• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang pasti akan berpendapat bahwa anak merupakan generasi yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. Setiap orang pasti akan berpendapat bahwa anak merupakan generasi yang"

Copied!
25
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap orang pasti akan berpendapat bahwa anak merupakan generasi yang akan meneruskan perjuangan dan cita-cita seluruh bangsa-bangsa di belahan bumi ini.

Merekalah nantinya yang akan menjadi pemimpin baru yang siap untuk menghadapi tantangan baru seiring dengan perkembangan zaman. Hal ini secara tegas dirumuskan dalam butir c konsiderans Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak yang berbunyi “bahwa anak adalah tunas, potensi, dan generasi muda penerus cita-cita perjuangan bangsa, memiliki peran strategis dan mempunyai ciri dan sifat khusus yang menjamin kelangsungan eksistensi bangsa dan negara pada masa depan”.

Sebuah keluarga akan terasa tidak lengkap tanpa kehadiran seorang anak yang sering disebut-sebut sebagai buah hati. Maka ketika seorang anak lahir, kedua orang tuanya akan memberikan segenap perhatian dan kasih sayang pada anak tersebut karena memang seorang anak berhak dan sangat layak untuk mendapatkan perlakuan khusus sebagai makhluk lemah dan masih sangat bergantung kepada orang tuanya.

Sejak dilahirkan ke dunia ini, setiap orang, termasuk seorang anak memiliki hak-hak yang melekat dalam dirinya sebagai anugerah yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa dan hal tersebut secara tegas dirumuskan dalam Undang-Undang Dasar Republik

(2)

Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Hak anak adalah bagian dari hak asasi manusia yang wajib dijamin, dilindungi, dan dipenuhi oleh orang tua, keluarga, masyarakat, pemerintah, dan negara.1 Hak-hak tersebut juga jelas diatur dalam Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Tentang Hak Anak 20 November 1989 yang telah secara resmi diratifikasi oleh Indonesia. Hukum memberikan perlindungan secara penuh terhadap hak-hak anak. Perlindungan hukum bagi anak dapat diartikan sebagai upaya perlindungan hukum terhadap berbagai kebebasan dan hak asasi anak (fundamental rights and freedoms of children) serta berbagai kepentingan yang berhubungan dengan kesejahteraan anak.2 Uraian di atas secara jelas memaparkan bahwa perlindungan hak anak bukan hanya merupakan tugas pemerintah dan orang tuanya saja, melainkan juga tugas masyarakat secara umum.

Kenyataannya, tidak seluruh anak yang ada di negara ini mendapatkan perlindungan hak secara penuh, namun banyak anak semakin menjadi sosok yang terancam oleh perlakuan orang-orang dewasa maupun teman sebaya. Jika kita perhatikan pemberitaan di berbagai media massa, baik media elektronik maupun media cetak, kita akan menemukan bahwa semakin banyak anak-anak yang menjadi korban kejahatan di seluruh Indonesia, baik secara fisik, psikis, bahkan seksual.

Masalah kejahatan terhadap anak ini bukan hanya menjadi masalah bangsa Indonesia saja, tetapi menjadi masalah hampir seluruh negara-negara di dunia sebagaimana

1 Pasal 1 ayat (12) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak. 

2 Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1998, selanjutnya disebut Buku I), hlm. 153. 

(3)

yang dikemukakan Ibu Negara, Ani Bambang Yudhoyono, ”masalah kekerasan terhadap anak bukan hanya masalah bangsa Indonesia melainkan sudah menjadi masalah global, dimana perdagangan anak, dan kasus eksploitasi anak di bawah umur yang semakin meningkat akhir-akhir ini yang membuat kita merasa sangat prihatin.3” M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, 1999 mengemukakan4:

“pada tatanan hukum, hak-hak yang diberikan kepada anak belum sepenuhnya bisa ditegakkan. Hak-hak anak sebagaimana dimaksud dalam dokumen hukum mengenai perlindungan hak-hal anak masih belum cukup ampuh bisa menyingkirkan keadaan yang buruk bagi anak . Pada kenyataannya, tatanan dunia dan perilaku kehidupan masyarakat masih menyimpan masalah anak.

Bahkan keadaan sperti itu bukan saja melanda Indonesia, namun juga hampir pada seluruh muka jagat bumi ini.”

Tindak pidana terhadap anak terjadi di seluruh kota yang ada di Indonesia.

