• Tidak ada hasil yang ditemukan

ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN UTANG DEBITUR (Studi Pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh, Aceh) SKRIPSI OLEH

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN UTANG DEBITUR (Studi Pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh, Aceh) SKRIPSI OLEH"

Copied!
87
0
0

Teks penuh

(1)

SKRIPSI

OLEH

FADHEL MUHAMMAD 110200577

Departemen Hukum Keperdataan (Program Kekhususan Hukum Perdata BW)

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN UTANG DEBITUR

(Studi Pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh, Aceh)

S K R I P S I

Diajukan Untuk Melengkapi Tugas-tugas dan Memenuhi Syarat-syarat Guna Memperoleh Gelar Sarjana Hukum

OLEH

FADHEL MUHAMMAD 110200577

Depertemen Hukum Keperdataan (Program Kekhususan Hukum Perdata BW)

Disetujui Oleh :

Ketua Departemen Hukum Keperdataan

Prof.Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum NIP. 1966030311985081001

Dosen Pembimbing I Dosen Pembimbing II

Prof. Dr. Tan Kamello, SH.,MS Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.Hum NIP. 196204211988031004 NIP. 196302161988031002

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)

melimpahkan rahmat, hidayah, kekuatan, petunujuk dan ijin-nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penulisan Skripsi ini yang berjudul “Eksekusi Jaminan Fidusia Sebagai Pelunasan Utang Debitur (Studi Pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh, Aceh)”. Tidak lupa shalawat serta salam kepada Nabi Muhammad SAW, keluarganya serta para sahabat sampai datangnya hari kiamat kelak.

Skripsi ini disusun untuk memenuhi syarat guna memperoleh gelar Sarjana Hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penulis menyadari dalam menyelesaikan Penulisan Skripsi ini banyak diberi bantuan dan dukungan dari berbagai pihak berupa saran dan masukan dalam mengatasi kesulitan yang dihadapi oleh penulis. Untuk itu perkenankanlah penulis memberikan Penghargaan yang sebesar-besarnya kepada:

1. Prof. Dr. Budiman Ginting, SH.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Ok Saidin, SH. M.Hum Selaku Wakil Dekan I Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Ibu Puspa Melati, SH., M.Hum selaku Wakil Dekan II Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Bapak Dr. Jelly Leviza, SH.,M.Hum., selaku Wakil Dekan III Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, beserta Dosen Pengajar Staff dan pegawai yang telah berjasa bagi Penulis.

2. Prof. Dr. Hasim Purba, SH.,M.Hum., selaku Ketua Departemen Hukum Perdata dan Ibu Rabiatul Syahriah, SH.,M.Hum., selaku Sekretaris Departemen Hukum Perdata, yang membantu penulis dalam pemilihan judul Skripsi penulis.

(4)

3. Prof. Dr .Tan Kamello, SH.,MS., selaku Dosen Pembimbing I penulis, yang telah banyak memberikan masukan serta dengan sabar membimbing penulis dalam menyusun Skripsi ini.

4. Bapak Dr. Edy Ikhsan, SH.,M.Hum., selaku Dosen Pembimbing II Penulis, yang juga telah banyak membantu penulis dalam memberikan masukan serta dengan sabar membimbing penulis dalam menyusun Skripsi ini.

5. Bapak Dzulkifli Sembiring, SH.,M.Hum., selaku Dosen Wali penulis yang telah membimbing penulis selama menjalankan Perkuliahan di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.

6. Buat kedua orang tua penulis, Bapak H. Idrus Abdullah, dan Ibu Hj. Nelly Rustam yang senantiasa mendoakan penulis serta mencurahkan kasih sayangnya kepada penulis

7. semua teman-teman stb 2011 yang tidak dapat disebutkan namanya satu persatu, maafkan saya kalau belum ditulis.

Medan, Agustus 2016

Fadhel Muhammad

(5)

Skripsi ini berjudul Aspek Hukum Terhadap Eksekusi Jaminan Fidusia Sebagai Pelunasan Utang Debitur (Studi pada PT. Bank BNI Cabang Meulaboh Medan). Adapun yang menjadi tujuan dalam penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui faktor penyebab terjadinya kredit macet dan eksekusi terhadap jaminan fidusia, prosedur pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, serta hal-hal yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia serta upaya penyelesaian hambatan-hambatan tersebut. Permasalahan yang akan ditulis adalah mengenai faktor penyebab terjadinya kredit macet dan eksekusi jaminan fidusia, prosedur eksekusi jaminan fidusia, hambatan dan upaya penyelesaian hambatan eksekusi.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode pendekatan yuridis empiris yaitu penelitian yang menekankan kepada ilmu hukum dan berusaha menelaah kaidah-kaidah hukum yang berlaku dalam masyarakat. Adapun teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan cara melakukan penelitian kepustakaan seperti mencari buku-buku serta karya ilmiah lainya yang berkaitan dengan jaminan fidusia, serta juga melakukan penelitian lapangan seperti mewawancarai pegawai PT. Bank BNI.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan pada PT. Bank BNI, Meulaboh dapat disimpulkan bahwa faktor yang menyebabkan terjadinya kredit macet dan eksekusi jaminan fidusia adalah karena adanya kesalahan analisa dalam pemberian kredit, adanya praktik kolusi dari pihak bank, karena omset usaha debitur menurun, adapun prosedur dalam eksekusi jaminan fidusia dilakukan dengan 3 cara yaitu:

parate eksekusi, titel eksekutorial yang memerlukan fiat eksekusi, dan penjualan di bawah tangan dimana ketiga eksekusi tersebut memiliki prosedur yang berbeda- beda. Hambatan yang dijumpai dalam eksekusi adalah karena objek jaminan fidusia yang tidak diserahkan oleh debitur, tidak optimalnya hasil penjualan melalui lelang, musnahnya objek jaminan fidusia, proses eksekusi membutuhkan waktu yang lama, pengajuan keberatan debitur terhadap sisa hasil penjualan, serta adapun upaya yang dapat dilakukan untuk mengatasi hambatan-hambatan eksekusi adalah pihak bank akan meminta bantuan aparat kepolisian dan debt collector, mengajukan klaim asuransi, dan mencari calon pembeli sebelum pelelangan.

Kata Kunci : Eksekusi, Jaminan Fidusia, Pelunasan Utang, Debitur

___________________________

*) Mahasiswa Fakultas Hukum USU

**) Dosen Pembimbing I, Dosen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

***) Dosen Pembimbing II, Dosen Hukum Keperdataan Fakultas Hukum USU

(6)

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……… i

ABSTRAK………... iii

DAFTAR ISI……… iv

BAB I : PENDAHULUAN………...……… A. Latar Belakang Masalah……….……. 1

B. Rumusan Masalah……… 7

C. Tujuan Penulisan……….……. 7

D. Manfaat Penulisan……….……….. 8

E. Metode Penelitian………..……….. 9

F. Keaslian Penulisan……….……….. 13

G. Sistematika Penulisan……….…... 14

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Tinjauan Umum Kredit……….…………... 17

1. Pengertian kredit………..…...…………..……….. 17

2. Unsur-unsur kredit………... 19

3. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok...…... 21

4. Bentuk-bentuk jaminan dalam perjanjian kredit…...….. 22

B. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit….…...….…… 24

1. Pengertian jaminan fidusia...………...…….. 24

2. Karakteristik jaminan fidusia...…...…. 26

3. Objek dan subjek jaminan fidusia………..……. 29

4. Proses penerbitan jaminan fidusia..………... 30

5. Hapusnya jaminan fidusia... 34

BAB III: EKSEKUSI PADA UMUMNYA DAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT A. Tinjauan Terhadap Ekskusi Pada Umumnya...…...…... 36

1. Dasar hukum dan pengertian eksekusi...…….... 36

2. Asas-asas dalam eksekusi..………..………….. 39

3. Bentuk-bentuk eksekusi pada umumnya ...…... 43

(7)

BAB IV : ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN UTANG DEBITUR A. Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Kredit Macet dan Eksekusi Terhadap Jaminan Fidusia Pada Bank

BNI... 53

B. Prosedur Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Pada PT. Bank BNI... 56

C. Hambatan Dalam Pelaksanaan Eksekusi Jaminan Fidusia Serta Upaya yang Dilakukan Oleh PT. Bank BNI Terhadap Hambatan yang terjadi... 70

BAB V : PENUTUP………...………... 75

A. Kesimpulan………... 75

B. Saran………... 77

DAFTAR PUSTAKA………... 78 LAMPIRAN

(8)

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari pembangunan nasional merupakan salah satu untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, dimana dalam rangka memelihara kesinambungan pembangunan ekonomi tersebut, yang pelakunya meliputi baik pemerintah maupun orang perseorangan dan badan hukum, sangat diperlukan dana dalam jumlah yang cukup besar, dimana dengan meningkatnya kegiatan pembangunan, meningkat juga keperluan akan tersedianya dana, yang sebagian besar diperoleh melalui kegiatan perkreditan.1

Eksistensi bank sebagai suatu lembaga yang berfungsi untuk menghimpun dana masyarakat, yang untuk selanjutnya mengucurkan dana tersebut dalam bentuk pemberian kredit kepada masyarakat, sangatlah berperan penting dalam pembangunan roda perekonomian secara berkesinambungan tersebut dalam suatu Negara.

