PENGARUH METODE LATIHAN DAN KOORDINASI
MATA-TANGAN TERHADAP PENINGKATAN KETERAMPILAN
TEKNIK DASAR BOLAVOLI
(Studi Eksperimen Latihan Plaiometrik dan Berbeban pada Atlet Pemula Putra Klub Bola Voli Baja 78 Bantul Yogyakarta)
TESIS
Diajukan Untuk Memenuhi Sebagian Persyaratan Mencapai Derajat Magister Program Studi Ilmu Keolahragaan
Oleh : Tri Saptono A.120908036
PROGRAM STUDI ILMU KEOLAHRAGAAN
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS SEBELAS MARET
SURAKARTA
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Olahraga bersifat universal karena olahraga dapat dilakukan oleh seluruh
lapisan masyarakat tanpa memandang perbedaan suku, ras, agama, latar belakang
pendidikan, status ekonomi maupun gender. Begitu besar peran olahraga terhadap
kehidupan manusia, sehingga olahraga dapat dijadikan sebagai sarana atau media
untuk berekreasi, mata pencaharian, pendidikan, kesehatan, kebudayaan bahkan
sebagai sarana untuk mencapai prestasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa olahraga
telah banyak memberikan sumbangannya untuk kebahagiaan umat manusia. Ini
berarti olahraga sebagai aktivitas fisik dapat memberikan kepuasan kepada para
pelakunya.
Bolavoli sebagai aktivitas jasmani merupakan salah satu cabang olahraga
yang populer dan berkembang pesat di Indonesia. Banyak orang melakukan
olahraga bolavoli dengan berbagai macam tujuan, diantaranya untuk rekreasi dan
hiburan, menjaga kebugaran dan kesehatan sampai untuk tujuan olahraga prestasi.
Sebagai cabang olahraga prestasi, bolavoli termasuk olahraga kompetitif yang
memerlukan gerakan eksplosif, banyak gerakan berlari, meloncat untuk smes,
refleks, kecepatan merubah arah dan juga membutuhkan koordinasi mata-tangan
yang baik.
Untuk tujuan prestasi di Indonesia masih jauh dari harapan, hal ini
menggunakan metode tradisional. Masih banyak pelatih dalam melakukan latihan
baik fisik maupun teknik belum diterapkan perbedaan perlakuan antara atlet yang
memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah, kemampuan fisik tinggi dan
rendah serta belum diterapkan pendekatan metode ilmiah sehingga hasil dalam
latihan belum maksimal. Pelatih bolavoli yang melatih sering mempergunakan
pendekatan atau metode tradisional yang paling disenangi pelatih dalam
palaksanaan proses latihan keterampilan teknik dasar bolavoli. Proses latihan
secara tradisional sering mengabaikan tugas-tugas latihan dan tidak sesuai dengan
taraf perkembangan pemain (Cholik, 2002:18).
Penerapan metode latihan yang tepat dalam proses latihan keterampilan
teknik dasar bolavoli juga akan memberikan peluang bagi pelatih dalam
memanfaatkan fasilitas yang tersedia secara maksimal sehingga tidak ada alasan
bagi pelatih bolavoli karena terhambatnya proses latihan bolavoli dan faktor
kurang memadainya fasilitas bolavoli yang tersedia pada klub bolavoli.
Pemilihan dan penerapan metode dalam latihan keterampilan teknik dasar
bolavoli untuk atlet pemula putra klub Bolavoli Baja 78 Bantul Yogyakarta, agar
metode yang diterapkan mampu meningkatkan hasil latihan atlet dalam
penguasaan keterampilan teknik dasar bolavoli, maka pada penelitian ini akan
dicobakan dua macam metode yang diterapkan dalam proses latihan keterampilan
teknik dasar bolavoli yakni latihan plaiometrik dan berbeban.
Tuntutan terhadap metode latihan yang efektif dan efisien didorong oleh
kenyataan atau gejala-gejala yang timbul dalam pelatihan. Beberapa alasan
(1988:26) adalah ”1) efisiensi akan menghemat waktu, energi atau biaya, 2)
metode efisien akan memungkinkan para atlet atau atlet untuk menguasai tingkat
keterampilan yang lebih tinggi”.
Latihan berbeban adalah suatu latihan yang menggunakan beban, baik
latihan secara isometrik, secara isotonik maupun secara isokinetik. Latihan ini
dilakukan dengan menggunakan beban berupa alat maupun berat badan atlet.
Latihan berbeban adalah suatu cara menerapkan prosedur tertentu secara
sistematis pada berbagai otot tubuh. Pada program latihan berbeban ini dalam
pelaksanaannya menggunakan alat-alat berupa barbell atau beban yang telah
dikombinasikan menjadi alat khusus untuk latihan berbeban (weight training).
Latihan pliometrik merupakan suatu metode latihan yang dapat digunakan
untuk meningkatkan kesegaran biomotorik atlet, termasuk kekuatan dan kecepatan
yang memiliki aplikasi yang sangat luas dalam kegiatan olahraga, dan secara
khusus latihan ini sangat bermanfaat untuk meningkatkan power. Pola gerakan
dalam latihan pliometrik sebagian besar mengikuti konsep “power chain” (rantai
power) dan sebagian besar latihan, khusus melibatkan otot-otot anggota gerak
bawah, karena gerakan kelompok otot ini secara nyata merupakan pusat power.
Pada prinsipnya latihan pliometrik didasarkan pada prinsip pra peregangan
otot yang terlibat pada saat tahap penyelesaian atas respon atau penyerapan
kejutan dari ketegangan yang dilakukan otot sewaktu bekerja. Sebagai metode
latihan fisik, latihan pliometrik dapat dibedakan menjadi tiga kelompok latihan,
yaitu 1) Latihan untuk anggota gerak bawah, 2) Latihan untuk batang tubuh, dan
dapat digunakan untuk meningkatkan daya ledak anggota gerak bawah adalah
“bounds, hops, jumps, leaps, skips, ricochets, jumping-in place. Standing jumps,
multiple hop and jump, box drills, bounding dan dept jump” (Radcliffe &
Farentinos: 1985).
Agar metode latihan yang akan diterapkan dapat dirancang dengan baik,
terlebih dahulu ditelusuri faktor-faktor yang mempengaruhi keterampilan teknik
dasar bolavoli. Untuk peningkatan prestasi olahraga bolavoli khususnya di klub
bolavoli Baja 78 Bantul diperlukan latihan yang intensif. Pembinaannya meliputi
faktor fisik, teknik, taktik dan mental. Selama ini pada latihan yang diberikan
lebih menekankan pada faktor teknik. Sedangkan kondisi fisik belum dibina
secara maksimal, hal ini bisa disebabkan bahwa faktor fisik dianggap telah
terwakili pada saat latihan sehingga kondisi fisik secara otomatis meningkat.
Anggapan tersebut kurang benar, karena bolavoli memerlukan unsur kondisi fisik
tersendiri sehingga membutuhkan pembinaan fisik yang lebih tepat. Unsur kondisi
fisik yang diperlukan pada bolavoli antara lain, power, kekuatan, kecepatan,
kelincahan, kelentukan, koordinasi, fleksibilitas.
Dalam bolavoli ada beberapa latihan teknik dasar yang harus dikuasai
diantaranya: teknik memukul bola, teknik penguasaan kerja lengan. Menurut
Sudjarwo (1995:43) bahwa ”teknik dasar adalah penguasaan teknik tingkat awal
yang terdiri dari gerakan dasar dari proses gerak bersifat sederhana dan mudah
dilakukan”. Latihan teknik ini diberikan setelah pemberian latihan fisik. Sesuai
dengan sistem energi yang dibutuhkan dalam bolavoli unsur yang dominan adalah
Keberhasilan dalam keterampilan teknik dasar bolavoli adalah faktor
pemain. Perbedaan kemampuan terutama terjadi karena kualitas fisik yang
berbeda (Sugiyanto, 1997:353). Senada dengan hal tersebut Rusli (1988:332)
mengatakan bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi proses latihan keterampilan
teknik dasar bolavoli adalah: (1) kondisi internal; dan (2) kondisi eksternal.