Bentuk tindak pidana tersebut juga berbeda-beda. Mulai dari perbuatan cabul, penganiayaan, perdagangan anak, eksploitasi seksual anak, bahkan pembunuhan anak. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi di Kalimantan Barat, dimana seorang bujang tua bernama Sumadi alias Kocer alias Pak Itam, akhir April lalu dilaporkan ke petugas kepolisian, karena dituduh telah melakukan tindakan pencabulan terhadap tiga anak laki-laki yang masih di bawah umur.5 Hal yang sama juga terjadi di Kota Tasikmalaya, seorang pelajar berusia 16 tahun telah disetubuhi atau menjadi korban

3LCKI 11 Juli 2006,

http://www.lcki.org/index.php?option=com_content&view=article&id=102%3Aseminar-pencegahan- kejahatan-terhadap-anak&catid=45%3Aseminar-workshop-diskusi&Itemid=37&lang=id, diaksess 28 Maret 2011 

4 M. Joni & Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak dalam Perspektif Konvensi Hak Anak, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hlm. 1 

5 Asep Syaifullah, 2009, Indosiar, http://www.indosiar.com/ragam/40835/perbuatan-cabul- bujang-tua, diakses tanggal 13 Maret 2011 

(4)

perbuatan cabul.6 Kejadian serupa juga terjadi di Kota Palembang, dimana seorang ayah telah mencabuli anak tirinya ketika sedang tertidur pulas.7 Berbeda dengan kasus yang baru-baru ini terjadi di Surabaya, dimana seorang ayah tega menganiaya yang mengakibatkan kematian Almira, bayinya sendiri yang masih berusia 18 (delapan belas) bulan dan setelah mengetahui anaknya meninggal dunia, sang ayah pun melarikan diri.8 Keadaan ini tentu saja merupakan suatu keadaan yang sangat memprihatinkan. Potensi dan posisi anak sebagai generasi penerus bangsa tampaknya bukan lagi menjadi alasan untuk memperlakukan anak sebagai seseorang yang harus dilindungi bagi sejumlah orang, tetapi justru anak sebagai makhluk yang rentan dan belum banyak mengerti tentang segala sesuatu, semakin dimanfaatkan oleh orang lain untuk melakukan tindak pidana terhadap anak. Fakta itu semakin terkuak, dimana anak yang seharusnya tumbuh berkembang dalam dunianya dan menikmati masa kecilnya yang bahagia dan tanpa beban harus dirampas hak-haknya oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab.

Sama seperti kota-kota lain di Indonesia yang banyak menghadapi persoalan tindak pidana terhadap anak, hal yang sama juga terjadi di Kota Medan. Terbukti dengan sebuah berita mengenai perbuatan cabul yang dilakukan oleh seorang kakek

6 Kepolisian RI, Polres Ciamis, 10 Maret 2011,

http://ppid.polri.go.id/index.php?pages=details&id=8866&iduser=725&sat=65, diakses 13 April 2011 

7 Banjarmasin Post, 11 Juli 2010,

http://banjarmasin.tribunnews.com/index.php/read/artikel/2010/7/11/49859/hubungikami, diakses tanggal 13 April 2011

8 Kabar Petang TVOne, Minggu/17 April 2011, Pukul 18. 47 WIB 

(5)

berumur 60 tahun terhadap anak berumur 13 tahun.9 Parahnya, hal yang sama juga dilakukan oleh seorang ayah tiri terhadap anaknya yang masih berusia 10 tahun.10 Kejadian yang lebih miris lagi, perbuatan cabul tersebut dilakukan oleh seorang oknum guru yang berstatus Pegawai Negeri Sipil (PNS) terhadap 6 (enam) orang anak di bawah jembatan kanal Brigjen. Katamso11, padahal, seorang guru seharusnya memberikan didikan dan teladan bagi para murid agar dapat tumbuh dan berkembang menjadi anak yang baik. Kasus-kasus di atas merupakan sebuah potret dimana anak sebagai generasi penerus bangsa yang seharusnya diperlakukan secara khusus agar tidak mengganggu perkembangan jiwanya dan dapat bertumbuh dan berkembang secara wajar, harus dirusak jiwa dan mentalnya oleh perbuatan orang yang tidak bertanggung jawab. Perlakuan khusus terhadap anak juga diberikan oleh hukum, dimana jika suatu tindakan yang dilakukan terhadap orang dewasa tidak dikualifikasikan sebagai tindak pidana atau pelanggaran hukum, tetapi jika dilakukan terhadap anak akan menjadi tindak pidana.12 Misalnya, jika seorang laki-laki dewasa membawa lari seorang wanita dewasa atas persetujuan wanita tersebut, maka perbuatan itu tidaklah dianggap sebagai perbuatan pidana, tetapi jika perbuatan tersebut dilakukan kepada seorang anak yang masih di bawah umur, sekalipun itu

9 Medan Talk, 15 April 2010, http://www.medantalk.com/hari-ini-h-bai-diperiksa/, diakses tanggal 28 Maret 2011. 

10Harian Sumut Pos, 07 Januari 2011, http://www.hariansumutpos.com/arsip/?p=68755, diakses 28 Maret 2011. 

