5.1 Bubu Lipat
Bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat pintu atas dengan penambahan pintu jebakan bentuk kisi-kisi merupakan desain dan konstruksi yang pertama kali dibuat. Cacing tanah sebagai hewan yang berasal dari daratan sudah sering dilakukan sebagai umpan untuk memancing ikan di perairan umum.
Kegiatan experimental fishing menggunakan bubu lipat modifikasi dengan menggunakan umpan cacing merupakan kegiatan uji coba penangkapan yang juga pertama kali dilakukan. Melalui pengujian, diharapkan dapat diukur efektivitasnya bila dibandingkan dengan bubu lipat standar dan umpan standar.
Spesifikasi bubu lipat pintu samping dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi adalah : bentuk bubu empat persegi panjang (box type);
ukuran 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt); memiliki satu pintu masuk di bagian samping; sudut slope net (bagian atas dan bawah) adalah 22,5°; bingkai bubu bahan besi galvanis berdiameter 6 mm; badan jaring (cover net) bahan Polyethylene (PE) mesh size 1,5 inci 210 D/18; pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik dengan tebal 1 mm.
Spesifikasi bubu lipat pintu atas dengan pintu jebakan yang berbentuk kisi-kisi adalah : bentuk bubu trapesium (trapezoidal type); ukuran 60 cm x 45 cm x 30 cm (pxlxt); memiliki satu pintu masuk di bagian atas; sudut slope net (bagian samping) adalah 70°; bingkai bubu bahan besi galvanis berdiameter 6 mm; badan jaring (cover net) bahan Polyethylene (PE) mesh size 1,5 inci 210 D/18. pintu jebakan bentuk kisi-kisi bahan plastik dengan tebal 1 mm.
Bubu lipat modifikasi pintu samping dengan bubu lipat modifikasi pintu atas secara konstruksi berbeda posisi pintu masuknya. Kedua bubu lipat modifikasi juga berbeda dengan bubu lipat standar yang merupakan bubu lipat rajungan. Pengujian bubu lipat modifikasi terhadap bubu lipat standar merupakan pengujian terhadap bubu lipat acuan. Bubu lipat standar mungkin saja hanya memperoleh hasil tangkapan rajungan dan tidak mendapatkan lobster karena bubu lipat standar adalah bubu rajungan dengan bentuk pintu masuk yang
menyempit (slit type). Bubu lipat modifikasi mungkin saja dapat menangkap keduanya, baik lobster maupun rajungan.
5.2 Bubu Lipat dan Umpan Standar
Hasil tangkapan bubu lipat penelitian pada pengujian efektivitas bubu lipat, yaitu bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas dan bubu lipat standar dengan menggunakan umpan tembang telah dilakukan selama 31 trip. Hasil tangkapan terdiri dari lobster (lobster hijau pasir - Panulirus homarus, lobster hijau - Panulirus versicolor, dan lobster mutiara - Panulirus ornatus), rajungan – blue swimming crab, sotong-Sepia sp., kerapu tutul- Epinephelus maculatus, dan Singreng - Canthigaster sp..
Hasil pengujian efektivitas bubu lipat penelitian, yaitu antara bubu lipat modifikasi pintu samping, bubu lipat modifikasi pintu atas dengan bubu lipat standar menunjukkan bahwa bubu lipat standar lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi. Sementara, bubu lipat modifikasi pintu samping lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu atas.
Bubu lipat standar penelitian untuk menangkap lobster memiliki ukuran pxlxt lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat standar untuk menangkap rajungan, sehingga bubu lipat standar penelitian diduga memiliki peluang yang lebih besar untuk menangkap lobster lebih banyak bila dibandingkan dengan bubu lipat standar yang biasa dipakai untuk menangkap rajungan;
Bubu lipat modifikasi pintu samping hanya memiliki satu pintu, sama halnya dengan bubu lipat modifikasi pintu atas. Sedangkan bubu lipat standar memiliki dua pintu samping, sehingga diduga akan memberikan peluang yang cukup besar bagi lobster untuk memasuki bubu lipat standar dengan catatan bahwa posisi jatuhnya bubu lipat standar saat dilakukan setting alat tangkap dan berada di dasar perairan dalam keadaan tidak terbalik. Bila posisi bubu lipat standar terbalik di dasar perairan akan menempatkan sudut slope net akan menjadi cukup tinggi yaitu 67,5° yang dapat menyulitkan lobster untuk bergerak menuju pintu masuk. Bubu lipat modifikasi pintu atas memiliki sudut slope net yang paling tinggi, yaitu 70° dan hanya berhasil menangkap 3 ekor lobster yang merupakan jumlah yang sedikit dibandingkan dengan hasil tangkapan lobster
pada bubu lipat standar dan bubu lipat modifikasi pintu samping masing-masing 25 ekor dan 14 ekor. Kondisi sudut slope net yang cukup tinggi diduga akan menyulitkan bagi lobster untuk mencapai pintu masuk bubu. Di Selandia Baru untuk penangkapan lobster memiliki bukaan mulut yang berbentuk lingkaran dan terletak di bagian atas bubu dan berhasil menangkap lobster (Gorman, 1996).
