• Tidak ada hasil yang ditemukan

MEREKA NASIONALIS, PATRIOTIS, SEKALIGUS PEMBERONTAK (Menyoroti Persoalan Para Pemimpin Laskar Darul Islam Pasca Kemerdekaan Indonesia) 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MEREKA NASIONALIS, PATRIOTIS, SEKALIGUS PEMBERONTAK (Menyoroti Persoalan Para Pemimpin Laskar Darul Islam Pasca Kemerdekaan Indonesia) 1"

Copied!
8
0
0

Teks penuh

(1)

MEREKA NASIONALIS, PATRIOTIS, SEKALIGUS PEMBERONTAK (Menyoroti Persoalan Para Pemimpin Laskar Darul Islam Pasca

Kemerdekaan Indonesia)1 Anhar Gonggong2 pspsejarah@gmail.com PENDAHULUAN

Bangsa kita dahulu adalah bangsa yang dijajah oleh bermacam-macam bangsa lain, termasuk Belanda dari awal abad ke-17 dan baru berakhir sekitar pertengahan abad ke-20. Tetapi pada abad ke-19 walau tidak lama, bangsa kita juga diperintah oleh bangsa Inggris, kemudian kembali lagi di bawah jajahan Kerajaan Belanda. Perlu dicatat bahwa awal kedatangan bangsa Belanda dengan VOC-nya adalah tujuan ekonomi, VOC itu adalah korporasi dagang. Dari korporasi dagang itu karena bangkrut kemudian digantikan oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Kerajaan Belanda menjajah Indonesia sampai dengan 1945, sejak 17 Agustus; dilanjutkan dengan periode transisi 1945-1949, ketika Kerajaan Belanda memaksakan perang karena Kerajaan penjajah ini tidak bersedia mengakui (proklamasi) Kemerdekaan yang dinyatakan pada 17 Agustus 1945. Penolakan pengakuan kemerdekaan bangsa dan kedaulatan negara Republik Indonesia oleh Kerajaan Belanda diwujudkannya dengan memaksakan perang kepada bangsa Indonesia. Perang itu disebut Perang mempertahankan kemerdekaan; sering juga disebut dengan revolusi kemerdekaan.

Pada periode perang mempertahankan kemerdekaan tampil tokoh-tokoh tertentu dengan posisi mereka masing-masing. Kartosuwiryo adalah salah seorang pejuang yang telah tampil sejak Pergerakan Nasional (PSII dan kemudian Masyumi) dan kemudian juga menjadi pemimpin di dalam mempertahankan kemerdekaan dalam periode 1945-1949. Sedang Daud Beureueh adalah seorang ulama pejuang dari daerah Aceh. Selanjunya, Abdul

* Dipresentasikan pada Seminar Nasional Kesejarahan, Program Studi Pendidikan Sejarah FKIP Universitas Lambung Mangkurat.

(2)

Qahhar Mudzakkar adalah seorang pejuang dari Sulawesi Selatan dan Ibnu Hajar adalah seorang pejuang dari Kalimantan Selatan.

Keempat tokoh ini mempunyai perannya masing-masing di dalam periode mempertahankan kemerdekaan Republik, 1945-1949. Tetapi sesuai dengan situasi tuntutan dalam perang itu, maka ke empat tokoh ini, pemimpin-pemimpin militer dengan pangkatnya masing-masing. Qahar Mudzakkar berpangkat Letnan Kolonel, Ibnu Hajar berpangkat Letnan satu, dan Daud Beureueh berpangkat Mayor Jenderal Tituler. Tetapi setelah perang kemerdekaan selesai, maka terjadilah pelbagai peristiwa yang membawa mereka ke panggung, melibatkan mereka dengan perannya masing-masing.

Begitu penegakkan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa negara Indonesia sebagai hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) maka diharapkan kita akan mengalami kehidupan bersama sebagai bangsa merdeka, dengan tatanan yang baru. Tentang hal ini telah dinyatakan oleh Ketua Delegasi Republik Indonesia (Muhammad Hatta) pada sidang penutupan KMB tanggal 2 November 1949.

