HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Lokasi Penelitian
Sarana Fisik Provinsi NAD Awal Pasca Gempa dan Tsunami
Bencana gempa dan tsunami yang terjadi di Nanggroe Aceh Darussalam pada 26 Desember 2004 telah menimbulkan banyak sekali korban jiwa, luka-luka dan hilang serta menyebabkan hancurnya harta benda dan rusaknya infrastruktur.
Berdasarkan catatan Kompas tentang Gempa dan Tsunami (2005), jumlah korban yang meninggal dan hilang akibat gempa dan tsunami mencapai 236.116 jiwa yang tersebar diseluruh Nanggroe Aceh Darussalam, 18.761 km jalan dan 499 buah jembatan yang putus yang mengakibatkan transportasi dari satu kabupaten ke kabupaten lainnya terhambat dan 1.644 buah kantor pemerintah rusak dan hancur, sehingga pelayanan publik terganggu.
Bencana yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan materi dan keluarga dalam sekejap, apalagi dalam jumlah besar, sangat potensial menggoreskan trauma dan menyisakan ketakutan luar biasa bagi yang mengalaminya, sehingga beberapa hal dapat terjadi antara lain: (1) wajar jika orang menampilkan respon perilaku tidak lazim menyusul suatu kejadian yang sangat di luar batas kewajaran. Ada yang menyangkal bahwa keluarga besarnya hilang dan ditemukan tak bernyawa sehingga merasa sangat bersalah karena ia hidup sendirian. Beberapa hari setelah bencana, banyak orang merespon dengan cara-caranya sendiri diantaranya dengan menangis atau justru diam seribu bahasa, berteriak-teriak memanggil anaknya yang tidak ditemukan, tidak membolehkan jenazah orang terdekatnya diambil untuk dimakamkan dan sebagainya; dan (2) manusia memiliki coping mechanism alamiahnya sendiri sehingga dari sejumlah besar orang yang mengalami kekerasan atau bencana, cukup banyak yang mampu bangkit dari keruntuhan bencana.
Beberapa hari setelah tsunami, masyarakat Aceh mulai “menggeliat” satu demi satu perlahan bergerak, bangun, berjalan, bahkan mencoba berjualan lagi. Hal tersebut menjadi contoh bahwa manusia dibekali dengan kemampuan menyelesaikan masalah secara alamiah. Meskipun demikian, berdasarkan pengamatan di lapangan masih terdapat korban bencana yang mengalami masalah-masalah lebih serius, mengalami gangguan pasca trauma atau diagnosa lain, tetapi persentasenya relatif kecil, mungkin 5 persen saja dari keseluruhannya.
Letak Geografis
Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Mauraxa adalah dua dari sembilan kecamatan yang ada di Kota Banda Aceh. Kecamatan Kuta Alam membawahi sebelas kelurahan/gampong dan Kecamatan Meuraxa membawahi enam belas kelurahan/gampong (Tabel 7). Batas-batas Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh yaitu sebelah utara dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Baiturrahman, sebelah barat dengan Kecamatan Meuraxa dan sebelah timur dengan Kecamatan Syiah Kuala. Adapun batas-batas Kecamatan Meuraxa sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka, sebelah selatan dengan Kecamatan Jaya Baru, sebelah timur dengan Kecamatan Kuta Raja dan sebelah barat berbatasan dengan Kecamatan Peukan Bada.
Tabel 7 Kelurahan/Gampong pada Kecamatan Kuta Alam dan Kecamatan Meuraxa
No Kecamatan Kuta Alam Kecamatan Meuraxa
1 Kota Baru Alue Deaah Tengoh
2 Bandar Baru Asonanggroe
3 Kuta Alam Blang Oi
4 Peunayong Cot Lamkuweuh
5 Mulia Deah Baro
6 Keuramat Deah Gampong
7 Laksana Gampong Baru
8 Beurawe Gampong Blang
9 Lampulo Gampong Pie
10 Lamdingin Lamjabat
11 Lambaro Skep Lampaseh Aceh
12 - Lambung
13 - Punge Ujong
14 - Punge Jurong
15 - Surin
16 - Ulhee-lhee
Penduduk
Sebelum terjadi gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga (KK) di Kecamatan Kuta Alam adalah 11.731 KK, dengan jumlah penduduk 54.017 jiwa, yaitu laki-laki 28.340 jiwa dan perempuan 26.673 jiwa. Pasca bencana gempa dan tsunami jumlah kepala keluarga yang selamat sampai Desember 2005 adalah 10.810 KK, dengan jumlah penduduk 47.280 jiwa dengan rincian laki-laki 25.369 jiwa dan perempuan 21.911 (Tabel 8).
Pasca bencana gempa dan tsunami, jumlah kepala keluarga yang selamat di Kecamatan Meuraxa sampai Desember 2005 adalah 4.725 KK, dengan jumlah
penduduk 11.396 jiwa dengan rincian laki-laki 7210 jiwa dan perempuan 4.186 jiwa (Tabel 9). Kalau diperhatikan jumlah penduduk yang tersisa di Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami hanya sekitar 25 persen dari jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam, padahal sebelumnya wilayah ini merupakan wilayah padat penduduk. Hal ini disebabkan hampir semua kelurahan/gampong yang ada di Kecamatan Meuraxa berhadapan langsung dengan laut dan pelabuhan Ulele.
Tabel 8 Jumlah penduduk Kecamatan Kuta Alam pasca gempa dan tsunami No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami
KK LK PR ∑
1 Kota Baru 408 1.081 973 2.054
2 Bandar Baru 1.273 3.675 3.709 7.384
3 Kuta Alam 1.175 2.623 2.219 4.842
4 Peunayong 813 1.956 1.376 3.332
5 Mulia 805 1.839 1.320 3.159
6 Keuramat 934 2.494 2.536 5.030
7 Laksana 664 3.177 2.492 5.669
8 Beurawe 1.766 3.359 3.037 6.399
9 Lampulo 1.537 1.977 1.446 3.423
10 Lamdingin 618 1.270 991 2.261
11 Lambaro Skep 817 1.918 1.809 3.727
Jumlah 10.810 25.369 21.911 47.280
Laporan Camat Kuta Alam, 2006.