Bubu lipat yang dilakukan modifikasi hanya menggunakan satu pintu adalah untuk lebih membesarkan volume ruangan dalam bubu lipat, sehingga bubu lipat diduga dapat memiliki peluang untuk memperoleh lobster lebih dari satu ekor.
Hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Thomas (1954) yang diacu dalam Shelton and Hall (1981) yang melakukan pengujian terhadap alat tangkap bubu antara scottish creel (pintu samping jumlah satu pintu) dengan traditional cornish inkwell pot (pintu atas jumlah satu pintu) yang memberikan hasil tangkapan lobster jenis Homarus gammarus masing-masing adalah 66 ekor dan 48 ekor dalam 384 hauling. Secara statistik menunjukkan bahwa hasil tangkapan lobster dari setiap alat tangkap bubu tersebut terbukti tidak berbeda nyata dalam jumlah dan ukuran;
Ukuran pintu masuk bubu lipat modifikasi, baik modifikasi pintu samping maupun pintu atas memiliki ukuran pintu masuk yang cukup luas, yaitu 30 cm x 14 cm (panjang x tinggi/ atau lebar) dibandingkan dengan ukuran pintu masuk bubu lipat standar penelitian. Pintu masuk bubu lipat standar berbentuk ellips atau slit type merupakan bentuk pintu masuk yang mengerucut seperti bentuk lubang di batu karang dengan ukuran yang sempit. Celah yang kecil dapat membuat lobster tetap berusaha masuk ke dalam bubu, terutama untuk lobster yang berukuran kecil. Sementara, meskipun bubu lipat modifikasi memiliki ukuran yang cukup luas, namun penggunaan pintu plastik bentuk kisi-kisi dapat saja mengganggu bagi lobster untuk masuk ke dalam bubu.
Penggunaan pintu pemicu bentuk kisi-kisi pada mulut bubu lipat modifikasi selain berfungsi untuk memberikan peluang bagi lobster untuk mudah masuk, tetapi sulit untuk keluar dan sekaligus bagian dari upaya untuk mengurangi hasil tangkapan sampingan (by-catch). Seperti yang diungkapkan oleh Phillips et al., (1980) bahwa desain yang tepat dari perangkap adalah membuat lobster dapat masuk melalui mulut bubu dan menyulitkannya untuk
keluar. Pengamatan lobster dalam tangki percobaan (Shelton, 1981) menjelaskan bahwa masuknya lobster ke dalam perangkap mungkin diperlambat oleh kesulitan pengalaman dalam menemukan pintu masuk. Lobster membutuhkan waktu yang cukup lama dalam berusaha mendapatkan jalan ke arah umpan hingga pada bagian sisi dari perangkap, khususnya jika ada bagian dari jaring yang tersentuh tangan yang terkontaminasi umpan, dimana ada periode waktu bagi lobster dalam usaha memakan jaring yang terkontaminasi umpan tersebut.
Namun, dapat saja bahwa pemasangan pintu pemicu bentuk kisi-kisi justru dapat menghalangi bagi lobster untuk masuk. Pada kondisi tersebut diperlukan penelitian lanjutan yang terkait dengan performa bubu lipat modifikasi terkait dengan cara dan keberhasilan lobster memasuki bubu lipat modifikasi.
