• Tidak ada hasil yang ditemukan

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mentimun

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Mentimun"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Mentimun

Menurut Rukmana (1994), mentimun (Cucumis sativus L.) merupakan salah satu jenis sayuran dari famili Cucurbitaceae yang sudah populer di seluruh dunia. Maynard dan Maynard (2000) menyatakan bahwa Cucurbitaceae dapat ditemukan di sepanjang daratan Afrika tropis maupun subtropis, Asia tenggara, dan benua Amerika. Beberapa Cucurbitaceae dapat beradaptasi di daerah dengan kondisi lembab dan beberapa spesies yang lain ditemukan di daerah kering. Sebagian besar Cucurbitaceae tidak toleran terhadap suhu dingin sehingga membutuhkan daerah beriklim sedang atau daerah beriklim hangat untuk mendukung pertumbuhannya. Cucurbitaceae sebagian besar merupakan tanaman tahunan, berbentuk herba, dan tumbuhan merambat dengan sulur yang tegas.

Menurut Yamaguchi (1983) tanaman mentimun memiliki sistem perakaran yang dangkal, batang lunak dan berbulu kasar, daun berbentuk hati berlekuk tiga atau lima. Rukmana (1994) menambahkan bahwa mentimun termasuk tanaman semusim yang bersifat menjalar atau memanjat hingga mencapai 1-3 meter dengan perantaraan pemegang yang berbentuk pilin spiral (sulur). Tinggi tanaman dapat mencapai 50-250 cm dan mempunyai batang yang bercabang.

Robinson dan Walter (1997) menyatakan bahwa bunga mentimun dihasilkan pada buku batang dan cabang. Bunga betina berbentuk tunggal, sedangkan bunga jantan berbentuk tandan (kluster). Buah berbentuk silinder oval dan ada yang berbintil-bintil pada permukaan kulitnya. Sedangkan biji relatif kecil, panjang, dan berwarna putih.

Buah yang digunakan untuk tujuan komersial umumnya berbentuk silindris dan berwarna hijau untuk dikonsumsi (Maynard dan Maynard, 2000). Masa berbuah pada tanaman mentimun adalah 40-60 hari. Panen dapat dilakukan setiap hari, dengan tiap kali petik dapat diperoleh 1-2 buah atau lebih tiap tanaman. Panen dapat dilakukan setelah tanaman berumur kira-kira 75-85 hari tergantung tingkat pertumbuhan dan kesuburan tanaman (Imdad dan Nawangsih, 1995).

(2)

Fenologi Pembungaan Mentimun

Maynard dan Maynard (2000) menyatakan bahwa bunga betina pada tanaman mentimun dapat diidentifikasi dengan lebih mudah karena ovariumnya menyerupai miniatur buah mentimun. Bunga jantan dan bunga betina mentimun mempunyai ukuran yang besar yaitu berdiameter 2-3 cm dengan lima daun mahkota bunga yang terpisah berwarna kuning mencolok. Menurut Nath dan Vahista (1970), Cucurbitaceae umumnya merupakan tanaman hari netral, akan tetapi hampir sebagian besar bunganya lebih banyak muncul pada musim panas dibandingkan musim dingin. Tanaman ini umumnya adalah monoecious (bunga jantan dan bunga betina dalam satu tanaman), akan tetapi ada beberapa yang dioecious (bunga jantan dan bunga betina pada tanaman yang berbeda), sedikit yang mempunyai bunga hermaprodit, dan gynoecious (Maynard dan Maynard, 2000). Menurut Maynard dan Maynard (2000) pada mentimun tipe monoecious, bunga jantan muncul pertama kali dan jumlahnya lebih banyak dibandingkan dengan bunga betina. Bunga muncul di buku batang dan bunga jantan biasanya muncul dalam satu gerombol atau muncul tunggal dan mekar sehari. Bunga betina muncul secara tunggal di batang utama dan batang cabang.

Nath dan Vahista (1970) menyatakan bahwa waktu yang dibutuhkan untuk berbunga adalah sekitar 40-45 hari dari penanaman, bergantung kondisi cuaca. Bunga jantan pada Cucurbitaceae biasanya muncul lebih dahulu pada buku batang pertama hingga buku batang keenam, kemudian disusul oleh munculnya bunga betina. Pada snapmelon, bunga betina hanya muncul pada cabang yang kedua dan terjadi dalam dua siklus baik di musim panas dan musim hujan dengan interval sembilan hari di antara dua flushes (terbentuknya bunga), sehingga terdapat dua siklus pembentukan buah. Pada tanaman dengan tipe penyerbukan terbuka, buah dapat terbentuk sekitar 60-80% dan dibutuhkan waktu satu bulan untuk pematangan buah. Bunga betina umumnya berkembang lebih lama dibandingkan bunga jantan, dimana bunga jantan akan gugur beberapa jam lebih cepat dari bunga betina.