Kondisi internal mencakup faktor-faktor yang terdapat pada individu, atau atribut
lain yang membedakan pemain satu dengan pemain yang lainnya. Salah satu
faktor kondisi internal adalah kemampuan fisik. Kemampuan fisik berhubungan
dengan koordinasi mata-tangan yang mempengaruhi penampilan pemain baik
dalam latihan gerakan-gerakan keterampilan maupun dalam pertandingan. Dengan
demikian dapat dikatakan koordinasi mata-tangan yang baik adalah suatu
persyaratan dalam usaha pencapaian prestasi maksimal bagi pemain dalam latihan
keterampilan teknik dasar bolavoli. Perbedaan koordinasi mata-tangan dapat
dibedakan menjadi dua yaitu koordinasi tangan tinggi dan koordinasi
mata-tangan rendah. Perbedaan koordinasi mata-mata-tangan yang ada pada diri pemain
harus menjadi pertimbangan sebagai suatu faktor yang menentukan dalam
keterampilan teknik dasar bolavoli. Perbedaan pemain dalam hal koordinasi
mata-tangan akan menjadi pertimbangan yang sangat penting dalam menentukan
metode latihan yang sesuai dengan karakter dari masing-masing pemain sehingga
bisa mencapai hasil latihan yang optimal sesuai dengan potensi yang dimilikinya.
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah di kemukakan di atas, maka
penelitian ini berjudul “Pengaruh Metode Latihan dan Koordinasi Mata-Tangan
Latihan Plaiometrik dan Berbeban pada Atlet Pemula Putra Klub Bolavoli Baja 78
Bantul Yogyakarta)”.
B. Identifikasi Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka masalah dalam penelitian
ini dapat diidentifikasikan sebagai berikut:
1. Penggunaan metode latihan yang digunakan untuk meningkatkan kondisi fisik
atlet belum maksimal.
2. Latihan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli mempunyai
banyak variasi.
3. Latihan yang digunakan pelatih, dan pengajar dalam peningkatan kondisi fisik
atlet disesuaikan dengan sistem energi yang diperlukan dalam permainan.
4. Pengaruh metode latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan
keterampilan teknik dasar bolavoli belum diketahui.
5. Komponen koordinasi mata-tangan dapat mempengaruhi peningkatan
keterampilan teknik dasar bolavoli.
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan tidak meluas, sehingga tidak menimbulkan penafsiran
yang berbeda-beda, maka permasalahan perlu dibatasi. Pembatasan dalam
penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Metode latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan keterampilan
2. Keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet yang memiliki koordinasi
mata-tangan tinggi dan rendah.
3. Interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap
peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli.
D. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah, maka perlu dirumuskan
permasalahan-permasalahan sebagai berikut:
1. Adakah perbedaan pengaruh antara latihan plaiometrik dan berbeban terhadap
peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli?
2. Adakah perbedaan peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet
yang memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah?
3. Adakah pengaruh interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan
terhadap peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian yang ingin dicapai adalah untuk mengetahui:
1. Perbedaan pengaruh latihan plaiometrik dan berbeban terhadap peningkatan
keterampilan teknik dasar bolavoli.
2. Perbedaan peningkatan keterampilan teknik dasar bolavoli antara atlet yang
memiliki koordinasi mata-tangan tinggi dan rendah.
3. Pengaruh interaksi antara metode latihan dan koordinasi mata-tangan terhadap
F. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini nantinya diharapkan mempunyai kegunaan bagi pelatih,
pembina maupun guru olahraga yaitu sebagai berikut:
1. Memberikan tambahan wawasan dalam memilih dan mengembangkan metode
latihan disesuaikan tingkat kondisi fisik atlet.
2. Meningkatkan kondisi fisik dengan memilih dan menggabungkan metode
latihan untuk meningkatkan keterampilan teknik dasar bolavoli.
3. Koordinasi mata-tangan dapat dijadikan acuan untuk memilih metode latihan
yang sesuai sehingga dalam menyusun program latihan akan lebih efektif dan
BAB II
KAJIAN TEORI DAN HIPOTESIS
A. Kajian Teori 1. Metode Latihan
Kemampuan berprestasi dalam olahraga adalah perpaduan dari sekian
banyak kemampuan yang turut menentukan prestasi, yang dibangun dalam
proses latihan yang berlangsung dalam jangka waktu yang lama. Banyak
pendapat yang telah dikemukakan oleh para ahli mengenai pengertian atau
definisi dari latihan. Berkaitan dengan proses dan jangka waktu latihan Nossek
(1982:10) menyatakan bahwa “latihan adalah suatu proses atau dinyatakan
dengan kata lain, periode waktu yang berlangsung selama beberapa tahun sampai
atlet tersebut mencapai standar penampilan yang tinggi”. Sedangkan Harsono
(1988: 101) mengemukakan bahwa “latihan adalah proses yang sistematis dari
berlatih atau bekerja yang dilakukan secara berulang-ulang dengan kian hari kian
bertambah jumlah beban atau pekerjaannya”. Pendapat senada dikemukakan
oleh Bompa (1990:2) yang menyatakan bahwa “latihan merupakan aktivitas
olahraga yang sistematik dalam waktu yang lama, ditingkatkan secara progresif
dan individual, yang mengarah kepada ciri-ciri fungsi fisiologis dan psikologis
manusia untuk mencapai sasaran yang telah ditentukan”.
Tidak jauh berbeda seperti dalam berbagai kegiatan manusia, latihan pun
harus direncanakan dan diorganisir dengan baik agar dapat mencapai prestasi
(1993:7) yang mendefinisikan bahwa “latihan adalah suatu proses
penyempurnaan atlet secara sadar untuk mencapai mutu prestasi maksimal
dengan diberi beban fisik, teknik dan taktik dan mental secara teratur, terarah,
meningkat, bertahap dan berulang-ulang waktunya”.
Dari beberapa pendapat tersebut di atas, secara garis besar terdapat
beberapa kesamaan yang dapat dikemukakan mengenai pengertian latihan bahwa
latihan merupakan:
a. Suatu proses
b. Dilakukan secara sistematis
c. Berulang-ulang
d. Dilaksanakan secara kontinyu dan berkelanjutan
e. Ada peningkatan beban latihan
f. Dalam jangka waktu yang lama
Dari uraian tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa latihan adalah suatu
proses kerja yang diorganisir dan direncanakan secara sistematis, dilakukan
secara berulang-ulang dan berkelanjutan serta adanya unsur peningkatan beban
secara bertahap.
Latihan dilakukan secara sistematis maksudnya adalah latihan dilaksanakan
secara terencana, menurut jadual, menurut pola dan sistem tertentu, dari yang
mudah ke yang sukar dan dari yang sederhana ke yang lebih kompleks. Latihan
mengandung unsur pengulangan, dengan tujuan untuk meningkatkan
kemampuan tubuh (fisik) dalam melakukan kerja. Disamping itu latihan dapat
gerakan-gerakan yang semula sukar dilakukan menjadi semakin mudah dan otomatis
dalam pelaksanaannya sehingga semakin menghemat energi.
Latihan fisik merupakan salah satu unsur dari latihan olahraga secara
menyeluruh yang penekanannya adalah terhadap peningkatan kemampuan fisik
dalam melakukan kerja. “Pengembangan kondisi fisik dari hasil latihan
tergantung pada tipe beban yang diberikan serta tergantung dari kekhususan
latihan” (Fox, Bowers & Foss, 1988:358). Oleh karena itu perlu dipahami
prinsip-prinsip dasar latihan yang akan dijadikan pedoman. Dengan latihan fisik
yang terencana, sistematis dan kontinyu dengan pembebanan tertentu akan
mengubah faal tubuh yang selanjutnya akan berpengaruh terhadap tingkat
kesegaran jasmani ke tingkat yang lebih tinggi, sehingga dapat menunjang
penampilan atlet dalam berolahraga.
a. Tujuan Latihan
Untuk mencapai prestasi yang setinggi-tingginya, maka usaha
pembinaan atlet harus dilakukan dengan menyusun strategi dan perencanaan
yang rasional. Para atlet perlu dibekali pengetahuan yang berhubungan
dengan olahraga yang dipilihnya. Untuk itu kerja sama antara pelatih dan
atlet sangat diperlukan.
Melalui latihan fisik atlet mempersiapkan diri untuk tujuan tertentu.
Tujuan latihan fisik yang utama dalam olahraga prestasi adalah untuk
mengembangkan kemampuan biomotornya ke standar yang paling tinggi,
sistem organisme dan fungsinya untuk mengoptimalkan prestasi atau
penampilan olahraganya.
Keberhasilan dalam penampilan olahraga tidak hanya ditentukan oleh
pencapaian pada domain fisik saja, melainkan juga ditentukan oleh
pencapaian pada domain psikomotor, kognitif dan afektif. Oleh karena
keempat domain ini dalam kenyataannya merupakan satu kesatuan yang
saling berkaitan, maka dalam peningkatannya harus dikembangkan secara
bersamaan atau simultan. Dengan demikian secara terinci tujuan latihan
menurut Haree (1982:8) adalah sebagai berikut:
1. Mengembangkan kepribadian.
2. Kondisioning dengan sasaran utama untuk meningkatkan power,
kecepatan dan daya tahan.
