• Tidak ada hasil yang ditemukan

AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH KAJIAN ANALISIS PADA DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH DAERAH: SEBUAH KAJIAN ANALISIS PADA DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA MALANG"

Copied!
26
0
0

Teks penuh

(1)

1402

AKUNTABILITAS KINERJA PEMERINTAH DAERAH:

SEBUAH KAJIAN ANALISIS PADA DINAS PERUMAHAN DAN KAWASAN PERMUKIMAN KOTA MALANG

Febri Herdiansyah Rahmaddhana1, I Gede Eko Putra Sri Sentanu2 Universitas Brawijaya

Alamat Korespondensi: febriherdiansyah7@gmail.com

ABSTRAK

Era Revolusi Industri 4.0 merupakan tantangan yang harus dijalani di negara maju maupun berkembang. Untuk menjawab hal itu maka perlu tata kelola pemerintahan yang baik (Good Governance). Salah satu perwujudan Good Governance adalah akuntabilitas yaitu bentuk pertanggungjawaban terhadap rakyat. Pada tulisan ini, peneliti mengambil riset akuntabilitas kinerja pada Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman khususnya bidang Pertamanan Kota Malang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana perwujudan akuntabilitas kinerja pada beberapa Pemda di Indonesia dan mengambil studi pada OPD di Kota Malang. Pada tulisan ini diharapkan dapat menunjukkan akuntabilitas kinerja Pemerintah Daerah di Indonesia dan di Kota Malang. Hasil dari penelitian ini adalah perwujudan akuntabilitas kinerja menunjukkan: 1) Pada tiga Pemda di Indonesia masih ada permasalahan seperti tingkat efisiensi perencanaan penganggaran rendah, korupsi yang tumbuh subur, akuntabilitas kinerja juga bergantungnya pada pelatihan, insentif, dan otoritas pengambilan keputusan, serta masalah ketidakadilan didalam memberikan pelayanan dan daya tanggap masih rendah dari pemerintah setempat; 2) Berdasarkan Permenpan 53 Tahun 2014, terdapat tujuh indikator yang harus dipenuhi Pemda di seluruh Indonesia pada LAKIP sebagai perwujudan akuntabilitas kinerja; 3) pada Disperkim khususnya Bidang Pertamanan, akuntabilitas kinerja dilaporkan dalam dua bentuk yaitu melalui LAKIP yang dipertanggungjawabkan pada KemenPAN-RB (vertikal) dan LKPJ yang dipertanggungjawabkan pada DPRD dan masyarakat (horizontal). Adapun faktor pendukungnya yaitu bergantung pada sumberdaya manusia yang memimpin dan mengarahkan pada Bidang Pertamanan dalam hal penganggaran. Sedangkan faktor penghambatnya adalah dengan ada tidaknya pengadaan barang di lapangan.

Kata Kunci: Good Governance, Akuntabilitas Kinerja, Disperkim Bidang Pertamanan, Kota Malang

ABSTRACT

The Industrial Revolution Era 4.0 was a challenge to take in both developed and developing countries. To answer that, good governance is needed. One of manifestations of Good Governance is accountability which is a form of accountability to the people. In this paper, the researcher took performance accountability research at the Department of Housing and Settlements, especially in the Park Sector, Malang City. The purpose of this study is find out how to embody performance accountability in several LGs in Indonesia and take a study on OPD in Malang City. It is hoped that this paper can demonstrate the accountability of local government performance in Indonesia and Malang City. The results of this study are the embodiment of performance accountability shows: 1) In three local governments in Indonesia there are still problems such as low level of efficiency of budget planning, corruption that thrives, performance accountability also depends on training, incentives, and decision-making authority, and the problem of injustice in providing services and responsiveness that is still low from the local government; 2) Based on Permenpan 53 of 2014, there are seven indicators that must be fill by regional governments throughout Indonesia in LAKIP as a manifestation of performance accountability; 3) in Disperkim especially in the Park Sector, performance accountability is reported in two forms, namely through LAKIP which is accountable to KemenPAN-RB (vertical) and LKPJ which is accountable to DPRD and the public (horizontal).

The supporting factors are depending on the human resources who lead and direct the Field of Parks in terms of budgeting. While the inhibiting factor is the presence or absence of procurement of goods in the field.

Keywords: Good Governance, Performance Accountability, Disperkim Park Sector, Malang City

(2)

1403 PENDAHULUAN

Era Revolusi Industri 4.0 merupakan sebuah tantangan yang harus dijalani di negara maju maupun berkembang. Terlebih ketika penyelenggara sekaligus pengelola negara yaitu pemerintah turut bertanggungjawab dalam menjawab tantangan dari revolusi Industri 4.0. Untuk menjawab hal itu maka perlu tata kelola pemerintahan yang baik atau Good Governance. Salah satu perwujudan Good Governance tersebut adalah dengan akuntabilitas yaitu bentuk pertanggungjawaban terhadap rakyat. Dalam kurun waktu beberapa tahun terakhir, sebuah terminologi good governance melanda seluruh elemen lapisan masyarakat di pelosok nusantara.

good governance dimaknai sebagai negara yang minimal (minimal state). Tata pemerintahan yang baik atau good governance telah lama dikampanyekan di Indonesia bahkan pernah sangat populer dan dielu-elukan pada Tahun 1998 hingga Tahun 1999 menjadi tren positif sebagai perwujudan gerakan reformasi.

Dalam konteks tuntutan reformasi, good governance muncul sebagai model transplantatif baru yang diyakini mampu untuk mengobati birokrasi tata pemerintahan yang dinilai sarat korupsi, suap, dan penyalahgunaan kekuasan yang termasuk berbagai pelanggaran hak-hak asasi manusia. Dimulai dari aparat birokrasi, Presiden pada pucuk pimpinan negara hingga pemerintahan paling bawah, sepakat menyuarakan good governance. Konsep Governance menurut Jon Pierre dan B Guy Peters (2000) secara sederhana merujuk pada proses pembuatan keputusan serta implementasinya Governance berlaku dan berlangsung di semua tingkatan baik nasional maupun lokal. Sementara, good governance merujuk pada akuntabilitas, partisipasi, konsensus, transparansi, efektivitas dan efisiensi, responsivitas persamaan dan inklusivitas, serta kepatuhan pada rule of law.

Pada makalah ini mengambil salah satu bentuk dari good governance yaitu akuntabilitas kinerja. Tujuan dari makalah yang penulis angkat ini pun adalah untuk mendeskripsikan bagaimana perwujudan good governance salah satunya melalui akuntabilitas kinerja yang ada pada beberapa Pemda (Pemerintah Daerah) di Indonesia dan lebih khusus merujuk pada studi yang penulis teliti yaitu pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) khususnya bidang Pertamanan Kota Malang.

(3)

1404 Akuntabilitas berawal dari pemikiran bahwa, setiap kegiatan harus dipertanggungjawabkan kepada orang atau instansi yang memberi kewenangan untuk melaksanakan suatu program, seperti yang dinyatakan oleh Haris (2007:

349). Sebuah akuntabilitas dapat terwujud apabila memenuhi indikator minimum akuntabilitas menurut Dadang Solihin (2007) yaitu :

1) Adanya kesesuaian antara pelaksanaan dengan standar prosedur pelaksanaan 2) Adanya sanksi yang ditetapkan atas kesalahan atau kelalaian dalam

pelaksanaan kegiatan

3) Adanya output dan outcome yang terukur

Akuntabilitas di Indonesia tentu memiliki pedoman yang sama tetapi tentu berbeda penerapannya di tiap daerah. Semuanya berpedoman pada Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 yang dilengkapi melalui regulasi No. 29 tahun 2010 dari PANRB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) tentang Pedoman Penyusunan Penentuan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah yang mewajibkan lembaga pemerintah harus menyiapkan dan mempresentasikan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah).

Selanjutnya mengenai kinerja menurut Moeheriono (2012:95) memaparkan bahwa kinerja atau performance merupakan gambaran mengenai tingkat pencapaian pelaksanaan suatu program kegiatan dalam mewujudkan sasaran, tujuan, visi dan misi organisasi yang dituangkan melalui perencanaan strategis suatu organisasi. Ada beberapa indikator yang digunakan untuk mengukur kinerja birokrasi publik menurut Agus Dwiyanto (2008: 50), yaitu a) Produktivitas; b) Kualitas Layanan; c) Responsivitas; d) Responsibilitas; e) Akuntabilitas

Secara garis besar, akuntabilitas kinerja adalah perwujudan keberhasilan suatu instansi pemerintah untuk mempertanggungjawabkan keberhasilan ataupun kegagalan pelaksanaan program serta kegiatan yang telah diamanatkan para pemangku kepentingan dalam rangka mencapai misi secara terukur dengan sasaran.