Delaplane dan Mayer (2009) menambahkan bahwa bunga jantan terdapat pada tandan bunga dengan batang kecil dan mempunyai tiga benang sari. Bunga betina berdiri sendiri dan dapat dibedakan oleh ovarium yang besar pada dasar

(3)

bunga. Mahkota bunga berwarna kuning pucat. Bunga jantan dan betina menghasilkan madu dan umumnya lebah madu datang untuk mengumpulkan madu. Lebah madu dengan cepat akan memindahkan serbuk sari pada tanaman disekitarnya. Butiran serbuk sari mentimun ukurannya besar dan lengket sehingga mudah menempel pada lebah madu.

Menurut Lower dan Edward (1986), pola pembungaan pada batang utama ditandai dengan 3 fase ekspresi sex. Fase pertama hanya terbentuk bunga jantan, fase kedua terbentuk bunga jantan dan betina, sedangkan fase ketiga hanya terbentuk bunga betina. Pada umumnya cabang mempunyai kecenderungan untuk menghasilkan bunga betina lebih banyak.

Menurut Galun (1980) faktor genetik, lingkungan, dan kimia merupakan faktor yang terlibat dalam pengendalian stamen dan diferensiasi ovarium dalam tunas bunga mentimun. Faktor lingkungan seperti panjang hari dan suhu umumnya menentukan rasio bunga betina dan bunga jantan. Hari pendek dan suhu rendah memicu kemunculan bunga betina, sedangkan hari panjang dan suhu tinggi memicu kemunculan bunga jantan (Galun, 1980; Siemonsma dan Piluek, 1994) dan hampir sebagian besar kelompok ZPT dalam kombinasi menentukan diferensiasi kelamin pada mentimun. Ahmed et al. (2004) menambahkan bahwa rasio terbentuknya bunga jantan dan betina juga dipengaruhi oleh kandungan N yang tinggi.

Menurut More dan Seshadri (1998b) pada mentimun dengan tipe monoecious rasio bunga betina dan bunga jantan adalah 1:15 sampai 1:30. Ahmed et al. (2004) menambahkan bahwa pada pertanaman konvensional, kluster bunga pertama selalu terdiri dari bunga jantan sebagai respon dari periode penyinaran selama 14 jam. Bunga betina secara normal tidak muncul sampai panjang hari mulai menurun. Pada mentimun monoecious jumlah bunga jantan yang diproduksi jauh lebih banyak proporsinya dibandingkan bunga betina yaitu dari 25-30:1-15.

Masa antesis lebih dipengaruhi oleh intensitas cahaya dan waktu dibandingkan suhu, akan tetapi suhu mempunyai pengaruh yang besar pada kemunduran dan kesuburan serbuk sari (Choudhury dan Phatak, 1961). Masa reseptif putik hanya mempunyai sisa waktu yang pendek. Perbedaan varietas yang telah diamati adalah pada ukuran dan bentuk serbuk sari (More dan Seshadri,

(4)

1998a). Pada labu tipe sponge antesis terjadi sekitar pukul 4.00-8.00 dan pada labu tipe ridge antesis terjadi saat menjelang atau setelah matahari tenggelam pada pukul 17.00-20.00 (Singh, 1957). Kepala putik reseptif selama sehari akan tetapi putik paling reseptif di awal pagi. Bunga jantan telah membuka 10 hari lebih awal sebelum bunga betina mekar (Delaplane dan Mayer, 2009).

Benih Hibrida

Benih hibrida adalah benih yang berasal dari persilangan antara dua tetua yang berbeda secara genetik. Apabila tetua-tetua diseleksi secara tepat, maka hibrida turunannya akan memiliki vigor dan daya hasil yang lebih tinggi dari tetua tersebut (Satoto, 2006).

