PENERAPAN TAX PLANNING ATAS PPH PASAL 21 DI PT. XYZ SURABAYA UNTUK MEMPEROLEH TAX SAVING TERHADAP PPH BADAN
Ario Wibowo
[email protected]Wahidahwati Agus Sunaryo
Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Indonesia (STIESIA) Surabaya
ABSTRACT
Implementation of tax planning on cutting the top income tax under Article 21 of the employees gross salary up method is more advantageous for the company to cut the salaries of employees by using the net method because it can be expensed by the company through the provision of tax benefits that can be a deduction from Gross Profit Fiscal element of the company. So that employees with the tax benefits received take-home pay fixed amounts because it does not need to be cut again to pay income tax under Article 21 on the income he received as an employee. Implementation of tax planning is done correctly and does not violate the rules of taxation would be very beneficial for the employee and the company.
Keywords: tax planning, corporate income tax saving.
ABSTRAK
Penerapan perencanaan pajak pada pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji karyawan dengan menggunakan gross up method lebih menguntungkan bagi perusahaan dari pada pemotongan atas gaji karyawan dengan menggunakan net method karena dapat dibiayakan oleh perusahaan melalui pemberian tunjangan pajak sehingga dapat menjadi unsur pengurang Laba Bruto Fiskal perusahaan. Sehingga karyawan dengan adanya tunjangan pajak maka take home pay yang diterima jumlahnya tetap karena tidak perlu dipotong lagi untuk membayar Pajak Penghasilan Pasal 21 atas penghasilan yang diterimanya sebagai karyawan. Penerapan tax planning yang dilakukan secara benar dan tidak menyalahi aturan perpajakan akan sangat menguntungkan bagi pegawai dan perusahaan.
Kata kunci : tax planning, tax saving PPh Badan.
PENDAHULUAN
Bagi usaha yang berorientasi pada keuntungan seperti perusahaan, setiap peningkatan
beban pajak yang dipungut oleh pemerintah tersebut tidak hanya akan mengurangi
keuntungan yang dibagikan kepada shareholders namun beban-beban pajak tambahan yang
tidak seharusnya juga akan membuat perusahaan semakin tidak kompetitif dan tidak
menarik. Dengan demikian, masuk akal jika wajib pajak akan selalu berusaha untuk
mengatur usaha sedemikian rupa agar jumlah pajak terutang dapat menjadi seefisien
mungkin. Bawazier (dalam Taslim, 2007:11) menunjukkan bahwa pengaturan pajak tersebut,
seperti halnya keuangan manajemen, marketing manajemen ataupun fungsi-fungsi
manajemen lainnya, dalam perpajakan juga dikenal dengan istilah Tax Management yang
menjadi tugas dan fungsi dari manajer setiap perusahaan atau satuan ekonomis lainnya
termasuk mengamankan dan mengembangkan sumber daya yang tersedia agar tujuan
ekonomis perusahaan dapat tercapai dengan efisien. Seperti dalam Ismarita (2007:21) yang
menyatakan bahwa cara-cara untuk meminimalkan pajak dilakukan dengan menerapkan
prinsip pengelolaan pajak (manajemen pajak) secara tepat dan layak yang bertujuan
mengikuti ketentuan peraturan perpajakan dengan benar dan usaha efisiensi untuk
mencapai laba seharusnya.Hasrat untuk melakukan perencanaan pajak pada dasarnya
didorong oleh dua ketentuan dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yaitu : (1). Menyangkut masalah pajak penghasilan itu sendiri yang bukan merupakan biaya
fiskal dapat dikurangkan dalam menentukan penghasilan Kena Pajak (pasal 9 ayat (1) huruf UU PPh). (2). Menyangkut kemungkinan dapat dikurangkannya biaya yang ada kaitannya dengan penentuan jumlah pajak yang terutang, yang dalam ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan disebut sebagai biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan (pasal 6 ayat (1) huruf a UU PPh).
Penelitian-penelitian perpajakan dengan berdasar Undang-Undang no.17 tahun 2000 tentang pajak penghasilan, banyak mengungkap bahwa perencanaan pajak merupakan isu penting yang menarik untuk diteliti, karena sasaranya sejalan dengan kebutuhan perusahaan yang menitik beratkan pada peningkatan laba, tetapi masih dalam bingkai peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Di lain pihak pemerintah khususnya Direktorat Jendral Pajak sebagai lembaga yang membuat peraturan perpajakan sampai dengan pengawasan pelaksanaan peraturan tersebut hal seperti inilah yang harus dihindarkan melalui dasar pemikiran perubahan Undang-Undang pajak penghasilan No.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan.
Yang tujuannya menurut Hutomo (2009:5) adalah upaya mengamankan penerimaan Negara, lebih meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak, memberi kemudahan kepada wajib pajak serta kepastian hukum, konsistensi dan transparansi dengan mewujudkan perluasan subyek dan obyek pajak dalam hal tertentu, perbaikan sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan, perubahan penghasilan Tidak Kena Pajak dan lapisan tarif pajak, peningkatan batas peredaran bruto serta penurunan tarif pajak.
Diharapkan, UU pajak penghasilan No. 36 Tahun 2008 ini dapat mengoptimalkan pencegahan dan penindakan penyelewengan pajak, sehingga mengurangi praktik penghindaran pajak yang dilakukan wajib pajak yang dapat merugikan Negara, dan ini merupakan isu penting yang lebih menarik untuk diteliti, karena pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak sebagai pembuat peraturan perpajakan harus melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan sesuai prosedur yang telah diamanatkan oleh undang- undang perpajakan agar dilaksanakan dengan baik dan benar oleh wajib pajak.
Mahmud (2006:28) memberi dukungan bahwa tax planning sebagai control efisiensi pajak memberi pengaruh positif dan signifikan terhadap peningkatan kinerja. Demikian juga Putri (2008:125) memberi kesimpulan penerapan tax planning sebagai alat manajemen untuk mengefisienkan pajak penghasilan yang harus dibayar perusahaan melalui pemahaman biaya-biaya yang semula tidak dapat dikurangi dari penghasilan bruto sebagai biaya fiskal dialihkan menjadi biaya-biaya yang dapat dikurang dari penghasilan bruto sebagai biaya fiskal dengan berdasar pada prinsip “taxability-deductibility” yang terdapat pada Undang- Undang No.17 Tahun 2000 tentang pajak penghasilan.
Andriani (2005:75) memberi kesimpulan analisa tax planning dalam menentukan alternatif sumber pembiayaan dalam perolehan aktiva tetap melalui leasing memberi penghemat pajak yang paling besar. Di lain pihak pemerintah khususnya Direktorat Jendral Pajak sebagai lembaga yang membuat peraturan perpajakan sampai dengan pengawasan pelaksanaan peraturan tersebut hal seperti inilah yang harus dihindarkan melalui dasar pemikiran perubahan Undang-Undang pajak penghasilan No.36 tahun 2008 tentang pajak penghasilan yang tujuannya menurut Hutomo (2009:5) adalah upaya mengamankan penerimaan Negara, lebih meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak, memberi kemudahan kepada wajib pajak serta kepastian hukum, konsistensi dan transparansi dengan mewujudkan perluasan subyek dan obyek pajak dalam hal tertentu, perbaikan sistem pelaporan dan tata cara pembayaran pajak dalam tahun berjalan, perubahan penghasilan Tidak Kena Pajak dan lapisan tarif pajak, peningkatan batas peredaran bruto serta penurunan tarif pajak.
