• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORI"

Copied!
44
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Dasar Pajak secara Umum

2.1.1 Definisi Pajak

Menurut Mardiasmo pajak adalah iuran rakyat kepada kas Negara berdasarkan undang –undang (dapat dipaksakan) dengan tidak mendapatkan jasa timbale balik (kontraprestasi) yang langsung dapat ditujukan dan dapat digunakan untuk membayar pengeluaran umum.

Pajak menurut Waluyo (2008) pajak adalah iuran kepada Negara (yang dapat dipaksakan) yang terutang oleh yang wajib membayarnya menurut peraturan – peraturan, dengan tidak mendapat prestasi kembali, yang langsung dapat ditunjuk, dan yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran – pengeluaran umum berhubungan dengan tugas Negara yang menyelenggarakan pemerintahan.

Pajak Penghasilan (PPh) menurut Barata A.A, dikenakan terhadap orang pribadi dan badan, berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperoleh selama satu tahun pajak.

Dari pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak adalah

1. Pajak yang dipungut berdasarkan undang – undang serta aturan pelaksanaannya yang sifatnya dapat dipaksakan.

(2)

2. Dalam pembayaran pajak tidak dapat ditunjukkan adanya kontraprestasi individual oleh pemerintah.

3. Pajak dipungut oleh Negara baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah.

4. Pajak diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran umum pemerintah.

5. Pajak dapat pula mempunyai tujuan selain budgeter yaitu mengatur.

Sebagaimana telah diketahui ciri – ciri yang melekat pada pengertian pajak terlihat dua fungsi yaitu :

1. Fungsi Penerimaan (budgeter)

Pajak berfungsi sebagai sumber dana yang diperuntukkan bagi pengeluaran – pengeluaran pemerintah.

2. Fungsi Mengatur (Reguler)

Pajak berfungsi sebagai alat untuk mengatur serta melaksanakan kebijakan di bidang social dan ekonomi.

2.1.2Pengertian Subjek Pajak

Subjek PPh adalah orang pribadi; warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak, badan, dan bentuk usaha tetap.

Secara umum pengertian subjek pajak adalah siapa yang dikenakan pajak.

Secara pendek termasuk dalam pengertian subjek pajak meliputi orang pribadi, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, badan, dan bentuk usaha tetap. Subjek pajak tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut :

(3)

1. Orang Pribadi

Kedudukan orang pribadi sebagai wajib pajak dapat bertempat tinggal atau berada di Indonesia ataupun di luar Indonesia. Orang pribadi tidak melihat batasan umur dan juga jenjang social ekonomi, dengan kata lain berlaku sama untuk semua.

2. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak. Dalam hal ini, warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan merupakan subjek pajak pengganti, menggantikan mereka yang berhak yaitu ahli waris.

a. Badan

Badan sebagai subjek pajak adalah suatu bentuk usaha yang meliputi :

a. Perseroan terbatas

b. Perseroan komanditer

c. BUMN / BUMD dengan nama dan bentuk apapun

d. Persekutuan

e. Firma

f. Yayasan

g. Bentuk usaha tetap serta bentuk usaha lainnya

(4)

3. Bentuk Usaha Tetap

Bentuk Usaha Tetap (BUT) adalah bentuk usaha yang diperuntukan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau juga badan yang tidak didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia untuk menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia.

2.1.3 Jenis Subjek Pajak dan Pengecualian Sebagai Subjek Pajak

Subjek pajak terdiri dari dua jenis yaitu :

1. Subjek Pajak dalam Negeri

Termasuk sebagai subjek pajak dalam negeri adalah :

a. Orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia selama lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia.

b. Badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

c. Warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.

2. Subjek Pajak Luar Negeri

Yang termasuk subjek pajak luar negeri adalah :

(5)

a. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menjalankan usaha atau melakukan melalui BUT di Indonesia.

b. Orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia yang menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui BUT di Indonesia.

Adapun yang termasuk dikecualikan sebagai subjek pajak adalah :

1. Badan perwakilan Negara Asing.

2. Pajabat – pejabat perwakilan diplomatic dan konsulat, atau pejebat – pejabat dari Negara asing, demikian juga dengan orang – orang yang diperuntukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama – sama dengan mereka, dengan persyaratan bukan sebagai warga Negara Indonesia, serta tidak menerima atau memperoleh penghasilan lain di luar jabatannya

(6)

selain di Indonesia, disamping itu juga Negara yang bersangkutan memberikan perlakuan yang sama secara timbal balik.

3. Organisasi – organisasi Internasional yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, dengan syarat tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain yang dapat memberikan penghasilan di Indonesia.

4. Pejabat – pejabat perwakilan organisasi Internasional yang ditetapkan oleh menteri keuangan, dengan syarat tidak sebagai warga Negara Indonesia serta tidak menjalankan usaha atau melakukan kegiatan lain yang dapat memberikan penghasilan di Indonesia.

2.1.4 Saat Mulai dan Berakhirnya Kewajiban Pajak Subjektif

Adapun saat mulai dan berakhirnya kewajiban perpajakan sehubungan dengan kedudukan pajak subjektif ini adalah sebagai berikut :

2.1.4.1 Saat mulainya kewajiban pajak subjektif

1. Subjek Pajak Orang Pribadi

a. Bagi subjek pajak orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan mulai pada saat ia lahir di Indonesia.