Menurut McVetty (1997) mekanisme reproduksi pada sebagian besar tanaman membuatnya sulit untuk menghasilkan benih hibrida yang berasal dari persilangan antara dua tetua terpilih pada skala komersial. Serbuk sari dan putik mungkin terdapat dalam satu bunga (pada gandum) atau terdapat pada bunga yang terpisah dalam satu tanaman (pada jagung), dan penyerbukan sendiri kemungkinan besar dapat terjadi diantara tanaman betina maupun pada populasi tanaman tersebut. Penyerbukan sendiri ini dapat mengurangi persentase pembentukan benih hibrida.

Menurut Dadlani dan More (1998), produksi benih hibrida pada Cucurbitaceae membutuhkan beberapa perhatian khusus, terkait dengan biologi bunga. Metode di bawah ini merupakan metode yang dapat digunakan dalam memproduksi benih hibrida yaitu:

1. Penyerbukan buatan: pada tanaman dioecious, emaskulasi tidak perlu dilakukan. Bunga dari tetua betina diserbuk secara buatan dengan serbuk sari dari tetua jantan.

2. Emaskulasi dan penyerbukan: tetua betina dan jantan ditanam berselang-seling pada lahan yang terisolasi. Bunga jantan dari tetua betina dibuang terlebih dahulu sebelum antesis. Bunga betina dari tetua betina yang telah disisakan menunggu untuk diserbuki oleh serangga dari tetua jantan.

3. Penggunaan galur gynomonoecious: gynomonoecious (tetua betina) dan monoecious (tetua jantan) ditanam secara terpisah. Pada tahapan awal

(5)

tanaman, semua bunga jantan dan bunga hermafrodit dibuang dari tetua betina sehingga hanya bunga betina yang tersisa. Selanjutnya, benih didapatkan dari bunga betina yang tersisa untuk produksi benih hibrida. 4. Penggunaan galur gynoecious (menghasilkan bunga betina saja): galur

gynoecious homozigot pada mentimun diperbanyak menggunakan GA3

(1500-2000 ppm) atau Ag(NO3)2 (125-250 ppm) pada dua tahapan daun. Galur gynoecious homozigot dan monoecious ditanam secara terpisah dan terisolasi. Kemudian galur gynoecious disilangkan dengan tetua jantan oleh bantuan serangga untuk menghasilkan hibrida F1. Benih dikumpulkan dari tanaman induk gynoecious.

Viabilitas Serbuk Sari

Menurut Malik (1979), peningkatan pengetahuan mengenai viabilitas serbuk sari, penyimpanan, dan perkecambahannya sangat membantu para pemulia tanaman dalam menyediakan kebutuhan hidup. Ketersediaan serbuk sari dengan viabilitas yang tinggi merupakan salah satu komponen yang menentukan keberhasilan persilangan tanaman. Menurut Widiastuti dan Palupi (2008), viabilitas serbuk sari juga dapat mempengaruhi viabilitas benih yang dihasilkan. Serbuk sari dengan viabilitas yang tinggi akan lebih dahulu membuahi sel telur, serta menghasilkan buah bermutu baik dan benih berviabilitas tinggi. Menurut Kelly et al. (2002), kualitas serbuk sari dapat ditentukan salah satunya dengan melihat tingkat viabilitasnya.

Menurut Galleta (1983) ada beberapa metode yang dapat digunakan untuk mengetahui viabilitas serbuk sari, diantaranya adalah 1) pengecambahan serbuk sari secara in vitro, 2) pengamatan dengan metode pewarnaan pada serbuk sari yang tidak dikecambahkan, 3) pengujian in vitro melalui pengamatan tabung serbuk sari pada jaringan stylus (tangkai putik), dan 4) pengamatan terhadap produk benih yang terbentuk (seed set) dari hasil penyerbukan pada pohon contoh. Widiastuti dan Palupi (2008) menyatakan bahwa pengamatan viabilitas serbuk sari bisa diketahui dari daya simpan dan daya berkecambahnya. Daya simpan serbuk sari bisa diketahui melalui pengelolaan suhu dan RH ruang simpan. Sedangkan pengamatan daya berkecambahnya bisa diketahui melalui teknik

(6)

perkecambahan secara in vitro. Daya berkecambah serbuk sari dikategorikan telah berkecambah apabila tabung serbuk sari yang terbentuk telah mencapai paling sedikit sama dengan panjang diameter serbuk sari.

Pengelolaan Serbuk Sari

Menurut Lubis (1993), pengelolaan serbuk sari yang mencakup saat pemanenan yang tepat, pengolahan untuk menjamin kemurniannya, dan penyimpanan untuk mempertahankan viabilitasnya mempunyai peranan penting dalam produksi benih kelapa sawit. Selain itu, menurut Warid (2009) pengelolaan serbuk sari mulai dikembangkan dan diadopsi produsen benih untuk mencegah terjadinya pencurian materi genetik.