Diharapkan, UU pajak penghasilan No. 36 Tahun 2008 ini dapat mengoptimalkan
pencegahan dan penindakan penyelewengan pajak, sehingga mengurangi praktik
penghindaran pajak yang dilakukan wajib pajak yang dapat merugikan Negara, dan ini merupakan isu penting yang lebih menarik untuk diteliti, karena pemerintah melalui Direktorat Jendral Pajak sebagai pembuat peraturan perpajakan harus melakukan pengawasan pelaksanaan peraturan sesuai prosedur yang telah diamanatkan oleh undang- undang perpajakan agar dilaksanakan dengan baik dan benar oleh wajib pajak.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
“Bagaimana penerapan tax planning atas Pajak Penghasilan Pasal 21 di PT. XYZ Surabaya untuk memperoleh tax saving terhadap PPh Badan ?”
Tujuan Penelitian
1. Mengetahui pemahaman yang baik tentang bagaimana penerapan tax planning atas Pajak Penghasilan Pasal 21 di PT. XYZ Surabaya untuk memperoleh tax saving terhadap PPh Badan.
2. Untuk mengetahui pengaruh sebelum dan sesudah penerapan perencanaan pajak terhadap beban pajak badan.
3. Untuk mengetahui ada/tidaknya perbedaan pengaruh yang signifikan antara sebelum dan sesudah penerapan perencanaan pajak terhadap beban terhutang pajak badan.
4. Untuk mengetahui manfaat yang akan diperoleh perusahaan dengan adanya perencanaan pajak tersebut.
Kontribusi Penelitian
Penelitian ini diharap mempunyai kontribusi teori maupun kontribusi praktis.
Kontribusi teori yang diharapkan dari penelitian ini adalah : (1).Memberi pemahaman tentang arti penting pajak dengan melihat berbagai kepastian hukum dan penerapannya dalam berbagai keputusan bisnis. (2).Meningkatkan pemahaman tentang ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan dan selalu mengikuti secara terus-menerus perubahannya dengan segala kelebihan dan kekurangannya, sesuai dengan berbagai tinjauan literatur perpajakan dan Undang-undang Perpajakan di Indonesia serta peraturan- peraturan pendukung lainnya. (3). Sebagai bahan referensi bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian lebih lanjut tentang tax planning. (4). Bagi peneliti dapat memberikan pemahaman yang baik dan benar tentang penerapan tax planning.
Sedangkan kontribusi praktis yang diharapkan dari penelitian ini adalah :
Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai salah satu pertimbangan bagi perusahaan dalam usaha pengembangan tax planning yang baik dan benar sesuai Undang-undang sehingga dapat digunakan sebagai sarana pengendalian bagi pihak manajeman dalam menentukan jumlah pajak yang terutang.
TINJAUAN PUSTAKA
Konsep Manajeman Strategis, Perencanaan Strategis dan Pengaruh Pajak atas Perusahaan Perencanaan merupakan salah satu fungsi utama dari manajemen. Secara umum
perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategis-strategis (program), taktik-taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh.
Suandy (2009:2) menyatakan bahwa perencanaan strategis dalam organisasi
merupakan salah satu aspek dari materi manajemen strategis yang selalu diperlukan oleh
setiap organisasi. Setiap perubahan lingkungan yang terjadi memerlukan respons strategis,
baik dalam perencanaan, pelaksanaan, maupun evaluasi. Dari sebutan semula perencanaan perusahaan, berkembang menjadi strategis perusahaan, perencanaan strategis, kebijakan bisnis dan akhirnya menjadi manajemen strategis, yang berisi bagaimana pimpinan puncak suatu organisasi (badan Usaha) menanggapi perubahan lingkungan yang sangat kompleks dan dinamis tersebut.
Judisseno (2005:4) menyatakan bahwa penerimaan pajak merupakan pemasukan dana yang paling potensial bagi negara, karena besarnya pajak seiring dengan laju pertumbuhan penduduk, perekonomian dan stabilitas politik. Sedangkan penerimaan diluar pajak seperti dari sektor migas sesuai dengan hukum alam, jika terus-menerus dieksploitasi cenderung akan berkurang dan pada akhirnya habis.
Bagaimana pajak itu tanpa terlalu membebani rakyat dan adil dalam pelaksanaan diatur dan ditetapkan UU dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Judisseno (2005:5) undang-undang tersebut menuntut agar segala sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan dan segala aspek terkait diikuti dengan peraturan tersendiri, agar dapat menjamin hubungan hukum antara negara dengan warga yang berkewajiban membayar pajak. Pajak adalah suatu kewajiban kenegaraan dan pengabdian serta peran aktif warga negara dan anggota masyarakat lainnya untuk membiayai berbagai keperluan negara berupa Pembangunan Nasional yang pelaksanaannya diatur dalam undang-undang dan peraturan-peraturan untuk kesejahteraan bangsa dan negara.
Ismarita (2009) menyatakan bahwa dalam melakukan pungutan pajak, negara harus berdasarkan pada undang-undang di Indonesia. Hal ini berarti bahwa pajak yang merupakan salah satu sumber penerimaan untuk belanja negara harus mempunyai dasar hukum. Sebagaimana diketahui undang-undang yang dikeluarkan dengan persetujuan wakil rakyat, yang berarti undang-undang yang bersangkutan lebih dahulu disetujui oleh rakyat melalui wakilnya.
Konsep Perencanaan Pajak
Sebagaimana sudah umum dikaji dan dipelajari dalam ilmu manajemen, perencanaan adalah bagian penting dan strategis untuk memulai sebuah usaha yang diharapkan membuahkan hasil yang baik.
Yang termasuk dalam rencana adalah : mendirikan usaha, menentukan model usaha, memilih sistem akuntansi/ metode pembukuan dan melakukan perencanaan pajak yang baik. Sedangkan yang perlu dipelajari dalam poin sarana diantaranya rencana bisnis, pengetahuan, dan strategis yang tepat untuk mencapai tujuan melalui penghematan pajak secara legal. Manajeman pajak yang terpadu dan sinambung, dan laba kena pajak yang predictable. Seperti yang dikatakan Suandy (2009:5) bahwa perencanaan pajak adalah langkah awal dalam manajemen pajak. Pada tahap ini dilakukan pengumpulan dan penelitian terhadap peraturan perpajakan agar dapat diseleksi jenis tindakan penghematan pajak yang akan dilakukan.
Pardiat (2009:2) mengatakan bahwa perencanaan pajak adalah usaha memperkecil pembayaran pajak (semua jenis pajak) atau menunda pembayaran pajak ke tahun-tahun berikutnya tanpa melanggar ketentuan undang-undang perpajakan yang berlaku dengan cara : (1). Memilih metode yang tepat. (2). Memanfaatkan fasilitas perpajakan atau stimulus perpajakan. (3). Memanfaatkan celah-celah undang-undang perpajakan (loopholes)
Setiap kegiatan atau transaksi yang akan dilakukan agar dipertimbangkan pengaruh
perpajakannya (tax implication), misal akan melakukan pembayaran biaya : apakah dapat
dikurangkan atau tidak ?, apakah merupakan obyek pemotongan PPH atau tidak ?, terutang
PPN atau tidak ?
Penelitian terdahulu, Erfin Yosef (2008) meneliti tentang penerapan tax planning PPh Badan di PT. “X”. Penelitian ini menyimpulkan bahwa dengan dilakukan tax planning di perusahaan tersebut akan dapat menghemat pembayaran PPh Badan.
