• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus - Identifikasi Badan Keton Pada Urin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2019

Membagikan "BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Diabetes Melitus - Identifikasi Badan Keton Pada Urin Penderita Diabetes Melitus Tipe 2 Di Rumah Sakit Umum Pusat Haji Adam Malik Medan"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Diabetes Melitus 2.1.1. Definisi

Diabetes Melitus (DM) merupakan suatu kelompok penyakit metabolik dengan karakteristik hiperglikemia yang terjadi karena kelainan sekresi insulin, kerja insulin atau kedua-duanya. World Health Organization (WHO) sebelumnya telah merumuskan bahwa DM merupakan sesuatu yang tidak dapat dituangkan dalam satu jawaban yang jelas dan singkat, tetapi secara umum dapat dikatakan sebagai suatu kumpulan permasalahan anatomik dan kimiawi akibat adanya defisiensi insulin relatif dan gangguan fungsi insulin (Purnamasari, 2009).

Diabetes Melitus merupakan penyakit metabolik yang dapat menimbulkan berbagai komplikasi yang sangat memengaruhi kualitas hidup penyandangnya sehingga perlu mendapatkan perhatian serius dari semua pihak (PERKENI, 2011).

2.1.2. Klasifikasi dan Etiologi

Klasifikasi dan etiologi DM berdasarkan American Diabetes Association (ADA, 2009) adalah sebagai berikut:

Tabel 2.1. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus (Purnamasari, 2009)

No. Tipe Etiologi

1. Diabetes Melitus tipe 1

Destruksi sel beta, umumnya menjurus ke defisiensi insulin absolut yang dikarenakan proses imunologik maupun idiopatik

2. Diabetes Melitus tipe 2

Bervariasi mulai dari yang predominan resistensi insulin disertai defisiensi insulin relatif sampai yang predominan gangguan sekresi insulin bersama resistensi insulin

3. Diabetes Melitus tipe lain

A. Defek genetik fungsi sel beta

(2)

- Kromosom 7, glukokinase (dahulu MODY 2) - Kromosom 20, HNF-4α ( dahulu MODY 1) - Kromosom 13, insulin promotor factor-1

( IPF-1, dahulu MODY 4)

- Kromosom 17, HNF-1β (dahulu MODY 5) - Kromosom 2, Neuro D1 (dahulu MODY 6)

DNA Mitochondria - Lainnya

B. Defek genetik kerja insulin

Resistensi insulin tipe A, leprechaunism, sindrom Rabson Mendenhall, diabetes lipoatrofik, lainnya

C. Penyakit Eksokrin Pankreas

Pankreatitis, trauma/pankreatektomi, neoplasma, fibrosis kistik, hemokromatosis, pankreatopati fibro kalkulus, lainnya

D. Endokrinopati

Akromegali, sindrom cushing, feokromositoma, hipertiroidisme somatostatinoma, aldosteronoma, lainnya

E. Karena obat/zat kimia

Vacor, pentamidin, asam nikotinat, glukokortikoid, hormon tiroid, diazosid, agonis β adrenergic, tiazid, dilantin, interferon alfa, lainnya

F. Infeksi

Rubella congenital, CMV, lainnya G. Imunologi (jarang)

(3)

H. Sindroma genetik lain

Sindrom Down, sindrom Klinefelter, sindrom Turner, sindrom Wolfram’s, Ataksia Friedreich’s, chorea Huntington, sindrom

Laurence-Moon-Biedl, distrofi miotonik,

porfiria, sindrom Prader Willi, lainnya 4. Diabetes Kehamilan

2.1.3. Faktor Resiko a. Genetik

Orang tua dapat menurunkan gen penyebab DM kepada anaknya. Biasanya, seseorang yang menderita DM mempunyai anggota keluarga yang juga memiliki riwayat DM.

b. Usia

Lebih banyak pada usia diatas 45 tahun, tetapi kini frekuensi kasus DM tipe 2 meningkat pada usia yang muda.

c. Obesitas

Pada orang obesitas sangat berisiko terjadi DM, karena ia berperan sebagai faktor diabetogenik melalui peningkatan resistensi insulin dan gangguan sel beta pankreas secara genetik. Risiko terjadi DM tipe 2 juga tinggi pada orang yang mempunyai BMI (Body Mass Index) > 25 kg/m².

d. Kurang aktivitas fisik

Kurangnya aktivitas fisik dapat menyebabkan penurunan sensitivitas regulasi insulin dan meningkatkan akumulasi lemak pada jaringan. Aktivitas fisik menyebabkan produksi insulin oleh sel beta pankreas akan berkurang dan glukosa dapat diambil oleh jaringan tanpa insulin. e. Hipertensi

Tekanan darah lebih dari 140/90 mmHg merupakan salah satu risiko terjadinya DM tipe 2.

