:

1. Iuran dari rakyat kepada negara

Yang berhak memungut pajak hanyalah negara. Iuran tersebut berupa uang (bukan barang).

(3)

2. Berdasarkan undang-undang

Pajak dipungut berdasarkan atau dengan kekuatan undang-undang serta aturan pelaksanaannya.

3. Tanpa jasa timbal atau kontraprestasi dari Negara yang secara langsung dapat ditunjuk. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditujukan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

4. Digunakan untuk membiayai rumah tangga Negara, yakni pengeluaran-pengeluaran yang bermanfaat bagi masyarakat luas.

2.1.2 Fungsi Pajak

Ada dua fungsi pajak menurut Mardiasmo (2011:1) yaitu:

1. Fungsi Budgetair

Yaitu pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai pengeluaran-pengeluarannya.

2. Fungsi Mengatur

Yaitu pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.

Contohnya:

a. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap minuman keras untuk mengurangi konsumsi terhadap minuman keras tersebut.

b. Pajak yang tinggi dikenakan terhadap barang-barang mewah untuk mengurangi gaya hidup konsumtif.

(4)

c. Tarif pajak untuk ekspor sebesar 0% yaitu unutk mendorong ekspor produk Indonesia agar bisa bersaing di pasaran dunia.

2.1.3 Jenis-Jenis Pajak

Jenis-jenis pajak dibagi dalam beberapa golongan

1. Berdasarkan lembaga pemungutannya, menurut Mardiasmo (2011:13): a. Pajak Pusat

Yaitu pajak yang dipungut oleh pemerintah pusat. Contohnya adalah Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), dan Bea Materai.

b. Pajak Daerah

Berdasarkan pasal 1 angka 6 Undang-undang Nomor 29 tahun 2009 Pajak adalah iuran wajib yang dilakukan oleh orang pribadi atau badan kepada Daerah tanpa imbalan langsung yang seimbang, yang dapat dipaksakan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang digunakan untuk membiayai penyelenggaraan pembangunan pemerintah daerah.

Jenis-jenis pajak daerah:

1) Pajak Propinsi, contohnya: Pajak Kendaraan Bermotor dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor.

2) Pajak Kabupaten atau Kota, contohnya: Pajak Hotel, Pajak Restoran, dan Pajak Hiburan.

(5)

2. Berdasarkan pengelolanya a. Pajak Langsung

Pajak Langsung adalah pajak yang harus dipikul sendiri oleh Wajib Pajak dan tidak dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya adalah pajak penghasilan, yaitu pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honorarium gaji, upah, tunjangan, dan pembayaran lain yang diterima, atau diperoleh Wajib Pajak dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, jabatan dan kegiatan. b. Pajak Tidak Langsung

Pajak Tidak Langsung adalah pajak atau pungutan wajib yang harus dibayarkan kepada Negara yang secara tidak langsung dikenakan kepada wajib pajak sehingga dapat dibebankan atau dilimpahkan kepada orang lain. Contohnya adalah Pajak Pertambahan Nilai (PPN). 3. Berdasarkan sifatnya

a. Pajak Subjektif

Yaitu pajak yang berpangkal atau berdasarkan pada subjeknya, dengan memperhatikan keadaan dari Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Penghasilan.

b. Pajak Objektif

Yaitu pajak yang berpangkal pada objeknya, tanpa memperhatikan keadaan diri Wajib Pajak. Contohnya: Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah.

(6)

2.1.4 Mekanisme atau tata cara pembayaran Pajak Penghasilan di Indonesia

a) Pajak yang dipotong pihak ketiga

Yaitu pajak yang dibayar dengan cara adanya pihak ketiga yang dipercaya untuk melakukan pemotongan pajak terhadap imbalan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan yang terjadi. Dan tanggung jawab pihak ketiga sebagai pemotong pajak adalah memotong, menyetor, dan melaporkan pajak yang terutang. Contohnya: PPh pasal 4 ayat (2), PPh pasal 21, PPh pasal 24, dan PPh pasal 26.

b) Pajak yang dipungut pihak ketiga

Pajak yang dibayar dengan cara, pihak ketiga melakukan pemungutan pajak yang terutang atas imbalan dari pekerjaan, jasa atau kegiatan yang terjadi. Tanggung jawab dari pihak ketiga yaitu sebagai pemungut pajak adalah memungut, menyetor, dan melaporkan pajak. Pihak ketiga yang dapat bertindak sebagai pemungut pajak adalah bendaharawan pemerintah atau BUMN tertentu yang ditunjuk oleh pemerintah. Contoh: PPh pasal 22.

c) Pajak yang diangsur selama tahun pajak berjalan

Yaitu angsuran pajak yang dilakukan setiap bulan selama tahun pajak berjalan, yang didasarkan pada jumlah pajak yang terutang pada pajak sebelumnya, dan akan digunakan sebagai kredit pajak sebagai pengurang jumlah pajak yang harus dibayar pada akhir tahun pajak. Dengan asumsi bahwa pajak yang terutang pada tahun pajak berjalan tidak akan berbeda jauh dengan pajak yang terutang pada tahun sebelumnya, wajib pajak