Penelitian lainnya menyimpulkan dengan Implementasi tax planning PPh Badan Pada Perusahaan Jasa Cleaning Service PT. “X” (Rindi Puspita, 2011). Penelitian tersebut menghasilkan penghematan pengeluaran pajak badan bagi perusahaan.
Diungkapkan oleh Prastowo (2009:257) strategi efisiensi beban pajak yang umum ditemukan dalam literatur perpajakan adalah sebagai berikut :
1. Tax Planning atau perencanaan pajak, yaitu suatu usaha yang legal yang dilakukan oleh wajib pajak baik pribadi maupun badan dalam merekayasa pajak agar beban pajak menjadi serendah mungkin sehingga dapat mencapai tax saving dengan memanfaatkan peraturan yang ada, namun perencanaan pajak ini tanpa melakukan pelanggaran konstitusi atau Undang-undang Perpajakan yang berlaku.
2. Tax saving, yaitu efisiensi beban pajak dengan cara memilih alternatif pengenaan pajak dengan tarif yang lebih rendah. Sebagai contoh jika pemberian dalam bentuk natura tidak dapat dibebankan sebagai biaya fiskal bagi perusahaan, berarti untuk efisiensi beban pajak perusahaan pemberian natura harus diubah ke pemberian non natura agar boleh dibiayakan. Sesuai UU No. 17 Tahun 2000 Pasal 17 penghematan pajak atas perubahan ini berkisar antara 5% - 25% untuk penghasilan karyawan sampai dengan Rp. 2.000.000,- Manajemen Perpajakan yang Ekonomis, Efisien dan Efektif
Untuk dapat meminimalkan kewajiban pajak dapat dilakukan berbagai cara baik yang masih memenuhi ketentuan perpajakan maupun yang melanggar peraturan perpajakan perencanaan pajak umumnya selalu dimulai dengan meyakinkan apakah suatu transaksi atau kejadian mempunyai dampak perpajakan. Apabila kejadian tersebut mempunyai dampak pajak apakah dampak tersebut dapat diupayakan untuk dikecualikan atau dikurangi jumlah pajaknya. Kemudian apakah pembayaran pajak tersebut dapat ditunda.
Suandy (2009:6) menyatakan bahwa upaya dalam melakukan penghematan pajak secara legal dapat dilakukan melalui manajemen pajak. Namun perlu diingat bahwa legalitas manajemen pajak tergantung dari instrumen pajak yang dipakai. Legalitas baru dapat diketahui secara pasti setelah ada putusan pengadilan. secara umum manajemen pajak dapat didefinisikan sebagai berikut :
Sarana untuk memenuhi kewajiban perpajakan dengan benar tetapi jumlah pajak yang dibayar dapat ditekan serendah mungkin untuk memperoleh laba dan likuiditas yang diharap. Tujuan manajemen pajak dapat dicapai melalui fungsi-fungsi manajemen pajak yang terdiri atas : (1). Perencanaan pajak (tax planning). (2). Pelaksanaan kewajiban perpajakan (tax implementation). (3). Pengendalian pajak (tax control).
Zain (2001:32) mengatakan perencanaan pajak merupakan komponen manajemen pajak yang harus diperhatikan dalam rangka efisiensi pembayaran pajak terutang.
Perencanaan pajak melalui penghindaran pajak (pajak avoidance) merupakan satu-satunya cara legal yang dapat ditempuh oleh wajib pajak. Ide dasar adalah usaha pengaturan terlebih dahulu semua aktivitas perusahaan guna menghindar dari dampak perpajakan sebanyak mungkin atau dengan kata lain peluang untuk perencanaan pajak yang efektif, terdapat lebih besar kemungkinan apabila hal tersebut dipertimbangkan sebelum transaksi tersebut dilaksanakan, dibanding dengan apabila pertimbangan dilakukan setelah terjadi transaksi. Dalam hal ini tentu sangat tergantung manajer, sampai sejauhmana manajer tersebut mewaspadai secara konstan alternatif- alternatif penghematan pajak pada setiap tindakan yang akan diambil.
Dapat disimpulkan bahwa suatu perencanaan pajak yang efektif tidak tergantung
kepada seorang ahli pajak professional, tetapi sangat tergantung pada kesadaran para
pengambil keputusan akan ada dampak pajak yang melekat pada setiap aktivitas perusahaan.
Menurut Hutomo (2009:1) perubahan UU PPh 2008 ini mendapat sambutan hangat dari praktisi bisnis maupun pembuat undang – undang, karena UU PPh 2008 dianggap paling pro bisnis. Amandemen UU PPh ini dipandang mampu mendorong (meningkatkan) daya saing ekonomi Indonesia terhadap persaingan global yang semakin keras serta mempromosi iklim investasi yang menguntungkan.
Reformasi Undang-Undang Perpajakan
Dari rangkaian reformasi UU Perpajakan yang sudah berumur 25 tahun, menurut Prijanto (2009), reformasi keempat ini merupakan episode yang paling menarik untuk dicermati baik dari sisi proses diundangkan atau dari sisi kandungan pasal-pasal yang ada.
Pertama dilihat proses penetapannya sebagai sebuah UU, sangat berbeda dangan tiga UU sebelumnya yaitu tidak dikeluarkan dalam bentuk paket undang-undang. Penetapan dilakukan secara bertahap dimulai dengan UU No. 28 tentang KUP diundangkan tahun 2007 dan UU No. 36 tentang PPh pada tahun 2008, dan saat ini masih dibahas oleh DPR UU tentang Pajak Pertambahan Nilai.
Beberapa contoh diatas memang menunjukkan ada suatu perubahan dari UU Perpajakan dengan tujuan agar lebih diterima oleh masyarakat. Perbaikan yang menyentuh sisi transparasi, keseimbangan dan rasa keadilan akan mudah diterima oleh sebagian besar masyarakat karena memang hal seperti itulah yang mereka harap. Namun sebagai suatu produk hukum, UU Perpajakan yang baru tidak sekedar dituntut untuk memberi keadilan bagi masyarakat. Lebih dari itu UU Perpajakan yang baru harus pula memenuhi unsur penegakan hukum atau pemberian sanksi bagi masyarakat yang melanggar.
Hal menarik lain yang tidak terjadi pada perubahan UU PPh ini (dibanding dengan perubahan UU PPh sebelumnya) menurut Hutomo (2009:2) adalah kebesaran hati para fiskus untuk melaksanakan sunset policy. Yang dimaksud sunset policy adalah penghapusan sanksi pajak untuk pajak penghasilan yang seharusnya terutang dimasa lalu. Perubahan UU PPh 2008 mencakup, mengubah, menghapus, menambah obyek pajak, beban-beban (biaya) yang diperkenan sebagai pengurang penghasilan, Obyek pajak yang dikenakan pajak secara final.
Dasar Pemikiran Perubahan UU PPh 2008
Sejak dilakukan reformasi perpajakan tahun 1983, menurut Hutomo (2009:5) sudah dilakukan perubahan sebanyak empat kali dengan memperhatikan perkembangan kondisi ekonomi dan bisnis. Upaya menjaring wajib pajak lebih banyak (ekstensifikasi) menjadi motivator dasar dalam melakukan perubahan undang-undang pajak penghasilan.