Mengingat pentingnya kedudukan dana perkreditan tersebut dalam proses pembangunan, sudah semestinya jika pemberi dan penerima serta pihak lain yang terkait mendapat perlindungan melalui suatu lembaga hak jaminan yang kuat dan

1 Herowati Poesoko, Parate Eksecutie Obyek Jaminan fidusia (Inkonsistensi, Konflik Norma, dan Kesesatan Penalaran Dalam UUHT), Pressindo,Yogyakarta, 2007, hlm.1.

(9)

yang dapat pula memberikan kepastian hukum bagi semua pihak yang berkepentingan.

Hukum jaminan yang kuat dan pasti merupakan salah satu indikasi untuk mempercepat pertumbuhan perekonomian, karena bank (kreditur) sebagai penyedia dana sudah pasti memerlukan jaminan dan perlindungan hukum yang memadai ketika mengucurkan kredit kepada perorangan maupun perusahaan, bahkan keberadaan hukum jaminan yang kuat serta memberikan kepastian hukum dan mudah dalam eksekusinya sangat didambakan oleh para pelaku bisnis.

Hukum jaminan yang berlaku di Indonesia sendiri dapat dibagi ke dalam dua bentuk yaitu:2

1. Jaminan kebendaan dan jaminan perorangan, dimana jaminan kebendaan adalah jaminan berupa harta kekayaan dengan cara pemisahan bagian harta dari harta kekayaan baik debitur maupun pihak ke tiga, guna menjamin pemenuhan kewajiban-kewajiban debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi).

2. Jaminan perorangan adalah jaminan berupa pernyataan kesanggupan yang diberikan oleh seorang pihak ke tiga guna menjamin pemenuhan kewajiban- kewajiban debitur kepada kreditur, apabila debitur yang bersangkutan cidera janji (wanprestasi). Jaminan semacam ini pada dasarnya adalah penanggungan utang yang diatur dalam Pasal 1820-1850 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang pada perkembanganya jaminan perorangan juga dipraktikan oleh perusahaan yang menjamin utang perusahaan lainya. Bank

2 Ibid.,hlm.27

(10)

3

dalam hal ini sering menerima jaminan serupa, yang sering disebut Corporate Guarantee.

Salah satu bentuk jaminan yang sering sekali dipakai oleh lembaga perbankan adalah jaminan kebendaan yang berupa jaminan fidusia, dimana jaminan fidusia ini memberikan kemudahan kepada masyarakat terutama bagi pihak debitur (pemberi fidusia), karena dalam sistem jaminan fidusia barang tidak diserahkan kepada pihak kreditur, akan tetapi barang tersebut masih tetap berada dalam kekuasaan pihak debitur, sehingga pihak debitur masih dapat memanfaatkan barang tersebut tanpa menganggu kegiatan usahanya, namun meskipun begitu sebelum utang dibayar lunas oleh pihak debitur, maka hak milik barang tersebut sementara waktu masih berpindah kepada kreditur.3

Keberadaan jaminan fidusia sendiri di Indonesia sebelum diundang- undangkanya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dilandaskan kepada Yurisprudensi dari Hoog Raad Belanda yang dikenal sebagai putusan putusan Bier Broumerij Arrest, dimana Hakim untuk pertama sekali mengesahkan adanya mekanisme penjamin seperti tersebut. Selain berdasarkan Yurisprudensi dari Hoog Raad Belanda, praktik jaminan fidusia juga diakui dalam beberapa peraturan perundang-undangan, akan tetapi belum ada satu undang- undangpun yang mengatur secara mekanisme khusus mengenai jaminan fidusia.

Kemudian kesadaran untuk membentuk suatu undang-undang yang khusus mengatur jaminan fidusia muncul ketika terjadinya krisis moneter yang kemudian berkembang menjadi krisis ekonomi di Indonesia beberapa tahun silam, dimana

3 Gatot Suparmono, Perbankan dan Masalah Kredit : Suatu Tinjauan, Djambatan, Jakarta, 2002, hlm.74

(11)

krisis ekonomi ini memberikan pelajaran yang amat berharga dan penting bagi para pelaku usaha khususnya lembaga perbankan di Indonesia akan pentingnya peran instrument jaminan yang mampu mengamankan nilai piutang dengan memberikan hak prefensi atas piutang tersebut.

Gagalnya eksekusi terhadap banyak asset debitur dan kenyataan bahwa banyak sekali asset kosong yang diberikan lewat instrument personal guarantee maupun corporate guarantee menunjukan bahwa para pelaku ekonomi membutuhkan suatu bentuk jaminan yang secara fleksibel mampu memberikan akses pendanaan bagi para debitur tanpa melepaskan aspek kepastian hukum, maka kemudian atas kesadaran tersebut oleh pemerintah dibentuklah Undang – Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, yang dimana kehadiran Undang-Undang Jaminan Fidusia ini ditujukan untuk menjawab segala permasalahan di atas.

Jaminan fidusia sendiri dibentuk agar dapat memberikan jaminan kepastian hukum bagi kreditur serta dapat memberikan kekuatan eksekutorial bagi kreditur apabila pihak debitur wanprestasi, yang dimana agar jaminan fidusia dapat memberikan kekuatan eksekutorial maka dibuat terlebih dahulu akta yang dibuat oleh notaris dan selanjutnya didaftarkan kekantor pendaftaran fidusia, yang nantinya setelah didaftarkan pihak kreditur akan memperoleh sertifikat jaminan fidusia yang berirah-irah “Demi Keadilan Yang Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”, maka dengan adanya irah-irah tersebut secara otomatis jaminan fidusia mempunyai kekuatan eksekutorial, yang nantinya dapat digunakan apabila pihak debitur melakukan wanprestasi.

(12)

5

Eksekusi pada jaminan fidusia sendiri, berdasarkan Pasal 29 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dilakukan dengan cara, yaitu:4

1. Pelaksanaan title eksekutorial sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 15 Ayat (2) Undang-Undang Jaminan Fidusia;

2. Penjualan benda yang menjadi obyek jaminan fidusia atas kekuasaan lembaga pembiayaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan;

3. Penjualan di bawah tangan yang dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan lembaga pembiayaan jika dengan cara yang demikian dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan para pihak.

Tata cara eksekusi yang diatur dalam Pasal 29 Ayat 1 Undang- Undang Jaminan Fidusia, tersebut memberikan berbagai alternatif bagi pihak kreditur untuk melakukan eksekusi apabila pihak debitur melakukan wanprestasi.

Sehingga diharapkan dengan berbagai alternatif eksekusi tersebut, pihak kreditur mendapatkan jaminan perlindungan hukum apabila pihak kreditur melakukan wanprestasi.

Ketiga alternatif eksekusi yang diberikan oleh Undang-Undang Jaminan Fidusia, dapat dilakukan oleh para kreditur, dimana salah satu kreditur yang melakukan eksekusi tersebut adalah PT. Bank Negara Indonesia (BNI) Cabang Meulaboh, Aceh, yang sekaligus juga merupakan objek dari pada penelitian ini.

Eksekusi jaminan fidusia sendiri akan dilakukan oleh pihak PT. BNI, apabila

4 Rachmadi Usman, Hukum Kebendaan, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm.322

(13)

pihak debitur melakukan cidera janji (wanprestasi), sehingga menimbulkan terjadinya kredit macet. Pada PT. BNI sendiri, kredit macet yang terjadi pada pihak debitur biasanya terjadi disebabkan karena usaha yang dijalankan oleh pihak debitur mengalami kegagalan atau kerugian hingga mengalami kebangkrutan atau bisa juga karena memang kredit macet terjadi karena kesengajaan seperti watak pihak debitur yang sejak dari awal sudah tidak berniat untuk membayar angsuran kreditnya. Oleh karena itulah eksekusi dijalankan oleh pihak bank sebagai upaya dalam menyelesaikan kredit macet.