(7)

diharapkan tidak akan membayar pajak dalam jumlah yang besar di akhir tahun karena adanya PPh pasal 25.

d) Pajak yang dibayar secara tahunan atas kekurangan pajak

Pembayaran pajak secara tahunan atau juga disebut dengan PPh pasal 29 adalah pembayaran pajak yang dilakukan setiap akhir tahun pajak atas kekurangan pembayaran pajak oleh wajib pajak (WP), baik waib pajak badan (WP Badan), atau wajib pajak orang pribadi (WPOP). Pembayaran pajak dengan cara ini dilakukan atas Pajak Penghasilan Orang Pribadi (PPh OP) dan Pajak Penghasilan Badan (PPh Badan). Jumlah kekurangan pembayaran pajak diketahui setelah dilakukan perhitungan pajak yang terutang atas penghasilan yang diperoleh pada tahun berjalan dikurangi kredit pajak yang ada, yaitu pajak yang telah dipotong atau dipungut oleh pihak ketiga dan jumlah angsuran pajak selama tahun pajak berjalan. Jika setelah dilakukan perhitungan, ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari pajak yang telah dibayar pada tahun berjalan, maka wajib pajak harus melakukan pembayaran atas kekurangan pajak tersebut.

2.1.5 Tarif pajak Penghasilan

Pajak penghasilan mempunyai tarif pajak yang berbeda untuk setiap jenis pajak. Tarif pajak sendiri memiliki pengertian yaitu tarif yang digunakan untuk menghitung besarnya pajak yang harus dibayar. Ketentuan tentang tarif pajak adalah ketentuan tentang cara menghitung besarnya pajak yang terhutang dan biasanya merupakan persentase untuk diterapkan atas penghasilan netto untuk

(8)

menghitung besarnya pajak yang harus dibayar oleh Wajib Pajak yang bersangkutan.

Beberapa macam persentase tarif Pajak Penghasilan menurut Mansury (1996:20):

1. Tarif Marginal

Yaitu persentase tarif pajak yang berlaku untuk suatu kenaikan dasar pengenaan pajak.

2. Tarif Efektif

Yaitu besarnya persentase besarnya tarif pajak yang berlaku atau yang harus diterapkan atas dasar pengenaan pajak tertentu.

Tarif pajak juga dibedakan berdasarkan strukturnya. Struktur tarif pajak adalah berkenaan dengan pola prosentase tarif pajak yang dipakai untuk menghitung besarnya pajak dengan cara menerapkan persentase yang bersangkutan kapada dasar pengenaan pajak yang bersangkutan. Jadi struktur tarif pajak adalah pola dari persentase tarif apabila dasar pengenaan pajak berubah, baik naik maupun turun. Tarif tersebut dibedakan menjadi beberapa, yaitu:

1. Tarif Porposional

Yaitu jika persentase tarif pajak itu tetap, baik apabila dasar pengenaan pajak itu naik atau turun.

2. Tarif Regresif

Yaitu tarif pajak yang berbanding terbalik dengan dasar pengenaan pajak, sehingga jika dasar pengenaan pajak semakin tinggi, tarif pajaknya semakin rendah.

(9)

3. Tarif Progresif

Yaitu tarif pajak yang berbanding lurus dengan dasar pengenaan pajak, sehingga jika dasar pengenaan pajak semakin tinggi, tarif pajaknya juga semakin tinggi.

2.1.6 Subjek Pajak

Menurut Waluyo (2010:89), subjek pajak dapat diartikan sebagai orang yang dituju oleh undang-undang untuk dikenakan pajak. Pajak penghasilan dikenakan terhadap Subjek Pajak berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak.

Berdasarkan UU PPh Pasal 2 ayat 1 No. 36 tahun 2008, yang menjadi subjek pajak adalah:

a. Orang pribadi

Orang pribadi sebagai Subjek Pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia atau luar Indonesia.

b. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak penunjukan warisan yang belum terbagi sebagai Subjek Pajak pengganti dimaksudkan agar pengenaan pajak atas penghasilan yang berasal dari warisan tetap dapat dilaksanakan.

c. Badan

Badan terdiri dari perseroan terbatas, perseroan komanditer, perseroan lainnya, BUMN / BUMD dengan nama bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pensiunan, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi

(10)

massa, organisasi social politik, atau organisasi lainnya, lembaga dan bentuk badan lainnya termasuk kontrak investasi kolektif.

d. Bentuk Usaha Tetap

Yang dimaksud dengan bentuk usaha tetap adalah bentuk usaha yangdipergunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat berkedudukan di Indonesia, unutk menjalankan usahanya atau melakukan kegiatannya di Indonesia.