3. Meningkatkan teknik dan koordinasi gerak.
4. Meningkatkan taktik, serta
5. Meningkatkan mental.
b. Prinsip-Prinsip Latihan
Prestasi dalam olahraga dapat dicapai dan ditingkatkan melalui latihan
yang sistematis, intensif dan teratur, seperti yang dikemukakan Nossek
(1982:10) bahwa “latihan yang sistematis adalah dilakukan secara teratur,
latihan tersebut berlangsung beberapa kali dalam satu minggu, tergantung
pada standar atlet dan periode latihan”. Pelaksanaan latihan harus
merupakan garis pedoman yang hendaknya dipergunakan dalam latihan yang
terorganisir dengan baik.
Dari pendapat tersebut di atas jelas bahwa prinsip latihan merupakan
landasan ilmiah dalam pelatihan yang harus dipegang teguh dalam
melakukan dan mencapai tujuan latihan. Prinsip-prinsip tersebut adalah 1)
prinsip overload, 2) prinsip penggunaan beban secara progresif, 3) prinsip
pengaturan latihan dan 4) prinsip kekhususan program latihan. Latihan yang
dilakukan dapat mencapai hasil sesuai yang diharapkan jika dilaksanakan
dengan berdasarkan pada prisnip-prinsip latihan yang benar.
1) Prinsip Beban Lebih (Overload Principle)
Latihan olahraga pada prinsipnya adalah memberikan tekanan
(stress) pada tubuh yang akan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kapasitas kemampuan kerja dan mengembangkan system
serta fungsi organ ketingkat standart nilai yang lebih tinggi. Prinsip
beban lebih merupakan dasar dalam latihan.
Beban latihan yang diberikan harus di atas ambang rangsang
latihan. Jika latihan tidak ditingkatkan meskipun latihan dilakukan
dengan rutin, prestasi tidak akan meningkat. Berkaitan dengan beban
lebih ini, Harsono (1988:50) mengemukakan bahwa “perkembangan otot
hanyalah mungkin apabila otot-otot tersebut dibebani dengan tahanan
yang kian bertambah berat”. Jika beban terlalu ringan atau tidak
ditambah atau tidak diberi (overload), maka berapa lamapun kita
capeknya kita mengulang-ulang latihan tersebut, peningkatan prestasi
tidak mungkin tercapai” (Harsono, 1988:103). Hal ini menunjukkan
bahwa untuk meningkatkan kemampuan seseorang, beban yang
diberikan dalam latihan harus lebih berat dari beban sebelumnya. Oleh
karena itu prinsip latihan ini harus benar-benar diterapkan dalam
pelaksanaan latihan. Jonath & Krempel (1987:29) menjelaskan bahwa
“peningkatan prestasi terus menerus hanya dapat dicapai dengan
peningkatan beban latihan”.
Pembebanan yang lebih berat dapat merangsang penyesuaian
fisiologis dalam tubuh yang dapat mendorong peningkatan kemampuan
otot atau tubuh. Satu hal yang harus diingat bahwa beban latihan yang
diberikan tidak boleh terlalu berat atau berlebihan. Hal ini justru akan
berakibat tidak baik terhadap hasil latihan. Jika beban latihan yang
diberikan terlalu berat dan berlebihan, bukan kemampuan fisik yang
meningkat justru sebaliknya kemungkinan akan terjadi cedera dan
penurunan kemampuan kondisi fisik.
Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa prinsip beban lebih
bertujuan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan tubuh.
Pembebanan latihan yang lebih berat dari sebelumnya akan merangsang
tubuh untuk beradaptasi dengan beban tersebut, sehingga kemampuan
tubuh akan meningkat. Kemampuan tubuh yang meningkat
2) Prinsip Penggunaan Beban Secara Progresif.
Peningkatan beban secara progresif adalah peningkatan beban
secara teratur dan bertahap sedikit demi sedikit. Dengan pemberian
beban yang dilakukan secara bertahap yang kian hari kian meningkat
jumlah pembebanannya, maka otot akan mengalami adaptasi fisiologis
dimana akan terjadi proses peningkatan kekuatan otot. Jika proses
adaptasi ini telah dicapai, maka kerja otot yang tadinya melebihi beban
kemampuannya akan tidak lagi terjadi. Penambahan beban latihan tidak
boleh tergesa-gesa dan berlebihan, sehingga peningkatan beban latihan
harus tepat dan disesuaikan dengan tingkat kemampuan atlet serta
dtingkatkan setahap demi setahap. Penambahan beban yang meningkat
tersebut dapat diberikan dengan menambah jumlah berat beban yang
diberikan atau menambah jumlah pengulangannya. Pelatih harus cermat
dalam memperhitungkan penambahan beban yang akan diberikan, dan
jangan sampai beban yang diberikan berlebihan.
Keuntungan penggunaan prinsip peningkatan beban secara
progresif adalah otot-otot tidak akan terasa sakit. Peningkatan beban
lebih paling tidak dilakukan setelah dua atau tiga kali latihan. Seperti
yang dikemukakan oleh Suharno (1993:14) bahwa “peningkatan beban
latihan jangan setiap kali latihan, sebaiknya dua atau tiga kali latihan
baru dinaikkan”. Dengan peningkatan beban yang teratur diharapkan ada
kesempatan untuk beradaptasi terhadap beban latihan sebelumnya,
Superkompensasi adalah suatu proses kenaikan kemampuan
jasmani atlet setelah mengikuti latihan. Berkaitan dengan pemberian
beban latihan Sudjarwo (1995:18) mengemukakan bahwa “pemberian
beban latihan harus dapat dan benar-benar merupakan rangsangan
(stimuli) untuk menimbulkan superkompensasi atlet”. Penambahan
beban yang dilakukan dengan tepat akan dapat menimbulkan adaptasi
tubuh terhadap latihan secara tepat pula, sehingga hasil latihan akan lebih
optimal. Dengan alasan tersbut di atas, maka program latihan yang
disusun harus juga berdasarkan pada prinsip-prinsip progresifitas beban
latihan.
3) Prinsip Pengaturan Latihan
Latihan harus dilakukan secara teratur dan kontinyu, hal ini
dimaksudkan agar terjadi adaptasi terhadap jenis keterampilan yang
dipelajari. Seperti halnya dalam program latihan berbeban harus disusun
agar kelompok otot yang lebih besar dilatih sebelum kelompok otot yang
lebih kecil. Seperti yang dikemukakan oleh Sajoto (1995:31) bahwa
“latihan hendaknya diatur sedemikian rupa, sehingga kelompok otot-otot
besar dulu yang dilatih, sebelum otot yang lebih kecil. Hal ini
dilaksanakan agar kelompok otot kecil tidak akan mengalami kelelahan
lebih dulu”.
Alasan perlunya penyusunan dan pengaturan latihan ini adalah
otot-otot yang lebih kecil cenderung lebih cepat lelah dan lebih lemah
menentukan urutan latihan, lebih tepat mendahulukan melatih otot-otot
yang lebih besar baru kemudian melatih otot-otot yang lebih kecil
sebelum mengalami kelelahan. Misalnya kelompok otot kaki dan paha
dilatih lebih dahulu dari pada kelompok otot lengan yang lebih kecil.
Disamping itu pengaturan latihan berbeban, juga harus memperhatikan
pemberian beban terhadap otot dan diupayakan tidak memberikan latihan
yang sama secara berurutan bagi otot yang sama. Sehingga otot yang
dilatih memiliki kesempatan recovery sebelum diberi latihan lebih lanjut.
4) Prinsip Kekhususan
Pada dasarnya pengaruh yang ditimbulkan akibat latihan bersifat
khusus, sesuai dengan karakteristik kondisi fisik, pola gerakan dan
system energi yang digunakan selama latihan. Latihan yang ditujukan
pada unsur kondisi fisik atau teknik dasar tertentu hanya akan
memberikan pengaruh besar terhadap komponen kondisi fisik atau teknik
dasar yang dipelajari.
Agar aktivitas latihan dapat memberikan pengaruh yang baik, maka
latihan yang dilakukan harus bersifat khusus disesuaikan dengan tujuan
yang akan dicapai. Kekhususan tersebut menyangkut sistem energi serta
pola gerakan (keterampilan) yang sesuai dengan unsur kondisi fisik
maupun nomor yang dikembangkan. Bentuk latihan yang dilakukan pun
harus bersifat khusus pula disesuaikan dengan cabang olahraga, baik itu
pola geraknya, jenis kontraksi otot maupun kelompok otot yang dilatih
latihan yang dilakukan memperhatikan prinsip ini, maka latihan akan
lebih efektif, sehingga hasil yang diperoleh diharapkan akan lebih
optimal.
c. Latihan Fisik
Banyak pendapat tentang latihan fisik. Pendapat para ahli adalah
sebagai berikut: latihan fisik adalah kegiatan dalam memberikan beban pada
tubuh secara teratur, sistematis, berkesinambungan sehingga dapat
meningkatkan kemampuan dalam melakukan kerja (Brooks & Fahey,
1984:395). Agak berbeda dengan pendapat Suharno (1993:7) menyatakan
bahwa latihan adalah suatu proses penyempurnaan atlet secara sadar untuk
mencapai mutu prestasi maksimal dengan diberi beban-beban fisik, teknik,
taktik dan mental secara teratur, terarah, meningkat, bertahap dan
berulang-ulang.