(7)

b. Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai sejak saat orang tersebut berada di Indonesia.

c. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat orang pribadi tersebut menjalankan usahanya di Indonesia.

d. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat orang pribadi tersebut menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

(8)

2. Subjek Pajak Badan

a. Subjek pajak badan yang didirikan atau berkedudukan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat badan tersebut didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia.

b. Bagi subjek pajak badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya mulai pada saat badan tersebut menerima atau memperoleh penghasilan di Indonesia.

3. Warisan

Untuk warisan yang belum terbagi dan masih dalam satu kesatuan menggantikan yang berhak, maka kewajiban pajak subjektifnya akan dimulai pada saat timbulnya warisan yang belum terbagi tersebut yakni tepatnya pada saat pewaris meninggal dunia.

2.1.4.2 Saat berakhirnya kewajiban pajak subjektif

1. Subjek Pajak Orang Pribadi

(9)

a. Subjek Pajak Orang Pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, maka pajak subjektifnya akan berakhir pada saat ia meninggal dunia atau saat meninggalkan Indonesia untuk selama – lamanya.

b. Bagi subjek pajak orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat orang tersebut tidak lagi menjalankan usaha dan tidak melakukan kegiatan di Indonesia.

c. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat orang pribadi tersebut tidak lagi menjalankan usahanya di Indonesia.

d. Bagi subjek pajak orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat

(10)

orang pribadi tersebut tidak lagi menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.

2. Subjek Pajak Badan

a. Subjek pajak badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia, maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat badan tersebut dibubarkan atau tidak lagi berkedudukan di Indonesia.

b. Bagi subjek pajak badan yang tidak didirikan atau tidak berkedudukan di Indonesia yang dapat menerima dan memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan di Indonesia maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat bulan tersebut tidak lagi menerima dan memperoleh penghasilan di Indonesia.

3. Warisan

Untuk warisan yang belum dibagi dan masih dalam satu kesatuan menggantikan yang berhak maka kewajiban pajak subjektifnya akan berakhir pada saat warisan tersebut selesai dibagi kepada para ahli warisnya masing – masing dan sejak saat itu pula

(11)

barulah pemenuhan kewajiban perpajakannya kepada para ahli warisnya.

2.1.5Pengertian Objek Pajak

Dalam hal perpajakan yang dimaksud dengan objek pajak yaitu apa yang telah dikenakan pajak. Pasal 4 ayat 1 dan 2, undang – undang pajak penghasilan telah memberikan penanganan mengenai objek pajak penghasilan. Pengertian penghasilan menurut Undang – Undang Pajak Penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak baik berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan dengan nama dan atau bentuk apapun.

Dari mekanisme aliran pertambahan kemampuan ekonomis, penghasilan yang diterima oleh Wajib Pajak dapat dikategorikan atas empat sumber yakni :

1. Penghasilan yang diterima atau diperoleh dari pekerjaan berdasarkan hubungan kerja dan pekerjaan bebas.

2. Penghasilan dari usaha kegiatan

3. Penghasilan dari modal

4. Penghasilan lain – lain seperti hibah, pembebasan utang, dan sebagainya.

(12)

2.1.6 Objek Pajak dan Bukan Objek Pajak Penghasilan

Sesuai dengan pasal 4 ayat 1 undang – undang pajak penghasilan telah diberikan uraian mengenai objek pajak penghasilan antara lain :

1. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, bonus, gratifikasi, uang pension, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam undang – undang PPh.

2. Hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan atau penghargaan.

3. Laba usaha.

4. Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk :

a. Keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal.

b. Keuntungan yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, anggota.

c. Keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, atau pengambil alihan usaha.

(13)

d. Keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak – pihak yang bersangkutan.

5. Penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya.

6. Bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang.

7. Deviden, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk deviden dari premi asuransi kepada pemegang polis dan pembagian sisa hasil usaha koperasi.

8. Royalty.

9. Sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta.

10. Penerimaan atau pembayaran berkala.

11. Keuntungan karena pembebasan utang.

12. Keuntungan karena selisih kurs mata uang asing.

(14)

13. Selisih lebih karena penilaian kembali aktiva.

14. Premi asuransi.

15. Iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas, sepanjang iuran tersebut ditentukan berdasarkan volume kegiatan atau pekerjaan bebas anggotanya.

16. Tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak.

Adapun penghasilan dari selisih lebih karena penilaian kembali di atas, sesuai pasal 4 ayat 2 Undang – Undang Pajak Penghasilan terdapat beberapa jenis penghasilan yang pengenaannya dilakukan secara fiscal yaitu atas :

1. Bunga deposito dan tabungan – tabungan lainnya.

2. Penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas di bursa efek.

3. Penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau bangunan.

4. Penghasilan tertentu lainnya, seperti dari usaha migas, kertas, baja, dam sebagainya.

Berdasarkan pasal 4 ayat 3 Undang – Undang PPh, penghasilan yang tidak termasuk sebagai objek pajak adalah :

1. Sumbangan atau bantuan

(15)

2. Harta hibahan yang diterima keluarga seluruh garis keturunan lurus atau derajat dan oleh badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan social atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

Sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penggunaan antara pihak – pihak yang bersangkutan.

1. Warisan.

2. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal.

3. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura ataupun kenikmatan dari wajib pajak atau pemerintah.

4. Pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan, asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna dan asuransi beasiswa.

5. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai wajib pajak dalam negeri, koperasi, yayasan, atau organisasi sejenis. BUMN atau BUMD, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia.

6. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun

(16)

pegawai dan penghasilan dari modal yang ditanamkan dalam bidang – bidang tertentu yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

7. Bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham – saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi.

8. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh poerusahaan modal atau diperoleh perusahaan reksa dana.

9. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut :

a. Merupakan usaha kecil, menengah, atau menjalankan kegiatan dalam sector – sector usaha yang ditetapkan oleh menteri keuangan.

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek Indonesia.

2.1.7Pasal Pajak Penghasilan

2.1.7.1 Pajak Penghasilan pasal 21

A. Pengertian, Definisi dan Arti Pajak Penghasilan Karyawan Pasal 21 sesuai dengan pasal 21/PJ/2009 :

PPh atau Pajak Penghasilan adalah pajak yang dikenakan atas penghasilan berupa gaji, honor / honorarium, upah, tunjangan dan pembayaran lain yang

(17)

diterima atau diperoleh Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri sehubungan dengan pekerjaan atau jasa, jabatan dan kegiatan.

B. Pihak Yang Masuk Dalam Golongan Pemotongan PPh Pasal 21

1. Pihak pemberi kerja yang terdiri atas orang pribadi dan badan.

2. Perusahaan, Badan dan Bentuk Usaha Tetap (BUT).

3. Bendaharawan pemerintah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah / pemda.

4. Dana pensiun, PT Taspen, PT Asabri, Jaminan Sosial Tenaga Kerja (Jamsostek).

5. Yayasan, asosiasi, lembaga, organisasi massa, organisasi sosial politik, kepanitiaan, perkumpulan dan organisasi lainnya serta organisasi internasional yang telah ditentukan berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan.

C. Pihak Yang Tergolong Penerima Penghasilan Yang Dipotong PPh Pasal 21

1. Pegawai Tetap

2. Penerima honorarium / honor

3. Penerima upah

(18)

4. Tenaga lepas seperti seniman, penceramah, pengelola proyek, peserta perlombaan, olahragawan, pemberi jasa, petugas dinas luar asuransi.

5. Distributor MLM atau direct selling dan kegiatan lain yang sejenis.

6. Penerima pensiun, mantan pegawai, termasuk orang pribadi atau ahli warisnya yang menerima Tabungan Hari Tua / Jaminan Hari Tua.

7.Tenaga ahli seperti pengacara, arsitek, notaris, aktuaris, penilai, konsultan, akuntan, dokter, dan lain sebagainya.

D. Pihak Yang Penghasilannya Tidak Terkena Potongan PPh Pasal 21

1Pejabat perwakilan diplomatik dan konsulat atau pejabat lain dari perwakilan negara asing, dan orang-orang yang diperbantukan kepada mereka yang bekerja pada dan bertempat tinggal bersama. Syaratnya adalah bukan warga negara Indonesia (WNI) dan selama berada di Indonesia tidak menerima bentuk penghasilan lain di luar jabatan atau pekerjaannya.

Selain itu negara tempat perwakilan asing tersebut juga memperlakukan yang sama terhadap perwakilan dari Indonesia berdasarkan asas timbal balik (riciprocitas).

2 Pejabat perwakilan organisasi internasional berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan selama orang tersebut bukan WNI dan tidak menjalankan usaha, pekerjaan atau kegiatan lain untuk memperoleh penghasilan di Indonesia.

(19)

E. Penghasilan Yang Tidak Kena Potongan Pajak Penghasilan / PPh Pasal 21

1. Pembayaran asuransi pada asuransi kecelakaan, asuransi kesehatan, asuransi jiwa, asuransi bea siswa, dan asuransi dwiguna.

2. Iuran pensiun yang dibayar kepada dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan oleh Menteri Keuangan dan Iuran Jaminan Hari Tua kepada badan penyelenggara Jamsostek yang dibayarkan oleh pemberi kerja.

3. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan kecuali bentuk natura yang diatur dalam Keputusan Dirjen Pajak.

4. Penerimaan dalam bentuk natura dan kenikmatan lain dengan nama apapun yang diberikan oleh pemerintah.

5. Pajak yang ditanggung oleh pemberi kerja

6. Zakat yang diterima oleh orang pribadi yang berhak dari lembaga atau badan amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah.

F. Tarif Pajak Penghasilan Pasah 21 / PPh21 (Literature PER 31/DJ/2008)

1. Pegawai Negara, Pegawai Negeri Sipil / PNS, anggota TNI Polri yang menerima honorariun serta bentuk imbalan lain yang berasal dari keuangan negara atau keuangan daerah penghasilan dipotong pph 21 sebesar 15% kecuali untuk golongan IId atau lebih rendah, TNI Polri pangkat Peltu ke bawah atau Ajun Insp. / Tingkat I ke bawah.

(20)

2. Orang yang menerima upah harian, upah mingguan, upah satuan, upah borongan dan uang saku harian yang jumlahnya lebih dari Rp. 24.000 sehari namun kurang dari Rp. 240.000 kena potongan 5% dari penghasilan bruto setelah dikurangi dengan PTKP (penghasilan tidak kena pajak) harian atau apabila tahunan maka dibagi 360.

3. Orang yang menerima pesangon, Tunjangan Hari Tua, Tebusan Pensiun atau Jaminan Hari Tua yang dibayarkan sekaligus. Untuk yang nominalnya antara Rp. 25.000.000 sampai dengan Rp. 50.000.000 terkena potongan pph21 sebesar 5%. Untuk antara Rp. 50.000.000 sampai dengan Rp. 100.000.000 terkena pph 21 sebesar 10%. Kemudian untuk antara Rp.

100.000.000 sampai dengan Rp. 200.000.000 dipotong pph21 20% dan yang terakhir apabila menerima Rp. 200.000.000 lebih terkena potongan pph21 25%.

