BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1 Pengelolaan Vaksin
Perencanaan nasional penyelenggaraan imunisasi dilaksanakan oleh Pemerintah berdasarkan perencanaan yang disusun secara berjenjang mulai dari puskesmas, kabupaten/kota, provinsi dan pusat (bottom up). Perhitungan jumlah kebutuhan vaksin akan memperhatikan beberapa hal yaitu jumlah sasaran, jumlah pemberian, target cakupan dan indeks pemakaian vaksin dengan memperhitungkan sisa vaksin (stok) sebelumnya(16).
Pengadaan vaksin untuk program imunisasi dilakukan oleh Ditjen. PPM &
PL dengan dana yang bersumber dari APBN dan BLN (Bantuan Luar Negeri).
Pelaksanaan pengadaan vaksin dilakukan melalui kontrak pembelian pada PT.
BioFarma sebagai produsen vaksin satu-satunya di Indonesia.Vaksin yang berasal dari luar negeri pada umumnya diterima di Indonesia apabila ada kegiatan khusus (seperti Catch Up Campaign Campak) dan vaksin tersebut telah lolos uji dari Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM)(8). Catch Up Campaign Campak merupakan suatu upaya untuk memutus mata rantai penularan virus campak pada anak usia sekolah dan balita atau berguna juga sebagai booster (imunisasi ulangan). Kegiatan ini dilakukan dengan memberikan imunisasi campak secara serentak pada anak sekolah dasar dari kelas satu hingga kelas enam, tanpa mempertimbangkan status imunisasi sebelumnya(8).
Penyimpanan vaksin dianjurkan untuk tidak melebihi dari stok maksimalnya, agar nantinya tidak terjadi penumpukan vaksin(8). Penyimpanan vaksin di Kota Yogyakarta dilakukan di Unit Pelaksana Teknis (UPT) Farmasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta. Vaksin yang disimpan di UPT Farmasi yaitu BCG, campak, DPT-HB-HIB, Td, IPV, Hep B Uniject, dan TT.
Jumlah ketersediaan vaksin di UPT Farmasi pada periode januari 2016 – April 2016 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.1 rata-rata ketersediaan vaksin No. Nama Vaksin Satuan Rata-rata
Ketersedian Vaksin
1 BCG Vial 345,5
2 Campak Vial 444
3 DPT HB HIB Vial 230,5
4 Hep B Uniject Syringe 691
5 Polio (IPV) Vial 403
6 Td Vial 321
7 TT Vial 179
Tabel 4.1 diketahui bahwa vaksin yang paling banyak tersedia adalah vaksin jenis Hep B uniject dengan jumlah 691 syringe.
Distribusi vaksin baik jumlah maupun frekuensinya harus disesuaikan dengan volume vaksin di masing-masing provinsi serta biaya transportasi. Rata-rata distribusi vaksin ke Provinsi adalah setiap 1-3 bulan(8).
4.2 Sistem Cold Chain Vaksin
Tiga hal penting dalam Vaccine Cold Chain menurut Centers for Disease Control and Prevention (CDC) tahun 2014 adalah sebagai berikut :
4.2.1 Personalia
Pedoman CDOB tahun 2012 menjelaskan bahwa sebaiknya pelatihan dilakukan secara sistematik dan berkala bagi seluruh personil yang terlibat dalam penanganan produk rantai dingin. Personil dalam ketentuan ini mencakup petugas pengelola vaksin dan pengemudi yang bertanggung jawab dalam transportasi produk rantai dingin. Checklist kesesuaian pelatihan petugas pengeola vaksin dan pengemudi distribusi vaksin dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 2 tabel 4.1 dan tabel 4.2.
Mutu vaksin akan tetap terjamin apabila petugas pengelola vaksin mendapatkan pelatihan. Petugas pengelola vaksin yang terlatih juga menjadi salah satu unsur utama untuk sistem rantai dingin tersebut menjadi efektif(28). Petugas pengelola vaksin UPT Farmasi mendapatkan pelatihan setiap tahunnya dari Dinkes DIY. Pelatihan yang diberikan berupa pengertian dasar tentang rantai dingin,
pengelolaan cold chain dan pemeliharaan alat. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...iya ada dari Dinkes Provinsi DIY, dan saya sendiri yang berangkat. Biasanya setahun sekali diadakannya. Pelatihan yang saya peroleh antaralain pengertian dasar tentang rantai dingin, pengelolaan cold chain secara menyeluruh mulai dari pengangkutan, penyimpanan sampai distribusi ke puskesmasnya, serta tentang pemeliharaan alat dimana dilatih untuk mengatasi jika ada kerusakan-kerusakan ringan yang butuh penanganan segera...”
Pernyataan yang serupa disampaikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait pemberian pelatihan kepada petugas pengelola vaksin yaitu :
“...iya ada pelatihan untuk pengelola vaksin dari Dinkes Provinsi yang dilaksanakan rutin setiap tahun...”
Kedua pernyataan diatas dapat disimpulkan bahwa pemberian pelatihan bagi petugas pengelola vaksin di UPT Farmasi telah sesuai dengan ketentuan di dalam CDOB tahun 2012.
Apabila petugas pengelola vaksin diberikan pelatihan setiap tahunnya, maka berbeda dengan pengemudi distribusi vaksin di UPT Farmasi yang belum pernah mendapatkan pelatihan dari Dinkes DIY. Pelatihan yang diberikan oleh pihak Dinkes DIY hanya diperuntukkan bagi pengelola vaksin Dinkes Kabupaten/Kota dan Puskesmas. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yaitu :
“...pelatihan yang difasilitasi oleh Dinkes Provinsi hanya diperuntukkan untuk pengelola vaksin. Kalau pelatihan untuk pengemudi, selama saya disini belum melihat ada pelatihan untuk pengemudi. Driver kami yang sekarang ini dulunya bekerja di P2PL Dinkes Kota Yogyakarta tapi kurang tau juga apakah pernah terpapar pelatihan atau belum waktu di P2PL, tapi hal-hal mendasar mengenai vaksin dan cold chain beliau sudah paham karena sudah berpengalaman....”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh tenaga kesehatan UPT Farmasi yang bertugas dalam mendistribusikan vaksin yaitu :
“...saya belum pernah menerima pelatihan...”
Pernyataan terkait pemberian pelatihan bagi pengemudi distribusi vaksin UPT Farmasi di atas dapat disimpulkan bahwa masih belum sesuai dengan CDOB tahun 2012, yang menjelaskan bahwa setiap pengemudi yang bertanggung jawab dalam
transportasi vaksin diharuskan untuk diberikan pelatihan terkait dengan CDOB dalam bidang yang terkait dengan pengiriman khusus vaksin.
4.2.2 Sarana dan Prasarana
Unit Pelaksana Teknis Farmasi tidak memiliki kamar dingin maupun kamar beku. Keputusan untuk tidak memiliki kamar dingin maupun kamar beku ini dikarenakan biaya pengadaannya yang mahal serta jumlah vaksin yang disimpan di UPT Farmasi hanya dalam jumlah yang sedikit, sedangkan daya tampung untuk kamar dingin maupun kamar beku mencapai 5000-100.000 liter. Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 tahun 2013 juga menjelaskan bahwa kamar dingin dan kamar beku umumnya hanya terdapat di tingkat provinsi mengingat provinsi harus menampung vaksin dengan jumlah yang besar dan dalam jangka waktu yang cukup lama, sedangkan penyimpanan vaksin di UPT Farmasi hanya sebagai transit dari Dinkes Provinsi DIY untuk nantinya didistribusikan ke seluruh puskesmas di wilayah Kotamadya(16). Berikut adalah keterangan dari petugas pengelola vaksin terkait tidak dimilikinya kamar dingin maupun kamar beku yaitu :
“...kapasitas penyimpanan vaksin di UPT Farmasi Dinas Kesehatan Kota jumlahnya jauh lebih kecil, karena hanya memenuhi kebutuhan vaksin dalam lingkup satu Kotamadya. Yang kedua, dikarenakan biaya untuk penyedia cool room maupun cold room yang mahal serta biaya pemeliharaannya yang juga mahal...”
Keterangan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi yaitu :
“...Yang pertama, cool room maupun cold room itu harganya mahal serta biaya pemeliharaannya yang juga mahal atau dalam hal ini lebih ke efisiensi biaya. Yang kedua, kalau di Dinkes provinsi kan volumnya besar untuk 5 kabupaten/kota, sehingga mereka perlu cool room. Sedangkan di Dinkes Kota jumlahnya jauh lebih kecil, karena hanya memenuhi kebutuhan vaksin dalam lingkup satu Kotamadya.
Yang ketiga, dikarenakan kami merasa vaksin yang kami kelola masih bisa disimpan di refrigerator yang ada dan didukung dengan adanya monitoring suhu...”