Hal senada disampaikan oleh Bompa (1994:3) bahwa latihan adalah
merupakan kegiatan sistematis dalam waktu yang lama ditingkatkan secara
progresif dan individual mengarah kepada ciri-ciri fisiologis dan psikologis
manusia untuk mencapai sasaran yang ditentukan. Sedangkan menurut Pate,
et al (1984:317) bahwa latihan fisik didefinisikan sebagai peran serta yang
sistematis dalam latihan yang bertujuan untuk meningkatkan kapasitas
fungsional fisik dan daya tahan latihan.
Pendapat ahli yang lain, yaitu menurut Lamb (1984:2) latihan fisik
tujuan untuk meningkatkan respon fisiologi terhadap intensitas, durasi dan
frekuensi latihan, keadaan lingkungan dan status fisiologis individu.
Pendapat Engkos (1993:55), bahwa latihan ialah proses kerja yang
harus dilakukan secara sistematis, berulang-ulang dan jumlah beban yang
diberikan semakin hari semakin bertambah. Pendapat senada disampaikan
oleh Harsono dalam Rusli (1988:90) yaitu latihan atau training sustu proses
berlatih yang sistematis yang dilakukan secara berulang-ulang dan kian hari
jumlah beban latihannya kian bertambah.
1) Tujuan Latihan Fisik
Tujuan latihan fisik secara umum tergantung dari macam sasaran
yang akan dikembangkan yang dapat mencakup sebagai berikut: 1)
meningkatkan kualitas fisik, 2) meningkatkan prestasi, 3) pencegahan
terhadap kerusakan, 4) rehabilitasi maupun pengobatan akibat kerusakan,
5) rehabilitasi karena penyakit (Soekarman, 1987:10) atau sesuai
olahraga yang dilakukan, baik untuk rekreasi, pendidikan, kesegaran
jasmani dan prestasi (Sajoto, 1995:1-2).
Untuk masalah utama pada tujuan latihan fisik dalam olahraga
prestasi adalah untuk mengembangkan kemampuan biomotor dalam
standart yag paling tinggi atau secara fisiologi atlet dapat mencapai
tujuan perbaikan organisme dan fungsinya untuk mencapai prestasi
olahraga yang maksimal. Menurut Harre (1982:10-12) menyampaikan
tujuan secara rinci adalah untuk: 1) mengembangkan kepribadian, 2)
kecepatan, 3) meningkatkan teknik dan koordinasi gerak, 4)
meningkatkan taktik serta, 5) meningkatkan mental.
Sedangkan menurut Bompa (1994:1-5) tujuan-tujuan latihan
berupa: 1) mencapai dan memperluas perkembangan fisik secara
menyeluruh, 2) menjamin dan memperbaiki perkembangan fisik khusus
sebagai suatu kebutuhan yang telah ditentukan didalam olahraga, 3)
menanamkan kualitas kemauan melalui latihan yang mencukupi, 4)
mempertahankan keadaan kesehatan, 5) mencegah cidera, 6) memberi
sejumlah pengetahuan teoritis yang berkaitan dengan dasar-dasar
fisiologis, psikologis latihan, perencanaan gizi dan regenerasi.
Sedangkan menurut Soekarman (1987:12-13) bahwa tujuan latihan
seharusnya dibuat bertingkat, yaitu tingkat umum sampai akhirnya ke
tingkat khusus untuk mencapai prestasi tertinggi. Tujuan latihan harus
mengarah ke suatu cabang olahraga tertentu. Isi dari tujuan latihan harus
meliputi bidang kognitif, afektif dan psikomotorik.
Gambar 1. Siklus/Daur Ulang Perencanaan dan Pelaksanaan Program Latihan (Soekarman, 1987:12)
INFORMASI
EVALUASI
PENGUKURAN HASIL LATIHAN
PROSEDUR LATIHAN
TUJUAN
2) Prinsip-Prinsip Latihan Fisik
Untuk mencapai hasil latihan fisik yang optimal dan sesuai tujuan
latihan harus berpedoman pada prinsip-prinsip latihan yang benar.
Banyak pendapat para pakar yang mendeskripsikan tentang
prinsip-prinsip latihan fisik. Menurut Pyke (1991:115-121) mengemukakan
mengenai prinsip-prinsip yang harus diperhatikan dalam melakukan
latihan sebagai berikut: 1) prinsip beban berlebih, 2) prinsip pemulihan,
3) prinsip kembali asal (reversibility), 4) prinsip kekhususan, dan 5)
prinsip individualitas.
Pendapat pakar yang lain, yaitu Soekarman (1987:60) latihan
berprinsip pada pedoman: 1) kekhususan, 2) tambah beban (over load
principle), 3) hari berat dan hari santai, 4) latihan dan kelebihan latihan
(over training), 5) latihan dasar dan pencapaian puncak, 6) kembali asal
(reversibility). Sedangkan menurut Harsono (1988:307), prinsip-prinsip
latihan yang penting mencakup prinsip overload, dan prinsip yang
lainnya seperti prinsip individualitas, multilateral, spesialisasi densitas
latihan, sistem recovery, reversibility, spesificity dan lain-lain.
Pada literatur yang lain Harsono dalam Rusli (1988:88-109)
mengungkapkan bahwa prinsip-prinsip latihan mencakup: 1) pemanasan
tubuh, 2) metode, 3) berpikir positif, 4) prinsip beban lebih, 5) intensitas
latihan, 6) kualitas latihan, 7) variasi latihan, 8) metode bagian dan
metode menyeluruh, 9) perbaiki kesalahan, 10) model latihan, 11)
Pada dasarnya latihan-latihan fisik untuk kekuatan, termasuk pada
plyometrics, berpedoman pada prinsip-prinsip dasar yang meliputi:
prinsip over load (penambahan beban), prinsip progressive, prinsip
specificity, prinsip individuality, dan prinsip reversibility.
a) Prinsip Overload (Penambahan beban lebih)
Prinsip over load adalah pemberian beban terhadap kinerja otot
yang dilatih harus melebihi beban yang biasa diterima dalam keadaan
normal atau dengan kata lain pembebanan latihan yang semakin berat
(Harsono, 1988:94). Dengan prinsip over load, maka tubuh akan
beradaptasi terhadap beban yang diberikan, sehingga mampu
merangsang penyesuaian fisiologis tubuh (Bompa, 1990:44).
b) Prinsip Progressive
Prinsip progressive berarti bahwa dalam latihan, peningkatan
latihan harus diberikan tahap demi tahap secara cermat. Sharkey
(2003:12) menyatakan bahwa bila beban latihan ditingkatkan terlalu
cepat, tubuh tidak akan mampu mengadaptasi beban yang diberikan
dan bahkan kemungkinan akan terjadi overtraining. Untuk itu
diperlukan pengontrolan terhadap beban latihan secara cermat akan
menjamin peningkatan secara terus menerus. Menurut Bompa dalam
Harsono (1988:96) menyarankan untuk memakai sistem step type
c) Prinsip Specificity
Prinsip specificity merupakan substansi latihan harus dipilih
sesuai dengan kebutuhan cabang olahraga. Menurut Pyke (1991:119)
latihan harus ditujukan khusus terhadap sistem energi atau serabut
otot yang digunakan juga dikaitkan peningkatan ketrampilan motorik
khusus. Specificity dalam olahraga mencakup: a) specificity
kebutuhan energi, b) specificity model latihan, c) specificity pola
gerak dan kelompok otot yang terlibat pada masing-masing cabang
olahraga.
d) Prinsip Individuality
Prinsip individuality berarti bahwa setiap atlet memiliki potensi
sejak lahir yang berbeda baik berupa karakteristik maupun kondisi
atlet. Oleh karena itu mengacu pada prinsip individual maka beban
latihan untuk atlet yang satu dengan yang lain tidak sama, atau
penentuan dosis latihan secara individual. Hal ini sesuai dengan
pendapat Bompa (1994:36-37) mengemukakan bahwa faktor-faktor
seperti umur, jenis kelamin, kematangan, latar belakang pendidikan,
kemampuan berlatih, tingkat kesegaran jasmaniah, ciri-ciri
psikologinya. Semua itu harus ikut dipertimbangkan dalam
mendesain program latihan.
e) Prinsip Reversibility
Prinsip reversibility berarti bahwa adaptasi yang terjadi sebagai
menunjukkan bila latihan dihentikan maka atlet secara otomatis
mengalami penurunan kualitas fungsional tubuhnya.