Sebagai contoh penerapan akuntabilitas kinerja di era revolusi industri pada beberapa Pemda di Indonesia yaitu salah satunya pada Provinsi Aceh1 yang notabennya memiliki status otonomi khusus dan berusaha mengimplimentasikan

1 Basri, Hasan, A.K. dan Siti Nabiha. 2014. Accountability of Local Government: The Case of Aceh Province, Indonesia. Asia Pacific Journal of Accounting and Finance: Vol. 3 (1), December 2014, 1-14. Hlm 6

(4)

1405 akuntabilitas. Tetapi yang terjadi tidak akuntabel, korupsi masih menjadi masalah utama di pemerintah Aceh setempat. Sehingga yang terjadi konsep good governance tidak berjalan sebagaimana mestinya. Lalu pada Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta)2 bahwa akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja dipengaruhi oleh fenomena isomorfisme yaitu coercive, mimetic, dan normative. Terlebih juga pelatihan, insentif, dan otoritas pengambilan keputusan membuat dampak signifikan pada perkembangan pengukuran kinerja, akuntabilitas kinerja, dan penggunaan informasi kinerja pada Pemprov DIY. Selanjutnya lebih khusus berada di Kota Malang3 yaitu implementasi akuntabilitas pada pelayanan publik yang ada di Kantor Kelurahan Dinoyo dalam memberikan jasa layanan kepada masyarakat. Untuk dapat melayani masyarakat dengan baik perlu memenuhi kriteria Moral conduct, Tangible, Responsiveness, Openness, dan Reliability.

Dari pemaparan diatas telah diketahui bahwa akuntabilitas dari setiap Pemda memiliki permasalahannya masing-masing. Sehingga pada tulisan ini, penulis mengangkat studi akuntabilitas kinerja di Kota Malang. Terlebih Kota Malang mendapatkan kategori baik dari KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) yaitu sebagai berikut:

Tabel 1. Kategori Akuntabilitas Kota Malang pada Tahun 2018-2019

Sumber: www.menpan.go.id, 2019

Secara aktual Kota Malang telah mencapai tata kelola pemerintahan yang baik pada Tahun 2018 dan Tahun 2019 berdasarkan pengkategorian LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan). Dengan dirilisnya hasil dari capaian LAKIP, evaluasi kinerja diperlukan dengan tujuan untuk menilai

2 Manafe, Mesri Welhelmina Nisriani dan Rusdi Akbar. 2014. Accountability and Performance:

Evidence from Local Government. Journal of Indonesian Economy and Busines: Volume 29, Number 1, 2014, 56 – 73. Hlm 67

3 Sumarni, Nurni, Slamet Muchsin, Retno Wulan Sekarsari. 2019. Pelaksanaan Akuntabilitas Pelayanan Publik di Kantor Kelurahan Dinoyo Kota Malang. Jurnal Respon Publik ISSN: 2302- 8432 Vol. 13, No. 6, Tahun 2019 FIA, Universitas Islam Malang. Hlm 46

Keterangan 2018 2019

Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah Daerah BB BB

(5)

1406 berfungsinya implementasi dan pengembangan Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dalam rangka mendorong terwujudnya pemerintahan yang berorientasi kepada hasil (outcome). Dalam pelaporan kinerja tersebut tentu validitas akuntabilitas kinerja menjadi hal pokok yang diprioritaskan sebagai bukti masa bakti dari kontrak kerja dan program-program yang telah terlaksana.

Merujuk pada lokus penulis yaitu pada Disperkim Kota Malang. Hal ini didasarkan pada keunikan yang terjadi pada bidang Pertamanan yang pada Tahun 2015 hingga Tahun 2019 terjadi perampingan, sehingga turut memengaruhi bagaimana proses akuntabilitas dapat terlaksana. Pada Tahun 2013 hingga Tahun 2015, bidang Pertamanan bernaung dibawah DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) sesuai dengan pengimplementasian Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah dan berlanjut pada Tahun 2016 terjadi restrukturisasi kelembagaan pemerintah kota berdasar Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah yang menyebabkan bidang Pertamanan hingga akhirnya bergabung pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) hingga tahun 2019. Sehingga dalam akuntabilitas pun perlu dikaji lebih lanjut dalam makalah ini.

Akuntabilitas yang dilakukan oleh Disperkim khususnya bidang Pertamanan tentu tidak jauh dari pengaruh politik yang mendasari adanya restrukturisasi hingga pelaporan akuntabilitas. Terlebih akuntabilitas yang harus dilaporkan memiliki dua bentuk pelaporan yaitu LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintahan) dan LKPJ (Laporan Kinerja Keterangan Pertanggungjawaban). Untuk LAKIP, Disperkim bertanggungjawab melaporkan kinerjanya pada KemenPAN-RB (vertikal) sedangkan untuk LKPJ, Disperkim melaporkan pada walikota untuk nantinya dilaporkan lagi pada DPRD (horizontal).

Sebagai pelaporannya pun khususnya LAKIP harus memenuhi unsur perencanaan kinerja, pengukuran kinerja, laporan kinerja, evaluasi kinerja, dan capaian kinerja khususnya pada bidang pertamanan. Sedangkan LKPJ harus memenuhi form-form yang disediakan oleh DPRD Kota Malang.

Adapun tujuan penelitian ini adalah menganalisis jawaban pada rumusan masalah yang telah ditentukan pada penelitian ini, antara lain: bagaimana

(6)

1407 perwujudan akuntabilitas kinerja pada pemda di Indonesia? Bagaimana LAKIP dapat mewujudkan akuntabilitas kinerja? dan bagaimana akuntabilitas kinerja khususnya di Disperkim bidang Pertamanan Kota Malang?

METODE PENELITIAN

Metode untuk melakukan penelitian merupakan acuan dasar ketika akan melakukan sebuah penelitian di lapangan. Tujuannya tidak lain dalam melakukan penelitian yang sistematis adalah untuk memperoleh hasil akhir objektif, efektif dan tentunya dapat dipertanggungjawabkan, secara ilmiah. Analisa pada penelitian ini didapat karena kegunaan metode penelitian semacam ini ketika mencari atau mendapat data dan informasi4. Pertimbangan peneliti menggunakan pendekatan kualitatif yaitu: pertama, penelitian ini tidak menguji hipotesis atau hubungan antar variabel, tetapi dalam rangka untuk menjawab pertanyaan bagaimana; kedua, penelitian ini untuk menganalisis kondisi objek secara utuh tanpa adanya perlakuan khusus sehingga hasil yang didapat merupakan realita yang sebenarnya terjadi;

ketiga, secara praktikal peneliti juga ingin memahami tindakan dari subjek yang diteliti. Lokasi penelitian ini adalah di Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) khususnya bidang Pertamanan Kota Malang, Barenlitbang (Badan Perencanaan, Penelitian, dan Pengembangan) Kota Malang, dan BPS (Badan Pusat Statistik) Kota Malang.

Adapun penelitian ini berfokus kepada analisa hubungan antara indikator akuntabilitas dengan indikator kinerja apakah dapat mendeskripsikan baik tidaknya akuntabilitas kinerja pada Disperkim khususnya Bidang Pertamanan Kota Malang.

Ada dua indikator akuntabilitas yang akan dianalisa serta didalami berdasar permasalahan empiris yaitu akuntabilitas vertikal dan akuntabilitas horizontal dengan satu indikator kinerja organisasional yaitu operational use. Untuk lebih jelasnya sebagai berikut:

a) Akuntabilitas vertikal dengan masalah empiris pada LAKIP b) Akuntabilitas horizontal dengan masalah empiris pada LKPJ

4 Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D, Alfabeta: Bandung. Hlm 2

(7)

1408 c) Kinerja organisasional yaitu operational use berkaitan dengan perencanaan operasional dan proses pemantauan pada Disperkim Bidang Pertamanan Kota Malang.

Jenis data yang digunakan sebagai dasar dalam penelitian ini adalah (a).