Hasil tangkapan lobster memiliki ukuran yang masih kecil (baby lobster) dengan ukuran berat (gram) < 100 gram. Hal ini diduga karena kegiatan penangkapan dilakukan pada kedalaman yang cukup dangkal, yaitu antara 5 – 15 meter dengan substrat dasar perairan lumpur, pasir dan berkarang. Berdasarkan informasi dari nelayan setempat bahwa perairan di daerah penelitian sering tertangkap juvenil lobster oleh alat tangkap bagan tancap pada kedalaman < 10 meter. Sehingga diduga bahwa perairan tersebut sebagai tempat bertelurnya lobster (spawning ground) hingga berkembang menjadi lobster kecil (baby lobster). Pada musim tertentu di perairan tersebut, lobster dengan ukuran kecil akan berlimpah dan penggunaan bubu lipat akan memberikan hasil tangkapan lobster. Menurut Goni et al. (2003), bahwa kondisi matang gonad secara fisiologi (size at maturity) untuk lobster betina dari spiny lobster di Perairan Mediterania terjadi pada ukuran panjang karapas antara 76 – 77 mm. Sedangkan untuk lobster jantan dari lobster yang sama terjadi pada ukuran panjang karapas 82,5 mm. Bila dibandingkan dengan lobster hasil tangkapan yaitu ukuran panjang karapas < 70 mm, maka kondisinya belum dalam keadaan matang gonad.
Peran IPTEK dalam pengembangan perikanan bubu menjadi sangat penting untuk tujuan-tujuan yang berhubungan dengan aspek pemanfaatan sumber daya dan aspek keberlanjutan sumber daya. Faktor yang menjadi daya tarik bagi nelayan dalam memanfaatkan sumber daya lobster adalah selain memiliki harga yang cukup tinggi, lobster yang tertangkap dalam keadaan hidup
dengan ukuran kecil (di bawah size ekonomis) dapat dikembangkan kegiatan budidaya pembesaran dalam karamba apung. Dengan kata lain, bahwa penangkapan lobster dengan alat tangkap bubu lipat dapat memberikan manfaat lain, yaitu perolehan bibit lobster dari alam untuk kegiatan usaha budidaya pembesaran.
5.3 Bubu Lipat Modifikasi dan Umpan Cacing Tanah
Hasil tangkapan bubu lipat penelitian pada pengujian efektivitas bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar dengan menggunakan umpan cacing tanah dan umpan tembang selama 20 trip, relatif homogin dengan hasil tangkapan pada pengujian efektivitas bubu lipat dengan umpan tembang (standar) yang telah dilakukan sebelumnya (31 trip). Hasil tangkapan terdiri dari lobster (lobster hijau pasir - Panulirus homarus, lobster hijau - Panulirus versicolor, dan lobster mutiara - Panulirus ornatus), rajungan - swimming crab, sotong-Sepia sp., kerapu tutul- Epinephelus maculatus, dan udang ronggeng- Squilla mantis.
Lobster yang dominan tertangkap adalah jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus). Lobster yang tertangkap berada pada selang kelas panjang karapas < 77 mm yang merupakan ukuran lobster yang masih kecil (baby lobster). Berdasarkan selang kelas berat (gram) lobster yang tertangkap sebanyak 30 ekor merupakan di bawah ukuran ekonomis, karena di bawah 100 gram harga lobster sangat rendah, selain juga karena memang ukuran yang masih kecil untuk dimanfaatkan. Namun demikian salah satu jenis lobster hijau pasir (Panulirus homarus) yang tertangkap pada trip ke-8 dengan ukuran panjang karapas (CL) 72 mm dan berat 120 gram sudah memiliki telur.
Kondisi matang dewasa pertama lobster memiliki ukuran panjang karapas yang berbeda-beda. Seperti yang diungkapkan oleh Montgomery (1992) bahwa tidak ada perbedaan secara signifikan dalam panjang karapas (CL) antara ukuran lobster pada saat matang dewasa pertama dan ukuran lobster saat pemuliaan.
Kriteria Pencapaian matang dewasa ini adalah kehadiran setae yang berkembang dengan baik, atau adanya telur melekat pada pleopods (kaki renang). Tidak ada
perbedaan signifikan dalam panjang karapas (CL) antara ukuran lobster pada saat matang dewasa pertama dan ukuran lobster saat pemuliaan (Montgomery 1992).