3) Sistem Energi pada Latihan Fisik
Olahraga merupakan implementasi dari serangkaian gerak fisik
yang sistematis dan memiliki tujuan. Dengan gerak fisik akan terjadi
kontraksi otot yang berulang-ulang. Terjadinya kontraksi otot
memerlukan energi. Energi dalam otot berupa ATP yang berasal dari
mitokhondria. Kebutuhan energi pada setiap latihan fisik tergantung dari
jenis olahraga yang dilakukan. Antara olahraga aerobik dan anaerobik
mempergunakan sistem energi yang berbeda.
Struktur ATP terdiri atas satu komponen yang sangat kompleks,
yakni adenosin dan tiga bagian lainnya yang tidak begitu komplek yaitu
kelompok-kelompok fosfat. ATP dalam sel otot jumlahnya terbatas dan
dapat dipakai sebagai sumber energi hanya dalam waktu 1-2 detik.
Menurut Rushall & Pyke (1990:15) bahwa ATP-PC disimpan dalam otot
dengan kadar yang sangat kecil. Agar supaya kontraksi otot tetap
berlangsung, maka ATP ini harus diisi kembali melalui penguraian
zat-zat lain yang juga tersimpan di dalam otot. ATP bisa diberikan pada
Gambar 2. Hubungan Sistem Energi (Pyke, 1991:15)
Proses anaerobik artinya tanpa menggunakan oksigen, yaitu pada
kerja dengan intensitas tinggi dan waktu pendek. Sistem energi anaerobik
terdiri dua jalur, yaitu a) sistem ATP-PC atau sistem alaktasid, dan b)
sistem glikolisis anaerobik yang menghasilkan asam laktat sehingga
disebut juga sistem laktasid (Pate, et al, 1984:11-14).
Sistem ATP-PC disebut juga sistem phospahgen. Pada olahraga
yang memerlukan intensitas yang sangat tinggi dalam waktu pendek
seperti “in play” pada pertandingan bolavoli diperlukan persediaan
energi yang sangat cepat, dan ini hanya dapat dipenuhi melalui ATP
yang sudah tersedia dalam otot. Apabila ATP habis, ATP harus
diresintesis menggunakan energi dari pemecahan PC (pospo creatin).
Pospo creatin (PC) yang tersedia dalam otot dalam jumlah terbatas, apa
bila pecah akan keluar energi, dan energi yang keluar dari PC ini
digunakan untuk resintesis ATP (Fox, et al, 1984:11-21). ENERGY
AEROBIC ANAEROBIC
a) Sistem Anaerobik
(1) Sistem ATP-PC
Molekul ATP :
Pemecahan ATP :
Energi dari pemecahan ATP untuk energi mekanik, sintesis
zat, transport aktif.
Pemecahan PC : PC à Pi + Creatin + Energi
Energi untuk : resintesis ATP, yaitu energi + Pi + ADP à ATP (2) Sistem glikolisis anaerobik atau sistem LA. Berasal dari
pemecahan glikogen dalam otot tanpa menggunakan oksigen dan
setiap satu molekul glikogen hanya menghasilkan 3 ATP,
sedangkan apabila pemecahan glikogen menggunakan oksigen
menghasilkan 39 ATP.
Pemecahan glikogen : (C6H12O6)n 2C3H6O3 + Energi Glikogen Asam laktat
Energi untuk : energi + 3 ADP + 3 Pi 3 ATP
Tabel 1. Tenaga Maksimal dan Kapasitas Maksimal dari Sistem Energi
Sistem Tenaga maksimal (unit ATP
yang disediakan per menit)
Kapasitas Maksimal (Jumlah unit ATP tersedia)
ATP-PC 3.6 0.7
Glikolisis Anaerobic 1.6 1.2
Aerobic 1.0 Tak terbatas
Adenosine P P P
b) Sistem energi aerobik dapat dibagi menjadi 3 bagian yaitu :
(1) Glikolisis aerobik: pemecahan glikogen atau glukose dengan
menggunakan oksigen pada tahap permulaan hanya
menghasilkan 2 ATP (glukose) atau 3 ATP (glikogen).
(C6H12O6) n- 2C3H4O3 + Energi Glikogen Asam piruvat
Energi + 3 ADP + 3 Pi 3 ATP
(2) Siklus Krebs: Asam piruvat selanjutnya dipecah dengan
pertolongan Co enzym A.
Asam Piruvat + Co enzym A Acetyl A + 2CO2 + 4H
Siklus ini dimulai dari setelah terbentuknya asam piruvat
selama glikosis aerobik, terus masuk ke mitokondria dan
melanjutkan rangkaian reaksi pemecahannya dalam siklus krebs
(Siklus Asam Trikarbosilat (TCA)). Pemecahan asam piruvat
menjadi karbondioksida dan air di intramitokondrial sangat
komplek. Fase-fasenya sebagai berikut :
(a) Apabila suplai oksigen memadai, molekul asam piruvat
diproduksi pada fase pertama glikolisis, kemudian berdifusi
dari sarkoplasma memasuki membran mitokondria, dan
setiap molekul asam piruvat kehilangan atom karbon dan dua
atom oksigen sebagai CO2. Pada waktu yang bersamaan,
setiap molekul asam piruvat dioksidasi dengan adanya
(b) Dua molekul karbon yang tersisa setelah setiap molekul asam
piruvat kehilangan CO2, elektron dan ion hidrogen
dinamakan kelompok asetil. Kelompok asetil ini kemudian
bergabung dengan molekul lain yang dinamakan Ko enzim A
(Co A) untuk membentuk asetil KoA (reaksi A pada gambar
siklus krebs). Setiap molekul asetil KoA kemudian masuk ke
reaksi rangkaian siklus berikutnya (siklus krebs).
(c) Pada proses kelanjutannya itu, dapat kita lihat bahwa asetil
KoA bergabung dengan asam oksaloasetat dan kehilangan
molekul Koenzim A, dan hasil dari reaksi ini adalah molekul
asam sitrat. Asam sitrat kemudian dikonversi menjadi asam
sis asonitat (cis-aconitic) dan selanjutnya dirubah menjadi
asam isositrat (isocitric-acid). Pada reaksi B, asam asositrat
dioksidasi (dengan bantuan pengangkut elektron, NAD+)
menjadi asam oksalosuksinat (oxalosuccinic acid). Pada
reaksi C, asam oksalosuksinat kehilangan/melepaskan
molekul karbondioksida (CO2) dan menjadi asam
alfa-ketoglutarat (alpha-ketoglutaric acid). Dengan kehilangan
molekul CO2 didalam reaksi C artinya, kita sekarang dapat
memandang bahwa hanya satu dari ketiga atom karbon yang
berasal dari molekul asam piruvat yang tinggal. Terakhir
karbon hilang sebagai CO2 didalam rangkaian D pada waktu
kehilangan CO2 ketika menghasilkan 1 molekul ATP.
Sebenarnya hanya molekul ATP yang diproduksi didalam
siklus Krebs untuk setiap molekul asetil-KoA yang melintasi
siklus.
(d) Setelah reaksi D, kita dapat menganggap bahwa setiap karbon
yang berasal dari asam piruvat tidak dapat tinggal terlalu
lama, dan karbon tetap hanya untuk mengangkut 4 elektron
tambahan dan ion hidrogen didalam reaksi E dan F. didalam
reaksi E pengangkut elektron bukan molekul NAD+ yang
biasa, tetapi molekul lain yang dinamakan flavin adenin
denukleotida (flavin adenine dinucleotide –FAD). Pada reaksi
F asam oksaloasetat (oxaloacetic acid) mengalami regenerasi,
Gambar 3. Siklus Krebs (Fos & Keteyian, 1998:30)
(3) Sistem transport elektron: kelanjutan pemecahan glikogen adalah
terbentuknya H2O yang dihasilkan dari persenyawaan H+ yang
terjadi dalam siklus krebs serta O2 yang kita hirup. Rangkaian
reaksi sampai terjadinya H2O disebut sistem transport elektron
yang terjadi di dalam dinding dalam mitokhondria.
4H + 4e + O2 2H2O
Pada sistem transport elektron (lihat pada gambar transport
eletron), elektron dan ion hidrogen ditransfer dari persenyawaan
yang satu ke persenyawaan berikutnya. Energi kimia dibebaskan
pada tiga langkah (A, D, G) untuk menyediakan energi dalam
elektron (oksidasi) pada waktu mengalami berbagai
persenyawaan adalah tanggung jawab untuk mengikat fosfat
(fosforilasi) terhadap ADP untuk membentuk ATP. Jadi produksi
ATP di dalam mitokondria berhubungan dengan oksidasi
molekul yang berurutan didalam sistem tranport elektron yang
diketahui sebagai fosforilasi oksidasi (oxidative phosporylation).