2.1.7 Objek Pajak

Mardiasmo (2011:139) yang menjadi Objek Pajak adalah penghasilan, yaitu “setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk tambahan kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh.

b. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan, c. Laba Usaha

d. Keuntungan karena penjualan atau pengalihan harta,

e. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak,

(11)

f. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian uang,

g. Dividen

h. Royalty atau imbalan atas penggunaan hak,

i. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, j. Penerimaan atau perolehan pembayarab berkala,

k. Keuntungan karena pembebasab utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah,

l. Keuntungan selisih kurs mata uang asing, m. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva, n. Premi asuransi,

o. Iuran yang diterima atau diperoleh dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yan gmenjalankan usaha atau pekerjaan bebas,

p. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak,

q. Penghasilan dari usaha berbasis syariah, r. Imbalan bunga,

s. Surplus Bank Indonesia.

2.1.8 With holding Tax System pada Pajak PPh pasal 23

PPh pasal 23 merupakan salah satu pajak penghasilan sehingga dapat diklarifikasikan sebagai pajak langsung. Pada pajak penghasilan, yang sebenarnya berhutang pajak adalah si penerima penghasilan, namun pada pajak PPh pasal 23 ini pemerintah menunjuk pemberi penghasilan untuk bertanggung jawab atas

(12)

pelunasan hutang pajak tersebut , karena PPH pasal 23 merupakan salah satu jenis pajak penghasilan yang menggunakan metode potong-pungut (Pot-Put) atau yang sering disebut With holding Income Tax. With holding Income Tax merupakan suatu sistem pemungutan pajak dimana wewenang untuk menentukan besarnya pajak yang terutang oleh seseorang berada pada pihak ketiga sebagai pemotong pajak, bukan oleh fiskus maupun Wajib Pajak itu sendiri.

Penggunaan With holding Tax System pada PPh pasal 23 atas jasa dilakukan karena PPh pasal 23 adalah pajak atas jasa, sehingga sulit untuk diidentifikasi keberadaan transaksinya, tidak seperti barang yang memiliki bukti fisik berupa barang yang akan diperjualbelikan. Hal ini juga dilakukan untuk menjamin kelancaran dan keamanan pendapatan Negara dari sektor pajak ini, karena pajak yang terutang atas penghasilan yang dibayarkan langsung dipotong saat itu juga oleh pihak ketiga sebagai pihak lain diluar subjek pajak dan aparat pajak.

Jika pajak terutang baru dibayarkan pada akhir tahun, selain dapat menimbulkan kecurangan terhadap jumlah pajak yang dibayar karena sulitnya melakukan identifikasi atas transaksi penggunaan jasa tasi, juga akan memberatkan wajib pajak karena total PPh pasal 23 yang terutang selama satu tahun pajak akan cukup besar, dengan adanya kemungkinan uang yang seharusnya digunakan untuk pembayaran PPh pasal 23 telah digunakan untuk keperluan lain. Maka digunakanlah Withholding Tax System ini, untuk mengantisipasi semua itu.

(13)

Dalam With holding Tax System, pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan penghasilan kepada wajib pajak memiliki peran yang sangat penting, karena pihak ketiga inilah yang melakukan penghitungan dan pemotongan pajak yang diperkirakan terutang atas pembayaran yang dilakukan oleh pihak ketiga tersebut kepada Wajib Pajak sebagai penerima penghasilan. Dengan With holding Tax System, kewajiban administrasi perpajakan tidak semata hanya berada di pihak pemotong pajak, namun juga sangat berguna bagi pihak yang dipotong pajaknya, bahwa atas penghasilan atau transaksi yang dilakukan telah dikenakan pajak. Dalam hubungan ini, untuk keperluan administrasi perpajakan bagi masyarakat yang dipotong pajaknya, maka pihak ketiga tersebut memberikan bukti pemotongan pajak.

Bukti pemotongan pajak atau yang disebut Bukti Potong ini merupakan bukti pemotongan pajak yang dilakukan oleh pihak ketiga yang bertindak sebagai pemotong pajak atas pajak yang terutang. Bukti potong merupakan hal yang penting karena menjadi dasar bagi wajib pajak untuk mengakui adanya pemotongan pajak sepanjang tahun berjalan, sehingga wajib pajak dapat mengakui pajak tersebut. Tapi untuk PPh pasal 23 itu sendiri tidak adanya bukti potong pajak, pajak yang telah dipotong dan dilaporkan dalam SPT masa setiab bulannya, dianggap tidak memiliki bukti sehingga tidak diakui keberadaanny, dan untuk PPh 23 ini juga berarti tidak dapat diakui sebagai kredit pajak atas pemotongan pajak dalam tahun berjalan. Tidak adanya bukti potong juga dapat berakibat sanksi bagi pihak ketiga yaitu pihak yang memberikan penghasilan

(14)

karena dianggap lalai dalam menjalankan tanggung jawabnya sebagai pemotong pajak.