Lahirnya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, diharapkan dapat memberikan kemudahan dalam hal eksekusi apabila debitur melakukan wanprestasi. Namun pada kenyataanya di lapangan masih banyak hambatan yang dijumpai oleh piak bank jika akan melakukan eksekusi terhadap objek yang dijadikan jaminan kredit, seperti misalnya objek jaminan fidusia tidak mau diserahkan pada saat akan dilakukan eksekusi, serta objek jaminan fidusia belum didaftarkan, sehingga eksekusi tidak dapat dijalankan.

Banyaknya kendala-kendala yang dijumpai pada saat akan dilakukan eksekusi terhadap objek jaminan fidusia, membuat penulis tertarik untuk mengangkat judul ” ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN HUTAN DEBITUR (Studi pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh)” sebagai judul skripsi.

(14)

7

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan pemaparan latar belakang masalah di atas, maka dapat dijabarkan beberapa permasalahan yang akan di bahas di dalam skripsi ini, yaitu sebagai berikut:

1. Apa saja yang menjadi faktor-faktor penyebab terjadinya kredit macet dan ekskekusi terhadap jaminan fidusia pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh?

2. Bagaimana prosedur pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan ole PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh?

3. Apa saja yang menjadi hambatan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, serta upaya penyelesaian yang dilakukan oleh PT. BNI Cabang Meulaboh, Aceh, dalam mengatasi hambatan eksekusi jaminan fidusia?

C. Tujuan Penulisan

Dalam rangka penyusunan dan penulisan skripsi ini, ada beberapa tujuan yang hendak dicapai. Adapun tujuan yang hendak dicapai dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut :

1. untuk mengetahui faktor-faktor penyebab terjadinya kredit macet dan eksekusi jaminan fidusia pada PT. BNI Cabang Meuolaboh, Aceh.

2. untuk mengetahui prosedur pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh PT. BNI Cabang Meulaboh, Aceh, apabila terjadinya kredit macet pada debitur

3. untuk mengetahui bentuk-bentuk hambatan yang terjadi dalam eksekusi jaminan fidusia yang dilakukan oleh PT. BNI Cabang Meulaboh, Aceh, serta

(15)

upaya penyelesaian yang dilakukan oleh PT. BNI Cabang Meulaboh, Aceh, dalam menghadapi hambatan pelaksanaan eksekusi yang dilakukan oleh debitor.

D. Manfaat Penulisan

Pembahasan skripsi ini diharapkan juga dapat memberikan manfaat antara lain :

1. Secara Teorietis

Skripsi ini diharapkan dapat memberikan masukan bagi ilmu pengetahuan, memberikan sumbangan pemikiran, serta memberikan tambahan dokumentasi karya tulis, litertur, dan bahan-bahan informasi ilmiah lainya didalam bidang hukum perdata pada umumnya, secara khusus juga di harapkan skripsi ini dapat memberikan pengetahuan tentang pelaksanaan dari suatu eksekusi jaminan fidusia sebagai pelunasan hutang debitur

2. Secara Praktis

Penulisan skripsi ini ditujukan kepada kalangan praktisi dan penegak hukum serta masyarakat untuk lebih mengetahui dan memahami eksekusi jaminan fidusia serta memberikan pengetahuan dan informasi kepada para praktisi hukum, civitas akademik, dan pemerintah sendiri untuk mengetahui hambatan-hambatan apa saja yang dijumpai dalam eksekusi jaminan fidusia tersebut.

(16)

9

E. Metode Penelitian

Metode Penelitian merupakan hal yang penting dalam upaya mencapai tujuan tertentu di dalam penulisan skripsi. Hal ini dilakukan agar terhindar dari suatu kesan dan penilaian bahwa penulisan skripsi dibuat dengan cara asal-asalan dan tanpa didukung dengan data yang lengkap. Oleh karena itulah, maka dalam melakukan penulisan skripsi ini menggunakan metode penelitian sebagai berikut ; 1. Sifat Penelitian

Sifat Penelitian yang dilakukan dalam skripsi ini adalah deskriptif analistis. yaitu menggambarkan semua gejala dan fakta serta menganalisa semua permasalahan yang ada sehubungan dengan aspek hukum terhadap eksekusi jaminan fidusia sebagai pelunasan hutang debitur yang dihubungkan kepada peraturan yang berlaku.

2. Metode Pendekatan

Penelitian ini mempergunakan pendekatan yuridis empiris. Dimana metode pendekatan yuridis dalam penelitian ini yaitu dengan meneliti bahan kepustakaan atau data sekunder yang meliputi buku-buku serta norma-norma hukum yang terdapat pada peraturan perundang-undangan, asas-asas hukum, kaedah hukum, dan sistematika hukum serta mengkaji ketentuan perundang- undangan, dan bahan-bahan hukum lainya.5

Pendekatan empiris yaitu penelitian yang bertujuan untuk memperoleh pengetahuan empiris tentang hubungan hukum terhadap masyarakat, yang dilakukan dengan cara mendekati masalah yang di teliti dengan sifat hukum

5 Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum, Bayu Media Publishing, Jakarta, 2005, hlm.29.

(17)

yang nyata atau sesuai dengan kehidupan yang nyata dalam masyarakat dan dihubungkan pada analisis terhadap peraturan perundang-undangan.6

Penelitian ini dititiberatkan kepada langkah-langkah pengamatan dan analisa yang bersifat empiris terhadap suatu permasalahan yang terjadi.

Dimana adapun Pendekatan penelitian ini akan dilakukan pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh.

3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data pada penelitian ini dilakukan dengan cara- cara sebagai berikut :

a. Penelitian Kepustakaan (Library Research)

Merupakan data-data yang diperoleh penulis dari buku-buku, serta bentuk- bentuk karya tulis lainya seperti jurnal-jurnal yang berkaitan dengan judul skripsi ini.

b. Penelitian Lapangan ( Field Research)

Merupakan data-data yang diperoleh langsung untuk mengetahui prosedur pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia sebagai pelunasan hutang debitur pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh, bentuk hambatan dalam pelaksanaan eksekusi jaminan fidusia, serta bagaimana upaya yang dilakukan oleh PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh, dalam menghadapi hambatan pelaksanaan eksekusi tersebut. Penelitian lapangan ini sendiri dilakukan pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh, dimana dalam

6 Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, hlm.42

(18)

11

penelitian ini untuk memanfaatkan data yang ada maka dilakukan dengan menggunakan metode sebagai berikut :

1) Studi Dokumen

Studi dokumen dilakukan dengan mengumpulkan data menganalisis bahan-bahan tertulis yang digunakan dalam pristiwa hukum seperti Sertifikat jaminan fidusia, serta perjanjian kredit

2) Wawancara

Wawancara ini dilakukan dengan menggunakan teknik dan pedoman wawancara, dimana yang menjadi narasumber dalam wawancara ini adalah pegawai PT BNI, Cabang Meulaboh, Aceh, yang terkait dengan bidang tugasnya masing-masing.

4. Sumber Data

Secara umum, maka di dalam penelitian hukum biasanya sumber data dibedakan atas :

a. Data Primer

Data yang diperoleh secara langsung dari masyarakat, seperti misalnya melakukan penelitian di lapangan.7 Dalam hal ini penulis dapat memperoleh data primer dari PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh

b. Data Sekunder

Data yang tidak diperoleh dari sumber yang pertama, melainkan data yang diperoleh dari bahan pustaka. Misalnya: data yang diperoleh dari dokumen-dokumen resmi, buku-buku, hasil penelitian, laporan, buku

7 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI-Press, Jakarta Cet.3, 1986, hlm.

51

(19)

harian, surat kabar, makalah, dan lain sebagainya.8 Di dalam penulisan penelitian ini, data sekunder yang digunakan berupa:

1) Bahan hukum primer

Adalah bahan hukum yang mengikat. Yaitu dokumen peraturan mengikat yang telah di tetapkan oleh pemerintah antara lain, Undang- Undang No. 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan fidusia, serta Undang- Undang No. 10 Tahun 1998 Tentang perubahan atas Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, kemudian digunakan juga bahan hukum yang telah ada pada zaman kolonial Belanda yang sampai saat ini masih berlaku yaitu Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

2) Bahan hukum sekunder

Yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer yang digunakan. Yaitu hasil kajian terhadap eksekusi jaminan fidusia yang berasal dari buku-buku, makalah-makalah, literatur, hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.

3) Bahan hukum tersier

Bahan yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang digunakan. Yaitu kamus, surat kabar, majalah, internet serta bahan lainya yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini.

8 Ibid, hlm.52

(20)

13

5. Analisis Data

Setelah data primer dan data sekunder diperoleh selanjutnya dilakukan analisis data yang didapat dengan mengungkapkan kenyataan-kenyataan dalam bentuk kalimat, terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian tersebut, penulis menggunakan metode analisis secara kualitatif yaitu suatu tata cara penelitian yang menghasilkan data deskriptif analitis, yaitu apa yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan dan juga perilakunya yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.