Proses ini menyediakan jumlah ATP yang terbesar untuk
kontraksi otot.
Saat molekul pertama yang dioksidasi (reaksi A) adalah
nikotamida adenin dinukleutida (NADH). Pada reaksi B,
Flavoprotein H2 yang mengalami reduksi pada A, sekarang
mengalami oksidasi. Dari sini sampai langkah H, hanya elektron
yang ditransfer diantara persenyawaan, sedangkan dua ion
hidrogen (H+) yang terikat ke flavoprotein H2 sekarang masuk
kedalam larutan dan dapat dipergunakan lagi pada H, pada akhir
reaksi oksidasi-reduksi. Oksigen dari darah menerima dua
elektron dari persenyawaan 6 (cytochrome oxidase) dan
bergabung dengan larutan ion hidrogen (H+) untuk membentuk
air (H2O).
Skema transport elektron dapat kita lihat bahwa, untuk
setiap dua elektron (atau atom hidrogen) dapat lewat dengan jalan
(pada reaksi A, D, G). (Lamb, 1984:39-63; Junusul,
1989:67-115; Riequier, 2000:3-10; Coustou, 2003:49625-49635).
Gambar 4. Sistem Transport Elektron (Lamb, 1984:49)
(4) Pengaruh Latihan Terhadap Fisik
Latihan fisik yang dilakukan secara teratur, terprogram dan
terukur dengan baik akan menghasilkan perubahan-perubahan
fisiologis yang mengarah pada kemampuan menghasilkan energi
yang lebih besar dan memperbaiki penampilan atau prestasi fisik.
Menurut Fox, et al (1988:24) perubahan fisiologis yang terjadi
akibat latihan fisik diklasifikasikan menjadi tiga macam
(a) Perubahan yang terjadi pada tingkat jaringan yakni perubahan
yang berhubungan dengan biokimia.
(b) Perubahan yang terjadi secara sistematik yakni perubahan
pada sistem sirkulasi dan respirasi, termasuk sistem
pengangkutan oksigen.
(c) Perubahan lain yang terjadi pada kompisi tubuh, kadar
kolesterol darah dan trigliserida, perubahan tekanan darah,
dan perubahan yang berkenaan dengan aklimatisasi panas.
Perubahan-perubahan fisiologis yang terjadi menunjukkan
bahwa tidak semua pengaruh latihan dapat diharapkan dari
program latihan tunggal. Pengaruh latihan adalah khusus, yakni
sesuai dengan program latihan yang digunakan, apakah itu
program latihan aerobik (endurance) atau anaerobik (sprint).
(a) Perubahan-perubahan biokimia
Perbaikan penampilan dalam olahraga seperti gerakan
yang bersifat cepat (sprinting, kicking) disatu sisi belum dapat
dijelaskan oleh adaptasi dalam metabolisme anaerobik akibat
latihan. Disisi lain, bentuk-bentuk latihan anaerobik
digunakan dalam bolavoli, pencak silat, atletik, dan lain-lain
untuk menimbulkan adaptasi pada serabut-serabut otot.
Terutama disini karena meningkatkan phosphate kaya energi
dan glikogen intramuskuler yang bergabung untuk
(1) Perubahan-perubahan dalam serabut otot
Akibat latihan akan terlihat hipertropi otot. Karena
latihan dalam tubuh terdapat dua macam otot, yakni otot
lambat (slow twich fiber) adan otot cepat (fast twich
fiber), maka dengan sendirinya juga terjadi hipertropi
pada kedua macam otot tersebut. Hipertropi ini
tergantung dari macam latihan yang dilakukan. Bila untuk
ketahanan yang akan menjadi hipertropi adalah otot
lambat, sedangkan bila untuk kecepatan yang menjadi
hipertropi adalah otot cepat. Hipertropi yang disebabkan
karena latihan, biasanya disertai perubahan-perubahan
sebagai berikut :
(a) Peningkatan diameter miofibril.
(b) Peningkatan jumlah miofibril
(c) Peningkatan protein kontraktil
(d) Peningkatan jumlah kapiler
(e) Peningkatan kekuatan jaringan ikat, tendon, dan
ligamen. (Soekarman, 1987:32).
Perubahan-perubahan antar tipe-tipe serabut otot,
sedikit terjadi pada seseorang yang melakukan latihan
anaerobik seperti lari cepat, menendang, memukul,
smash. Peningkatan pada diameter (hipertropi) dari
vastus lateralis, terjadi hipertropi yang lebih nyata pada
serabut otot cepat (Fox, et al, 1984:228-231).
(2) Perubahan-perubahan dalam sistem anaerobik
Perubahan-perubahan dalam otot akibat dari latihan
meliputi peningkatan kapasitas atau kemampuan dari: a)
sistem phospagen (ATP-PC), dan b) sistem glikolisis
anaerobik (LA). Dalam kaitannya dengan perubahan
biokimia yang terjadi dalam sistem anaerobik. Costill, et
al (1979:96-99) menyatakan tiga hasil temuan penelitian
mereka mengenai “adaptasi dalam otot skelet setelah
mengikuti latihan kekuatan” sebagai berikut :
(a) Dengan menggunakan 10 kali repitisi dalam 30 detik
melawan kerja maksimal 4 kali per minggu adalah
cukup merangsang peningkatan aktifitas
phosphorylaze (ATP-ase) otot, phospho fruktokinase
(PFK), creatinine phosphokinase (CPK), myokinase
(MK), malate dehydrigenase (MDH), dan succinate
dehydrogenase (SDH).
(b) Aktifitas enzim-enzim otot meningkat.
(c) Terdapat perubahan komposisi otot dari serabut
vastus lateralis setelah 7 minggu latihan. Dari contoh
signifikan dalam prosentase komposisi area serabut
otot tipe I dan II a.
Menurut Fox, et al (1988:327) perubahan biokimia
yang terjadi dalam sistem anaerobik meliputi
perubahan-perubahan:
(a) Peningkatan cadangan ATP dan PC dalam otot.
(b) Peningkatan aktifitas enzim-enzim anaerobik dan
aerobik; dan
(c) Peningkatan aktifitas enzim glikolitik.
(3) Perubahan-perubahan dalam sistem aerobik
Peningkatan dalam enzim-enzim aerobik tampak
setelah latihan anaerobik atau lari cepat. Tampak pula
pada konsumsi oksigen maksimal (VO2maks)nya (Fox, et
al, 1984:229).
(b) Perubahan-perubahan pada sistem kardiorespirasi
Perubahan akibat latihan kecepatan oleh Radioputro
(1987:26-27) dinyatakan bahwa akibat kenaikan frekuensi
detak jantung dan bertambah kuatnya kontraksi otot jantung,
maka jadilah dilatasi jantung dan hipertropi otot jantung.
Kecuali hipertropi dan dilatasi jantung akibat latihan terjadi
pula perubahan-perubahan seperti :
(1) Turunnya frekuensi detak jantung
(3) Kenaikan frekuensi yang lebih kecil pada waktu latihan
(4) Pemulihan kembali ke frekuensi dan desakan pada waktu
istirahat berlangsung lebih cepat.
(c) Perubahan-perubahan lain yang terjadi dalam latihan
Disamping perubahan biokimia dan perubahan
kardiorespirasi, latihan juga menghasilkan
perubahan-perubahan lain yang terpenting seperti :
(1) Perubahan dalam komposisi tubuh
(2) Perubahan dalam kadar kolesterol dan trigliserida
(3) Perubahan dalam tekanan darah
(4) Perubahan dalam aklimatisasi panas
(5) Perubahan-perubahan dalam jaringan penghubung (Fox,
et al, 1988:347-348).
Perubahan fisiologis yang lain, selain dari 3 hal yang
telah dikemukan adalah perubahan-perubahan pada struktur
syaraf. Kebanyakan penelitian tentang pengaruh fisiologis
dari latihan terfokus pada perubahan-perubahan dalam otot
skelet. Meskipun demikian, beberapa penelitian yang
memusatkan perhatian pada motor end plate dan motor
neuron tidak kalah pentingnya, bahkan mungkin lebih
penting, karena ditemukan bahwa susunan-susunan atau
struktur ini menunjukkan perubahan sebagai hasil dari latihan
Perubahan-perubahan ini termasuk adaptasi seluler dan
sub seluler dalam setrukturnya, modifikasi dari transmisi dan
perubahan dalam refleks, bahan kimia dan respon biokimia
(yang terakhir dalam motor neuron itu sendiri).
d. Latihan Plaiometrik
Ciri khas dari latihan plaiometrik adalah adanya peregangan
pendahuluan (pre-streehing) dan tegangan awal (pre-tension) pada saat
melakukan kerja. Latihan ini dikerjakan dengan cepat, kuat eksplosif dan
reaktif. Tipe latihan yang melibatkan unsur-unsur tersebut di atas,
merupakan tipe dari kemampuan daya ledak. Oleh karena itu Radcliffe &
Farentinos (1985:1), mengemukakan bahwa “Latihan plaiometrik
merupakan salah satu metode latihan yang sangat baik untuk
meningkatkan eksplosif koordinasi”. Gerakan-gerakan plaiometrik
dilakukan dengan spektrum yang luas menggunakan koordinasi. Secara
umum latihan plaiometrik memiliki aplikasi yang sangat luas dalam
berbagai kegiatan olahraga, dan secara khusus latihan ini sangat
bermanfaat untuk meningkatkan koordinasi (daya ledak) baik siklik
maupun asiklik.