Tabel 9 Jumlah penduduk Kecamatan Meuraxa pasca gempa dan tsunami No Kelurahan/Gampong Jumlah Penduduk Pasca Gempa dan Tsunami
KK LK PR ∑
1 Alue Deaah Tengoh 270 247 128 375
2 Asonanggroe 136 154 110 264
3 Blang Oi 417 735 446 1181
4 Cot Lamkuweuh 280 188 152 340
5 Deah Baro 165 210 102 312
6 Deah Gampong 193 205 155 360
7 Gampong Baru 285 300 237 537
8 Gampong Blang 93 143 71 214
9 Gampong Pie 93 132 40 172
10 Lamjabat 193 192 109 301
11 Lampaseh Aceh 459 750 450 1200
12 Lambung 309 677 313 990
13 Punge Ujong 300 786 229 1015
14 Punge Jurong 736 1432 1003 2435
15 Surin 270 324 247 571
16 Ulhee-lhee 526 735 394 1129
Jumlah 4725 7210 4186 11396
Laporan Yayasan Lamjabat, 2006
Berdasarkan Laporan Kegiatan Tabani Masholih Aceh (HTI, Januari 2005), anggota masyarakat yang selamat dari musibah gempa bumi dan tsunami
ditampung di lokasi-lokasi pengungsian, ditiap kecamatan terdapat sekitar 2-5 posko besar yang menampung sebanyak 300-4.000 pengungsi. Jumlah pengungsi di posko tidak tetap karena mereka pindah ke tempat lain pada saat tidak betah dan atau alasan lain. Selain di posko pengungsian, korban bencana juga ada yang masih tinggal di rumah-rumah penduduk yang masih utuh.
Perumahan
Jumlah rumah yang hancur/hilang/rusak akibat bencana gempa dan tsunami di Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh 5.327 unit, dengan rincian rumah hancur/hilang 2.586 unit, rusak berat 1.147 unit dan rusak ringan 1.310 unit. Di Kecamatan Meuraxa Jumlah rumah yang rusak dan hancur hampir mencapai 100 persen dan yang tersisa hanyalah puing-puing dan bahkan tidak meninggalkan bekas.
Adat dan Budaya Masyarakat Aceh
Budaya merupakan salah satu warisan masyarakat di suatu desa atau daerah yang paling tinggi nilainya. Warisan ini tercipta dari hasil karya dan karsa masyarakat yang diterima secara turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Budaya adalah milik rakyat, baik yang berdomisili di daerah terisolir maupun masyarakat diperkotaan. Budaya akan selalu mengalami perubahan. Hal ini disebabkan adanya dinamika sosial atau terjadinya proses perubahan sosial seiring dengan berjalannya waktu (Nyakpha, 2004).
Dalam sebuah tradisi budaya, katakanlah dalam masalah saudara, bagi masyarakat Aceh jika dikatakan, ”Saboh syehdara” atau “Saboh taloe darah,” artinya diantara mereka mempunyai hubungan darah atau hubungan kekerabatan. Pada
“syedara lingka” dan “syedara gampoeng” didasarkan pada tempat tinggal atau tempat menetap. “Syehdara kaweun” (kawin) merupakan kekeluargaan yang dibangun melalui hubungan darah dan hubungan perkawinan (Kurdi, 2005).
Ketenteraman, keseimbangan, keamanan dan kedamaian merupakan hal-hal yang sangat menentukan dalam kehidupan masyarakat Aceh. Mereka selalu berupaya dan menghormati nilai-nilai atau aturan-aturan yang telah disepakati bersama atau aturan yang telah ditetapkan agama. “Seubakhe-bakhe ureung Aceh, wate geusebut nan Allah dan Nabi teuiem atawa seungap,” artinya sebodoh- bodohnya orang Aceh ketika disebut nama Allah dan nabinya mereka akan terdiam, tak meneruskan pekerjaan yang sedang ia lakukan (Syahrizal, 2004). Budaya ini
masih dirasakan dan terlihat dalam kehidupan hari-hari. Dengan menghargai adat masyarakat Aceh masih dapat bertahan hidup dalam kedamaian hati, ketenteraman jiwa, keseimbangan dan teguh dalam pendirian (Kurdi, 2005).
Bagi orang Aceh mempersepsikan dirinya sebagai orang Islam merupakan bagian dari kehidupan budaya, seakan-akan diri mereka telah menyatu dengan ajaran Islam (Husein, 1970). Ajaran itu memberi pengaruh terhadap perilaku masyarakat Aceh dalam membina hubungan dengan Allah SWT, hubungan masyarakat dengan alam sekitarnya dan hubungan dengan dirinya sendiri.
Struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari syedara saboh ma, syedara saboh nek, syedara saboh aneuk, syedara lingka, syedara gampong dan kaoem.
Artinya, struktur kemasyarakatan di Aceh terdiri dari saudara satu ibu, saudara satu nenek, saudara sesama anak, tetangga, sekampung dan sesama kaum muslimin.
Latar belakang yang dibangun oleh masyarakat Aceh dalam memahami dan mengikat hubungan antara saudara adalah berdasarkan norma-norma agama. Oleh karena itu, tatanan budaya dalam kehidupan masyarakat Aceh, terutama di desa- desa, sering terdengar ungkapan “han teupeh bak tajak han teupeh bak tawoe saboeh nangroe Tuhan peulara” yang artinya kemanapun kita pergi dan pulang tidak ada yang menghalangi, karena semua dijaga oleh Allah yang maha Kuasa. Kalimat itu memiliki nilai sastra yang tinggi yang menunjukkan bahwa budaya orang Aceh tidak mengalpakan nilai-nilai keagamaan dalam setiap kesempatan baik berkaitan dengan kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial budaya (Sufi, 2002).
Orang Aceh pada umumnya berkarakter keras, tidak mau didikte, tidak cepat menyerah hampir dalam semua kesempatan dan teguh dalam menghadapi masalah.
Hal ini mungkin ada hubungannya dengan makanan yang di konsumsi dalam keseharian. Orang Aceh gemar makanan yang pedas-pedas, seperti gulai pliek ue, gulai kambing, ikan lele dan sambal yang terdiri dari asam sunti dan rempah-rempah yang sebagian besar bumbunya itu adalah cabe dan lada. Daging merupakan makanan yang mengandung protein yang dibutuhkan oleh tubuh apalagi ditambah dengan bumbu cabe dan lada membuat orang jadi “panas dan pedas”. Begitu juga dengan ikan lele dan ramuan-ramuan lainnya, jika kita perhatikan hampir semua makanan dari masakan tradisional aceh itu dapat dikatakan tidak ada yang tidak pedas (Sufi, 2002).