E. Keaslian Penulisan

Penelitian yang berjudul: Aspek Hukum Terhadap Eksekusi Jaminan fidusia Sebagai Pelunasan Hutang Debitur ( Studi Pada PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh) adalah benar merupakan hasil karya dari penulis sendiri, tanpa meniru karya tulis milik orang lain, oleh karena itu, keaslian dan kebenaran ini dapat dipertanggungjawabkan oleh penulis sendiri serta telah sesuai dengan asas- asas keilmuan yang harus dijunjung tinggi secara akademik yaitu terbuka, rasional, objektif, dan kejujuran. Yang dimana hal ini merupakan implikasi etis dalam proses menentukan kebenaran ilmu sehingga dengan demikian penulis karya tulis ini dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah, keilmuan dan terbuka untuk kritik-kritik yang sifatnya konstruktif, selain itu semua informasi dalam skripsi ini bersal dari berbagai karya tulis penulis lain, baik yang dipublikasikan ataupun tidak, serta telah diberikan penghargaan dengan mengutip nama sumber penulis dengan benar dan lengkap.

(21)

G. Sistematika Penulisan

Sistematika penulisan menjadi salah satu metode yang digunakan dalam penulisan skripsi ini, hal ini bertujuan untuk mempermudah dalam menyusun serta mempermudah untuk memahami isi dari skripsi ini.

Penulisan skripsi ini dibagi atas 5 (lima) bab, dimana masing-masing bab dibagi atas beberapa sub bab, urutan bab didalam skripsi ini disusun secara sistematis dan saling berkaitan antara yang satu dengan yang lainya. Uraian singkat atas bab dan sub-sub bab adalah sebagai berikut:

BAB I : PENDAHULUAN

Pada bab ini diuraikan latar belakang masalah yang menjadi dasar dari penulisan. Lalu berdasarkan latar belakang masalah tersebut, dibuatlah suatu perumusan masalah dan tujuan serta manfaat dari penulisan skripsi ini. Pada bab ini juga menerangkan tentang keaslian penulisan, metode penelitian yang digunakan serta sistematika dari penulisan skripsi.

BAB II : TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

Pada bab ini akan dibahas mengenai beberapa tinjauan umum tentang kredit dan jaminan fidusia sebagai jaminan kredit, dimana di dalam bab ini diuraikan juga ke dalam beberapa sub bab, diantaranya sub bab mengenai tinjauan umum tentang kredit yang terbagi atas pengertian kredit, unsur-unsur kredit, perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok, serta bentuk-bentuk jaminan kredit.

(22)

15

selanjutnya di dalam bab ini diuraikan juga tentang jaminan fidusia sebagai jaminan kredit, dimana pada sub bab ini akan dibahas mengenai pengertian jaminan fidusia, karakteristik dalam jaminan fidusia, subyek dan obyek Jaminan fidusia, proses penerbitan Jaminan fidusia, serta hapusnya Jaminan fidusia.

BAB III: EKSEKUSI PADA UMUMNYA DAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

Pada bab ini akan dibahas mengenai beberapa tinjauan umum tentang eksekusi dan eksekusi Jaminan fidusia sebagai jaminan kredit, dimana di dalam bab ini diuraikan juga ke dalam beberapa sub bab, diantaranya sub bab mengenai eksekusi pada umumnya yang terbagi atas dasar hukum dan pengertian eksekusi, asas-asas dalam eksekusi, serta bentuk-bentuk eksekusi. Selanjutnya di dalam bab ini diuraikan juga tentang eksekusi Jaminan fidusia sebagai jaminan kredit, dimana pada sub bab ini dibahas mengenai bentuk-bentuk eksekusi jaminan fidusia, pelaksanaan eksekusi Jaminan fidusia, akibat hukum yang timbul karena tidak didaftarkanya jaminan fidusia.

BAB IV: ASPEK HUKUM TERHADAP EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI PELUNASAN HUTANG DEBITUR Pada bab ini merupakan studi kasus mengenai Aspek Hukum Terhadap Eksekusi Jaminan fidusia Sebagai Pelunasan Hutang Debitur Studi kasus yang dilakukan pada PT. BNI Cabang

(23)

Meulaboh, Aceh. Dimana pada bab IV ini terdapat beberapa sub bab antara lain: Faktor-Faktor yang menyebabkan terjadinya kredit macet dan eksekusi Jaminan fidusia, Prosedur dalam pelaksanaan eksekusi Jaminan fidusia yang dilakukan PT BNI Cabang Meulaboh, Aceh, hambatan-hambatan dalam pelaksanaan eksekusi Jaminan fidusia, serta bagaimana upaya penyelesaian yang dilakukan oleh PT. BNI dalam menghadapi hambatan-hambatan tersebut.

BAB V: KESIMPULAN DAN SARAN

Bab ini merupakan bab penutup, dimana Pada bab kelima ini akan diuraikan tentang kesimpulan terhadap penulisan skripsi ini dan saran-saran terhadap pelaksanaan Eksekusi Jaminan fidusia yang dilakukan oleh pihak PT. BNI, Cabang Meulaboh, Aceh.

(24)

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG KREDIT DAN JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Tinjauan Umum Kredit 1. Pengertian kredit

Kredit pada saat sekarang ini bukanlah suatu hal yang baru lagi ditengah- tengah masyarakat. Kredit saat ini telah menjadi suatu model perjanjian yang lazim bagi masyarakat, terutama dalam hal jual beli. Dengan kata lain, jual beli yang dilakukan pada masa sekaran ini banyak yang dilakukan dengan menggunakan metode kredit. Kredit ini semakin lama semakin berkembang dan pada akhirnya dalam masyarakat kemudian menimbulkan salah satu sistem pembayaran yang populer di masyarakat yaitu kartu kredit.

Secara etimologis istilah kredit berasal dari bahasa latin, yaitu Cradere yang berarti kepercayaan. Misalkan, seorang nasabah debitur yang memperoleh kredit dari bank adalah tentu seseorang yang mendapatkan kepercayaan dari bank, hal ini menunjukan bahwa yang menjadi dasar pemberian kredit oleh bank kepada nasabah adalah kepercayaan.9

Munurut Munir Fuady, adapun yang dimaksud dengan perkreditan adalah:10

“ suatu penyediaan uang atau yang dipersamakan denganya, yang didasari atas perjanjian pinjam meminjam antara pihak kreditur (bank, perusahaan atau perseorangan) dengan pihak debitur (peminjam), yang

9 Hermansyah, Hukum Perbankan Nasional Indonesia, Kencana, Jakarta, 2008, hlm.57

10 Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis (Menata Bisnis Modern di Era Global), PT.

Citra Aditya Bakti, Bandung, 2005, hlm.111

(25)

mewajibkan pihak debitur untuk melunasi hutangnya dengan jangka waktu tertentu, dimana sebagai imbalan jasanya, kepada pihak kreditur (pemberi pinjaman) diberikan hak untuk mendapatkan bunga, imbalan, atau pembagian hasil keuntungan selama masa kredit tersebut berlangsung.”

Berdasarkan pendapat Munir Fuady tersebut, maka yang menjadi elemen- elemen yuridis dari suatu pemberian kredit adalah sebagai berikut:11

a. adanya kesepakatan antara debitur dengan pihak kreditur, yang disebut dengan perjanjian kredit;

b. adanya para pihak, yaitu pihak kreditur dan pihak debitur;

c. adanya kesanggupan atau janji untuk membayar utang;

d. adanya perbedaan waktu antara pemberian kredit dengan pembayaran kredit.

Sementara pengertian kredit berdasarkan ketentuan Pasal 1 Angka 11 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan, disebutkan bahwa:

“ Penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak peminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu, yang diserta dengan pemberian bunga.”