1) Tujuan Latihan Plaiometrik
Plaiometrik berasal dari bahasa latin ”plyo dan metries” yang
berarti ”measurable increases” atau peningkatan yang terukur Chu
(1992:1). Istilah ini muncul dalam terminologi bahasa Inggris. Hal ini
Plaiometrik pertama kali dikemukakan oleh salah seorang warga
Amerika yang berfikiran jauh ke depan tentang kepelatihan Atletik
bernama Fred Wilt pada tahun 1975.
Fox, et al (1988:175) mengemukakan bahwa latihan plaiometrik
merupakan bentuk program latihan yang mengkombinasikan suatu
regangan awal pada unit tendon yang diikuti oleh suatu kontraksi
isotonik. Pendapat senada dikemukakan oleh Radcliffe & Farentinos
(1985:3-7) yang menyatakan bahwa latihan plaiometrik adalah suatu
latihan yang memiliki ciri khusus, yaitu kontraksi otot yang sangat
kuat yang merupakan respon dari pembebanan atau regangan yang
cepat dari otot-otot yang terlibat atau disebut juga reflek regang atau
reflek miotetik atau reflek muscle spindle. Sedangkan Chu (1992:1-3)
berpendapat bahwa latihan plaiometrik adalah latihan yang
memungkinkan otot untuk mencapai kekuatan maksimal dalam waktu
yang sesingkat mungkin.
Dari beberapa batasan latihan plaiometrik yang telah
dikemukakan oleh beberapa ahli tersebut di atas pada prinsipnya sama,
bahwa latihan plaiometrik adalah salah satu bentuk latihan yang
didalamnya terdapat kontraksi dan regangan otot secara cepat yang
memungkinkan otot mencapai kekuatan maksimal dalam waktu yang
2) Prinsip-Prinsip Latihan Plaiometrik
Dalam kegiatan olahraga, kerja atlet mungkin dikaitkan dengan
tiga jenis kontraksi otot, yaitu: konsentrik (memendek), isometrik
(tetap) dan eksentrik (memanjang). Tipe gerakan dalam latihan
plaiometrik adalah cepat, kuat, eksplosif dan reaktif.
Latihan plaiometrik sebagai metode latihan fisik untuk
mengembangkan kualitas fisik, selain harus mengikuti prinsip-prinsip
dasar latihan secara umum. Juga harus mengikuti prinsip-prinsip
khusus yang terdiri dari :
a) Memberikan regangan pada otot
Tujuan dari pemberian regangan yang cepat pada otot, yaitu
untuk mendapatkan tenaga elastis dan menimbulkan reflek
regangan.
b) Beban lebih yang meningkat (Progresive Overload)
Dalam latihan plaiometrik harus menerapkan beban lebih
dalam hal beban/tahanan, keterampilan teknik dasar dan jarak.
Tahanan atau beban yang overload biasanya pada latihan
plaiometrik diperoleh dari bentuk pemindahan dari anggota badan
atau tubuh yang cepat, seperti menanggulangi akibat jatuh,
meloncat, melambung, memantul dan sebagainya.
c) Kekhususan latihan (Spesific Training)
Dalam latihan plaiometrik harus menerapkan prinsip
dilatih atau kekhususan neuromuscular, b) Kekhususan terhadap
sistem energi utama yang digunakan dan c) Kekhususan terhadap
pola gerakan latihan (Bompa, 1994:32).
Agar latihan koordinasi dapat memberikan hasil seperti yang
diharapkan, maka latihan harus direncanakan dengan
mempertimbangkan aspek-aspek yang menjadi
komponen-komponennya. Aspek-aspek yang menjadi komponen dalam
latihan plaiometrik tidak jauh berbeda dengan latihan kondisi fisik
yang meliputi: ”(1). Volume, (2). Intensitas yang tinggi, (3).
Frekuensi dan (4). Pulih asal”. (Chu, 1992:14).
3) Bentuk Latihan Plaiometrik
Latihan plaiometrik yang dilakukan untuk meningkatkan
koordinasi mata-tangan harus bersifat khusus yaitu latihan yang
ditujukan untuk otot lengan. Salah satu bentuk latihan yang dapat
digunakan untuk meningkatkan koordinasi mata-tangan dalam latihan
pliometrik adalah medicine ball scoop toss dan medicine ball throw.
Medicine ball scoop toss merupakan latihan plaiometrik yang
dilakukan secara cepat dan eksplosif melibatkan otot lengan, lingkar
bahu dan otot-otot punggung bagian bawah. Gerakannya meloncat
dengan melempar bola medisin keatas dan menangkap kembali, bola
diletakkan diantara kedua tungkai. Medicine ball throw merupakan
latihan dengan gerakan melempar bola medisin ke depan sejauh
bahu, gerakan ini melibatkan otot-otot bahu, lengan, dada dan togok.
Latihan ini menghendaki hampir seluruh koordinasi tubuh, yang
melibatkan otot-otot punggung bawah, fleksor pinggul, lingkar bahu,
lengan dan QuadricepRadcliffe dan Farentinos.
4) Pengaruh Latihan Plaiometrik Terhadap Peningkatan Keterampilan
Teknik Dasar Bolavoli
Pengaruh latihan bersifat khusus dan sesuai dengan karakteristik
tipe kerja dari suatu latihan. Tipe latihan plaiometrik adalah cepat,
eksplosif dan reaktif, tipe ini merupakan tipe kerja dari koordinasi.
Latihan plaiometrik yang dilakukan secara berulang-ulang akan
berpengaruh terhadap otot lengan dan bahu. Otot-otot yang terlibat
harus bekerja secara berulang-ulang dan terus-menerus. Latihan
plaiometrik merupakan latihan yaug cocok unluk meningkatkan
kemampuan meloncat, melompat, melempar, mengayun, mendorong,
menarik, memukul. Karena kemampuan mengayun, mendorong dan
memukul bola dengan cepat merupakan tipe dari latihan yang bersifat
cepat dan eksplosif. Latihan ini merupakan perpaduan antara kekuatan
dan keterampilan teknik dasar yang merupakan unsur dominan di
dalam koordinasi. Sehingga latihan ini sangat baik untuk
meningkatkan koordinasi mata-tangan.
Latihan yang dilakukan secara berulang-ulang dan
berkesinambungan akan berpengaruh terhadap sistem fisiologis dan
terhadap gerakan yang dilakukan. Dengan demikian koordinasi
mata-tangan atlet yang bersangkutan dapat meningkat. Hal ini dikarenakan
pola gerakan dan sistem energi yang digunakan sesuai dengan gerakan
dan sistem energi pada koordinasi. Latihan ini dilakukan dengan cepat,
eksplosif dan bertenaga, sehingga cukup melelahkan. Oleh karena itu
peningkatan dosis latihan, sebaiknya diberikan secara bertahap.
Latihan pliometrik diperkirakan menstimulasi berbagai
perubahan dalam sistem neuromuscular, memperbesar kemampuan
kelompok-kelompok otot untuk memberikan respon lebih cepat dan
lebih kuat terhadap perubahan-perubahan yang ringan dan cepat pada
otot, sehingga latihan ini memiliki dan memberi beberapa keuntungan
bagi pelakunya, diantaranya adalah: 1) kecepatan gerakan dalam
latihan lebih tinggi, sehingga sangat baik dan efektif untuk
menghasilkan tenaga pada jenis gerakan (kecepatan gerak jauh lebih
baik), 2) resiko terjadinya cedera otot lebih rendah, sehingga lebih
aman pada saat melakukan latihan, 3) kontrol kesungguhan dan
kebenaran dalam pelaksanaan program latihan lebih mudah, 4)
peningkatan beban latihan lebih tepat, sesuai dengan ketentuan, dan
5) memungkinkan sejumlah peserta untuk berlatih bersama, sehingga
menghemat waktu.