“Pada saat yang bersejarah ini rakyat Indonesia akan merasa lega dalam hatinya. Hari ini dengan resmi dimaklumkan lenyapnya kekuasaan kolonial dari Indonesia, dan lahirnya susunan hukum baru yang berdasarkan Pancasila. Empat tahun lamanya Republik Indonesia memperjuangkan dasar ini sebagai pimpinan hidup bagi bangsa Indonesia, dan pada hari ini diresmikan tercapainya tujuan itu. Republik Indonesia Serikat akan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Peri Kemanusiaan, Kebangsaan, Kerakyatan, dan Keadilan Sosial”. Dengan ini menyatakan bahwa rakyat Indonesia ingin hidup sebagai bangsa yang membela kemanusiaan, demokrasi, dan persaudaraan” (Muhammad Hatta, Kumpulan Pidato, Yayasan Idayu, Jakarta, 1981, h. 317).

Betapa “indah” gambaran kehendak yang dinyatakan oleh Hatta di atas. Tetapi situasi yang berkembang tidaklah seindah seperti isi pidato tersebut. Ternyata para pemimpin dan bangsa, rakyat Indonesia masih harus bergumul dengan serangkaian permasalahan yang dilahirkan oleh pelbagai peristiwa karena adanya perbedaan pandangan di dalam menghadapi situasi yang

(3)

berkembang setelah kesepakatan KMB dan seterusnya, bahkan sampai sekarang.

KERUMITAN PERSOALAN YANG BERKEMBANG

Kesepakatan dari KMB ternyata justru melahirkan silang pendapat di antara para pemimpin dan rakyat Indonesia. Pangkalnya, karena ketentuan bahwa bentuk negara republik kita sesuai dengan “kesepakatan” KMB ialah federalistik, negara serikat Republik Indonesia Serikat (RIS). Tidak mudah menyelesaikan persoalan itu, karena ternyata ada dua pandangan dengan masing-masing pendukung yang berpegang akan kebenaran pendapatnya. Golongan yang setuju dengan kesepakatan KMB, bentuk negara RIS, mempunyai pendukung yang tidak sedikit. Di lain pihak, golongan yang mendukung Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang tentu saja memiliki pula pendukung yang tidak sedikit pula.

Setelah konflik tentang bentuk negara berlangsung kurang lebih delapan bulan, maka akhirnya dicapailah jalan penyelesaian, antara lain karena adanya Mosi Integrasi Muhammad Natsir di Parlemen; dan mosi ini didukung oleh partai lain, seperti Partai Katolik pimpinan Kasimo. Akhirnya pertentangan tentang bentuk negara diselesaikan dengan Keputusan Presiden tanggal 15 Agustus 1950. Dengan demikian, perayaan Proklamasi 17 Agustus 1950 sudah dirayakan sebagai bentuk Kesatuan, NKRI.

Sebelum tahun 1950, ada persoalan yang cukup rumit dan tidak mudah untuk diselesaikan, yaitu persoalan anggota TNI, persoalan militer. Sebagaimana diketahui, pembentukan TNI Republik Indonesia merupakan hal yang unik, khas dan berbeda dengan negara lain. Di dalam membela dan mempertahankan Kemerdekaan Indonesia, tampil tokoh-tokoh tertentu di daerah-daerah dan membentuk “organisasi” (mungkin lebih tepat disebut “kelompok”) ketentaraan dengan berusaha mendapatkan senjata-senjata, antara lain dari pasukan-pasukan Jepang yang memang tidak lagi memiliki kekuasaan administratif sejak kekalahannya pada 15 Agustus 1945. Dengan adanya situasi yang demikian, maka organisasi militer di republik telah mengalami perubahan nama dan struktur dari BKR, TKR menjadi TRI untuk kemudian sampai pada nama Tentara Nasional Indonesia (TNI) tahun 1947.

(4)

Tentang situasi organisasi ketentaraan negara republik kala itu, Wakil Presiden Muhammad Hatta pada pidatonya pada tanggal 15 September 1947, menyatakan:

“Segala perubahan nama itu memberi gambaran tentang kemajuan organisasi dan perubahan karakter alat pertahanan Republik Indonesia. Tentara kita bukanlah tentara yang didirikan dengan susunan yang rapi dari atas, dengan opsir dan prajurit yang dipilih baik-baik, tetapi adalah tentara yang lahir dalam revolusi nasional. Tentara yang spontan timbul dari bawah, didorong oleh semangat patriot untuk membela negara yang baru merdeka” (Ibid, hal. 132).