(4)

Seseorang dikatakan dislipidemia jika kadar HDL <35mg/dL atau kadar trigliserida >250mg/dL.

g. Diabetes gestasional dan melahirkan bayi makrosomia

Jika semasa kehamilan mengalami diabetes gestasional atau memiliki riwayat melahirkan bayi makrosomia, maka berisiko tinggi untuk terjadi DM tipe 2.

h. Polycystic ovarian syndrome

Hal ini dapat menyebabkan terjadinya resistensi insulin (Powers, 2008).

2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi

2.1.4.1 Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 1

Bentuk diabetes ini terjadi karena kekurangan insulin yang berat akibat destruksi autoimun sel-sel beta dalam pulau-pulau Langerhans pancreas. DM tipe 1 paling sering terjadi pada usia kanak-kanak, bermanifestasi pada usia pubertas, dan berjalan progresif mengikuti pertambahan usia (Mitchel, et.al, 2006)

(5)

sanak keluarga pasien), keberadaan antibody terhadapsel pulau merupakan tanda prediktif untuk meramalkan terjadi DMT1.

- Kerentanan Genetik. Diabetes tipe 1 memiliki pola korelasi yang kompleks dengan sedikitnya 20 lokus genetic yang berpotensi menimbulkan perubahan toleransi imun hospes yang akhirnya menyebabkan autoimunitas. Sejauh ini korelasi genetic yang paling penting terdapat antara diabetes tipe 1 dan lokus HLA MHC kelas II. Antara 90 % dan 95 % orang-orang kulit putih mengidap diabetes tipe 1 memiliki haplotype HLA-DR3 atau DR4. Alel tertentu di dalam haplotype ini seperti alel DQβ1*0302 memperlihatkan korelasi dengan diabetes tipe 1 yang derajatnya bahkan lebih besar lagi. Gen-gen non-MHC yang berkaitan dengan kerentanan penyakit meliputi gen insulin itu sendiri dan gen yang mengode reseptor inhibisi sel-T CTLA-4.

- Faktor Lingkungan. Beberapa virus turut terlibat sebagai pemicu potensial untuk terjadinya serangan autoimun; virus tersebut meliputi virus coxsackie, virus parotitis, virus campak, sitomegalovirus, virus rubella dan mononucleosis infeksiosa. Salah satu postulat mengemukakan bahwa virus-virus tersebut memproduksi virus bereaksi silang dengan jaringan sendiri (Mitchel et.al, 2006).

2.1.4.2. Patogenesis dan Patofisiologi DM tipe 2

Resistensi insulin dan sekresi insulin yang abnormal memegang peran sentral dalam perjalanan DM tipe 2. Walaupun sejumlah kontroversi timbul terkait yang mana dari dua hal tersebut yang merupakan defek primer munculnya DM tipe 2, kebanyakan hasil studi mendukung pendapat bahwa resistensi insulin mendahului gangguan sekresi insulin dan bahwa DM muncul hanya jika sekresi insulin menjadi tidak adekuat (Powers, 2008).

(6)

timbul DM secara klinis, yang ditandai dengan terjadinya peningkatan kadar glukosa darah yang memenuhi kriteria diagnosis DM (Soewondo, 2009).

DM tipe 2 ditandai dengan adanya resistensi insulin perifer, gangguan sekresi insulin, produksi glukosa yang berlebihan oleh hepar, dan metabolisme lemak yang abnormal (Powers, 2008).

