• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. pentingnya adalah pembangunan di bidang hukum dari tahun ke tahun yang

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. pentingnya adalah pembangunan di bidang hukum dari tahun ke tahun yang"

Copied!
36
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di dunia yang melakukan pembangunan di segala bidang. Usaha yang dilakukan oleh negara ini meliputi pembangunan ilmu pengetahuan dan teknologi serta tidak kalah pentingnya adalah pembangunan di bidang hukum dari tahun ke tahun yang diusahakan pembaruan hukum sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat. Seperti yang termuat dalam penjelasan Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa negara Indonesia berdasarkan atas hukum (rechtsaat) tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka (machtstaat), sebagai negara hukum maka Indonesia mempunyai serangkai peraturan atau hukum supaya kepentingan masyarakat dapat terlindungi.1 Alinea ke-4 Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 yang merupakan landasan konstitusional negara ini memuat bahwa tujuan negara salah satunya adalah menciptakan kesejahteraan umum.

Negara Indonesia sebagai negara yang sedang berkembang selalu bergelut dengan masalah keamanan dan pembangunan dalam usahanya untuk mencapai tujuan nasional yaitu kesejahteraan, keadilan serta kemakmuran yang merata, dan berkeprimanusiaan disertai keamanan, ketertiban masyarakat yang menjadi syarat mutlak bagi pembangunan nasional. Oleh

1 Undang-undang Dasar 1945 setelah amandemen ke tiga. Pasal 1 ayat 3

(2)

2

karena itu agar pembangunan nasional dapat berjalan aman, tertib, dan lancar maka dibutuhkan ketahanan nasional.

Ketahanan nasional diperlukan dalam rangka menjamin eksistensi bangsa dan negara dari segala gangguan baik yang datangnya dari luar maupun dari dalam negeri. Untuk itu bangsa Indonesia harus tetap memiliki keuletan dan ketangguhan yang perlu dibina secara konsisten dan berkelanjutan. Terlebih dengan kondisi perekonomian negara kita yang sulit saat ini, mengakibatkan timbulnya kasus kriminalitas yang terjadi dalam masyarakat yang dilatarbelakangi karena kebutuhan hidup yang mendesak.

Kondisi yang terjadi setiap hari dan dialami oleh masyarakat sebagai contohnya, penjambretan, penodongan, pencurian, penadahan, perampokan penganiayaan, pemerkosaan, pembunuhan, tawuran remaja, atau lebih dikenal dengan “kejahatan jalanan” atau “street crime” menjadi tantangan bagi proses penegakan hukum.

Kejahatan tidak akan dapat hilang dengan sendirinya, sebaliknya kasus kejahatan semakin sering terjadi dan yang paling dominan adalah jenis kejahatan terhadap harta kekayaan, khususnya yang termasuk didalamnya adalah tindak pidana penadahan. Bahwa kejahatan terhadap harta benda akan tampak meningkat di negara-negara sedang berkembang. Kenaikan ini sejalan dengan perkembangan dan pertumbuhan ekonomi.

Kejahatan merupakan masalah yang abadi, selama manusia mendiami bumi ini. Kejahatan timbul sejak jaman dahulu hingga sekarang ini.

Eksistensinya tidak pernah hapus, hanya frekuensi terjadinya kejahatan

(3)

3

sedikit banyak berubah. Emile Durkheim menyatakan bahwa “kejahatan adalah gejala normal dalam setiap masyarakat yang bercirikan heterogenitas dan perkembangan sosial karena itu tidak mungkin dimusnahkan sampai habis.2

Disetiap negara tidak terkecuali negara yang paling maju sekalipun, pasti akan menghadapi masalah kejahatan yang mengancam dan mengganggu ketentraman dan kesejahteraan penduduknya. Hal ini menunjukkan bahwa kejahatan tidak hanya tumbuh subur di negara miskin dan berkembang, tetapi juga di negara-negara yang sudah maju. Seiring dengan adanya perkembangan kejahatan seperti diuraikan diatas, maka hukum menempati posisi yang penting untuk mengatasi adanya persoalan kejahatan.

Perangkat hukum diperlukanan untuk menyelesaikan konflik atau kejahatan yang ada dalam masyarakat. Salah satu usaha pencegahannya dan pengendalian kejahatan itu ialah dengan menggunakan hukum pidana dengan sanksinya yang berupa pidana.3 Oleh karena itu peran kepolisian sangat diperlukan dalam menegakkan hukum, serta memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat dalam rangka terpeliharanya keamanan dalam negeri. Sesuai dengan fungsi kepolisian yang diatur dalam pasal 2 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yaitu “fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman dan pelayanan kepada masyarakat”.

2 Soejono Dirjosisworo, 2007, Sosio Kriminologi, Amalan Ilmu-Ilmu Sosial Dalam Studi Kejahatan, Seminar Baru, Bandung, hlm. 195.

3 Muladi, dkk, 1992, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 148

(4)

4

Tindak pidana dapat diartikan secara kriminologis dan yuridis. Tindak pidana dalam arti kriminologis yaitu perbuatan manusia yang menodai norma-norma dasar dari masyarakat. Hal ini dimaksudkan sebagai perbuatan unsur yang menyalahi aturan-aturan yang hidup dan berkembang di masyarakat. Tindak pidana dalam arti yuridis yaitu perilaku jahat atau perbuatan jahat dalam arti hukum pidana maksudnya bahwa kejahatan itu dirumuskan di dalam peraturan-peraturan pidana.

Tindak pidana yang sangat sering terjadi pada saat ini adalah tindak pidana pencurian yang diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), oleh karena itu negara merasa perlu melindungi hak atas warga negara yang berkaitan dengan harta benda hal ini dipertegas dalam hukum pidana adalah suatu peraturan yang mengandung suatu aturan atau larangan atau keharusan yang mana pada setiap para pelanggar hukum akan menerima sanksi yang sesuai dalam Undang-Undang Dasar Tahun 1945 Pasal 28H ayat 4: “setiap orang memiliki hak pribadi dan hak milik tersebut tidak boleh diambil secara sewenang wenangnya oleh siapapun”.4

Tindak pidana pencurian sangat erat hubungannya dengan tindak pidana penadahan. Sebagaimana arti dari kata penadahan / Heling itu sendiri yaitu

“Perbuatan membeli, menyewa, menerima tukar, menggadai, menerima sebagai hadiah, membawa, menawarkan barang-barang yang patut atau dapat diduga hasil kejahatan (H.Pidana)”.5 Tindak pidana pencurian ini dikatakan erat kaitannya dengan tindak pidana penadahan, karena para pelaku pencurian

4 Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

5 Charlie Rudyat, 2013, Kamus Hukum, Pustaka Mahardika, ttp; hlm. 346

(5)

5

berusaha untuk menghilangkan alat bukti hasil kejahatan dengan mengalihkan barang curian kepada pihak lain, pengalihan kepada pihak lain ini dapat dikategorikan sebagai tindak pidana penadahan.