Oleh karena adanya situasi pembentukan TNI seperti itu, maka di dalam tubuh organisasi TNI terdapat tiga unsur (kelompok) keanggotaan, yaitu bekas KNIL yang jumlahnya tidak besar, bekas PETA dan Heiho di beberapa daerah, dan kelompok lasykar yang dibentuk oleh tokoh-tokoh masyarakat. Kelompok lasykar ini ada yang dibentuk dengan latar belakang ideologi ideologi Islamis, ada juga berlatar nasionalis dan Marxis-Komunis. Untuk menyeimbangkan keadaan administrasi organisasi TNI, Wakil Presiden menghendaki dilakukannya perombakan untuk mengurangi keanggotaan organisasi TNI dengan jalan rasionalisasi. Tentu saja ide ini disepakati oleh para komandan dan pimpinan di dalam markas tantara. Namun tetap melahirkan keresahan di lingkungan organisasi kelaskaran. Demikianlah kerumitan yang harus dihadapi oleh pemerintah negara Republik Indonesia.

PEMBERONTAKAN PASCA KEMERDEKAAN

Sampai dengan tahun 1965, ada empat tokoh utama, yang dalam masa mempertahankan kemerdekaan telah tampil sebagai pemimpin di dalam menghadapi Belanda sampai Kerajaan Belanda mengakui kedaulatan Republik Indonesia. Keempat tokoh pemimpin itu ialah Kartosuwiryo, Muhammad Daud Beureueh, Abdul Qahhar Mudzakkar, dan Ibnu Hadjar. Karena sikapnya terhadap pemerintah negara Republik Indonesia, dari 1949 sampai tahun 1965, mereka disebut sebagai Pemberontak. Mereka berempat dianggap menentang kepada pemerintah negara yang dianggap sah secara konstitusional. Dalam

(5)

pengertian ini mereka yang dianggap pemberontak itu “hanya” menentang pemerintah negara, bukan hendak membubarkan negara atau membentuk negara baru. Bahkan dapat dikatakan –sesuai dengan posisi dan kapasitasnya masing-masing– mereka adalah pejuang mempertahankan bertegaknya NKRI di dalam periode kritis akibat keangkuhan kolonialis Belanda (1945-1949).

Tentu saja terdapat pelbagai faktor yang menyebabkan mereka melakukan tindakan yang menyebabkan pemerintah (pada waktu itu) menyebutnya sebagai pemberontak. Dalam penglihatan saya, salah satu faktor utama sehingga keempatnya melakukan gerakan perlawanan yang dianggap “menyimpang” dalam tindakan pemberontakan. Sebagai pejuang yang ikut “bertarung” mempertahankan kemerdekaan, tetapi kemudian keempatnya merasa “dicampakkan”. Dengan demikian saya menduga sangat kuat bahwa keempat pejuang ini melakukan pemberontakan adalah karena faktor psikologi, faktor “kecewa dan frustasi”. Hal ini terjadi karena situasi yang dihadapinya baik secara individu maupun kelompok melahirkan hambatan terhadap tujuan yang hendak dicapainya. Faktor kecewa-frustasi karena hambatan untuk mencapai tujuannya itu, melahirkan teori yang disebut deprivasi relatif. Teori ini bertolak dari perbandingan seseorang atau kelompok dengan orang atau kelompok lainnya, kemudian dikembangkan oleh beberapa ahli untuk digunakan di dalam pelbagai penelitian yang mereka lakukan, khususnya dalam masalah pemberontakan, baik yang bersifat politik maupun millenaristik (seperti yang dilakukan oleh Ted Robert Gurr, Handbook of Political Conflict Theory and Research (New York, The Press, 1980).

Deprivasi berkaitan dengan keadaan psikologi seseorang, yaitu perasaan. Di dalam situasi perasaan yang mungkin serba resah, si pelaku memberikan ukuran-ukuran tertentu di dalam membandingkan dirinya atau kelompoknya dengan orang atau kelompok lainnya. Dengan demikian deprivasi bukan sesuatu hal yang obyektif, tetapi perbedaan antara apa yang diharapkan. Dengan demikian, kita harus memandang harapan itu sebagai standar-standar, bukan sebagai ramalan-ramalan mengenai yang akan terwujud di hari esok.

