iv
PERSEMBAHAN
Skripsi ini saya persembahkan kepada :
Tuhan Yesus Kristus yang senantiasa memberkati dan Bunda Maria yang selalu
mendampingi.
Orangtua saya,
(Lusiana Higang, Alm. Bonifasius Jalung Hurang, Susana Djiu Hong dan Valentina
Djiu Hong)
Kekasih saya,
(Fransiskus Arenyansyah)
Seluruh keluarga besar, para sahabat serta semua orang yang telah mendukung proses
v MOTTO
“Suatu upaya bunuh diri secara perlahan-lahan ketika kita melarikan diri, bersembunyi, menolak berbagi, berhenti memberi dan mengurung diri dalam
kenyamanan diri”
viii ABSTRAK
Skripsi ini berjudul, “PERANAN EKARISTI TERHADAP
KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK DALAM MENANGGAPI PERMASALAHAN SOSIAL MASYARAKAT DI STASI SANTO STEFANUS DATAH BILANG ILIR KALIMANTAN TIMUR”. Judul skripsi ini dipilih berdasarkan keingintahuan penulis tentang peranan perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat. Perayaan Ekaristi merupakan perjamuan kehidupan, sebagaimana Yesus Kristus merupakan sumber dan muara kehidupan sejati. Umat yang merayakan Ekaristi harus terlibat dalam realitas kehidupan di tengah masyarakat. Tubuh Kristus yang diterima dalam perayaan Ekaristi semakin mendorong dan meneguhkan umat untuk berjuang menyembuhkan dunia dan memulihkan relasi yang terputus antara manusia dengan Allah. Hal itu juga menumbuhkan semangat berbagi dengan sesama yang membutuhkan.
Berdasarkan latar belakang di atas, skripsi ini ditulis untuk memperoleh informasi lebih mendalam terkait pemahaman orang muda Katolik Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur tentang pengertian dan makna Ekaristi, keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat dan peranan perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial di tengah masyarakat.
Jenis penelitian menggunakan metode deskriptif berupa data berbentuk tulisan dan perilaku orang-orang yang diamati dari individu, kelompok, masyarakat dan organisasi dalam situasi tertentu yang dikaji melalui sudut pandang utuh, komprehensif dan holistik, dengan metode deskriptif analitis yaitu menjelaskan pengertian dan makna Ekaristi, pemahaman terkait keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat. Instrumen yang digunakan kuesioner, responden muda Katolik Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Kalimantan Ilir Timur dan teknik pengumpulan data dengan observasi dan penyebaran kuesioner. Penelitian dilaksanakan di Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur.
ix
ABSTRACT
This undergraduate thesis entitles, “The Role of the Eucharist towards Catholic Youth Involvement in Responding Issues of Social Community in Saint Stephen District Datah Bilang Ilir East Kalimantan.” This title was selected based on the author's curiosity about the role of the Eucharist towards catholic youth involvement in addressing social issues. The Eucharist is a communion of life, as Jesus Christ is the source and the goal of true life. A people who celebrate the Eucharist should be involved in the reality of life. The Body of Christ who is received in the Eucharist increasingly encourages and edifies the people to strive to heal the world and to restore a broken relationship between human living and God. That also makes growing the spirit of sharing with others in need. Based on this background, the purpose of this undergraduate thesis is to obtain more in-depth information related to the understanding of young Catholicism in Saint Stephen District Datah Bilang Ilir East Kalimantan on the definition and meaning of the Eucharist. Especially, the role of the Eucharist to Catholic youth involvement in addressing social issues in the community.
The type of the research used here is qualitative method in the form of a written descriptive data and the behavior of those who were observed from individuals, groups, communities and organizations in certain situations that were examined through the eyes of a whole, comprehensive and holistic. The method used was descriptive analysis to explain the meaning and significance of the Eucharist, the understanding related to the involvement of young Catholics in response to the social problems of society. The instrument used was the questionnaire, respondents Catholic youth of Saint Stephen District Datah Bilang Ilir East Kalimantan and data collection techniques by observation and questionnaires. Research was conducted at the Saint Stephen District Datah Bilang Ilir East Kalimantan.
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii
HALAMAN PENGESAHAN ... iii
xv
6. Permasalahan Sosial Masyarakat ... 48
a. Masalah Kriminal ... 50
b. Masalah Kemiskinan ... 51
c. Masalah Lingkungan Hidup ... 52
BAB III. PENELITIAN TENTANG PERANAN EKARISTI TERHADAP KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK DALAM MENANGGAPI PERMASALAHAN SOSIAL MASYARAKAT DI STASI SANTO STEFANUS DATAH BILANG ILIR KALIMANTAN TIMUR ... 59
A. Gambaran Umum Situasi Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Kalimantan Timur ... 59
1. Sejarah ... 59
2. Letak Geografis ... 62
3. Jumlah dan Perkembangan Umat ... 62
4. Situasi Ekonomi dan Sosial Masyarakat ... 64
xvi
C.Laporan dan Pembahasan Hasil Penelitian “Peranan Ekaristi
terhadap Keterlibatan Orang Muda Katolik
dalam Menanggapi Permasalahan Sosial Masyarakat
di Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur” ... 79
1. Identitas dan Latar Belakang Responden ... 79
2. Pemahaman Orang Muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur Mengenai Ekaristi ... 81
a. Laporan Hasil Penelitian ... 84
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 86
3. Pemahaman Orang Muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur ... 91
a. Laporan Hasil Penelitian ... 92
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 94
4. Keterlibatan Orang Muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur ... 96
a. Laporan Hasil Penelitian ... 99
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 102
5. Pemahaman Orang Muda Katolik Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur
Mengenai Permasalahan Sosial ... 106
a. Laporan Hasil Penelitian ... 107
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 108
6. Sejauh Mana Perayaan Ekaristi Mendorong Orang Muda Katolik
Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur ... 110
a. Laporan Hasil Penelitian ... 112
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 114
7. Usulan Aksi Sosial yang Dapat Dilakukan
untuk Meningkatkan Keterlibatan Orang Muda Katolik
dalam Menanggapi Permasalahan Sosial ... 118
a. Laporan Hasil Penelitian ... 120
b. Pembahasan Hasil Penelitian ... 121
D. Kesimpulan Hasil Penelitian
tentang Peranan Ekaristi terhadap Keterlibatan Orang Muda Katolik dalam Menanggapi Permasalahan Sosial Masyarakat
xvii
BAB IV. USULAN KEGIATAN PEMBAGIAN POHON KEPADA MASYARAKAT DATAH BILANG
SEBAGAI UPAYA MENINGKATKAN KETERLIBATAN ORANG MUDA KATOLIK STASI SANTO STEFANUS DATAH BILANG ILIR KALIMANTAN TIMUR
DALAM MENANGGAPI PERMASALAHAN
G. Matriks Program Kegiatan Pembagian Pohon ... 137
xviii
LAMPIRAN ... 173
Lampiran 1 : Surat Ijin Penelitian ... (1)
Lampiran 2 : Surat Selesai Penelitian ... (2)
Lampiran 3 : Instrumen Penelitian ... (3)
Lampiran 4 : Jawaban Instrumen Penelitian ... (11)
Lampiran 5 : Instrumen Wawancara ... (39)
Lampiran 6 : Transkrip Wawancara ... (40)
Lampiran 7 : Data Jumlah Umat ... (42)
Lampiran 8 : Data Jumlah Baptisan ... (43)
Lampiran 9 : Surat Keterangan Gambaran Umum Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timu ... (52)
Lampiran 10: Surat Keterangan Kepemilikan Tanah Gereja Katolik Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur ... (58)
xix
No. Tabel Nama Tabel Halaman
Tabel 1 : Variabel Penelitian ………... 76
Tabel 2 : Identitas dan Latar Belakang Respon (N=40) ……….. 80
Tabel 3 : Pemahaman orang muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur mengenai perayaan
Ekaristi (N=40) ………
82
Tabel 4 : Pemahaman orang muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur tentang permasalahan
sosial (N=40) ………
91
Tabel 5 : Pengalaman terkait keterlibatan orang muda Katolik dalam
menanggapi permasalahan sosial (N=40) ……… 96
Tabel 6 : Permasalahan sosial yang terjadi di Datah Bilang
Kalimantan Timur (N=40) ………... 106
Tabel 7 : Sejauh mana perayaan Ekaristi mendorong orang muda
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial
masyarakat (N=40) ………..