Menurut Hill (1960), sebelum tsunami, masyarakat Aceh memiliki banyak rujukan budaya yang menjadi dasar pemikiran mereka seperti lembaga adat, Hadih
Maja, adat istiadat, seni budaya, hikayat, pantun, syair dan struktur-struktur adat lainnya. Dalam karya seni tari, ditemukan gerak, likok, dan syair yang memuat pesan dengan kandungan nilai yang bersifat implisit, seperti dalam Tari Laweuty, Tari Pho, Tari Seudati, Tari Saman dan sebagainya. Pasca tsunami struktur lembaga dan seni-seni budaya yang ada dalam masyarakat Aceh itu sudah tidak dapat dijadikan rujukan karena di samping hancurnya lembaga adat, struktur budaya dari ketua- ketua adat meninggal dunia, khususnya mereka yang berdomisili dekat pesisir Aceh Barat dan Kota Banda Aceh.
Dalam beberapa kesempatan, ungkapan yang sering dijadikan rujukan perilaku terkesan memiliki bukti yang nyata. Sebelumnya orang Aceh mengetahui dan mempraktekkan adat-budaya dalam kehidupan bermasyarakat, namun sekarang sudah ditinggalkan. Mereka suka mengutip beberapa sumber nilai dalam Hadih Maja, sehingga ditemukan sifat-sifat yang terpuji dengan konsekuensi buruk, memperlihatkan bukti yang amat nyata. Sifat geumaseh (pemurah) dan seutia (loyal- setia) adalah sifat dan perilaku yang amat terpuji dalam kurun waktu tertentu, namun pada kurun waktu lain sifat itu menjadi buruk akibatnya.
Banyak orang yang terlibat ketika terjadi tsunami pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu. Masing-masing mereka lari menyelamatkan diri. Banyak orang yang tidak setia kepada sanak keluarga apalagi kepada orang lain. Mayat bergelimpangan dimana-mana dalam keadaan telanjang bulat hanya sedikit diantara mereka yang memiliki budaya kesetiakawanan sosial. Di tempat lain ditemukan pula ungkapan serupa, “Ta weueh ie mata gob saboh tima, rho ie mata droe teueh saboh blang,”
(untuk mencegah agar air mata orang lain jangan tumpah seember, akan boleh jadi tumpah air mata sendiri satu hamparan sawah). Ungkapan ini memiliki arti bahwa jika membantu orang, ingat-ingat nasib sendiri. Ini adalah suatu contoh bagaimana sifat suka menolong dan membantu kesulitan orang lain, justru harus dibayar dengan kerugian lebih besar pada diri sendiri, padahal sifat dan perilaku suka menolong orang lain merupakan sifat sangat terpuji dalam tata kehidupan orang Aceh (Kurdi, 2005).
Masalah-Masalah Keluarga Pasca Gempa dan Tsunami
Pengungsian, baik yang disebabkan oleh bencana alam seperti banjir, gempa bumi, angin topan (tornado), gelombang pasang (tsunami), maupun yang disebabkan oleh bencana sosial dan politik seperti tawuran antar warga, konflik antar ras, peperangan, dan lain-lain menyisakan permasalahan yang perlu segera
ditangani. Permasalahan tersebut berdampak pada terhambatnya pemenuhan kebutuhan dasar, tercerai berainya anggota keluarga dan timbulnya masalah psikososial yang pada akhirnya mempengaruhi keberfungsian sosial korban bencana. Bantuan pangan, sandang dan pemukiman yang bersifat sementara dapat saja diusahakan dengan segera untuk mengatasi masalah pemenuhan kebutuhan dasar (fisiologis) korban bencana melalui bantuan pemerintah atau bantuan dari organisasi-organisasi non pemerintah. Berbagai masalah dihadapi keluarga korban bencana gempa dan tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD). Dalam penelitian ini permasalahan-permasalahan yang dihadapi keluarga dikelompokkan menjadi enam, yaitu masalah pangan, kesehatan, pendidikan, perumahan, pakaian dan pekerjaan/pendapatan.
Masalah Pangan
Permasalahan pangan yang masih dialami oleh 52.2 persen keluarga adalah tidak adanya pangan hewani dalam menu yang disajikan setiap hari, dan makan kurang dari 3 kali sehari dengan menu bukan empat sehat masih juga dialami oleh 26.8 persen keluarga (Lampiran 2).
Jika dicermati data pada Tabel 10, secara keseluruhan masih ada 12.3 persen keluarga mengalami masalah pangan walaupun bencana sudah berlalu 1.5 tahun. Rata-rata skor masalah pangan secara keseluruhan adalah 29.21.
Berdasarkan tipologi rata-rata masalah pangan paling tinggi dialami oleh keluarga utuh (30.08) dan terendah dialami oleh keluarga janda (24.43). Rendahnya masalah pangan yang dihadapi keluarga janda karena adanya bantuan-bantuan khusus untuk anak yatim.
Tabel 10 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pangan
Kategori masalah Pangan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 90 87.4 18 90.0 13 86.7 121 87.7
Sedang 7 6.8 1 5.0 2 13.3 10 7.2
Tinggi 6 5.8 1 5.0 0 0.0 7 5.1
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 30.08 28.32 24.43 29.21
Standar deviasi 25.36 24.84 23.46 24.98
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 66.70 100.00 Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.708
Pada saat data dikumpulkan, sebagian besar keluarga masih mendapatkan bantuan bahan makanan berupa beras (10 kg/individu), minyak (1 kg/individu) mie dan sarden yang diberikan tiap bulan yang jumlahnya berdasarkan banyaknya anggota keluarga. Namun demikian, tidak semua keluarga bernasib baik karena sebagian desa sudah tidak menerima bantuan apapun baik dari pemerintah maupun dari LSM.
Masalah Kesehatan
Adanya fasilitas pelayanan kesehatan gratis dari pemerintah dan LSM dalam dan luar negeri membuat keluarga tidak mengalami banyak masalah dalam hal pengobatan. Petugas medis secara rutin datang ke barak-barak pengungsian untuk memeriksa kesehatan tanpa dikenakan biaya. Namun demikian masih ada keluarga yang mengalami kesulitan untuk membayar biaya pengobatan pada saat mereka berobat ke dokter praktek. Hal ini dikarenakan mereka sakit pada saat petugas medis tidak datang ke barak-barak sehingga harus berobat sendiri ke dokter atau ke rumah sakit. Hasil penelitian menunjukkan masih ada 47.8 persen contoh menyatakan mengalami kesulitan dalam membayar obat-obatan. Jika dilihat berdasarkan tipologinya, 65 persen keluarga duda menyatakan sulit membayar obat- obatan dan hanya sebagian kecil (8.7%) keluarga yang menyatakan bahwa jika ada anggota keluarga yang sakit tidak selalu dibawa berobat ke dokter atau puskesmas (Lampiran 2).