Data Primer, atau data dari tangan pertama, merupakan data yang didapat atau diperoleh langsung dari subyek penelitian dengan menggunakan alat pengukuran atau alat pengambilan data langsung pada subyek sebagai sumber informasi yang dicari5. Data primer yang peneliti dapat adalah wawancara langsung dengan key informan yang ada pada Barenlitbang (Badan Perencanaan, Penelitian dan Pengembangan) dan Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) Bidang Pertamanan Kota Malang; (b). Data Sekunder, atau data dari tangan kedua, pihak lain menjadi kunci untuk memperoleh data, artinya, tidak secara langsung data dapat diperoleh dari subyek penelitian yang bersangkutan di lapangan.Data sekunder yang peneliti dapat adalah dari LAKIP Disperkim tahun 2017-2018, Renstra tahun 2013-2018, artikel dan website online.

Sedangkan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah (a).

Informan, penentuan informan kunci pada penelitian ini menggunakan teknik purposive sampling yaitu pemilihan informan bertitik tolak pada penelitian pribadi peneliti yang menyatakan bahwa informan benar-benar representatif (Sudaryono, 2017). Pertimbangan utama penentuan informan adalah penguasaan informasi terkait implementasi UU No 28 Tahun 1999 serta Peraturan Walikota Malang Nomor 50 Tahun 2009 yang berkaitan dengan perwujudan Good Governance di Kota Malang; (b) Peristiwa, yaitu kejadian atau aktivitas dilokasi penelitian yang mencangkup permasalahan penelitian, diantaranya: akuntabilitas dapat terwujud di lingkungan pemerintahan Kota Malang hingga memengaruhi kinerja yang efektif dan efisien. Dengan mengamati peristiwa ini, penulis mengetahui proses sesuatu terjadi secara lebih pasti dan kejadian yang dapat dijadikan topik wawancara serta sebagai pemeriksaan kembali terhadap informasi yang diberikan oleh informan; (c).

Dokumen, merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu dapat berbentuk tulisan, gambar atau dapat berupa rekaman. Dokumen pada penelitian ini didapatkan dari

5 Saifuddin Azwar. 2007. Metode Penelitian. Pustaka Belajar: Yogyakarta. Hlm 91

(8)

1409 dokumen-dokumen laporan kinerja pemerintah, peraturan-peraturan, foto kegiatan yang pernah dilakukan dalam pelaksanaan good governance.

KERANGKA TEORI ATAU TINJAUAN PUSTAKA A. Administrasi Publik

Istilah Administrasi secara etimologi berasal dari bahasa Latin (Yunani) yang terdiri atas dua kata yaitu “ad” dan “ ministrate” yang berarti “to serve” yang dalam Bahasa Indonesia berarti melayani atau memenuhi2. Sedangkan pendapat A.

Dunsire yang dikutip ulang oleh Keban (2008: 2) administrasi diartikan sebagai arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan pengarahan, penciptaan prinsip-prinsip implementasi kebijakan publik, kegiatan melakukan analisis, menyeimbangkan dan mempresentasikan keputusan, pertimbangan-pertimbangan kebijakan, sebagai pekerjaan individual dan kelompok dalam menghasilkan barang dan jasa publik, dan sebagai arena bidang kerja akademik dan teoritik6.

Moenir 2010:128 (dalam Teori administrasi Publik), mengatakan bahwa pelayanan adalah proses pemenuhan kebutuhan melalui aktivitas orang lain yang langsung. Selanjutnya Agung Kurniawan (2005:6) memaparkan bahwa pelayanan publik adalah pemberian pelayanan (melayani) keperluan orang lain atau masyarakat yang mempunyai kepentingan pada organisasi iyu sesuai dengan aturan pokok dan tata cara yang telah ditetapkan. Sehingga dapat disimpulkan bahwa administrasi public merupakan upaya untuk melayani masyarakat dengan memenuhi kebutuhannya melalui serangkaian arahan, pemerintahan, kegiatan implementasi, kegiatan pengarahan yang berwujud pada kebutuhan dan barang publik.

B. Akuntabilitas

Akuntabilitas didefinsikan oleh Romzek and Dubnick (1998) di dalam tulisan Akbar dan Pilcher (2012) bahwa akuntabilitas sebagai suatu hubungan antara individu atau agen yang memiliki tujuan untuk menunjukkan kinerja pada pihak yang menjadi pemberi amanah. Akuntabilitas sendiri adalah salah satu unsur

6 A. Dunsire terebut dikutip oleh Denovan dan Jackson (1991 : 9) yang menunjukkan variasi batasan tentang “administrasi” yang dikutip ulang oleh Yeremias. T. Keban. Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik. Konsep, Teori Dan Isu. (Yogyakarta : Gava Media, 2008), hlm. 2.

(9)

1410 perwujudan dari good governance yang sedang berjalan di Indonesia. Hal tersebut memiliki alasan karena menurut Suyanto (2010), akuntabilitas merupakan sebuah kunci dari adanya konsep good governance, untuk mendukung hal konsep tersebut diperlukan pengembangan dan pengimplementasian sistem pertanggungjawaban yang jelas, tepat, dan pastinya terukur. Selain itu berlangsung secara berdaya guna, berhasil guna, bersih dan bertanggungjawab serta bebas dari KKN (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme). Lebih jelasnya, akuntabilitas publik merupakan kewajiban dari pengemban amanah (agen) yang memberikan pertangungjawaban, melaporkan, mengungkapkan, dan menyajikan segala aktivitas dan kegiatan yang menjadi tanggungjawabnya kepada pemberi amanah (principal) yang mempunyai hak serta kewenangan dalam meminta pertanggungjawaban tersebut (Mardiasmo,2002).

Laporan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (2010:3) mendefinisikan akuntabilitas baik secara vertikal maupun horizontal. Akuntabilitas vertikal dapat dikenakan secara eksternal pada pemerintah, secara formal melalui proses pemilihan atau secara tidak langsung melalui keterlibatan sipil, sementara akuntabilitas horisontal dapat dikenakan oleh pemerintah secara internal melalui mekanisme kelembagaan untuk pengawasan dan pengawasan dan keseimbangan.

Mardiasmo (2009:21) secara umum mengklasifikasikan akuntabilitas menjadi dua macam yaitu sebagai berikut:

a) Akuntabilitas Vertikal

Akuntabilitas Vertikal adalah pertanggungjawaban atas pengelolaan dana kepada otoritas yang lebih tinggi, misalnya pertanggungjawaban unit-unit kerja (dinas) kepada pemerintah daerah, pertanggungjawaban pemerintah daerah kepada pemerintah pusat, dan pemerintah pusat kepada MPR.

b) Akuntabilitas Horizontal

Akuntabilitas Horizontal adalah pertanggungjawaban kepada masyarakat luas. Dalam konteks organisasi pemerintah, akuntabilitas publik adalah pemberian informasi dan disclosure atas aktivitas dan kinerja finasial pemerintah kepada pihak-pihak yang berkepentingan dengan laporan tersebut. Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus bias menjadi subjek pemberi informasi dalam rangka pemenuhan hak-hak publik.

(10)

1411 C. Kinerja Organisasi

Kinerja organisasi merupakan indikator level prestasi yang dapat dicapai serta mencerminkan keberhasilan suatu organisasi, serta merupakan hasil yang dicapai dari perilaku anggota organisasi. Menurut Baban Sobandi7 Kinerja organisasi merupakan sesuatu yang telah dicapai oleh organisasi dalam kurun waktu tertentu, baik yang terkait dengan input, output, outcome, benefit, maupun impact. (Sobandi, 2006:176). Adanya hasil kerja yang dapat dicapai instansi dengan tanggung jawab akan mencapai peningkatan kinerja yang efektif dan efisien. Secara umum organisasi pemerintahan menggunakan alat dengan teori yaitu teori kinerja dari Baban Sobandi yang indikatornya meliputi 1) Keluaran (Output); 2) Hasil; 3) Kaitan Usaha dengan Pencapaian; 4) Informasi Penjelas (Sobandi ,2006 : 179-181).

D. NPM (New Public Management)

NPM (New Public Management) merupakan sistem manajemen berbentuk desentral dengan perangkat-perangkat manajemen baru yakni seperti lean management benchmarking, dan controlling (Denhardt, J, V,2003). NPM dipahami sebagai sebuah privatisasi bidang-bidang yang berhubungan dengan aktivitas pemerintah. NPM secara umum dipandang sebagai suatu persepktif maupun pendekatan dalam ilmu administrasi publik yang mengimplementasikan pada pengetahuan dan pengalaman yang diperoleh di dalam dunia manajemen serta disiplin yang lain untuk meningkatkan efisiensi, dan efektivitas kinerja pelayanan publik pada birokrasi modern.