Dikarenakan Dinkes Kota Yogyakarta tidak memiliki kamar dingin maupun kamar beku sehingga untuk cheklist aturan pengoperasian kamar dingin dan kamar beku, kelengkapan kamar dingin atau kamar beku serta checklist pemantauan kamar dingin dan kamar beku tidak dapat diamati dalam penelitian ini. Ketiga tabel checklist tersebut dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.3, tabel 4.4 dan tabel 4.5.
1. Bangunan Tempat Penyimpanan Vaksin
Bangunan yang digunakan sebagai tempat penyimpanan vaksin harus dipastikan cukup untuk menyimpan semua persediaan stok vaksin serta memiliki keamanan yang memadai(28). Checklist kesesuaian bangunan tempat penyimpanan vaksin di UPT Farmasi dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.6.
Unit Pelaksana Teknis Farmasi menjamin kemanan tempat penyimpanan vaksin, dengan melengkapinya menggunakan pintu yang dapat dikunci serta penjagaan selama 24 jam oleh petugas keamanan. Tindakan ini dilakukan untuk mencegah akses pihak yang tidak berwenang untuk masuk ke ruang penyimpanan vaksin. Pedoman CDOB tahun 2012 juga menganjurkan untuk melengkapi tempat penyimpanan vaksin dengan alat deteksi kebakaran. Alat deteksi kebakaran merupakan suatu alat untuk mendeteksi kebakaran secara dini sehingga dapat mencegah kebakaran yang terjadi agar tidak menjadi lebih besar. Hasil observasi selama penelitian menunjukkan bahwa UPT Farmasi belum memiliki alat deteksi kebakaran, dikarenakan untuk saat ini alat tersebut sedang dalam tahap permintaan dan untuk sementara waktu menggunakan alat pemadam api ringan (APAR) saja.
Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin terkait dengan tidak dimilikinya alat deteksi kebakaran yaitu :
“...untuk saat ini yang kita miliki hanya APAR (Alat Pemadam Api Ringan) saja, untuk alat deteksi kebakaran kami tidak punya...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan dari Kepala UPT Farmasi terkait belum dimilikinya alat deteksi kebakaran yaitu :
“...untuk alat deteksi kebakaran belum ada, dan baru akan dipasang...”
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara tersebut dapat disimpulkan bahwa bangunan tempat penyimpanan vaksin di UPT Farmasi masih belum sesuai dengan ketentuan di dalam CDOB tahun 2012.
Meskipun UPT Farmasi belum memiliki alat deteksi kebakaran, namun upaya untuk mencegah kemungkinan terjadinya hubungan pendek arus listrik yaitu dengan menyediakan stopkontak tersendiri disetiap chillernya. Checklist terkait adanya stopkontak tersendiri di UPT Farmasi dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.7 tentang fasilitas tempat penyimpanan vaksin.
Hasil observasi selama penelitian dilakukan, diketahui bahwa setiap Icelined refrigerator tipe MK-204 yang dimiliki telah dipasangkan dengan masing-masing stop kontak (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Hal ini telah sesuai dengan pedoman CDOB tahun 2012 yang menyebutkan bahwa setiap chiller harus mempunyai stop kontak tersendiri(17). Centers for Disease Control and Prevention juga menjelaskan bahwa sebaiknya memasang satu unit penyimpanan per outlet listrik, karena dapat menghindari bahaya kebakaran atau memicu terjadinya hubungan arus pendek listrik(29).
2. Failitas Tempat Penyimpanan Vaksin
Tempat penyimpanan vaksin di UPT Farmasi dilengkapi dengan beberapa fasilitas yang dapat dilihat pada checklist lampiran 3 tabel 4.7. Penyimpanan vaksin di UPT Farmasi dilakukan di dalam Ice lined refrigerator tipe MK-204 dengan sistem pintu yang dapat dikunci. Ice lined refrigerator merupakan merupakan freezer tempat penyimpanan khusus vaksin yang dimodifikasi menjadi lemari es dengan suhu bagian dalam 2⁰C hingga 8⁰C dan telah di approved oleh WHO. Pemakaian kulkas/freezer rumah tangga tidak diperbolehkan untuk menyimpan vaksin dikarenakan memiliki suhu yang tidak stabil(17).
Ice lined refrigerator tipe MK-204 belum dilengkapi dengan sistem auto- defrost maupun alarm yang akan berbunyi jika terjadi penyimpangan suhu, sehingga tidak dapat diamati dalam penelitian ini. Selain tidak memiliki alarm, UPT Farmasi juga tidak memiliki thermomether yang dapat memantau suhu secara terus menerus.
Pemantauan suhu penyimpanan vaksin dilakukan secara manual pagi dan sore hari hanya pada saat hari kerja dengan kartu monitoring suhu. Pengecekan suhu tidak dilakukan saat hari libur dikarenakan untuk hari libur segala aktivitas di UPT Farmasi juga akan diliburkan (kecuali aktivitas penjagaan keamanan).
Pengecekan suhu penyimpanan vaksin hanya dilakukan dua kali sehari dikarenakan selama ini petunjuk teknis dari pengelola program untuk pengelolaan logistik di Dinkes Kota Yogyakarta masih dilakukan dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari. Pernyataan ini telah sesuai dengan CDC, yang merekomendasikan bahwa untuk pemantauan suhu unit penyimpanan vaksin dilakukan setiap dua kali sehari pada pagi dan sore har(29).
Pengecekan suhu oleh petugas pengelola vaksin menggunakan refrigerator thermomether (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Centers for Disease Control and Prevention merekomendasikan bahwa untuk perangkat pemantauan suhu sebaiknya memiliki Sertifikat Pengujian Kalibrasi(29). Pedoman CDOB tahun 2012 juga menyebutkan bahwa peralatan yang digunakan untuk mengendalikan atau memonitoring lingkungan penyimpanan obat dan/atau bahan obat harus dikalibrasi(17). Kalibrasi thermometer bertujuan untuk nantinya dapat menghasilkan pembacaan suhu yang akurat. Berikut ini adalah pernyataan yang disampaikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait dengan kalibrasi thermometer :
“...kami punya tenaga elektromedis untuk melakukan kalibrasi thermometer yang dilakukan minimamal 1 tahun sekali...”
Pernyataan lain disampaikan oleh petugas pengelola vaksin dan Tenaga Elektromedis yang menyatakan bahwa UPT Farmasi belum pernah melakukan kalibrasi pada refrigerator thermometer. Petugas pengelola vaksin belum pernah melakukan kalibrasi dikarenakan biaya kalibrasi yang mahal dan juga belum ditemukannya jasa penyedia kalibrasi untuk refrigerator thermometer. Upaya petugas pengelola vaksin untuk mengetahui thermometer tersebut masih berfungsi baik atau tidak yaitu dengan melakukan verifikasi thermometer. Verifikasi dilakukan dengan cara membandingkan 3 thermometer ke dalam chiller yang sama, kemudian dilihat simpangannya. Thermomether yang diduga bermasalah akan segera dilakukan follow up. Follow up yang dilakukan yaitu berupa penggantian thermometer yang baru.
Berikut adalah keterangan dari petugas pengelola vaksin yaitu :
“...kami tidak melakukan kalibrasi thermometer. Karena kalau kalibrasi harus melibatkan pihak ketiga (penyedia jasa kalibrasi) dan kami belum menemukan jasa penyedia kalibrasi yang cocok untuk mengkalibrasi thermometer yang kami punya (refrigerator thermometer), jadinya disini kita hanya melakukan verifikasi.
Waktu untuk verifikasi dilakukan secara berkala namun kami belum menetapkan waktunya secara pasti (entah itu 1 bulan atau 2 bulan). Proses verifikasi yang dimaksud yaitu dengan cara membandingkan 3 thermometer yang dimasukkan dalam kulkas yang sama, diruangan yang sama, kemudian dilihat simpangannya jauh atau tidak....”
Pernyataan yang serupa dari tenaga elektromedis terkait kalibrasi thermometer adalah sebagai berikut :
“...kami tidak pernah melakukan kalibrasi, karena kalau kalibrasi harus melibatkan pihak ke 3 (penyedia jasa kalibrasi), jadi kami melakukan verifikasi (3 thermomether ke dalam chiller yang sama)...”
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara, dapat disimpulkan bahwa tindakan UPT Farmasi dengan tidak melakukan kalibrasi pada thermomether yang digunakan masih belum sesuai dengan ketentuan di dalam CDOB tahun 2012 maupun CDC.