Hasil penelitian menunjukkan rata-rata skor masalah kesehatan yang paling rendah dijumpai pada tipologi keluarga utuh (25.73), dan skor tertinggi pada keluarga duda (40.00). Tingginya skor masalah kesehatan yang dihadapi oleh tipologi duda dimungkinkan karena contoh harus menghadapi sendiri masalah kesehatan anggota keluarga yang sebelumnya dibantu oleh istri.
Tabel 11 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah kesehatan
Kategori masalah Kesehatan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 55 53.4 8 40.0 7 46.7 70 50.7
Sedang 43 41.7 8 40.0 7 46.7 58 42.0
Tinggi 5 4.9 4 20.0 1 6.7 10 7.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 25.73 40.00 30.00 28.26
Standar Deviasi 29.59 34.79 36.84 31.37
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar 0.173
tipologi keluarga
Pada keluarga utuh, adanya orang tua yang masih lengkap, permasalahan kesehatan dapat ditanggulangi bersama-sama. Pada tipologi janda, peran ibu relatif masih berfungsi terkait dengan kesehatan anggota keluarga. Namun demikian, berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah kesehatan antara ketiga tipologi keluarga.
Masalah Pendidikan
Pada bulan-bulan pertama pasca bencana, proses belajar-mengajar sulit dilakukan. Bukan saja karena gedung sekolah rusak, tetapi juga karena sebagian guru yang mengajar dan siswa juga tak jelas keberadaannya atau kehilangan keluarga. Sekolah-sekolah di kawasan yang selamat dari amukan tsunami, masih dimanfaatkan menjadi tempat pengungsian (Hidayati, 2005).
Secara keseluruhan, masih ada 21.0 persen keluarga mengalami masalah pendidikan dengan kategori tinggi. Berdasarkan tipologi, keluarga duda mengalami masalah pendidikan paling tinggi dengan rata-rata 48.34, paling rendah dialami oleh tipologi keluarga janda yakni 35.55 (Tabel 12). Berdasarkan analisis anova tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah pendidikan antara ketiga tipologi keluarga.
Tabel 12 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pendidikan
Kategori masalah pendidikan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 63 61.2 13 65.0 10 66.7 86 62.3
Sedang 19 18.4 3 15.0 1 6.7 23 16.7
Tinggi 21 20.4 4 20.0 4 26.7 29 21.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 37.22 48.34 35.55 38.65
Standar Deviasi 40.24 38.21 38.77 39.72
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.496
Pada saat penelitian ini dilakukan masih ada 5.3 persen anak usia sekolah yang tidak bersekolah pasca gempa dan tsunami. Untuk melaksanakan wajib belajar bagi anak usia sekolah pemerintah daerah telah memberikan perhatian yang serius dengan memberikan biaya pendidikan gratis mulai dari TK hingga jenjang SLTA, termasuk fasilitas sekolah seperti seragam, tas, sepatu, buku-buku dan snack gratis yang dibagikan seminggu sekali di sekolah.
Selain pendidikan formal, saat ini banyak pendidikan non formal yang bermunculan di Banda Aceh seperti yang dilaksanakan oleh Yayasan Lamjabat di Kecamatan Meuraxa. Yayasan ini melaksanakan berbagai kegiatan seperti pelatihan komputer, perbengkelan, menjahit, memasak dan pelatihan pertanian yang dilakukan oleh BRR dan LSM dengan sasaran utama adalah para remaja yang tidak melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi, ibu-ibu yang tidak bekerja dan bapak- bapak yang kehilangan pekerjaan. Hal yang sama juga dilakukan di Kecamatan Kuta Alam. Namun demikian masih ada 33.9 persen anak keluarga contoh yang tidak mengikuti pendidikan non formal dengan berbagai alasan antara lain: (1) tidak sesuai dengan bakat; (2) tidak memiliki modal jika ingin buka usaha sendiri; (3) kurangnya lapangan pekerjaan; dan (4) membosankan. Permasalahan pendidikan lainnya yang dihadapi 48.6 persen keluarga adalah tidak mampu menyediakan fasilitas belajar di rumah untuk keperluan sekolah anak. Hal ini disebabkan karena sebagian besar keluarga masih tinggal di barak pengungsian (Lampiran 2).
Masalah Perumahan/Tempat Tinggal
Masalah perumahan/tempat tinggal sangat dirasakan oleh karena keluarga korban tsunami masih tinggal di tenda-tenda pengungsian. Sebagian besar keluarga merasa tidak nyaman dengan fasilitas sangat tidak memadai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 34.8 persen keluarga menyatakan rumah untuk tempat berlindung tidak memadai, 29.7 persen menganggap rumah tidak dilengkapi dengan fasilitas MCK (mandi, cuci dan kakus), 31.4 persen menyatakan kurangnya ruangan untuk sekeluarga dan 25.4 persen keluarga menyatakan bahwa rumah/tempat tinggal saat ini tidak memiliki cukup penerangan (Lampiran 2). Hal tersebut dimungkinkan karena keluarga tinggal di barak-barak pengungsian karena pembangunan perumahan untuk para korban bencana yang dijanjikan pemerintah belum semua selesai. Disamping itu juga karena memang status mereka sebelum tsunami sebagai pengontrak yang tidak memiliki lahan untuk perumahan, jadi terus bertahan tinggal di barak-barak walaupun kondisi barak yang tidak memenuhi standar kesehatan. Hal ini dilakukan karena tidak mampu mengeluarkan biaya kontrak yang harganya sangat tinggi. Di tenda-tenda pengungsian, para pengungsi sering harus saling menyesuaikan diri, terutama karena situasi yang serba darurat. Sebagian pengungsi mengalami kesulitan untuk dapat menyesuaikan diri karena mengalami perubahan status,
misalnya ibu rumahtangga yang menjadi janda, bapak-bapak yang menjadi duda biasanya mengalami kekakuan dalam berperilaku.
Hasil pengkategorian skor masalah perumahan/tempat tinggal yang dihadapi keluarga menunjukkan bahwa sebanyak 25.4 persen keluarga mengalami masalah perumahan dengan kategori tinggi (Tabel 13). Skor masalah perumahan paling tinggi dialami oleh keluarga utuh (29.1 persen) dan paling rendah keluarga janda yaitu 6.7 persen. Tingginya skor permasalahan perumahan pada tipologi keluarga utuh dimungkinkan karena barak yang disediakan hanyalah satu ruangan yang berukuran 4x4 m dimana seluruh anggota keluarga baik laki-laki dan perempuan harus melakukan semua aktivitas dalam suatu ruangan tanpa ada dinding pembatas. Tidak ada perbedaan yang nyata terkait masalah perumahan antara ketiga tipologi keluarga.