Tindak pidana penadahan, merupakan tindak pidana yang dilarang dilakukan oleh hukum, karena penadahan diperoleh dengan cara kejahatan, dapat dikatakan menolong atau memudahkan tindakan kejahatan si pelaku, karena dapat mempersukar pengusutan kejahatan yang bersangkutan, dalam mengadili terdakwa yang melakukan tindak pidana penadahan karena harus membuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa tersebut benar-benar melakukan kejahatan dikarenakan barang-barang kejahatan tersebut di dapat dari hasil kejahatan juga, dan penadah disini menjadi pelaku kedua dalam hal pelaksanaannya, maka pihak yang berwajib harus membuktikan terlebih dahulu apakah seseorang itu mampu untuk dipertanggungjawabkan, dengan kata lain adanya unsur kesalahan dan kesengajaan.6

Tindak pidana penadahan diatur dalam Pasal 480 KUHP, Pasal 481 dan Pasal 482 KUHP. Tindak pidana penadahan merupakan tindakan yang dilarang oleh hukum, karena penadahan diperoleh dari kejahatan, dapat dikatakan menolong atau mempermudah tindakan kejahatan si pelaku dapat mempersukar pengusutan kejahatan bersangkutan, dalam membuktikan terlebih dahulu apakah terdakwa tersebut benar-benar melakukan kejahatan dikarenakan barang kejahatan tersebut didapat dari hasil kejahatan juga dan penadahan disini menjadi pelaku kedua dalam hal pelaksanaannya, maka

6 Sholehudin, 2004, Sistem Sanksi Dalam Hukum Pidana (Ide Dasar Track Sistem dan Implementasinya), Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 71.

(6)

6

pihak berwajib harus membuktikan terlebih dahulu apakah seseorang itu mampu untuk dipertanggungjawabkan dengan kata lain adanya unsur kesalahan dan kesengajaan.

Tindak pidana penadahan sebagaimana yang diatur di dalam Pasal 480 KUHP, dimana salah satu unsur penadahan yang sering dibuktikan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam praktik persidangan sehari-hari adalah unsur kesengajaan (dolus), yang berarti bahwa si pelaku penadahan dapat di anggap patut harus dapat menyangka asalnya barang dari kejahatan dan jarang dapat dibuktikan bahwa si penadah tahu benar hal itu (asal-usul barang). Dalam hal ini “maksud untuk mendapatkan untung” merupakan unsur dari semua penadahan. Unsur kesengajaan ini secara alternatif disebutkan terhadap unsur lain, yaitu bahwa barangnya diperoleh dengan kejahatan. Tidak perlu si pelaku penadahan tahu atau patut harus dapat menyangka dengan kejahatan apa barangnya diperolah, yaitu apakah dengan pencurian, atau penggelapan, atau pemerasan, atau penipuan.7

Sebagaimana manusia yang tidak dapat hidup sendiri, pelaku kejahatan dalam melakukan aksinya tidak hanya berinteraksi dengan sasaran mereka yang menjadi korban kejahatan yang mereka lakukan, akan tetapi tak jarang mereka juga berinteraksi dengan orang yang membantu atau memudahkan mereka dalam melakukan kejahatan atau berinteraksi dengan mereka yang membantu atau memudahkan pada saat setelah kejahatan itu sendiri telah dilakukan, dengan melakukan pembelian, penyewaan, penukaran, menerima

7 Wirjono Prodjodikoro 2003, Tindak-Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Refika Aditama, Bandung, hlm. 61

(7)

7

gadai, menerima barang tersebut sebagai hadiah, ataupun mereka yang membantu menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan, atau menyembunyikan barang-barang hasil kejahatan tersebut untuk memperoleh keuntungan dimana orang yang membantu atau memudahkan kejahatan ini disebut sebagai penadah dan proses atau interaksi ini biasa disebut sebagai penadahan.

Dengan adanya penadahan ini maka tindak pidana terkhusus terhadap harta benda dapat meningkat dan berkembang, bahkan dengan adanya penadahan orang yang semulanya tidak ingin melakukan kejahatan akan tetapi dengan adanya penadahan muncul keinginan pada seseorang untuk menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan barang kepada penadah dan memperoleh keuntungan meskipun cara yang dilakukan adalah degan cara melawan hukum. Dengan adanya penadah maka akan memudahkan bagi orang yang melakukan tindak kejahatan dimana penadah membantu untuk menyalurkan benda yang merupakan hasil kejahatan ataupun membantu pelaku kejahatan untuk memperoleh keuntungan atas benda hasil kejahatan tersebut.

Tindak pidana penadahan merupakan kejahatan terhadap harta kekayaan. Sebagaimana pengertian kejahatan terhadap harta kekayaan tersebut adalah berupa perkosaan atau penyerangan terhadap kepentingan hukum orang lain (bukan milik tertindak), dimuat dalam buku II KUHP yaitu tindak pidana pencurian, pemerasan, penggelapan barang, penipuan,

(8)

8

merugikan orang berpiutang dan berhak, dan penghancuran atau pengrusakan barang, dan penadahan (begunsting).8

Untuk dapat menentukan bahwa telah terjadinya suatu tindak pidana penadahan harus memenuhi unsur yang antara lain pelaku mengetahui yakni benda tersebut berasal dari hasil kejahatan, bahwa pelaku menghendaki atau memiliki maksud untuk melakukan perbuatan tindak pidana penadahan dan adanya keinginan dan dorongan untuk memperoleh keuntungan.9

Dilihat dari segi pembeliannya penadahan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok sebagai berikut:

1. Penadahan murni

Adalah pelaku-pelaku tindak pidana pencurian yang berperan sebagai penampung dari hasil tindak pidana. Kelompok ini sadar tindakan yang dilakukan adalah dalam rangka mencari keuntungan sebanyak-banyaknya dari pedagang hasil curian tersebut secara tegas kelompok ini disebut sebagai pelaku-pelaku professional dari tindak pidana terhadap barang- barang hasil curian yang merupakan mata rantai dari pada seluruh kegiatan didalam rangkaian pencurian barang-barag curian tersebut,10

2. Pembelian

Adapun yang dimaksud dengan penadahan disini adalah pembelian barang-barang curian hasil kejahatan, pencurian yang karena ketidaktahuannya barang tersebut adalah barang hasil curian maka pembeli

8 Wwwqolbu27.blogspot.co.id, diakses tanggal 15 oktober 2020 pukul 20:35 WIB

9 7P.A.F Lamintang, dkk, 2009, Delik-Delik Khusus Kejahatan Terhadap Harta Kekayaan, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 367

10 Adami Chazawi, 2006, Kejahatan Terhadap Harta Benda, Bayu Media Publising, Malang, hlm. 205

(9)