4. Tenaga ahli yang melakukan pekerjaan bebas dikenakan potongan penghasilan pph 21 sebesar 15% dari perkiraan penghasilan neto yaitu 50% (lima puluh persen) dari penghasilan bruto. Tenaga ahli contohnya seperti arsitek, dokter, pengacara, akuntan, konsultan, notaris, penilai dan aktuaris.

5. Orang yang menerima honor atau honorarium, hadiah / penghargaan, bea siswa, uang saku, komisi, dan bentuk pembayaran lain sebagai imbalan atas yang diperlukan untuk menyelesaikan jasa atau kegiatan. Mantan Pegawai yang menerima jasa produksi, bonus, gratifikasi dan tantiem.

(21)

Peserta program pensiun yang menarik dananya pada dana pensiun semua dikenakan tarif berdasarkan pasal 17 Undang-undang PPh dikali Penghasilan Bruto.

6. Pegawai tetap, pegawai tidak tetap, pemagang, calon pegawai, penerima pensiun bulanan, distributor multi level marketing atau MLM serta direct selling dan kegiatan sejenis dikenakan tarif sesuai dengan yang ada di Pasal 17 Undang-Undang PPh 21 dikali dengan Penghasilan Kena Pajak (PKP). Berikut ini adalah cara menghitung penghasilan kena pajak / pkp :

a.Pegawai tetap dihitung dengan cara mengurangi penghasilan kotor dengan biaya jabatan sebesar 5% maksimal Rp. 1.296.000 setahun atau Rp. 108.000 per bulan dikurangi lagi dengan biaya iuran pensiunm iuran jaminan hari tua dan dikurangi lagi dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.

b. Penerima pensiun bulanan dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan biaya pensiunan sebesar 5% dikurangi Rp.

432.000 setahun atau Rp. 36.000 sebulan, lalu dikurangi lagi dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.

c. Untuk pegawai tidak tetap, calon pegawai, pegawai magang / pemagang dihitung denga cara mengurangi penghasilan kotor dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak.

(22)

d. Untuk Distributor multi level marketing atau mlm, direct selling dan yang mirip atau sejenis dihitung dengan cara mengurangi penghasilan bruto dengan PTKP perbulan.

2.1.8.2Pajak Penghasilan Pasal 23

PPH pasal 23 sesuai dengan PER-23/PJ/2009 mengatur tentang tentang pemotongan pajak atas penghasilan yang diterima atau diperoleh WP dalam negeri dan bentuk usaha tetap yang berasal dari modal, penyerahan jasa, atau penyelenggaraan kegiatan selain yang telah dipotong pajak sebagaimana dimaksud dalam pasal 21.

Pemotong PPh 23 adalah pihak-pihak yang membayar penghasilan yang terdiri atas:

1. Badan pemerintah

2. Subjek pajak badan dalam negeri

3. Penyelenggara kegiatan

4. BUT

5. Perwakilan perusahaan luar negeri lainnya

6. Orang pribadi sebagai WP dalam negeri yang telah mendapat penunjukkan dari DIRJEN pajak yaitu :

a. Akuntan, arsitek, dokter, PPAT

(23)

b. Orang pribadi yang menjalankan usaha yang menyelenggarakan pembukuan

Objek Pemotongan PPh 23

1. Deviden

2. Bunga, termasuk premium, diskonto dan imbalan sehubungan dengan jaminan pengembalian utang

3. Royalti

4. Hadiah dan penghargaan selain yang telah dipotongan PPh 21

5. Bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi (yang jumlahnya melebihi Rp 240.000)

Dasar pemotongan Objek yaitu 15% dari jumlah penghasilan bruto

1. Imbalan sehubungan dengan jasa teknik, jasa manajemen, jasa kontruksi, jasa konsultan dan jasa lain selain yang telah dipotong pajak sebagaimanan dimaksud dalam pasal 21

2. Sewa dan penghasilan lain sehubungann dengan penggunaan harta

Dasar pemotongan objek yaitu 15% dari perkiraan penghasilan netto

Pengecualian Objek Pemotongan PPh 23

1. Penghasilan yang dibayar atau terhutang kepada bank

(24)

2. Sewa yang dibayarkan atau terutang sehubungan dengan sewa guna usaha dengan hak opsi

3. Deviden atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai WP dalam negero, koperasi, yayasan atau organisasi yang sejenis, BUMN atau BUMD dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia

4. Bunga obligasi yang diterima atau diperoleh perusahaan reksa dana

5. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

a. merupakan perusahaan kecil, menengah atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor-sektor usaha yang ditetapkan Menkeu

b. Sahamnya tidak diperdagangkan di BEJ

6. Sisa hasil usaha koperasi yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya

7. Bunga simpanan yang tidak melebihi batas yang ditetapkan oleh Menkeu yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggotanya.

(25)

2.1.8.3Pajak Penghasilan Pasal 25

Pajak Penghasilan pasal 25 sesuai PER-32/PJ/2010 dikenakan terhadap Wajib Pajak dalam satu periode tertentu yang dinamakan tahun pajak. Berdasarkan hal ini, maka perhitungan dan penghitungan PPh dilakukan setahun sekali yang dituangkan dalam SPT Tahunan. Penghitungan PPh dilakukan setahun sekali, maka penghitungan ini harus dilakukan setelah satu tahun tersebut berakhir agar semua data penghasilan dalam satu tahun sudah diketahui. Untuk perusahaan, tentu saja data penghasilan ini harus menunggu laporan keuangan selesai dibuat.