NPM memberikan perubahan pada manajemen sektor publik yang cukup drastis baik dari sistem manajemen konvensional yang memiliki kesan kaku, hierarkis, dan birokratis menjadi sebuah model manajemen pada sektor publik yang fleksibel dan lebih mengakomodasi pasar. Perubahan tersebut bukan sekedar perubahan kecil serta sederhana. Disamping itu, perubahan itu telah mengubah peran pemerintah utamanya dalam hal relasi antara pemerintah dengan masyarakat

7 Baban Sobandi dkk, (2006). Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah.

Bandung.

(11)

1412 (Mardiasmo, 2002:78). Osborne dan Gaebler (1992) pun menawarkan 10 prinsip dasar pemerintahan pada NPM yaitu sebagai berikut:

a) Pemerintahan yang katalis; Pemerintahan yang katalis merupakan wujud pemerintahan yang mengarahkan bukan mengayuh. Dalam hal ini, pemerintah hanya berupaya menjalankan fungsi strategis saja dan tidak turut serta ikut campur dalam pelaksanaan atau kegiatan teknisnya.

b) Pemerintahan adalah milik masyarakat; Dalam hal ini menekankan adanya sebuah kontrol masyarakat sebagai akibat dari berjalannya pemberdayaan yang diberikan pemerintah. Sehingga masyarakat pun lebih mampu/ capable dan kreatif dalam menyelesaikan problematikanya, tanpa cukup bergantung kepada pemerintah.

c) Pemerintahan yang Kompetetif; Pemerintahan yang dalam hal ini memasukkan semangat kompetisi untuk bersaing dalam pemberian pelayanan pada masyarakat sebagai objeknya.

d) Pemerintahan yang digerakkan oleh misi; Pemerintahan yang dapat mengubah orientasi dari awalnya pemerintahan yang digerakkan oleh sebuah aturan menjadi pemerintahan yang digerakkan oleh misi.

e) Pemerintahan yang berorientasi hasil; pemerintahan yang membiayai hasil bukan input. Pemerintah dalam hal ini akan bekerja sebaik mungkin karena penghargaan yang diterima berdasarkan hasil yang dikeluarkan oleh masing- masing instansi.

f) Pemerintahan yang berorientasi pelanggan; pemerintahan yang memenuhi kebutuhan pelanggan bukan birokrasi. Pemerintah memenuhi apa yang di inginkan masyarakat bukan menjalankan pelayanan berdasar aturan birokrasi.

g) Pemerintahan yang berorientasi wirausaha; Pemerintahan yang dapat menghasilkan keuntungan/ profit, bukan yang menghabiskan. Selain itu memiliki upaya untuk meningkatkan sumber-sumber ekonomi potensial yang dimiliki oleh instansi pemerintah dari yang awalnya tidak produktif menjadi lebih produktif.

h) Pemerintahan yang bersifat antisipatif; Pemerintahan yang memiliki orientasi pada pencegahan bukan pada penyembuhan. Artinya, pemerintah yang berrsifat antisipatif merupakan suatu pemerintahan yang berpikir visioner.

(12)

1413 i) Pemerintahan bersifat desentralisasi; Mengubah pemerintahan yang semula digerakkan oleh hierarki menjadi pemerintahan yang cenderung partisipatif dan focus pada kerjasama tim. Artinya pemerintah desentralisasi merupakan pemerintah yang dapat melimpahkan sebagian wewenang pusatnya pada daerah melalui organisasi atau sistem yang ada.

I. Pemerintahan yang berorientasi pada pasar; Pemerintahan ini mendorong sebuah perubahan melalui pasar.

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Akuntabilitas Kinerja pada Pemda di Indonesia

Provinsi Aceh8 yang notabennya memiliki status otonomi khusus dan berusaha mengimplimentasikan akuntabilitas. Tetapi yang terjadi tidak akuntabel, korupsi masih menjadi masalah utama di pemerintah Aceh setempat. Akuntabilitas kinerja, prosesnya tetap bermasalah, belum memuaskan dalam mencapai hasil, khususnya di bidang manajemen anggaran dan ketepatan waktu serta kualitas pelaporan keuangan. Selain itu ada penundaan tahunan dalam pengajuan dan persetujuan anggaran, kurangnya kesesuaian dengan praktik dan pedoman akuntansi, serta kurangnya transparansi dalam semua kegiatan. Ini berarti bahwa praktik akuntabilitas Pemprov Aceh tidak memenuhi standar yang ditetapkan dan disyaratkan oleh peraturan pemerintah. Selain itu perencanaan dan penganggaran keuangan yang bermasalah juga disebabkan oleh campur tangan berbagai pihak termasuk legislatif, parlemen lokal dan juga politisi. Terlebih dikombinasikan dengan kurangnya kapasitas dan kemampuan pejabat publik, telah menyebabkan masalah-masalah yang problematis yaitu kurangnya akuntabilitas dan tata kelola yang baik dalam pengelolaan dana publik di Aceh.

Kasus lain lagi pada Provinsi DIY (Daerah Istimewa Yogyakarta)9 bahwa akuntabilitas kinerja dan penggunaan informasi kinerja dipengaruhi oleh fenomena

8 Basri, Hasan, A.K. dan Siti Nabiha. 2014. Accountability of Local Government: The Case of Aceh Province, Indonesia. Asia Pacific Journal of Accounting and Finance: Vol. 3 (1), December 2014, 1-14. Hlm 7

9 Manafe, Mesri Welhelmina Nisriani dan Rusdi Akbar. 2014. Accountability and Performance:

Evidence from Local Government. Journal of Indonesian Economy and Busines: Volume 29, Number 1, 2014, 56 – 73. Hlm 56-71

(13)

1414 isomorfisme yaitu coercive, mimetic, dan normative. Dalam hal ini coercive yaitu dengan menyiapkan LAKIP yang isinya laporan untuk didiskusikan, terutama data kondisi pencapaian kinerja, termasuk realisasi fisik, realisasi keuangan / anggaran, dan pencapaian pendapatan yang ditargetkan, pencapaian SKPDs Target rencana strategis yang telah dipecah menjadi target tahunan (RKT), dan target lain yang indikator dan nilainya telah ditentukan. Selain itu ada tim LAKIP yang memiliki wewenang untuk mempersiapkan LAKIP dengan hanya membandingkan target dan realisasi mereka dan kemudian menarik kesimpulan, apakah kinerja mereka seperti yang diharapkan. Lalu mimetic, pada poin artinya adalah meniru. Hal ini tidak terbukti karena tidak ada permasalahan signifikan karena semua telah di standarisasi melalui LAKIP, tetapi yang menjadi masalah adalah bahwa LAKIP belum mencerminkan kinerja nyata dan hanya menunjukkan kinerja keuangan saja.

Terakhir adalah normative, dengan adanya pelatihan yaitu pegawai diharuskan terlibat dalam suatu kegiatan / pelatihan sehingga nantinya akan dapat mempersiapkan LAKIP sesuai dengan program tertentu.

Contoh terakhir adalah pelaksanaan akuntabilitas pelayanan publik pada Kantor Kelurahan Dinoyo Kota Malang10 yang orientasinya memberikan sebuah jasa pelayanan pada masyarakat. Dalam realita dilapangan terdapat beberapa faktor yang setidaknya mampu memengaruhi implementasi dari akuntabilitas pelayanan publik tersebut. Dari hasil riset yang dilakukan oleh Nurni Sumarni, Slamet Muchsin dan Retno Wulan Sekarsari (2019: 46) menjelaskan bahwa akuntabilitas pelayanan publik di kelurahan Dinoyo perlu memenuhi indicator Moral Conduct, Tangible, Responsiveness, Openess, dan Reliability. Pada kelurahan tersebut hanya memenuhi tiga indicator yaitu. Moral Conduct, Openess, dan Reliability.