9

dituduh sebagai penadahan. Hal ini sangat sering terjadi di daerah-daerah yang perekonomian masyarakatnya dibawah garis rata-rata. Akan tetapi tidak menutup kemungkinan bahwa masyarakat golongan keatas juga dapat terlibat sebagai penadahan. Masyarakat tergiur untuk memiliki barang-barang yang bagus dengan harga murah tanpa memikirkan tentang surat-suratnya atau kepemilikan barang tersebut.11

Penadahan dapat kita temukan dasar hukumnya dalam Pasal 480 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi: “Diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak sembilan ratus rupiah :

1. barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau untuk menarik keuntungan, menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda yang di ketahuinya atau atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan penadahan

2. Barangsiapa yang mengambil keuntungan dari hasil sesuatu benda yang diketahuinya atau yang sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan”

Salah satu contoh kasus di Pengadilan Negeri Kendal telah terjadi tindak pidana penadahan bahwa terdakwa JOKO SULISTIYO BIN MUHAMAD SAEBANI pada hari Senin tanggal 29 bulan Oktober tahun 2018 sekira jam 14.00 Wib atau setidak-tidaknya pada waktu lain dalam

11 Ibid, hlm. 205

(10)

10

bulan Oktober dalam tahun 2018, di Pom bensin sebelah barat Pasar Mangkang Kota Semarang, oleh karena tempat kediaman sebagian besar saksi yang dipanggil lebih dekat pada tempat Pengadilan Negeri Kendal daripada tempat kedudukan Pengadilan Negeri yang didalam daerahnya tindak pidana itu dilakukan, maka berdasarkan Pasal 84 ayat (2) KUHAP Pengadilan Negeri Kendal Yang berwenang memeriksa dan mengadili perkaranya, telah membeli, menyewa, menukar, menerima gadai, menerima hadiah, atau untuk menarik keuntungan, telah menjual, menyewakan, menukarkan, menggadaikan, mengangkut, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu benda, yang diketahui atau sepatutnya harus diduga bahwa diperoleh dari kejahatan

Berdasarkan uraian di atas maka penulis tertarik untuk meneliti mengenai ANALISIS YURIDIS PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU TINDAK PIDANA PENADAHAN DI PENGADILAN NEGERI KENDAL

B. Rumusan Masalah

Adapun permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana proses pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal?

2. Apakah kendala yang dihadapi hakim dalam pemidanaan pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal dan solusinya?

3. Bagaimana analisis yuridis pertimbangan hakim dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal?

(11)

11 C. Tujuan Penelitian

Berdasarkan adanya permasalahan di atas, maka tujuan penelitian ini sebagai berikut:

1. Untuk mengetahui dan menganalisis proses pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal.

2. Untuk mengetahui dan menganalisis kendala yang dihadapi hakim dalam pemidanaan pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal dan solusinya.

3. Untuk mengetahui dan menganalisis yuridis pertimbangan hakim dalam pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal.

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam rangka mengembangkan ilmu pengetahuan hukum, mengenai penegakan hukum pelaku tindak pidana penadahan berbasis keadilan di Pengadilan Negeri Kendal

b. Untuk menambah wawasan dan memperkuat pengetahuan tentang permasalahan yang dikaji

c. Untuk membantu masyarakat agar lebih hati-hati dalam melakukan jual beli barang yang dirasa patut dicurigai yang berasal dari tindak pidana.

(12)

12 2. Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi yang baik dan benar, dan juga diharapkan bermanfaat untuk memberikan sumbangan pemikiran bagi pihak-pihak yang tertarik dalam masalah yang tertulis dalam laporan penelitian ini

b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan bagi penulis maupun pembaca mengenai penegakan hukum pelaku tindak pidana penadahan berbasis keadilan di Pengadilan Negeri Kendal.

c. Untuk memberikan informasi kepada masyarakat pada umumnya tentang penegakan hukum pelaku tindak pidana penadahan berbasis keadilan di Pengadilan Negeri Kendal.

E. Kerangka Konseptual 1. Pemidanaan

Penghukuman itu berasal dari kata dasar hukum, sehingga dapat diartikan sebagai menetapkan hukum atau memutuskan tentang hukumnya (berechten).12

12 Tolib Setiady, 2010, Pokok-Pokok Hukum Penintesier Indonesia, Alfabeta, hlm. 21

(13)

13 2. Tindak Pidana

Suatu tindakan atau perbuatan yang diancam dengan pidana oleh undang- undang bertentangan dengan hukum dan dilakukan dengan kesalahan oleh seseorang yang mampu bertanggung jawab.13

3. Pelaku tindak pidana

Barang siapa yang melaksanakan semua unsur-unsur tindak pidana sebagai mana unsur-unsur tersebut dirumuskan di dalam Undang-Undang menurut KUHP.14

4. Penadahan

Barangsiapa yang membeli, menyewa, menerima tukar, menerima gadai, menerima sebagai hadiah, atau karena hendak mendapat untung, menjual, menukarkan, menggadaikan, membawa, menyimpan atau menyembunyikan sesuatu barang, yang diketahuinya atau patut disangkanya diperoleh karena kejahatan.15

5. Tindak Pidana Penadahan

Perbuatan yang dilakukan dengan sengaja pelaku menerima barang dari orang lain dengan mengetahui atau patut menduga bahwa barang itu berasal atau diperoleh dari suatu kejahatan tertentu.16

13 Erdianto, 2010, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Alaf Riau, Pekanbaru:, hlm. 53.

14 Adami Chajawi, 2002, Percobaan & Penyertaan (Pelajaran Hukum Pidana), Rajawali Pers, Jakarta

15 Pasal 480 KUHP

16 Ibid

(14)

14 F. Kerangka Teori

1. Teori Penegakan Hukum

Dengan bahasa yang lebih lugas, sebenarnya yang dimaksud penegakan hukum tidak lain dari segala daya upaya untuk menjabarkan kaidah-kaidah hukum ke dalam kehidupan masyarakat, sehingga dengan demikian dapat terlaksana tujuan hukum dalam masyarakat berupa perwujudan nilai-nilai keadilan, kesebandingan, kepastian hukum, perlindungan hak, ketertiban, kebahagian masyarakat dan lain-lain.17 Bekerjanya sistem hukum dalam penegakan hukum (law enforcement) menurut Lawrence M Friedman senantiasa terdapat tiga komponen sebagai berikut18:

a. Struktur, yaitu keseluruhan institusi-institusi hukum yang ada beserta aparatnya, mencakup antara lain kepolisian dengan para polisinya, kejaksaan dengan para jaksanya pengadilan dengan para hakimnya, dan lain-lain.

b. Subtansi, yaitu keseluruhan aturan hukum, norma hukum dan asas hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis termasuk putusan pengadilan.

c. Kultur hukum, yaitu opini-opini, kepercayaan-kepercayaan (keyakinan-keyakinan) kebiasaan-kebiasaan, cara berpikir, dan cara bertindak, baik dari para penegak hukum maupun dari warga

17 Munir Fuady, 2003, Aliran Hukum Kritis Paradigma Ketidakberdayaan Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm. 39.