3. Penanganan Jika Listrik Padam
Tempat penyimpanan vaksin di UPT Farmasi telah dilengkapi dengan generator manual (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Keberadaan generator berfungsi sebagai back-up apabila terjadi listrik padam, karena vaksin tidak boleh dibiarkan di dalam unit yang nonfunctioning untuk jangka waktu yang lama(29). Selama terjadi pemadaman listrik, maka sebaiknya jangan membuka pintu unit penyimpanan sampai listrik hidup kembali atau dapat menempatkan vaksin ke dalam dalam wadah penyimpanan alternative(29). Pernyataan terkait keberadaan generator diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“....Genset yang kami miliki masih maual, tapi itu sudah cukup untuk mengatasi jika terjadi listrik padam...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait kepemilikan genset yaitu :
“...kami memiliki genset yang kami jaga 24 jam untuk sebagai back up ruangan vaksin keika listrik padam....”
Petugas pengelola vaksin melakukan perawatan genset secara berkala sehingga belum pernah ditemukan masalah terkait kerusakan genset atau genset yang tidak berfungsi. Checklist terkait belum pernah terjadi genset tidak berfungsi dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.8. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...selama ini belum pernah ada kejadian genset rusak atau tidak berfungsi, karena kami melakukan perawatan secara berkala dan dianggaran kami ada anggaran untuk genset maupun untuk pengadaan bahan bakar...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait belum pernahnya terjadi genset rusak :
“...selama ini belum pernah terjadi genset rusak...”
Jika terdapat kemungkinan terjadi listrik padam, Icelined Refrigerator tipe MK-204 akan tetap dapat mempertahankan kisaran suhu antara 2⁰C hingga 8⁰C dengan catatan bahwa icelined refrigerator tersebut dalam keadaan tertutup. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...ketika terjadi pemadaman listrik, chiller kami (icelined tipe MK-204) akan tetap dapat mempertahankan suhunya selama 20 jam dalam keadaan pintu chiller tertutup. Tapi selama ini belum pernah terjadi listrik mati lebih dari 10 jam...”
Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Kepala UPT Farmasi yaitu:
“...chiller yang kami miliki dapat tetap mempertahankan suhu dinginnya selama 8 jam ketika terjadi listrik padam...”
Guideline penyimpanan vaksin “Keeping it cold 2013-2016” juga menyebutkan bahwa Icelined Refrigerator tipe MK-204 akan tetap dapat mempertahankan suhu antara 2⁰C hingga 8⁰C selama 30 jam ketika terjadi listrik padam(30).
4. Alat untuk Mempertahankan Suhu Penyimpanan dan Distribusi Vaksin
Suhu penyimpanan vaksin harus dapat dipertahankan sesuai dengan ketentuan dan sifat vaksin itu sendiri, sehingga nantinya kualitas vaksin tetap terjaga.
Untuk dapat mempertahankan suhu penyimpanan vaksin saat berada di unit penyimpanan maupun di dalam vaccine carrier saat distribusi, dapat digunakan cool pack maupun cold pack.
Cool pack merupakan alat yang dapat membantu mempertahankan suhu penyimpanan vaksin di dalam lemari es, dengan cara menempatkannya bersamaan dengan vaksin di dalam lemari es. Cold pack ditempatkan bersamaan dengan vaksin di dalam freezer dengan tujuan untuk membantu menstabilkan suhu dalam freezer(3). Unit Pelaksana Teknis Farmasi tidak memiliki cold pack, dan hanya memiliki cool pack. Checklist terkait alat untuk mempertahankan suhu penyimpanan dan distribusi vaksin dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.9.
Pernyataan tidak dimilikinya cold pack dikarenakan sebagian besar vaksin yang disimpan merupakan vaksin yang akan rusak bila terpapar suhu beku (termasuk
IPV). Vaksin BCG dan campak pun akan stabil pada penyimpanan yang tidak dibekukan. Terkait suhu penyimpanan vaksin BCG dan campak dapat dilihat pada bab 2, sehingga untuk dapat tetap menjamin mutu dan kualitas vaksin UPT Farmasi menempatkan cool-pack bersamaan dengan vaksin di dalam Ice Lined Refrigerator maupun pada vaccine carrier. Gambar hasil observasi terkait pernyataan tersebut dapat dilihat pada Lampiran 7.
5. Pemeliharaan pada Chiller Menurut PMK No.42 tahun 2013
Checklist terkait pemeliharaan harian pada chiller menurut PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.2 Pemeliharaan pada Chiller Menurut PMK No. 42 tahun 2013 Pemeliharaan Harian
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 1
Pengecekan suhu dilakukan dengan menggunakan termometer atau alat pemantau suhu digital secara teratur pada pagi dan sore (termasuk hari libur)
- - - -
2 Ketebalan bunga es diperiksa, jika ketebalan
bunga es lebih dari 0,5 cm lakukan defrosting - - - -
3
Pencatatan dilakukan segera (begitu selesai dilakukan pengecekan suhu pada termometer di
kartu pencatatan suhu setiap pagi dan sore) √ √ √ √ Pemeliharaan Mingguan
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 1 Steker diperiksa dan segera mengencangkan baut
apabila baut steker kendor - - - -
2
Pengamatan dilakukan terhadap kemungkinan terjadinya steker hangus (terjadi perubahan warna pada steker). Apabila hangus ganti steker dengan yang baru
- - - -
3
Steker dilepaskan dari stop kontak saat
membersihkan badan lemari es - - - -
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 4 Digunakan lap basah/ spon busa dengan sabun
pada saat membersihkan badan lemari es - - - - 5 Lap kering digunakan untuk mengeringkan
kembali badan lemari es - - - -
6 Pintu lemari es tidak dibuka selama
membersihkan badan lemari es - - - -
7 Mencolok kembali steker sesaat setelah selesai
membersihkan lemari es - - - -
Pemeliharaan Bulanan
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 1
Mengkondisikan cool pack, vaksin carrier atau cold box dan memindahkan vaksin ke dalamnya sehari sebelum melakukan pemeliharaan bulanan
- - - -
2
Steker dilepaskan dari stop kontak agar tidak terjadi koersleting saat melakukan pencairan bunga es
- - - -
3
Kerapatan pintu diperiksa dengan menggunakan selembar kertas, bila kertas sulit ditarik berarti karet pintu masih baik, sebaliknya bila kertas mudah ditarik berarti karet sudah sudah mengeras
- - - -
4
Steker diperiksa (jangan sampai kendor, bila kendor gunakan obeng untuk mengencangkan baut)
- - - -
5 Pintu lemari es tidak dibuka selama
membersihkan badan lemari es - - - -
6
Kondensor dibersihkan dengan menggunakan sikat lembut (hanya untuk lemari es model terbuka)
- - - -
7 Mencolokkan kembali steker sesaat setelah
selesai membersihkan lemari es - - - -
ket : Rep = replikasi
√ = sesuai dengan PMK No. 42 Tahun 2013 - = belum sesuai dengan PMK No. 42 Tahun 2013
Pemeliharaan fasilitas penyimpanan yang dilakukan oleh petugas pengelola vaksin UPT Farmasi belum tertuang dalam SOP (Standart Operating Prosedure) dan
hanya mengacu pada panduan yang diperoleh pada saat pelatihan yang diberikan oleh Dinkes DIY. Pemeliharaan harian pada chiller yang dilakukan oleh petugas pengelola vaksin UPT Farmasi meliputi pengecekan suhu dan pembersihan bagian dalam pada chiller. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin terkait pemeliharaan harian yang dilakukan yaitu :
“...pemeliharaan harian yang rutin dilakukan adalah pemeriksaan suhu dan pembersihan bagian dalam chiller. Belum ada SOP dan waktu secara pasti terkait pemeliharaan harian yang dilakukan dan hanya berdasarkan pemantauan berkala saja, misalnya pada saat mengambil vaksin atau ketika membuka refrigerator ternyata berembun, suhu refrigerator yang berada di luar range, pintu refrigerator yang tidak dapat ditutup rapat, baru dilakukan follow up dengan cara koordinasi dengan Dinkes Provinsi atau menggunakan anggaran pemeliharaan alat yang dimiliki oleh Dinkes Kota...”
Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Ketua UPT Farmasi terkait pemeliharaan harian yang dilakukan yaitu :
“...hanya pemeliharaan harian, seperti monitoring suhu dengan kartu monitoring yang ada di masing-masing refrigerator. Dicek suhunya berapa, masih masuk range atau tidak, kalau sudah diluar range maka akan dipindahkan ke chiller yang normal...”
