BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Kopi merupakan salah satu komoditas unggulan perkebunan di Indonesia yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi, perkembangan komoditas kopi dan industri pengolahannya saat ini sangat bagus, dengan semakin dikenalnya kopi Indonesia di pasaran dalam negeri serta dimancanegara, terutama kopi dari berbagai daerah, seperti Aceh, Sumatera Utara, Lampung, Jawa, Sulawesi, Bali dan Nusa Tenggara, yang juga merupakan penghasil kopi khusus (speciality coffee) bernilai ekonomis tinggi. Produksi kopi Indonesia tahun 2018 masih didominasi kopi robusta dengan share sekitar 70,06% dan sisanya sebanyak 24,94% adalah kopi arabika dan sedikit kopi jenis lainnya.
Perkebunan kopi sebagian besar diusahakan oleh perkebunan rakyat (PR), dengan kontribusi terhadap produksi kopi nasional sekitar 1,19 juta ton atau 96,14%
dari produksi kopi nasional yang mencapai 1,24 juta ton. Jenis kopi yang ditanam di Indonesia antara lain kopi robusta dan arabika. jenis kopi arabika memiliki rasa yang kuat dan paling baik untuk cita rasanya (Najiyati dan Danarti, 2001).
Produksi kopi jenis arabika di Jawa Tengah pada tahun 2018 berdasarkan kabupaten yang memiliki produksi dan luas areal tertinggi, cukup bervariasi.
Produksi biji kopi jenis Arabika terbesar, ditempati Kabupaten Temanggung dengan produksi 895,33 ton, diikuti Kabupaten Banjarnegara sebesar 165,58 ton, Kabupaten Boyolali 128,19 ton, Kabupaten Batang sebesar 100,14 ton. Produksi kopi arabika Jawa tengah saat sedang mengalami perkembangan yang cukup pesat, sehingga diharapkan di masa datang dapat menjadi salah satu wilayah sentra produksi kopi jenis Arabika (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).
Biji kopi yang familiar atau cukup banyak dihasilkan di Jawa Tengah adalah jenis Robusta dengan produksi tertinggi di Kabupaten Temanggung mencapai 9.559,25 ton, diikuti oleh beberapa Kabupaten Boyolali sebesar 1.454,70 ton, Kabupaten Semarang sebesar 1.415,89 ton. Kabupaten Pati sebesar 1.227,43 ton, dan Kabupaten Kendal sebesar 1.203,35 ton. Biji kopi jenis Robusta di Jawa Tengah terbilang cukup dominan, dengan demikian kopi jenis robusta menjadi ciri khas Jawa Tengah untuk komoditi kopi (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2019).
Kopi memiliki nilai ekonomi cukup tinggi sehingga di beberapa daerah dengan agroklimat sesuai, seperti di beberapa wilayah Jawa Tengah, dijadikan sebagai komoditas unggulan. Sejalan dengan pengembangan potensi daerah, penetapan kopi sebagai komoditas unggulan diharapkan mampu mendukung peningkatan perekonomian masyarakat. Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini adalah rendahnya produktivitas tanaman dan mutu hasil, serta lemahnya posisi tawar dalam penentuan harga dengan pedagang baik pengepul maupun pedagang grosir dan petani.
Kopi yang dihasilkan petani pada umumnya masih memiliki mutu yang rendah, karena penanganan pascapanen yang sederhana. Hal ini disebabkan buah kopi yang dipanen bukan hanya yang sudah merah, tetapi juga yang masih hijau karena rawan pencurian. Selama ini petani terpaksa menjaga kebun dan memanen buah kopi lebih cepat sehingga hasil panen berupa campuran antara buah yang sudah berwarna merah dan yang masih hijau (Listyati, dkk. 2017).
Perdagangan kopi menjadi penyedia lapangan kerja, tidak saja sebagai petani namun juga pedagang, pengumpul mulai tingkat desa maupun eksportir, buruh perkebunan besar dan pengolahan kopi dengan adanya lapangan kerja. Para pelaku wirausaha yang berkecimpung dalam perdagangan kopi perlu memikirkan cara pemasaran yang baik.
Pemasaran merupakan kegiatan usaha untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan konsumen melalui pendistribusian suatu produk. Menurut Angipora (2002), pemasaran hasil pertanian berarti kegiatan bisnis dimana menjual produk berupa komoditas pertanian sesuai dengan kebutuhan dan keinginan konsumen, dengan harapan konsumen akan puas dengan mengkonsumsi komoditas tersebut.
Pemasaran hasil pertanian dapat mencakup perpindahan barang atau produk pertanian dari produsen kepada konsumen akhir, baik input ataupun produk pertanian itu sendiri.
Pedagang perantara dalam pemasaran produk pertanian berperan membantu petani dalam menyalurkan produk untuk sampai ke konsumen berdasarkan jenis, jumlah, harga, tempat dan saat dibutuhkan. Pedagang merupakan lembaga pemasaran yang secara langsung berhubungan dengan petani.
Pedagang umumnya melakukan transaksi dengan petani secara tunai, ijon
ataupun kontrak pembelian. Dalam peningkatan efisiensi pelaksanaan fungsi pada pemasaran, jumlah produk yang terdapat pada pedagang pengumpul sebaiknya dikonsentrasikan lagi oleh lembaga pemasaran yang lebih besar (pedagang besar).
Selain melakukan proses konsentrasi (pengumpulan) komoditas, pedagang tersebut juga melakukan proses distribusi (penyebaran) ke agen atau pengecer.
Produk hasil pertanian yang belum atau sudah melalui proses pengolahan di tingkat pedagang besar akan didistribusikan kepada pengecer atau agen, maupun langsung ke konsumen (Rahim dan Hastuti, 2007). Dalam praktek perdagangan hasil pertanian, baik produk palawija, rempah-rempah dan perkebunan, seperti jagung, jahe, kayu manis, dan kopi, yang dilakukan secara tradisional di wilayah kecamatan, pada umumnya mengandalkan peran pedagang grosir di pasar.