Tabel 13 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah perumahan
Kategori masalah rumah
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 61 59.2 16 80.0 13 86.7 90 65.2
Sedang 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4
Tinggi 30 29.1 4 20.0 1 6.7 35 25.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 33.74 28.75 15.00 30.98
Standar Deviasi 40.78 39.96 28.03 39.68
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.225
Masalah Pakaian
Pada hari-hari pertama bencana gempa dan tsunami, masalah pakaian sangat dirasakan oleh para korban yang selamat, 6 bulan pasca bencana bantuan pakaian yang diterima oleh korban cukup memadai , hal ini terbukti saat penelitian ini berlangsung hanya 16.7 persen anggota keluarga tidak memiliki pakaian yang memadai yaitu pakaian di rumah dan pakaian untuk bepergian (Lampiran 2). Bagi keluarga yang bekerja di kantor pemerintahan dan swasta disediakan pakaian dinas yang baru untuk menggantikan pakaian dinas yang hilang akibat tsunami.
Rendahnya masalah pakaian ini juga diperkuat oleh sebagian keluarga yang menganggap masalah pakaian bukanlah masalah penting yang harus selalu dipenuhi, dan sudah menjadi suatu kebiasaan bagi keluarga yang berpenghasilan rendah pakaian baru hanya dibeli setahun sekali yaitu pada saat lebaran saja.
Terkait dengan masalah pakaian, secara keseluruhan hanya 8.0 persen keluarga tergolong dalam kategori tinggi (Tabel 14). Hasil analisis deskriptif mengindikasikan bahwa rata-rata skor masalah pakaian terendah dijumpai pada keluarga tipologi janda (10.00), tertinggi adalah pada tipologi keluarga duda (27.50).
Tingginya skor permasalahan pakaian pada tipologi keluarga duda dimungkinkan karena tidak adanya istri yang mengurus masalah pakaian bagi seluruh anggota keluarga
Tabel 14 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pakaian
Kategori masalah pakaian
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 75 72.8 17 85.0 12 80.0 104 75.4
Sedang 18 17.5 3 15.0 2 13.3 23 16.7
Tinggi 10 9.7 0 0.0 1 6.7 11 8.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 15.05 27.50 10.00 16.30
Standar Deviasi 30.39 37.96 20.70 30.90
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 100.00 100.00 50.00 100.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.182
Masalah Pekerjaan/Pendapatan
Setelah 1.5 tahun pasca bencana, masih terdapat 15.2 persen contoh tidak bekerja dan 24.6 persen contoh menyatakan bahwa penghasilan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari (Lampiran 2). Alasan contoh tidak bekerja adalah karena tidak memiliki modal untuk memulai usaha kembali dan tidak memiliki fasilitas untuk kelaut mencari ikan. Untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari, sebagian contoh bekerja sebagai buruh bangunan yang saat ini banyak dibutuhkan dan tidak memerlukan modal.
Kehilangan pendapatan adalah salah satu gambaran adanya penurunan sumberdaya material yang sangat berpengaruh terhadap keberfungsian keluarga.
Beberapa LSM yang ada di Provinsi NAD berinisiatif membuka lapangan pekerjaan bagi masyarakat yakni membersihkan puing-puing sisa bangunan yang sudah hancur dengan gaji Rp 35.000/hari dan memperoleh makan siang gratis.
Secara keseluruhan masih ada 10.1 persen keluarga yang mengalami permasalah pekerjaan dengan kategori tinggi (Tabel 15). Berdasarkan tipologi masalah pekerjaan terendah dialami oleh keluarga utuh dengan rata-rata 18.45. dan tertinggi dialami oleh keluarga janda dengan rata-rata 30.00. Tingginya skor masalah
pekerjaan/pendapatan pada keluarga janda disebabkan tidak adanya lagi penopang nafkah keluarga yang sebelum tsunami umumnya dipegang oleh suami. Hilangnya pencari nafkah utama keluarga membuat keluarga pada tipologi janda mengalami masalah dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari.
Tabel 15 Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori masalah pekerjaan Kategori masalah
Pekerjaan
Utuh (n=103) Duda (n20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 72 69.9 16 80.0 9 60.0 97 70.3
Sedang 21 20.4 3 15.0 3 20.0 27 19.6
Tinggi 10 9.7 1 5.0 3 20.0 14 10.1
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 18.45 20.00 30.00 19.93
Standar Deviasi 32.83 34.03 36.84 33.39
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimal 100.00 100.00 100.00 100.00
Analisis Anova
antar tipologi keluarga 0.460
Sumberdaya Coping Karakteristik Sosial-Ekonomi Keluarga
Jumlah Anggota Keluarga
Secara keseluruhan rata-rata jumlah anggota keluarga contoh adalah 4 orang.
Berdasarkan tipologi rata-rata jumlah anggota keluarga pada tipologi keluarga utuh lebih banyak daripada keluarga duda dan janda. Kisaran jumlah anggota keluarga pada tipologi keluarga utuh adalah 3 hingga 8 orang, keluarga duda 2 hingga 7 orang dan keluarga janda 2 hingga 4 orang (Tabel 16).
Tabel 16. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori jumlah anggota Kategori Jumlah
Anggota Keluarga
Utuh (n=103)
Duda (n=20)
Janda (n=15)
Total (n=138)
n % n % n % n %
= 4 orang 70 68.0 18 90.0 15 100.0 103 74.6
5-6 orang 24 23.3 1 5.0 0 0.0 25 18.1
= 7 orang 9 8.7 1 5.0 0 0.0 10 7.2
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 4.28 (a) 2.75 (bc) 2.47(cd) 3.86
Standar Deviasi 1.34 1.29 0.64 1.46
Minimum 3.00 2.00 2.00 2.00
Maksimum 8.00 7.00 4.00 8.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.000
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Jumlah anggota keluarga pada keluarga utuh dengan keluarga duda dan janda pasca gempa dan tsunami berbeda nyata (p<0.01). Hal ini berarti bencana tersebut telah mengakibatkan berkurangnya jumlah anggota keluarga ketiga tipologi keluarga. Secara umum, jumlah anggota keluarga setelah gempa dan tsunami termasuk dalam kategori keluarga kecil yakni lebih kecil atau sama dengan empat orang.