Penjelasan terkait pengecekan/pemeriksaan suhu sama dengan yang tercantum pada fasilitas penyimpanan vaksin pada pembahasan sebelumnya sedangkan untuk kegiatan defrosting, petugas pengelola vaksin belum pernah melakukan pencairan bunga es pada icelined refrigerator yang dimiliki. Mereka berpendapat bahwa selama ini icelined tipe MK-204 yang dimiliki tidak dapat membentuk bunga es. Hasil yang sama juga ditunjukkan bahwa selama pengamatan berlangsung tidak terbentuk bunga es pada icelined tersebut. Berikut adalah keterangan dari petugas pengelola vaksin terkait dengan belum pernah dilakukannya kegiatan defrost yang menyebutkan bahwa :
“...kami belum pernah melakukan sistem defrost. Karena sepertinya tidak pernah ada bunga es di dalam kotak pendingin vaksin atau memang model chiller yang dimiliki sepertinya tidak dapat membentuk bunga es...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait defrosting yaitu :
“...kurang paham mengenai hal itu karena belum pernah check. Sepertinya tidak pernah ada bunga es di dalam kotak pendingin vaksin kami...”
Dikarenakan icelined refrigerator tipe MK-204 yang dimiliki Dinkes Kota Yogyakarta tidak pernah membentuk bunga es, sehingga pertanyaan checklist terkait defrosting tidak dapat diamati dalam penelitian ini. Checklist terkait sistem defrost terdapat pada lampiran 3 tabel 4.10.
Jika petugas pengelola vaksin pernah melakukan kegiatan pemeliharaan harian pada chiller, berbeda dengan pemeliharaan mingguan dan pemeliharaan bulanan yang belum pernah dilakukan sehingga tidak dapat diamati dalam penelitian ini. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola yang menyatakan bahwa :
“...hanya pemeliharaan harianlah yang rutin dilakukan, seperti pemeriksaan suhu dan pembersihan bagian dalam chiller, sedangkan untuk pemeliharaan mingguan dan bulanan tidak dilakukan...”
Pernyataan yang serupa terkait belum pernah dilakukannya pemeliharaan mingguan dan bulanan juga disampaikan oleh petugas koordinator gudang UPT Farmasi yaitu :
“...kami belum pernah melakukan pemeliharaan mingguan maupun bulanan dan sebenarnya sudah ada yang ditunjuk sebagai penanggungjawab untuk pemeliharaan alat, namun belum berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan...”
Pernyataan lain disampaikan oleh Kepala UPT Farmasi yang menyatakan bahwa :
“...jika pemeliharaan harian sudah rutin dilakukan maka dimungkinkan baik itu mingguan dan juga bulanannya pun akan ikut terbaca...”
Berdasarkan pernyataan Kepala UPT Farmasi, terdapat ketidaksinkronan antara pemeliharaan harian yang telah dilakukan dengan pemeliharaan mingguan maupun pemeliharaan bulanan menurut PMK No. 42 tahun 2013. Pemeliharaan mingguan dan bulanan menurut PMK No. 42 tahun 2013 mencakup kegiatan pembersihan badan chiller dan pemeriksaan steker sedangkan pemeliharaan harian yang dilakukan oleh petugas pengelola vaksin adalah pembersihan bagian dalam chiller.
Pembersihan bagian dalam chiller tidak dilakukan secara rutin oleh petugas pengelola vaksin. Kegiatan pembersihan hanya dilakukan ketika pada bagian dalam chiller terdapat banyak air. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...Jadi biasanya hanya dilakukan pembersihan pada bagian dalam bawah apabila terdapat banyak air dengan cara dilap menggunakan kanebo...
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait dengan pembersihan bagian dalam chiller yaitu :
“...jika pada saat mengambil vaksin atau membuka chiller ternyata di dalamnya banyak air yang mengembun, ya..baru dibersihkan atau di lap...”
Dari ketiga pernyataan subjek penelitian terkait pemeliharaan mingguan dan pemeliharaan bulanan, UPT Farmasi lebih mengutamakan kegiatan pemeliharaan hariannya (pemantauan suhu dan pembersihan bagian dalam chiller). Pembersihan badan chiller bagi UPT Farmasi sebetulnya tidak harus dilakukan secara berkala, hal ini dikarenakan untuk badan icelined refrigerator tipe MK-204 terbuat dari baja galvanis yang bersifat anti karat.
Pemeriksaan steker dan stop kontak oleh petugas pengelola vaksin dilakukan hanya pada saat terdapat indikasi kerusakan saja. Hal ini dikarenakan adanya keterbatasan yang dimiliki oleh Dinkes Kota Yogyakarta. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yaitu :
“...untuk pemeriksaan steker dan stop kontak itu berkala saja tidak menjadwalkan mesti seminggu sekali atau sebulan sekali. Tetapi karena berbagai keterbatasan kami, sehingga kami hanya akan melakukan pemeriksaan itu pada saat ada indikasi kerusakan...”
Berikut adalah penjelasan yang serupa dari tenaga elektromedis terkait pemeriksaan steker yaitu :
“...kami tidak pernah menjadwalkan pemeriksaan steker dan stop kontak. Jika ada kerusakan baru kita perbaiki atau diganti dengan yang baru...”
Pemeriksaan steker dan stop kontak sebaiknya dilakukan secara berkala, karena dengan adanya pemeriksaan tersebut dapat memaksimalkan aliran arus listrik sehingga daya unit penyimpanan vaksin menjadi lebih optimal.
6. Pemeliharaan pada Chiller Menurut CDOB Tahun 2012
Checklist terkait pemeliharaan harian pada chiller menurut CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 4.3 Pemeliharaan pada Chiller Menurut CDOB tahun 2012 Pemeliharaan Harian
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4
1
Suhu chiller/cold room/freezer dimonitoring dan dicatat pada pagi, siang dan sore serta harus dievaluasi dan didokumentasikan. Jika terjadi penyimpangan maka ditindaklanjuti dan dicatat.
- - - -
2 Hindari kegiatan sering membuka dan menutup
chiller/cold room/freezer √ √ √ √
3
Jika suhu sudah stabil antara +2 s/d +8°C (pada chiller) atau -15 s/d - 25°C (pada freezer), maka posisi termostat jangan diubah
√ √ √ √
Pemeliharaan Mingguan
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 1 Dipastikan tidak ada bunga es pada chiller/cold
room/ freezer - - - -
2 Bagian luar chiller/cold room/freezer dibersihkan
untuk menghindari karat - - - -
3 Diperiksa sambungan listrik pada stop kontak,
dan dipastikan untuk tidak longgar - - - -
Pemeliharaan Bulanan
No Pertanyaan
Hasil Pengamatan Rep
1
Rep 2
Rep 3
Rep 4 1 Bagian dalam chiller / cold room / freezer
dibersihkan - - - -
2 Kerapatan karet pintu diperiksa - - - -
3 Diperiksa engsel pintu, jika perlu beri pelumas - - - -
4 Karet pintu dibersihkan - - - -
5 Pengecekan chiller/cold room/freezer dilakukan
secara berkala oleh teknisi yang kompeten - - - -
ket : Rep = replikasi
√ = sesuai dengan CDOB Tahun 2012 - = belum sesuai dengan CDOB Tahun 2012
Penjelasan terkait dengan pengecekan suhu sama dengan yang tercantum pada fasilitas penyimpanan vaksin pada pembahasan sebelumnya. Namun jika dibandingkan pengecekan suhu yang terdapat dalam CDOB, UPT Farmasi dapat dikatakan belum sesuai. Hal ini dikarenakan petugas pengelola vaksin melakukan pengecekan suhu hanya dua kali sehari yaitu pagi dan sore hari, sedangkan di dalam CDOB tahun 2012 disarankan pengecekan suhu dilakukan tiga kali sehari yaitu pagi, siang dan sore.
Petugas pengelola vaksin telah menerapkan ketentuan untuk membatasi aktivitas pergerakan pintu chiller, dengan tujuan agar suhu penyimpanan vaksin tetap terjaga. Pintu chiller hanya dapat dibuka pada keadaan yang dibutuhkan saja.
Ketentuan ini telah sesuai dengan pedoman CDOB Tahun 2012 dan CDC. Centers for Disease Control and Prevention (CDC) menjelaskan bahwa apabila membuka chiller terlalu lama maka akan dapat mempengaruhi suhu di dalam chiller. Pintu chiller yang terbuka terlalu lama juga dapat memperbesar keterpaparan vaksin terhadap cahaya sehingga dapat mengurangi potensi yang dimiliki oleh vaksin tersebut(4). Selain menerapkan ketentuan pembatasan aktifitas pergerakan pintu chiller, petugas pengelola vaksin juga menerapkan untuk tidak memutar termostat secara sembarangan. Hal ini dikarenakan jika kita memutar termostat ketika suhu sudah stabil maka akan dapat merubah suhu internal chiller dan dapat mempengaruhi mutu vaksin. Termostat hanya dapat diputar jika terjadi penyimpangan suhu pada chiller saja. Penjelasan terkait pemeliharaan mingguan dan pemeliharaan bulanan sama dengan yang tercantum pada pembahasan pemeliharaan pada chiller menurut PMK No. 42 tahun 2013.