11 Waspada Online, 08 April 2011,

http://www.waspada.co.id/index.php?option=com_content&view=article&id=186378:guru-sd-cabul- diamankan&catid=14:medan&Itemid=27, indeks..., diakses 13 April 2011 

12 Darwan Prinst, Hukum Anak Indonesia, 1997, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, hlm. 99 (Bandingkan dengan Pasal 332 Ayat 1 KUHP) 

(6)

dikehendaki dan disetujui oleh anak tersebut, maka perbuatan tersebut tetap diancam dengan pidana.

Kasus di atas merupakan sebagian kecil dari kasus-kasus yang terjadi di Kota Medan. Data Kepolisian Negara Republik Indonesia Daerah Sumatera Utara Resor Kota Medan (Polresta Medan) yang dihimpun dari Tahun 2007 sampai dengan Tahun 2010 menunjukkan ada 57 laporan kasus tindak pidana terhadap anak, 47 kasus diantaranya adalah kasus perbuatan cabul terhadap anak, selebihnya penganiayaan, percobaan perkosaan, dan perdagangan anak. Untuk lebih jelasnya dapat kita perhatikan dalam Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1. Laporan Tindak Pidana Terhadap Anak Polresta Medan Tahu

n

Jenis Tindak Pidana Jumla h Kasus

Usia Korban

Jeratan Keterangan

1. Perbuatan Cabul 13 3,2 - 16

293 KUHP 1 cabut BP.

1 P.22 Selebihnya

masih dalam proses.

2. Penganiayaan 1 17 351 KUHP proses 2007

3. Melarikan anak di bawah umur

1 16 332 KUHP proses

(7)

1. Perbuatan Cabul 22 4 - 16 1 Pasal 290 KUHP,

Selebihnya Pasl 293 KUHP

3 Cabut BP 6 SP3, 3 P.22, Selebihnya

masih dalam proses

2. Penganiayaan 4 11 - 16 170 KUHP jo.

351 KUHP

2 SP 3,

2 dalam proses 3. Percobaan

Perkosaan

1 2 Pasal 82 UU No.

23 Tahun 2002

Cabut BP

4. Kekerasan Terhadap Anak

1 15 Pasal 80 UU No.

23 Tahun 2002

Cabut BP 2008

5. Perdagangan Orang

1 15 Pasal 297 KUHP P. 22 2009 1. Perbuatan Cabul 4 4 - 14 1 Pasal 290

KUHP

3 Pasal 293 KUHP

1 P. 22 Selebihnya dalam proses

2010 1. Perbuatan Cabul 8 4 - 17 4 Pasal 293 KUHP

6 Pasal 82 UU

1 SP 3 1 Cabut BP 6 Proses

(8)

No. 23 Tahun 2002

2. Melarikan Anak di Bawah Umur

1 17 Pasal 332 dan

328 KUHP

P. 22

Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis tindak pidana terhadap anak yang paling banyak terjadi adalah kejahatan seksual terhadap anak, yakni perbuatan cabul.

Hal ini tentu saja sangat merusak fisik dan psikis anak yang nantinya akan berpengaruh pada masa depan yang harus dibayangi trauma masa lalunya, padahal, sejumlah peraturan perundang-undangan telah mengatur mengenai perlindungan kejahatan seksual terhadap anak. Sebuah negara yang mencurahkan perhatian terhadap anak paling mudah dilihat dari perbagai produk peraturan perundang- undangan yang menyangkut perlindungan anak.13 Perumusan peraturan perundang- undangan tersebut akan dirumuskan dengan rinci, detail dan tidak menimbulkan celah sedikitpun bagi pelaku untuk lolos dari jeratan hukum tersebut. Kitab Undang- Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) juga merumuskan beberapa perlindungan terhadap anak antara lain:

1. Menjaga kesopanan anak (Pasal 283 KUHP)

Dalam Pasal ini secara tegas dijelaskan mengenai larangan terhadap perbuatan yang dapat mengusik kesopanan anak dengan menawarkan,

13 Aminah Aziz, Aspek Hukum Perlindungan Anak, (Medan: USU Press, 1998), hlm. 1 

(9)

memberikan untuk terus menerus ataupun sementara waktu, menyerahkan atau memperilhatkan tulisan, gambaran atau benda yang melanggar kesusilaan, bahkan dikenakan hukuman yang sama bagi seseorang yang membaca isi tulisan yang melanggar kesusilaan di muka orang yang belum dewasa. Pasal ini menegaskan bahwa kesopanan anak harus dijaga dan dipertahankan, sebab anak memiliki sifat seperti tape recorder, dimana ia bisa merekam apapun yang ia dapatkan, bersifat reseptif yang dengan mudah menerima apa yang ia dengar maupun lihat, dan meniru atau mengikuti tindakan atau kebiasaan-kebiasaan yang sudah ia terima sebagai suatu kewajaran.14

2. Larangan bersetubuh dengan orang yang belum dewasa (Pasal 287 KUHP) Pasal ini menegaskan larangan dan sanksi bagi pelaku yang bersetubuh dengan anak yang masih di bawah umur.