- Resistensi Insulin. Penurunan kemampuan insulin untuk bekerja secara efektif pada jaringan target (khususnya otot dan hepar). Mekanisme molekular terjadinya resistensi insulin pada DM tipe 2 belum dapat dijelaskan secara utuh. Terdapat pengurangan jumlah reseptor insulin dan aktivitas tirosin kinase pada otot rangka, namun perubahan ini lebih kepada akibat sekunder dari kondisi hiperinsulinemia yang terjadi dan bukan defek primernya. Patogenesis dari resistensi insulin saat ini lebih fokus pada defek sinyal PI-3-kinase, yang mengakibatkan penurunan translokasi GLUT-4 ke membran plasma, dibandingkan abnormalitas-abnormalitas lainnya. Namun, tidak semua jalur transduksi sinyal insulin resisten terhadap efek insulin. Contohnya, jalur yang mengendalikan pertumbuhan dan diferensiasi sel dan menggunakan jalur Mitogen-Activated Protein (MAP) kinase, berpotensial meningkatkan kondisi terjadinya aterosklerosis pada diabetes.

- Gangguan Sekresi Insulin. Sekresi dan sensitivitas insulin saling berhubungan. Pada DM tipe 2, sekresi insulin terutama meningkat sebagai respon terhadap resistensi insulin guna mempertahankan kadar glukosa darah normal. Gangguan sekresi insulin yang terjadi sebenarnya ringan dan hanya secara selektif melibatkan sekresi insulin yang distimulasi glukosa saja. Respon terhadap bahan-bahan nonglukosa seperti arginin masih dipertahankan. Namun, gangguan sekresi insulin ini akan berjalan sampai pada tahap sekresi insulin inadekuat yang berat. Alasan terjadinya penurunan kapasitas sekresi insulin pada DM tipe 2 masih belum jelas. - Peningkatan Produksi Glukosa Hepar. Pada DM tipe 2, resistensi

(7)

penurunan simpanan glikogen oleh hepar pada masa pascaprandial. Peningkatan produksi glukosa oleh hepar terjadi pada masa-masa awal diabetes, meskipun sepertinya hal itu terjadi setelah onset gangguan sekresi insulin dan resistensi insulin pada otot rangka.

- Metabolisme lemak yang abnormal. Obesitas terutama viseral dan sentral sangat umum ditemui pada DM tipe 2. Adiposit menghasilkan sejumlah produk-produk biologis (leptin, TNF-α, asam lemak bebas, resistin dan adiponektin) yang memodulasi sekresi dan kerja insulin serta berat badan, dan mungkin juga berperan dalam terjadinya resistensi insulin (Mitchel et.al, 2006).

2.1.5. Manifestasi Klinis

Manifestasi klinis diabetes melitus dikaitkan dengan konsekuensi metabolik defisiensi insulin. Pasien-pasien dengan defisiensi insulin tidak dapat mempertahankan kadar glukosa plasma puasa yang normal (≤ 126 mg/dL), atau mengalami toleransi glukosa setelah makan karbohidrat ( ≥ 200 mg/dL). Jika hiperglikemianya berat dan melebihi ambang ginjal untuk zat ini, maka gula akan diekskresikan ke dalam urin (glukosuria). Glukosuria ini akan mengakibatkan diuresis osmotik yang meningkatkan pengeluaran urine (poliuria) dan timbul rasa haus (polidipsia). Karena glukosa hilang bersama urine ( ± 4,1 kkal untuk setiap gram karbohidrat yang diekskresikan keluar), maka pasien mengalami keseimbangan kalori negatif dan berat badan berkurang. Rasa lapar yang semakin besar (polifagia) mungkin akan timbul sebagai akibat kehilangan kalori. Pasien juga mengeluh lelah dan mengantuk (Schteingart, 2005).

2.1.6. Diagnosis

(8)

dilakukan pada mereka yang hasil pemeriksaan penyaringnya positif untuk memastikan diagnosis definitif (Purnamasari, 2009).

Pemeriksaan penyaring dapat dilakukan melalui pemeriksaan kadar glukosa darah sewaktu atau kadar glukosa darah puasa, kemudian dapat diikuti dengan tes toleransi glukosa oral (TTGO) standar (Purnamasari, 2009).

Tabel 2.2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan Penyaring dan Diagnosis DM (Purnamasari, 2009)

Bukan

Plasma vena <110 110-199 ≥200 Darah kapiler <90 90-199 ≥200 Kadar glukosa darah

puasa (mg/dL)

Plasma vena <110 110-125 ≥126 Darah kapiler <90 90-109 ≥110

Diagnosis klinis DM umumnya akan dipikirkan bila ada keluhan khas DM berupa poliuria, polidipsia, polifagia, dan penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan sebabnya. Keluhan lain yang mungkin dikemukakan pasien adalah lemah, kesemutan, gatal, mata kabur dan disfungsi ereksi pada pria, serta pruritus vulva pada pasien wanita (Purnamasari, 2009).