Selain itu pihak ketiga juga memiliki kewajiban untuk melakukan penyetoran pajak yang telah dipotong tadi ke Kas Negara dan melaporkannya dalam Surat Pemberitahuan Massa (SPM) PPh pasal 23 secara periodic yaitu setiap bulannya. Dengan demikian, kewajiban pihak ketiga sebagai pemotong pajak adalah menghitung, memotong, menyetor dan melaporkan pajak yang terutang dari Wajib Pajak yang memperoleh penghasilan darinya sesuai dengan ketentuan yang telah berlaku. Hal ini tentu mewajibkan pihak ketiga mengerti mengenai tata cara pemotongan maupun besarnya tarif yang digunakan dalam PPh pasal 23 karena jika melakukan kekeliruan, maka akan mendapatkan sanksi, baik sanksi administrasi maupun sanksi pidana.

2.1.9 Pajak Penghasilan Pasal 23

Objek pajak pada PPh pasal 23 adalah penghasilan yang diterima Wajib Pajak dalam negeri. Menurut pasal 4 ayat 1 UU PPh, yang dimaksud dengan penghasilan yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan bentuk apapun.

PPh pasal 23 diatur pada Pasal 23 dalam UU PPh. Pada ayat 1, disebutkan bahwa atas penghasilan tersebut dibawah ini dengan nama dan bentuk apapun yang dibayarkan, disediakan untuk dibayarkan, atau telah jatuh tempo

(15)

pembayarannya oleh badan pemerintah, subjek pajak badan dalam negeri, penyelenggara kegiatan, bentuk usaha tetap, atau perwakilan perusahaan luar negeri lainnya kepada Wajib Pajak dalam negeri atau bentuk usaha tetap, dipotong pajak oleh pihak yang wajib membayarkannya:

a. Tarif sebesar 15% (lima belas persen) dari jumlah Bruto atas:

1. Dividen sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 4 ayat 1 huruf g UU PPh, yaitu dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

2. Bunga sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 1 huruf f UU PPh, yaitu bunga termasuk premium, diskonto dan imbalan karena jaminan pengembalian uang;

3. Royalty; dan

4. Hadiah, penghargaan, bonus,dan sejenisnya selain yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 21 ayat 1 huruf e UU PPh, yaitu hadiah, penghargaan, bonus, dan sejenisnya yang diterimaatau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri karena merupakan objek pajak PPh Pasal 21.

b. Sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto atas:

1. Sewa dan panghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta, kecuali sewa dan penghasilan sehubungan dengan penggunaan harta yang telah dikenai Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 4 ayat 2 UU PPh, yaitu penghasilan dari transaksi pengalihan

(16)

harta berupa tanah dan atau bangunan, usaha jasa kontruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan atau bangunan yang merupakan objek PPh pasal 4 ayat 2 PPh Final; dan

2. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, dan jasa lain selain jasa yang telah dipotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam pasal 21 yaitu imbalan atas jasa tersebut yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri karena merupakan objek pajak PPh Pasal 21.

Namun dalam hal Wajib Pajak yang menerima atau memperoleh penghasilan tidak memiliki Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), maka besarnya tarif pemotongan adalah 100% (seratus persen) dari pada tarif yang seharusnya.

Sementara pada ayat 4, disebutkan bahwa pemotongan PPh pasal 23 diatas tidak dilakukan atas:

a. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada bank,

b. Sewa yang dibayar atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi;

c. Dividen sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf f, yaitu dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagi Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik Negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

(17)

1. Dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. Bagi perseroan terbatas, badan usaha milik Negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

Dan dividen yang diterima oleh orang pribadi sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 17 ayat (2c), yang telah dikenakan pajak dengan tarif paling rendah 10% (sepuluh persen) dan bersifat final;

d. Bagian laba sebagaimana yang dimaksud dalam pasal 4 ayat 3 huruf I, yaitu bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham,

e. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya; dan

f. Penghasilan yang dibayar atau terutang kepada badan usaha atas jasa keuangan yang berfungsi sebagai penyalur pinjaman dan atau pembiayaan yang diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Batas waktu kewajiban pemotongan PPh pasa 23 harus dikaitkan dengan saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan. Saat terutangnya penghasilan tersebut lazimnya adalah saat jatuh tempo (seperti bunga, sewa), saat tersedia untuk dibayarkan (seperti dividen), saat yang ditentukan dalam kontak atau perjanjian atau faktur (seperti royalty, imbalan jasa teknik atau jasa manajemen atau jasa lainnya). Saat terutangnya penghasilan tersebut juga ditentukan berdasarkan saat pengakuan biaya sesuai dengan metode pembukuan yang dianut

(18)

oleh pihak yang berkewajiban memotong atau memungut PPh. Saat yang menentukan kewajiban pemotongnya adalah mana yang terlebih dahulu terjadi, saat pembayaran atau saat terutangnya penghasilan.