Dengan cara seperti itu tentu saja jumlah PPh terutang yang wajib dibayar baru dapat diketahui ketika suatu tahun pajak telah berakhir. Agar pembayaran pajak tidak dilakukan sekaligus yang tentunya akan memberatkan, maka dibuatlah mekanisme pembayaran pajak di muka atau pembayaran cicilan setiap bulan. Pembayaran angsuran atau cicilan ini dinamakan Pajak Penghasilan Pasal 25.

Cara Mengitung PPh Pasal 25

Besarnya angsuran PPh Pasal 25 harus dihitung sesuai dengan ketentuan. Pada umumnya, cara menghitung PPh Pasal 25 didasarkan kepada data SPT Tahunan tahun sebelumnya. Artinya, kita mengasumsikan bahwa penghasilan tahun ini sama dengan penghasilan tahun sebelumnya. Tentu saja nanti akan ada perbedaan dengan kondisi sebenarnya ketika tahun pajak sekarang sudah berakhir. Selisih tersebutlah yang kita bayar sebagai kekurangan pajak akhir tahun. Kekurangan bayar akhir tahun ini biasa dinamakan PPh Pasal 29. Apabila selisihnya menunjukkan lebih bayar, maka kondisi ini

(26)

dinamakan restitusi atau Wajib Pajak meminta kelebihan pembayaran pajak yang telah dilakukan.

Pada umumnya angsuran pajak ini adalah sebesar Pajak Penghasilan terutang menurut SPT Tahunan Pajak Penghasilan tahun lalu dikuranggi dengan kredit pajak Pajak Penghasilan Pasal 21, 22, 23 dan Pasal 24, dibagi 12 atau banyaknya bulan dalam bagian tahun pajak.

PPh Pasal 25 Untuk Bulan-bulan Sebelum Bulan Batas Waktu Penyampaian SPT

Pajak Penghasilan Pasal 25 untuk bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah sama besarnya dengan Pajak Penghasilan Pasal 25 bulan terakhir tahun pajak yang lalu. Apabila tahun pajaknya adalah tahun kalender (Januari-Desember), maka yang dimaksud dengan bulan-bulan sebelum batas waktu penyampaian SPT Tahunan adalah bulan Januari dan Pebruari. Dengan demikian PPh Pasal 25 bulan Januari dan Pebruari 2008 adalah sama dengan PPh Pasal 25 bulan Desember 2007.

PPh Pasal 25 Jika Dalam Tahun Berjalan Telah Diterbitkan SKP Untuk Tahun Pajak Yang Lalu

Apabila dalam tahun berjalan diterbitkan Surat Ketetapan Pajak (SKP) untuk tahun pajak yang lalu, maka besarnya angsuran pajak dihitung kembali berdasarkan SKP tersebut dan berlaku mulai bulan berikutnya setelah bulan penerbitan SKP.

(27)

PPh Pasal 25 Dalam Hal-hal Tertentu

Direktur Jenderal Pajak berwenang untuk menetapkan penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun pajak berjalan dalam hal-hal tertentu, antara lain apabila :

a. Wajib Pajak berhak atas kompensasi kerugian;

b. Wajib Pajak memperoleh penghasilan tidak teratur;

c. ST tahunan Pajak Penghasilan tahun yang lalu disampaikan setelah lewat batas waktu yang ditentukan;

d. Wajib Pajak diberikan perpanjangan jangka waktu penyampaian SPT Tahunan Pajak Penghasilan;

e. Wajib Pajak membetulkan sendiri SPT Tahunan Pajak Penghasilan yang mengakibatkan angsuran bulanan lebih besar dari angsuran bulanan sebelum pembetulan.

f. Terjadi perubahan keadaan usaha atau kegiatan Wajib Pajak.

Keputusan Dirjen Pajak yang mengatur penghitungan besarnya angsuran pajak dalam tahun berjalan dalam hal-hal tertentu adalah Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor Kep-537/PJ./2000 tanggal 29 Desember 2000.

PPh Pasal 25 Untuk Wajib Pajak Tertentu

Penghitungan besarnya angsuran pajak bagi Wajib Pajak baru, bank, BUMN, BUMD, dan Wajib Pajak tertentu lainnya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.

Keputusan Menteri Keuangan Yang Mengatur Hal Ini Adalah Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 522/KMK.04/2000 tanggal 14 Desember 2000 Jo

(28)

Keputusan Menteri Keuangan Nomor 84/KMK.03/2002 tanggal 8 Maret 2002 Tentang Penghitungan Besarnya Angsuran Pajak Penghasilan Dalam Tahun Pajak Berjalan Yang Harus Dibayar Sendiri Oleh Wajib Pajak Baru, Bank, Sewa Guna Usaha Dengan Hak Opsi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha Milik Daerah Dan Wajib Pajak Lainnya Termasuk Wajib Pajak Orang Pribadi Pengusaha Tertentu

2.1.9 Badan Usaha Firma

Firma (dari bahasa Belanda venootschap onder firma; secara harfiah:

perserikatan dagang antarabeberapa perusahaan) atau sering juga disebut Fa, adalah sebuah bentuk persekutuan untukmenjalankan usaha antara dua orang atau lebih dengan memakai nama bersama. Pemilik firma terdiridari beberapa orang yang bersekutu dan masing-masing anggota persekutuan menyerahkan kekayaanpribadi sesuai yang tercantum dalam akta pendirian perusahaan.