Demikianlah pandangan saya tentang salah satu faktor yang menyebabkan keempat tokoh kita ini melakukan pemberontakan. Hal yang

(6)

perlu pula dicatat ialah mereka berempat menjadikan agama Islam sebagai ideologi, sebagai landasan untuk menegak-jalankan gerakan mereka. Persoalannya, mengapa agama Islam yang menjadi landasan ideologi gerakan mereka. Dari latar belakang pribadi mereka, terlihat adanya perbedaan-perbedaan tertentu di antara mereka. Walaupun beliau yang mendeklarasikan, memproklamasikan berdirinya Negara Islam Indonesia (NII) yang memiliki organisasi ketentaraan Tentara Islam Indonesia atau Darul Islam (DI/TII). Namun banyak peneliti beranggapan bahwa pengetahuan Islamnya bersifat “abangan”. Karena itu, Tempo memberikan informasi bahwa:

“Menyimak profil Kartosuwiryo itu, tak aneh bila ahli politik Islam, Bachtiar Effendi, menilai dia sesungguhnya tak memiliki landasan ideologi yang kuat untuk mendirikan Negara Islam. Bachtiar dan beberapa ahli politik Islam lain-lebih merujuk pada kekecewaaan Kartosuwiryo terhadap Perjanjian Renville yang dianggapnya merugikan kepentingan Islam, untuk memberontak dari “pemerintahan kafir” Soekarno” (Lihat “Seri Buku Tempo” Kartosoewirjo Mimpi Negara Islam, KPG-Tempo, Jakarta, 2011, h. 5).

Terlepas dari pandangan sebagai peneliti menganggap dangkalnya pengetahuan keislamannya Kartosuwiryo. Anggap saja beliau sudah mempunyai pemikiran tentang Negara Islam, sejak tahun 1940. Antara lain dikatakannya bahwa:

“Negara Karunia Allah itu adalah “Negara Islam Indonesia” atau dengan kata lain “ad-daulatul Islamiyah atau “darul Islam atau dengan singkatan yang sering dipakai orang “DI”, selanjutnya hanya dipakai satu istilah resmi NEGARA ISLAM INDONESIA”. (Lihat, Anhar Gonggong, Abdul Qahhar Mudzakkar Dari Partriot Hingga Pemberontak, Grasindo, Jakarta, 1992, hal. 127).

Itulah latar dari pemimpin utama, dan Proklamator Negara Islam Indonesia pada 7 Agustus 1949. Selanjutnya tentang Muhammad Daud Beureueh, beliau adalah seorang ulama pemimpin Aceh yang kharismatik.

(7)

“Karena adanya kharismanya itu, Beureueh dipercaya memimpin tentara Indonesia dalam melawan Belanda. Beureueh juga menjadi orang yang bisa menyatakan lasykar-lasykar perang di Aceh ketika mereka hendak digabungkan menjadi Tentara Rakyat Indonesia (TRI). Itulah sebabnya, meski ia tak mengenal sekolah, Wakil Presiden Muhammad Hatta mengangkatnya menjadi Gubernur Militer dengan pangkat Jenderal Mayor Tituler” (“Seri Buku Tempo” Daud Beureueh Pejuang Kemerdekaan Yang Berontak”, KPG-Tempo, Jakarta, 2011, h. 8).

Daud Beureueh setelah “berhenti” melakukan perlawanan, maka ia bukan pemimpin pemberontak, tapi pengaruhnya tak menyusut banyak. Tempo memberikan informasi bahwa:

“Awal Mei 1978, ia bahkan diasingkan ke Jakarta oleh pemerintah Orde Baru untuk mencegah kharismanya menggelorakan perlawanan rakyat Aceh. Di Jakarta, meski dipinjami kendaraan pribadi dan biaya hidupnya ditanggung pemerintah, Beureueh menderita. Kesehatannya merosot tajam. “Tak ada penyakit yang serius diidap Teungku Daud kecuali penyakit rindu kampung halaman, kata EL-Ibrahimi. Ia tutup usia di tanah Aceh pada 1987”. (Ibid, h. 9).