Galetta (1983) menyatakan bahwa waktu pengambilan serbuk sari tergantung dari: 1) fase kemasakan ditentukan oleh ukuran, warna dan jumlah antera yang telah pecah pada suatu bunga, 2) jumlah bunga mekar dalam satu periode pembungaan. Antera yang diambil prematur tidak akan menghasilkan serbuk sari secara normal atau menghasilkan serbuk sari yang sedikit. Serbuk sari yang mempunyai kualitas tinggi diperoleh dari antera bunga jantan yang sudah pecah dan siap melakukan penyerbukan.

Serbuk sari yang dipanen, kemudian dibersihkan, disortasi, dan dikemas dalam wadah khusus sebelum dimasukkan ke dalam ruang penyimpanan. Menurut Warid (2009) dalam pemanenan serbuk sari kegiatan yang dilakukan berupa pembersihan dan pemilahan serbuk sari agar tidak tercampur dengan spesies atau varietas lain.

Pengeringan Serbuk Sari

Proses pengeringan serbuk sari dibutuhkan untuk mengurangi kadar airnya sebelum disimpan. Proses pengeringan yang tepat perlu dilakukan untuk menjaga viabilitas serbuk sari tetap tinggi sebelum disimpan. Menurut Livingston dan Ching (1966), serbuk sari segar Douglas-fir mempunyai kadar air 12-16% dan menurun menjadi 5-8% setelah 24 jam dikeringanginkan. Hal ini terjadi karena banyak air yang hilang setelah proses pengeringan. Freeze-drying jauh lebih menurunkan kadar air selama periode pengeringan selama dua jam, menjadi 2% bahkan kurang. Beineke et al. (1977) menambahkan bahwa serbuk sari black

(7)

walnut mempunyai kadar air bervariasi dari 10-30% saat dipanen segar. Penyimpanan di freezer (-150C) dan perlakuan desikasi menyebabkan serbuk sari black walnut rusak dan viabilitasnya berfluktuasi.

Livingston dan Ching (1966) menyatakan bahwa freeze-drying dapat menurunkan kadar air serbuk sari Douglas-fir ke level yang rendah. Satu setengah atau satu jam periode vakum sudah cukup untuk menjaga viabilitas, akan tetapi dua jam pengeringan dapat menurunkan viabilitas lebih jauh. Menurut Wilcox (1966) perlakuan vakum-drying berpotensi menurunkan kadar air serbuk sari yellow-poplar (pohon tulip) dari 27% menjadi 4.2% selama setengah jam pertama, menjadi 2.8% selama dua jam, dan menjadi 1.6% selama 8 jam. Daya berkecambah mengalami kemunduran selama proses pengeringan. Daya berkecambah serbuk sari segar sebesar 83%. Perkecambahan ini kemudian menurun menjadi 20, 17, dan 7% setelah 0.5, 2, dan 8 jam setelah proses vakum-drying.

Penyimpanan Serbuk Sari

Penyimpanan serbuk sari merupakan salah satu dari metode pengelolaan serbuk sari yang digunakan untuk menjaga viabilitasnya. Menurut Sumardi et al. (1995), pengawetan serbuk sari merupakan suatu teknik yang digunakan untuk mengawetkan sumber plasma nutfah suatu tanaman, karena dianggap lebih efektif dibandingkan memelihara tanaman dewasa di lapangan. Pada umumnya kondisi penyimpanan dilakukan dengan suhu rendah, yaitu antara 0-(-200C) dan pada penyimpanan RH 0-30% serbuk sari memiliki viabilitas yang paling tinggi (Sriwahyuni, 1999).

Penyimpanan serbuk sari merupakan salah satu cara untuk menjamin ketersediaan serbuk sari, sehingga sewaktu-waktu diperlukan dapat digunakan. Selain itu, penyimpanan serbuk sari untuk jangka panjang memberi kesempatan untuk melestarikan dan memanipulasi sumber genetik (Warid, 2009). Menurut Krishnamurthi (1980) karakter serbuk sari pada tebu mempunyai daya hidup hanya 1 jam dimana dalam penyerbukan yang berlangsung, serbuk sari akan mengarbsorbsi nutrisi dari kepala putik. Barnabas dan Kovacs (1997) menambahkan bahwa daya simpan serbuk sari bermacam-macam mulai dari

(8)

hitungan menit hingga tahunan bergantung pada sifat genetik tanaman dan kondisi lingkungan.