111
Tabel 8 : Usulan aksi sosial yang dapat dilakukan untuk
meningkatkan keterlibatan orang muda Katolik dalam
menanggapi permasalahan sosial (N=40) ………
xx
DAFTAR SINGKATAN
A.Singkatan Teks Kitab Suci
Ef : Surat Rasul Paulus kepda Jemaat di Efesus
Im : Imamat
Kol : Surat Rasul Paulus kepda Jemaat di Kolose
Kel : Kitab Keluaran
Kej : Kitab Kejadian
Kis : Kisah Para Rasul
Luk : Injil Lukas
Luk : Injil Lukas
Mrk : Injil Markus
Mat : Injil Matius
Rom : Surat Rasul Paulus kepda Jemaat di Roma
Ul : Kitab Ulangan
Yoh : Injil Yohanes
Yer : Kitab Nabi Yeremia
Yes : Kitab Nabi Yesaya
1Kor : Surat Pertama Rasul Paulus kepada Jemaat di Korintus
1 Sam : 1 Samuel
2 Raj : 2 Raja-Raja
xxi B.Singkatan Dokumen Resmi Gereja
AA : Apostolicam Actuositatem, Dekrit tentang Kerasulan Awam, 18
November 1965.
EG : Evangelii Gaudium, Seruan Apostolik Paus Fransiskus, tentang Ajaran
Gereja tentang Masalah-Masalah Sosial, 24 November 2013.
KHK : Kitab Hukum Kanonik (Codex Iuris Cononici), diundangkan oleh Paus
Yohanes Paulus II, 25 Januari 1983.
KKGK : Kompendium Katekismus Gereja Katolik tentang Sakramen Ekaristi,
21 Mei 2009.
LG : Lumen Gentium, Konstitusi Dogmatik Konsili Vatikan II tentang
Gereja, 21 November 1964.
PO : Presbyterorum Ordinis, Dekrit tentang Pelayanan dan Kehidupan Para
Imam, 07 Desember 1965.
SC : Sacrosantum Concilium, Konstitusi tentang Liturgi Suci, 04 Desember
1963.
C.Singkatan Lain
Alm : Almarhum
AM : Ante meridiem (before noon), meunjukkan waktu belum lewat dari
tengah hari
art : Artikel
bdk : bandingkan
BPK : Buku Pegangan Kuliah
xxii KOMKA : Komunitas Orang Muda Katolik
KLMTD : Kecil Lemah Miskin Tersingkir dan Difabel
KWI : Konfrensi Waligereja Indonesia
kan : kanon
OMK : Orang Muda Katolik
Pr : Praja, ordo bagi Imam diosesan atau keuskupan.
RI : Republik Indonesia
St : Santo
SJ : Serikat Jesus
BAB I
PENDAHULUAN
Merayakan Ekaristi merupakan kewajiban sekaligus kebutuhan rohani
umat beriman Kristiani, khususnya orang muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur. Ekaristi seharusnya dapat menginspirasi dan
memotivasi untuk semakin terlibat dalam menanggapi permasalahan sosial yang
terjadi di tengah masyarakat. oleh sebab itu, penulis tertarik untuk meneliti
peranan Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda Katolik Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur dalam menanggapi permasalahan sosial
masyarakt. Pada Bab ini penulis akan membahas mengenai latar belakang
pemilihan judul skripsi, rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan,
metode penulisan dan sistematika penulisan.
A. Latar Belakang
Merayakan Ekaristi pada hari Minggu merupakan salah satu kewajiban
umat Katolik. Bahkan tidak hanya pada hari Minggu, saat ini Gereja telah
mengupayakan agar umat Katolik merayakan Ekaristi lebih banyak dengan
mengadakan Ekaristi harian. Perayaan Ekaristi tidak hanya salah satu kebiasaan,
tetapi merupakan inti penghayatan iman dalam tradisi Katolik. Banyak umat
Katolik yang aktif dalam mengikuti perayaan Ekaristi, tidak terkecuali orang
muda. Namun banyak diantara orang muda Katolik belum memahami makna dan
konsekuensinya bagi hidup sebagai pribadi dan masyarakat. Tidak sedikit dari
dilaksanakan oleh umat Katolik. Ritus-ritus dalam Ekaristi yang tidak mereka
mengerti membuat Ekaristi yang mereka rayakan tidak menyentuh hati orang
muda. Orang muda belum mendapatkan pemahaman mengenai Ekaristi sebagai
tempat atau kesempatan mendapatkan pengalaman rohani dan menghidupi
persekutuan umat Allah.
Pemahaman yang sempit mengenai makna dan konsekuensi merayakan
Ekaristi bagi pribadi dan masyarakat berdampak pula pada eksistensi orang muda
dalam kehidupan sosial di tengah masyarakat. Seolah terdapat jurang yang
memisahkan antara Ekaristi dan kehidupan sosial masyarakat. Perayaan Ekaristi
terkesan berhenti hanya pada ritual atau tindakan kesalehan yang tidak
berhubungan dengan realitas hidup sosial masyarakat. Pemahaman ini akan
menjebak orang dan membuat relasi yang dibangun dengan Allah akan mudah
memudar dan kering, sebab tidak ada tindakan kasih sebagai wujud nyata dari
penghayatan iman akan Allah.
Iman yang mudah layu dan kering membuat orang muda mudah merasa
tidak mampu, merasa sendiri, mudah putus asa ketika menghadapi permasalahan
hidup, bahkan dengan mudah memalingkan diri dari pada-Nya. Selain itu sikap
apatis terhadap permasalahan sosial di tengah masyarakat juga mengindikasikan
bahwa Ekaristi yang dirayakan hanya sebatas kewajiban dan tindakan kesalehan
religius belaka. Pola pikir orang muda yang masih cenderung individualisme.
Segala sesuatu yang diperjuangkan demi kebahagiaan, kepuasan, kesenangan dan
kebutuhan diri sendiri. Merasa diri masih muda dan memang saatnya untuk
mengusahakan dengan cara mengorbankan orang lain yang seharusnya lebih
membutuhkan bantuan. Mendahulukan kepentingan pribadi dengan tidak
memperdulikan sesama di sekitar yang saat itu membutuhkan bantuan adalah
salah satu tindakan mengorbankan orang lain demi kepuasan pribadi. Memilih
untuk berada di zona nyaman dengan berdiam diri di rumah atau kumpul bersama
teman-teman dibandingkan ikut kegiatan gotong royong bersama warga
masyarakat, membantu orang yang sedang mengalami kemalangan dalam bentuk
apapun. Sikap seperti ini menegaskan bahwa makna perayaan Ekaristi tidak
mengaliri lini kehidupan yang merayakannya.
Perayaan Ekaristi dan realitas kehidupan sosial memiliki keterkaitan satu
sama lain untuk saling melengkapi. Terdapat ungkapan yang menyatakan bahwa
Ekaristi merupakan perjamuan kehidupan, dengan pemahaman Ekaristi
merupakan janji yang hidup akan kepenuhan Kerajaan Allah. Umat yang
merayakan Ekaristi harus terlibat dalam realitas kehidupan sebagai seorang yang
telah ditebus dengan perhatian dan kasih sebagaimana yang telah ditunjukkan oleh
Yesus Kristus. Mereka yang menerima Tubuh Kristus dalam Ekaristi semakin
dikuatkan, diteguhkan dan didorong untuk berjuang menyembuhkan dunia, dan
memulihkan relasi yang terputus antar manusia dengan Allah serta menumbuhkan
semangat untuk berbagi terutama bagi sesama yang membutuhkan (Krispurwana
Cahyadi, 2012: 117).
Perjumpaan dengan Tuhan dalam perayaan Ekaristi semakin mendorong
dan membawa umat untuk terlibat ke dalam pelayanan kepada sesama di sekitar.
Allah kepada sesama yang telah dialami lebih dulu. Dalam ungkapan lain kasih
Allah yang dibagikan kepada sesama didasari oleh kasih Allah yang telah dialami
sebelumnya. Kasih Allah akan mungkin dibagikan, apabila seseorang telah
mengalaminya.
Ekaristi dikatakan sebagai sumber dan puncak hidup umat beriman (LG
11). Dalam Sakramen Tuhan hadir dan berkarya secara nyata, maka dikatakan
Ekaristi sebagai puncak misteri keselamatan. Pengalaman Ekaristi sebagai sumber
dan puncak hidup akan dialami secara nyata dalam hidup sehari- hari melalui
kasih yang diterima dari Allah dan dibagikan kepada sesama di sekitar terkhusus
mereka yang sangat membutuhkan. Pandangan Ekaristi yang hanya terbatas pada
ritual kesalehan akan cenderung mengarah pada sikap kaku, tertutup, beku,
sehingga perayaan Ekaristi menjadi kering dan mati. Hal ini bertentangan dengan
kenyataan bahwa Ekaristi merupakan perayaan yang hidup dan ungkapan kasih
yang tergambar nyata dalam pengorbanan diri Yesus (Yoh 15:13). Melalui
peristiwa tersebut tersirat perintah untuk saling mengasihi dan tindakan inilah
yang menjadi identitas kuat sebagai pengikut atau murid-murid Kristus (Yoh 13:
34-35). Bertentangan dengan pernyataan ini, merayakan Ekaristi dengan hanya
terjebak pada tindakan kesalehan yang kaku, kering dan hanya terpusat pada
aturan, maka kasih akan sulit untuk dirasakan.
Gereja dalam perkembangan dan proses memperbaharui diri telah
mengupayakan agar umat semakin terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi.