Kios Bu SUS sebagai salah satu pedagang perantara berskala grosir yang melayani jual-beli hasil pertanian di pasar Sumowono, juga melakukan kegiatan pemasaran produk hasil pertanian, khususnya kopi biji (beras dan kopi gelondong) yang berasal dari petani dan pedagang pengepul desa di sekitar wilayah kecamatan Sumowono. Secara ekonomi peran yang aktif dilakukan oleh kios Bu SUS dalam perdagangan hasil pertanian, khususnya kopi sangat penting dan memberikan kontribusi yang besar dalam mendorong tumbuhnya perekonomian lokal.
Permasalahan yang dihadapi pedagang meliputi tataniaga seperti sortir, grading, packaging yang belum memenuhi standar dalam kegiatan tataniaga.
Kegiatan menyortir hanya berdasarkan pengalaman, sebagai contoh menetukan kadar air produk kopi biji hanya dikira kira saja menggunakan tangan. Grading menentukan standarisasi produk kopi biji juga mengandalkan panca indra saja atau manual dan alat yang digunakan masih sederhana. Packaging media produk kopi
biji yang digunakan hanya karung yang seragam tidak ada pembeda antara produk yang bagus, sedang dan kurang bagus.
Dalam menjalankan kegiatan perdagangan hasil pertanian, khususnya kopi biji, pihak kios Bu SUS juga memperhatikan persaingan yang dihadapi dengan pedagang hasil pertanian yang berada di sekitar wilayah kecamatan Sumowono, seperti Pingit, Kaloran, Bandungan, dan Boja. Untuk menghadapi dan memenangkan persaingan dengan pedagang lain ini dibutuhkan strategi pemasaran yang tepat agar dapat bertahan dan terus berkembang dalam perdagangan kopi biji.
Bentuk strategi pemasaran yang bisa digunakan dalam perdagangan hasil pertanian adalah strategi generik dari Porter. Menurut Porter (2008) strategi generik ini terdapat tiga komponen didalamnya, yaitu 1) diferensiasi, 2) kepemimpinan biaya (biaya rendah), dan 3) fokus. Pada beberapa pedagang (produsen) strategi fokus ini seringkali diintegrasikan dengan salah satu dari strategi lainnya, sehingga ada dua tipe strategi fokus, yaitu fokus pada diferensiasi dan fokus pada biaya yang rendah dalam menjual produk yang dihasilkannya. Selain itu menurut Kotler (1997) ada strategi pemasaran yang juga bisa dilakukan pedagang atau produsen dalam menjalankan kegiatan perdagangan, yaitu menggunakan bauran pemasaran (marketing mix), yang terdiri dari komponen (1) produk (product), 2) harga (price), 3) promosi (promotion), dan 4) tempat (place). Seperti pada strategi generik, pada strategi marketing mix ini juga menekankan pada komponen yang dapat dikendalikan sepenuhnya (controllable) oleh pedagang. Menerapkan strategi bersaing ini, akan membuat pedagang memperhatikan komponen tersebut, sehingga dapat bertahan dan memenangkan persaingan dalam perdagangan hasil pertanian, khususnya kopi biji.
1.2 Permasalahan Penelitian
Berdasarkan latar belakang diatas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian, sebagai berikut:
1. Bagaimanakah gambaran strategi generik dalam pemasaran komoditi kopi biji di Kios Bu SUS?
2. Bagaimanakah bentuk strategi bauran pemasaran (marketing mix) dalam pemasaran komoditi kopi biji di Kios Bu SUS?
1.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah diatas, maka tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Menganalisis strategi generik Porter dalam pemasaran komoditi kopi biji di Kios Bu SUS.
2. Menganalisis bentuk strategi bauran pemasaran (marketing mix) dalam pemasaran komoditi kopi biji di Kios Bu SUS.
1.4 Signifikansi Penelitian
Diharapkan penelitian ini memberikan manfaat bagi berbagai pihak antara lain:
1. Bagi pihak pemerintah, penelitian ini diharapkan dapat dijadikan bahan informasi tentang pemasaran komoditi kopi, sehingga dapat dijadikan pertimbangan dalam membantu perkembangan produksi dan pemasaran kopi di wilayah Kabupaten Semarang.
2. Bagi pihak kios Bu SUS, penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi dalam menjalankan strategi pemasaran kopi biji dalam kaitannya dengan pengelolaan bauran pemasaran.
3. Bagi pihak civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan, serta mampu melengkapi penelitian terdahulu dan dapat memberikan referensi bagi penelitian selanjutnya, khususnya tentang pemasaran kopi biji.
1.5 Batasan Penelitian
Mempertimbangkan topik bahasan penelitian maka penelitian ini akan dibatasi sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, adapun batasan yang dimaksudkan adalah sebagai berikut:
1. Lokasi penelitian, hanya dilakukan di kios kopi Bu SUS di Kecamatan Sumowono.
2. Unit amatan pemilik kios Bu SUS, manager kios, petani kopi, pengepul kopi, produsen kopi bubuk, dan pemilik kafe.
3. Strategi pemasaran adalah strategi generik dalam menjalankan pemasaran dengan tiga macam strategi generik, yaitu: menciptakan ciri khas produk (differentiation), keunggulan biaya rendah (low cost), dan melayani pemasaran pada sebagian pasar yang ada (focus)
4. Bauran pemasaran adalah komponen dalam pemasaran yang meliputi produk (product), harga (price), promosi (promotion), dan lokasi (place) yang digunakan untuk strategi pemasaran.