2.1.7. Komplikasi

Dalam perjalanan penyakit DM, dapat terjadi kompliasi akut dan kronik. Komplikasi akut terdiri dari:

- Ketoasidosis Diabetik (KAD). Ketoasidosis diabetik (KAD) merupakan komplikasi akut diabetes yang ditandai dengan peningkatan kadar glukosa darah yang tinggi(300-600 mg/dL), disertai dengan adanya tanda dangejala asidosis dan plasma keton (+) kuat. Osmolaritas plasma meningkat (300-320 mOs/mL) dan terjadipeningkatan anion gap.

(9)

asidosis, osmolaritas plasma sangat meningkat (330-380 mOs/mL), plasma keton (+/-), anion gap normal atau sedikit meningkat.

- Hipoglikemia. Hipoglikemia ditandai dengan menurunnya kadar glukosa darah < 60 mg/dL (PERKENI, 2011).

Sedangkan komplikasi kronik terdiri dari:

- Makroangiopati. Pada pembuluh darah jantung, pembuluh darah otak, dan pembuluh darah tepi. Pada pembuluh darah tepi penyakit arteri perifer sering terjadi pada penyandang diabetes. Biasanya terjadi dengan gejala tipikal laudicatio intermittent, meskipun sering tanpa gejala. Terkadang ulkus iskemik kaki merupakan kelainan yang pertama muncul.

- Mikroangiopati. Retinopati diabetik dan nefropati diabetik.

- Neuropati. Komplikasi yang tersering dan paling penting adalah neuropati perifer, berupa hilangnya sensasi distal. Berisiko tinggi untuk terjadinya ulkus kaki dan amputasi.

- Dislipidemia pada Diabetes. Dislipidemia pada penyandang diabetes lebih meningkatkan risiko timbulnya penyakit kardiovaskular.

- Hipertensi pada diabetes.

- Obesitas pada diabetes. Prevalensi obesitas pada DM cukup tinggi, demikian pula kejadian DM dan gangguan toleransi glukosa pada obesitas cukup sering dijumpai

- Gangguan koagulasi pada diabetes (PERKENI, 2011).

2.2. Badan Keton 2.2.1. Definisi

(10)

2.2.2. Sintesis Badan Keton

Sintesis badan keton terjadi apabila kadar asam lemak dalam darah meningkat, yaitu selama berpuasa, kelaparan, atau akibat makanan tinggi lemak rendah karbohidrat.

Gambar 2.1. : Proses Ketogenesis (Botham,2006)

(11)

Dua molekul asetil-koA bereaksi untuk membentuk asetoasetil KoA melalui pembalikan reaksi tiolase. Asetil KoA lain bereaksi dengan asetoasetil KoA, menghasilkan 3-hidroksi-3-metilglutaril koA(HMG-KoA) dan membebaskan koenzim A yang tidak mengalami asilisasi. Enzim yang mengkatalisis reaksi ini adalah HMG-KoA sintetase. Enzim ini terinduksi sewaktu puasa dan dihambat oleh salah satu produknya, KoASH. Dalam reaksi selanjutnya, HMG-KoA liase memutuskan HMG-KoA untuk membentuk asetil koA dan asetoasetat.

Asetoasetat memiliki tiga nasib. Asetat dapat langsung masuk kedalam darah atau dapat direduksi oleh dehydrogenase dependen-NAD menjadi badan keton kedua., β-hidroksibutirat, yang kemudian masuk kedalam darah. Reaksi dehydrogenase ini bersifat reversible dengan mudah dan berfungsi untuk interkonversi kedua badan keton ini. Kedua badan keton masuk kedalam darah dan berpindah dari hati ke jaringan lain tempat keduanya dioksidasi untuk menghasilkan energy. Nasib ketiga asetoasetat adalah dekarboksilasi spontan, dimana terjadi reaksi non enzimatik yang membebaskan CO2 dan menghasilkan

aseton. Metabolism aseton selanjutnya tidak segera terjadi. Karena mudah menguap, aseton keluar melalui ekspirasi lewat paru (Marks, 2000).