Keterlibatan secara aktif yang dimaksud tidak hanya sebatas pada saat perayaan
permasalahan sosial yang sedang terjadi. Melalui perayaan Ekaristi mereka
membiarkan diri untuk diajar oleh Sabda Allah, disegarkan oleh Tubuh Kristus
dan bersyukur kepada Allah. Selain itu berdasarkan persembahan Hosti melalui
tangan imam, umat diminta untuk terus berusaha mempersembahkan diri dari
waktu ke waktu. Berkat dari Allah yang diterima melalui Ekaristi semakin
menyatukan umat dengan-Nya dan dengan sesama, sehingga pada akhirnya Allah
merajai seluruh kehidupan.
Paus Fransiskus dalam Seruan Apostolik tentang Sukacita Injili (EG art.
183), menegaskan bahwa, “iman sejati tidak pernah nyaman atau tidak
sepenuhnya individual- selalu melibatkan hasrat mendalam untuk mengubah
dunia, meneruskan nilai-nilai, meninggalkan dunia ini agar lebih baik dari pada
ketika kita temukan”. Pernyataan ini mempunyai makna yang sangat mendalam
dan tidak mudah untuk dilakukan. Seseorang yang memiliki iman tidak akan
bersikap apatis dan lebih mementingkan diri sendiri dibandingkan kepentingan
orang lain, terlebih bagi mereka yang membutuhkan. Iman mendalam membuat
seseorang tidak akan pernah tidur dengan lelap, tertawa lepas dan merasa nyaman
ketika mengetahui sesama mengalami kesulitan dan kemalangan. Umat Kristiani
yang tidak perduli terhadap permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat akan
menuai pertanyaan mendalam terkait perayaan Ekaristi yang selalu dirayakannya.
Sebagaimana telah dinyatakan bahwa seluruh umat Kristiani dipanggil untuk
menjadi alat dan sarana bagi Allah untuk membantu orang miskin keluar dari
penderitaan dan kesulitan yang mereka alami, sehingga mereka dapat menjadi
memperlihatkan bahwa Bapa memberikan perhatiannya secara khusus terhadap
bangsa Israel yang saat itu berada dibawah jajahan Mesir. Bapa setia mendengar
dan melepaskan mereka dari penderitaan dengan mengutus nabi Musa untuk
membawa orang Israel keluar dari Mesir (Keluaran 3:7-8, 10). Dalam Kitab
Ulangan 15:9, dikatakan bahwa umat Kristiani merupakan sarana bagi Allah
untuk membantu sesama di sekitar untuk bangkit dari penderitaan yang mereka
alami. Namun jika justru sikap apatis yang ditunjukkan, hal ini berarti
penentangan akan kehendak dan rencana Allah, sehingga doa dari mereka yang
menderita akan menjadi dosa bagi siapapun yang bersikap demikian (EG art.
187). Bertolak dari pemahaman inilah Gereja hadir untuk dapat mendengar dan
membebaskan sesama di sekitar yang mengalami kesusahan dengan mengerahkan
seluruh tenaga dan apapun yang dapat dilakukan untuk membantu mereka.
Pernyataan ini berasal dari perintah Yesus bagi para murid-Nya, (Markus 6:37).
Dimana para murid diperintahkan oleh Yesus untuk bekerjasama dalam
menumpas kemiskinan yang disebabkan oleh pribadi maupun kelompok atau
golongan tertentu (EG art 188).
Di zaman ini kata solidaritas seolah semakin memudar dan sangat
jarang terdengar, terkhusus di kalangan orang muda. Sebagian besar dari
mereka lebih mementingkan kepentingan pribadi dibandingkan membantu
sesama di sekitar yang membutuhkan. Sebagaimana diketahui bahwa umat
Kristiani merupakan sarana bagi Allah untuk membantu sesama di sekitar
bangkit dari keterpurukan dan penderitaan yang dialaminya. Bertolak dari
belum memahami keterkaitan antara Ekaristi dan realitas kehidupan sosial di
tengah masyarakat serta belum memahami cara untuk mewujudkan secara
nyata makna rohani yang mereka temukan setelah merayakan Ekaristi dalam
hidup sehari-hari. Dimana jika seseorang merayakan Ekaristi akan
mewujudnyatakan buah-buah rohani yang didapat melalui perayaan Ekaristi
dalam kehidupan nyata. Dalam hal ini Gereja perlu menyadari pentingnya
pendampingan untuk orang muda, demi meningkatkan pemahaman terkait
makna perayaan Ekaristi serta ruang yang dapat mereka gunakan untuk
mengaktualisasikan kehadiran mereka sebagai orang muda Katolik di tengah
masyarakat. Orang muda Katolik bukan hanya generasi penerus tetapi juga
merupakan gambaran eksistensi Gereja di masa mendatang. Wajah Gereja di
masa mendatang akan terlihat dari kualitas hidup iman orang muda saat ini.
Identitas Gereja di masa mendatang akan banyak dipengaruhi oleh eksistensi
orang muda di tengah masyarakat. Jika eksistensi orang muda dalam hal
positif, maka Gereja yang dikenal pun demikian.
Begitu pula sebaliknya, eksistensi negatif yang ditampakkan orang muda akan
menodai wajah Gereja yang sejatinya adalah Kudus.
Berdasarkan kenyataan ini, penulis akan mengamati, menganalisis dan
mengkaji sejauh mana orang muda di Stasi St. Stefanus Datah Bilang Ilir,
Kalimantan Timur memahami pengertian makna dan konsekuensi merayakan
Ekaristi dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat.
Judul tulisan yang akan diangkat oleh penulis yaitu : PERANAN EKARISTI
MENANGGAPI PERMASALAHAN SOSIAL MASYARAKAT DI
STASI SANTO STEVANUS DATAH BILANG ILIR KALIMANTAN
TIMUR.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka
masalah-masalah yang akan diamati, dianalisis dan dikaji dirumuskan dalam
bentuk pertanyaan sebagai berikut:
1. Apa pengertian dan makna Ekaristi bagi orang muda Katolik Stasi Santo
Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur?
2. Apa bentuk keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi
permasalahan sosial masyarakat?
3. Sejauh mana pengaruh perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat di Stasi Santo
Stefanus Datah Bilang, Kalimantan timur?
C. Tujuan Penulisan
Skripsi ini ditulis dengan tujuan untuk memberi pemahaman lebih
mendalam kepada orang muda Katolik di Stasi Santo Stefanus Datah Bilang,
Kalimantan timur, terkait pengertian dan makna. Dengan demikian tujuan
penulisan skripsi ini dirumuskan sebagai berikut :
1. Mengetahui pengertian dan makna Ekaristi bagi orang muda Katolik Stasi
2. Memahami bentuk keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi
permasalahan sosial masyarakat.
3. Mengetahui peranan perayaan Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat di Stasi Santo
Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan timur.
D. Manfaat Penulisan
1. Bagi penulis
1) Semakin memahami pengertian dan makna Ekaristi.
2) Memahami sejauh mana keterlibatan orang muda Katolik dalam
menanggapi permasalahan sosial masyarakat di Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur.
3)Mengetahui peranan perayaan Ekaristi terhadap sikap orang muda
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat di Stasi
Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur.
2. Bagi Orang Muda Katolik
1)Memberi pemahaman lebih mendalam terkait pengertian dan makna
Ekaristi.
2)Memotivasi untuk menanggapi permasalahan sosial yang terjadi di
masyarakat.
3. Pastor Paroki
1)Membantu dalam memberikan pemahaman bagi orang muda Katolik
2)Membantu untuk mengaktifkan orang muda Katolik dalam kegiatan
menggereja dan menanggapi permasalahan sosial yang terjadi di tengah
masyarakat.
4. Bagi Orangtua
1) Membantu orang muda Katolik dalam memperkembangkan iman dan
melatih kepekaan untuk membantu sesama yang membutuhkan di
tengah masyarakat.
E. Metode Penulisan
Penulisan skripsi ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu
dengan menjelaskan pengertian dan makna Ekaristi, pemahaman terkait
keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial
masyarakat. Selanjutnya penulis melakukan penelitian dengan menggunakan
metode kualitatif yang berupa data deskriptif berbentuk tulisan dan perilaku
orang-orang yang diamati dari individu, kelompok, masyarakat dan organisasi
dalam situasi tertentu yang dikaji melalui sudut pandang utuh, komprehensif
dan holistik. Penelitian tersebut akan dilaksanakan di Stasi Santo Stefanus
Datah Bilang Kalimantan Timur. Instrumen yang digunakan yaitu kuesioner
dan sampel yang digunakan sebagai sumber data yaitu orang muda Katolik
Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Ilir Timur. Teknik
pengumpulan data dilakukan dengan observasi dan penyebaran kuesioner.