18 Achmad Ali, 2009, op.cit, hlm. 204.

(15)

15

masyarakat, tentang hukum dan berbagai fenomena yang berkaitan dengan hukum.

Tujuan hukum setidaknya dapat tercapai jika hukum dalam bentuk aturan yang abstrak dapat diimplementasikan dengan mengandalkan beberapa faktor pendukungnya sebagaimana diuraikan oleh Fiedman tersebut di atas. Menurut Wayne La Favre penegakan hukum sebagai suatu proses, pada hakikatnya merupakan penerapan diskresi yang menyangkut membuat keputusan yang tidak secara ketat diatur oleh kaidah hukum, akan tetapi mempunyai unsur penilaian pribadi.

Mengutip pendapat Roscoe Pound, maka La Favre menyatakan, bahwa pada hakikatnya diskresi berada diantara hukum dan moral (etika dalam arti sempit).19 Dengan demikian atas dasar pemikiran tersebut menurut Soerjono Soekanto bahwa dalam realitasnya, bekerjanya sistem hukum dalam karangka penegakan hukum mungkin saja terjadi gangguan, yakni apabila ada ketidakserasian antara “tri tunggal” nilai, kaidah dan pola perilaku.20 Oleh sebab itu penegakan hukum bukanlah semata-mata hanya berarti pelaksanaan perundang-undangan, tetapi bagaimana pola perilaku yakni aparat dan masyarakat (aparat yang menerapkan hukum dan masyarakat sebagai konsumen hukum) itu mendayagunakan hukum (sebagai salah satu unsur kaidah). Unsur ini saling berpengaruh dalam proses penegakan hukum hukum. Di satu sisi kualitas perundang-

19 Soerjono Soekanto, 2008, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 7.

20 Loc.cit.

(16)

16

undangan turut mempengaruhi perilaku hukum aparat dan masyarakat untuk mencapai tujuan hukum demikian pula sebaliknya.

Perkembangan teori penegakan hukum dikemukakan oleh Soerjono Soekanto dengan meletakkan dasar yang lebih luas dari teori Friedman.

Soerjono Soekanto lebih melihat realita empiris yang terdapat dalam negara yang menghadapi permasalahan problematika penegakan hukum.

Beliau mengatakan bahwa masalah pokok penegakan hukum sebagai faktor-faktor yang dapat mempengaruhi penegakan hukum setidaknya ada lima faktor sebagai berikut21:

a. Faktor hukumnya sendiri;

b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun penerapan hukum;

c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum;

d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan;

e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.

Efektivitas penegakan hukum sangat bergantung pada kelima faktor tersebut oleh sebab itu sebagai unsur yang sangat esensil, antara faktor sangat berkaitan erat dan saling mempengaruhi.

21 Ibid. hlm. 8.

(17)

17

2. Teori Pemidanaan dalam Perspektif Hukum Islam

Pada dasarnya penjatuhan pidana atau pemidanaan dibagi atas : a. Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldingstheorien)

Teori absolut atau teori pembalasan ini menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk :

1) Tujuan pidana semata-mata adalah untuk pembalasan;

2) Pembalasan adalah tujuan utama dan di dalamnya tidak mengandung sarana-sarana untuk tujuan lain misalnya untuk kesejahteraan masyarakat;

3) Kesalahan merupakan satu-satunya syarat untuk adanya pidana;

4) Pidana harus disesuaikan dengan kesalahan si pelanggar;

5) Pidana melihat kebelakang, merupakan pencelaan yang murni dan tujuannya tidak untuk memperbaiki, mendidik, atau memasyarakatkan kembali si pelanggar.22

Menurut Andi Hamzah23 Teori Absolut atau Teori Pembalasan (vergeldings theorien) mengatakan bahwa pidana tidaklah bertujuan untuk yang praktis, seperti memperbaiki penjahat. Kejahatan itu sendirilah yang mengambil unsur-unsur untuk dijatuhkan pidana.

Pidana secara mutlak ada, karena dilakukan suatu kejahatan. Tidaklah perlu untuk memikirkan manfaat menjatuhkan pidana itu. Setiap kejahatan harus berakibat dijatuhkan pidana kepada pelanggar.

22 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 110 dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1994, Teori-Teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm. 17

23 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 110 dikutip Andi Hamzah, 2008, Asas-Asas Hukum Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, hlm. 31

(18)

18

Dalam kitab suci Al-Qur’an Surat An-Nisa’ ayat 93 yang artinya :

قَي نَم َو ۡ

لُت ؤُم ۡ ن ِم ۡ ۡ دِ مَعَتُّم ا ۡ ا َزَجَف ا ُهُؤ ۡ

دِل ََٰخ ُمَّنَهَج ۥ ۡ

اَهيِف ا

َب ِضَغ َو يَلَع ُ َّللَّٱ

ِه ۡ ُهَنَعَل َو ُهَل َّدَعَأ َو ۥ

مي ِظَع اًباَذَع ۥ ۡ

ا ٣٩

Wa may yaqtul mu`minam muta'ammidan fa jazā`uhụ jahannamu khālidan fīhā wa gaḍiballāhu 'alaihi wa la'anahụ wa a'adda lahụ 'ażāban 'aẓīmā

Artinya : “Dan barangsiapa yang membunuh seorang mukmin dengan sengaja, maka balasannya adalah jahannam; kekal ia didalamnya dan Allah murka kepadanya, dan mengutukan serta menyediakan azab yang besar baginya.24

Kutipan ayat diatas menunjukkan bahwa didalamnya terkandung makna pembalasan didalam suatu pidana.25

Vos menunjukkan bahwa teori pembalasan atau absolut ini terbagi atas pembalasan subjektif dan pembalasan objektif. Pembalasan subjektif ialah pembalasan terhadap kesalahan pelaku. Pembalasan objektif ialah pembalasan terhadap apa yang telah diciptakan oleh pelaku di dunia luar. Keduanya tidak perlu dipertentangkan.

Selanjutnya Vos menunjuk contoh pembalasan objektif, di mana dua orang pelaku yang seorang menciptakan akibat yang lebih serius dari yang lain dan akan dipidana lebih berat.26

Kelemahan teori absolut adalah :27

24 QS. An Nisa’ ayat 93

25 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 111 dikutip Adami Chazawi, 2015, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo, Jakarta, hlm. 159

26 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 110 dikutip Andi Hamzah, Loc, Cit.