Gambar 2.2. : Nasib asetoasetat (Botham & Mayes,2006

2.3. Pemeriksaan Urin

(12)

Banyak informasi penting yang dapat diperoleh melalui pemeriksaan urin. Pemeriksaan yang teliti dan cermat mampu mendeteksi proses intrinsik suatu penyakit yang melalui sistem saluran kemih, baik fungsional (fisiologis) ataupun structural (anatomis) (Fuller et. al, 2001).

Terdapat tiga jenis urinalisis yang dapat dilakukan, yaitu:

1. Dipstik (Reagen) urinalisis, umumnya dilakukan pada pemeriksaan laboratorium, praktik dokter, dan juga bisa dilakukan sendiri di rumah. 2. Dasar (rutin) urinalisis, umumnya menggunakan pemeriksaan

mikroskopik sedimen urin,

3. Pemeriksaan sedimen urin secara sitopatologi, pemeriksaan ini memanfaat berbagai disiplin lab, seperti kimiawi dan mikrokopik (Fuller et. al, 2001).

2.3.2. Pemeriksaan Badan Keton pada Urin

Karena aseton, asetoasetat, dan 3-hidroksibutirat ketiganya terdapat pada urin dengan ketonuria, metode untuk menetukan salah satu dari ketiga keton ini adalah dengan memeriksanya secara keseluruhan. Pada Umumnya mengunakan strip atau tablet nitroprussid menggunakan metode Rothera untuk mengukur asetoasetat dan aseton. FeCl3 (Gerhard’s Test) untuk mendeteksi asetoasetat. Kedua tes ini tidak dapat mendeteksi 3-hidroksibutirat (Fuller et.al, 2001).

Pemeriksaan ketonuria harus menggunakan urin yang segar. Jika ingin menunda pemeriksaan harus diletakkan ke dalam lemari es untuk menghilangkan hasil false negative (Luthra, 2008)

2.3.2.1. Tes Rothera

Pemeriksaan ini sensitif untuk keton pada urin. Tes ini merupakan metode nitroprussid yang asli. Prinsip pada pemeriksaan ini adalah larutan alkali bereaksi dengan badan keton akan membentuk warna ungu.

Prosedur pemeriksaan:

(13)

- Campurkan dengan benar dan perlahan-lahan tambahkan 0,5 mL ammonia disepanjangan sisi tabung reaksi

- Amati perubahan warna dalam waktu 1-2 menit

- Terbentuknya cincin ungu menunjukkan adanya badan keton (Luthra, 2008).

2.3.2.2. Tes Gerhardt

Pemeriksaan ini spesifik untuk mendeteksi sejumlah besar asetoasetat. Tes ini juga dapat mendeteksi salisilat pada urin.

Prosedur pemeriksaan:

- Tambahkan 5 mL feri klorida setetes demi setetes dengan 5 mL urin pada tabung reaksi

- Warna merah kecoklatan akan dibentuk oleh asetoasetat atau salisilat

- Untuk menentukan salisilat atau asetoasetat, bagi larutan menjadi setengah, kemudian rebus selama 5 menit. Kemudian amati, jika warnanya menghilang, maka asetoasetat akan muncul. Jika warnanya menetap, makan salisilat yang akan muncul. Asetoasetat yang dipanaskan kehilangan karbondioksida dan diubah menjadi aseton. Aseton tidak bereaksi dengan reagen feri klorida (Luthra, 2008).

2.4. Ketoasidosis Diabetik 2.4.1. Definisi

Ketoasidosis Diabetik (KAD) adalah keadaan dekompensasi-kekacauan metabolic yang ditandai oleh trias hiperglikemia, asidosis, dan ketosis, terutama disebabkan oleh defisiensi insulin absolut atau relatif. KAD dan hipoglikemia merupakan komplikasi akut Diabetes Melitus (DM) yang serius dan membutuhkan pengelolaan gawat darurat. Akibat diuresis osmotik, KAD biasanya mengalami dehidrasi berat dan bahkan dapat sampai menyebabkan syok (Soewondo, 2009).

(14)

Ada sekitar 20 % pasien KAD yang baru diketahui menderita DM untuk pertama kali. Pada KAD yang sudah diketahui DM sebelumnya, 80 % dapat dikenali adanya faktor pencetus. Mengatasi faktor pencetus ini penting dalam pengobatan dan pencegahan ketoasidosis berulang. Faktor pencetus yang berperan untuk terjadinya KAD adalah infeksi, infark miokard akut, pankreatitis akut, penggunaan obat golongan steroid, menghentikan atau mengurangi dosis insulin. Sementara itu 20 % pasien KAD tidak didapatkan faktor pencetus.