Selebihnya dua indicator tidak terpenuhi yaitu Tangible dan Responsiveness. Hal tersebut apabila diperjelas, segi keberadaan kualitas perilaku moral yang telah memenuhi syarat (Moral Conduct), dari Keterbukaan (Openess) dan Keandalan (Reliability) sudah cukup baik apabila dilihat dari survey hasil kepuasan yang telah disampaikan oleh masyarakat pengguna jasa layanan. Tetapi pada Kenampakan

10 Sumarni, Nurni, Slamet Muchsin, Retno Wulan Sekarsari. 2019. Pelaksanaan Akuntabilitas Pelayanan Publik di Kantor Kelurahan Dinoyo Kota Malang. Jurnal Respon Publik ISSN: 2302- 8432 Vol. 13, No. 6, Tahun 2019 FIA, Universitas Islam Malang. Hlm 46-51

(14)

1415 Fisik (Tangible) serta Respon/daya tanggap (Responsiveness) didapatkan masih kurang baik, hal tersebut disebabkan masih adanya keluhan yang disampaikan oleh masyarakat. Adapun faktor pendukungnya yaitu pada implementasi akuntabilitas pelayanan publik telah sesuai standar operasional prosedur yang dijalankan, pegawai dengan kedisiplinan yang tinggi, dan keterbukaan serta kehandalan dalam memberikan pelayanan. Sedangkan faktor penghambatnya yaitu ketidakadilan dalam pemberian pelayanan, daya tanggap yang masih rendah, sarana prasaran yang belum maksimal, sikap yang dianggap masih kurang ramah, dan kesadaran masyarakat yang masih rendah terhadap pentingnya kelengkapan persyaratan yang telah ditetapkan.

B. LAKIP dalam Mewujudkan Akuntabilitas Kinerja

LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) merupakan instrumen pertanggungjawaban sebagai langkah untuk melakukan pengukuran kinerja instansi pemerintah. LAKIP merupakan hasil intagrasi dan sinergi antara keahlian sumber daya manusia dan sumber daya lain di dalam suatu instansi pemerintah yang diharapkan mampu menjawab tuntutan perkembangan dilingkungan masyarakat yang dinamis.

Untuk dapat menghasilkan outcome kegiatan yang berkualitas dan memiliki manfaat yang luas, maka dibutuhkan proses penyusunan program-program kegiatan secara terstruktur beserta kajian yang mendalam, sehingga berbagai permasalahan yang terjadi dimasyarakat saat ini dan yang akan datang dapat ditanggulangi secara penuh dan optimal berdasarkan asas keadilan dan pemerataan hasil pembangunan.

Berdasarkan Permenpan 53 Tahun 2014, terdapat tujuh indikator yang harus dipenuhi Pemda di seluruh Indonesia pada LAKIP sebagai perwujudan akuntabilitas kinerja yaitu sebagai berikut:

1) Petunjuk Teknis Penyusunan Perjanjian Kinerja;

Dalam penyusunan perjanjian kinerja tentunya harus memenuhi tiga hal pokok, yiatu kesepakatan kinerja yang terukur dan harus ada pemberi amanah sebagai aktor yang menyerahkan tanggung jawabnya serta penerima amanah sebagai aktor yang terdampak.

2) Petunjuk Teknis Penyusunan Pelaporan Kinerja

(15)

1416 Penyusunan pelaporan kinerja untuk penjabarannya harus dipenuhi dengan adanya RPJM lalu turun ke Renstra, lalu ke rencana kinerja tahunan yang terdiri dari RKA (Rencana Kerja Anggaran) dan DIPA (Daftar Isian Pelaksana Anggaran). Selanjutnya baru ada perjanjian kinerja dan pelaporan kinerja.

3) Petunjuk Teknis Evaluasi Akuntabilitas Kinerja

Dalam mengevaluasi akuntabilitas kinerja perlu membandingkan antara target dan realisasi kinerja tahun ini, membandingkan antara realisasi kinerja serta capaian kinerja tahun ini dengan tahun lalu dan beberapa tahun terakhir, membandingkan realisasi kinerja sampai dengan tahun ini dengan target jangka menengah yang terdapat dalam dokumen perencanaan strategis organisasi, dan menganalisis penyebab keberhasilan/kegagalan atau peningkatan/penurunan kinerja serta alternatif solusi yang telah dilakukan.

4) Pedoman Evaluasi Kinerja

Penyampaian laporan kinerja atau evaluasi pada poin ini harus diawali dari bawah atau hirarkis yaitu dimulai dari Pimpinan Satuan Kerja, Pimpinan Unit Kerja, Menteri / Pimpinan Lembaga. Setelah itu naik ke Kemen PPN / BAPPENAS, Kemenkeu, dan terakhir ke KemenPAN-RB.

5) Pedoman Reviu Laporan Kinerja

Dalam mereviu laporan kinerja memiliki tujuan untuk membantu penyelenggaraan sistem akuntabilitas kinerja instansi pemerintah. Selain itu adalah untuk memberikan keyakinan terbatas mengenai akurasi, keandalan, dan keabsahan data/ informasi kinerja Instansi Pemerintah sehingga dapat menghasilkan Laporan Kinerja yang berkualitas.

6) Pedoman Reviu LKjPP

Dalam reviu LKjPP, arahnya lebih ke teknis yaitu perlu memenuhi Hasil pengujian keandalan dan akurasi data dan informasi kinerja, Telaahan aktivitas penyelenggaran SAKIP, Langkah Reviu, dan Hasil Reviu.

7) Kebijakan penerapan SAKIP.

Untuk kebijakan penerapan SAKIP merupakan akumulasi dari enam poin diatas. Daerah baru bisa menerapkan akuntabilitas kinerja apabila secara keseluruhan telah disetujui dan disahkan hingga terujud SAKIP.

(16)

1417 Secara garis bersar, LAKIP dalam mewujudkan akuntabilitas kinerja di daerah, sangat mengikat, karena LAKIP telah menjadi barometer good governance di Indonesia. Artinya apabila ada daerah yang tidak bisa memenuhi indicator diatas, maka tidak akuntabel pertanggungjawabannya. Sehingga dengan adanya peraturan tersebut dapat menjadi pemicu tiap daerah agar mau bersaing dalam mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik.

C. Akuntabilitas Kinerja Pada Disperkim (Dinas Pertamanan dan Kawasan Permukiman) Kota Malang khususnya Bidang Pertamanan

1) Restrukturisasi pada OPD di Kota Malang

Restruktrusisasi yang terjadi di Kota Malang terjadi ketika masih dalam periode pemerintahan walikota Abah Anton. Periode tersebut berlangsung pada tahun 2013 hingga 2019. Salah satu yang dalam konteks penelitian di tulisan ini adalah DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) Kota Malang yang masih tegak berdiri ditahun 2013 hingga 2015. Dinas tersebut terbentuk dari Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2012 tentang Organisasi dan Tata Kerja Dinas Daerah pasal 10 dan berlanjut pada tahun 2016 terjadi restrukturisasi kelembagaan/

perampingan SOTK (Susunan Organisasi dan Tata Kerja) pemerintah kota berdasar Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah yang kemudian diimplementasikan oleh Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah yang menyebabkan Bidang Pertamanan pada akhirnya bergabung pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) Kota Malang. Sembari bidang pertamanan bergabung dengan Disperkim, maka bidang kebersihan pun bergabung dengan DLH (Dinas Lingkungan Hidup). Sehingga laporan pertanggungjawaban pun menjadi terpisah mengikuti dampak dari perampingan organisasi.

Adanya perampingan membuat DISPERKIM Kota Malang memiliki 3 (tiga) bidang dan 5 (lima) Unit Pelaksana Teknis (UPT). Ketiga bidang tersebut, yaitu: (1) Bidang Perumahan dan Pertanahan; (2) Bidang Pertamanan; dan (3) Bidang Penerangan Jalan (PJ). Sedangkan 5 (lima) Unit Pelaksana Teknis (UPT)

(17)

1418 tersebut, yaitu: (1) Taman aktif; (2) Kebun Bibit Tanaman; (3) Perbengkelan; (4) TPU; dan (5) Rusunawa. Merujuk pada Bidang Pertamanan proses perampingan sekaligus peleburan pun dipaparkan oleh Kepala Sub Bagian Perencanaan Pembangunan Barenlitbang Kota Malang sebagai berikut:

“Itu ada undang-undang 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah dari PP 18 tahun 2016 yang mengatur urusan. Nah sehingga urusan yang ini sendiri, ini wajib kan yang perumahan dan permukiman, urusannya sendiri.

Sehingga yang ini urusan kebersihan dan pertamanan gak ada. Urusan dinas itu kan ngikutin urusannya dan juga ada satu urusan kelasnya mana, itu ada di PP 18 sama di UU 23 misalnya kayak satu jenis sama satu kelas itu perumahan dan permukiman, nah itu bias digabung-gabung. Sehingga ini ilang ngikutin PP 18, ini urusan wajib, kan urusan wajibnya ada enam di UU 23 termasuk ini, sehingga munculah Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman karena urusannya sama perumahan sama permukiman.”