Sekarang tentang Abdul Qahhar Mudzakkar, pemimpin pemberontak dari Sulawesi Selatan. Beliau berasal dari Kerajaan Luwu dari lingkungan warga “Towarani” setrata “pemberani”. Beliau karena persoalan adat, kemudian ke Solo Surakarta –dan memang ia bersekolah di Muallimin Muhammadiyah– dan dari sanalah nanti tampil sebagai aktivis pemimpin ketika Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 1945. Ia membangun pasukannya yang berasal dari Sulawesi dan termasuk dari Kalimantan; menjadi Komandan Pasukan “Seberang” dengan pangkat Letnan Kolonel. Karena berbagai kendala untuk menjadikan pasukannya masuk ke dalam lingkungan organisasi TNI untuk tingkat brigade atau resimen Hasanuddin, maka kemudian menciptakan organisasi pemberontakan dengan nama –sebagaimana juga dengan Daud Beureueh– Gerakan DI/TII yang bertujuan untuk mendirikan NII.

(8)

PENUTUP: MEMAKNAI PENGALAMAN HISTORIS

Apa yang akan kita diskusikan melalui penyampaian dalam makalah ini, merupakan salah satu dari episode (perjalanan) sejarah bangsa Indonesia. Dibalik peristiwa itu, tentu terdapat makna yang dapat kita jadikan sebagai bahan berguna untuk hari depan kita untuk kekuatan gerak pembangunan dan persatuan kita dihari kini. Salah satu makna yang mungkin dapat diambil ialah konflik yang terjadi dengan pelbagai latar akan lebih menyadarkan kita untuk terus-menerus membangun pemahaman kita terhadap arti dan posisi Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia. Pemahaman yang terus menerus ini, terutama harus dilakukan oleh generasi muda untuk menghadapi tantangan masa depan. Saya berharap mahasiswa-mahasiswa tentu di bawah bimbingan para pengajar mampu memahami secara jelas dan jernih tentang peristiwa sejarah yang telah dilewati selama ini. Membangun pemahaman diri sebagai bangsa yang Pancasilais, merupakan salah satu faktor terpenting untuk mempertahankan tegaknya NKRI.

DAFTAR BACAAN

Gonggong, Anhar. 2001. Amandemen, Konstitusi, Otonomi Daerah dan

Federalisme Solusi untuk Masa Depan. Jakarta: Media Pressindo.

Gonggong, Anhar. 2002. Indonesia, Demokrasi dan Masa Depan: Pergumulan

Antara Masyarakat Warisan dengan Masyarakat Merdeka-Ciptaan. Yogyakarta: Penerbit Ombak

Gonggong, Anhar. 2011. Abdul Qahhar Mudzakkar: Dari Patriot Hingga

Pemberontak. Jakarta: Grasindo.

Hatta, Muhammad. 1981. Kumpulan Pidato. Jakarta: Yayasan Idayu.

Tim Tempo. 2011. Kartosoewijo: Mimpi Negara Islam. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Tim Tempo. 2011. Seri Buku TEMPO: Daud Beureueh (Pejuang Kemerdekaan

Referensi

Dokumen terkait

Partisipasi, dimana media sosial mendorong kontribusi dan umpan balik ( feedback ) dari setiap orang yang tertarik. Setiap orang dapat melakukannya secara bersama-sama

Jumlah terpulihkan yang ditentukan untuk aset individual adalah jumlah yang lebih tinggi antara nilai wajar aset atau Unit Penghasil Kas (UPK) dikurangi biaya pelepasan

Dalam hal Pimpinan KPK menetapkan Benda Gratifikasi tersebut menjadi milik negara, maka wajib diserahkan oleh Pelapor dan/atau Penerima kepada KPK melalui UPG PTPN II untuk

Pada penelitian ini dengan adanya penambahan fototerapi LED kombinasi sinar biru-merah pada terapi lini pertama AVS, penurunan derajat keparahan akne menjadi AVR lebih

[r]

Konsep transfer unit dibangun dg menganalisis transfer massa yang melewati bagian perbedaan ketinggian dalam kolom packing dan mengintegrasikan hasil ekspresi ketinggian packing,

Pengujian dilakukan pada kecepatan putar 900 rpm dan 1200 rpm sebanyak lima kali masing-masing dengan arah penempatan sensor baik vertikal maupun horizontal. Seluruh hasil

Dengan latar belakang diatas, perumusan masalah yakni bagaimana membuat aplikasi berbasis web menggunakan teknologi ajax untuk mempermudah dalam pemblokiran situs- situs web yang