27 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 110 dikutip Amir Ilyas, 2012, Asas-Asas Hukum Pidana: Memahami Tindak Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana Sebagai Syarat Pemidanaan, Mahakarya Rangkang, Yogyakarta, hlm. 101-102

(19)

19

(1) Dapat menimbulkan ketidakadilan. Misalnya pada pembunuhan tidak semua pelaku pembunuhan dijatuhi pidana mati, melainkan harus dipertimbangkan berdasarkan alat-alat bukti yang ada;

(2) Apabila yang menjadi dasar teori ini adalah untuk pembalasan, maka mengapa hanya negara saja yang memberikan pidana.

b. Teori Utilitarian/Teori Tujuan/Teori Relatif (doeltheorien) Teori utilitarian menyatakan bahwa pemidanaan bertujuan untuk:

(1) Pencegahan (prevention);

(2) Pencegahan bukan akhir tetapi sebagai sarana untuk mencapai tujuan yang lebih tinggi yaitu kesejahteraan manusia;

(3) Hanya pelanggaran-pelanggaran hukum yang dapat dipersalahkan kepada pelaku saja (misal karena sengaja atau culpa) yang memenuhi syarat adanya pidana;

(4) Pidana harus ditetapkan berdasar tujuannya sebagai alat untuk pencegahan kejahatan;

(5) Pidana melihat ke muka (bersifat prospektif) pidana dapat mengandung unsur pencelaan tetapi baik unsur pencelaan maupun unsur pembalasan tidak dapat diterima apabila tidak membantu pencegahan kejahatan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat.28

Teori relatif atau tujuan (doeltheorien) menutt Adami Chazawi berpokok pangkal pada dasar bahwa pidana adalah alat untuk

28 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 113 dikutip Muladi dan Barda Nawawi Arief, 1994, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, hlm.17.

(20)

20

menegakkan tata tertib (hukum) dalam masyarakat. Tujuan pidana ialah tata tertib masyarakat, dan untuk menegakkan tata tertib itu di perlukan pidana.

Pidana adalah alat untuk mencegah timbulnya suatu kejahatan, dengan tujuan agar tata tertib masyarakat tetap terpelihara. Ditinjau dari sudut pertahanan masyarakat itu tadi, pidana merupakan suatu yang terpaksa perlu (noodzakelijk) diadakan. Untuk mencapai tujuan ketertiban masyarakat tadi, maka pidana itu mempunyai tiga macam sifat, yaitu:

1. Bersifat menakut-nakuti (afschrikking);

2. Bersifat memperbaiki (verbetering/reclasering);

3. Bersifat membinasakan (onschadelijk maken).

Sementara itu, sifat pencegahannya dari teori ini ada dua macam, yaitu:

1. Pencegahan umun (general preventie), dan 2. Pencegahan khusus (speciale prevetie).29 Kelemahan teori relatif adalah:

a. Dapat menimbulkan ketidakadilan pula. Misalnya untuk mencegah kejahatan itu dengan jalan menakut-nakuti, maka mungkin pelaku kejahatan yang ringan dijatuhi pidana yang berat sekedar untuk menakut-nakuti saja, sehingga menjadi tidak seimbang. Hal mana bertentangan dengan keadilan.

29 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 114 dikutip Adami Chazawi, Op. Cit., hlm. 161-162

(21)

21

b. Kepuasan masyarakat diabaikan. Misalnya jika tujuan itu semata-mata untuk memperbaiki si penjahat, masyarakat yang membutuhkan kepuasan dengan demikian diabaikan.30

c. Sulit untuk dilaksanakan dalam praktik, misalnya terhadap residiv.31

c. Teori Gabungan (verenigingstheorien)

Ide dasar dari teori gabungan ini, pada jalan pikiran bahwa pidana itu hendaknya merupakan gabungan dari tujuan untuk pembalasan dan perlindungan masyarakat, yang diterapkan secara kombinasi sesuai dengan tindak pidana yang dilakukan dan keadaan si pembuatnya.

Aliran teori gabungan ini berusaha untuk mencoba memuaskan semua penganut teori pembalasan maupun tujuan. Untuk perbuatan yang jahat, keinginan masyarakat untuk membalas dendam direspon, yaitu dengan dijatuhi pidana penjara terhadap penjahat/narapidana, namun teori tujuanpun pendapatnya diikuti, yaitu terhadap penjahat/narapidana diadakan pembinaan, agar sekeluarnya dari penjara tidak melakukan tindak pidana lagi.32 Teori gabungan ini mengombinasikan teori pembalasan dan teori tujuan.

Teori gabungan ini muncul dengan mengemukakan:

30 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 114 dikutip Amir Ilyas, Op. Cit., hlm. 101-102.

31 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 115 dikutip Dedik Endro Purwoleksono, 2009, Kontoversi Hukuman Mati, Perbedaan Pendapat Hakim Konstitusi, PT.Gramedia Kompas, Jakarta, hlm. 253.

32 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 116 dikutip http://digilib.unila.ac.id/16457/11/BAB%20II.pdf diakses 7 November 2020 jam 20:45 WIB.

(22)

22

a) Pidana bertujuan membalas kesalahan dan mengamankan masyarakat. Tindakan bermaksud mengamankan dan memelihara tujuan, jadi pidana dan tindakan, keduanya bertujuan mempersiapkan untuk mengembalikan terpidana ke dalam kehidupan masyarakat;

b) Keadilan mutlak yang diwujudkan dalam pembalasan, tetapi yang berguna bagi masyarakat;

c) Dasar tiap-tiap pidana ialah penderitaan yang beratnya sesuai dengan beratnya perbuatan yang dilakukan oleh terpidana.33

Terkait dengan sifat, fungsi dan tujuan Hukum Pidana, masalah pengaturan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan, dikenal apa yang disebut dengan istilah ultimum remedium dan primum remedium.

a. Ultimum Remedium, maknanya bahwa sanksi pidana dipergunakan manakala sanksi-sanksi yang lain sudah tidak berdaya. Dengan perkataan lain, dalam suatu UU sanksi pidana dicantumkan sebagai sanksi yang terakhir, setelah sanksi perdata, maupun sanksi administratif.

b. Primum Remedium, maknanya adalah sanksi pidana dipergunakan sebagai senjata utama atau yang pertama kali diancamkan dalam suatu ketentuan UU. Sanksi hukum pidana yang tajam inilah yang

33 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hal. 116 dikutip Didik Endro Purwoleksono, Op.Cit., hlm. 253.

(23)

23

membedakan dengan sanksi-sanksi dalam hukum-hukum yang lain.34

d. Teori Rehabilitasi

Teori ini berbeda dengan teori pembalasan maupun teori utilitarian.

Kedua teori tadi memandang bahwa pidana dapat dibenarkan jika si pelaku dapat menggunakan “freedom of choice” dan dia lebih memilih perbuatan kriminal daripada perbuatan non-kriminal. Menurut teori rehabilitatif “criminal behaviour” adalah: “...the consequence of influences over which individual offenders lack any meaningful degree of control.” Jadi pelaku kejahatan dilukiskan sebagai seseorang yang ditarik atau digerakkan untuk melakukan kejahatan oleh suatu kekuatan di luar kemauan bebasnya (free choice).35

Dengan demikian tujuan penghukuman menurut teori ini adalah:

“...the objective of treating the offender rather than to punish with the objective either of giving the offender his or her just desert (that is, following a retributive theory) or of seeking to prevemt crime throuh such mechanisms as defference and in capacitation (in the world, following a utilatirian theory.