Pernyataan tersebut cukup jelas bahwa yang terjadi ditahun 2016 dengan adanya restrukturisasi didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Tentang Perangkat Daerah. Sehingga cukup jelas mengapa Bidang Pertamanan pada akhirnya bergabung pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) Kota Malang dari tahun 2016 hingga 2019.

2) Pengaruh politik dalam pemerintahan

Dalam penerapan akuntabilitas kinerja di tiap daerah, biasanya dapat dipengaruhi oleh unsur politik. Terlebih dalam hal perancangan kelembagaan dan penyusunan laporan kinerja, baik LAKIP (vertikal) maupun LKPJ (horizontal).

Gambaran secara makro dari penjelasan Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Barenlitbang tentang restrukturisasi OPD yang ada di Kota Malang adalah sebagai berikut:

“Efisiensi aja soal birokrasi sama mengurangi overlapping pelaksanaan kegiatan. Jadi kan kita saat ini ada 34 perangkat daerah kemudian diefisiensikan nanti di 28 perangkat daerah. Efisiensinya alasanya gini, alasannya karena dinas ini tidak maksimal mendukung kinerja walikota saat ini, semua dinas tidak ngomong Perkim aja ya. Jalannya kan walikotanya baru, RPJMD nya kan baru, semua dokumennya pun baru, maunya walikota yang sekarang akan berbeda dengan maunya walikota sebelumnya.

Sekarang walikota yang sebelumya tujuannya Matos, kendaraanya misalnya pake MM, walikota yang sekarang tujuannya MOG, kendaraannya pake MK. Karena berganti kendaraan itulah berganti kelembagaan. Jadi kalo di

(18)

1419 strukturnya awalnya kita ngomong kinerja, setelah kinerja kita ngomong proses. Yokpo se prosesnya unutk mencapai kinerja itu? Nah setelah ngomong proses, kendaraan yang bagaimana, wadah untuk kegiatan- kegiatan ini bagaimana? Oke maka itu akhirnya muncullah kinerja, proses, kemudian kendaraan, lembaga. Lembaga ini kendaraan. Nah makanya itu karena kinerjanya udah beda, tujuannya, kendaraannya akan berbeda.

Sehingga terjadi efisiensi perangkat daerah atau Lembaga yang menuju tujuannya walikota.”

Dapat diketahui bahwa pengaruh politik, alasan utamanya dari walikota yang ingin merombak atau merestrukturisai kelembagaan adalah tergantung pada tujuan walikota tersebut. Sehingga dinas-dinas yang sebelumnya di era walikota sebelumnya tidak efisien (menurut walikota yang sekarang) maka akan dipangkas habis dan di jadikan satu. Contoh nyatanya adalah DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) di pisah, Kebersihan ditempatkan pada DLH (Dinas Lingkungan Hidup) dan Pertamanan ditempatkan pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman). Pengaruh politik lainnya yang menjadi pertimbangan untuk merestrukturisasi adalah melalui evaluasi-evaluasi dari pemerintahan era sebelumnya yaitu menurut Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Barenlitbang tentang restrukturisasi OPD yang ada di Kota Malang adalah sebagai berikut:

“Selain karena banyak dilihat pada waktu evaluasi kelembagaan sing sebelumnya, maupun evaluasi kinerja yang sebelumnya, banyak perangkat daerah yang diluar lingkaran kinerja. Bukan gak sesuai tupoksi, dia jalan tapi gak nyumbang apa-apa ke kinerja, berarti apa hayo? Nah berarti kita membayarkan, tetep jalan, dia hanya kerja tapi gak berkinerja. Kalo masnya akuntabilitas kinerja ya, dia kerja, wong tiap hari kita dibayar sama gaji anggaran, kerja. Tapi kerjanya dia tidak punya korelasi, bukan faktor untuk mencapai kinerja yang diinginkan daerah. Berarti aku ngasih masnya, masnya wes tak suruh nang MOG, ya jalan tapi ke pasar. Tapi tak bayar kan? Wong wes jalan kok, pake kendaraan kan, bensin wes tak bayar. Tapi bukan cita-cita ku? Wong tujuanku ke MOG, kok mas.e ke pasar. Lamaaa, masih makan dulu masih ini dulu, berarti uangku sia-sia, sedangkan waktu jalan terus ampe 5 tahun waktu jalan terus

Dari pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa motif politik dari adanya restrukturisasi kelembagaan adalah didasarkan pada evaluasi kinerja dari tahun- tahun sebelumnya yang dinilai tidak sesuai sasaran kinerja dan cenderung membuang-buang anggaran. Dapat diketahui pula bahwa setiap walikota yang memimpin Kota Malang memiliki kepentingan dan cara sendiri untuk mencapai visi misinya.

(19)

1420 Untuk menyusun laporan pertanggungjawaban seperti LAKIP dan LKPJ pun terkadang ada pengaruh lainnya. Pengaruh yang dimaksud adalah contohnya dalam LKPJ pasti melibatkan DPRD Kota Malang. Campur tangan DPRD hanya sebatas fungsinya sebagai pengawas bagi eksekutif yaitu dengan cara diundang dalam agenda hearing pada musrenbang (Musyawarah Recana Pembangunan) berdasar dapil (Daerah Pilihan) masing-masing. Untuk lebih jelasnya adalah dengan pernyataan Kepala Seksi Pengembangan Bidang Pertamanan sebagai berikut:

“Enggak sih, mereka cuman ngasih saran aja sih. Kan mereka saran, kita kan mesti ada hearing disela sela kegiatan berjalan itu biasanya kita hearing dengan dewan. Sampai dimana progressmu, kalo belom tercapai kenapa?

Mereka ngasih saran. Fungsinya mereka kan gitu. Kita kan eksekutif dan legislative kan gitu, mereka nyampaikan saran. Mereka mau ikut dari proses perencanaan sih. Di kelurahan itu kan ada musren, musrenbangkel, terus musrebangcam. Biasanya mereka mengundang dewan. Misalnya Kecamatan Kedung Kandang itu berapa anggota dewan yang disitu, ya diundang semua. Semua yang mewakili kecamatan itu, kalo yang perwakilan Kedung Kandang ya dating semua, Dapil. Hearing itu gak cuma sekali, kalo saya pernah ikut 3x dalam jangka waktu 3 bulan. Tapi dalam setahun saya gak tau.”

Bukti diatas sudah cukup jelas bahwa dalam musrenbang, DPRD hanya mengawasi dan memberikan saran-saran apabila diperlukan untuk pihak eksekutif yang dalam hal ini adalah OPD-OPD Kota Malang. Bukti diatas pun terjadi pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) khususnya bidang Pertamanan ketika musrebang. Hal tersebut diperjelas dengan pernyataan dibawah ini dari Kepala Seksi Pengembangan Bidang Pertamanan sebagai berikut:

“Kita kan mewakili walikota to, eksekutif dengan OPD ini dengan ini ini.

Nanti disampaikan ke walikota. Nanti ada laporan ke walikota. Kepala Dinas menyampaikan kemarin kita hearing ni ini ini ke walikota. Yang selama saya ikuti enggak melibatkan swasta. Hanya legislative dan eksekutif saja. Selain itu tidak ada dominasi dari dewan. Selama yang saya ikuti kemaren sih, ee kenapa kita gak anu, ya mereka ngasih saran sih.

Kenapa? Gak bisanya dimana? Terus ya ngasih solusi. Ya memang fungsinya mereka disitu. Kan mengawasi pemerintah, kalo keliru diluruskan.

Sebagai eksekutif, Disperkim Bidang Pertamanan yang diawal periode mengadakan musrenbang tentu melibatkan DPRD dan masyarakat saja. Sehingga hanya hubungan antara eksekutif, legislatif, dan masyarakat untuk merancang perencanaan kedepan agar menjadi renstra (Rencana Strategis). Dalam perannya,

(20)

1421 DPRD memberi solusi atas permasalahan-permasalahan yang terjadi di masyarakat, sehingga memperjelas apa yang harus dilakukan oleh Disperkim Bidang Pertamanan sebagai pihak eksekutif. Selain itu dalam pemaparan diatas tidak ada dominasi maupun intervensi dari manapun dalam menyusun musrenbang.