Hal ini sesuai dengan pasal 15 Peraturan Pemerintah Nomor 94 tahun 2010 tentang Perhitungan Penghasilan Kena Pajak dan Pelunasan Pajak Penghasilan dalam Tahun Berjalan, yang menyatakan bahwa pemotongan pajak penghasilan oleh pihak ketiga dilakukan pada akhir bulan saat dibayarkannyapenghasilan, saat disediakan untuk dibayarkannya penghasilan atau saat jatuh temponya pembayaran penghasilan yang bersangkutan, tergantung mana yang terjadi lebih dahulu. Pada penjelasan pasal 15 disebutkan bahwa yang dimaksud dengan “saat disediakan untuk dibayarkan” adalah:

a. Untuk perusahaan yang tidak go public, adalah saat dibukukan sebagai utang dividen yang akan dibayarkan, yaitu pada saat pembagian dividen diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Tahunan.

Demikian pula apabila perusahaan yang bersangkutan dalam tahun berjalan membagikan dividen sementara (dividen interen), maka pajak Penghasilan Pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan terutang pada saat diumumkan atau ditentukan dalam Rapat Direksi atau pemegang saham sesuai dengan Anggaran Dasar perseroan yang bersangkutan. b. Untuk perusahaan yang go public, adalah pada tanggal penentuan

kepemilikian pemegang saham yang berhak atas dividen (recording date). Dengan perkataan lain pemotongan Pajak Penghasilan atas dividen

(19)

sebagaimana diatur dalam pasal 23 Undang-undang Pajak Penghasilan baru dapat dilakukan setelah para pemegang saham yang berhak “menerima atau memperoleh” dividen tersebut diketahui, meskipun dividen tersebut belum diterima secara tunai.

Sementara itu, yang dimaksud degan “saat jatuh tempo pembayaran” adalah saat kewajiban untuk melakukan pembayaran yang didasarkan atas kesepakatan, baik yang tertulis dalam kontrak atau perjanjian atau faktur.

2.1.10 Pembukuan Pajak PPh Pasal 23

Pembukuan menjadi hal yang penting dalam pajak karena pajak secara administrasi dihitung berdasarkan masa pajak tertentu (bulanan atau tahunan) dimana seluruh transaksi keuangan yang terjadi diakumulasikan dalam suatu masa tersebut. Dengan dilakukannya pembukuan, maka akan didapatkan informasi mengenai akumulasi transaksi yang terjadi selama suatu masa tertentu tadi yang telah dicatat secara teratur, untuk kemudian dihitung besarnya pajak yang terutang atas jumlah seluruh objek pajak yang diterima atau diperoleh atau diserahkan dan dilakukan selama masa pajak yang bersangkutan. Selain sebagai dasar untuk menghitung besarnya pajak yang terutang, informasikeuangan yang dihasilkan dari proses pembukuan juga diperlukan serta sebagai alat bukti jika dilakukan pemeriksaan pajak terhadap kebenaran penghitungan jumlah utang pajak itu.

Dalam SE-50/PJ.71/1989, disebutkan tiga arti pentingnya pembukuan untuk perpajakan, yaitu:

1. Mempermudah Wajib Pajak dalam mengisi Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT).

(20)

2. Mempermudah perhitungan besarnya penghasilan kena pajak (atau dasar pengenaan pajak untuk Pajak Pertambahan Nilai atau PPN).

3. Penyajian informasi tentang posisi financial dan hasil usaha (pekerjaan bebas Wajib Pajak) untuk bahan analisis maupun pengambilan keputusan ekonomis perusahaan.

Karena pentingnya peran pembukuan dalam sistem pemungutan pajak, seorang wajib pajak diwajibkan melakukan pembukuan. Ketentuan pajak tidak menentukan secara pasti metode pembukuan yang bagaimana yang harus diterapkan. Namun, dalam hal-hal tertentu, untuk mengamankan kebijakan dan tujuan sistem perpajakan, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi dalam penyusunan pembukuan oleh Wajib Pajak, sebagaimana diatur dalam Pasal 28 UU KUP, yaitu:

a. Pembukuan harus diselenggarakan dengan itikad baik dan mencerminkan keadaan atau kegiatan usaha yang sebenarnya.

b. Pembukuan sekurang-kurangnya terdiri dari catatan mengenai harta, kewajiban atau hutang, modal, penghasilan dan biaya, serta penjualan dan pembelian.

c. Pembukuan harus ditutup setiap akhir tahunn dengan membuat neraca dan laporan laba-rugi berdasarkan prinsip pembukuan yang taat asas (konsisten) dengan tahun sebenarnya.

d. Pembukuan atau pencatatan harus diselenggarakan di Indonesia dengan menggunakan huruf Latin, angka Arab, dengan bahasa Indonesia dan

(21)

satuan mata uang Rupiah (atau dengan bahasa Inggris dan mata uang US$ dengan izin Menteri Keuangan).

e. Pembukuan atau pencatatan dan dokumen yang menjadi dasarnya serta dokumeen lain yang berhubungan dengan kegiatan usaha atau pekerjaan harus disimpan selama sepuluh tahun.