Pesatnya perkembangan sosial ekonomi sebagai hasil pembangunan nasional dan globalisasi serta reformasi disegala bidang, maka dipandang perlu untuk melakukan perubahan UU PPh. Dasar pertimbangan yang dituang dalam menyusun UU PPh 2008 sebagai berikut : (1). Upaya mengamankan penerimaan Negara yang makin meningkat. (2).
Lebih meningkatkan keadilan dalam pengenaan pajak. (3). Lebih memberi kemudahan kepada wajib pajak. (4). Lebih menyederhanakan administrasi perpajakan. (5). Memberi kepastian hukum, konsistensi dan transparasi. (6). Upaya meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.
Dalam upaya mewujudkan hal tersebut, perlu ada perluasan subyek pajak dan obyek
pajak dalam hal tertentu dengan tetap melakukan pembatasan pengecualian atau
pembebasan pajak. Perbaikan terutama dilakukan pada sistem pelaporan dan tata cara
pembayaran pajak dalam tahun berjalan tanpa mengganggu likuiditas wajib pajak.
Bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas selain perubahan PTKP dan lapisan tarif pajak, kemudahan yang diberikan peningkatan batas peredaran bruto ini sejalan dengan realitas dunia usaha yang semakin berkembang tanpa melupakan usaha dan pembinaan wajib pajak supaya tetap melakukan pembukuan secara tertib dan konsisten.
Untuk meningkatkan daya saing dan keadilan dalam pengenaan pajak, pemerintah menurunkan tarif pajak. Penurunan tarif PPh dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan tarif PPh yang berlaku di Negara-negara tetangga yang relatif lebih rendah, meningkatnya daya saing investasi di dalam negeri, mengurangi beban pajak dan meningkatkan kepatuhan wajib pajak. Disisi lain, pemerintah juga mendorong lebih banyak perusahaan masuk bursa.
Wajib pajak badan yang masuk bursa diberi insentif pengurangan pajak 5% dari tarif normal, agar dapat meningkatkan good corporate governance dan mendorong pasar modal sebagai alternative sumber pembiayaan bagi perusahaan. Demikian pula bagi wajib pajak usaha mikro, kecil dan menengah yang berbentuk badan diberi insentif pengurangan tarif sebesar 50% dari tarif normal.
Rerangka Pemikiran
Sangkut dan Prasetyo (2009:25) menyatakan bahwa melalui penetapan Undang- undang No. 36 tahun 2008 yang mulai berlaku tanggal 1 januari 2009, pemerintah melakukan perubahan keempat atas undang-undang No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan. Dengan berpegang pada prinsip keadilan, kemudahan dan efisiensi administrasi serta peningkatan serta optimalisasi penerimaan Negara dengan tetap mempertahankan sistem self assessment, arah dan tujuan penyempurnaan undang-undang tentang PPh ini adalah : (1). Lebih meningkatkan keadilan pengenaan pajak. (2). Lebih memberi kemudahan kepada wajib pajak. (3). Kesederhanaan administrasi perpajakan. (4).
Kepastian hukum, konsistensi dan transparasi. (5). Lebih menunjang kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan daya saing dalam menarik investasi langsung di Indonesia.
Mengacu pada arah dan tujuan perubahan UU Pajak Penghasilan diatas, sistem perpajakan di Indonesia diupayakan untuk senantiasa menjunjung tinggi hak warga Negara dan menempatkan kewajiban perpajakan sebagai kewajiban kenegaraan dan merupakan sarana peran serta rakyat dalam pembiayaan Negara dan pembangunan nasional.
Pemerintah telah menetapkan berbagai peraturan dibidang perpajakan, namun berbagai cara tetap dilakukan Wajib Pajak dalam memenuhi kewajiban perpajakan baik dengan cara penghindaran pajak yang legal (tax avoidance) maupun cara illegal melalui penyelundupan pajak (tax evasion). Menurut Zain (2001:28) suatu perencanaan pajak atau disebut juga sebagai perbuatan penghindaran pajak yang sukses, adalah proses pengendalian tindakan agar terhindar dari konsekuensi pengenaan pajak yang tidak dikehendaki.
Hal senada dikemukakan oleh Suandy (2009:6) umumnya penekanan perencanaan pajak adalah untuk meminimumkan kewajiban pajak, diupayakan beban pajak yang timbul akibat aktifitas perusahaan dapat ditekan sedemikian rupa dengan tetap berpijak pada legalitas tata cara perpajakan itu sendiri. Jadi, jika tujuan perencanaan pajak adalah merekayasa agar beban pajak dapat di tekan serendah mungkin dengan memanfaatkan peraturan yang ada tetapi berbeda dengan tujuan pembuat undang-undang, maka perencanaan pajak di sini sana dengan tax planning karena secara hakikat ekonomis keduanya berusaha untuk memaksimalkan penghasilan kena pajak, karena pajak merupakan unsur pengurang laba yang tersedia. baik untuk dibagi kepada pemegang saham maupun untuk diinvestasi kembali.
Pada self assessment ini perusahaan harus melapor semua informasi yang relevan
dalam Surat Pemberitahuan, menghitung dasar pengenaan pajak, mengkalkulasi jumlah
pajak yang terutang atau mengangsur jumlah pajak yang terutang. Ismarita (2009) menyatakan bahwa sanggahan akan terjadi sejak saat Wajib Pajak mengisi Surat Pemberitahuan dan menyampaikan, dan ketentuan tersebut tidak dapat dihindari apabila Wajib Pajak diminta untuk menjelaskan atau mempertahankan angka-angka atau kata-kata yang terdapat dalam Surat Pemberitahuan.
Rerangka Pemikiran Perencanaan Pajak
BAB 3
METODE PENELITIAN 3.1 Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif yang hanya mendeskripsi data apa adanya dan menjelaskan data atau kejadian dengan kalimat-kalimat penjelasan secara kualitatif. Menurut Wirartha (2006:154) penelitian deskriptif berkaitan dengan pengumpulan data untuk memberi gambaran atau penegasan suatu konsep atau gejala, juga menjawab pertanyaan-pertanyaan sehubungan dengan status subyek penelitian pada saat ini. Dengan kata lain penelitian ini menurut Best (dalam Hartoto, 2009) berusaha menginterpretasi obyek sesuai dengan apa adanya. Artinya dalam penelitian deskriptif, penelitian tidak melakukan manipulasi variabel dan tidak menetapkan peristiwa yang akan terjadi, hanya membahas peristiwa-peristiwa yang saat sekarang terjadi.
Laporan Laba Rugi PT. “XYZ”
Tujuan utama adalah memberi gambaran secara sistematis fakta dan karakteristik obyek dan subyek yang diteliti secara tepat. Apa yang dipahami oleh Wajib Pajak dengan benar segala ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan serta perkembangannya dan selalu mengikuti secara terus-menerus perubahannya, dimana sesungguhnya pajak tersebut dapat di-manage dengan baik, agar tercapai suatu efesiensi pembayaran pajak.
Kenyataan yang terpikirkan oleh Wajib Pajak ketika melalui pendekatan pajak dari sudut perspektivisme yang konseptual.
Pertimbangan penggunaan metode kualitatif dalam penelitian ini adalah : 1. Diperlukan kontak langsung dengan participant / informan
2. Penelitian bersifat naturalistik dengan mempelajari situasi riil yang terjadi tanpa adanya manipulasi atau intervensi.