Tujuan dari penelitian ini untuk memberi pemahaman lebih mendalam kepada
timur, terkait pengertian dan makna Ekaristi, pemahaman keterlibatan orang
muda Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat dan
mengetahui sejauh mana pengaruh Ekaristi terhadap keterlibatan orang muda
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat. Kemudian hasil
penelitian dianalisis dan dijelaskan, sehingga pada akhirnya penulis
memberikan sumbangan pemikiran berdasarkan hasil pustaka dan penelitian
dengan harapan agar memberi manfaat untuk membantu orang muda Katolik
agar semakin terlibat aktif dalam perayaan Ekaristi dan khususnya dalam
menanggapi permasalahan sosial masyarakat.
F. Sistematika Penulisan
Pada Bab I, penulis menguraikan mengenai latar belakang penelitian,
rumusan masalah, tujuan penulisan, manfaat penulisan, metode penulisan dan
sistematika penulisan sebagai pertimbangan pentingnya melakukan penelitian
ini.
Bab II, penulis memberikan gambaran ideal dengan menjelaskan teori
dan hal ihwal mengenai pengertian dan makna Ekaristi serta memberi
pemahaman terkait keterlibatan orang muda Katolik dalam menanggapi
permasalahan sosial masyarakat.
Bab III, penulis menggambarkan keadaan faktual dengan
memperkenalkan keadaan Stasi Santo Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan
Timur, meneliti sejauh mana orang muda Katolik terlibat dalam perayaan
Katolik dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat, selanjutnya akan
penulis paparkan hasil analisis dan penjelasannya.
Bab IV, penulis memberikan sumbangan pemikiran sebagai usaha
untuk semakin meningkatkan keterlibatan orang muda Katolik dalam perayaan
Ekaristi dan dalam menanggapi permasalahan sosial masyarakat. Adapun
sumbangan pemikiran yang penulis berikan berupa:
1. Perayaan Ekaristi yang dikemas oleh orang muda Katolik di Stasi Santo
Stefanus Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur.
2. Bakti sosial dalam rangka menanggapi permasalahan sosial masyarakat
Datah Bilang Ilir Kalimantan Timur.
Bab V, merupakan bagian akhir penulisan skripsi yang berisikan saran
dan kesimpulan. Kesimpulan ditulis dengan tujuan menjawab rumusan
masalah dan tujuan penulisan skripsi yang dikuatkan oleh hasil penelitian.
Penulisan memberikan saran bagi orang muda Katolik, Pastor Paroki dan
BAB II
KAJIAN TEORI TENTANG EKARISTI, KETERLIBATAN
ORANG MUDA KATOLIK DAN BENTUK-BENTUK
PERMASALAHAN SOAIAL
Umat diharapkan memiliki pemahaman mendalam mengenai keterkaitan
antara merayakan Ekaristi dan permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat.
Namun pada kenyataannya hal tersebut masih sangat minim dipahami atau bahkan
belum diketahui oleh umat, terkhusus bagi orang muda Katolik. Pernyataan ini
didukung dengan masih banyaknya orang muda Katolik yang apatis terhadap
permasalahan sosial yang terjadi di masyarakat. Padahal setiap Minggu mereka
terlibat aktif dalam merayakan Ekaristi. Seringkali sebagai umat Katolik terjebak
pada kewajiban untuk merayakan Ekaristi dan mengedepankan kesalehan semata
yang tanpa disadari telah menjauhkannya dari kenyataan hidup yang saat ini
sedang terjadi di sekitarnya. Maka pada bab ini penulis akan memaparkan tentang
pengertian dan makna Sakramen, pengertian dan makna Ekaristi, keterlibatan
orang muda Katolik, orang muda, orang muda Katolik dan permasalahan sosial
A. Sakramen Ekaristi
1. Pengertian dan Makna Sakramen
a. Pengertian Sakramen
Dalam bukunya tentang Sakramen-Sakramen Gereja, Martasudjita (2003:
61) menerangkan tentang pengertian sakramen sebagai berikut. Sakramen yang
dikenal dalam bahasa Indonesia merupakan kata yang berasal dari bahasa Latin,
yaitu sacramentum. Kata dasar dari sacramentum ialah sacr, sacer yang berarti
kudus, suci, lingkungan orang kudus atau berkaitan dengan sesuatu yang bersifat
suci. Kata sacrare yang berasal dari bahasa Latin memiliki arti menyucikan,
menguduskan dan mengkhususkan seseorang atau sesuatu untuk melakukan
hal-hal yang suci atau kudus. Kata sacramentum memperlihatkan tindakan penyucian
atau pengudusan. Pada zaman Romawi kuno terdapat dua pengertian terkait
sacramentum. Pertama, sacramentum digunakan dalam sumpah prajurit untuk
menyatakan kesediaan mengabdikan diri atau menguduskan diri bagi dewata dan
Negara. Kedua, sacramentum terarah pada uang jaminan atau denda yang ditaruh
dalam kuil dewa oleh orang atau pihak-pihak yang memiliki perkara dalam
pengadilan. Kata sacramentum dari bahasa Latin ini digunakan oleh orang Kristen
pada abad II untuk menerjemahkan kata mysterion dari bahasa Yunani yang
terdapat dalam Kitab Suci.
Pemahaman mengenai definisi Sakramen dijelaskan dengan lebih
sederhana dalam diktat “Pegangan Kuliah Sakramentologi” yang dibuat oleh M.
Purwatma Pr dan Ignasius Madya Utama, SJ bagi Mahasiswa IPPAK (2015: 1).
mendatangkan rahmat.” Bertolak dari definisi ini dapat dipahami bahwa
Sakramen bukan hanya sekedar tanda, tetapi menyangkut hubungan manusia
dengan Allah. Dengan demikian Sakramen merupakan tanda-tanda yang
mengungkapkan dan menghadirkan karya Allah bagi manusia. Misalnya melalui
Sakramen Baptis, rahmat Allah ditandakan dan dihadirkan. Maka dengan dibaptis
seseorang diterima menjadi anak Allah. Dengan demikian Baptisan dipahami
sebagai sebagai sarana untuk menerima rahmat Allah. Selain itu Sakramen
diartikan sebagai tanda keselamatan. Tanda atau simbol dibedakan dalam dua
jenis yaitu, simbol ekspresif dan simbol representatif. Simbol ekspresif artinya
mengungkapkan pengalaman pribadi seseorang dengan yang transenden.
Sedangkan simbol representatif maksudnya menunjuk dan menghadirkan realitas
yang melampaui hal biasa dan hanya tergambar melalui simbol tersebut.
Berkaitan dengan Sakramen simbol ekspresif dan sekaligus representatif, karena
melalui Sakramen Gereja merasakan Karya Allah dan juga mengungkapkan
pengalaman iman akan Karya Keselamatan Allah yang tergambar nyata dalam diri
Yesus Kristus. Maka Yesus disebut sebagai Sakramen pokok dan sebagai simbol
representatif karya Keselamatan Allah. Seluruh hidup Yesus menggambarkan
Karya Keselamatan Allah misalnya, Yesus menyembuhkan orang sakit, firman,
sengsara dan wafat-Nya. Selain itu Yesus juga merupakan simbol ekspresif
manusia kepada Allah yang juga adalah jalan bagi manusia menuju Allah.
Ketaatan dan penyerahan diri-Nya di kayu salib menjadi pembuka jalan bagi
Sakramen menurut Kitab Hukum Kanonik (1983: kan.840), merupakan
tanda dan sarana yang mengungkapkan dan menguatkan iman. Sakramen yang
diterima dalam perayaan Ekaristi memberikan kekuatan, menciptakan dan
memperkokoh persatuan umat. Umat Kristiani yang telah menerima Sakramen
berarti telah dipersatukan dalam Gereja, dalam persekutuan Roh Kudus serta umat
dipersatukan dengan Allah dalam kemuliaan-Nya.
Definisi selanjutnya dikemukakan dalam Iman Katolik (1996: 400) yang
menyatakan sakramen sebagai peristiwa konkret duniawi yang menandai,
menampakkan, melaksanakan atau menyampaikan keselamatan dari Allah atau
Allah yang menyelamatkan. Dengan Sakramen cinta Allah diperlihatkan secara
nyata melalui tanda-tanda badaniah. Maksudnya ritus-ritus yang dilaksanakan
sungguh dan penuh, sehingga dapat dirasakan. Misalnya dalam Sakramen
pembaptisan air benar-benar dirasakan, Sakramen pengurapan orang sakit harus
menggunakan minyak yang secara langsung dirasakan dan dalam Ekaristi hosti
yang dibagikan dan diterima harus tebal agar dapat dirasakan dengan jelas. Selain
itu penting disadari bahwa tindakan nyata manusia tersebut akan menjadi
Sakramen Kristiani yang sesungguhnya apabila disertai dengan perkataan.
Misalnya dalam Sakramen pembaptisan, tindakan manusia menuangkan air
dengan mengucapkan “Aku membaptis engkau dalam nama Bapa, Putra dan Roh
Kudus”. Dengan demikian tindakan dan perkataan secara bersamaan membentuk
tanda atau lambang penyelamatan Allah yang nyata dirasakan oleh jasmani.
Direktorium Kateketik Umum (1991: art. 56) memberi penjelasan
dasarnya merupakan pengungkapan kehendak Kristus yang berdaya guna.