Prinsip itikad baik merupakan tuntunan moral spiritual dalam pembukuan untuk keperluan pajak, karena pembukuan yang dilakukan Wajib Pajak tidak semata-mata mempunyai fungsi untuk perusahaan pribadi, tetapi juga bertujuan untuk memberikan informasi yang sebenar-benarnya sehingga tidak ada pihak-pihak yang dikelabui oleh pembukuan tersebut. Hal ini sejalan dengan kepercayaan yang diberikan kepada masyarakat untuk menghitung, membayar dan melaporkan sendiri jumlah pajak yang terutang dalam satu masa (tahun) pajak. Oleh karena itu juga, pembukuan harus mencerminkan keadaan atau kegiatanusaha yang sebenarnya. Sehingga tanpa dasar itikad baik, kejujuran dan teratur pembukuan tidak mempunyai arti.

Sebagaimana kita ketahui, Wajib Pajak diwajibkan untuk menyampaikan SPT dengan benar dan lengkap. Benar dalam hal penyajian dan akurasinya, serta lengkap dalam hal pelaporan SPT disertai dengan lampiran berupa laporan keuangan, yang terdiri dari Neraca, Laporan Laba-Rugi dan lampiran lainnya, yang merupakan hasil dari pelaksanaan pembukuan menjadi sangat penting guna mendapatkan kelengkapan informasi yang diperlukan dalam penyusunan SPT Wajib Pajak, sehingga diketahui besarnya pajak yang terutang yang wajar dan sesuai dengan kemampuan ekonomis Wajib Pajak yang bersangkutan.

(22)

Salah satu hal yang harus dilakukan dalam pembukuan adalah pembuatan jurnal atas setiap transaksi yang terjadi. Atas pemotongan pajak PPh pasal 23, baik pihak ketiga yang melakukan pemotongan pajak maupun wajib pajak sebagai penerima penghasilan wajib membuat jurnal saat pemotongan pajak dilakukan dan pada akhir tahunn dimana untuk PPh Pasal 23 akan diakui sebagai kredit pajak oleh wajib pajak yang menerima penghasilan.

Jurnal yang harus dibuat oleh pihak ketiga saat pemotongan pajak adalah:

Biaya jasa / Biaya Sewa xxx

PPh Pasal 23 xxx

Kas / Bank xxx

Sementara bagi wajib pajak yang menerima penghasilan, jurnal saat pemotongan pajak adalah:

Kas / Bank xxx

Piutang PPh Pasal 23 xxx

Pendapatan Jasa / Pendapatan Sewa xxx Dan jurnal pada akhir tahun pajak adalah:

Biaya PPh Pasal 23 xxx

Piutang PPh Pasal 23 xxx

Sehubungan dengan ekualisasi biaya terkait dengan withholding income tax, PT. Novapharin, Menganti Gresik menggunakan metode akrual basis dalam pengakuan biayanya. Pengakuan biaya dilakukan pada saat kewajiban mambayar sudah terjadi. Sehingga dengan kata lain, pada saat kewajiban membayar sudah terjadi, maka titik ini dianggap sebagai awal munculnya biaya meskipun biaya

(23)

tersebut belum dibayar. Menurut penjelasan UU KUP Pasal 28 angka 5 mengenai metode pencatatan biaya menyatakan bahwa biaya akan diakui pada saat terutang, sehingga tidak tergantung kapan biaya tersebut dibayarkan oleh perusahaan secara tunai.

2.1.11 Surat Setoran Pajak (SSP) dan Surat Pemberitahuan (SPT)

Menurut Mardiasmo (2011:37) Surat Setoran Pajak (SSP) adalah bukti pembayaran atau penyetoran pajak yang telah dilakukan dengan menggunakan formulir atau telah dilakukan dengan cara lain ke kas Negara melalui tempat pembayaran yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan. Fungsi dari Surat Setoran Pajak (SSP) adalah sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh Pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau apabila telah mendapatkan validasi.

Menurut Mardiasmo (2011:31), Surat Pemberitahuan (SPT) adalah surat yang oleh Wajib Pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, oleh pajak dan atau harta dan kewajiban sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Fungsi dari Surat Pemberitahuan (SPT) adalah sebagai sarana untuk melaporkan dan mempertanggungjawabkan perhitungan jumlah pajak yang sebenarnya terutang.

a. Jenis-jenis Surat Pemberitahuan yaitu:

1. Surat Pemberitahuan Massa adalah Surat Pemberitahuan untuk suatu massa pajak tertentu.

(24)

2. Surat Pemberitahuan Tahunan adalah Surat Pemberitahuan untuk sutau Tahun Pajak atau Bagian Tahun Pajak.

b. Batas Penyampaian Surat Pemberitahuan:

1. Surat Pemberitahuan Massa, paling lama 20 (dua puluh) hari setelah akhir masa pajak.

2. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak orang pribadi, paling lama 3 (tiga) bulan setelah akhir Tahun Pajak.

3. Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Badan, paling lama 4 (empat) bulan setelah akhir tahun pajak.

c. Sanksi administrasi pembayaran dan pelaporan pajak 1. Sanksi tidak atau terlambat lapor SPT

Sesuai pasal 7 UU KUP, disebutkan bahwa apabila Surat Pemberitahuan (SPT) tidak disampaikan dalam jangka waktu yang telah ditentukan, dikenai sanksi administrasi berupa denda sebesar: a) Rp 500.000,00 (lima ratus ribu rupiah) untuk SPT Masa PPN b) Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Masa lainnya c) Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib

Pajak badan

d) Rp 100.000,00 (seratus ribu rupiah) untuk SPT Tahunan PPh Wajib Pajak orang pribadi.

(25)

2. Sanksi tidak atau terlambat membayar pajak a) Terlambat membayar pajak masa

Pasal 9 ayat (2a) UU KUP menyatakan bahwa pembayaran atau penyetoran pajak masa yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak, sesuai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung dari tanggal jatuh tempo pembayaran sampai dengan tanggal pembayaran, dan bagiandari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan. b). Terlambat membayar pajak tahunan

Pasal 9 ayat (2b) UU KUP menyatakan bahwa atas pembayaran atau penyetoran pajak tahunan yang dilakukan setelah tanggal jatuh tempo penyampaian SPT Tahunan, dikenai sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan yang dihitung mulai dari berakhirnya batas waktu penyampaian SPT Tahunan sampai dengan tanggal pembayarn, dan bagian dari bulan dihitung penuh 1 (satu) bulan.

c). Tidak atau kurang membayar pajak masa atau tahunan

Membayar sesuai Pasal 14 ayat (3) UU KUP disebutkan bahwa jumlah kekurangan pajak yang terutang dalam surat tagihan pajak karena tidak atau terlambat membayar pajak ditambah dengan sanksi administrasi berupa bunga sebesar 2% (dua persen) per bulan untuk paling lama 24 (dua puluh empat) bulan, dihitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya Masa Pajak, bagian

(26)

Tahun Pajak, atau Tahun Pajak sampai dengan diterbitkannya Surat Tagihan Pajak.

d. Tata cara penyetoran Pajak Penghasilan Pasal 23

Berdasarkan ketentuan Pasal 2 Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2010 tanggal 1 April 2010 yang merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 184/PMK.03/2007, PPh Pasal 23 yang dipotong oleh pemotong PPh harus disetor paling lama tanggal 10 bulan berikutnya seteleh masa pajak berakhir.

Pada tanggal jatuh tempo pembayaran atau penyetoran pajak bertepatan dengan hari libur, termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pembayaran atau penyetoran pajak dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Hari libur nasional termasuk hari yang diliburkan untuk penyelenggaraan pemilihan umum yang ditetapkan oleh pemerintah.

Pembayaran atau penyetoran pajak harus dilakukan dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) atau sarana administrasi lain yang disamakan dengan surat tersebut. SSP ini berfungsi sebagai bukti pembayaran pajak apabila telah disahkan oleh pejabat kantor penerima pembayaran yang berwenang atau jika sudah mendapatkan validasi.

SSP dianggap sah jika telah divalidasi dengan Nomor Transaksi Penerima Negara (NTPN). Adapun tempat pembayarannya adalah kantor pos atau bank yang ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagai tempat pembayaran pajak.

(27)

e. Tata Cara Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23

Pemotongan PPh Pasal 23 wajib memberikan tanda bukti pemotongan PPh Pasal 23 kepada orang pribadi atau badan yang dipotong setiap kali melakukan pemotongan atau pemungutan. Bagi penerima penghasilan, bukti pemotongan PPh pasal 23 ini merupakan bukti pelunasan PPh terutang dalam tahun tersebut, yang kelak akan dikreditkan dalam SPT Tahunan.

Apabila masa pajak telah berakhir, pemotong PPh Pasal 23 wajib melaporkan pemotongan yang telah dilakukan dalam masa pajak tersebut. Pelaporan ini dilakukan dengan menyampaikan SPT Masa PPh Pasal 23 atau 26 ke kantor pelayanan pajak tempat wajib pajak pemotong PPh Pasal 23 terdaftar.

Surat Pemberitahuan (SPT) Masa PPh Pasal 23 atau 26 harus disampaikan paling lama 20 hari setelah masa pajak berakhir. Contohnya, untuk pemotongan PPh Pasal 23 bulan Oktober 2010, SPT Masa PPh Pasal 23 harus disampaikan paling lambat tanggal 20 November.

Dalam hal batas akhir pelaporan diatas bertepatan dengan hari libur termasuk hari Sabtu atau hari libur nasional, pelaporan dapat dilakukan pada hari kerja berikutnya. Pengertian hari libur nasional termasuk hari yang diliburkann untuk penyelenggaraan Pemilihan Umum yang ditetapkanoleh Pemerintah dan cuti bersama secara nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah.