Pekerjaan
Pasca gempa dan tsunami banyak orang yang kehilangan pekerjaannya, setahun setelah bencana sebagian besar telah kembali bekerja. Jenis pekerjaan utama contoh sangat bervariasi, diantaranya buruh, PNS/ABRI, pedagang/wiraswasta, karyawan swasta dan LSM/relawan. Dilihat dari jenis pekerjaannya, persentase terbesar (30.4%) keluarga utuh berprofesi sebagai buruh dan keluarga duda (35%) dan janda (46.7%) berprofesi sebagai pedagang/wiraswasta dan ada 15.2 persen contoh yang tidak memiliki pekerjaan. Sebagian besar (94.2%) contoh tidak mempunyai pekerjaan tambahan yang dapat memberikan tambahan pemasukan untuk keluarga. Hanya sebagian kecil (5.8%) contoh yang mempunyai pekerjaan tambahan bekerja sebagai pedagang/wiraswasta, mengurus barak dan buruh.
Tabel 17. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama dan tambahan Jenis Pekerjaan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Utama
1. Buruh 36 35 3 15 3 20 42 30.4
2. Tidak Bekerja 18 17.5 1 5 2 13.3 21 15.2
3. Pedagang/Wiraswasta 22 21.4 7 35 7 46.7 36 26.1
4. Swasta 13 12.6 4 20 1 6.7 18 13.0
5. PNS/ABRI 11 10.7 4 20 2 13.3 17 12.3
6. LSM/Relawan 3 2.9 1 5 0 0 4 2.9
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Tambahan
1. Tidak Bekerja 97 94.2 19 95.0 14 93.3 130 94.2
2. Pedagang/Wiraswasta 4 3.9 1 5.0 1 6.7 6 4.3
3. Mengurus barak 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
4. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Sebagian besar (90.6%) anak keluarga contoh tidak mempunyai pekerjaan yang dapat membantu keuangan keluarga. Hanya 9.4 persen anak keluarga contoh yang bekerja sebagai buruh, PNS/ABRI, swasta dan pedagang/wiraswasta.
Rendahnya persentase anak keluarga contoh yang bekerja dimungkinkan karena usianya masih di bawah umur. Hal yang sama juga terjadi pada anggota keluarga lain hanya 1.4 persen yang bekerja sebagai buruh dan pedagang/wiraswasta
Tabel 18. Sebaran contoh menurut kategori pekerjaan utama anak dan anggota keluarga lain
Pekerjaan Anak & Anggota Keluarga Lain
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Anak
1. Tidak Bekerja 92 89.3 19 95.0 14 93.3 125 90.6
2. Buruh 7 6.8 0 0.0 1 6.7 8 5.8
3. PNS/ABRI 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
4. Swasta 2 1.9 0 0.0 0 0.0 2 1.4
5. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Anggota keluarga lain
1. Tidak Bekerja 102 99.0 19 95.0 15 100.0 136 98.6
2. Buruh 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
3. Pedagang/wiraswasta 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Pengeluaran
Rata-rata pengeluaran keluarga secara keseluruhan adalah Rp 542.819.
Berdasarkan tipologi keluarga, rata-rata pengeluaran keluarga pada keluarga tipologi duda paling tinggi (Rp 726.900) dibandingkan keluarga tipologi janda (Rp 611.892) dan utuh (Rp 497.016) (Tabel 19).
Berdasarkan kategori pengeluaran, sebagian besar keluarga dari tipologi utuh dan janda berada pada kisaran antara Rp 100.000-250.000/kapita/ bulan, dan pada tipologi keluarga duda sebanyak 35 persen berada pada kategori Rp >
250.000-500.000/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbeda- an pengeluaran antara ketiga kelompok tipologi keluarga. Analisis lanjut dengan metode Duncan menunjukkan bahwa yang berbeda nyata adalah pengeluaran tipologi keluarga utuh dan duda.
Jika dibandingkan dengan batas kemiskinan Provinsi NAD pada tahun 1999 (BPS, 2002) yakni sebesar Rp 83.683 untuk wilayah perkotaan, maka rata-rata pengeluaran keluarga dalam penelitian ini masih di atas ambang kemiskinan.
Bahkan bila dibandingkan dengan garis batas kemiskinan Indonesia pada tahun 2002 yakni sebesar Rp 130.499 maka pengeluaran rata-rata keluarga penelitian masih berada di atas ambang kemiskinan. Hal ini mengindikasikan, keluarga dalam masyarakat NAD, khususnya keluarga yang termasuk dalam penelitian ini perekonomiannya telah bangkit kembali setelah bencana gempa dan tsunami melanda.
Tabel 19. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran Kategori Pengeluaran
(Rp/kap/bulan)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
< 100.000 22 21.4 1 5.0 3 20.0 26 18.8
> 100.000 - 250.000 48 46.6 6 30.0 6 40.0 60 43.5
> 250.000 - 500.000 24 23.3 7 35.0 2 13.3 33 23.9
> 500.000 - 750.000 8 7.8 5 25.0 4 26.7 17 12.3
> 750.000 - 1.000.000 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
> 1.000.000 0 0.0 1 5.0 0 0.0 1 0.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 497.016.(ac) 726.900(bc) 611.892.(cb) 542.819 Standar Deviasi 288.282 23.871 25.000 328.564 Minimum 131.800 272.142 25.000 25.000 Maksimum 2.170.333 1.908.250 1.297.833 2.170. 333 Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.011
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Jenis pengeluaran keluarga dapat dibagi menjadi dua kelompok besar yaitu pengeluaran pangan dan non pangan. Secara naluri setiap keluarga lebih dahulu memanfaatkan setiap pendapatannya untuk pangan, kemudian untuk kebutuhan non pangan. Namun demikian, perilaku ini tidak lepas dari faktor-faktor yang mempengaruhinya seperti pendapatan, jumlah anggota keluarga, pendidikan kepala keluarga, lokasi tempat tinggal dan musim (Mangkuprawira, 1989).
Secara umum, rata-rata pengeluaran pangan keluarga contoh adalah Rp 286.559/kap/bulan. Jumlah ini lebih besar dibandingkan pengeluaran non pangan yaitu Rp 260.221/kap/bulan. Hal ini sejalan dengan persentase pengeluaran pangan 51.9 persen yang lebih tinggi dibandingkan pengeluaran non pangan 48.1 persen.