Terkait dengan pengecekan kondisi chiller, petugas pengelola vaksin tidak melakukannya secara rutin. Pengecekan dilakukan apabila terdapat indikasi kerusakan saja. Jika terdapat indikasi kerusakan, maka akan dilakukan follow up, yaitu dengan melaporkan kejadian kerusakan kepada Dinkes DIY atau mengganti chiller menggunakan angggaran pemeliharaan alat yang dimiliki Dinkes Kota Yogyakarta. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“..pengecekan dilakukan ketika ada indikasi kerusakan/perubahan suhu pada chiller (misalnya, suhu berada diluar range atau chiller yang tidak tertutup rapat), kemudian dilakukan follow-up dengan cara lapor ke Dinkes Provinsi atau
mengganti chiller yang baru menggunakan angggaran pemeliharaan alat yang dimiliki oleh Dinkes Kota...”
Penjelasan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait dengan pengecekan kondisi chiller adalah sebagai berikut :
“...tidak ditentukan kapan pastinya pengecekan chiller dilakukan, tapi begitu tahu terjadi penyimpangan suhu di dalam chiller, maka langsung diatur thermostatnya...”
Proses pengecekan chiller di UPT Farmasi dilakukan oleh petugas pengelola vaksin yang telah mendapatkan pelatihan mengenai pemeliharaan alat setiap tahunnya oleh Dinkes Provinsi. Tindakan pengecekan chiller oleh UPT Farmasi ini belum sesuai dengan ketentuan CDOB tahun 2012, hal ini dikarenakan di dalam CDOB tahun 2012 disebutkan bahwa perlu dilakukan adanya pengecekan secara berkala terhadap chiller oleh teknisi yang kompeten. Pengecekan chiller dilakukan dengan tujuan untuk memastikan kondisi unit penyimpanan vaksin tetap dalam keadaan yang baik.
7. Kualifikasi Chiller
Checklist kesesuaian kualifikasi chiller di UPT Farmasi dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 3 tabel 4.11. Petugas pengelola vaksin melakukan kualifikasi chiller hanya pada saat awal penggunaan, yaitu kualifikasi desain. Kualifikasi desain merupakan kualifikasi yang dilakukan pada saat awal penggunaan terhadap fasilitas, sistem atau peralatan yang baru(28). Kegiatan kualifikasi apabila chiller mengalami perubahan kondisi, UPT Farmasi belum melakukannya. Ketentuan ini dikarenakan belum adanya pedoman terkait kualifikasi chiller dan sebagai solusinya lebih memilih untuk membeli chiller yang baru menggunakan anggaran pemeliharaan alat yang dimiliki oleh Dinkes Kota Yogyakarta. Pernyataan tersebut diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa:
“...pada saat awal penggunaan chiller tentu kami melakukan kualifikasi. Namun jika terjadi indikasi kerusakan, kami belum melakukan kualifikasi. Jika ada indikasi kerusakan atau terjadi penyimpangan suhu pada chiller maka akan dilakukan follow-up dengan cara lapor ke Dinkes Provinsi atau mengganti chiller yang baru menggunakan angggaran pemeliharaan alat yang dimiliki oleh Dinkes Kota...”
Pernyataan serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait dengan kualifikasi chiller yaitu :
“...tidak ada khusus seperti itu. Kalau kualifikasi chiller terkait tentang spesifiksi ya pasti ada...”
Pedoman CDOB tahun 2012 menjelaskan bahwa jika peralatan unit penyimpanan mengalami perubahan yang signifikan maka harus dilakukan kualifikasi ulang(17). Kulifikasi dilakukan dengan agar sesuai dengan tujuan penggunaannya(28).
4.2.3 Manajemen Cold Chain
Lima hal penting dari sistem manajemen logistik Rantai Dingin Vaksin yang efisien yaitu(1):
1) Tepat Bahan, yaitu mampu mengelola vaksin, jarum suntik, dan bahan lainnya sehingga vaksin yang diterima masyarakat memiliki kualitas yang baik.
2) Tepat Jumlah, yaitu melakukan perencanaan yang tepat sehingga mendapatkan vaksin yang sesuai dengan kebutuhan.
3) Memiliki kualitas yang baik, yaitu dengan melakukan berbagai upaya seperti pemantauan tanggal kadaluarsa dan pemantauan VVM (Vaccine Vial Monitor).
Sehingga dapat meminimalkan kemungkinan terjadinya vaksin yang kadaluwarsa maupun vaksin yang rusak.
4) Memiliki tempat penyimpanan yang baik, yaitu tempat yang mampu menjaga kualitas vaksin serta dapat diakses oleh semua penerima vaksin.
5) Tepat waktu, yaitu vaksin diterima pada waktu yang tepat oleh penerima vaksin maupun penyedia layanan vaksin, sehingga nantinya dapat diberikan secara tepat sehungga memberikan kekebalan pada sistem imun tubuh secara optimal.
Kelima hal penting sistem manajemen logistik rantai dingin vaksin tersebut akan tercipta dengan baik maka apabila memiliki tindakan yang benar mulai dari perencanaan yang tepat dan matang, pengadaan yang baik, penyimpanan yang sesuai serta distribusi yang memenuhi ketentuan dan persyaratan yang berlaku(1). Tahapan pengelolaan vaksin adalah sebagai berikut:
1. Perencanaan Vaksin
Perencanaan kebutuhan vaksin di UPT Farmasi dilakukan secara tahunan oleh pengelola program yang ada di sesi P2PL (Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan). Perencanaan dilakukan dengan cara melakukan koordinasi
antara sesi P2PL Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta dengan sesi P2PL Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Unit Pelaksana Teknis Farmasi tidak melakukan perencanaan kebutuhan vaksin melainkan lebih ke pemenuhan kecukupan atau ketersediaan.
2. Pengadaan Vaksin
Pengadaan vaksin di UPT Farmasi dilakukan melalui Dinas Kesehatan Provinsi DIY. Ketentuan ini dikarenakan vaksin merupakan program imunisasi dasar dimana untuk pemenuhan dan biaya pengadaannya sepenuhnya dilakukan oleh Kementerian Kesehatan Pusat. Pemenuhan vaksin tersebut dilakukan dengan cara pendistribusian secara berjenjang ke daerah-daerah, yaitu mulai dari :
Gambar 4.1 Alur Distribusi Vaksin 3. Penerimaan Vaksin
Proses penerimaan bertujuan untuk memastikan bahwa vaksin yang diterima sesuai, berasal dari institusi yang disetujui, tidak rusak dan tidak mengalami perubahan selama transportasi(17). Beberapa prosedur yang diterapkan dalam penerimaan vaksin dari Dinkes DIY oleh petugas pengelola vaksin telah sesuai dengan pedoman CDOB Tahun 2012. Checklist kesesuaian penerimaan vaksin dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 4 tabel 4.12.
Prosedur penerimaan vaksin dilakukan dengan pencocokan antara kondisi fisik vaksin dengan Berita Acara Serah Terima Barang. Pengecekan meliputi nama institusi yang dituju, jenis vaksin, satuan, dan jumlah vaksin. Pengecekan nomor batch nantinya digunakan untuk merekap vaksin di dalam kartu batch, sedangkan pemeriksaan tanggal kadaluarsa nantinya akan digunakan sebagai patokan letak penempatan vaksin di dalam chiller. Kondisi alat pemantau suhu juga akan diperiksa, namun selama ini hanya sebatas dilihat saja dan belum dilakukan pencatatan.
Pemeriksaan kondisi alat pementau suhu dilakukan untuk mengetahui secara dini jika
terjadi penyimpangan suhu selama distribusi vaksin. Pada saat proses penerimaan, jika vaksin dengan kondisi VVM-nya pada posisi C atau D maka tidak akan diterima dan akan langsung dikembalikan ke Dinkes DIY dan dicoret dari Berita Acara Serah Terima Barang. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyebutkan bahwa :
“...kalau VVM vaksin berada pada kondisi kelas C atau kelas D tentu saja tidak kami terima, karena untuk kondisi VVM kelas C saja sudah tidak bisa dipakai apalagi untuk kondisi kelas D. Jadi pada waktu serah terima (entah itu mengambil di Dinkes Provinsi atau mereka mengantar kesini)...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait penerimaan vaksin yaitu :
“...jika kondisi VVM-nya sudah tidak memenuhi syarat, ya..kami tidak akan terima. langsung ditolak dan dicoret dari Berita Acara. Namun selama saya mengelola vaksin, belum pernah mendapat kiriman/ mengambil vaksin yang VVM- nya tidak memenuhi syarat...”
Kedua pernyataan diatas telah sesuai dengan WHO dan PMK No.42 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa(31)(16):
a) Jika warna persegi yang di dalam cocok dengan warna lingkaran yang diluar (VVM kelas C), maka jangan gunakan vaksin (dapat dilihat gambar 4.2)
b) Jika warna persegi yang di dalam lebih gelap daripada warna lingkaran yang diluar (VVM kelas D), maka jangan gunakan vaksin (dapat dilihat gambar 4.2).