Meskipun demikian dari pihak manusia harus memiliki keterbukaan hati untuk
menerima dan menjawab kasih Allah. Umat beriman yang layak menerima
Sakramen, apabila telah mempersiapkan hati dengan sungguh-sungguh. Sakramen
hendaknya ditampakkan selaras dengan hakikat dan tujuannya. Bukan hanya
sebagai sarana penyembuhan dari dosa dan akibatnya, tetapi juga sebagai sumber
rahmat untuk masing-masing individu maupun kelompok.
Berdasarkan uraian di atas penulis tertarik dengan pengertian Sakramen
sebagai tanda dan sarana untuk memperoleh keselamatan dari Allah. Sebagai
Sakramen Bapa, Yesus Kristus melalui Sabda dan Karya-Nya menghadirkan
Allah yang menyelamatkan bagi manusia. Bagi manusia Yesus merupakan
jembatan yang dapat menghubungkan kembali relasi dengan Allah. Saat ini Karya
Keselamatan Allah yang diwujudkan oleh Kristus diteruskan oleh Gereja dengan
menawarkan keselamatan kepada semua orang. Dengan demikian Gereja juga
merupakan tanda dan sarana yang menghasilkan rahmat. Senada dengan
pernyataan Konsili Vatikan II yang menyebutkan Gereja dalam Kristus bagaikan
Sakramen, yaitu tanda dan sarana persatuan mesra dengan Allah serta kesatuan
dengan seluruh umat (LG 1).
b. Makna Sakramen
Kata Sacramentum oleh orang Kristiani pada abad II digunakan untuk
menterjemahkan kata Yunani mysterion yang terdapat dalam Kitab Suci. Kata
Yang Ilahi. Kitab Suci Perjanjian Lama memaknai kata mysterion sebagai suatu
dinamik Allah yang menyatakan atau merencanakan karya penyelamatan bagi
manusia. Sedangkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Mysterion dipahami
sebagai Allah menyatakan diri dan rencana penyelamatan-Nya yang terlaksana
secara nyata dalam diri Yesus Kristus. Maka Sacramentum yang berakar dari kata
Mysterion berarti rencana keselamatan Allah yang terwujud dan terlaksana dalam
sejarah dan memuncak dalam diri Yesus Kristus (bdk. Ef 1:9-10; 3:9; Kol 1:26;
Rom 16:25-26). Dengan demikian kata Sakramen digunakan untuk
menterjemahkan kata myterion yang memiliki dua ciri pokok. Pertama, mysterion
yang dimaksud menunjuk pada kekuatan dinamik dengan yang Ilahi (tidak
kelihatan) dan pelaksanaan dalam sejarah yang manusiawi (kelihatan). Kedua,
mysterion merupakan sejarah penyelamatan Allah yang terlaksana dan terwujud
dalam diri Yesus Kristus (Martasudjita, 2003: 61-64).
Sakramen dalam Perjanjian Baru yang diadakan oleh Kristus sendiri,
selanjutnya dipercayakan kepada Gereja untuk menampakkan perbuatan Kristus
dan Gereja, yang juga merupakan tanda dan sarana untuk mengungkapkan serta
menguatkan iman, mempersembahkan penghormatan kepada Allah dan membawa
berkat kekudusan bagi manusia. Selain itu membantu untuk menciptakan,
memperkembangkan dan mempersatukan Gereja dengan Kristus. Maka umat
beriman Kristiani wajib merayakan-Nya dengan kesungguhan hati dan khidmat.
Sebagai Gereja umat beriman selayaknya menunjukkan sikap yang mencerminkan
sehingga siapapun yang berinteraksi dengannya dapat melihat sifat Allah yang
memberi kesejukan, kedamaian dan keselamatan (KHK, 1995: 840).
2. Pengertian dan Makna Ekaristi
a. Pengertian Ekaristi
Ekaristi berakar dari bahasa Yunani eucharistia yang mengandung arti
puji syukur. Sedangkan dalam bahasa Yahudi disebut berkat yang artinya doa puji
syukur dan permohonan atas karya penyelamatan Allah. Istilah perayaan Ekaristi
dipandang sebagai kata yang sangat tepat untuk digunakan, mengingat makna
dasar dari kata tersebut yaitu puji dan syukur atas karya penyelamatan Allah
melalui Yesus Kristus. Dengan demikian sebelum merayakan Ekaristi, seharusnya
memahami esensi dari perayaan tersebut agar dapat memberi perubahan dalam
hidup (Martasudjita, 2003: 269).
Penulis berpandangan bahwa suatu keharusan bagi umat beriman
Kristiani untuk mensyukuri segala kelimpahan dan pengalaman yang dirasakan
dalam hidup meskipun sederhana. Selanjutnya memohon dalam penyerahan diri
yang total agar Karya Penyelamatan Allah dirasakan secara nyata dalam setiap
dinamika kehidupan. Syukur juga dapat diartikan sebagai pengenangan akan
peristiwa yang disyukuri tersebut. Mengenang tidak hanya terbatas batas
mengingat kembali tetapi juga menghidupkan dan melanjutkan karya
penyelamatan Allah dengan tidak acuh terhadap sesama yang sedang dalam
kesulitan. Singkatnya perayaan Ekaristi yang dirayakan tidak hanya dinilai dari
Dalam buku Martasudjita yang berjudul “Sakramen-Sakramen Gereja”
(2003: 269-272) dijelaskan bahwa pada zaman Gereja perdana, perayaan Ekaristi
ditempatkan sebagai pusat dan puncak hidup umat beriman (Kis 2:42.44-47).
Ketekunan jemaat pada masa itu mendengarkan pengajaran para rasul dan hidup
dalam persekutuan untuk berdoa di Bait Allah, selanjutnya berdoa di rumah
masing-masing secara bergiliran untuk makan roti bersama. Pada awalnya jemaat
memahami bahwa mereka sama dengan jemaat Yahudi, sehingga mereka pun
masih berdoa di Bait Allah. Namun kemudian menyadari dan memahami bahwa
ternyata mereka berbeda karena dasar iman akan Yesus Kristus. Menyusul
selanjutnya penganiayaan yang dilakukan oleh orang Yahudi kepada jemaat
Kristen, yang semakin memperkeruh keadaan dan mendorong mereka untuk
memisahkan diri dari tradisi Yahudi. Sejak saat itu perayaan Ekaristi dirayakan
dengan tradisi Kristiani dan bukan tradisi Yahudi. Dengan demikian semakin jelas
bahwa Ekaristi menjadi pusat dan pemersatu umat beriman. Gereja meyakini
bahwa perayaan Ekaristi bukan dilaksanakan berdasarkan inisiatif dan kemauan
sendiri, tetapi merupakan perintah Yesus Kristus yang tergambar nyata dalam
Perjamuan Malam Terakhir (Luk 22:19; 1Kor 11:24). Meskipun Ekaristi
merupakan tradisi khas Kristiani, namun dasarnya adalah dari tradisi keagamaan
Yahudi. Perbedaan yang mendasar yaitu kaitannya iman akan Yesus Kristus.
Namun demikian pemahaman Ekaristi perlu dibingkai dalam keseluruhan konteks
hidup dan pewartaan Yesus selama hidup-Nya yang dibahas dalam tiga dasar,
1) Perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa
Perjamuan makan Yesus dengan orang-orang berdosa memiliki kaitan erat
dengan Kerajaan Allah yang diwartakan-Nya. Allah yang berbelas kasih
ditampakkan dalam perjamuan makan ini, dengan mengundang orang-orang
berdosa untuk masuk dalam persaudaraan dan persekutuan bersama-Nya (Mrk
2:16-17; Mat 9:10-13; Luk 5:29-32). Melalui Yesus Allah menampakkan pribadi
yang penuh kasih kepada semua orang terutama kepada mereka yang dipandang
hina atau tidak layak.
2) Perjamuan Malam Terakhir Yesus dengan para murid (Mrk 14:22-25;Mat
26:26-29; Luk 22:15-20; dan 1Kor 11:23-26)
Perjamuan Malam Terakhir merupakan momen pokok atau penting yang
diadakan oleh Yesus sebagai perjamuan perpisahan dengan para murid sebelum
sengsara dan wafat-Nya di kayu salib. Melalui perjamuan malam terakhir Yesus
menjelaskan sengsara dan wafat di kayu salib sebagai penyerahan diri-Nya secara
total demi Karya Penyelamatan manusia. Perjamuan malam terakhir bukan
Ekaristi pertama yang dirayakan tetapi menjadi saat penetapan bagi perayaan
Ekaristi. Pada Malam Terakhir Yesus memerintah agar momen ini dirayakan
kembali sebagai bentuk pengenangan akan Dia (Luk 22:19; 1Kor 11:24).