Berdasarkan pemaparan pengertian kredit yang telah diuraikan di atas, ada beberapa hal yang perlu ditegaskan mengenai arti kredit itu sendiri, pertama, kredit bukanlah hibah dan juga bukanlah jual beli, hal ini dikarenakan hibah adalah perbuatan cuma-cuma, jadi kredit tidak termasuk dalam artian ini, juga bukan termasuk jual beli karena di dalam jual beli pihak penjual menyerahkan barang dan pembeli membayar sejumlah uang. Kedua, kredit bukanlah merupakan

11 Ibid.,hlm.111

(26)

19

perjanjian tukar menukar, sebab kredit adalah penyediaan uang untuk dipinjamkan kepada penerima kredit, dimana pada hakikatnya tidak ada persetujuan antara pemberi kredit dengan penerima kreditsekalipun di satu pihak yang diberikan adalah dana dan di pihak lain yang diberikan adalah jaminan. Ketiga, kredit merupakan perjanjian pinjam uang yang didasarkan pada kepercayaan akan akan kemampuan ekonomi penerima kredit, dimana hal ini dapat dilihat dri pengertian kredit yang digariskan oleh Undang-Undang Perbankan, dimana didalamnya terdapat unsur kewajiban untuk mengembalikan pinjaman, atau secara lebih luas dapat juga diartikan kewajiban untuk memenuhi perikatan, juga pemenuhan kewajiban pengembalian pinjaman yang sama artinya dengan kemampuan memenuhi prestasi suatu perikatan.12

2. Unsur-unsur kredit

Unsur esensial dari kredit bank adalah adanya kepercayaan dari bank sebagai kreditur terhadap nasabah peminjam sebagai debitur. Kepercayaan tersebut timbul karena dipenuhinya segala ketentuan dan persyaratan untuk memperoleh kredit bank oleh debitur antara lain: jelasnya tujuan peruntukan kredit, adanya benda jaminan atau agunan.13

Menurut Hasanudin Rahman sebagaimana yang dikutip oleh Abdul Kadir Muhammad, mengemukakan bahwa dengan menunjuk ketentuan Pasal 1 Angka

12 Mariam Darus Badruldzaman, Beberapa Masalah Hukum Dalam Perjanjian Kredit Bank Dengan Jaminan Hyphoteek Serta Hambatan-hambatanya Dalam Praktik di Medan, Penerbit Alumni, Bandung, 1978, hlm.21

13 Hermansyah, Loc.Cit

(27)

(12) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan Mengemukakan bahwa 4 (empat) unsur kredit sebagai berikut:14

a. Kepercayaan

Setiap pemberian kredit dilandasi oleh keyakinan bank bahwa kredit tersebut akan dibayar kembali debitur sesuai dengan jangka waktu yang telah diperjanjikan

b. Waktu

Antara pemberian kredit oleh bank dengan pembayaran kembali oleh debitur tidak dilakukan pada waktu yang bersamaan, melainkan dipisahkan oleh tenggang waktu

c. Risiko

Setiap pemberian kredit jenis apapun akan terkandung resiko dalam jangka waktu antara pemberian kredit dan pembayaran kembali, hal ini berarti semakin tinggi jangka waktu kredit yang diberikan, semakin tinggi pula resiko kredit yang diberikan tersebut

d. Prestasi

Setiap kesepakatan yang terjadi antara bank dengan debitur mengenai pemberian kredit, maka pada saat itu pula akan terjadi suatu prestasi dan kontra prestasi

Berdasarkan pendapat tadi maka dapat diketahui bahwa selain unsur kepercayaan yang merupakan unsur yang penting dalam pemberian kredit masih ada lagi unsur-unsur lain yang mendukung seperti misalnya waktu, resiko, serta

14 Abdulkadir Muhammad, Hukum Perbankan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.294-295

(28)

21

prestasi. Sehingga dengan adanya unsur-unsur tadi diharapkan bahwa kemungkinan untuk terjadinya kredit macet dapat diperkecil.

3. Perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok

Pemberian kredit pada umumnya dilakukan oleh pihak bank sebagai kreditur karena pendapatan dan kuntungan suatu bank lebih banyak bersumber dari pemberian kredit kepada debitur. Setiap kredit yang telah disepakati oleh kreditur dan debitur maka wajib dituangkan dalam bentuk perjanjian yaitu perjanjian kredit.

Perjanjian kredit itu sendiri pada hakekatnya berakar pada perjanjian pinjam meminjam sebagaimana yang diatur dalam Pasal 1754 KUH Perdata.

Sedangkan di dalam Pasal 1 Ayat (11) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan, bahwa yang dimaksud dengan perjanjian kredit adalah penyediaan uang atau tagihan yang dapat dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau kesepakatan pinjam meminjam untuk melunasi utangnya setelah jangka waktu tertentu dengan pemberian bunga.

Perjanjian kredit yang dibuat dengan akta di bawah tangan maupun dengan akta notaris pada umumnya menggunakan bentuk perjanjian baku (Standard Contract), dimana pada praktiknya perjanjian baku ini telah disediakan atau telah

dirancang isi atau klausula perjanjianya oleh pihak bank sebagai kreditur sedangkan pihak debitur hanya mempelajari dan memahaminya dengan baik.15

Perjanjian kredit sendiri mempunyai fungsi yang sangat penting dalam pemberian kredit oleh kreditur baik pengelolahanya maupun pelaksanaan kredit

15 Hermansyah, Op.Cit., hlm.71

(29)

itu sendiri. Adapun fungsi dari suatu perjanjian kredit itu sendiri adalah bahwa perjanjian kredit itu berfungsi sebagai perjanjian pokok, dimana dalam artian bahwa perjanjian kredit ini akan diikuti oleh perjanjian tambahan seperti misalnya perjanjian jaminan kebendaan dan perjanjian pokok ini juga menentukan ada dan berakhirnya perjanjian tambahan.

Adanya perjanjian kebendaan yang mengikuti perjanjian kredit sebagai perjanjian pokok bertujuan agar dana kredit yang sudah dikucurkan oleh pihak bank dapat lebih terjamin pengembalianya serta untuk mengantisipasi terjadinya wanprestasi yang dilakukan oleh pihak debitur, oleh karena itulah tentunya pihak bank sebagai kreditur dalam memberikan kredit harus disertai oleh jaminan atau agunan, dimana pemberian jaminan ini dilakukan melalui suatu perjanjian tambahan yaitu perjanjian kebendaan yang bertujuan untuk mengikatkan benda yang dijaminkan.16

4. Bentuk-bentuk jaminan dalam perjanjian kredit

Pemberian kredit dalam praktiknya, ternyata tidak cukup hanya didasarkan pada keyakinan atau kepercayaan kepada pihak debitur, akan tetapi perlu disertai jaminan berupa barang, dimana hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kemungkinan terjadinya wanprestasi atau kemacetan dalam pengembalian kredit.17

Ketentuan Pasal 8 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 Tentang Perbankan menyatakan bahwa kredit yang diberikan oleh bank mengandung resiko, sehingga dalam pelaksanaanya bank harus memperhatikan asas-asas

16 Herowati Poesoko, Dinamikan Hukum Parate Eksekusi Obyek Hak Tanggungan, Asswaja Presindo, Yogyakarta, 2013, hlm.112

17 Abdulkadir Muhammad, Loc.Cit.

(30)

23

perkreditan yang sehat untuk mengurangi resiko tersebut, jaminan pemberian kredit dalam arti keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitur untuk melunasi utangnya sesuai yang diperjanjikan merupakan faktor penting yang harus diperhatikan oleh bank. Sehingga untuk memperoleh keyakinan tersebut sebelum memberikan kredit bank harus melakukan penilaian yang seksama terhadap watak, kemampuan, modal, agunan, dan prospek usaha debitur.

Berdasarkan Pasal 8 tersebut dapat diketahui bahwa jaminan mempunyai peranan penting untuk menghindari resiko dalam pemberian kredit, dimana apabila kredit yang diberikan itu memang benar-benar mengalami kemacetan sampai kepada pihak debitur sudah tidak mampu lagi membayar hal ini tentunya akan menyebabkan kerugian bagi pihak bank. Oleh karena itu, untuk mengantisipasi keadaan tersebut diharapkan jaminan dapat mengkover kerugian yang dialami oleh pihak bank dengan cara melakukan eksekusi terhadap jaminan tersebut.

Jaminan kredit sendiri dalam praktiknya dapat dibedakan ke dalam 2 (dua) bentuk yaitu:18

1. Jaminan Materiil (Kebendaan)

Jaminan ini memberikan ciri-ciri kebendaan dalam arti memberikan hak mendahului di atas benda-benda tertentu dan mempunyai sifat melekat dan mengikuti benda yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan kebendaan ini antara lain:

a. Gadai (Pand), yang diatur dalam Bab 20 Buku ke II KUH Perdata;

18 Salim HS, Perkembangan Hukum Jaminan Di Indonesia, PT. Raj Grafindo Persada, Jakarta, 2008, hlm.23

(31)

b. Hipotek, yang diatur dalam Bab 21 Buku ke II KUH Perdata;

c. Credietverband, yang diatur dalam Stb. 1908 Nomor 542 sebagaimana yang telah dirubah dengan Stb. 1937 Nomor 190;

d. Jaminan Fidusia, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999;

e. Hak Tanggungan, sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996.