3. Analisis dilakukan secara induktif dengan cara mendalami data untuk menemukan dimensi dan hubungan yang penting.
4. Penggunaan metode kualitatif memiliki keunggulan karena dapat menggambarkan / menyampaikan secara jelas sudut pandang peneliti, lengkap dengan argumentasi dan latar belakang pengambilan kesimpulannya tanpa menutup untuk berdiskusi guna penyempurnaan hasil penelitian.
Informan dan Pengumpulan Informasi
Pemilihan informan dalam penelitian ini dilakukan secara sengaja, berdasarkan kriteria antara lain :
1. Subyek telah cukup lama dan insentif menyatu dengan kegiatan dan medan aktivitas yang menjadi sasaran penelitian. Subyek tidak hanya sekedar tahu dan dapat memberikan informasi, tetapi juga telah menghayati secara sungguh-sungguh sebagai akibat dari keterlibatannya cukup lama dengan lingkungan atau kegiatan yang bersangkutan.
2. Subyek masih terlibat secara aktif pada lingkungan atau kegiatan yang menjadi fokus penelitian.
Berdasarkan kriteria-kriteria tersebut, informan yang akan dipilih dalam penelitian ini terdiri atas : (1). Pegawai aktif Direktur Jenderal Pajak sebagai account representative. (2). Staf bagian perpajakan perusahaan PT. XYZ yang menjadi Wajib Pajak.
Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui wawancara yang tidak terstruktur, tidak terjadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam memberi informasi, para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi tersebut lebih dulu, serta dapat memberi penjelasan apa adanya.
Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data utama pada penelitian ini yang didasarkan pada penelitian kualitatif adalah observasi, wawancara dan dokumentasi.
1. Pengumpulan data melalui observasi ditujukan untuk memperoleh data tentang sebuah aktivitas yang tengah berlangsung.
2. Dalam penelitian ini pengumpulan data melalui wawancara yang tidak terstruktur, tidak terjadwal, dan dilakukan sedemikian rupa sehingga dalam memberi informasi, para informan tidak cenderung mengolah atau mempersiapkan informasi tersebut lebih dulu.
3. Dokumentasi dalam penelitian ini juga perlu mendapat perhatian selayaknya, karena
dokumen berguna untuk memberi latar belakang yang lebih luas mengenai pokok
penelitian, dan dapat dijadikan bahan triangulasi untuk mengecek kesesuaian data serta
merupakan sumber yang stabil, kaya dan mendorong, berupa dokumen resmi, yaitu
dokumen internal (peraturan, instruksi, aturan suatu lembaga) dan dokumen eksternal
(majalah. bulletin, pernyataan dan berita yang disiarkan kepada media massa).
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan
Pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan kepada para pegawai, berdasar pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan No. 36 Tahun 2008, bukan merupakan obyek pajak (penghasilan atau merupakan tambahan ekonomis yang diterima bukan dalam bentuk uang) sehingga tidak dikenakan pajak atas penghasilan tersebut, sebaliknya dari sudut pandang perusahaan yang mengeluarkan biaya tersebut, secara komersial merupakan biaya yang dapat dikurang dari penghasilan perusahaan, tetapi berdasar pasal 9 ayat (1) huruf e Undang-Undang Pajak Penghasilan merupakan biaya yang tidak boleh dikurang.
Apabila pemberian dalam bentuk natura dan kenikmatan, seperti dokter dan obat, diubah menjadi tunjangan kesehatan, maka berdasar pasal 4 ayat (1) huruf a Undang-Undang Pajak Penghasilan, tunjangan kesehatan yang diberi dalam bentuk uang tersebut merupakan penghasilan yang dikenakan pajak dan dilain pihak berdasar pasal 6 ayat (1) huruf a biaya tunjangan kesehatan tersebut dapat dikurang dari penghasilan bruto perusahaan, seperti terlihat pada diagram ini :
Pegawai Perusahaan
Bukan penghasilan Biaya tidak boleh dikurangkan
Penghasilan Biaya
(taxable) (deductible)
1. Dalam rangka pemeliharaan kesehatan para pegawai tetap yang bekerja di perusahaan berjumlah 100 orang, Perusahaan PT. XYZ menyediakan dokter dan pemberian obat- obatan cuma-cuma untuk seluruh pegawai, termasuk ongkos melahirkan berjumlah Rp 180.000.000,00 setahun atau rata-rata biaya untuk pemeliharaan kesehatan setiap pegawai setiap bulan berjumlah 1/12 x (180.000.000,00:100) Rp 150.000,00 atau sama dengan Rp 5.000,00 per orang per hari.
2. Oleh karena biaya tersebut merupakan biaya fiskal yang tidak boleh dikurang, maka akibat koreksi fiskal yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pajak, akan ada tambahan pajak sebesar 25% x Rp 180.000.000,00 Rp 45.000.000,00.
3. Untuk menghindari koreksi fiskal tersebut, penyediaan dokter dan pemberian obat dengan cuma-cuma tersebut, diganti dengan tunjangan kesehatan yang merupakan penghasilan pegawai yang bersangkutan yang akan dikenakan pajak (taxable) serta dilain pihak bagi Perusahaan PT. XYZ jumlah Rp 180.000.000,00 tersebut merupakan biaya yang boleh dikurang (deductible).
Dokter
&
obat
Tunjangan kesehatan
Taxable (dikenakan pajak) Deductible (dapat Dikurangkan)
4. Perhitungan Pajak Penghasilan terutang setelah diubah menjadi tunjangan kesehatan dapat terIihat pada tabel berikut ini:
Tabel 4.1
Perhitungan Komersial-Fiskal PT. XYZ Tahun 2011
Uraian Perhitungan
Komersial (Rp)
Perhitungan fiskal (Rp)
Perhitungan Koreksi Fiskal (Rp) Penghasilan
Biaya Komersial 10.000.000.000
7.500.000.000
10.000.000.000 7.500.000.000
- - Penghasilan Sebelum Pajak
Koreksi :
Biaya fiskal Tidak Boleh Dikurangkan
2.500.000.000
180.000.000
2.500.000.000
-
-
180.000.000 Penghasilan Kena Pajak
Pajak penghasilan terutang (badan)
2.320.000.000 580.000.000
2.500.000.000
625.000.000 45.000.000
Penghasilan setelah kena pajak
1.740.000.000 1.875.000.000 135.000.000
Pajak penghasilan yang dapat dihemat akibat dilakukan perubahan tersebut adalah sebesar (Rp 625.000.000,00-Rp 580.000.000,00) = Rp45.000.000,00 atau sama dengan 25% x Rp 180.000.000,00.
Transaksi Pemberian dalam Bentuk Natura dan/atau Kenikmatan
Prinsip taxable dan deductible merupakan prinsip yang lazim dipakai dalam perencanaan pajak, yang pada umumnya mengubah biaya yang tidak boleh dikurang menjadi biaya yang boleh dikurang atau sebaliknya mengubah penghasilan yang merupakan obyek pajak menjadi penghasilan yang tidak obyek pajak, dengan konsekuensinya terjadi perubahan pajak terutang akibat pengubahan tersebut. Seperti yang terlihat pada pasal 4 ayat (3) huruf d Undang-Undang Pajak Penghasilan, yaitu :
"yang dikecualikan dari obyek pajak adalah penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dari Wajib Pajak atau Pemerintah..."
Pasal 9 ayat (1) huruf e :
“Untuk menentukan besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap tidak boleh dikurangkan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk natura dan / atau kenikmatan……..”