3) Perjamuan makan dengan Yesus yang bangkit (Luk 24:13-35)
Setelah sengsara dan wafat-Nya di kayu salib Yesus mengadakan kembali
perjamuan makan dengan para murid. Gambaran kedua murid Yesus yang pergi
ke Emaus (Luk 24), menjadi peristiwa nyata sebagai perayaan Ekaristi yang
kebersamaan dengan Yesus memberi kekuatan dan semangat baru bagi para murid
untuk melanjutkan Karya Keselamatan yang telah dimulai oleh Yesus Kristus.
Pemahaman terkait Ekaristi diuraikan dengan sederhana dalam
Prasetyantha (2008: 82-83) bertolak dari kanon 897-898 tentang perayaan
Ekaristi. Uraian tentang Ekaristi dibahas dalam tiga aspek yaitu, aspek Teologis,
Yuridis dan Pastoral.
1) Aspek Teologis
Pada aspek teologis Ekaristi dipandang sebagai puncak dan pusat hidup
umat Kristiani Gereja universal maupun lokal. Dengan demikian
sakramen-sakramen lain, tugas-tugas pelayanan gerejani dan karya kerasulan Gereja
mencapai puncaknya dalam Ekaristi. Melalui perayaan Ekaristi Kristus memberi
daya kehidupan dan memperbaharui serta menguduskan iman umat kristiani (PO
5). Maka Ekaristi merupakan tindakan Gereja dan juga tindakan Kristus. Kurban,
pengenangan dan perjamuan merupakan gambaran tindakan Kristus dalam
Ekaristi. Perayaan Ekaristi secara nyata menampilkan pengenangan akan Karya
Keselamatan Kristus bagi manusia. Selain itu melalui perayaan Ekaristi umat
Kristiani dipersatukan sebagai umat Allah, untuk bersama-sama melaksanakan
perintah Yesus dengan melaksanakan Perjamuan Kudus sebagai bentuk
pengenangan akan Karya Keselamatan-Nya. Singkatnya Ekaristi memiliki
peranan penting dalam perkembangan Gereja (bdk. LG 26). Dengan merayakan
Ekaristi umat Kristiani memperbaharui iman kepada Allah dan memperoleh
inspirasi rohani yang digunakan sebagai benteng pertahanan dalam menghadapi
2) Aspek Yuridis
Di dalam Gereja, Ekaristi merupakan susunan yang harus ada dan sangat
penting, karena Yesus Kristus sendiri telah lebih awal mengadakan kurban
Ekaristis yang merupakan Tubuh dan Darah-Nya.
Lalu mempercayakannya kepada Gereja untuk menghadirkan dan mengenangkan
kembali peristiwa penyelamatan-Nya di kayu salib. Gereja dan Ekaristi tidak
dapat dipisahkan karena, melalui Ekaristi Gereja mengungkapkan iman-Nya
secara total. Selain itu melalui Ekaristi ini juga kesatuan Gereja dibangun dan
diperlihatkan. Maka dengan keterlibatan dalam perayaan Ekaristi berarti telah
terlibat dalam komunitas Gereja seluruhnya. Dikatakan sebagai tindakan Yuridis
karena selain memperlihatkan kesatuan dengan Kristus, Ekaristi juga
mengungkapkan kesatuan dengan seluruh umat beriman. Karya Keselamatan
Kristus menjadi kerangka dasar agar hukum kanonik dapat dipergunakan
(Prasetyantha, 2008: 82-83)
3) Aspek Pastoral (kan 898)
Umat beriman dan para gembala wajib untuk menjalankan kewajibannya
untuk menunjukkan rasa hormat terhadap Ekaristi Mahakudus dan terhadap
perayaan Ekaristi yang Kudus ini. Rasa hormat dapat ditunjukkan dengan cara
berpartisipasi secara aktif dalam perayaan Ekaristi, menyambut Tubuh dan Darah
Kristus secara terus-menerus dengan bersembah sujud menghormati-Nya.
Kewajiban ini merupakan konsekuensi dari Ekaristi yang dipahami sebagai
puncak dan pusat hidup seluruh umat beriman Kristiani. Dengan demikian
gembala umat terkait pengertian dan makna Ekaristi, serta penerapannya dalam
hidup sehari-hari (Prasetyantha, 2008: 83).
Definisi Ekaristi dalam Kompendium Ketekismus Gereja Katolik
merupakan perayaan kurban Tubuh dan Darah Yesus Kristus yang ditetapkan
oleh-Nya, dengan tujuan agar peristiwa pengorbanan-Nya di kayu salib tetap
abadi dan selalu dikenang sampai pada saat waktu kedatangan-Nya untuk kedua
kalinya dalam Kemuliaan. Pesan ini diserahkan dan dipercayakan pada Gereja
untuk kembali menghadirkan dan mengenangkan kembali peristiwa wafat dan
kebangkitan-Nya. Mengenang tidak terbatas hanya ketika merayakan Ekaristi atau
hanya sebatas mengingat peristiwa tersebut, tetapi disatukan dengan pergulatan
hidup sehari-hari serta menerapkannya dalam tindakan. Sakramen Ekaristi adalah
lambang kesatuan, ikatan cinta kasih, perjamuan Paskah, penerimaan Kristus
hingga dipenuhi rahmat dan jaminan kehidupan kekal bersama-Nya. Melalui
Ekaristi umat beriman disatukan dengan bersama-sama menyantap Tubuh dan
Darah-Nya, ikatan cinta kasih antar umat beriman Kristiani yang telah disatukan,
bersama merayakan perjamuan Paskah yang menjadi tradisi khas Kristiani dan
jaminan kebangkitan setelah kematian dari Yesus Kristus yang telah lebih dulu
bangkit (KKGK, 2009, kan. 271).
Pemahaman mengenai Ekaristi selanjutnya dalam diktat “Pegangan Kuliah
Sakramentologi” dijelaskan bahwa Ekaristi merupakan perayaan Iman, dengan
maksud dalam perayaan Ekaristi umat beriman mengungkapkan imannya akan
Karya Penyelamatan Allah yang terlaksana secara nyata oleh Yesus Kristus.
Ekaristi. Liturgi Ekaristi terdapat dua unsur yaitu, perayaan syukur dan
perjamuan. Rasa syukur karena kebaikan Allah diungkapkan dalam bentuk
perjamuan. Rasa syukur juga dapat diartikan sebagai pengenangan kembali akan
peristiwa yang disyukuri.
Ungkapan syukur dalam bentuk perjamuan merupakan tradisi yang tidak asing
lagi dalam masyarakat. Melalui perjamuan rasa syukur dapat dibagikan dengan
sesama sehingga persekutuan dan persaudaraan semakin terjalin dengan erat
(BPK. Sakramentologi, 2015: 20).
Menurut Soetomo (2002: 9) dalam tulisannya yang berjudul “Ekaristi dan
Pembebasan”, memaparkan Ekaristi sebagai Ibadat dan sekaligus aksi. Ekaristi
tidak hanya terbatas dan berhenti pada perayaan, tetapi juga sebagai tindakan
nyata umat beriman yang diungkapkan dalam peribadatan. Aksi nyata dalam
perayaan Ekaristi terbagi dalam dua arah, yaitu kepada Allah dan kepada sesama.
Aksi kepada Allah dalam perayaan Ekaristi terungkap dalam pujian, doa Tobat
dan doa ucapan syukur. Sedangkan aksi terhadap sesama tampak dalam tindakan
pemberian ucapan selamat, pembacaan Sabda, khotbah dan berkat. Seluruh
tindakan yang dilakukan dalam perayaan Liturgi tidak terlepas dari tindakan Allah
sendiri yang hadir melalaui seluruh umat beriman yang terlibat dalamnya.
Perkembangan Gereja perdana, memberi sumbangan baru terkait pemahaman
Ekaristi sebagai Ibadat sekaligus pewartaan.
Senada dengan pernyataan di atas T. Krispurwana Cahyadi
(2012:118-119) dalam buku “Roti Hidup”, menguraikan bahwa Ekaristi adalah perayaan
tatapan perkembangan peradaban serta sumber kehidupan sejati. Merayakan
Ekaristi tidak semata-mata mengembangkan iman secara pribadi tetapi juga
membangun kepedulian terhadap kehidupan bersama Oleh sebab itu Ekaristi
berkaitan erat dengan semangat berbagi agar makna dan buah-buah rohani dapat
terwujud secara nyata. Iman yang dirayakan dalam Ekaristi diharapkan dapat
berbuah semangat berbagi, maka dengan demikian sebagai pribadi maupun
kelompok umat beriman telah melayani Allah. Jika Ekaristi hanya dipandang
sebagai peristiwa penebusan bagi masing-masing pribadi, maka akan sulit untuk
menghidupi sikap peduli dan saling berbagi dengan sesama. Pernyataan ini sangat
relevan di zaman sekarang, banyak orang ingin sesuatu yang serba cepat dan
praktis. Keberadaan mereka pada suatu tempat hanya terpusat pada “makanan”
dan tidak pada kebersamaan. Situasi kegembiraan dan percakapan tidak terlihat
diantara mereka, justru sebaliknya setelah menerima pesanan berniat untuk segera
menghabiskannya dan selanjutnya beranjak pergi untuk aktivitas lain. Segala
sesuatu dipusatkan pada diri sendiri, kebutuhan diri dan ingin serba cepat serta
praktis tanpa meluangkan waktu untuk aspek kebersamaan. Hal ini tentu jauh
berbeda dari zaman dahulu, dimana budaya makan bersama merupakan kegiatan
penting, tempat orang-orang saling bercakap, berbagi dan bergembira bersama.