Gambar 4.2 Vaccine Vial Monitoring kelas C dan kelas D(16)
Penandatanganan Berita Acara Serah Terima Barang oleh petugas pengelola vaksin akan dilakukan ketika vaksin yang diterima dinyatakan telah sesuai dan segera memasukkan vaksin tersebut ke dalam chiller pada suhu +2°C hingga +8°C, dengan tujuan untuk tetap dapat menjamin mutu vaksin itu sendiri.
4. Penyimpanan Vaksin
Unit Pelaksana Teknis Farmasi memiliki ruangan tersendiri untuk menyimpan vaksin. Ruangan vaksin dilengkapi dengan pintu yang dapat dikunci dan AC yang diatur dengan suhu kamar. Penyimpanan vaksin dilakukan di dalam Icelined refrigerator tipe MK-204. Bentuk Ice Lined Refrigerator tipe MK-204 dapat dilihat pada lampiran 7.
Ice Lined Refrigerator tipe MK-204 merupakan refrigerator terstandar yang telah di approved oleh WHO dengan kode PQS (Performance, Quality and Safety) E003/011. Ice Lined Refrigerator merupakan freezer yang dimodifikasi menjadi lemari es dengan suhu bagian dalam +2⁰C hingga +8⁰C. Ice Lined Refrigerator tipe MK-204 memiliki daya tampung mencapai 75 L dan 5 keranjang di dalamnya yang memungkinkan untuk dapat menyimpan vaksin lebih terorganisir(30).
Unit Pelaksana Teknis Farmasi menerapkan beberapa hal terkait penataan vaksin di dalam Ice Lined Refrigerator tipe MK-204 yaitu:
a. Menurut kaidah FEFO (First Expired First Out) dan mempertimbangkan keadaan VVM (Vaccine Vial Monitoring). Vaksin yang memiliki tanggal kadaluarsa lebih awal atau kondisi VVM yang lebih rendah akan diletakkan diurutan paling atas.
b. Berdasarkan sensitifitasnya terhadap suhu. Vaksin yang sifatnya tidak stabil pada suhu panas akan diletakkan dipinggir, hal ini dikarenakan evaporator dan ice line yang dimiliki Icelined MK-204 berada di pinggir. Vaksin yang sifatnya tidak stabil pada suhu beku akan diletakkan di tengah.
Vaksin harus disimpan pada suhu yang telah ditetapkan, agar nantinya kualitas dan mutu vaksin dapat tetap terjaga. Unit penyimpanan vaksin yang dimiliki oleh UPT Farmasi hanyalah Ice Lined Refrigerator tipe MK-204 dan tidak memiliki freezer, hal ini dikarenakan UPT Farmasi tidak memiliki oral polio vaccine (OPV).
Vaksin polio yang disimpan adalah IPV (Inactivated Polio Vaccine) sehingga checklist terkait vaksin OPV tidak dapat diamati dalam penelitian ini. Provinsi DIY telah menjadi pilot project IPV. Surat Edaran Menteri Kesehatan No.
PM.01.02/Menkes/530/2015 tentang dukungan dalam kegiatan Eradikasi Polio Nasional dan Cras Program Campak tahun 2016, menyebutkan bahwa provinsi DIY telah melakukan pengenalan (introduksi) untuk beralih dari penggunaan OPV ke
penggunaan IPV sejak bulan September 2007. Pernyataan tersebut diperkuat oleh petugas pengelola vaksin yaitu :
“...karena vaksin polio yang beredar adalah vaksin polio jenis IPV. Berdasarkan kebijakan dari Pemerintah Pusat, dimana Pemerintah Pusat akan melakukan transisi dari vaksin polio jenis OPV ke vaksin polio jenis IPV. Dan sebagai tahap awalnya, salah satunya diuji cobakan di provinsi DIY...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait tidak dimilikinya vaksin jenis OPV yaitu :
“...karena tidak punya vaksin polio OPV, kami punyanya IPV. DIY itu menjadi pilot project IPV, dimana tingkat efisiensi vaksin polio jenis IPV lebih baik dibandingkan dengan vaksin polio jenis OPV ...”
Terkait penyimpanan vaksin IPV, disebutkan di dalam CDC bahwa inactivated vaccine akan rusak apabila terpapar suhu beku(32). Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun 2013 juga menyebutkan bahwa untuk vaksin yang sensitif terhadap suhu beku penyimpanannya dilakukan pada rentang suhu 2⁰C hingga 8⁰C(16). Berbeda dengan penyimpanan OPV, Inactivated Polio Vaccine (IPV) penyimpanannya dilakukan di dalam lemari es dengan suhu 2⁰C hingga 8⁰C.
Selain vaksin IPV, UPT Farmasi juga menyimpan vaksin BCG, campak, DPT-HB-HIB, Td, Hep B Uniject, dan TT. Vaksin BCG dan campak memiliki sifat stabil pada suhu 2⁰C hingga 8⁰C, sedangkan vaksin DPT-HB-HIB, Td, Hep B Uniject, dan TT tidak boleh disimpan pada suhu beku karena dapat menyebabkan terbentuknya partikel di dalam vial. Sehingga penyimpanan untuk vaksin-vaksin tersebut dilakukan di dalam lemari es dengan suhu 2⁰C hingga 8⁰C dan ketentuan ini telah sesuai dengan PMK No. 42 tahun 2013. Checklist kesesuaian penyimpanan vaksin dengan PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 5 tabel 4.13.
Petugas pengelola vaksin menempatkan vaksin BCG, campak, DPT-HB- HIB, DT, Hep B Uniject, IPV, dan TT yang sifatnya stabil pada suhu +2°C hingga +8°C tersebut jauh dari evaporator (berada di bagian tengah icelined). Ketentuan ini dikarenakan evaporator yang dimiliki oleh icelined tipe MK-204 berada di bagian pinggir. Checklist kesesuaian penyimpanan vaksin dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 5 tabel 4.14. Pedoman CDOB Tahun 2012 juga menjelaskan bahwa sebaiknya menempatkan vaksin yang peka terhadap pembekuan jauh dari
evaporator. Evaporator merupakan alat yang akan menyerap hawa panas dan kemudian mengeluarkannya dalam bentuk udara dingin.
Bagian dalam icelined tipe MK-204 terdapat 5 keranjang, yang memungkinkan untuk menyimpan vaksin lebih terorganisir. Petugas pengelola vaksin menerapkan dalam satu keranjang untuk satu jenis vaksin. Jarak penataan vaksin antara keranjang satu dengan keranjang lain (berbeda jenis vaksin), kira-kira lebih dari 1 cm (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Tujuan penyimpanan vaksin diberi jarak adalah supaya sirkulasi udara merata di setiap sisinya, mencegah kelembaban yang berlebihan serta untuk mempermudah pengambilan vaksin(17).
Icelined tipe MK-204 yang ditempatkan di ruangan khusus vaksin memiliki sedikit jarak dengan dinding ruangan. Jarak icelined dengan dinding ruangan lebih dari 15 cm. Menurut CDOB tahun 2012, ketentuan ini dilakukan dengan tujuan agar panas yang ditimbulkan akibat kerja mesin chiller dapat tersebar dengan cepat serta mempermudah dalam membuka pintu icelined(17).
Penyimpanan untuk pelarut BCG dan campak, petugas pengelola vaksin telah menempatkannya pada suhu kamar dan terlindung dari paparan sinar matahari.
Hal ini dikarenakan pelarut untuk setiap vaksin tidak boleh dibekukan(14)(23). a. Keterpaparan Vaksin Terhadap Panas
Salah satu sifat vaksin adalah rentan terhadap panas. Parameter vaksin terhadap paparan panas adalah dengan VVM (Vaccine Vial Monitoring). Vaccine Vial Monitoring merupakan alat yang dapat menunjukkan apakah vaksin tersebut telah terpapar panas yang berlebih selama distribusi dan penyimpanan ataukah ada kemungkinan vaksin tersebut telah rusak(24). Checklist kesesuaian tindakan petugas pengelola vaksin apabila vaksin mendapatkan paparan panas yang berlebih dengan PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 5 tabel 4.15.
Vaksin yang telah mengalami perubahan kondisi VVM menjadi kelas B akan dikeluarkan terlebih dahulu oleh petugas pengelola vaksin. Peraturan Menteri Kesehatan No. 42 Tahun 2013 menjelaskan bahwa vaksin dengan VVM kelas B masih dapat digunakan selama itu belum melewati tanggal kadaluwarsa. Berikut adalah hasil wawancara dengan petugas pengelola vaksin yaitu :
“...jika perubahan kondisi VVM-nya dari kelas A ke kelas B maka tidak masalah karena masih bisa dipakai dengan catatan tanggal ED-nya masih lama...”
Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh Kepala UPT Farmasi yaitu:
“...jika kondisi VVM-nya sudah berubah misalnya dari kelas A menjadi kelas B maka akan kami keluarkan terlebih dahulu walaupun batas kadaluarsanya masih lama. Tapi sampai saat ini belum pernah ada vaksin dengan VVM bermasalah...”
Kedua pernyataan tersebut telah sesuai dengan ketentuan dari WHO dan PMK No.42 tahun 2013 yang menyebutkan bahwa jika warna persegi yang di dalam masih cukup terang daripada warna lingkaran yang diluar dan belum melewati tanggal kadaluwarsa (VVM kelas B), maka gunakan vaksin (dapat dilihat pada gambar 4.3)(31)(16).
Gambar 4.3 Vaccine Vial Monitoring kelas B(16) b. Monitoring Fisik Vaksin
Monitoring administrasi dan fisik vaksin dilakukan dengan tujuan untuk mencegah terjadinya hilangnya vaksin. Petugas pengelola vaksin melakukan stock opname secara berkala setiap akhir bulan. Checklist kesesuaian monitoring vaksin UPT Farmasi dengan PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 5 tabel 4.16. Stock opname dilakukan dengan cara melakukan pencocokan antara penghitungan fisik vaksin secara langsung dengan kartu batch vaksin. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola vaksin yaitu :
“...setiap akhir bulan yang kami lakukan hanya stock opname, yaitu perhitungan fisik kemudian dicocokkan dengan jumlah yang ada di kartu batch (dicatatannya)...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan dari Kepala UPT Farmasi terkait dengan monitoring administrasi dan fisik vaksin adalah sebagai berikut :
“...dilakukan monitoring administrasi dan fisik vaksin setiap akhir bulan...”
Stock opname dilakukan untuk membuat laporan bulanan Dinkes Kota Yogyakarta ke Dinkes DIY. Laporan bulanan berisikan jumlah stok awal, banyaknya penerimaan, banyaknya pemakaian, jumlah stok akhir, dan banyaknya permintaan.
Jumlah stok akhir yang terdapat dalam laporan bulanan, diperoleh dari pencocokan jumlah vaksin dari kartu batch dengan jumlah fisik vaksin yang ada.
5. Distribusi Vaksin ke Puskesmas
Distribusi vaksin merupakan suatu rangkaian kegiatan dalam rangka menyalurkan vaksin dari tempat penyimpanan sampai ke unit pelayanan dengan tetap menjamin mutu, stabilitas, jenis, jumlah, dan ketepatan waktu. Seluruh proses distribusi vaksin dari pusat sampai ketingkat pelayanan harus dilakukan sesuai dengan cara distribusi yang baik, antara lain meliputi aturan yang berkaitan dengan masalah pengiriman.
Unit Pelaksana Teknis melakukan distribusi vaksin berdasarkan Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Vaksin (LP-LPV) yang telah dibuat oleh masing- masing puskesmas dengan menggunakan metode konsumsi. Metode konsumsi merupakan metode yang didasarkan atas analisa data konsumsi vaksin tahun sebelumnya(33). Proses distribusi vaksin ke seluruh puskesmas yang ada di wilayah Kotamadya biasanya dilakukan oleh pihak UPT Farmasi.
Berikut adalah persiapan yang dilakukan oleh UPT Farmasi sebelum pendistribusian ke tiap-tiap puskesmas :
a. Menerima permintaan vaksin dalam bentuk LP-LPV.
b. Melakukan verifikasi permintaan vaksin dengan memperhatikan ketersediaan vaksin di gudang.
c. Melaporkan hasil verifikasi kepada kepala UPT untuk mendapatkan persetujuan.
d. Membuat Surat Perintah Pengeluaran Barang (SPPB) yang telah disetujui.
e. Mengambil vaksin sesuai dokemen serta perhatikan no batch dan tanggal kadaluarsanya.
f. Menyerahkan barang kepada petugas teknis kefarmasian untuk pemeriksaan dan pengepakan.
g. Membuat Berita Acara Serah Terima Barang setelah ada hasil verifikasi SPPB.
Setelah persiapan distribusi vaksin selesai dilakukan, maka vaksin dikarantina di dalam chiller dengan memberikan label nama puskesmas.
Berikut adalah prosedur kerja distribusi vaksin ke tiap-tiap puskesmas yang dilakukan oleh pihak UPT Farmasi :
a. Mengecek kelengkapan dokumen dan kesiapan transportasi.
b. Memasukkan vaccine carrier yang berisikan vaksin ke kendaraan transportasi roda empat tertutup.
c. Setelah sampai di puskesmas, vaksin langsung diturunkan sesuai dengan tempat penyimpanan vaksin di puskesmas tersebut.
d. Mengecek dan menyerahkan vaksin kepada pihak penerima yang ada di tempat penyimpanan tersebut.
e. Menandatangani Berita Acara Serah Terima Barang dan LP-LPV antara petugas distribusi dan pihak penerima.
f. Melaporkan Berita Acara dan form evaluasi distribusi kepada koordinator gudang.
Vaksin yang akan didistribusikan oleh Dinkes Kota Yogyakarta merupakan permintaan resmi dari pihak puskesmas dengan mempertimbangkan stok maksimum penyimpanan vaksin yang ada di puskesmas tersebut. Pernyataan ini dapat dibuktikan dalam Laporan Pemakaian dan Lembar Permintaan Vaksin (LP-LPV) dari tiap puskesmas yang memuat tentang adanya jumlah stok maksimum vaksin dan jumlah permintaan vaksin kepada UPT Farmasi. Adanya jumlah stok maksimum dalam LP- LPV tersebut menunjukkan bahwa permintaan vaksin akan mempertimbangkan stok maksimum penyimpanan vaksin yang ada di puskesmas dan jumlah permintaan vaksin tidak akan melebihi dari jumlah stok maksimumnya. Bentuk LP-LPV dapat dilihat pada lembar lampiran 18.
Proses distribusi vaksin ke puskesmas tergantung dari kondisi dan bagaimana kebutuhannya. Checklist kesesuaian pengiriman vaksin oleh UPT Farmasi dengan PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 4.17. Vaksin dapat diantar oleh pihak UPT Farmasi bersamaan dengan permintaan obat sesuai dengan jadwal distribusi yang telah ditetapkan oleh UPT Farmasi atau vaksin dapat diambil sendiri oleh pihak puskesmas apabila vaksin yang diminta bersifat CITO.
Pihak Puskesmas mengambil sendiri vaksin tersebut dikarenakan adanya keterbatasan tenaga kesehatan di UPT Farmasi. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari Kepala UPT Farmasi yang menyatakan bahwa :
“...untuk distribusi vaksin ke puskesmas itu tergantung dari kebutuhan. Yang pertama, bisa diantar oleh Dinkes Kota bersamaan dengan permintaan obat (diantar oleh pihak Dinkes Kota sesuai jadwal). Yang kedua, misalnya vaksin haji yang biasanya di luar pengiriman reguler, maka akan dikirimkan oleh pihak
Dinkes Kota (diantar oleh pihak Dinkes Kota sewaktu-waktu). Yang ketiga, kalau kebutuhan vaksinnya CITO atau mendesak maka biasanya akan diambil sendiri oleh pihak puskesmas, hal ini dikarenakan adanya keterbatasan tenaga dari pihak kami...”
Pernyataan yang serupa juga disampaikan oleh petugas pengelola vaksin terkait distribusi vaksin yaitu :
“...ya..kami yang mengantarkan vaksin ke tiap tiap puskesmas, namun adakalanya vaksin diambil sendiri oleh pihak puskesmas (yaitu saat vaksin CITO)...”
Pernyataan kedua subjek penelitian di atas telah sesuai dengan ketentuan didalam PMK No. 42 tahun 2013 tentang penyelenggaraan imunisasi yang menyebutkan bahwa distribusi vaksin di tingkat kabupaten/kota ke puskesmas dapat diantar oleh pihak Dinkes kabupaten/kota atau diambil sendiri oleh puskesmas dengan syarat dapat mempertahankan kualitas vaksin tetap tinggi selama distribusi sehingga mampu memberikan kekebalan yang optimal kepada sasaran.
Vaksin yang akan didistribusikan oleh Dinkes Kota Yogyakarta merupakan vaksin yang memiliki tanggal kadaluarsa paling dekat atau vaksin dengan kondisi VVM kelas B. Checklist kesesuaian pengiriman vaksin oleh UPT Farmasi dengan CDOB tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 4.18. Vaksin dengan kondisi VVM kelas B masih dapat digunakan sebelum melewati tanggal kadaluwarsanya, sedangkan untuk vaksin dengan kondisi VVM kelas C atau D tidak akan didstribusikan karena sudah tidak dapat digunakan lagi. Pernyataan ini diperkuat dengan adanya keterangan dari petugas pengelola yaitu :
“...vaksin yang kami keluarkan berdasarkan FEFO dan juga keadaan VVM-nya.