Dua pasal diatas sudah sangat menjelaskan bahwa yang dikecualikan dari obyek pajak Wajib Pajak dalam negeri adalah yang berkaitan dengan penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa diberikan dalam bentuk natura dan atau kenikmatan. Menelusuri kalimat-kalimat dalam pasal-pasal tersebut maka Wajib Pajak dalam hal ini adalah pemberi kerja, sangat keberatan karena semua pemberian dalam bentuk natura dan / atau kenikmatan bagi pegawainya tidak dikategorikan sebagai biaya oleh Undang-undang Pajak Penghasilan sesuai dengan bunyi pasal-pasal tersebut. Tetapi Wajib Pajak “berlindung” dari kata “tunjangan” sebagai upaya penghematan pajak dimana kata tersebut terdapat pada pasal 4 ayat (1) huruf a :
“Yang menjadi obyek pajak penghasilan, yaitu setiap tambahan kemampuan ekonomis yang
diterima atau diperoleh Wajib Pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar
Indonesia, yang dapat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan Wajib Pajak
yang bersangkutan, dengan nama dalam bentuk apapun termasuk penggantian atau
imbalan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh
termasuk…..tunjangan….”
dan Wajib Pajak juga “berlindung” dari kata-kata pasal 6 ayat (1) huruf a, yaitu :
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dalam Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan termasuk biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk” :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang;
Artinya dari kalimat-kalimat yang terdapat pada pasal 4 ayat (3) huruf d (bukan merupakan obyek pajak), pasal 9 ayat (1) huruf e (merupakan biaya yang tidak boleh dikurangkan), oleh Wajib Pajak akan diubah menjadi sesuai dengan kalimat-kalimat pada pasal 4 ayat (1) huruf a (merupakan penghasilan yang kena pajak) dan dilain pihak berdasarkan pasal 6 ayat (1) huruf a biaya tunjangan dapat dikurang dari penghasilan bruto perusahaan. Dari sini pemerintah, khususnya jajaran Direktorat Jenderal Pajak harus lebih jeli lagi membuat kalimat-kalimat yang tertuang pada pasal-pasal Undang-Undang Pajak Penghasilan. Sehingga menurut peneliti penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan dengan nama dan dalam bentuk apapun (termasuk tunjangan kesejahteraan) tidak boleh dikurang sebagai biaya dan bukan merupakan penghasilan. Dipertegas kembali dalam pasal 6 ayat (1) huruf a:
“Besarnya Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak dalam negeri dan Bentuk Usaha Tetap, ditentukan berdasarkan penghasilan bruto dikurangi biaya untuk mendapatkan, menagih, dan mempelihara penghasilan termasuk biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk” :
a. biaya yang secara langsung atau tidak langsung berkaitan dengan kegiatan usaha, antara lain:
1. biaya pembelian bahan;
2. biaya berkenaan dengan pekerjaan atau jasa termasuk upah, gaji, honorarium, bonus, gratifikasi, dan tunjangan yang diberikan dalam bentuk uang, kecuali tunjangan kesejahteraan dan fasilitas yang diberi perusahaan bagi pegawai.
Juga termasuk fasilitas yang diberikan oleh perusahaan bagi para pegawai, seperti misal perusahaan mendirikan fasilitas pemeliharaan kesehatan di lingkungan perusahaan itu sendiri atau bekerjasama dengan pihak rumah sakit tertentu atau karyawan diikutkan asuransi kesehatan, sehingga klaim jika sakit dilakukan ke asuransi kesehatan. Karena dari kasus inipun, perusahaan masih "berlindung". Artinya, jika perusahaan memberi fasilitas kesehatan di lingkungan kerja sendiri, biaya-biaya yang menyangkut kesehatan para pegawai merupakan pengurang penghasilan bruto, dan itu biaya. Jadi, pemerintah harus lebih tegas terhadap kalimat-kalimat setiap pasalnya, bahwa usaha Wajib Pajak yang menyangkut biaya yang biasa dikenal sebagai "memaksimalkan pengurangan- pengurangan", yaitu pengalihan pemberian dalam bentuk natura ke bentuk-bentuk tunjangan yang dapat dikurang sebagai biaya harus lebih jelas.
Perusahaan akan selalu berusaha untuk meningkatkan kesejahteraan karyawannya
karena perusahaan menganggap bahwa karyawan adalah salah satu asset yang harus dijaga
dan terus ditingkatkan kesejahteraannya. Diharapkan dengan semakin meningkatnya
kesejahteraan hidup maka perusahaan akan menerima timbal balik yang besar. Namun
untuk dapat merealisasikan peningkatan kesejahteraan karyawan, perusahaan harus dapat
mengelola keuangan perusahaan dengan baik agar tujuan jangka pendek maupun tujuan
jangka panjang dapat tercapai tanpa mengabaikan kesejahteraan karyawan. Untuk itu salah
satu cara yang dapat dilakukan yaitu melakukan penghematan PPh Badan dengan usaha pengurangan pajak sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Upaya yang dapat dilakukan untuk penghematan PPh Badan adalah dengan perencanaan pajak, salah satunya perencanaan PPh pasal 21 yang dimaksudkan untuk menanggung PPh pasal 21 karyawan agar karyawan menerima penghasilan bersih tanpa dipotong pajak lagi. Oleh sebab itu PT.
XYZ bersedia menanggung jumlah Pajak Penghasilan karyawannya melalui net method yaitu menanggung jumlah pajak yang terutang sesuai perhitungan pajak yang telah dilakukan, namun kini PT. XYZ beralih menggunakan gross up method dalam menanggung Pajak Penghasilan karyawannya. Gross up method yaitu menanggung jumlah pajak yang terutang dengan cara memberikan tunjangan pajak. Metode ini menyamakan jumlah pajak yang seharusnya dibayar oleh karyawan dengan jumlah tunjangan pajak yang diberikan perusahaan pada karyawan. Melalui metode gross up, biaya yang dikeluarkan untuk menanggung pajak penghasilan karyawan tersebut dapat dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung laba rugi fiskal perusahaan sedangkan bila menggunakan net method biaya penanggungan pajak penghasilan karyawan tersebut tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang penghasilan bruto dalam menghitung laba rugi fiskal perusahaan karena biaya tersebut bukan merupakan penghasilan bagi karyawan dan bukan merupakan biaya fiskal bagi perusahaan. Adapun rumus metode gross up yang digunakan PT. XYZ dalam menghitung tunjangan pajak yang diberikan kepada karyawannya adalah sebagai berikut :
Tabel 4.2 Rumus Metode Gross Up
Lapisan Penghasilan Kena pajak (PKP) Rumus Menghitung PPh Pasal 21 sampai dengan Rp. 50.000.000,00 (lima puluh
juta rupiah)
(PKP x 5%) : 0,95
di atas Rp. 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) s.d Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah)
(PKP x 15%) – Rp. 5.000.000 0,85
di atas Rp. 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) s.d Rp. 500.000.000,00(lima ratus juta rupiah)
(PKP x 25%) – Rp. 30.000.000 0,75
di atas Rp. 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
Catatan : Berlaku untuk karyawan yang mempunyai NPWP
(PKP x 30%) – Rp. 55.000.000 0,70
Sumber : www.klinik-pajak.com
Kebijakan PT. XYZ atas gaji karyawan
PT. XYZ mengeluarkan kebijakan untuk mensejahterakan karyawannya dengan menanggung jumlah pajak penghasilan karyawan dan mengharuskan setiap karyawannya untuk mempunyai NPWP.