34 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hlm. 117 dikutip Ibid, hlm. 255.

35 Ira Alia Maerani, 2018, Hukum Pidana & Pidana Mati, Semarang, hlm. 114 dikutip Topo Santoso, 2016, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 26 dikutip dari Thomas and Bishop, Rehabilitative Theory, hlm. 82. Rhehabilitative theory ini berkaitan dengan teori determinisme, sementara teori-teori sebelumnya berkaitan dengan teori indeterminisme.

(24)

24

Jadi secara singkat perbedaan antara teori-teori di atas adalah:

No. Teori-Teori Pemidanaan

Tujuan

1. Teori Absolut/Pembalasan Memberi balasan yang setimpal

2. Teori Relatif/Tujuan Mencegah kejahatan 3. Teori Gabungan - Memberi balasan

- Mencegah kejahatan - Memperbaiki

4. Teori Rehabilitasi Mengobati si pelaku

3. Teori Keadilan dalam Perspektif Islam

Menurut Harun berkenaan dengan kehendak Tuhan, kaum mu’tazilah berkeyakinan bahwa Tuhan yang telah memberikan kemerdekaan dan kebebasan bagi manusia dalam menentukan kehendak dan perbuatannya. Oleh karena itu Tuhan bagi mereka tidak lagi bersifat absolut kehendak-Nya.36 menurutnya Tuhan telah menciptakan akal manusia sedemikian rupa sehingga mampu melihat yang baik dan buruk secara obyektif.

Mu’tazilah percaya pada kekuasaan akal dan kemerdekaan serta kebebasan manusia mempunyai tendensi untuk melihat wujud ini dari sudut rasio dan kepentingan manusia. mereka selanjutnya berpendapat bahwa manusia yang berakal sempurna kalau berbuat sesuatu pasti mempunyai tujuan, baik untuk kepentingan sendiri atau kepentingan orang lain, Tuhan juga mempunyai tujuan perbuatannya, tetapi karena Tuhan Maha Suci dari sifat berbuat untuk kepentingan diri sendiri, perbuatan Tuhan adalah kepentingan maujud selain Tuhan.

36 Harun Nasution, 1986, Teologi Islam, UI Press, Jakarta, hlm. 118.

(25)

25

Asy’ariyah berpendapat bahwa Tuhan menghendaki apa yang ada dan tidak menghendaki apa yang tidak ada. Dengan kata lain apa yang ada artinya dikehendaki dan apa yang tidak ada artinya tidak dikehendaki, maka berarti Tuhan menghendakinya. Tuhan menghendaki kekafiran bagi manusia yang sesat dan menghendaki iman bagi orang yang mendapat petunjuk.

Tuhan dalam faham Asy’ariyah dapat berbuat apa saja yang dikehendakinya, sesungguhnya hal itu menurut pandangan manusia adalah tidak adil. Asy’ari berpendapat bahwa Tuhan tidaklah berbuat salah, jika memasukan seluruh manusia ke dalam neraka. Perbuatan salah dan tidak adil adalah perbuatan yang melanggar hukum, dan karena itu Tuhan tidak pernah bertentangan dengan hukum.37

Faham Asy’ariyah tentang keadilan Tuhan merupakan keadilan raja yang absolut. Ketidakadilan dapat terjadi pada saat seseorang melanggar hak orang lain, tetapi tidak pada Tuhan. Tuhan tidak bisa dikatakan tidak adil, walaupun manusia mengangap hal tersebut tidak adil. apabila ini tetap dilakukan oleh Tuhan, sesungguhnya Tuhan tidaklah berbuat salah dan Tuhan masih adil. Dengan demikian faham Asy’ariyah yaitu apa yang telah ditetapkan oleh Tuhan itu adalah keadilan.

Mengenai kewajiban Tuhan memenuhi janji dan ancaman-Nya, AlBazdawi menerangkan bahwa Tuhan wajib menepati janji untuk member upah kepada yang berbuat baik. akan tetapi bisa saja Tuhan

37 Al-Asy’ariy, 1992, Kitab al-Luma’, Byrout : McCharthy Imprimerie Catholique, hlm. 71.

(26)

26

membatalkan ancaman untuk member hukuman kepada orang yang berbuat jahat. Nasib orang yang berbuat jahat ditentukan oleh kehendak mutlak Tuhan.38

Mengenai perbuatan manusia Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa manusia tidak mempunyai daya untuk melakukan perbuatan, hanyalah Tuhan yang dapat mencipta dan manusia hanya dapat melakukan perbuatan yang telah diciptakan Tuhan baginya.

Dengan demikian Maturidiyah Bukhara berpendapat bahwa keadilan Tuhan haruslah dipahami dalam konteks kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Al-Bazdawi mengatakan bahwa Tuhan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai tujuan dan tidak mempunyai unsur pendorong untuk menciptakan kosmos, Tuhan berbuat sekehendak-Nya sendiri. Ini berarti bahwa alam tidak diciptakan Tuhan untuk kepentingan manusia atau dengan kata lain, konsep keadilan Tuhan bukan diletakkan untuk kepentingan manusia, tetapi pada Tuhan sebagai pemilik mutlak.

Menurut Satria Effendi M. Zein, Maqasid Syariah adalah tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum-hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-quran dan hadist sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan manusia.39

Ibnu Qayyim menjelaskan bahwa tujuan hukum Islam adalah untuk mewujudkan hamba dunia akhirat. menurutnya, seluruh hukum itu

38 Abdul Razak dan Rosihan Anwar, 2011, Ilmu Kalam, cet. VI, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 159.

39 Satria Effendi M. Zein, 2005, Ushul Fiqh, cet.1, Kencana, Jakarta, hlm. 233

(27)

27

mengandung keadilan, rahmat, kemaslahatan dan hikmah, jika keluar dari empat nilai yang dikandungnya, maka hukum tersebut tidak dinamakan Hukum Islam.40

Salah satu hal yang mendasari pemikiran maqasid syariah sebagai instrumen menggali nilai keadilan hukum adalah tujuan ditetapkannya hukum Islam. Maqasid Syariah penting untuk dipahami karena dengannya wawasan kita tentang Hukum Islam menjadi komprehensif.

Seseorang tidak dapat dikatakan mampu menetapkan hukum dalam Islam, sebelum ia memahami benar tujuan Allah mengeluarkan perintah- perintah dan larangan-larangan-Nya. Maqasid syariah adalah tujuan yang menjadi target nash dan hukum-hukum partikular untuk direalisasikan dalam kehidupan manusia, baik berupa perintah, larangan dan mubah.

Untuk individu, keluarga, jamaah dan umat.41

Al-Syatibi menyebutkan tiga syarat yang diperlukan untuk memahami maqasid syariah. Ketiga syarat itu adalah a) Memiliki pengetahuan tentang bahasa arab lafaz’am, lafaz khas, musytarak, haqiqat, majaz, dilalah lafaz dan nasakh. b) Memiliki pengetahuan tentang sunnah. c) Mengetahui sebab-sebab turunnya ayat.