2. Jaminan Immateril (Perorangan)

Jaminan ini berbeda dengan jaminan kebendaan, dimana pada jaminan ini tidak memberikan hak mendahului atas benda-benda tertentu, akan tetapi hanya dijamin oleh harta kekayaan seseorang lewat orang yang menjamin pemenuhan perikatan yang bersangkutan. Adapun bentuk-bentuk jaminan perorangan ini antara lain:

a. Penanggungan (Borg), adalah orang lain yang dapat ditagih;

b. Tanggung-menanggung, yang serupa dengan tanggung renteng; dan c. Perjanjian garansi.

B. Jaminan Fidusia Sebagai Jaminan Kredit 1. Pengertian jaminan fidusia

Fidusia menurut asal katanya berasal dari kata ”fides” yang berarti kepercayaan, sesuai dengan arti kata ini, maka hubungan (hukum) antara debitur

(32)

25

(pemberi fidusia) dan kreditur (penerima fidusia) merupakan hubungan yang berdasarkan kepercayaan.19

Jaminan fidusia sendiri sudah mulai dikenal dan diberlakukan dalam masyarakat hukum romawi. Pada jaminan fidusia sendiri ada 2 bentuk jaminan fidusia yaitu fidusia cum creditore dan fidusia cum amico, dimana keduanya timbul dari perjanjian yang disebut pactum fiduciae yang kemudian diikuti dengan penyerahan hak atau in iure cessio, dimana dalam bentuk yang pertama atau lengkapnya fiducia cum creditore contracta yang berarti janji kepercayaan yang dibuat dengan kreditur, dikatakan bahwa debitur akan mengalihkan kepemilikan atas suatu benda kepada kreditur sebagai jaminan atas utangnya dengan kesepakatan bahwa kreditur akan mengalihkan kembali kepemilikan tersebut kepada debitur apabila utangnya sudah dibayar lunas.20

Fidusia sendiri merupakan istilah yang sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia, dimana undang-undang yang khusus mengatur tentang hal ini yaitu Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 juga menggunakan istilah ”fidusia”, dengan demikian istilah ”fidusia” sudah merupakan istilah resmi dalam dunia hukum kita, akan tetapi terkadang dalam bahasa Indonesia untuk istilah fidusia ini disebut juga dengan istilah ”penyerahan hak milik secara kepercayaan”. Pada terminologi Belanda istilah fidusia sering disebut dengan istilah lengkapnya berupa ”fiduciare eigendom overdracht”, sedangkan dalam bahasa Inggris secara lengkap sering disebut dengan istilah” fiduciary transfer of ownership”.

19 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Jaminan Fidusia, Raja Garfindo Persada, Bandung, 2004, hlm 119

20 Ibid.,hlm.120

(33)

Pengertian fidusia menurut Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia pada Pasal 1 Angka 1 menyatakan bahwa fidusia adalah pengalihan hak kepemilikan suatu benda atas dasar kepercayaan dengan ketentuan bahwa benda yang hak kepemilikanya dialihkan tersebut tetap dalam penguasaan pemilik benda.

Pengertian jaminan fidusia sendiri menurut ketentuan Pasal 1 Angka 2, Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia menyatakan bahwa:

” Jaminan fidusia adalah hak jaminan atas benda bergerak baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud dan benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dapat dibebankan hak tanggungan sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 4 tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan yang tetap berada dalam penguasaan pemberi fidusia, sebagai agunan bagi pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada penerima fidusia terhadap kreditur lainya.”

Berdasarkan definisi yang telah diuraikan di atas memperjelas bahwa ada perbedaan antara fidusia dengan jaminan fidusia, dimana fidusia sendiri merupakan suatu proses pengalihan hak kepemilikan dan jaminan fidusia adalah jaminan yang diberikan dalam bentuk fidusia, hal ini menunjukan bahwa pranata jaminan fidusia yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia merupakan pranata jaminan fidusia yang diatur dalam fidusia cum creditore.21

2. Karakteristik jaminan fidusia

Sebagai suatu perjanjian accesoir (perjanjian ikutan), perjanjian jaminan fidusia memiliki karakteristik sebagaimana yang diatur dalam Undang-Undang

21 Ibid., hlm. 130

(34)

27

Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, dimana adapun yang menjadi karakteristik dari pada suatu jaminan fidusia adalah sebagai berikut:22

a. Memberikan kedudukan yang mendahului kepada kreditur penerima fidusia terhadap kreditur lainya (Pasal 27 Undang-Undang Fidusia). Penerima fidusia memiliki hak yang didahulukan dihitung sejak tanggal pendaftaran benda yang menjadi objek jaminan fidusia pada kantir pendaftaran fidusia. Hak yang didahulukan yang dimaksud adalah hak penerima fidusia untuk mengambil pelunasan piutangnya atau hasil eksekusi benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

b. Selalu mengikuti objek yang dijaminkan di tangan siapapun objek itu berada (droit de suite) (Pasal 20 Undang-Undang Fidusia). Jaminan fidusia tetap mengikuti benda yang menjadi objek jaminan fidusia dalam tangan siapapun benda tersebut berada, kecuali pengalihan atas benda persediaan yang menjadi objek jaminan fidusia.

c. Memenuhi asas spesialitas dan asas publisitas, sehingga mengikat kepada pihak ketiga dan memberikan jaminan kepastian hukum kepada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal 6 dan Pasal 11 Undang-Undang Fidusia). Untuk memenuhi asas spesialitas dalam ketentuan Pasal 6 Undang-Undang Fidusia, maka akta jaminan fidusia sekurang-kurangnya memuat:

1) Identitas pihak pemberi dan penerima fidusia;

2) Data perjanjian pokok yang dijamin fidusia;

3) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

22 J. Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan Fidusia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2002, hlm.160-175

(35)

4) Nilai penjaminan, dan;

5) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

Asas pubilisitas sebagaimana yang dimaksudkan dalam Undang-Undang Fidusia adalah untuk memberikan kepastian hukum sebagaimana yang termuat dalam Pasal 11 Undang-Undang Jaminan Fidusia yang mewajibkan benda yang dibebani dengan jaminan fidusia didaftarkan pada Kantor Pendaftaran Fidusia yang terletak di Indonesia, kewajiban ini bahkan tetap berlaku meskipun kebendaan yang dibebani dengan jaminan fidusia berada diluar wilayah Republik Indonesia.23

d. Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya (Pasal 29 Undang-Undang Fidusia) Eksekusia jaminan fidusia didasarkan pada sertifikat jaminan fidusia, sertifikat jaminan fidusia diterbitkan dan diserahkan oleh Kantor Pertanahan Fidusia kepada penerima jaminan fidusia memuat tanggal yang sama dengan tanggal penerima pendaftaran jaminan fidusia, sertifikat jaminan fidusia merupakan salinan dari buku daftar fidusia, memuat catatan tentang hal-hal yang dinyatakan dalam pendaftaran jaminan fidusia.24

Dalam hal debitur atau pemberi fidusia cidera janji, pemberi fidusia wajib menyerahkan objek jaminan fidusia dalam rangka pelaksanaan eksekusi.

Eksekusi dapat dilaksanakan dengan cara pelaksanaan titel eksekutorial oleh penerima fidusia, dalam artian bahwa eksekusi dapat langsung dilaksanakan, ataupun melalui lembaga parate eksekusi penjualan objek jaminan fidusia atas kekuasaanya sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan

23 Gunawan Widjaja dan Ahmad Yani, Op.Cit.,hlm.139

24 Ibid.,hlm.123-124

(36)

29

dari hasil penjualan, apabila eksekusi yang akan dilakukan melalui penjualan di bawah tangan, maka haruslah dilakukan berdasarkan kesepakatan pemberi dan penerima fidusia.

3. Objek dan subjek jaminan fidusia

Sebelum berlakunya Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia, maka yang menjadi objek jaminan fidusia adalah benda bergerak yang terdiri dari benda dalam persediaan (inventory), benda dagangan, peralatan mesin dan kendaraan bermotor. Namun oleh karena guna memenuhi kebutuhan masyarakat yang terus berkembang, maka dengan diberlakukanya Undang- Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Fidusia ini, objek jaminan fidusia diberi pengertian yang lebih luas, yaitu:25

a. Benda bergerak, baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, dan

b. Benda tidak bergerak, khususnya bangunan yang tidak dibebani dengan hak tanggungan.

Adapun yang dimaksud dengan bangunan yang tidak dibebani hak tanggungan disina dalam kaitanya dengan bangunan rumah susun. Ketentuan mengenai objek jaminan fidusia adalah diatur pada Pasal 1 Angka 2, dan sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 1 Angka 4 dan Pasal 3, serta penjabaranya lebih lanjut dalam Pasal 9 Undang-Undang Fidusia.