3. Larangan berbuat cabul dengan anak (Pasal 290, 294, dan 295 KUHP) Perbuatan cabul terhadap anak merupakan suatu perbuatan yang sangat merusak psikis dan fisik anak. Dalam pasal-pasal ini ditegaskan larangan perbuatan cabul terhadap anak, bahkan diancam juga dengan pidana jika seseorang membiarkan terjadinya perbuatan cabul terhadap anak.

4. Larangan menculik anak (Pasal 330 KUHP)

14 http://id.shvoong.com/lifestyle/family-and-relations/2033024-sifat-sifat- anak/#ixzz1K2egJkDc, diakses 20 April 2011 

(10)

Kasus penculikan anak banyak sekali yang berujung kepada eksploitasi anak, perbudakan anak, hingga penjualan anak (children trafficking).

Terhadap kasus penculikan anak pasal ini menegaskan ancaman hukuman bagi seseorang yang melakukan penculikan anak, namun dalam rumusan pasal ini terdapat ketidakjelasan kata-kata yang dapat mengakibatkan penafsiran yang salah bahkan membuat masayarakat tidak mengerti.

5. Larangan menyembunyikan orang yang belum dewasa (Pasal 331 KUHP) Pasal ini menegaskan larangan dan sanksi bagi orang yang menyembunyikan anak dari pengawasan orang yang berwenang atas anak tersebut.

6. Larangan melarikan perempuan belum dewasa (Pasal 332 KUHP)15

Pasal ini menegaskan larangan untuk membawa lari seorang wanita di bawah umur, baik dengan persetujuan wanita tersebut, maupun dengan tipu muslihat, kekerasan atau acnaman kekerasan.

Pasal-pasal di atas menyebutkan beberapa tindakan yang melanggar hak-hak anak, walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri jumlah tindakan perbuatan cabul terhadap anak yang mendominasi dalam Data Polresta Medan. Hal ini tentu saja menimbulkan keprihatian yang mendalam di hati kita, karena anak sebagai makhluk yang seharusnya dilindungi harus dirusak kehormatannya yang tentu saja akan memperngaruhi tumbuh kembangnya, padahal, mengenai perbuatan cabul tesebut

15 Darwan Prinst, Op. Cit., hlm. 101-102 

(11)

telah diatur dalam peraturan perundang-undangan. Dalam Pasal 290 ayat (2) dan (3) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia (KUHP) dirumuskan “diancam dengan pidana penjara paling lama tujuh tahun:

(2) barang siapa melakukan perbuatan cabul dengan seseorang, padahal diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya, bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas, yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin;

(3) Barang siapa membujuk seseorang yang diketahuinya atau sepatutnya harus diduganya bahwa umurnya belum lima belas tahun atau kalau umurnya tidak jelas yang bersangkutan belum waktunya untuk dikawin, untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, atau bersetubuh di luar perkawinan dengan orang lain.

Rumusan pasal di atas yang paling banyak digunakan dalam menjerat tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Polresta Medan, padahal, telah ada peraturan khusus yang diterbitkan mengenai tindak pidana tersebut yang rumusannya lebih detail dan lebih jelas, serta dengan ancaman hukuman yang lebih berat, yaitu Pasal 82 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, yang berbunyi:

“Setiap orang yang dengan sengaja melakukan kekerasan atau ancaman kekerasan, memaksa, melakukan tipu muslihat, serangkaian kebohongan, atau membujuk anak untuk melakukan atau membiarkan dilakukan perbuatan cabul, dipidana dengan pidana penjara paling lama 15 (lima belas) tahun dan paling singkat 3 (tiga) tahun dan denda paling banyak Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah) dan paling sedikit Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah).”

dalam hal ini berlaku asas lex specialis derogat lex generalis, yakni peraturan yang khusus mengesampingkan peraturang yang umum.16 Dimana, Undang-Undang

16 J.C.T. Simorangkir, et. al., Kamus Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 92. 

(12)

Nomor 23 Tahun 2002 sebagai peraturan yang khusus digunakan sebagai prioritas dalam menindak pelaku kejahatan terhadap anak.

Sebagai sebuah negara anggota Perserikatan Bangsa-Bangsa, Indonesia bukan hanya membuat produk perundangan-undangan yang berlaku nasional saja, namun juga memutuskan untuk meratifikasi Konvensi Hak Anak sebagai bukti keseriusan dalam pencegahan pelanggaran hak-hak anak,. Konvensi Hak Anak juga secara rinci menegaskan kepada negara-negara yang meratifikasi Konvensi Hak Anak tersebut untuk melindungi anak dari berbagai bentuk kejahatan seksual yang tertuang dalam Pasal 34 Konvensi Hak Anak :

“Negara-negara Pihak berusaha melindungi anak dari semua bentuk eksploitasi seksual dan penyalahgunaan seksual. Untuk tujuan-tujuan ini, maka Negara-negara Pihak harus terutama mengambil semua langkah nasional, bilateral dan multilateral yang tepat, untuk mencegah:

(1) Bujukan atau pemaksaan terhadap seorang anak untuk terlibat dalam setiap aktivitas seksual yang melanggar hukum.