3) Akuntabilitas Kinerja pada LAKIP dan LKPJ Disperkim Kota Malang

Akuntabilitas kinerja menjadi acuan apakah program-program dan sasaran telah terimplementasikan dengan baik oleh pemerintah khususnya di Kota Malang.

Hal tersebut juga menjadi jawaban dalam menjawab tantangan revolusi industri 4.0 dengan menghadirkan keterbukaan pada masyarakat dan sesama aktor trias politica (eksekutif, legislatif, dan yudikatif). Sebelum lebih jauh, LAKIP merupakan sarana pelaporan yang diwajibkan oleh KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) melalui Instruksi Presiden No. 7 tahun 1999 yang dilengkapi melalui regulasi No. 29 tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Penentuan Kinerja dan Pelaporan Akuntabilitas Instansi Pemerintah yang mewajibkan lembaga pemerintah harus menyiapkan dan mempresentasikan LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah). Hal tersebut dapat diketahui bahwa pelaporan tersebut bersifat vertikal. Indikator yang harus dipenuhi berdasarkan Permenpan 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah adalah sebagai berikut:

a. Penyusunan Perjanjian Kinerja;

b. Penyusunan Pelaporan Kinerja;

c. Evaluasi Akuntabilitas Kinerja;

d. Evaluasi Kinerja;

e. Reviu Laporan Kinerja f. Reviu LKjPP

g. Kebijakan penerapan SAKIP.

Sehingga melalui indicator tersebut, secara hirarkis harus dilakukan oleh seluruh Pemda (Pemerintah Daerah) diseluruh Indonesia apabila ingin melaporkan akuntabilitas kinerjanya tak terkecuali Pemkot (Pemerintah Kota) Malang melalui Disperkim khususnya bidang Pertamanan. Dalam pengimplementasiannya, akuntabilitas kinerja pada bidang Pertamanan memiliki dua pertanggungjawaban,

(21)

1422 yaitu melalui LAKIP dan LKPJ. LAKIP bertujuan untuk mempertanggungjawabkan akuntabilitas kinerja secara vertikal pada KemenPAN- RB, sedangkan LKPJ bertujuan untuk mempertanggungjawabkan akuntabilitas kinerja secara horizontal pada DPRD dan Kemendagri. Untuk lebih jelasnya untuk pelaporan secara vertikal atau sebaliknya, mekanismenya menurut Kepala Seksi Pengembangan Bidang Pertamanan adalah sebagai berikut:

“kan surat dari perkim perda turun kepada kepala dinas, kepala dinas turun pada sekretaris, sekretaris disampaikan ke sungram (bagian penyusunan program), sungram butuh data ini, butuh terkait bidang taman, bidang pp, bidang bco, data itu semua dihimpun diserahkan ke sungram di masukkan sesuai dengan table-tabel penyusunan LAKIP. Ada narasi-narasi yang diisi akhirnya menjadi dokumen LAKIP dikirimkan atau ditandatangani kepala dinas, dikirimkan. Seperti itu…”

Dapat diketahui bahwa urutan dalam penyusunan LAKIP adalah adanya Perda untuk Disperkim khususnya bidang Pertamanan yang diturunkan melalui kepala dinas lalu diturunkan kepada sekretaris dan diturunkan lagi pada bagian penyusunan program untuk diolah menyesuaikan kebutuhan dibidang pertamanan hingga akhirnya disusun laporannya sesuai pedoman LAKIP dan diberikan lagi pada kepala dinas untuk di tandatangani. Selanjutnya dalam pelaporan LAKIP pun berjalan sesuai aturan berdasar triwulan yaitu selaras dengan apa yang dipaparkan oleh Kepala Seksi Pengembangan Bidang Pertamanan lagi sebagai berikut:

“endak sih, biasanya kita ada laporan tribulan 1 2 3, triwulan.an itu akhirnya menjadi laporan tahunan. Yang biasanya follow up biasanya dari unit-unit kerja. Siapa eksekutor? yaitu Kepala Dinas (menirukan gaya kepala dinas)

“Sebelum berjalan, kamu punya rencana apa? Target mau dikerjakan dibulan ini ini ini, ini akan selese dalam skian bulan. Tribulan 2 ini ini ini akan selese dalam sekian hari, ini sekian ini sekian.” Kepala Dinas akan merapatkan sampai “mana progressmu di tribulan, di awal kegiatan sebelum berjalan. Kamu punya rencana seperti apa, begitu tribulan 1 mau selese, sekarang sampai dimana, ini kok belum tercapai kenapa kenapa kenapa. Kekuarangannya nanti di support. Okey ayo kerjakan. Dibulan 2, kalo memang gak bias dicapai disini, kapan? Paling akhir saya minta.”

Nanti diakhir progress ditanyakan lagi. Kepala dinas selalu memantau dan meminta.

Dari pemaparan diatas cukup jelas bahwa penyusunan LAKIP tetap masih dikendalikan oleh Kepala Dinas sebagai pimpinan tertinggi di Bidang Pertamanan dan tidak tanggung-tanggung, Kepala Dinas ikut turun membantu anak buahnya dalam menyusun LAKIP. Target-target yang di dicapai pun selalu di follow up terus oleh Kepala Dinas hingga LAKIP tersebut dapat tersusun dengan baik.

(22)

1423 Beralih ke pertanggungjawaban secara horizontal adalah dengan melihat pemaparan dari Kepala Bidang Perencanaan Pembangunan Barenlitbang Kota Malang sebagai berikut:

“kalo laporan kinerja perintahnya Permenpan, LKPJ perintahnya Depdagri, saya gak nangani nomer berapanya, jadi gak hafal. Permendagri. Itu tergantung menterinya yang nyuruh, karena pusat juga belum memberlakukan satu laporan. Kalo laporan keuangan nanti akan dilaporkan ke DPRD dan BPK. Yang diluar permintaan-permintaan sih ada, cuman yang punya payung hukum ya yang LAKIP ama LKPJ.”

LKPJ, laporan pertanggung jawaban tersebut dilakukan oleh Bidang Pertamanan hingga naik ke walikota lalu disetorkan ke DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan masyarakat. Hal tersebut sesuai dengan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 tentang Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Pemerintah, Laporan Keterangan Pertanggungjawaban Kepala Daerah Kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Dan Informasi Laporan Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah Kepada Masyarakat. Bentuk dari LKPJ sendiri adalah form-form yang ditentukan dari pihak DPRD sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 tahun 2006 tentang pedoman Peraturan Dalam Negeri Nomor 59 Tahun 2007.

Lalu apabila akuntabilitas kinerja horizontal, Menurut Kepala Subbagian Bidang Pertamanan adalah sebagai berikut:

“kalo horizontal, ke siapa? Terus ke DPR to, iya ke dewan ya. Harus sampai walikota terus ke dewan gitu pertanggunjawabannya”.

Sehingga cukup jelas dari fakta diatas bahwa pelaporan horizontal juga wajib dilakukan mengingat adanya payung hukum yang mengikat, sehingga mengharuskan pihak eksekutif untuk bertanggungjawab kepada DPRD dan masyarakat Kota Malang. Selanjutnya Menurut Kepala Subbagian Bidang Pertamanan dalam implementasi vertical adalah sebagai berikut:

“iya, dari kepala seksi (kepala subbagian) dari bawah dulu terus naik ke kepala bidang, terus naik lagi ke kepala dinas terus naik lagi ke walikota.”

Dari pemaparan diatas dapat diketahui bahwa untuk akuntabilitas kinerja secara vertikal sangat berjenjang dalam pelaporannya dimulai dari kepala subbagian Bidang Pertamanan hingga ke Kepala Disperkim dan diteruskan ke walikota untuk dinaikkan lagi ke provinsi hingga naik lagi ke KemenPAN-RB.

Tentu prosesnya sangat hirarkis dan membutuhkan langkah-langkah Panjang.

(23)

1424 Pengimplementasian akuntabilitas yang ada pada Disperkim bidang Pertamanan pun memiliki faktor pendukung dan faktor penghambat. Faktor pendukung yang ada pun dijelaskan oleh Menurut Kepala Subbagian Bidang Pertamanan adalah sebagai berikut:

“kan setiap kegiatan itu ada target kinerjanya, itu terpenuhi apa enggak.