Mengenai subjek jaminan fidusia adalah para pihak yaitu pemberi fidusia dan penerima fidusia. Pemberi fidusia atau debitur adalah orang perorangan ataupun juga korporasi pemilik benda yang dijadikan objek fidusia, sedangkan

25 Sutarno, Aspek-Aspek Hukum Perkreditan Pada Bank, CV. Alfabeta, Bandung, 2003, hlm.211

(37)

adapun yang dimaksud dengan korporasi dalam hal ini adalah suatu badan usaha yang berbadan hukum atau badan usaha yang bukan berbadan hukum, dimana untuk membuktikan bahwa benda yang menjadi objek jaminan fidusia milik sah pemberi fidusia, maka harus dilihat etrlebih dahulu bukti-bukti kepemilikan benda-benda jaminan tersebut. Sedangkan penerima fidusia atau kreditur adalah orang perseorangan atau korporasi yang mempunyai piutang yang pembayaranya dijamin dengan jaminan fidusia. Sedangkan yang dimaksud korporasi adalah bada usaha yang berbadan hukum yang memiliki usaha dibidang pinjam-meminjam uang seperti perbankan.26

4. Proses penerbitan jaminan fidusia

Proses penerbitan jaminan fidusia berdasarkan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Tentang Jaminan Fidusia dilaksanakan melalui 2 (dua) tahapan, yaitu tahap pembebanan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 5 Ayat 1 Undang- Undang Fidusia, dan tahap pendaftaran sebagaimana yang diatur dalam Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia.

Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 42 Tahun 1999 Fidusia menyatakan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia dibuat dengan akta notaris dalam bahasa Indonesia dan merupakan akta jaminan fidusia. Berdasarkan bunyi ketentuan Pasal 5 Ayat 1 tadi, maka dapat diketahui bahwa sesungguhnya tidak mensyaratkan adanya ”keharusan” atau ”kewajiban” pembebanan benda dengan jaminan fidusia dituangkan dalam bentuk akta notaris, sehingga dapat ditafsirkan bahwa pembebanan benda dengan jaminan fidusia diperbolehkan tidak

26 Ibid.,hlm.212

(38)

31

dituangkan dalam akta notaris. Ketentuan dalam Pasal 5 Undang-Undang Fidusia ini tidaklah bersifat memaksa, karena tidak mencantumkan kata “harus” atau

“wajib” di depan kata-kata ”dibuat dengan akta notaris”, maupun dengan menyebutkan akibat hukumnya kalau tidak dibuat dengan akta notaris.27

Menurut Tan Kamello, alasan mengapa Undang-Undang Fidusia menetapkan bentuk perjanjian jaminan fidusia dengan akta notaris adalah:28

a. Akta notaris adalah akta otentik sehingga memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna;

b. Objek jaminan fidusia pada umumnya adalah benda bergerak;

c. Undang-Undang melarang adanya fidusia ulang.

Namun demikian, Pasal 5 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia bisa kita tafsirkan, bahwa terhitung sejak berlakunya Undang-Undang Fidusia, untuk pelaksanaan pemberi hak-hak dari pemberi dan penerima fidusia sebagai yang disebutkan dalam Undang-Undang Fidusia, harus dipenuhi syarat bahwa jaminan itu haruslah dituangkan dalam akta notaris, sehingga hal ini tidak sama dengan mengatakan bahwa semua jaminan fidusia yang tidak dituangkan dalam bentuk akta notaris, yang dibuat setelah berlakunya Undang-Undang Fidusia tidak berlaku, sebab bisa saja terhadap jaminan fidusia seperti itu berlaku ketentuan- ketentuan tidak tertulis dan yurisprudensi yang selama ini berlaku.29

Pasal 37 Ayat (3) Undang-Undang Fidusia mengatakan jika dalam jangka waktu 60 hari, jaminan fidusia yang lama tidak disesuaikan dengan Undang-

27 J. Satrio, Op.Cit.,hlm.200

28 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, PT.

Alumni, Bandung, 2004, hlm.187

29 Ibid.,hlm.188

(39)

Undang Fidusia, maka jaminan itu bukanlah merupakan hak agunan atas kebendaan sebagiamana dimaksud dalam Undang-Undang Fidusia. Dengan demikian, akta notaris dalam hal ini merupakan syarat materiil berlakunya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Fidusia atas perjanjian penjaminan fidusia yang ditutup para pihak dan merupakan alat bukti.30

Setelah tahapan pembebanan dilaksanakan maka tahap selanjutnya berdasarkan Pasal 11 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia adalah tahap pendaftaran, dimana Pasal 11 Ayat 1 tersebut menyatakan bahwa benda yang dibebani dengan jaminan fidusia wajib didaftarkan.

Adapun tata cara pendaftaran jaminan fidusia yang dilakukan oleh penerima fidusia di Kantor Pendaftaran Fidusia sehubungan adanya permohonan pendaftaran jaminan fidusia oleh penerima fidusia, diatur lebih lanjut berdasarkan PP Nomor 86 Tahun 2000 Tentang Tata Cara Pendaftaran jaminan Fidusia, adalah sebagai berikut:

a. Permohonan pendaftaran fidusia dilakukan oleh penerima fidusia, kuasa atau wakilnya dengan melampirkan pernyataan jaminan fidusia yang memuat:

1) Identitas pihak pemberi fidusia dan penerima fidusia yang meliputi nama, agama, tempat tinggal/tempat kedudukan, tempat dan tanggal lahir, jenis kelamin, status perkawinan dan pekerjaan;

2) Tanggal dan nomor akta jaminan, nama dan tempat kedudukan notaris yang membuat akta jaminan fidusia;

3) Data perjanjian pokok;

30 Ibid.,hlm. 188-189

(40)

33

4) Uraian mengenai benda yang menjadi objek jaminan fidusia;

5) Nilai penjaminan;

6) Nilai benda yang menjadi objek jaminan fidusia

Pejabat pendaftaran jaminan fidusia setelah menerima permohonan tersebut memeriksa kelengkapan persyaratan permohonan, namu apabila tidak lengkap harus langsung dikembalikan berkas permohonan tersebut.

b. Apabila sudah lengkap pejabat pendaftaran fidusia memberikan sertfikat jaminan fidusia dan menyerahkan kepada pemohon yang dilakukan pada tanggal yang sama dengan tanggal pencatatan permohonan pendaftaran jaminan fidusia

c. Apabila terdapat kekeliruan penulisan dalam sertifikat jaminan fidusia, dalam waktu 60 hari setelah menerima sertifikat jaminan fidusia pemohon memberitahu kepada Kantor Pendaftaran Fidusia untuk diterbitkan sertifikat perbaikan. Sertifikat jaminan fidusia ini memuat tanggal yang sama dengan tanggal sertifikat semula.

Didaftarkanya jaminan akta perjanjian fidusia, maka Kantor Pendaftaran Fidusia akan mencatat akta jaminan fidusia dalam buku daftar fidusia dan kepada kreditur diberikan sertifikat jaminan fidusia. Saat pendaftaran akta pembebanan fidusia adalah melahirkan jaminan fidusia bagi pemberi fidusia, memberikan kepastian kepada kreditur lain mengenai benda yang telah dibebani dengan jaminan fidusia dan memberikan hak yang didahulukan terhadap kreditur dan

(41)

untuk memenuhi asas publisitas karena Kantor Pendaftaran Fidusia terbuka untuk umum.31

Apabila terjadi perubahan atas data yang tercantum dalam sertifikat jaminan fidusia, maka penerima fidusia wajib mengajukan permohonan pendaftaran atas perubahan tersebut ke Kantor Pendaftaran Fidusia, selain itu hal yang sangat menguntungkan bagi kreditur penerima jaminan fidusia adalah bahwa sertifikat jaminan fidusia mengandung kata-kata yang disebut dengan irah-irah

”DEMI KEADILAN YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA” sebagaimana yang diatur dalam Pasal 15 Ayat 1 Undang-Undang Fidusia.

5. Hapusnya jaminan fidusia

Sesuai dengan Pasal 4 Undang-Undang jaminan Fidusia, jaminan fidusia ini merupakan perjanjian accesoir dari perjanjian dasar yang menerbitkan kewajiban bagi para pihak untuk memenuhi suatu prestasi. Sebagai suatu perjanjian accesoir, perjanjian jaminan fidusia ini hapus demi hukum, apabila utang dari perjanjian pokok yang menjadi sumber lahirnya perjanjian jaminan fidusia atau utang yang dijamin dengan jaminan fidusia hapus, disamping itu, Pasal 25 Undang-Undang Fidusia menyatakan secara tegas bahwa jaminan fidusia hapus karena:

a. Hapusnya utang yang dijamin dengan jaminan fidusia;

b. Pelepasan hak atas jaminan fidusia oleh penerima fidusia; atau c. Musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia.