(2) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pelacuran, atau praktek-praktek seksual lainnya yang melanggar hukum.

(3) Penggunaan eksploitatif terhadap anak-anak dalam pertunjukan dan bahan-bahan pornografis.”

Uraian di atas menunjukkan bahwa betapapun tindak pidana terhadap anak telah dirumuskan dalam pasal-pasal peraturan perundang-undangan, namun pada kenyataannya sampai saat ini kejahatan terhadap anak masih tetap saja terjadi di berbagai daerah di negeri ini, khsusnya di Kota Medan. Hal inilah menjadi latar belakang perlunya penelitian lebih lanjut yang akan disajikan dalam bentuk Tesis yang berjudul PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PERBUATAN CABUL

(13)

TERHADAP ANAK DALAM SUDUT KEBIJAKAN HUKUM PIDANA (STUDI DI KOTA MEDAN).

B. Permasalahan

Berdasarkan uraian dalam latar belakang di atas, adapun permasalahan yang akan diteliti adalah:

1. Mengapa tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak terjadi di Kota Medan?

2. Bagaimanakah upaya penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan selama ini?

3. Bagaimanakah kebijakan yang akan datang dalam penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak menurut kebijakan hukum pidana?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dalam melakukan penelitian ini adalah:

1. Untuk mengetahui dan mendalami faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak di Kota Medan;

2. Untuk mengetahui dan mendalami upaya penanggulangan tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak yang terjadi selama ini;

3. Untuk mengetahui dan mendalami kebijakan yang akan datang dalam menanggulangi tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak menurut kebijakan hukum pidana.

D. Manfaat Penelitian

(14)

Penelitian ini dapat memberikan sejumlah manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, antara lain:

1. Secara Teoretis, untuk membuka paradigma berfikir dalam mendalam permasalahan tindak pidana terhadap anak yang banyak terjadi selama ini dan juga untuk melengkapi bahan-bahan kajian tentang penanggulangan tindak pidana terhadap anak dalam sudut kebijakan hukum pidana di perpustakaan Universitas Sumatera Utara.

2. Secara Praktis, yaitu untuk menambah bahan informasi khususnya bagi instansi terkait dalam usaha menanggulangi tindak pidana terhadap anak khususnya di Kota Medan.

E. Keaslian Penelitian

Guna menghindari adanya duplikasi terhadap permasalahan yang sama dengan permasalahan di atas, maka sebelumnya peneliti telah melakukan penelusuran di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan di Perpustakaan Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, namun tidak ditemukan Tesis dengan judul dan permasalahan yang sama dengan penelitian ini. Oleh sebab itu, judul dan permasalahan di dalam penelitian ini dinyatakan masih asli dan jauh dari unsur plagiat terhadap karaya tulis orang lain yang tidak menjunjung tinggi nilai-nilai keilmuan.

(15)

F. Kerangka Teori dan Kerangka Konsep 1. Kerangka Teori

Kebijakan Kriminal (criminal policy)

Kebijakan kriminal pada hakekatnya merupakan bagian integral dari upaya perlindungan masyarakat (social defence) dan upaya mencapai kesejahtreraan masyarakat (social welfare), oleh karena itu dapat dikatakan bahwa tujuan akhir atau tujuan utama dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk mencapai kesejahteraan masyarakat.17 Menurut Mahmud Mulyadi, istilah criminal policy agaknya kurang tepat jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia sebagai

“kebijakan kriminal”,18 karena seolah-olah mencari suatu kebijakan untuk membuat kejahatan (kriminal), karena itu beliau berpendapat lebih tepat untuk menggunakan istilah kebijakan penanggulangan kejahatan.19

Barda Nawawi Arief mengutip pendapat Sudarto yang mengemukakan tiga arti mengenai kebijakan kriminal, yaitu:

a. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;

b. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum, termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan polisi; dan

17 Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Jakarta: Kencana, 2008, selanjutnya disebut Buku II), hlm. 2 

18 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi Ke III (Jakarta:

Balai Pustaka, 2005), hlm. 149 & 600.

Criminal Policy yang berasal dari Bahasa Inggris yang sering diterjemahkan dengan Kebijakan Kriminal. Jika diterjemahkan secara harfiah, kebijakan merupakan rangkaian konsep dan asas yang menjadi garis besar dan dasar rencana dalam pelaksanaan suatu pekerjaan, kepemimpinan, dan cara bertindak; sedangkan kriminal adalah sesuatu yang berkaitan dng kejahatan (pelanggaran hukum) yang dapat dihukum menurut undang-undang.