Sedangkan kelemahan dari latihan pliometrik diantaranya adalah:
1) beban latihan relatif ringan, sehingga peningkatan kekuatan lebih
timbulnya kejenuhan pada saat beban latihan semakin bertambah,
karena jenis latihan yang tidak berubah, dan 4) timbulnya kelelahan
yang sangat bagi pelaku.
e. Latihan Berbeban
Latihan beban adalah suatu cara untuk menerapkan prosedur
pengkondisian secara sistematis pada berbagai otot tubuh. Cara
pengkondisian tersebut akan meningkatkan kekuatan, daya tahan, ukuran
otot dan penampilan seseorang. Latihan beban juga dikenal dengan istilah
weight training merupakan latihan fisik yang efektif dengan bantuan alat
berupa besi (dumbell, barbel, stick) untuk meningkatkan kekuatan,
koordinasi, ketahanan otot dan pembentukan otot. Selain itu unsur-unsur
biomotor kekuatan, keterampilan teknik dasar, daya tahan, koordinasi,
fleksibilitas, tidak dapat dipisahkan semuanya saling berhubungan dan
melengkapi. Maka dapat disimpulkan bahwa program latihan berbeban
dapat meningkatkan unsur-unsur biomotor.
1) Prinsip-Prinsip Latihan Berbeban
Dalam olahraga prestasi untuk memperoleh prestasi puncak harus melalui program latihan yang disusun secara sistematis, teratur,
kontinyu dan menerapkan prinsip-prinsip dasar latihan. Nossek
(1982:10) mengemukakan bahwa latihan yang sistematis adalah
dilakukan secara teratur, latihan tersebut berlangsung beberapa kali
dalam satu minggu, tergantung pada periodisasi latihan dan standar
prinsip-prinsip latihan yang benar. Prinsip latihan merupakan garis pedoman
yang hendaknya digunakan dalam latihan yang terorganisir dengan
baik.
Dapat dirangkum dari pendapat tersebut di atas bahwa prinsip
latihan merupakan landasan ilmiah dalam pelatihan yang harus
dipegang erat dalam proses latihan. Diantara prinsip-prinsip latihan
tersebut diantaranya adalah: 1) Prinsip beban lebih 2) Prinsip progresif,
3) Prinsip pengaturan latihan, 4) Prinsip kekhususan program latihan.
Dengan menerapkan prinsip-prinsip tersebut diharapkan dapat
mencapai tujuan yang diharapkan, yaitu mencapai prestasi puncak.
a) Prinsip beban lebih
Latihan fisik pada prinsipnya adalah memberikan tekanan
pada tubuh yang akan dilakukan sedemikian rupa sehingga dapat
meningkatkan kapasitas kemampuan kerja dan mengembangkan
sistem serta fungsi organ tubuh ketingkat standar nilai yang lebih
tinggi.
Beban latihan yang diberikan harus di atas ambang batas
rangsang latihan. Jika latihan tidak ditingkatkan meskipun latihan
dilakukan dengan rutin, prestasi tidak akan meningkat. Lebih lanjut
Harsono (1988:50) mengemukakan bahwa “perkembangan otot
hanyalah mungkin apabila otot-otot tersebut dibebani dengan
tahanan yang kian bertambah berat “. Lebih lanjut dijelaskan pula
mengembangkan kekuatan. Hal ini berarti bahwa seorang atlet
tidak akan meningkat prestasinya jika dalam latihan mengabaikan
prinsip beban berlebih. Kemampuan seorang atlet dapat meningkat
jika mendapat beban latihan yang lebih berat dari beban yang
diterima sebelumnya secara teratur dan kontinyu. Jonath &
Krempel (1987:29) menerangkan bahwa ”peningkatan prestasi
terus menerus hanya dapat dicapai dengan peningkatan beban
latihan“.
Pembebanan yang lebih dapat merangsang penyesuaian
fisiologis dalam tubuh yang dapat mendorong peningkatan
kemampuan otot dalam tubuh. Satu hal yang harus diingat bahwa
beban latihan yang diberikan tidak boleh terlalu berat atau
berlebihan, karena hal ini justru akan berakibat tidak baik terhadap
hasil latihan. Jika beban latihan yang diberikan terlalu berat atau
berlebihan, bukan kemampuan fisik yang meningkat justru
sebaliknya kemungkinan akan terjadi cedera dan penurunan
kemampuan kondisi fisik.
Pendapat tersebut di atas menunjukkan bahwa prinsip beban
lebih bertujuan untuk meningkatkan perkembangan kemampuan
tubuh. Pembebanan latihan yang lebih berat dari sebelumnya
tersebut akan merangsang tubuh untuk beradaptasi dengan beban
Kemampuan tubuh yang meningkat dimungkinkan akan mampu
mencapai prestasi yang lebih baik.
b) Prinsip Progresif
Agar latihan dapat dirasakan kemajuannya maka beban yang diberikan haruslah progresif. Disini yang dimaksud dengan
peningkatan beban secara progresif adalah peningkatan beban
secara teratur dan bertahap, sedikit demi sedikit. Dengan
pemberian beban secara bertahap yang kian hari kian meningkat
jumlah pembebanannya. Hal ini akan memberikan efektifitas
kemampuan fisik. Peningkatan beban latihan harus tepat
disesuaikan dengan tingkat kemampuan fisiologis dan psikologis
atlet serta ditingkatkan setahap demi setahap. Keuntungan
penggunaan prinsip peningkatan beban secara progresif adalah
otot-otot tidak akan terasa sakit. Peningkatan beban lebih
diterapkan paling tidak setelah dua atau tiga kali latihan.
Menurut Bompa (1994:44) bahwa prinsip peningkatan beban
secara bertahap merupakan dasar dari semua perencanaan latihan
olahraga mulai dari siklus mikro sampai siklus olimpiade, dan
harus diterapkan bagi semua atlet tanpa memandang tingkat
prestasinya. Keterampilan seseorang untuk memperbaiki
prestasinya, tergantung pada teknik dasar dan cara bagaimana dia
meningkatkan beban latihannya. Tetapi harus diingat apabila beban
akan terjadi kemerosotan dari segi fisik dan psikologis atlet,
sehingga prestasinya akan menurun. Suatu pembebanan latihan
yang mendadak tajam, akan memepengaruhi toleransi kemampuan
adaptasi tubuh, keseimbangan fisiologis dan psikologis atlet. Untuk
itu beban latihan yang diberikan harus diikuti oleh fase tanpa
beban, dimana pada fase ini organ tubuh akan menyesuaikan diri
dan terjadi regenerasi fungsi organ tubuh. Hal ini sangat diperlukan
untuk persiapan peningkatan beban latihan yang baru. Keadaan ini
harus mempertimbangkan juga kebutuhan setiap atlet, keterampilan
teknik dasar penyesuaian serta kalender pertandingan.
c) Prinsip Pengaturan Latihan
Prinsip ini berkaitan mengenai pengaturan tahapan latihan. Latihan harus dilakukan secara teratur dan kontinyu, hal ini
dimaksudkan agar terjadi adaptasi terhadap jenis ketrampilan yang
dipelajari. Hal ini diterapkan misalnya pada latihan berbeban,
dimana kelompok otot yang besar harus dilatih terlebih dahulu
sebelum otot-otot yang kecil. Hal ini diterapkan agar kelompok
otot kecil tidak mengalami kelelahan terlebih dahulu. Penerapan
aturan ini mempunyai tujuan bahwa otot-otot yang lebih kecil
mempunyai kecenderungan lebh cepat lelah bila dibandingkan
otot-otot besar. Oleh sebab itu untuk menentukan beban lebih yang
tepat yaitu dengan mendahulukan melatih otot-otot besar terlebih
Contohnya kelompok otot pada kaki dan kelompok otot pada paha
dilatih terlebih dahulu, dari pada kelompok otot bagian lengan
yang lebih kecil.
d) Prinsip kekhususan
Pengaruh yang dtimbulkan akibat latihan bersifat khusus,
sesuai dengan karakteristik kondisi fisik, pola gerakan dan sistem
energi yang digunakan selama latihan. Latihan yang ditujukan pada
unsur kondisi fisik atau teknik dasar tertentu hanya akan
memberikan pengaruh besar terhadap komponen kondisi fisik atau
teknik dasar yang dipelajari.
Oleh karena itu program latihan yang dilakukan harus bersifat
khusus, disesuaikan dengan tujuan yang akan dicapai. Kekhususan
tersebut menyangkut sistem energi serta pola gerakan
(keterampilan) yang sesuai dengan unsur fisik maupun nomor yang
dikembangkan.
Hal-hal lain yang perlu diperhatikan dalam latihan adalah
jumlah latihan dan beban latihan yang meliputi intensitas, repetisi,
jumlah set dan recovery.
1) Jumlah latihan
Jumlah ini merupakan kunci dari efektifitas latihan.