Ciri dan Sifat Firma :

1. Apabila terdapat hutang tak terbayar, maka setiap pemilik wajibmelunasi dengan harta pribadi.

2. Setiap anggota firma memiliki hak untuk menjadi pemimpin.

3. Seorang anggota tidak berhak memasukkan anggota baru tanpa seizin anggota yang lainnya.

4. Keanggotaan firma melekat dan berlaku seumur hidup.

(29)

5. Seorang anggota mempunyai hak untuk membubarkan firma.

6. Pendiriannya tidak memerlukan akte pendirian.

7. Mudah memperoleh kredit usaha.

Berdasarkan Pasal 16 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang, Persekutuan Firma adalah persekutuanyang diadakan untuk menjalankan suatu perusahaan dengan memakai nama bersama. Menurutpendapat lain, Persekutuan Firma adalah setiap perusahaan yang didirikan untuk menjalankan suatuperusahaan di bawah nama bersama atau Firma sebagai nama yang dipakai untuk berdagang bersama-sama. Persekutuan Firma merupakan bagian dari persekutuan perdata, maka dasar hukum persekutuanfirma terdapat pada Pasal 16 sampai dengan Pasal 35 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD) danpasal-pasal lainnya dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) yang terkait. Dalam Pasal22 KUHD disebutkan bahwa persekutuan firma harus didirikan dengan akta otentik tanpa adanyakemungkinan untuk disangkalkan kepada pihak ketiga bila akta itu tidak ada. Pasal 23 KUHD dan Pasal 28 KUHD menyebutkan setelah akta pendirian dibuat, maka harus didaftarkan di KepaniteraanPengadilan Negeri dimana firma tersebut berkedudukan dan kemudian akta pendirian tersebut harusdiumumkan dalam Berita Negara Republik Indonesia.Selama akta pendirian belum didaftarkan dan diumumkan, maka pihak ketiga menganggap firmasebagai persekutuan umum yang menjalankan segala macam usaha, didirikan untuk jangka waktu yangtidak terbatas serta semua sekutu berwenang menandatangani berbagai surat untuk

(30)

firma inisebagaimana dimaksud di dalam Pasal 29 KUHD. Isi ikhtisar resmi akta pendirian firma dapat dilihat diPasal 26 KUHD yang harus memuat nama, nama kecil, pekerjaan dan tempat tinggal para sekutu firma.Pernyataan firmanya dengan menunjukan apakah persekutuan itu umum ataukah terbatas pada suatucabang khusus perusahaan tertentu dan dalam hal terakhir dengan menunjukan cabang khusus itu.Penunjukan para sekutu yang tidak diperkenankan bertanda tangan atas nama firma.Saat mulai berlakunya persekutuan dan saat berakhirnya.Dan selanjutnya, pada umumnya bagian-bagian dari perjanjiannya yang harus dipakai untukmenentukan hak-hak pihak ketiga terhadap para sekutu.

Pada umumnya Persekutuan Firma disebut juga sebagai perusahaan yang tidak berbadan hukum karenafirma telah memenuhi syarat/unsur materiil namun syarat/unsur formalnya berupa pengesahan ataupengakuan dari Negara berupa peraturan perundang-undangan belum ada. Hal inilah yangmenyebabkan Persekutuan Firma bukan merupakan persekutuan yang berbadan hukum.

Pembubaran Persekutuan Fa. Creatura Creations diatur dalam ketentuan Pasal 1646 sampai dengan Pasal 1652KUHPerdata dan Pasal 31 sampai dengan Pasal 35 KUHD. Pasal 1646 KUHPerdata menyebutkan bahwaada 5 hal yang menyebabkan Persekutuan Firma berakhir, yaitu :

1. Jangka waktu firma telah berakhir sesuai yang telah ditentukan dalam akta pendirian;

2. Adanya pengunduran diri dari sekutunya atau pemberhentian sekutunya;

(31)

3. Musnahnya barang atau telah selesainya usaha yang dijalankan persekutuan firma;

1. Adanya kehendak dari seorang atau beberapa orang sekutu;

2. Salah seorang sekutu meninggal dunia atau berada di bawah pengampuan atau dinyatakan pailit.

Dalam Persekutuan Firma hanya terdapat satu macam sekutu, yaitu sekutu komplementer atau Firmant.Sekutu komplementer menjalankan perusahaan dan mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketigasehingga bertanggung jawab pribadi untuk keseluruhan. Pasal 17 KUHD menyebutkan bahwa dalamanggaran dasar harus ditegaskan apakah di antara para sekutu ada yang tidak diperkenankan bertindakkeluar untuk mengadakan hubungan hukum dengan pihak ketiga. Meskipun sekutu kerja tersebutdikeluarkan wewenangnya atau tidak diberi wewenang untuk mengadakan hubungan hukum denganpihak ketiga, namun hal ini tidak menghilangkan sifat tanggung jawab pribadi untuk keseluruhan,sebagaimana diatur dalam Pasal 18 KUHD.

Perihal pembagian keuntungan dan kerugian dalam persekutuan Firma diatur dalam Pasal 1633 sampaidengan Pasal 1635 KUHPerdata yang mengatur cara pembagian keuntungan dan kerugian yangdiperjanjikan dan yang tidak diperjanjikan di antara pada sekutu. Dalam hal cara pembagian keuntungandan kerugian diperjanjikan oleh sekutu, sebaiknya pembagian tersebut diatur di dalam perjanjianpendirian persekutuan. Dengan batasan ketentuan tersebut tidak boleh memberikan seluruhkeuntungan hanya kepada salah seorang sekutu saja dan

(32)

boleh diperjanjikan jika seluruh kerugian hanyaditanggung oleh salah satu sekutu saja. Penetapan pembagian keuntungan oleh pihak ketiga tidakdiperbolehkan.Apabila cara pembagian keuntungan dan kerugian tidak diperjanjikan, maka pembagian didasarkan padaperimbangan pemasukan secara adil dan seimbang dan sekutu yang memasukkan berupa tenaga kerjahanya dipersamakan dengan sekutu yang memasukkan uang atau benda yang paling sedikit.