19 Mahmud Mulyadi, Criminal Policy: Pendekatan Integral Penal Policy dan Non Penal Policy dalam Penanggulangan Kejahatan, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2008), hlm. 50 

(16)

c. Dalam arti paling luas (yang beliau ambil dari Jorgen Jepsen), ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan melalui perundang-undangan dan badan-bandan resmi, yang bertujuan untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.20

Menurut G. Pieter Hoefnagels upaya penanggulangan kejahatan dapat ditempuh dengan beberapa cara, yaitu:

1. Penerapan hukum pidana (criminal law application);

2. Pencegahan tanpa pidana (prevention without punishment);

3. Mempengaruhi pandangan masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa (influecing views of society on crime of punishment).21

Kebijakan penanggulangan kejahatan ini secara garis besar dapat dibagi menjadi dua, yaitu22:

1) Kebijakan Non-Penal

Kebijakan penanggulangan kejahatan melalui jalur non-penal ini adalah penaggulangan kejahatan sebelum terjadinnya kejahatan yang lebih bersifat tindakan preventif atau pencegahan terjadinya tindak pidana. Dalam hal ini yang harus ditangani adalah faktor-faktor apa saja yang menjadi penyebab terjadinya kejahatan yang tentu saja berhubungan dengan memperbaiki moral bangsa yang dapat ditempuh dengan berbagai upaya pencegahan, baik melalui peningkatan nilai-nilai keagamaan, penyuluhan

20 Barda Nawawi Arief, Buku II, Op. Cit., hlm. 1 

21 Marlina, Peradilan Pidana Anak di Indonesia: Pengembangan Konsep Diversi dan Restorative Justice, (Medan: PT. Refika Aditama, 2009), Hlm. 15 

22 Mahmud Mulyadi, Op. Cit., hlm. 55-65 

(17)

melalui pemuka masyarakat, pendidikan moral di sekolah-sekolah, termasuk pembentukan moral dan karakter dalam keluarga.

Dilihat dari sudut politik kriminal, kebijakan paling strategis dalam penanggulangan kejahatan adalah melalui sarana non-penal ini karena lebih bersifat preventif (pencegahan dan karena kebijakan penal mempunyai keterbatasan/kelemahan, yaitu bersifat fragmentaris/simplistik/tidak struktural-fungsional, dan harus didukung dengan biaya tinggi.23

Upaya penanggulangan kejahatan dengan pendekatan non penal merupakan bentuk upaya pencegahan tanpa menggunakan hukum pidana dengan mempengaruhi pandangan masyarakat terhadap kejahatan dan pemidanaan melalui media massa.24 Dengan demikian media massa harus menjalankan fungsinya dengan memberikan sajian-sajian positif kepada masyarakat, jangan sampai media massa yang menginspirasi masyarakat untuk melakukan kejahatan.

2) Kebijakan Penal

Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal ini adalah penanggulangan kejahatan setelah terjadinya kejahatan. Hal ini bersifat represif (menekan, mengekang, menahan, atau menindas25), artinya dalam hal ini setiap pelaku kejahatan diberikan hukuman sesuai dengan hukum

23 Barda Nawawi Arief, Masalah Penegakan Hukum dan Kebijakan Penanggulangan Kejahatan, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2001, selanjutnya disebut Buku III), hlm. 74 

24 Marlina, Op. Cit., hlm. 17 

25 Lihat Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op. Cit., hlm. 950 

(18)

positif. Penanggulangan kejahatan melalui jalur penal menyangkut bekerjanya fungsi aparatur penegak hukum sistem peradilan pidana yang terdiri dari kepolisian, kejaksaan, pengadilan, dan lembaga pemasyarakatan.26

Menurut Barda Nawawi Arief, pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui sarana penal merupakan penal policy atau penal law enforcement policy yang fungsionalisasinya/operasionalisasinya melalui

beberapa tahap:

1) Formulasi (kebijakan legislatif);

2) Aplikasi (kebijakan yudikatif/yudicial);

3) Eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).27

Tahap formulasi mengharapakan upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan bukan hanya tugas dari aparat penegak hukum, tetapi juga tugas aparat pembuat hukum (aparat legislatif); bahkan kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan melalui penal policy. Oleh karena itu, kesalahan/kelemahan kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menjadi penghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi.28

26 Marlina, Op. Cit., Hlm. 16 

27Barda Nawawi Arief, Buku III, Op. Cit., hlm. 75 

28 Ibid. 

(19)

2. Kerangka Konsep

Agar terdapat persamaan persepsi dalam membaca dan memahami penulisan dalam penelitian ini, maka dipandang perlu dijelaskan beberapa kerangka konseptual yang terdapat dalam tulisan ini, antara lain:

a. Penanggulangan, upaya untuk mengatasi sesuatu.29

b. Tindak Pidana, Tindak pidana dalam didalam WvS (Wetboek Van Strafrecht)/KUHP disebut dengan istilah Strafbaar feit atau Delict,

sedangkan dalam merumuskan undang-undang atau peraturan digunakan istilah peristiwa pidana, perbuatan pidana, atau tindak pidana30. Menurut R.