Berdasarkan tipologi keluarga, maka pengeluaran pangan keluarga duda adalah yang paling tinggi Rp 367.379 dibandingkan tipologi keluarga janda Rp 314.061/kap/bulan dan utuh Rp 267.646/kap/ bulan. Pengeluaran non pangan tertinggi juga dijumpai pada tipologi keluarga duda yaitu Rp 377.890/kap/bulan diikuti oleh tipologi keluarga janda sebesar Rp 319.105/kap/bulan dan keluarga utuh Rp
229.369/kap/bulan. Analisis anova menunjukkan bahwa ada perbedaan yang nyata pengeluaran non pangan antar ketiga tipologi keluarga. Selanjutnya uji lanjut Duncan menunjukkan bahwa perbedaan yang nyata hanya antara pengeluaran non pangan keluarga utuh dan duda, pengeluaran pangan keluarga janda tidak berbeda dengan dua tipologi lainnya (Tabel 20).
Tabel 20. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pengeluaran pangan dan non pangan
Pengeluaran (Rp/bulan Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) Pangan
Rata-rata 267.646 367.379 314.061 286.559
Standar Deviasi 157.825 223.606 216.663 177.195
Minimum 79.000 94.285 25.000 25.000
Maksimum 1.232.000 975.000 827.000 1.232.000
Persentase 53.9 50.5 51.3 51.9
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.063
Non Pangan
Rata-Rata 229.369 377.890 319.105 260.221
Standar Deviasi 169.657 286.008 229.410 202.880
Minimum 0.00 60.000 84.750 0.00
Maksimum 938.333 1.337.500 735.555 1.337.500
Persentase 46.1(ac) 49.5(bc) 48.7(cba) 48.1
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.005
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berart berbeda nyata
Pengeluaran keluarga merupakan salah satu indikator yang dapat memberikan gambaran keadaan kesejahteraan penduduk. Semakin tinggi pendapatan maka porsi pengeluaran akan bergeser dari pengeluaran untuk pangan ke pengeluaran non pangan (BPS, 1998). Hal ini sesuai dengan hukum Engel mengenai hubungan pendapatan dan pengeluaran, persentase pengeluaran untuk pangan akan menurun bila pendapatan semakin tinggi (Bryant, 1990). Pergeseran pola pengeluaran terjadi karena elastisitas permintaan terhadap makanan pada umumnya rendah. Artinya konsumsi suatu barang akan menurun bila pendapatan meningkat, sebaliknya elastisitas permintaan terhadap barang bukan makanan pada umumnya tinggi. Dengan demikian, kenaikan pendapatan berakibat pada kenaikan permintaan terhadap suatu barang (BPS, 1998).
Pendapatan
Rata-rata pendapatan keluarga per kapita per bulan pasca bencana gempa dan tsunami disajikan pada Tabel 21. Secara umum, rata-rata pendapatan keluarga
adalah Rp 628.925/kap/bulan dengan kisaran Rp 96.000/kap/bulan hingga Rp 3.666.667/kap/bulan. Rata-rata pendapatan keluarga paling tinggi dijumpai pada keluarga dengan tipologi duda yakni Rp 832.922/kap/bulan, selanjutnya keluarga janda dengan rata-rata Rp 602.000/kap/bulan dan terendah pada keluarga utuh Rp 451.853/kap/bulan. Hasil analisis anova menunjukkan adanya perbedaan yang nyata (p<0.05) antar pendapatan pada ketiga tipologi keluarga. Banyak keluarga yang kehilangan sumber penghasilannya pasca gempa dan tsunami sehingga mereka harus merintis kembali usaha/pekerjaan yang dilakukan sebelumnya atau mencari pekerjaan baru untuk menghidupi keluarganya
Tabel 21. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori pendapatan Kategori Pendapatan
(Rp/kap/bulan)
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
1. < 100.000 2 1.9 0 0 0 0 2 1.4
2. > 100.000 - 250.000 17 16.5 4 20 1 6.7 22 15.9 3. > 250.000 - 500.000 57 55.3 4 20 7 46.7 68 49.3 4. > 500.000 - 750.000 17 16.5 8 40 5 33.3 30 21.7
5. > 750.000 -1.000.000 5 4.9 0 0 1 6.7 6 4.3
6. > 1.000.000 5 4.9 4 20 1 6.7 10 7.2
Total 103 100 20 100 15 100 138 100.0
Rata-Rata 451.853(ac) 832.922 (bc) 602.000(cba) 628.925 Standar Deviasi 258.649 839.151 335.797 477.866
Minimum 96.000 150.000 150.000 96.000
Maksimum 1.500.000 3.666. 667 1.500. 000 3.666. 667 Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.001
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata
Aset
Berbagai aset yang masih dimiliki oleh keluarga pasca gempa dan tsunami mulai dari rumah, tanah, kolam/tambah, ternak, kendaraan, perhiasan/barang berharga, tabungan dan barang elektronika (Tabel 22). Data yang diperoleh menunjukkan ada empat keluarga yang sama sekali tidak memiliki aset karena mereka kehilangan seluruh harta benda yang dimiliki. Rata-rata nilai aset yang dimiliki keluarga secara keseluruhan adalah Rp 20.442.237.06. Berdasarkan tipologi, nilai aset tertinggi dimiliki keluarga janda (Rp 25.193.444) dan terendah dimiliki oleh keluarga utuh (Rp 19.810.416). Artinya meskipun keluarga utuh tidak mengalami kehilangan pasangan, kehilangan ataupun kerusakan harta benda dampaknya dirasakan bersama dengan keluarga janda dan duda. Namun, hasil analisis anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata antara aset pada keluarga utuh, duda dan janda.
Aset berupa ternak hanya dimiliki oleh keluarga utuh. Nilai aset terbesar keluarga berasal dari kolam/tambak yang mengalami kerusakan yang sangat parah pada saat bencana. Aset kendaraan lebih banyak dimiliki oleh keluarga utuh dan keluarga duda. Dan aset berupa tabungan untuk anak dimiliki oleh semua tipologi keluarga, tetapi tabungan khusus pendidikan hanya dimiliki oleh keluarga utuh.