31 Purwahid Patrick dan Kashadi, Hukum Jaminan Edisi Revisi Dengan UUHT, Fakultas Hukum UNDIP, Semarang, 2001, hlm. 41

(42)

35

Sesuai dengan sifat ikutan dari jaminan fidusia, maka adanya jaminan fidusia tergantung dari piutang yang dijamin pelunasanya, sehingga apabila piutang tersebut hapus karena hapusnya utang karena pelepasan, maka dengan sendirinya jaminan fidusia yang bersangkutan akan menjadi hapus, hapusnya utang ini antara lain dibuktikan dengan bukti pelunasan atau bukti hapusnya utang berupa keterangan yang dibuat oleh kreditur.

Apabila hapusnya hutang karena musnahnya benda yang menjadi objek jaminan fidusia, maka klaim asuransi akan menjadi pengganti jaminan fidusia tersebut. Dalam hal penerima fidusia mengenai hapusnya jaminan dan Kantor Pendaftaran Fidusia menerbitkan hak yang menyatakan sertifikat jaminan fidusia tidak berlaku lagi.

Hapusnya jaminan fidusia perlu diikuti dengan roya atau pencoretan terhadap catatan fidusia dalam buku daftar fidusia yang ada di Kantor Pendaftaran Fidusia, hal ini dilakukan agar untuk menghindari jangan sampai secara yuridis fidusia sudah hapus, akan tetapi secara administratif fidusia masih ada karena masih tercatat dalam buku daftar fidusia. Apabila pihak kreditur tidak mau mengajukan roya kepada Kantor Pendaftaran Fidusia, maka pihak debitur dapat mengajukan permohonan untuk meroya fidusia ke Pengadilan Negeri dan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri yang memerintahkan supaya Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan roya terhadap jaminan fidusia dan barulah Kantor Pendaftaran Fidusia melakukan pencoretan fidusia tersebut.32

32 Gatot Supramono, Op.Cit.,hlm.249-251

(43)

BAB III

EKSEKUSI PADA UMUMNYA DAN EKSEKUSI JAMINAN FIDUSIA SEBAGAI JAMINAN KREDIT

A. Tinjauan Terhadap Eksekusi Pada Umumnya 1. Dasar hukum dan pengertian eksekusi

a. Dasar hukum eksekusi

Eksekusi sebagai tindakan hukum yang dilakukan terhadap pihak yang kalah dalam suatu perkara, tata caranya diatur dalam hukum acara perdata, yaitu Pasal 195-208 HIR, 224 HIR, atau Pasal 206-240 RBG dan Pasal 258 RBG, sedangkan dalam Pasal 225 HIR atau 259 RBG mengatur tentang putusan yang menghukum pihak yang kalah untuk melakukan perbuatan tertentu.33

Eksekusi juga diatur dalam Pasal 1033 RV, dan Pasal 33 Ayat (3) dan Ayat (4) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1970 Tentang Pokok Kekuasaan Kehakiman, dimana pada Pasal 33 Ayat (3) dikatakan bahwa pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara perdata yang dilakukan oleh Panitera dan Jurusita dipimpin oleh Ketua Pengadilan. Sementara pada Ayat (4) dikatakan bahwa dalam melaksanakan putusan Pengadilan diusahakan supaya prikemanusiaan dan prikeadilan tetap terpelihara.34

Ketentuan mengenai eksekusi diatur juga di dalam Pasal 60 Undang- Undang Nomor 20 Tahun 1986 Tentang Peradilan Umum, dimana pada pasal tersebut dikatakan bahwa dalam perkara perdata Panitera Pengadilan Negeri

33 Wildan Suyuthi, Sita dan Eksekusi (Praktik Kejurusitaan Pengadilan), PT. Tatanusa, Jakarta, 2004, hlm.62

34 Ibid.,hlm.62

(44)

37

bertugas melaksanakan putusan pengadilan, selanjutnya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1986 diubah menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2004 Tentang Peradilan Umum. Selain diatur dalam peraturan perundang-undangan ketentuan mengenai eksekusi ini juga diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1969 Tentang Peninjauan dan Pembatalan Suatu Putusan Perkara Perdata, serta Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 4 Tahun 1975 Tentang Pelarangan Melakukan Gijzeling (Penyanderaan) sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 209 HIR/Pasal 242 RBG.

Permasalahan eksekusi antara Pengadilan dengan PUPN (Panitia Urusan Piutang Negara) bisa dipecahkan tanpa mengaitkan pasal-pasal eksekusi dengan Undang-Undang Nomor 49 Prp/1960 sebagai sumber hukum yang mengatur kewenangan ”Parate Eksekusi” serta Peraturan Lelang Nomor 189/1908 (Vendu Reglement St. 1908/Nomor189).35

Semua aturan yang telah diuraikan di atas merupakan dasar hukum bagi pelaksanaan eksekusi di Indonesia, dimana secara keseluruhan aturan-aturan tidaklah dapat terpisahkan dalam menjalankan tindakan eksekusi, sehingga dengan demikian tidaklah tepat dalam melakukan eksekusi hanya memperhatikan pasal-pasal dalam HIR dan RBG saja, dimana jika hanya memperhatikan pasal- pasal dalam HIR dan RBG saja, tanpa memperhatikan perundang-undangan lain dikhawatirkan akan terjadi kekeliruan dalam praktik di lapangan.36

35 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata, Sinar Grafika, Jakarta, 2006, hlm.5

36 Ibid.,hlm.5

(45)

b. Pengertian eksekusi

Eksekusi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, antara lain bermakna:

(1) pelaksanaan putusan hakim; dan (2) penjualan harta orang karena penyitaan, selain itu istilah eksekusi menurut kamus bahasa Inggris yang mana berasal dari kata execute yang berarti melaksanakan vonis pengadilan. Kata-kata eksekutorial sendiri berarti kalimat (irah-irah) yang terdapat pada putusan hakim yang berbunyi ”DEMI KEADILAN YANG BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”.37

Menurut Subekti dan Retno Wulan Sutantio, mengalihkan istilah eksekusi (executie) ke dalam bahasa Indonesia dengan istilah pelaksanaan putusan.

Pembakuan istilah ”pelaksanaan putusan” sebagai kata ganti eksekusi dianggap sudah tepat, sebab jika bertitik tolak dari ketentuan dari bab kesepuluh bagian kelima HIR atau titel keempat bagian keempat RBG, pengertian eksekusi sama dengan tindakan menjalankan putusan (ten uitvoir legging van vonnisen) menjalankan putusan pengadilan tidak lain melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan ”secara paksa” putusan pengadilan dengan alat-alat negara apabila pihak yang kalah tidak mau menjalankanya secara sukarela.38

Menurut M. Yahya Harahap menyatakan bahwa eksekusi merupakan:39

” tindakan hukum yang dilakukan oleh pengadilan kepada pihak yang kalah dalam suatu perkara, yang merupakan aturan dan tata cara lanjutan dari proses pemeriksaan perkara. Oleh karena itu, eksekusi tidak lain dari pada tindakan yang berkesinambungan dari keseluruhan proses hukum acara perdata, lebih lanjut eksekusi merupakan suatu kesatuan yang tidak terpisah

37 Ramli Rizal, Ekseskusi Perkara Perdata di Pengadilan Negeri, Pasca Sarjana Universitas Andalas, Padang, 2012, hlm.8

38 Ibid.,hlm.9

39 Ibid., hlm.1

Referensi

Dokumen terkait

Konotasi yang muncul lewat tanda gambar uang kertas emisi seratus ribu rupiah ialah dengan melihat ikon Soekarno-Hatta sebagai founding nation, mengingat- kan

Teknologi dan Industri Pertanian saat ini telah berkembang pesat, dan untuk merespon perkembangan teknologi pangan dalam mempersiapkan sumberdaya manusia tersebut,

Tindak Pidana Turut Serta Dengan Sengaja Membujuk Anak Melakukan.. Persetubuhan(Analisis

Baudrillard is one of postmodernist theorists that criticize the unreality of the culture which we live in. He suggests that human interactions with virtual reality media and

Lebih lanjut jenis-jenis belajar yang menyangkut masalah belajar (Djamarah, 2011) sebagai berikut adalah: 1) Belajar Arti Kata-Kata, artinya adalah siswa mulai

Tangerang, Iklan Gratis di Tangerang Selatan, Iklan Gratis di Banten, Jual Beli Online di Serang, Jual Beli Online di Cilegon, Jual Beli Online di Tangerang, Jual Beli Online

[r]

Prasetyo, Imam. Pembelajaran Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Pada Praktik Manasik Haji Siswa Kelas 6 SD Islam Al-Azhar 25 Semarang Tahun Pelajaran 2017/2018.