Soesilo Tindak pidana merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana31.

c. Penanggulangan Tindak Pidana, upaya untuk mengatasi suatu tindakan yang dilarang oleh undang-undang.32

29 Kamus Besar Bahasa Indonesia 

30 Bambang Poernomo, Asas-Asas Hukum Pidana, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1992), hlm. 90 

31 M. Rasyid Ariman, M. Fahmi Raghib, dan S. Pettanase, Sari Kuliah Hukum Pidana dalam Kodifikasi, (Palembang: Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya, 2007), hlm.4 

32 Dalam penjelasan sebelumnya, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, penanggulangan berarti upaya untuk mengatasi sesuatu; sedangkan tindak pidana adalah merupakan suatu tindakan yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan pidana; dari pengertian tersebut ditarik kesimpulan mengenai pengertian Penanggulangan Tindak Pidana. 

(20)

d. Perbuatan Cabul, perbuatan33 yang menyerang kehormatan kesusilaan dan melanggar kesopanan.34 Perbuatan cabul yang dimaksud dalam tulisan ini adalah perbuatan cabul yang berhubungan dengan tubuh atau bagian tubuh, terutama bagian-bagian tubuh yang dapat merangsang nafsu seksual, seperti alat kelamin, buah dada, mulut dan sebagainya yang dipandang melanggar rasa kesusilaan umum.35 Artinya, pelaku telah melakukan perbuatan yang tidak senonoh dengan meremas payudara korban, memasukkan tangan pelaku ke dalam kemaluan korban, menciumi korban, dan atau melakukan hubungan intim dengan korban. Perbuatan cabul merupakan pengertian yang lebih sempit dari pelecehan seksual, dimana jika dikatakan pelecehan seksual jika seorang pria mencolek bagian tubuh wanita, seperti bokong, paha, pinggang, dan bagian sensitif (khusus) lainnya dapat dianggap sebagai pelecehan seksual namun tidak dapat dibuktikan sebagai perbuatan cabul seperti yang dirumuskan dalam KUHP dan UU No. 23 Tentang Perlindungan Anak.

e. Anak

1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana

33 Secara harfiah dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia “perbuatan” diartikan sebagai sesuatu yg diperbuat (dilakukan); tindakan, dan “cabul” keji dan kotor; tidak senonoh (melanggar kesopanan, kesusilaan) 

34 Bandingkan dengan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Op.Cit. hlm. 168 & 184 

35 Adami Chazawi, Tindak Pidana Mengenai Kesopanan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2005), hlm.

82 

(21)

Dalam KUHP sendiri pengaturan tentang batasan usia anak diatur dalam pasal 45, yakni orang yang belum dewasa adalah orang yang masih dibawah enam belas (16) tahun.

2) UU No. 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak

Menurut UU ini batasan usia anak adalah orang yang berusia 8 – 18 tahun, namun dalam hal ini adalah menyangkut anaka nakal yang dirumuskan dalam Pasal 1 butir 1, Anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 (delapan) tahun tetapi belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun dan belum kawin.”

3) UU No. 39 Tahun 1999

Dalam Pasal 1 butir ke 5 UU ini dikatakan “Anak adalah setiap manusia yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah, termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut adalah demi kepentingannya”

4) UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

Pasal 1 butir ke 1 UU ini dikatakan “Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan”

(22)

f. Criminal Policy, yaitu kebijakan penanggulangan kejahatan yang dapat dilalui dengan dua cara, yaitu kebijakan penal (penal policy) dan kebijakan non penal (non penal policy).36

g. Kebijakan Penal (Penal Policy), adalah penanggulangan kejahatan melalui tindakan represif (menghukum pelaku).37

h. Kebijakan Non Penal (non penal policy), adalah penanggulangan kejahatan melalui tindakan peventif (mencegah terjadinya kejahatan).38 G. Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah Metode Penelitian Yuridis Normatif, yang dilakukan dengan mempelajari dan menelaah penerapan norma-norma hukum.39 Penelitian yuridis normatif ini didukung oleh pendekatan yuridis empiris, yaitu dilakukan penelitian lapangan (field research). Penelitian ini merupakan penelitian yang bersifat deskriptif analitis, yaitu bentuk penelitian yang menggambarkan faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya tindak pidana terhadap anak, upaya penanggulangan yang telah dilakukan selama ini dan kebijakan dalam penanggulangan tindak pidana terhadap anak ke depan.