Tabel 22. Rata-rata nilai aset yang masih dimiliki keluarga
Aset Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138) 1. Rumah 56.038.461.5 51.250.000.0 65.571.428.6 57.619.963.4 2. Tanah 48.238.024.7 37.994.444.4 35.928.571.4 40.720.346.8
3. Kebun 0.0 60.000.000.0 0.0 20.000.000.0
4. Kolam/tambak 158.000.000.0 137.500.000.0 100.000.000.0 131.833.333.3 Ternak :
1. Kambing 3.750.000.0 0.0 0.0 1.250.000.0
2. Itik 205.000.0 0.0 0.0 68.333.3
3. Ayam 196.000.0 0.0 0.0 65.333.3
Kendaraan :
1. Mobil 41.166.666.7 112.500.000.0 0.0 51.222.222.2
2. Motor 9.567.641.0 11.785.714.3 7.666.666.7 9.673.340.7
3. Sepeda 2.241.875.0 250.000.0 0.0 830.625.0
4. Becak 11.000.000.0 14.000.000.0 0.0 8.333.333.3
Perhiasan dan Surat Berharga :
1. Emas 4.610.052.6 7.200.000.0 2.590.000.0 4.800.017.5
2. Investasi 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7
3. Surat Berharga 0.0 5.000.000.0 0.0
Tabungan : 0.0
1. Tabungan anak 11.000.000.0 2.000.000.0 9.000.000.0 7.333.333.3
2. Tabungan Penddk 50.000.000.0 0.0 0.0 16.666.666.7
Barang Elektronik :
1. Radio 205.833.3 108.750.0 175.000.0 163.194.4
2. Televisi 1.605.084.8 1.362.500.0 1.357.142.9 1.441.575.9
3. Tape 315.882.4 650.000.0 0.0 321.960.8
4. Vcd 320.232.6 435.714.3 325.000.0 360.315.6
5. Rice cooker 253.510.6 290.000.0 265.000.0 269.503.5
6. Mesin cuci 1.050.000.0 0.0 0.0 350.000.0
7. Kipas angin 145.000.0 0.0 0.0 48.333.3
8. Dispenser 135.000.0 0.0 0.0 45.000.0
9. Komputer 3.000.000.0 0.0 0.0 1.000.000.0
10. Kulkas 1.575.000.0 0.0 1.750.000.0 1.108.333.3
11. Mesin jahit 1.900.000.0 0.0 0.0 633.333.3
Rata-Rata 19.810.416.32 20.132.708.35 25.193.444.44 20.442.237.06 Standar Deviasi 24.878.571.70 18.117.314.41 24.429.740.37 23.877.078.50
Minimum 0.00 0.00 2.500.000.00 0.00
Maksimum 145.325.000.00 69.750.000.00 81.075.000.00 45.325.000.00 Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.718
Kepemilikan aset merupakan salah satu sumberdaya materi ataupun modal yang dapat dimanfaatkan keluarga untuk memulai usaha yang mengalami kehancuran pada saat gempa dan tsunami terjadi. Banyak diantara keluarga yang menjual aset yang dimiliki untuk menopang kehidupannya meskipun mereka mendapatkan bantuan dari berbagai pihak seperti pemerintah, LSM dalam maupun luar negeri.
Ciri-ciri Pribadi Umur
Rata-rata umur kepala keluarga berkisar antara 41 sampai 45 tahun, dan masih termasuk usia produktif. Bila dilihat berdasarkan kategori, 50.5 persen keluarga utuh dan 55 persen keluarga duda berusia 41 - 60 tahun. Berbeda dengan keluarga janda 66.7 persen berusia 21 - 40 tahun (Tabel 23). Namun demikian, hasil uji anova menunjukkan tidak ada perbedaan yang nyata umur antara kedua tipologi keluarga.
Masih tingginya persentase contoh yang tergolong dalam kelompok umur 21-40 tahun khususnya bagi contoh dari tipologi keluarga janda yang sebagian besar masuk dalam usia reproduksi menunjukkan masih tingginya peluang untuk menikah lagi dan memiliki anak. Dengan demikian, dimungkinkan terjadinya lost generation akibat gempa dan tsunami tidak separah yang diperkirakan.
Tabel 23. Statistik dan sebaran contoh menurut kategori umur
Kategori umur Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
< 21 tahun 1 1.0 0 0.0 0 0.0 1 0.7
21-40 tahun 46 44.7 8 40.0 10 66.7 64 46.4
41-60 tahun 52 50.5 11 55.0 4 26.7 67 48.6
> 60 tahun 4 3.9 1 5.0 1 6.7 132 95.7
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 42.31 44.85 41.60 42.60
Standar Deviasi 8.88 8.96 8.34 8.82
Minimum 20.00 31.00 30.00 20.00
Maksimum 68.00 71.00 62.00 71.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.452
Tingkat Pendidikan
Tingkat pendidikan kepala keluarga secara keseluruhan (60.9%) adalah SLTA/sederajat. Meskipun demikian terdapat 11.7 persen pada tipologi keluarga utuh dan 6.7 persen pada tipologi keluarga janda yang berpendidikan perguruan
tinggi Meskipun demikian. Tetapi masih ada 1.4% kepala keluarga utuh dan janda yang tidak pernah menduduki bangku sekolah (Tabel 24). Tingkat pendidikan yang semakin tinggi diharapkan dapat mempermudah keluarga dalam menata kehidupannya kembali pasca gempa dan tsunami baik dari aspek ekonomi maupun trauma psikologis yang dialaminya.
Tabel 24. Sebaran contoh menurut kategori pendidikan formal
Pendidikan Formal
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
1. Tidak Sekolah 1 1.0 0 0.0 1 6.7 2 1.4
2. SD/sederajat 10 9.7 2 10.0 2 13.3 14 10.1
3. SLTP/sederajat 20 19.4 2 10.0 3 20.0 25 18.1
4. SLTA/sederajat 60 58.3 16 80.0 8 53.3 84 60.9
5. PT 12 11.7 0 0.0 1 6.7 13 9.4
Total 103 100.0 20 100.0 15 100 138 100.0
Tingkat Kesehatan
Skor tingkat kesehatan merupakan indikator tingkat kesehatan yang dapat menggambarkan kondisi kesehatan keluarga pasca enam bulan terakhir. Semakin tinggi skor yang diperoleh maka tingkat kesehatan semakin rendah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat kesehatan kepala keluarga selama enam terakhir sebagian besar (87.0%) cukup baik (Tabel 25).
Tabel 25. Statistik dan sebaran keluarga menurut kategori skor kesehatan Selama enam bulan terakhir
Kategori Tingkat Kesehatan
Utuh (n=103) Duda (n=20) Janda (n=15) Total (n=138)
n % n % n % n %
Rendah 1 1.0 3 15.0 0 0.0 4 2.9
Sedang 11 10.7 3 15.0 0 0.0 14 10.1
Tinggi 91 88.3 14 70.0 15 100.0 120 87.0
Total 103 100.0 20 100.0 15 100.0 138 100.0
Rata-Rata 13.73(ac) 28.35(b) 9.73(ca) 15.41
Standar Deviasi 14.10 27.79 6.50 17.02
Minimum 0.00 0.00 0.00 0.00
Maksimum 68.80 100.00 23.90 100.00
Analisis Anova antar
tipologi keluarga 0.001
Ket : * huruf dalam kurung pada baris yang sama adalah analisis uji lanjut duncan; huruf yang berbeda berarti berbeda nyata