2.2 Penelitian Terdahulu

Untuk melakukan penelitin ini, penulis mencoba menelusuri penelitian lain yang berhubungan dengan PPh pasal 23, seperti punya mahasiswa yang bernama

(28)

Patric Walandouw dalam judul penelitiannya “Analisis Perhitungan dan Pelaporan Pajak Penghasilan Pasal 23 dan PPh 25 pada CV. Mitra Jaya Lestari” dan Hendra, Sifrid S. Pangemanan, Steven Tangkuman dalam judul penelitiannnya “Penerapan Akuntansi Pajak Penghasilan Pasal 23 pada PT. Golden Mitra Inti Perkasa” yang akan dijabarkan dalam tabel dibawah ini.

Tabel 2.1. Penelitian Terdahulu

No Peneliti Kota /

Tahun

Judul Hasil Penelitian

1 2. Patric Walandouw Hendra, Sifrid S. Pangemanan, Steven Tangkuman. Manado 2011 Manado 2013 Analisis Perhitungan dan Pelaporan PPh Pasal 23 dan PPh Pasal 25 Penerapan Akuntansi pajak Penghasilan Pasal 23 pada PT. Golden Mitra Inti Perkasa Berdasarkan hasil perhitungandan pelaporan yang dilakukan oleh penulis pada CV. Mitra Jaya Lestari, dapat disimpulkan bahwa pelaporan PPh pasal 23 paling lambat dilakukan pada tanggal 10 bulan berikutnyadan SPT Masa disampaikan paling lambat 20 hari setelah masa pajak berakhir.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti pada PT. Golden Mitra Inti Perkasa dapat disimpulkan bahwa:

1. PT. Golden Mitra Inti Perkasa telah

melakukan perhitungan dan pemotongan PPh Pasal 23 terhadap Jasa Konsultan pajak dengan benar.

2. PT. Golden Mitra Inti Perkasa telah

(29)

akuntansi terhadap PPh Pasal 23 terhadap Jasa Konsultan pajak dengan benar

3. PT. Mitra Inti Perkasa belum melakukan perhitungan dan pemotongan PPh pasal 23 atas Jasa Service AC 4. PT. Golden Mitra Inti

Perkasa tidak

melakukan pencatatan akuntansi terhadap PPh Pasal 23 atas Jasa Service AC. Sumber : diolah oleh penulis

2.3 Kerangka Konseptual

Berdasarkan dari teori-teori yang ada diatas, dan dengan penelitian yang coba peneliti angkat sesuai dengan judul yang penulis ajukan. Penulis memberikan gambaran konsep yang akan dibahas sebagai berikut.

(30)

Gambar 2.1

Skema Kerangka Konseptual Pemotongan PPh Pasal 23

Sumber : diolah oleh penulis

Penyetoran PPh Pasal 23

Sumber : Diolah oleh penulis

PT. Novapharin PT. X atau PT. Rekanan

FP atau Invoice Bagian perpajakan Bagian Keuangan BPP + Invoice FP + Invoice Intern FP + BPP + Invoice Bagian Administrasi pajak (BPP) Manager keuangan lapor pajak (BPP) BPP + SSP Bank (SSP)

(31)

Pelaporan PPh Pasal 23

Sumber : Diolah oleh penulis Bagian adminnistrasi pajak (BPP + SSP + SPT

Induk)

Referensi

Dokumen terkait

Perbedaan pada penelitian ini yaitu perbedaan model dengan menggunakan kecerdasan sebagai variabel bebas dan memposisikan kesempatan sebagai variabel moderasi serta

&enurut Keputusan &enteri Kesehatan #epublik $ndonesia 'o (()*+&'K!+!K+-+//0 1entang !tandar Pelayanan %armasi Di #umah !akit, Pelayanan $nformasi Obat

Kualitas Argumen dan Isyarat Periferal memiliki pengaruh positif terhadap Kredibilitas Ulasan atas video ulasan yang diberikan oleh GadgetIn, sehingga ketika

Evaluasi kerja sama laboratorium rujukan Jumlah laboratorium rujukan yang dievaluasi dalam waktu tertentu. Total laboratorium rujukan yang ada hubungan kerja sama

Di samping itu, untuk pemeliharaan tubuh, ikan dapat menggunakan lemak sebagai sumber energi, karena selain mengandung protein, tepung keong mas juga mengandung

Kepuasan responden di Instalasi Rawat Inap RSUD Tugurejo Semarang kategori tinggi adalah 38 responden ( 38 % ) dan kategori sedang 62 responden ( 62 % ), dengan

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa perlakuan “Kotpi Plus” berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap panjang tongkol dan berat tongkol dengan kelobot

Data-data hasil perbandingan berpasangan tersebut di rata-rata dan dimasukkan kedalam matriks perbandingan berpasangan pada setiap sub kriteria, kemudian diolah dengan menggunakan