36 Marlina, op. cit., hlm. 15 

37 Ibid., hlm. 16 

38 Mahmud Mulyadi, op. cit., hlm. 55 

39 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1997), hlm. 184 

(23)

1. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Data Primer dan Data Sekunder. Data primer adalah data yang diperoleh dari penelitian lapangan, sedangkan data sekunder terdiri atas:

a) Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang mengikat digunakan dalam penelitian ini40, yakni Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;

dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak.

b) Bahan Hukum Sekunder, bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang terdiri dari buku-buku hukum, surat kabar, tulisan ilmiah, dan internet.

c) Bahan Hukum Tertier, bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder. Dalam penelitian ini digunakan Kamus Besar Bahasa Indonesia, Kamus Hukum, dan Kamus Bahasa Belanda.

2. Teknik Pengumpulan Data41

a. Penelitian Kepustakaan (library research), yaitu menelusuri dokumen- dokumen maupun buku-buku ilmiah untuk mendapatkan landasan teoretis berupa bahan hukum positif yang sesuai dengan objek yang akan diteliti.

40 Ibid., hlm. 185 

41 Sekretariat Jenderal DPR RI, Manual Pedoman Perancangan Undang-Undang, (Jakarta, 2007), hlm. 11 

(24)

b. Wawancara (interview), merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh keterangan secara lisan guna mencapai tujuan untuk mengumpulkan keterangan tentang kehidupan manusia serta pendapat- pendapat mereka42. Teknik wawancara yang digunakan adalah teknik wawancara bebas terpimpin yang bersifat komprehensif (mendalam) dengan menggunakan alat rekam (mp4 player) dan alat tulis43. Wawancara dilakukan terhadap informan yang karena jabatan, pengetahuan, kualitas, serta pengalamannya pernah terlibat secara langsung maupun tidak langsung berkenaan dengan penanggulangan tindak pidana terhadap anak, yaitu:

1) Kepolisian Negara Republik Indonesia Dearah Sumatera Utara Kota Besar Medan dan Sekitarnya (Polresta Medan);

2) Psikolog.

Wawancara dengan korban dan pelaku tindak pidana perbuatan cabul terhadap anak akan dilakukan juga untuk melengkapi keterangan dalam penelitian ini.

3. Analisis Data

Analisis Data, yaitu menganalisis data yang telah diperoleh dalam penelitian tersebut dengan cara data yang telah dikumpulkan akan disajikan dalam uraian dan dijelaskan berdasarkan logika, sehingga kemudian akan diperoleh

42 Burhan Ashshofa, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2007), hlm. 95 

43 Ibid., hlm. 143 

(25)

suatu kesimpulan yang bersifat deduktif, yaitu kesimpulan diuraikan dari hal-hal yang umum ke hal-hal yang khusus dan disajikan dalam bentuk tesis.

Keseluruhan data ini akan dianalisis secara kualitatif.

Gambar

Tabel 1. Laporan Tindak Pidana Terhadap Anak Polresta Medan   Tahu
Tabel di atas menunjukkan bahwa jenis tindak pidana terhadap anak yang  paling banyak terjadi adalah kejahatan seksual terhadap anak, yakni perbuatan cabul

Referensi

Dokumen terkait

Nilai rata-rata organoleptik daging ikan Tuna (Thunnus albacares) segar pada waktu pengambilan sampel, pedagang yang berbeda dan 3 kali ulangan.. Nilai rata-rata

Berdasarkan UU No.16 Tahun 2008 tentang APBN-P dan Surat Edaran Menteri Keuangan Nomor 375/MK.02/2008 tanggal 11 April 2008 tentang Perubahan Anggaran Belanja

Pemimpin dari proyek apartemen lebih dapat melihat kondisi bawahannya, sedangkan untuk proyek hotel pemimpin tidak dapat melihat kondisi bawahannya, sehingga banyak

Salah satu sumber Nairn, Kivlan Zein menuturkan bahwa pensiunan jenderal maupun yang masih aktif setuju dengan FPI—dan gelombang Aksi Bela Islam yang digelar kelompok Islamis..

Beberapa jenis itik yang ada di Indonesia sebagian besar dikenal dengan itik petelur dan secara morfologi dapat dibedakan antara lain: Itik Cirebon, Itik Cihateup, Itik

Karena itu perlu dicari alternatif apa yang harus dilakukan dalam implementasi kebijakan wajib belajar pendidikan dasar sembilan tahun di Propinsi DKI Jakarta agar dapat

Hal tersebut dikemukakan oleh Deputi Pembudayaan Olahraga Raden Isnanta pasca pembukaan ajang ini dengan didampingi oleh Asdep Olahraga Rekreasi Teguh Raharjo, untuk

Menurut beliau dengan anak 5 orang yang diberikan kepada mereka, nampanya menjad PNS tidak bisa menjamin masa depan anak-anak kami, sehinga dengan peluang ada