Menghentikan atau mengurangi dosis insulin merupakan salah satu pencetus terjadinya KAD. Data seri kasus KAD tahun 1998-99 di RS. Cipto Mangunkusumo menunjukkan 5 % kasus menyuntik dosis insulin kurang. Musey et al melaporkan 56 kasus KAD negro Amerika yang tinggal di perkotaan. Diantara 56 kasus tersebut, 75 % telah diketahui DM sebelumnya dan 67 % faktor pencetusnya adalah menghentikan dosis insulin. Adapun alasannya adalah sebagai berikut: 50 % tidak mempunyai uang untuk membeli, 21 % nafsu makan menurun, 14 % masalah psikologis, 14 % tidak paham mengatas masa-masa sakit akut. Pada seri kasus diatas 55 % menyadari adanya gejala hiperglikemia, walaupun demikian hanya 5 % yang menghubungi klinik diabetes untuk mengatasi masalah tersebut (Soewondo, 2009).

2.4.3. Patofisiologi

KAD adalah suatu keadaan di mana terdapat defisiensi insulin absolut atau relative dan peningkatan hormone kontra regulator (glucagon, katekolamin, kortisol, dan hormon pertumbuhan); keadaan tersebut menyebabkan produksi glukosa hati meningkat dan utilisasi glukosa oleh sel tubuh menurun, dengan hasil akhir hiperglikemia. Keadaan hiperglikemia sangat bervariasi dan tidak menentukan berat-ringannya KAD. Adapun gejala dan tanda klinis KAD dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu:

(15)

Walaupun sel tubuh tidak dapat menggunakan glukosa, sistem hemostasis tubuh terus teraktivasi untuk memproduksi glukosa dalam jumlah banyak sehingga terjadi hiperglikemia. Kombinasi defisiensi insulin dan peningkatan konsentrasi hormon kontra regulator terutama epinefrin, mengaktivasi hormone lipase sensitive pada jaringan lemak. Akibatnya lipolysis meningkat, sehingga terjadi peningkatan produksi badan keton dan asam lemak bebas secara berlebihan. Akumulasi produksi benda keton oleh sel hati dapat menyebabkan metabolik asidosis. Benda keton utama ialah asam asetoasetat (AcAc) dan 3 beta hidroksi butirat (3HB); dalam keadaan normal konsentrasi 3HB meliputi 75-85% dan aseton darah merupakan benda keton yang tidak begitu penting. Meskipun sudah tersedia bahan bakar tersebut sel-sel tubuh masih tetap lapar dan terus memproduksi glukosa.

Hanya insulin yang dapat menginduksi transport glukosa ke dalam sel, memberi signal untuk proses perubahan glukosa menjadi glikogen, menghambat lipolysis pada sel lemak (menekan pembentukan asam lemak bebas), menghambat gluconeogenesis pada sel hati serta mendorong proses oksidasi sitimelalui siklus krebs dalam mitokondria sel. Melalui proses oksidasi tersebut akan dihasilkan ATP yang merupakan sumber energi utama sel.

Resistensi insulin juga berperan dalam memperberat keadaan defisiensi insulin relatif. Meningkatkan hormon kontra regulator insulin meningkatnya asam lemak bebas, hiperglikemia, gangguan keseimbangan elektrolit dan asam basa dapat mengganggu sensitivitas insulin (Soewondo, 2009) .

2.4.4. Gejala Klinis

Sekitar 80% pasien KAD adalah pasien DM yang sudah dikenal. Kenyataan ini tentunya sangat membantu untuk mengenali KAD akan lebih cepat sebagai komplikasi akut DM dan segera mengatasinya.

(16)

Areateus menjelaskan gambaran klinis KAD sebagai berikut keluhan poliuri dan polidipsi sering kali mendahului KAD serta didapatkan riwayat berhenti menyuntik insulin, demam, atau infeksi. Muntah-muntah merupakan gejala yang sering dijumpai terutama pada KAD anak. Dapat pula dijumpai nyeri perut yang menonjol dan hal itu berhubungan dengan gastroparesis-dilatasi lambung.