Berdasarkan daya simpannya, serbuk sari digolongkan ke dalam tiga bagian besar: 1) daya simpan panjang (6 bulan-1 tahun), misalnya pada famili Palmae, Pinaceae, Rosaceae, Leguminoceae, dan Vitaceae, 2) daya simpan sedang (1-3 bulan), misalnya pada famili Liliaceae, Amarylidaceae, dan Solanaceae, 3) daya simpan pendek (antara beberapa menit-beberapa hari), misalnya pada Gramineae dan Cyperaceae (Sriwahyuni, 1999).

Beineke et al. (1977) menyatakan bahwa penyimpanan menggunakan kulkas (0-40C) tanpa desikasi pada serbuk sari black walnut dapat digunakan untuk penyimpanan jangka pendek selama satu sampai tiga minggu. Penyimpanan jangka panjang serbuk sari black walnut selama lebih dari setahun di nitrogen cair (-1960C) mempunyai viabilitas sekitar 28.9%, hampir sama dengan viabilitas serbuk sari tanpa disimpan sekitar 31.5%.

Rajasekharan dan Ganeshan (2003) menambahkan bahwa viabilitas serbuk sari Capsicum dengan fase antesis dapat dipertahankan selama beberapa waktu dengan menyimpan di -1960C segera setelah dikumpulkan dari lahan. Menurut Abreu dan Oliveira (2004) suhu yang terbaik untuk menjaga viabilitas serbuk sari

Actinida deliciosa adalah -200C (RH 51%) ditunjukkan dengan viabilitas dan daya

berkecambah yang tinggi. Pada 200C (RH 65%), serbuk sari sudah kehilangan daya berkecambahnya kurang dari 8 minggu, sedangkan pada -800C atau -1960C daya berkecambah menurun drastis dan hilang pada akhir periode penyimpanan.

Livingston dan Ching (1966) menyatakan bahwa serbuk sari Douglas-fir dengan freeze-dried yang disimpan selama satu dan dua tahun pada 200C, 30C, dan -180C menunjukkan perkecambahan yang lebih tinggi dibandingkan serbuk sari yang tidak dilakukan freeze-dried. Menurut Wilcox (1966) daya berkecambah serbuk sari yellow-poplar (pohon tulip) menurun seiring dengan bertambahnya lama waktu penyimpanan. Daya berkecambah mengalami penurunan drastis dari 89% menjadi 0% pada serbuk sari yang tidak diberi perlakuan dan disimpan pada suhu ruang (20-250C) selama 45 hari. Serbuk sari segar yellow-poplar kehilangan viabilitasnya setelah 10-14 hari disimpan di suhu ruang.

(9)

Wilcox (1966) menyatakan bahwa serbuk sari yellow-poplar tanpa pengeringan yang disimpan di 50C mempunyai daya berkecambah yang lebih baik dibandingkan dengan yang disimpan di suhu ruang. Setelah 12 bulan, serbuk sari yang disimpan di 50C mempunyai rata-rata daya berkecambah sebesar 7%. Serbuk sari yang dikeringkan menggunakan vakum-drying selama 0.5 jam menunjukkan daya berkecambah yang paling tinggi selama enam bulan penyimpanan. Daya berkecambah serbuk sari yang disimpan selama 12 bulan di akhir pengamatan masih menunjukkan viabilitas yang bervariasi antara 1-2% untuk serbuk sari yang dikeringkan menggunakan vakum-drying.

Pengecambahan Serbuk Sari secara In Vitro

Metode yang umumnya digunakan dalam menguji viabilitas serbuk sari adalah metode perkecambahan secara in vitro dan metode pewarnaan (Warid, 2009). Faktor-faktor yang mempengaruhi perkecambahan serbuk sari secara in vitro diantaranya adalah spesies tanaman, waktu pengambilan serbuk sari dari lapang, musim, metode pengambilan serbuk sari, sejarah penyimpanan, dan kondisi perkecambahan seperti suhu, RH, media, dan pH (Brewbaker dan Kwack, 1964).

Menurut Galetta (1983), metode pengecambahan serbuk sari secara in vitro merupakan metode yang paling akurat untuk menduga viabilitas serbuk sari. Warid (2009) menambahkan bahwa dalam metode pengecambahan serbuk sari secara in vitro perlu diadakan pencarian media yang tepat terlebih dahulu sebelum dilakukan pengujian pengecambahan, sehingga metode ini tergolong sulit, lama, relatif mahal, dan memerlukan keterampilan khusus.