Apabila ada vaksin yang memiliki tanggal kadaluarsanya masih lama tetapi kelas VVM-nya sudah berubah (dari VVM kelas A ke VVM kelas B) maka pasti akan dikeluarkan terlebih dahulu. Jika VVM-nya sudah tidak bagus (VVM kelas C maupun kelas D) ya kita tidak akan kirimkan.
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait dengan vaksin yang akan didistribusikan yaitu :
“...Kami lebih memprioritaskan FEFO, tapi bisa saja kan vaksin yang masuk belakangan tapi punya ED duluan, ya kita akan keluarkan lebih dulu. Tapi sejauh ini antara vaksin masuk dengan tanggal kadaluarsanya itu selalu sinkron. Jadi vaksin yang masuk lebih dulu ya tanggal kadaluarsanya pasti juga lebih awal, sehingga akan dikeluarkan lebih dulu...”
Pernyataan diatas telah sesuai dengan pedoman CDOB tahun 2012 yang menyebutkan bahwa vaksin yang tanggal kedaluarsanya lebih pendek harus lebih dahulu dikeluarkan atau posisi VVM vaksin yang menunjukkan warna lebih gelap harus dikeluarkan terlebih dahulu walaupun tanggal kedaluarsanya masih panjang.
Proses distribusi vaksin dapat dilakukan dengan menggunakan cold box maupun vaccine carrier (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Petugas pengelola vaksin telah menggunakan cold box dan vaccine carrier sesuai dengan ketentuan standar PMK No. 42 Tahun 2013. Checklist kesesuaian alat pembawa vaksin oleh UPT Farmasi dengan PMK No. 42 tahun 2013 dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 4.19. Pengiriman vaksin ke seluruh puskesmas yang ada di wilayah Kotamadya telah menggunakan vaccine carrier yang di approved oleh WHO dengan nomor referensi PIS E4/90-M.
Petugas pengelola vaksin menggunakan cold box untuk membawa vaksin dari Dinkes DIY untuk sampai ke UPT Farmasi. Pernyataan ini dikarenakan jumlah permintaan vaksin ke Dinkes DIY biasanya dalam jumlah yang besar, yaitu untuk memenuhi kebutuhan vaksin selama satu bulan bagi 18 puskesmas di wilayah Kotamadya. Pedoman PMK No. 42 tahun 2013 juga menyebutkan bahwa cold box pada umumnya memiliki volume yang besar yaitu 40 liter hingga 70 liter.
Berbeda dengan cold box, vaccine carrier digunakan oleh petugas pengelola vaksin untuk mengirimkan vaksin ke tiap-tiap puskesmas yang ada di wilayah Kotamadya. Pernyataan ini dikarenakan vaksin yang diminta oleh tiap-tiap puskesmas biasanya dalam jumlah yang kecil dan akan lebih mudah untuk membawanya apabila menggunakan vaccine carrier.
Petugas pengelola vaksin menyiapkan vaksin yang akan didistribusikan sesuai dengan jenis dan jumlah yang tercantum dalam Berita Acara Serah Terima Barang. Setelah proses penyiapan selesai dilakukan, tahapan selanjutnya adalah menata vaksin ke dalam vaccine carrier. Dari hasil observasi selama penelitian dilakukan, diketahui bahwa penataan antara vaksin dengan cool-pack di dalam vaccine carrier tidak bersentuhan secara langsung (gambar dapat dilihat pada Lampiran 7). Hal ini dikarenakan petugas pengelola vaksin membungkus vaksin ke dalam kemasan sekundernya (kotak karton) atau ke dalam plastik (jika permintaannya per vial). Checklist kesesuaian terkait kontrol suhu distribusi vaksin dengan CDOB
tahun 2012 dapat dilihat pada lampiran 6 tabel 4.20. Vaksin yang besentuhan dengan cool-pack secara langsung dapat menyebabkan label vaksin mungkin akan terlepas dari vial karena embunan air yang berasal dari cool-pack(34).
Penggunaan cool pack di UPT Farmasi belum dilakukan pengontrolan terkait penggunaan seperti yang tercantum dalam pedoman CDOB tahun 2012.
Pernyataan ini dikarenakan UPT Farmasi tidak memiliki sistem maupun kebijakan khusus untuk mengontrol penggunaan ulang cool-pack. Berikut adalah keterangan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...tidak ada pengontrolan penggunaan ulang cool pack, sehingga selama cool pack tersebut tidak bocor maka cool pack akan tetap digunakan...”
Pernyataan yang serupa juga diberikan oleh Kepala UPT Farmasi terkait pengontrolan penggunaan cool-pack yaitu :
“...selama cool-pack masih bisa mendinginkan, akan tetap masih di pakai...”
Pengontrolan penggunaan (penggantian) cool-pack setiap kali distribusi bertujuan supaya cool-pack yang digunakan itu selalu berada dalam keadaan dingin.
Dalam proses distribusi, petugas pengelola vaksin belum pernah melakukan validasi terhadap sistem kontrol suhu maupun kalibrasi pada alat pemantau suhu yang digunakan. Pernyataan ini dikarenakan Dinkes Kota Yogyakarta belum menemukan jasa penyedia kalibrasi untuk refrigerator thermometer. Penjelasan terkait tidak dilakukannya kalibrasi thermometer sama dengan yang tercantum pada pembahasan tentang fasilitas penyimpanan vaksin menurut CDOB tahun 2012.
4.3 Indikator Kualitas pengelolaan Vaksin di UPT Farmasi Dinas Kesehatan Kota Yogyakarta
Berikut adalah gambaran kualitas pengelolaan vaksin di UPT Farmasi dengan indikator prosentase vaksin kadaluarsa, prosentase kesesuaian suhu penyimpanan vaksin, dan prosentase rata-rata waktu kekosongan vaksin.
4.3.1 Prosentase Vaksin Kadaluarsa
Adanya vaksin kadaluarsa mencerminkan ketidaktepatan dalam proses penerimaan atau kurangnya pengamatan mutu dalam penyimpanan vaksin(27).
Berikut adalah tabel prosentase vaksin yang kadaluarsa di UPT Farmasi Dinkes Kota Yogyakarta dari bulan Januari 2016 – April 2016 :
Tabel 4.4 Prosentase Vaksin Kadaluarsa
No Nama Vaksin
Tanggal Kadaluarsa
Harga
@ vial Jumlah
Prosentase Vaksin Kadaluarsa
Total Nilai Kadaluarsa 1 IPV 02- 2016 Rp 259.000 59 vial 14.3% Rp 1.339.030 *)
Perhitungan vaksin kadaluarsa dapat dilihat pada lembar lampiran 13. UPT Farmasi Dinkes Kota Yogyakarta memiliki vaksin yang kadaluarsa jenis IPV sebanyak 59 vial dengan prosentase IPV yang kadaluarsa sebesar 14,3% atau dengan total nilai kadaluarsa sebesar Rp 1.339.030 selama peroide Januari 2016 – April 2016. Timbulnya vaksin yang kadaluarsa dikarenakan petugas pengelola vaksin yang tidak dapat mengendalikan sepenuhnya terhadap perencanaan dan pengadaan yang dilakukan oleh Kemenkes pusat, dimana nantinya vaksin akan didrop di kabupaten/kota. Batas pemakaian vaksin dari produsen yang tergolong pendek juga menjadi penyebab timbulnya vaksin kadaluarsa. Berikut adalah pernyataan dari petugas pengelola vaksin yang menyatakan bahwa :
“...terkait masalah stok ED kami tidak bisa mengendalikan sepenuhnya, karena perencanaan dan pengadaan yang ada di Kementerian Kesehatan pusat untuk memenuhi kebutuhan nasional. Dan di Kab/Kota hanya menerima dropping saja. Selain itu produk vaksin dari pabrikan yang juga memiliki ED pendek...”
4.3.2 Prosentase Kesesuaian Suhu Penyimpanan Vaksin
Kesesuaian suhu penyimpanan vaksin merupakan ketepatan suhu dalam menyimpan vaksin sesuai dengan ketentuan yang telah diberikan. Semakin besar prosentase kesesuaian penyimpanan vaksin menandakan bahwa semakin baiknya kualitas pengelolaan vaksin dan mutu vaksin itu sendiri(27). Berikut adalah tabel kesesuaian suhu penyimpanan vaksin di UPT Farmasi Dinkes Kota Yogyakarta dari bulan Januari 2016 – April 2016 :