Setiap tahun karyawan mendapat Tunjangan Hari Raya sebesar 1 (satu) kali gaji pokok perbulan dan setiap bulannya karyawan PT. XYZ menerima penghasilan sebagai berikut : 1. Gaji Pokok
2. Tunjangan transport sebesar :
a. Rp. 500.000 untuk Direktur
b. Rp. 400.000 untuk Manager
c. Rp. 300.000 untuk Staf
3. Tunjangan anak sebesar Rp. 200.000 per anak dengan ketentuan maksimun 3 (tiga) anak 4. Sedangkan iuran yang dibayar oleh perusahaan langsung kepada pihak asuransi adalah
sebagai berikut :
a. Premi asuransi kecelakaan kerja sebesar 1% x gaji pokok b. Premi asuransi kematian sebesar 0,5% x gaji pokok
Sedangkan iuran yang dibayar sendiri oleh karyawan dan dipotongkan wajib setiap bulannya adalah sebagai berikut :
a. Iuran pensiun sebesar Rp. 50.000
b. Iuran Jaminan Hari Tua sebesar Rp. 25.000
Pelaksanaan perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 PT. XYZ
Pada saat PT. XYZ hendak membayar gaji karyawannya, PT. XYZ tentu memotong Pajak Penghasilan pasal 21 atas gaji karyawannya tersebut. Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 dimulai dengan menghitung penghasilan neto. Penghasilan neto didapat dari jumlah penghasilan bruto yaitu gaji pokok ditambah tunjangan yang dibayar perusahaan dan ditambah dengan premi asuransi kecelakaan kerja dan premi asuransi kematian yang kemudian dikurangi biaya jabatan, iuran pensiun, iuran Jaminan Hari Tua yang dibayar sendiri oleh karyawan yang bersangkutan, setelah penghasilan neto sebulan diketahui kemudian disetahunkan untuk memperoleh penghasilan neto setahun (penghasilan neto sebulan dikalikan 12 (dua belas) yaitu jumlah bulan dalam setahun). Setelah didapat penghasilan neto setahun, kemudian penghasilan neto tersebut dikurangi dengan PTKP sesuai dengan status karyawan yang bersangkutan. Dari hasil pengurangan tersebut di dapat Penghasilan Kena Pajak (PKP). Atas dasar penghasilan kena pajak tersebut, kemudian dihitung PPh Pasal 21 setahun yang digunakan sebagai acuan untuk memberikan tunjangan pajak pada karyawan.
Formula perhitungan tunjangan pajak dan PPh Pasal 21 atas gaji karyawan selama 1 (satu) tahun dengan menggunakan net method dapat dilihat pada contoh berikut ini :
Nama : Alfin Status : K/2
Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 :
Gaji Pokok Rp. 180.000.000
Penghasilan tambahan Rp. 1.850.000
Tunjangan transport (Rp. 500.000 x 12 bulan) Rp. 6.000.000 Tunjangan anak (Rp. 200.000 x 2 x 12 bulan) Rp. 4.800.000
THR Rp. 15.000.000
Premi asuransi kecelakaan kerja (1% x Rp. 15.000.000) Rp. 1.800.000 Premi asuransi kematian (0,5% x Rp. 15.000.000) Rp. 900.000+
Total penghasilan bruto Rp. 210.350.000
Dikurangi :
Biaya jabatan Rp. 6.000.000
Iuran pensiun (Rp. 50.000 x 12 bulan) Rp. 600.000 Iuran JHT (Rp. 25.000 x 12 bulan) Rp. 300.000+
(Rp. 6.900.000)-
Total penghasilan neto Rp. 203.450.000
PTPK :
Wajib Pajak Rp. 15.840.000
Kawin Rp. 1.320.000
Tanggungan (2 x Rp. 1.320.000) Rp. 2.640.000+
(Rp. 19.800.000)-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 183.650.000
PPh pasal 21 terutang :
5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000 15% x Rp. 133.650.000 = Rp. 20.047.500+
Rp. 22.547.500 Take home pay
= Rp. 203.450.000 : 12
= Rp. 16.954.167
Jumlah sebesar Rp. 22.547.500 akan ditanggung oleh PT. XYZ. Sedangkan bila menggunakan gross up method, formula perhitungan tunjangan pajak dan PPh Pasal 21 atas gaji karyawan selama 1 (satu) tahun dapat dilihat pada contoh berikut ini :
Nama : Alfin Status : K/2
Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 :
Gaji Pokok Rp. 180.000.000
Penghasilan tambahan Rp. 1.850.000
Tunjangan transport (Rp. 500.000 x 12 bulan) Rp. 6.000.000 Tunjangan anak (Rp. 200.000 x 2 x 12 bulan) Rp. 4.800.000
THR Rp. 15.000.000
Premi asuransi kecelakaan kerja (1% x Rp. 15.000.000) Rp. 1.800.000 Premi asuransi kematian (0,5% x Rp. 15.000.000) Rp. 900.000+
Total penghasilan bruto Rp. 210.350.000
Dikurangi :
Biaya jabatan Rp. 6.000.000
Iuran pensiun (Rp. 50.000 x 12 bulan) Rp. 600.000 Iuran JHT (Rp. 25.000 x 12 bulan) Rp. 300.000+
(Rp. 6.900.000)-
Total penghasilan neto Rp. 203.450.000
PTPK :
Wajib Pajak Rp. 15.840.000
Kawin Rp. 1.320.000
Tanggungan (2 x Rp. 1.320.000) Rp. 2.640.000+
(Rp. 19.800.000)-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 183.650.000
PPh pasal 21 terutang :
(15% x Rp. 183.650.000)-Rp. 5.000.000 = Rp. 26.526.400 0,85
Take home pay
= Rp. 203.450.000 : 12
= Rp. 16.954.167
Jumlah sebesar Rp. 26.526.400 akan ditanggung oleh PT. XYZ melalui tunjangan pajak.
Pembuktian perhitungan tunjangan pajak di dalam slip gaji yang diberikan PT. XYZ adalah sebagai berikut :
Nama : Alfin Status : K/2
Perhitungan Pajak Penghasilan pasal 21 :
Gaji Pokok Rp. 180.000.000
Penghasilan tambahan Rp. 1.850.000
Tunjangan transport (Rp. 500.000 x 12 bulan) Rp. 6.000.000 Tunjangan anak (Rp. 200.000 x 2 x 12 bulan) Rp. 4.800.000
Tunjangan pajak Rp. 26.526.400
THR Rp. 15.000.000 Premi asuransi kecelakaan kerja (1% x Rp. 15.000.000) Rp. 1.800.000 Premi asuransi kematian (0,5% x Rp. 15.000.000) Rp. 900.000+
Total penghasilan bruto Rp. 236.876.400
Dikurangi :
Biaya jabatan Rp. 6.000.000
Iuran pensiun (Rp. 50.000 x 12 bulan) Rp. 600.000 Iuran JHT (Rp. 25.000 x 12 bulan) Rp. 300.000+
(Rp. 6.900.000)-
Total penghasilan neto Rp. 229.976.400
PTPK :
Wajib Pajak Rp. 15.840.000
Kawin Rp. 1.320.000
Tanggungan (2 x Rp. 1.320.000) Rp. 2.640.000+
(Rp. 19.800.000)-
Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp. 210.176.400
PPh pasal 21 terutang :
5% x Rp. 50.000.000 = Rp. 2.500.000 15% x Rp. 160.176.400 = Rp. 24.026.400+
Rp. 26.526.400 Take home pay
= Rp. 229.976.400 – 26.526.400 12
= Rp. 16.954.167
Berdasarkan perhitungan pembuktian diatas dapat diketahui bahwa jumlah PPh pasal 21 yang terutang sama dengan tunjangan pajak yang diberikan PT. XYZ.