Derajat kesadaran pasien dapat dijumpai mulai kompos mentis, delirium, atau depresi sampai dengan koma. Bila dijumpai kesadaran koma perlu dipikirkan penyebab penurunan kesadaran lain (misalnya uremia, trauma, infeksi, minum alcohol).

Infeksi merupakan faktor pencetus yang paling sering. Di RS Dr. Cipto Mangunkusumo Jakarta, faktor pencetus infeksi didapatkan sekitar 80%. Infeksi yang sering ditemukan ialah infeksi saluran kemih dan pneumonia. Walaupun faktor pencetusnya adalah infeksi, kebanyakan pasien tak mengalami demam. Bila dijumpai adanya nyeri abdomen, perlu dipikirkan kemungkinan kolesistisis, iskemia akut, apendisitis, diventrikulus, atau perforasi usus. Bila ternyata pasien tidak menunjukkan respon yang baik terhadap pengobatan KAD, maka perlu dicari kemungkinan tersembunyi (sinusitis, abses gigi, abses perirectal) (Soewondo, 2009).

2.4.5. Diagnosis

Ketoasidosis diabetik perlu dibedakan dengan ketosis diabetik ataupun hiperglikemia hyperosmolar nenketotik. Beratnya hiperglikemia, ketonemia, dan asidosis dapat dipakai dengan kriteria diagnosis KAD. Walaupun demikian penilaian kasus per kasus selalu diperlukan untuk menegakkan diagnosis.

(17)

Pemeriksaan laboratorium yang paling penting dan mudah untuk segera dilakukan setelah dilakukannya anamnesis dan pemeriksaan fisik adalah pemeriksaan konsentrasi glukosa darah dengan glucose sticks dan pemeriksaan urine dengan menggunakan urine strip untuk melihat secara kualitatif jumlah glukosa, keton, nitrat, dan leukosit dalam urine. Pemeriksaan laboratorium lengkap untuk dapat menilai karakteristik dan tingkat keparahan KAD meliputi konsentrasi HCO3, anion gap, pH darah dan juga idealnya dilakukan pemeriksaan konsentrasi AcAc dan laktat serta 3HB (Soewondo, 2009).

2.4.6. Pencegahan

Faktor pencetus utama KAD ialah pemberian dosis insulin yang kurang memadai dan kejadian infeksi. Pada beberapa kasus, kejadian tersebut dapat dicegah dengan akses pada sistem pelayanan kesehatan lebih baik (termasuk edukasi DM) dan komunikasi efektif terutama pada saat penyandang DM mengalami sakit akut (misalnya batuk, pilek, diare, demam, luka).

Upaya pencegahan merupakan hal yang penting pada penatalaksanaan DM secara komprehensif. Upaya pencegahan sekunder untuk mencegah terjadinya komplikasi DM kronik dan akut, melalui edukasi sangat penting untuk mendapatkan ketaatan berobat pasien yang baik.

Gambar

Tabel 2.1. Klasifikasi dan Etiologi Diabetes Melitus (Purnamasari, 2009)
Tabel 2.2. Kadar Glukosa Darah Sewaktu dan Puasa sebagai Patokan
Gambar 2.1.  : Proses Ketogenesis (Botham,2006)
Gambar 2.2.  : Nasib asetoasetat (Botham & Mayes ,2006

Referensi

Dokumen terkait

[r]

[r]

mengeluarkan sebuah situs apabila situs tersebut dicurigai melakukan kecurangan. Iklan yang ditampilkan oleh Google bersifat acak sehingga iklan yang ditampilkan bersifat

Kemandirian anak balita sangat penting untuk menentukan perkembangan sosialisasi di masa depan, hal ini tidak lepas dari peran penting orang tua khususnya dalam

Tabel 4.3 Kepemilikan SIUP Menurut Sektor 41 Tabel 4.4 Kepemilikan SIUP Menurut Skala Usaha 41 Tabel 4.5 Kepemilikan NPWP Menurut Sektor 42 Tabel 4.6 Kepemilikan NPWP Menurut Skala

The flight missions were set up to determine the return-to-home (RTH) landing precision and the power consumption of the UAV at different wind speeds.. The landing precision

[r]

l developing a transparent view of a market system and of the functions (core transactions, rules and supporting functions) and players within it (Figure 1