Warid (2009) menyatakan bahwa media perkecambahan polen (PGM) dengan komposisi 10% sukrosa, 0.005% H3BO3, 10 mM CaCl2, 0.05 mM KH2PO4, dan 4% Polyetilene Glycol 6000 (PEG) memberikan nilai viabilitas yang lebih tinggi daripada media Brewbaker & Kwack; Brewbaker & Kwack tanpa sukrosa; dan sukrosa 10% pada sebagian besar spesies dari empat famili (Euphorbiaceae, Solanaceae, Poaceae, Myrtaceae). PGM dapat dijadikan alternatif dalam pengujian viabilitas serbuk sari secara in vitro karena media ini dapat digunakan untuk banyak spesies serta memberikan nilai viabilitas yang lebih baik

(10)

dibandingkan media lainnya, termasuk media Brewbaker dan Kwack. Selain itu, media PGM memerlukan waktu pengamatan yang relatif lebih cepat (kurang dari 24 jam). Pengamatan serbuk sari dapat dilakukan rata-rata pada 4 JSP (jam setelah pengecambahan).

Bahan pewarnaan yang digunakan dalam pengujian viabilitas serbuk sari umumnya berbeda-beda tergantung pada spesies dan senyawa dalam serbuk sari yang berfungsi sebagai indikator viabilitas serbuk sari tersebut. Metode pewarnaan serbuk sari menggunakan larutan tetrazolium juga banyak digunakan untuk menentukan viabilitas serbuk sari (Warid, 2009). Intensitas pewarnaan serbuk sari dari tanaman apel, anggur, pir, dan peach menggunakan MTT (2,3,5-triphenyl tetrazolium chloride) bervariasi, dari transparan atau tak berwarna sampai merah gelap. Serbuk sari yang berwarna merah terang atau merah normal merupakan serbuk sari yang viabel dan serbuk sari yang tidak berwarna merupakan serbuk sari yang nonviabel (Norton, 1966)

Menurut Warid (2009), pewarna acetocarmine 0.75% (0.75 gram carmine dilarutkan dalam 45 ml asam asetat glacial + 55 ml aquadest, kemudian didihkan, setelah dingin disaring) memberikan nilai viabilitas serbuk sari tertinggi untuk estimasi serbuk sari keempat famili (Euphorbiaceae, Solanaceae, Poaceae, Myrtaceae) dan waktu pengamatan dapat dilakukan pada 2 JSP (jam setelah pengecambahan). Pewarna aniline blue 0.2% (0.2 gram aniline blue dilarutkan dalam 100 ml aquadest) dapat digunakan untuk menduga perkecambahan serbuk sari dengan PGM dengan waktu pengamatan 4-24 JSP.

Referensi

Dokumen terkait

Populasi dalam penelitan ini adalah keseluruhan keturunan marga Silahi Sabungan Di Silalahi Nabolak Kecamatan Silahi Sabungan Kabupaten Dairi , sedangkan sampelnya ,penulis

Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah,

51.1 Apabila penyedia yang ditunjuk adalah penyedia Usaha M ikr o, Usaha Kecil dan koper asi kecil, maka dalam kontr ak dimuat ketentuan bahw a peker jaan ter sebut

Bila dibandingkan dengan diagram scattered yang lain, yaitu Gambar 4.1 s/d Gambar 4.7, hasil uji coba skenario 1 pada dataset 4 ini menunjukkan sebaran data yang lebih

Hasil penelitian terkait berjudul Efektivitas Metode Pembelajaran Kooperatif Tipe Teams Games Tournament (TGT) Pada Pokok Bahasan Persamaan Kuadrat Ditinjau dari Minat Belajar Siswa

Pelabuhan Indonesia IV (cabang) Kelas IV Tolitoli menjalankan proses bisnisnya dengan melakukan pencatatan laporan keuangan dari perusahaan secara manual. Hal ini terjadi

Kajian ini melibatkan kaedah tinjauan bagi mengenal pasti serta membuat perbandingan terhadap skor min persepsi pelajar aliran sains dan aliran sastera tentang amalan

Selisih total waktu yang dihasilkan sebelum dan sesudah penelitian adalah 0,5 jam, jarak untuk penelitian pertama dengan rute berdasarkan kapasitas angkut