Oleh sebab itu kata Komunitas (compania) berkaitan erat dengan makan bersama
(cum+panis). Mengaitkannya dengan Perjamuan Ekaristi, dapat pula dipandang
sebagai tempat “pemberhentian” dari berbagai kesibukan pekerjaan. Pemahaman
kebersamaan. Jika demikian tentu tidak mungkin rahmat dan buah Ekaristi dapat
dirasakan, terlebih lagi semangat untuk saling berbagi.
Dalam Direktorium Kateketik Umum Ekaristi dipandang sebagai pusat dari
seluruh kehidupan Sakramental. Sakramen Ekaristi memegang peranan penting
dalam perkembangan Gereja (LG 11).
Kata yang diucapkan imam dalam konsekrasi akan mengubah roti dan anggur
menjadi Tubuh dan Darah Kristus. Perubahan ini disebut oleh Gereja sebagai
transubstansi. Demikian pula dengan kemanusiaan Yesus yang tidak hanya
karena kuasa-Nya, tetapi karena diri sendiri yang telah dipersatukan dengan
Pribadi Ilahi secara tersembunyi dan rahasia. Perayaan Ekaristi tidak hanya
upacara pengenangan akan Karya Keselamatan Kristus, tetapi melalui imam
Ekaristi dipertahankan sebagai kurban salib dengan tidak berdarah sepanjang
masa (SC 47). Perayaan Ekaristi sebagai peristiwa pemberian diri Yesus secara
utuh kepada manusia. Maka Yesus Kristus disebut sebagai roti hidup yang dijiwai
oleh cinta terhadap Allah dan sesama, sehingga umat beriman semakin menjadi
umat yang berkenan dihadapan Allah. pada dasarnya Ekaristi bertujuan membantu
umat untuk mempersatukan mereka dengan Allah melalui doa yang
sungguh-sungguh. Dengan demikian umat beriman saling mengenal dan mencintai sesama
sebagai saudara dalam Kristus. Mengenal tidak hanya mengetahui nama, tempat
tinggal dan profesi, tetapi lebih mendalam yaitu mengenal seluruh pergulatan
hidup dan mengetahui permasalahan yang sedang dialami sesama terutama
masalah yang berpotensi menghambat perkembangan iman. Saudara berarti rela
permasalahan yang sedang dialami, serta memberikan seluruh kemampuan yang
dimiliki demi membantu sesama yang sedang mengalami kesusahan (Direktorium
Kateketik Umum, 1990: 58).
Kitab Hukum Kanonik mengemukakan bahwa Ekaristi merupakan
Sakramen yang paling luhur, karena dalam perayaan ini Kristus dihadirkan,
dikurbankan dan disantap. Ekaristi merupakan pengenangan akan wafat dan
kebangkitan Yesus Kristus. Melalui Ekaristi peristiwa penyelamatan Kristus
diabadikan, dengan demikian Ekaristi menjadi puncak seluruh peribadatan dan
kehidupan Kristiani. Selain itu, Ekaristi juga sebagai sumber yang menandakan
dan menghasilkan kesatuan umat Allah serta menyempurnakan pembangunan
Tubuh Kristus. Sakramen-Sakramen lain dan karya kerasulan gerejawi memiliki
kaitan yang dekat dengan Ekaristi serta semuanya diarahkan kepadanya. Secara
manusiawi menyantap Tubuh dan Darah Kristus terdengar tidak masuk akal.
Bagaimana mungkin manusia memakan manusia lainnya. Namun demikian bukan
itu yang dimaksud, tetapi lebih pada peristiwa pengorbanan Kristus dalam
sengsara dan wafat-Nya di salib demi menebus dosa manusia. Peristiwa ini yang
melambangkan penyerahan dan pemberian diri Yesus Kristus secara total demi
keselamatan manusia (KHK, 1995: 897, bdk Dok. Konsili Vatikan II, 2004: 47).
Penjelasan mengenai pengertian Ekaristi telah diuraikan dengan sangat
jelas di atas, dalam hal ini penulis menangkap pengertian Ekaristi sebagai
perayaan kehidupan sebab dalam Ekaristi, dirayakan dan dikenangkan kembali
Karya Penyelamatan Kristus sebagai pusat dan puncak kehidupan umat beriman
lebih pada menghidupkan kembali peristiwa tersebut dalam tindakan nyata hidup
sehari-hari. Merayakan Ekaristi memberi dampak kesatuan antar umat dalam
Kristus dengan sama-sama menyantap Tubuh dan Darah-Nya. Makna kesatuan
berarti terdapat kepedulian, solidaritas dan rela berkorban sebagai bentuk nyata
dari rasa tersebut. Sebagaimana teladan Yesus Kristus yang rela menyerahkan dan
mengorbankan nyawanya demi menyelamatkan manusia.
b. Makna Sakramen Ekaristi
Martasudjita (2003: 276-280) dalam tulisannya menguraikan mengenai
makna teologis Ekaristi. Perjanjian Baru membahas refleksi teologi Ekaristi
dengan sangat lengkap. Penjelasan diawali dengan membahas teks-teks Ekaristi
dalam Perjanjian Baru, lalu kemudian menemukan poin-poin teologis yang akan
dibahas. Makna Ekaristi ditinjau dari aspek teologis Perjanjian Baru dibagi dalam
beberapa bagian, yaitu:
1) Ekaristi sebagai Persatuan dan Kebersamaan dengan Yesus Kristus
Yesus Kristus dalam perayaan Ekaristi merupakan Tuan rumah yang
mengadakan hajatan dan sekaligus menjadi hidangan yang disantap oleh para
tamu. 1Kor 11:20 menyebutkan mereka berkumpul untuk makan perjamuan
Tuhan yang artinya, perjamuan yang diselenggarakan oleh Tuhan. Maka dengan
merayakan Ekaristi umat beriman Kristiani dipersatukan dengan Kristus.
Gambaran kesatuan dan kebersamaan yang sama juga diungkapkan dalam Injil
Yohanes 6:56, siapa yang memakan daging dan meminum darah Kristus akan
tinggal di dalam-Nya dan Kristus di dalam dia (Martasudjita, 2003: 277).
Perayaan Ekaristi merupakan perjamuan surgawi dan perjamuan
eskatologis. Jenis koinonia kedua yang dihidupi dalam Ekaristi adalah
kebersamaan antar sesama anggota Gereja. Paulus berpandangan seluruh anggota
Gereja berpartisipasi (koinonia) aktif sebagai satu tubuh (ekaristik) yang juga
disebut sebagai Gereja (1Kor 10:16-17). Roti yang dibagikan merupakan
partisipasi atau persekutuan umat beriman Kristiani dengan Kristus. Roti yang
dibagikan dengan jumlah yang banyak, maka meskipun umat beriman Kristiani
banyak tetapi tetap satu tubuh (Gereja), karena masing-masing orang mendapat
bagian dalam roti yang satu (Martasudjita, 2003: 277).
3) Ekaristi sebagai Kehadiran Yesus dalam Rupa Roti dan Anggur (realis
praesentia)
Teks-teks dalam Perjanjian Baru terkait Perjamuan Malam Terakhir,
sebagai dasar ajaran realis praesentia yang diungkapkan oleh Yesus dengan
berkata, “Inilah Tubuh-Ku”(Mat 26:26; Mrk 14:22; Luk 22:19; 1Kor 11:24) dan
“Inilah Darah-Ku” (Mat 26:28; Mrk 14:24). Kata tubuh berasal dari bahasa
Yunani yang berarti soma. Tubuh yang dimaksud tidak hanya mengarah pada
fisik, tetapi lebih mengarah pada seluruh pribadi manusia, misalnya seluruh diri,
nasib dan seluruh hidupnya. Maka kata institusi yang diungkapkan Yesus dalam
Perjamuan Malam Terakhir ingin mengidentikkan roti dengan diri-Nya dan Darah
yang dimaksud Yesus dan Darah dalam Perjanjian Lama berarti sumber dan
hakikat kehidupan (Im 17:11.14; Ul 12:23; Ul 19:10; Kej 9:6). Dengan demikian
kata, “Inilah Darah-Ku dan Inilah Tubuh-Ku” menunjukkan kehadiran Yesus
merasakan kebersamaan serta solidaritas terhadap hidup, sengsara, wafat dan
kebangkitan-Nya. Kehadiran Yesus secara nyata dalam rupa roti dan anggur telah
diajarkan dalam teks Yohanes 6:51-59 dengan menyebut, “makan daging-Ku dan
minum Darah-Ku”, (Martasudjita, 2003: 278).