Untuk mewujudkan dan memelihara maqasid syariah, Al Syatibi membagi ke tiga tingkat yaitu dharuriyat, hajiyat, dan tahsiniyyat.

Pengelompokkan ini didasarkan pada kebutuhan dan skala prioritas.

Urutan level ini secara hirarkis akan terlihat kepentingan dan

40 Ibnu Qayyim, I’lam al-Muwaqi’in Rabb al-‘Alamin, Jilid III, (Beirut : Dar al-Jayl, t.th), hlm 3.

41 Yusuf Qardawi, 2007, Fiqh Maqasid Syari’ah, Pustaka Al-Kautsar, hlm. 18.

(28)

28

signifikansinya, masing-masing level tersebut satu sama lain saling bertentangan. Dalam konteks ini level dharuriyat menempati peringkat pertama disusul hajiyyat dan tahsinayyat. Dhahuriyyat adalah memelihara kebutuhan yang bersifat essensial bagi kehidupan manusia manusia. Contoh: dalam memelihara agama, aspek dhahuriyyat mendirikan shalat. Hajiyyat tidak mengancam hanya saja menimbulkan kesulitan bagi manusia. Contoh: dalam memelihara agama, aspek hajiyyat keharusan menghadap ke kiblat. Tahsinayyat adalah kebutuhan yang menunjang peningkatan martabat seseorang dalam masyarakat dan dihadapan Allah SWT. Contoh : dalam memelihara agama, aspek tahsinayyat menutup aurat.42

Ketiga yang disebutkan di atas pada hakikatnya untuk menjaga kelima maqasid syariah (agama, jiwa, akal, keturunan dan harta). Al- Syatibi melaporkan hasil penelitian para ulama terhadap ayat-ayat Alquran dan hadist, bahwa hukumhukum disyariatkan Allah untuk mewujudkan kemaslahatan umat manusia, baik di dunia maupun di akhirat.43

Pembahasan maqasid syariah dilakukan Al-Syatibi secara khusus, sistematis dan jelas. Secara tegas mengatakan bahwa tujuan utama Allah menetapkan hukum-Nya adalah untuk terwujudnya maslahatan hidup manusia, baik di dunia maupun di akhirat. Oleh Karena itu, hukum harus

42 Asafri Jaya Bakri, 1997, Konsep Maqasid Syariah menurut Al-Syatibi, Logos Wacana Ilmu, Jakarta, hlm. 72

43 Abu Ishaq Al-Syatibi, 2003, Almuwafaqat fi Ushul Al-Syari’ah, Jilid I, Cet. III, Beirut:

Dar Kutub al-‘Ilmiyyah, hlm. 195.

(29)

29

mengarah pada dan merealisasikannya terwujudnya kemaslahatan.

doktrin maqasid syariah adalah satu, yaitu maslahah atau kebaikan dan kesejahteraan umat manusia baik di dunia maupun di akhirat. oleh karena itu, al-Syatibi meletakan posisi maslahat sebagai ‘illat hukum atau alasan pensyariatan hukum Islam.

Dalam menempatkan illat sebagai maslahah An-Nabhani berbeda dengan Al-Syatibi, An-Nabhani misalnya beliau dengan hati-hati menekankan berulangulang, bahwa maslahat itu bukanlah illat atau motif (al-ba’its) penetapan syariah, melainkan hikmah, hasil (natijah), tujuan (ghayah) atau akibat (‘aqibah) dari penerapan syariah.44

Menurut An-Nabhani mengatakan hikmah bukanlah ‘illat karena nash ayat-ayat yang ada jika dilihat dari segi bentuknya (shigat) tidaklah menunjukan adanya ‘illat, namun hanya menunjukkan adanya sifat rahmat (maslahat) sebagai hasil penerapan syariah. Misalnya firman Allah SWT dalam Alquran Surat Al-Isra (17) Ayat 82 dan Al-Anbiya Ayat 107 yang berbunyi,”Dan tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam”. Menurut An-Nabhani, ayat ini tidak mengandung shigat ta’lil (bentuk kata yang menunjukkan ‘illat), misalnya dengan adanya lam ta’lil. Jadi, maksud ayat ini, bahwa hasil (al-natijah) diutusnya Muhammad Saw adalah akan menjadi rahmat bagi umat manusia. artinya, adanya rahmat (maslahat) merupakan hasil pelaksanaan syari’at bukan ‘illat dari penetapan syari’at.

44 Taqiyuddin an-Nabhani, 1953, Asy-Syakhshiyah al-Islamiyyah, Ushul al Fiqh, juz III, AlQuds : Min Mansyurat Hizb At-Tahrir, hlm. 359-360

(30)

30 G. Metode Penelitian

1. Metode Pendekatan

Metode pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan Yuridis Sosiologis. Metode pendekatan yang bersifat Yuridis Sosiologis yaitu suatu penelitian yang didalamnya melihat disiplin peraturan-peraturan atau hukum berdasarkan kenyataan atau realita yang terjadi dalam masyarakat.45 Pendekatan dalam penelitian ini menekankan pada praktik dilapangan yang berkaitan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku berkenaan dengan objek penelitian yang dibahas dan melihat norma-norma hukum yang berlaku kemudian dihubungkan dengan kenyataan atau fakta-fakta yang terdapat dalam kehidupan masyarakat serta membahas analisis yuridis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal.

2. Spesifikasi Penelitian

Penelitian ini bersifat deskriptif, penelitian deskriptif bertujuan untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akuran mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki.46 Hal itu penelitian ini bertujuan mendeskripsikan tentang analisis yuridis pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal.

45 Bambang Sunggono, 2007, Metode Penelitian Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 72.

46 Soerjono Soekanto, 2001, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo, Jakarta, hlm 8.

(31)

31 3. Jenis dan Sumber Data

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini dibagi dalam dua jenis, yaitu

a. Data primer

Data primer yaitu data yang didapat langsung dari sumber pertama yang terkait dengan permasalahan yang akan dibahas dengan melakukan wawancara terstruktur baik dengan para pihak yang berperkara maupun dengan informan. Narasumber dari penelitian adalah Bapak Zuliyan Zuhdi. SH, selaku Jaksa Penuntut Umum, Bapak Ari Kurniawan. SH.,MH, dan Ibu Popi Juliani.SH., MH selaku Ketua Hakim di Pengadilan Negeri Kendal.

b. Data Sekunder

Sumber data dalam penelitian ini yaitu data sekunder yang merupakan data pokok dalam penelitian ini. Data sekunder adalah data pustaka yang mencakup peraturan perundang-undangan, buku- buku kepustakaan, karya ilmiah, artikel-artikel, serta dokumen- dokumen yang berkaitan dengan materi penelitian. Data sekunder meliputi:

1) Bahan hukum primer.