2.1.10 Pasal 4 Undang – Undang No 36 Tahum 2008

1 Yang menjadi objek pajak adalah penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam bentuk apa pun, termasuk:

a. Penggantian atau imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.

b. hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan, dan penghargaan

c. laba usaha;

(33)

d. keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta termasuk:

1. keuntungan karena pengalihan harta kepada perseroan, persekutuan, dan badan lainnya sebagai pengganti saham atau penyertaan modal;

2. keuntungan karena pengalihan harta kepada pemegang saham, sekutu, atau anggota yang diperoleh perseroan, persekutuan, dan badan lainnya.

3. keuntungan karena likuidasi, penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan, pengambilalihan usaha, atau reorganisasi dengan nama dan dalam bentuk apa pun.

4. keuntungan karena pengalihan harta berupa hibah, bantuan, atau sumbangan, kecuali yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat dan badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak

(34)

ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak- pihak yang bersangkutan; dan

5. keuntungan karena penjualan atau pengalihan sebagian atau seluruh hak penambangan, tanda turut serta dalam pembiayaan, atau permodalan dalam perusahaan pertambangan;

e. penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya dan pembayaran tambahan pengembalian pajak;

f. bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;

g. dividen, dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis, dan pembagian sisa hasil usaha koperasi;

h. royalti atau imbalan atas penggunaan hak;

i. sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;

j. penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;

k. keuntungan karena pembebasan utang, kecuali sampai dengan jumlah tertentu yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah;

l. keuntungan selisih kurs mata uang asing;

(35)

m. selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;

n. premi asuransi;

o. iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari Wajib Pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;

p. tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;

q. penghasilan dari usaha berbasis syariah;

r. imbalan bunga sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang yang mengatur mengenai ketentuan umum dan tata cara perpajakan; dan

s. surplus Bank Indonesia.

2. Penghasilan di bawah ini dapat dikenai pajak bersifat final:

a. penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan lainnya, bunga obligasi dan surat utang negara, dan bunga simpanan yang dibayarkan oleh koperasi kepada anggota koperasi orang pribadi;

b. penghasilan berupa hadiah undian;

c. penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lainnya, transaksi derivatif yang diperdagangkan di bursa, dan transaksi penjualan

(36)

saham atau pengalihan penyertaan modal pada perusahaan pasangannya yang diterima oleh perusahaan modal ventura;

d. penghasilan dari transaksi pengalihan harta berupa tanah dan/atau bangunan, usaha jasa konstruksi, usaha real estate, dan persewaan tanah dan/atau bangunan; dan

e. penghasilan tertentu lainnya,yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah.

(3) Yang dikecualikan dari objek pajak adalah:

a. 1. bantuan atau sumbangan, termasuk zakat yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima zakat yang berhak atau sumbangan keagamaan yang sifatnya wajib bagi pemeluk agama yang diakui di Indonesia, yang diterima oleh lembaga keagamaan yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah dan yang diterima oleh penerima sumbangan yang berhak, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Pemerintah; dan

2. harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi

(37)

yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;

b. warisan;

c. harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) huruf b sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;

d. penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah, kecuali yang diberikan oleh bukan Wajib Pajak, Wajib Pajak yang dikenakan pajak secara final atau Wajib Pajak yang menggunakan norma penghitungan khusus sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15;

e. pembayaran dari perusahaan asuransi kepada orang pribadi sehubungan dengan asuransi kesehatan,

(38)

asuransi kecelakaan, asuransi jiwa, asuransi dwiguna, dan asuransi bea siswa;

f. dividen atau bagian laba yang diterima atau diperoleh perseroan terbatas sebagai Wajib Pajak dalam negeri, koperasi, badan usaha milik negara, atau badan usaha milik daerah, dari penyertaan modal pada badan usaha yang didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia dengan syarat:

1. dividen berasal dari cadangan laba yang ditahan; dan

2. bagi perseroan terbatas, badan usaha milik negara dan badan usaha milik daerah yang menerima dividen, kepemilikan saham pada badan yang memberikan dividen paling rendah 25% (dua puluh lima persen) dari jumlah modal yang disetor;

g. iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Menteri Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;

h. penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun sebagaimana dimaksud pada huruf g,

(39)

dalam bidang-bidang tertentu yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan;

i. bagian laba yang diterima atau diperoleh anggota dari perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;

j. dihapus;

k. penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat badan pasangan usaha tersebut:

1. merupakan perusahaan mikro, kecil, menengah, atau yang menjalankan kegiatan dalam sektor- sektor usaha yang diatur dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

2. sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek di Indonesia;

(40)

l. beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan;

m. sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama 4 (empat) tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan; dan

n. bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada Wajib Pajak tertentu, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan atau

berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan.

(41)

2.1.11 Badan Usaha Perseroan Terbatas

Organisasi bisnis yang memiliki badan hukum resmi yang dimiliki oleh minimal dua orang dengan tanggung jawab yang hanya berlaku pada perusahaan tanpa melibatkan harta pribadi atau perseorangan yang ada di dalamnya. Di dalam PT pemilik modal tidak harus memimpin perusahaan, karena dapat menunjuk orang lain di luar pemilik modal untuk menjadi pimpinan. Untuk mendirikan PT / persoroan terbatas dibutuhkan sejumlah modal minimal dalam jumlah tertentu dan berbagai persyaratan lainnya.