Umumnya kondisi matang dewasa didefinisikan sebagai ukuran pertama atau usia di mana 50% dari hewan mencapai kematangan seksual (Somerton 1980 diacu dalam Montgomery 1992). Aiken dan Waddy (1980) diacu dalam Montgomery (1992) menjelaskan berbagai karakteristik lobster yang telah digunakan untuk menentukan matang dewasa, yaitu termasuk perubahan dalam hubungannya dengan morfometrik, dimorfisme dari pleopods, kondisi ovarium, kehadiran telur, kehadiran kelimpahan spermatophoric, dan perubahan dalam sternalis.
Sebuah pengetahuan tentang ukuran di mana hewan mencapai kondisi matang dewasa dapat menjadi penting dalam pengelolaan stok. Hal ini memungkinkan, yaitu kombinasi informasi tentang distribusi panjang individu dan perkiraan proporsi hewan yang mampu berkembang biak dalam populasi. Hal ini dapat digunakan juga sebagai ukuran yang mendasari ukuran minimum yang legal dan /atau usia untuk hewan yang diperbolehkan untuk ditangkap. Tujuan dalam pengelolaan adalah untuk melindungi hewan yang cukup matang dewasa dari kegiatan penangkapan sehingga stok yang ada cukup untuk mempertahankan populasi, atau untuk mempromosikan ukuran maksimum yang tertangkap dari jenis yang diinginkan dari individu dengan ukuran tertentu dalam populasi (Alen 1954 diacu dalam Montgomery 1992).
Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa faktor bubu lipat (bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar) dan perlakuan umpan (cacing tanah dan tembang) yang dilakukan secara bersama-sama berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (Fvalue α=5% = 3,45 > Ftabel = 2.72 atau p- value = 0.0206 < 0.05). Selanjutnya, hasil analisis sidik ragam untuk masing- masing faktor, yaitu untuk penggunaan jenis bubu lipat (bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (p–value α=5% = 0.0396 < 0.05). demikian juga dengan penggunaan jenis umpan (cacing tanah dan tembang) berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster (p–value α=5% = 0,0296 < 0.05). Sedangkan di antara bubu dan umpan tidak ada interaksi terhadap perolehan hasil tangkapan lobster (p–value α=5% = 0.3073 >
0.05). Pada kondisi tersebut diperlukan analisis lanjutan untuk melihat perbedaan efektivitas masing-masing diantara faktor bubu lipat dan perlakuan umpan dalam memperoleh hasil tangkapan lobster. Atau dengan kata lain bahwa faktor bubu lipat dan perlakuan umpan masing-masing berpengaruh nyata terhadap hasil tangkapan lobster.
Gunarso (1985) menyatakan bahwa untuk memudahkan dalam menangkap ikan selain menggunakan alat tangkap, dibutuhkan juga taktik dan metode yang tepat. Selain adanya interaksi yang saling ketergantungan, antara lain seperti kepada jenis ikan, kondisi fisiologis ikan, musim atau bahkan perubahan waktu dalam sehari. Taktik dalam penangkapan dengan bubu diperlukan bagaimana bubu dapat menarik perhatian lobster (lobster attraction) bahwa bubu dapat berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) atau tempat bersembunyi (hiding place) dan taktik penggunaan umpan untuk tujuan menimbulkan rangsangan umpan bersifat kimiawi (chemical bait). Faktor bubu lipat saat di dasar dapat berfungsi sebagai tempat berlindung (shelter) atau tempat bersembunyi (hiding place), sedangkan penggunaan umpan dapat menimbulkan bau akibat faktor kimiawi umpan (chemical bait).
Hasil uji Duncan terhadap faktor bubu lipat adalah bahwa kedua jenis bubu, baik bubu lipat modifikasi pintu samping maupun bubu lipat Standar berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini bubu yang paling baik digunakan adalah tetap bubu lipat Standar (Mean = 0,96025) dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (Mean = 0,82358). Hasil uji duncan juga diperkuat oleh analisis rata-rata hasil tangkapan lobster per trip bubu lipat standar (1,1 ekor ± 0,05) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (0,5 ekor ± 0,03). Demikian juga dengan nilai efektivitas bubu lipat, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat standar (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping (3,8%). Kondisi ini sama dengan hasil yang diperoleh dalam pengujian sebelumnya, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat standar lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat modifikasi pintu atas yang telah dilakukan experimental fishing dengan menggunakan umpan tembang. Hal ini menegaskan kembali bahwa bubu
standar masih lebih baik dalam perolehan hasil tangkapan lobster dibandingkan dengan bubu lipat modifikasi.
Rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) per trip bubu lipat modifikasi pintu samping (1 ekor ± 0,08) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat standar (2 ekor ± 0,08). Kondisi ini dapat dikatakan bahwa bubu lipat modifikasi dapat mereduksi by-catch hingga 50% dibandingkan penggunaan bubu lipat standar. Namun demikian, jenis by-catch yang tertangkap juga memiliki nilai komersial yang cukup tinggi, seperti rajungan, ikan kerapu dan sotong. Meskipun dapat mereduksi by-catch bagi bubu lipat modifikasi pintu samping dan bubu lipat standar memperoleh hasil tangkapan lobster dan by-catch dalam keadaan hidup. Hasil tangkapan jenis lobster memiliki ukuran yang masih kecil, sehingga diperlukan aspek pengelolaan yang baik dalam memanfaatkan lobster dengan ukuran di bawah size ekonomis. Salah satu bentuk upaya pengelolaan yang menjadi pilihan adalah pengembangan budidaya pembesaran lobster, dimana bibit lobster ditangkap dari alam sebagai hasil tangkapan bubu lobster kemudian dimasukan ke dalam karamba apung .
Bubu biasanya digunakan oleh nelayan untuk menangkap dan mempertahankan target tangkapan yang diinginkan yaitu lobster dan jenis krustasea lainnya yang juga target yang baik, seperti halnya ikan bersirip, gastropoda dan moluska (Miller 1990). Lebih dari itu, bubu juga mewakili alat tangkap yang berguna untuk kegiatan pemanenan sumberdaya ikan yang bertanggung jawab. Bubu adalah alat tangkap yang selektif, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis dapat dikembalikan ke perairan tanpa melukainya, sedikit hasil tangkapan sampingan atau by-catch (Groneveld 2000) dan mempunyai dampak yang minimum terhadap komunitas dasar perairan (Eno et al., 2001). Lebih jauh dikatakan oleh Miller (1990), bahwa kualitas bubu lipat sebagai perangkap adalah karena hasil tangkapan dalam keadaan hidup dengan kualitas yang sangat baik, hasil tangkapan di bawah ukuran ekonomis (under size) dapat dikembalikan ke perairan dalam keadaan hidup dan biaya penangkapan rendah.
Umpan merupakan salah satu faktor penting untuk menunjang keberhasilan suatu operasi penangkapan, khususnya untuk alat tangkap yang
bersifat pasif seperti bubu. Seperti yang dinyatakan oleh Raharjo dan Linting (1993), bahwa umpan merupakan perangsang yang memikat sasaran penangkapan dan sangat berpengaruh untuk meningkatkan laju tangkap bubu.
Percobaan-percobaan yang telah dilakukan dalam skala laboratorium menunjukkan bahwa lobster Jasus lalandei memakan makanan yang disukainya jika diberikan pilihan, dan memilih umpan-umpan alami yang ada di laut sebelum digunakan jenis makanan alami di darat (daging hewan). Selanjutnya, Fielder (1965) menyatakan bahwa terdapat beberapa kondisi terkait dengan tingkah laku makan lobster Jasus lalandei tentang makanan yang disukai, yaitu : (1) Lobster Jasus lalandei memiliki tingkah laku makan yang selektif, yaitu jika diberikan pilihan makanan; (2) Umpan yang berasal dari laut, seperti ikan dan hiu lebih disukai daripada umpan yang berasal dari daratan, seperti kuda dan kelinci; (3) Umpan segar lebih disukai dari pada umpan busuk; dan (4) Umpan cumi-cumi termasuk jenis umpan yang efisien seperti halnya umpan ikan.
Hasil uji Duncan terhadap perlakuan umpan adalah bahwa kedua jenis umpan, baik umpan cacing tanah maupun tembang berbeda nyata pada taraf α = 5%. Dalam hal ini umpan yang paling baik digunakan adalah cacing tanah (Mean
= 0.96429) dibandingkan dengan umpan tembang (Mean = 0.81954). Hasil uji duncan juga diperkuat oleh analisis rata-rata hasil tangkapan lobster per trip bahwa bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (1,1 ekor ± 0,03) lebih baik dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang (0,5 ekor ± 0,03). Demikian juga dengan hasil perhitungan nilai efektivitas umpan, yaitu bahwa efektivitas bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (9,2%) lebih besar dibandingkan dengan yang menggunakan umpan tembang (3,8%).