Kalo itu terpenuhi berarti ada penghematan anggaran, biasanya kan tidak semua anggaran terserap. Tidak terserapnya karena apa, misalnya penghematan anggaran karena pengadaan barang dan jasa. Nah itu kita anggarakan misalnya 200 juta, ternyata cuman 180 juta sudah bisa kita kita dapatkan. Berarti kan ada penghematan anggaran sebesar 20 juta. Target fisiknya 100% tapi uang tidak 100% jadi ada penghematan anggaran.”

Dapat diketahui faktor pendukung pada akuntabilitas kinerja adalah bergantung pada sumberdaya manusia yang memimpin dan mengarahkan pada Bidang Pertamanan tersebut. Dengan strategi yang dapat menghemat anggaran, tentu hal tersebut dipengaruhi oleh sumber daya manusianya yang mengatur.

Terlebih apabila dihadapkan dengan aturan yang mengharuskan anggaran dapat terserap semua, tentu manajerial sangat diperlukan disini. Selanjutnya, faktor penghambat ada pada Disperkim bidang Pertamanan menurut pemaparan dari Kepala Subbagian Bidang Pertamanan adalah sebagai berikut:

“kalo faktor penghambatnya misalnya kadang barang spec yang sudah kita tentukan tidak ada. Itu kan kadang sbelum kita pengadaan kan kita survey, kita punya spec terhadap suatu barang seperti gini, harus dengan kualitas gini, ternyata di pasaran gak ada. Akhirnya kita rubah yang bias sesuai misalnya lampu Philips. Ternyata Philips dengan spec kayak gini pada saat itu gak ada dipasaran. Akhirnya kita kan nyari spec yang hamper sama dengan Philips dengan lumance sekian atau sekian. Harganya kalo bias dibawahnya kan lebih bagus. Kita nentukan spec kan sebelum barang itu/

pengadaan itu kita luncurkan. Kita survey pasar dulu unutuk kesesuaian terhadap kebutuhan. Kalo dipasaran gak ada kan kita gak bisa pengadaan, malah nantinya gak terserap.”

Dapat ditarik benang merah bahwa faktor penghambat dari akuntabilitas kinerja untuk LAKIP adalah dengan ada tidaknya pengadaan barang di lapangan.

Pengadaan tersebut disesuaikan dengan anggaran yang telah disusun agar nantinya ketika telah usai periode dapat dipertanggungjawabkan, salah satunya adalah dengan terserapnya semua anggaraan pengadaan barang.

(24)

1425 KESIMPULAN

Akuntabilitas kinerja merupakan faktor penting dalam membuktikan apakah pemerintah telah menggunakan kapasitasnya dengan baik. Dalam studi yang penulis angkat yaitu dengan melihat perwujudan akuntabilitas kinerja pemerintah di tiga daerah, maka yang sering menjadi permasalahan adalah adanya tingkat efisiensi perencanaan penganggaran yang rendah, korupsi yang tumbuh subur, akuntabilitas kinerja juga bergantungnya pada pelatihan, insentif, dan otoritas pengambilan keputusan, serta masalah ketidakadilan didalam memberikan pelayanan dan daya tanggap yang masih rendah dari pemerintah setempat.

Berdasarkan Permenpan 53 Tahun 2014, terdapat tujuh indikator yang harus dipenuhi Pemda di seluruh Indonesia pada LAKIP sebagai perwujudan akuntabilitas kinerja. Apabila ada yang tidak memenuhi, maka dapat disimpulkan bahwa laporan pertanggungjawabannya tidak transparan dan akuntanbel. Merujuk pada Disperkim (Dinas Perumahan dan Kawasan Permukiman) khususnya Bidang Pertamanan, akuntabilitas kinerja dilaporkan dalam dua bentuk yaitu melalui LAKIP (Laporan Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah) yang dipertanggungjawabkan pada KemenPAN-RB (Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi) dan LKPJ (Laporan Kinerja Keterangan Pertanggungjawaban) yang dipertanggungjawabkan pada DPRD (Dewan Perwakilan Rakyat Daerah) dan masyarakat. Akuntabilitas kinerja yang terjadi pada Disperkim Bidang Pertamanan yaitu melalui LAKIP dan LKPJ sejak tahun 2015 hingga 2019 dipengaruhi oleh adanya restrukturisasi kelembagaan, politik pemerintahan yang berbeda dari tiap kepemimpinan walikota, dan adanya faktor pendukung serta penghambat. Adapun faktor pendukungnya yaitu bergantung pada sumberdaya manusia yang memimpin dan mengarahkan pada Bidang Pertamanan dalam hal penganggaran. Sedangkan faktor penghambatnya adalah dengan ada tidaknya pengadaan barang di lapangan, karena hal tersebut dapat memengaruhi penganggaran oleh bidang Pertamanan.

Sehingga dapat disimpulkan bahwa LAKIP maupun LKPJ yang merupakan bentuk dari akuntabilitas kinerja adalah perwujudan nyata dalam good governance.

Dari pengimplementasian good governance tersebut, maka cukup jelas bagaimana

(25)

1426 cara menjawab tantangan penyelenggaraan pemerintahan di era revolusi industri 4.0.

DAFTAR PUSTAKA Jurnal:

Basri, Hasan, A.K. dan Siti Nabiha. (2014). Accountability of Local Government:

The Case of Aceh Province, Indonesia. Asia Pacific Journal of Accounting and Finance:Vol. 3 (1), December 2014, 1-14

Manafe, Mesri Welhelmina Nisriani dan Rusdi Akbar. (2014). Accountability and Performance: Evidence from Local Government. Journal of Indonesian Economy and Busines:Volume 29, Number 1, 2014, 56 – 73.

Roziqin, Ali. (2018). Environmental Policy of Mangroves Management in Rembang Regency. The 2nd International Conference on Energy, Environmental and Information System (ICENIS 2017), https://doi.org/10.1051/e3sconf/20183109002

Sumarni, Nurni, Slamet Muchsin, Retno Wulan Sekarsari. (2019). Pelaksanaan Akuntabilitas Pelayanan Publik di Kantor Kelurahan Dinoyo Kota Malang. Jurnal Respon Publik ISSN: 2302-8432 Vol. 13, No. 6, Tahun 2019 FIA, Universitas Islam Malang.

Wahidah, Syafrieyana, Sukmana. (2020). Collaboration with Pentahelix Model in Developing Kajoetangan Heritage Tourism in Malang City. Journal of

Local Government Issues, 3 (1), 1-17,

DOI: https://doi.org/10.22219/logos.v3i1.10699. |

Buku:

Azwar, Saifuddin.( 2007). Metode Penelitian. Yogyakarta: Pustaka Belajar.

Keban, Yeremias T. (2008). Enam Dimensi Strategis Administrasi Publik: Konsep, Teori, Dan Isu. Yogyakarta: Gavamedia

Sobandi, Baban dkk, (2006). Desentralisasi dan Tuntutan Penataan Kelembagaan Daerah. Bandung.

Sugiyono. 2012. Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif dan R&D. Bandung:

Alfabeta Peraturan:

Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 6 Tahun 2012

(26)

1427 Peraturan Daerah Kota Malang Nomor 7 Tahun 2016

Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 2016 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2007 Permenpan 53 Tahun 2014

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2014

Referensi

Dokumen terkait

Pada saat pengujian mengontrol frekuensi dalam mengatur kecepatan motor induksi satu fasa menggunakan kontrol PID dengan putaran motor 1050 rpm dibutuhkan waktu

Selain penyelidikan berbentuk cerapan juga terdapat ruang untuk penyelidikan yang bersifat teoretis seperti menerbitkan model yang lebih tepat untuk pembiasan atmosfera di

Mempersiapkan alat kalibrasi wave generator dan pile scale yang berguna untuk membangkitkan gelombang dan mengukur tinggi gelombang datang dan gelombang transisi,

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa darah dengan

Pada sistem pengenalan pola tulisan tangan aksara Jawa nglegeno dengan mengunakan SVM, variasi jumlah data pelatihan hingga 30% masih memberikan perubahan

Adapun hasil penelitian yang didapatkan bahwa latar belakang pelaksanaan appabajikang sebagai salah satu budaya siri’ di Kecamatan Bonto Ramba, yakni : sebagai

Berdasarkan pengertian media interaktif dari para ahli, media interaktif dapat diartikan sebagai program instruksional berbasis komputer untuk pembelajaran di kelas yang

Jenis penelitian ini adalah penelitian lapangan ( field research ) yaitu penelitian yang objeknya mengenai muj ā hadah dan pengaruhnya dalam pembentukan karakter