Ciri dan sifat perusahaan terbatas :

- kewajiban terbatas pada modal tanpa melibatkan harta pribadi

- modal dan ukuran perusahaan besar

- kelangsungan hidup perusahaan PT ada di tangan pemilik saham

- dapat dipimpin oleh orang yang tidak memiliki bagian saham

- kepemilikan mudah berpindah tangan

- mudah mencari tenaga kerja untuk karyawan / pegawai

- keuntungan dibagikan kepada pemilik modal / saham dalam bentuk dividen

- kekuatan dewan direksi lebih besar daripada kekuatan pemegang saham

- sulit untuk membubarkan PT

(42)

Perusahaan Terbatas atau PT saat ini diatur dengan UU No. 40 Tahun 2007 Tentang Perusahaan Terbatas dan Ketentuan Umum mengatur al. sebagai berikut:

Pasal 1

Dalam undang-undang ini yang dimaksud dengan:

1. Perusahaan Terbatas, yang selanjutnya disebut perusahaan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam undang-undang ini serta peraturan pelaksanaannya;

2. Organ Perseroan adalah Rapat Umum Pemegang Saham, Direksi, dan Dewan Komisaris;

3. Tanggung Jawab Sosial dan Lingkungan adalah komitmen Perusahaan untuk berperan serta dalam pembangunan ekonomi berkelanjutan guna meningkatkan kualitas kehidupan dan lingkungan yang bermanfaat, baik bagi Perseroan sendiri, komunitas setempat, maupun masyarakat pada umumnya.

4. Rapat Umum Pemegang Saham, yang selanjutnya disebut RUPS, adalah Organ Perusahaan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan dalam undang-undang ini dan / atau Anggaran Dasar.

(43)

5. Direksi adalah Organ Perusahaan yang berwenang dan bertanggung jawab penuh atas pengurusan Perusahaan untuk kepentingan Perusahaan, sesuai dengan maksud dan tujuan Perusahaan serta mewakili Perusahaan, baik di dalam maupun di luar pengadilan sesuai dengan ketentuan anggaran dasar.

6. Dewan Komisaris adalah Organ Perusahaan yang bertugas melakukan pengawasan secara umum dan/atau khusus sesuai dengan anggaran dasar serta memberi nasihat kepada Direksi.

7. Perusahaan Terbuka adalah Perusahaan Publik atau Perusahaan yang melakukan penawaran umum saham, sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

8. Perusahaan Publik adalah Perusahaan yang memenuhi kriteria jumlah pemegang saham dan modal disetor sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan di bidang pasar modal.

9. Penggabungan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh satu Perusahaan atau lebih untuk menggabungkan diri dengan Perusahaan lain yang telah ada yang mengakibatkan aktiva dan pasiva dari Perusahaan yang menggabungkan diri beralih karena hukum kepada Perusahaan yang menerima penggabungan dan selanjutnya status badan hukum Perusahaan yang menggabungkan diri berakhir karena hukum.

10. Peleburan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh dua Perusahaan atau lebih untuk meleburkan diri dengan cara mendirikan satu Perusahaan

(44)

baru yang karena hukum memperoleh aktiva dan pasiva dari Perusahaan yang meleburkan diri dan status badan hukum Perusahaan yang meleburkan diri berakhir karena hukum.

11. Pengambilalihan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh badan hukum atau orang perseorangan untuk mengambil alih saham Perusahaan yang mengakibatkan beralihnya pengendalian atas Perusahaan tersebut.

12. Pemisahan adalah perbuatan hukum yang dilakukan oleh Perusahaan untuk memisahkan usaha yang mengakibatkan seluruh aktiva dan pasiva Perusahaan beralih karena hukum kepada 2 (dua) Perusahaan atau lebih atau sebagian aktiva dan pasiva Perusahaan beralih karena hukum kepada 1 (satu) Perusahaan atau lebih.

Referensi

Dokumen terkait

RKA - SKPD 2.2 Rekapitulasi Anggaran Belanja Langsung Menurut Program dan Kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah.. RKA - SKPD 2.2.1 Rincian Anggaran Belanja Langsung

Pemakaian bahan pengawet menguntungkan karena dengan bahan pengawet, bahan pangan dapat dibebaskan dari kehidupan mikroba, baik yang bersifat patogen yang dapat menyebabkan

sebagai unit produksi, e) kemampuan mengelola sumberdaya petani yaitu melatih juru tanam dan merubah perilaku petani penerima program menjadi lebih semangat dan pantang

Dalam hal gabungan beberapa perbuatan yang telah dilakukan oleh seorang pelaku dan masing-masing perbuatan harus dipandang sebagai perbuatan berdiri sendiri, dna

Untuk mengetahui apakah ada pengaruh pengungkapan Corporate Social Responsibility (CSR) dengan profitabilitas perusahaan yang diukur oleh Return on Asset (ROA)

Berdasarkan taraf integritas, terdapat 120 data tergolong pada kelompok pertama yaitu unsur asing yang belum sepenuhnya terserap kedalam bahasa Indonesia, dan 91

Analisis data hasil uji praktikalitas oleh guru kelas XI SMA menunjukkan bahwa modul bergambar yang dilengkapi peta konsep pada materi sistem regulasi manusia yang

Adapun masalah pengendalian yang terdapat dalam bagian Pengelolaan dan Pelayanan Informasi Publik di KPU Kota Magelang adalah membutuhkan waktu yang lama