Rata-rata hasil tangkapan sampingan (by-catch) per trip untuk bubu lipat yang menggunakan umpan cacing tanah (1,2 ekor ± 0,06) lebih sedikit dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang (1,9 ekor ± 0,08). Hasil analisis menunjukkan bahwa pengoperasian bubu yang menggunakan umpan cacing tanah dapat mereduksi by-catch hingga 36,8%
dibandingkan dengan bubu lipat yang menggunakan umpan tembang.
5.4 Umpan Alternatif
Cacing tanah sebagai hewan yang berasal dari daratan sudah sering dilakukan sebagai umpan untuk memancing ikan di perairan umum. Kegiatan experimental fishing menggunakan bubu lipat modifikasi dengan menggunakan umpan cacing merupakan kegiatan uji coba penangkapan yang juga pertama kali dilakukan.
Hal-hal yang berhubungan dengan umpan sebagai atraktor dalam penangkapan ikan ditentukan oleh kandungan kimia umpan yang digunakan.
Kandungan kimia tersebut erat kaitannya sebagai perangsang bau yang meliputi kandungan proksimat (protein dan lemak), asam amino, asam lemak dan amoniak. Seperti yang dikatakan Sadhori (1985) menjelaskan bahwa umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses penangkapan. Begitu juga dengan lobster, umpan merupakan salah satu faktor penting sebagai bahan atraktor dalam memikat lobster. Umpan yang mengandung unsur lemak, protein dan chitine serta adanya bau yang menyengat merupakan umpan yang sangat baik sebagai bahan atraktor untuk memikat lobster (Fielder 1965; Phillips and Cobb 1980; Moosa dan Aswandy 1984).
Hasil uji proksimat terhadap kadar protein umpan berdasarkan 6 tahap lama perendaman, yaitu lama perendaman 1, 2, 3, 6, 9, dan 12 jam terlihat bahwa cacing tanah mengalami penurunan kadar protein yang cukup lambat dengan rata- rata penurunan 9,76% ± 0,40 dibandingkan dengan umpan tembang 34,90% ± 3,40. Dengan demikian, selain cacing tanah memiliki kandungan protein yang tinggi, juga memiliki ketahanan umpan yang cukup tinggi dibandingkan dengan umpan tembang. Dalam protein kasar banyak mengandung asam amino yang berguna untuk menjadi stimulus makan bagi target tangkapan. Seperti yang diungkapkan Engas and Lokkeborg (1994), bahwa umpan yang mengandung asam amino diidentifikasi dapat menjadi stimulus dan atraktor makan pada ikan dan krustasea. Hampir semua studi mengenai rangsangan kimia untuk tingkah laku makan menunjukkan bahwa rangsangan makan pada ikan dan krustasea akan hilang seiring dengan hilangnya kandungan asam amino pada umpan. Sedangkan
cacing tanah mengalami penurunan kadar lemak yang lebih cepat dengan rata- rata penurunan 65,48% ± 3,04 dibandingkan dengan umpan tembang 41,51% ± 3,44. Rantai kimia pada kandungan asam lemak apabila terpotong akan berpengaruh pada pembentukan komponen yang bertanggung jawab atas rangsangan bau. Berdasarkan hasil penelitian di Samudera Pasifik, bahwa umpan yang mengandung banyak lemak menghasilkan tangkapan yang lebih baik dibandingkan dengan umpan yang mengandung lemak yang kurang (King 1986 diacu dalam Rahardjo dan Linting 1993).
Pendekatan penggunaan umpan alami yang berasal dari wilayah daratan adalah bahwa umpan tersebut dapat dibudidayakan secara sederhana sehingga pengadaannya tidak membutuhkan biaya yang besar. Kegiatan pemeliharaan dalam budidaya cacing tanah (Lumbricus rubellus) tidak dibutuhkan lahan yang luas atau biaya pakan yang mahal, karena pemeliharaan cacing tanah bersifat zero feed cost (Edwards and Lotfy 1972 diacu dalam Pardamean 2002). Penggunaan cacing tanah sebagai umpan alternatif akan mengurangi tekanan terhadap pemanfaatan ikan rucah dalam upaya pengembangan perikanan bubu lobster.