Yaitu bahan yang mengikat berupa peraturan perundang- undangan yang berlaku, di antaranya adalah :

a) Undang-Undang Negara Republik Indonesia Tahun 1945 b) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP)

(32)

32

c) Kitab – Kitab Undang – Undang Hukum Acara Hukum Pidana 2) Bahan hukum sekunder.

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, meliputi hasil-hasil penelitian, hasil karya dari kalangan hukum, buku-buku literatur, karya ilmiah dari para sarjana, dan dokumen resmi yang berkaitan dengan pokok permasalahan yang diteliti.

3) Bahan hukum tersier.

Yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya kamus.47

4. Metode Pengumpulan Data

Dalam penelitian ini untuk memperoleh data yang diperlukan penulis akan menggunakan teknik pengumpulan data antara lain sebagai berikut :

a. Studi Kepustakaan

Penulis melakukan proses pengumpulan data sekunder untuk menjawab permasalahan yang telah dirumuskan dengan cara menganalisis bahan-bahan pustaka yang terkait dengan permasalahan yang dikaji, baik itu bersumber dari bahan hukum primer, sekunder, dan tersier.48

47 Seorjono Soekanto dan Sri Mamuji, 1985, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Rajawali, Jakarta, hlm. 14-15.

48 Muhammad Nazir, 1988, Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, hlm.111

(33)

33 b. Studi Dokumen

Metode dokumeni adalah catatan peristiwa yang sudah berlalu yang berbentuk tulisan atau karya-karya monumental.49 Metode ini di gunakan untuk menguatkan data-data yang telah didapatkan. Adapun dokumen-dokumen tersebut di peroleh dari putusan Pengadilan Negeri Kendal yakni berupa dokumen-dokumen tertulis.

c. Studi Lapangan 1) Observasi

Observasi adalah pengamatan langsung terhadap objek kajian yang sedang berlangsung untuk memperoleh keterangan dan informasi sebagai data yang akurat tentang hal-hal yang diteliti serta untuk mengetahui relevansi antara jawaban responden dengan kenyataan yang ada, melalui pengamatan langsung yang erat kaitannya dengan objek penelitian.

Bila ditelaah mengenai definisi observasi diatas maka dapat disimpulkan bahwa pengamatan (observasi) dalam konteks penelitian ilmiah adalah studi yang disengaja dan dilakukan secara sistematis, terencana, terarah pada suatu tujuan dengan mengamati dan mencatat fenomena atau perilaku satu atau sekelompok orang dalam konteks kehidupan sehari-hari, dan memperhatikan syarat-syarat penelitian ilmiah. Dengan demikian hasil pengamatan dapat dipertanggung jawabkan kebenarannya.

49 Imam Gunawan, 2014, Metode Penelitian Kualitatif: Teori dan Praktik, Bumi Aksara, Jakarta, Cet.2, hlm. 176

(34)

34 2) Wawancara

Penulis melakukan proses wawancara terhadap narasumber secara langsung sebagai sumber informasi agar dapat diketahui tanggapan, pendapat, keyakinan, perasaan, motivasi dari narasumber yang berkaitan dengan penanganan tindak pidana penipuan. Metode pengumpulan data dengan teknik wawancara dilakukan Penulis dalam hal meminta pandangan narasumber terkait dengan permasalahan yang telah dirumuskan.

5. Analisis Data

Data yang sudah terkumpul dari hasil penelitian kemudian dianalisis secara normatif kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data yang akan disusun berdasarkan peraturan perundang- undangan yang berlaku atau peraturan-peraturan lainnya.

Selanjutnya, Ronny Hanitijo menyebutkan bahwa:

Metode ini dapat dikatakan normatif karena penelitian ini bertolak dari peraturanperaturan hukum yang ada sehingga merupakan norma hukum positif. Data yang diperoleh kemudian dianalisa secara kualitatif yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data berdasarkan doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan, sehingga tidak menggunakan rumus-rumus atau angka-angka. Jadi maksud dari metode normatif kualitatif yaitu penjabaran dan pembahasan terhadap hasil penelitian yang didasarkan pada norma atau kaidah-kaidah

(35)

35

hukum maupun doktrin hukum yang relevan dengan pokok permasalahan.50

H. Sistematika Penulisan

Adapun penelitian ini disusun dengan sistematika penulisan sebagai berikut :

BAB I PENDAHULUAN

Bab ini berisi tentang Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitan, Manfaat Penelitian, Kerangka Konseptual, Kerangka Teori, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan .

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Pada tinjauan kepustakaan ini berisikan pengertian Pemidanaan, Tindak Pidana, Pelaku tindak pidana Penadahan, Tindak Pidana Penadahan, Tindak Pidana Penadahan dan Pangan menurut Perspektif Islam

BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini merupakan pembahasan rumusan masalah yaitu tentang proses pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal, kendala yang dihadapi hakim dalam pemidanaan pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal dan solusinya dan analisis yuridis pertimbangan hakim dalam

50 Ronny Hanitijo Soemitro, Op.cit, hlm. 11.

(36)

36

pemidanaan terhadap pelaku tindak pidana penadahan di Pengadilan Negeri Kendal

BAB IV PENUTUP

Bab ini berisikan kesimpulan dan saran-saran terhadap permasalahan yang diangkat oleh penulis.

Referensi

Dokumen terkait

Berhasil Pengujian Tombol Route Pengguna berada pada halaman utama dan menekan salah satu marker yang terdapat pada peta Sistem menampilkan navigasi route dari

bahwa oleh karena hewan-hewan tertentu tersebut merupakan hewan yang dilarang untuk dimasukan ke wilayah Provinsi Papua sesuai dengan Peraturan Daerah Provinsi

Ayat tersebut menunjukkan wajibnya mendatangkan saksi. Akan tetapi pengkiasan hak rujuk dengan hak-hak lain yang diterima oleh seseorang menghendaki tidak adanya saksi.

ثحبلا ديدحت ثحبلا ديدبر ىلع ءانبك , نلاب ظ ك دوقنلا ك تقولا ثيح نم ثحابلا ىلع ةضكرفلدا دويقلا لذإ ر ملعلا , ـادختسا ىلع ثحبلا اذى ددحف ؿا ةغللا تادرفم

Pada perancangan website ini merupakan website bersifat webapp yang di dalamnya terdapat kuis kepribadian yang dipaparkan dengan visual ikonik untuk menjelaskan sifat-sifat

Pada siklus pertama jumlah skor postes yang didapatkan pada aspek tersebut yaitu 88 dengan nilai rata-rata 3,1 sehingga persentase kenaikannya 24% sedangkan

Rostamaji,M.Pd, Agus priantoro, S.Pd (http://taniats.blogspot.com/2013/11/pengertian-novel-menurut-para-pakar.html) Novel merupakan karya sastra yang mempunyai dua unsur, yaitu

Berdasarkan surat dari Pimpinan Yayasan Pendidikan Islam Nurul Wasilah Nomor : 001/YPI/NWJ/II/2020 Perihal Permohonan Bantuan Dana Hibah / Bansos Pondok Pesantren