4) Ekaristi sebagai Darah Perjanjian Baru
Ketika merayakan Ekaristi sering terdengar imam menyebutkan, “darah
Perjanjian Baru dan kekal…” terkait dengan pernyataan ini, terdapat dua
pemahaman berbeda tentang “darah perjanjian” dan “darah Perjanjian Baru”.
Darah perjanjian hanya ditemukan dalam teks Markus dan Matius (Kel 24),
mengenai darah perdamaian yang mengikat perjanjian antara Allah dan umat-Nya.
Maka darah Yesus dalam Perjanjian Baru sebagai pendamaian yang mendamaikan
dan manusia dalam suatu ikatan baru. Kata Perjanjian Baru terdapat dalam teks
Lukas dan Paulus yang terarah pada Yer 31 dengan konteks eskatologis, artinya
zaman pemulihan (Perjanjian Baru) pada akhir zaman. Masa pemulihan ini telah
diwujudkan oleh Kristus yang telah menghadirkan Perjanjian Baru dari zaman
(Martasudjita, 2003: 278-279).
5) Ekaristi sebagai Penebusan dan Pengampunan Dosa
Ekaristi sebagai pengenangan akan wafat Yesus Kristus demi keselamatan
manusia yang merupakan ciri soteriologis Ekaristi, artinya Yesus menyerahkan
diri demi pengampunan dosa manusia (Luk 22:19; 1Kor 11:24; Mrk 14:24; Mat
26-28). Teks-teks tersebut merupakan pengertian dan penafsiran Gereja perdana
atas wafat Yesus menurut teks Hamba Yesus (Yes 53). Sengsara dan wafat
atas karunia penebusan dan pengampunan dosa dari Allah melalui Yesus Kristus
(Martasudjita, 2003: 279).
6) Ekaristi sebagai Partisipasi dalam Perjamuan Eskatologis
Perayaan Ekaristi juga dipahami sebagai perjamuan eskatologis atau
perjamuan surgawi (Mrk 14:25; Mat 26:29; Luk 22:18). Selama hidup dalam
pewartaan-Nya tentang Kerajaan Allah, sering kali Yesus mengungkapkan
perjamuan eskatologis (Mat 8:11; 22:1-14). Melalui Ekaristi umat beriman
Kristiani telah mencicipi perjamuan eskatologis berupa kebersamaan kekal
dengan Allah (1Kor 11:26). Berdasarkan kata-kata Yesus dalam Yohanes 6:53-54
mengungkapkan bahwa Ekaristi sebagai karunia hidup kekal (Martasudjita, 2003:
279-280).
7) Ekaristi sebagai Penetapan Tuhan
Ekaristi dirayakan bukan atas dasar inisiatif manusia, tetapi merupakan
penetapan dan perintah Yesus Kristus sendiri, “perbuatlah ini untuk memperingati
Aku” (Luk 22:19; 1Kor 24.25). Kata “anamnese” bukan hanya merujuk pada
mengingat secara intelektual subjektif, tetapi lebih pada menghadirkan kembali
peristiwa penyelamatan Kristus secara nyata dan berdaya atau bertindak. Ekaristi
tidak hanya perayaan pengenangan akan Karya Keselamatan Kristus, tetapi juga
menghadirkan kembali Karya Keselamatan-Nya secara nyata (Martasudjita, 2003:
280).
8) Ekaristi sebagai Pewartaan dan Tanda Iman
Umat beriman Kristiani yang merayakan Ekaristi berarti telah mewartakan
juga telah menghadirkan kembali Karya Penyelamatan Allah yang terlaksana
melalui Yesus. Pewartaan Karya Penyelamatan Kristus akan diterima dengan
iman. Yesus menuntut agar umat beriman Kristiani mengimani pewartaan yang
mereka dengar (Yoh 6:29). Dengan demikian Ekaristi harus dirayakan dengan
iman dan kepercayaan penuh oleh umat Kristiani (Martasudjita, 2003: 280).
Menurut Joseph A. Grassi (1989: 75-108), kehadiran konkret Allah yang
menjelma menjadi manusia melalui Yesus Kristus, bertujuan untuk mewartakan
Kabar Gembira bagi manusia terutama mereka yang kecil, lemah, miskin dan
tersingkir. Hadir untuk membawa harapan bagi mereka yang merasa hidup namun
secara rohani mati, memperbaiki dan mengubah sistem sosial serta persoalan
ekonomi melalui tindakan efektif. Usaha untuk mewujudkan hal ini tidak
dilakukannya seorang diri, tetapi dibantu oleh mereka yang mendedikasikan diri
untuk mengikuti Yesus. Setelah kematian Yesus tradisi perjamuan makan
dilanjutkan sebagai sarana untuk berkumpul bagi orang Kristen, yang saat ini
disebut sebagai Ekaristi. Dalam hal ini Yesus ingin menekankan hakikat perayaan
Ekaristi secara lebih luas dan konkret. Merayakan Ekaristi tidak hanya terjebak
pada tata perayaan liturgi semata, tetapi lebih pada semangat berbagi kepada
mereka yang kecil, lemah, miskin dan tersingkir. Semangat berbagi sejalan
dengan makna utama Ekaristi sebagai Sakramen dan perayaan wafat serta
kebangkitan Yesus. Terkait dengan Ekaristi yang memberi Roh untuk berbagi
kepada sesama yang membutuhkan, berikut akan dipaparkan “Ekaristi sebagai
Ekaristi sebagai pembebasan manusia merupakan hakikat Ekaristi sebagai
tanda yang memberikan rahmat. Tanda yang menghasilkan rahmat karena Ekaristi
merupakan tindakan nyata yang menggambarkan tindakan Yesus sendiri.
Dengan demikian Paulus menyatakan bahwa roti dan anggur tidak hanya
mengibaratkan tetapi juga mengakibatkan kesatuan. Roti dan anggur tidak hanya
menggambarkan Karya Penyelamatan Yesus secara nyata dalam Ekaristi, tetapi
juga sebagai dasar tindakan umat beriman Kristiani untuk membangun dan
memelihara kesatuan antar sesama (1Kor 10:16-17). Selanjutnya lebih mendalam
Paulus menyatakan bahwa kesatuan umat beriman Kristiani dengan Kristus sangat
radikal menyangkut perbedaan jenis yang hingga saat ini masih sangat relevan.
Perbedaan diawali dengan jenis kelamin, suku dan status sosial seseorang di
tengah masyarakat. Paulus berusaha untuk memberi pemahaman lebih mendalam
terkait makna Ekaristi yang secara luas menembus keterbatasan-keterbatasan
tersebut karena umat beriman Kristiani telah disatukan oleh Tubuh dan
Darah-Nya. Kesatuan dan kesederajatan tersebut tergambar nyata ketika umat beriman
menerima Tubuh dan Darah Kristus dalam perayaan Ekaristi. Karya penyelamatan
Yesus Kristus berpuncak pada wafat-Nya di kayu salib untuk menyelamatkan
mereka yang lemah, tertindas dan terpuruk. Kesatuan dengan Kristus juga
menuntut umat beriman Kristiani, agar dapat bersatu pula dengan sesama dalam
kehidupan sehari-hari, terutama dengan mereka yang kecil, lemah, miskin dan
tersingkir.
Kerajaan Allah yang diwartakan dan digambarkan oleh Kristus merupakan
pewartaan-Nya menentang keras mentalitas penguasa melainkan memupuk sikap
pengabdian diri dengan melayani orang-orang yang membutuhkan. Usaha Yesus
Kristus untuk menerapkan mentalitas melayani diawali kepada para murid yang
tergambar dalam peristiwa Perjamuan Malam Terakhir, dimana mereka
memperdebatkan siapa yang terbesar diantara mereka (Luk 22:24). Yesus Kristus
menyatakan bahwa mereka yang dapat memposisikan diri menjadi yang terkecil
dan dengan rendah hati melayani sesama yang sedang mengalami kesulitan, maka
dialah orang yang mendapat posisi terbesar dalam Kerajaan Allah. Jawaban Yesus
merupakan usaha-Nya untuk memberi pemahaman kepada para murid tentang
perbedaan antara Kerajaan Allah yang melayani dan kerajaan duniawi yang
berkuasa.
Paham dasar Ekaristi dan rezeki bagi dunia yang lapar, berakar pada masa
Gereja perdana terdapat tradisi makan bersama yang dilakukan sebelum
merayakan Ekaristi. Tradisi ini mendapat dukungan dari Paulus, namun yang
dipermasalahkan olehnya dalam perjamuan makan tersebut terdapat sekat-sekat
diantara mereka. Kelompok dengan status sosial tinggi duduk dan makan di
tempat berbeda dengan mereka yang memiliki status sosial di bawah (1Kor
11:20-22). Situasi tersebut bertentangan dengan semangat cinta kasih dan berbagi yang
dicontohkan oleh Yesus pada Perjamuan Malam Terakhir dengan para murid
tanpa sekat dan jarak (1Kor 11:23-24). Menyantap Tubuh dan Darah Kristus
menjadikan umat Kristiani sebagai satu saudara dalam Kristus, dengan