Melalui perhitungan yang dilakukan oleh peneliti maka dapat ditarik kesimpulan bahwa perhitungan pajak penghasilan pasal 21 gross up lebih menguntungkan karena beban ini tidak dapat di kurangkan dari laba bruto perusahaan pada laporan rugi laba fiskal sesuai dengan Pasal 9 Ayat 1 huruf h Undang-undang No. 10 Tahun 1994 tentang Pajak Penghasilan.
Dengan demikian, bila perusahaan melakukan gross up itu berarti perusahaan memberikan tunjangan pajak (PPh 21) sebesar PPh Pasal 21 terutang. Bila perusahaan memilih kebijakan ini, itu berarti sebenarnya perusahaan menambah penghasilan pegawai sebesar PPh 21 terutang, dan PPh Pasal 21 dipotong dari tambahan penghasilan tersebut yang besarnya sama dengan PPh Pasal 21 terutang. Sementara ditanggung, berarti tidak ada tambahan penghasilan yang diberikan kepada pegawai.
Pengaruh PPh Pasal 21 Terhadap Laporan Laba Rugi Fiskal PT. XYZ
Dalam mengikhtisarkan pendapat dan pengeluaran beban dari PT. XYZ selama satu tahun, maka disusunlah laporan Laba Rugi oleh Accounting PT. XYZ. Laporan ini merupakan gambaran dari kegiatan usaha, baik berupa kemajuan maupun hambatan- hambatan yang dihadapi oleh perusahaan pada saat menjalankan kegiatan usahanya.
Laporan Laba Rugi tersebut disusun dalam dua jenis, yaitu laporan Laba Rugi Fiskal dan Laporan Laba Rugi Komersial. Kedua jenis laporan Laba Rugi tersebut dibuat karena adanya perbedaan pengakuan atas pendapatan maupun biaya menurut perusahaan (selaku Wajib Pajak) dengan pihak Direktorat Jenderal Pajak (selaku fiskus yang mewakili negara).
Laporan Laba Rugi Fiskal adalah laporan yang disusun oleh PT. XYZ berdasarkan
peraturan perpajakan yang digunakan untuk keperluan perhitungan pajak sedangkan
laporan Laba Rugi Komersial disusun berdasarkan Standar Akuntansi Keuangan yang
berlaku di Indonesia yang digunakan untuk keperluan pihak internal dan eksternal perusahaan dalam pengambilan keputusan.
Dengan digunakannya gross up method dalam perhitungan Pajak Penghasilan Pasal 21 atas gaji karyawan terbukti berpengaruh terhadap unsur biaya Gaji dalam laporan Laba Rugi Fiskal PT. XYZ bila dibandingkan dengan penggunaan net method yang dilakuan PT.
XYZ pada saat sebelum melakukan perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21. Perbandingan atas penerapan pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 terhadap laporan Laba Rugi Fiskal tersebut dapat dilihat pada table 4.3 berikut ini :
Tabel 4.3
Laporan Laba Rugi Fiskal PT. XYZ Tahun 2011
Uraian
Laporan Laba Rugi Menggunakan
Net Method
Laporan Laba Rugi Menggunakan Gross up Method
PENDAPATAN USAHA : Pendapatan Tol
Pendapatan Sewa BIAYA USAHA : Biaya Gaji
Biaya Jasa Profesional
Biaya Penyusutan Aktiva Tetap Biaya Pajak Bumi dan Bangunan Biaya Sewa
Biaya Listrik dan Air
Biaya Mesin dan Peralatan Tol Biaya Pemeliharaan Jalan Tol Biaya Perbaikan dan Pemeliharaan Biaya Representasi dan Sumbangan Biaya Bahan Bakar dan Pelumas Biaya Perjalanan Dinas
Biaya Asuransi
Biaya Rapat dan Keperluan Kantor Biaya Telekomunikasi
Biaya umum lainnya Laba (Rugi) Sebelum Pajak
57.964.111.550 475.084.000
9.717.402.310 3.298.573.768 3.264.827.429 2.682.315.114 1.878.547.808 1.477.502.280 706.666.652 448.679.882 382.770.488 343.718.641 287.525.900 219.638.400 213.171.326 137.932.744 132.764.158 444.724.914 32.801.996.624
57.964.111.550 475.084.000
9.898.877.310
3.298.573.768 3.264.827.429 2.682.315.114 1.878.547.808 1.477.502.280 706.666.652 448.679.882 382.770.488 343.718.641 287.525.900 219.638.400 213.171.326 137.932.744 132.764.158 444.724.914 32.620.521.624 Sumber : Data Internal PT.XYZ yang diolah peneliti
Berdasarkan tabel 4.3 di atas dapat dilihat adanya perbedaan antara penggunaan net method dengan penggunaan gross up method dalam unsur biaya gaji pada laporan Laba Rugi Fiskal PT. XYZ. Pada penggunaan net method di dapat biaya gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 9.880.053.210 yang berasal dari :
Karyawan tetap :
Total gaji karyawan Rp. 6.896.400.000
Total penghasilan tambahan karyawan Rp. 160.338.300
Total tunjangan transport Rp. 411.000.000
Total tunjangan anak Rp. 266.000.000
Total THR Rp. 1.330.700.000
Total premi kecelakaan kerja Rp. 64.722.210
Total premi kematian Rp. 44.482.000
Total PPh Pasal 21 yang ditanggung perusahaan Rp. 162.650.900+
Total biaya gaji karyawan tetap Rp. 9.336.293.410 Karyawan tidak tetap :
Total gaji karyawan Rp. 543.759.800+
Total biaya gaji karyawan seluruhnya Rp. 9.880.053.210
Namun total Pajak Penghasilan Pasal 21 sejumlah Rp. 162.650.900 tidak bisa dibiayakan dalam laporan Laba Rugi Fiskal karena menurut Undang-undang No. 36 Tahun 2008 pasal 9 ayat (1) huruf h menyebutkan bahwa Pajak Penghasilan tidak dapat dikurangkan sebagai pengurang laba bruto perusahaan sehingga dalam laporan Laba Rugi Fiskal bila menggunakan net method biaya gaji karyawan yang tercantum adalah sebesar Rp.
9.717.402.310. Sedangkan pada penggunaan gross up method dalam laporan Laba Rugi Fiskal di dapat biaya gaji yang dikeluarkan oleh perusahaan sebesar Rp. 9.898.877.310 yang berasal dari :
Karyawan tetap :
Total gaji karyawan Rp. 9.896.400.000
Total penghasilan tambahan karyawan Rp. 160.338.300
Total tunjangan transport Rp. 411.000.000
Total tunjangan anak Rp. 266.000.000
Total tunjangan pajak Rp. 181.475.000
Total THR Rp. 1.330.700.000
Total premi kecelakaan kerja Rp. 64.722.210
Total premi kematian Rp. 44.482.000+
Total biaya gaji karyawan tetap Rp. 9.355.117.510 Karyawan tidak tetap :
Total gaji karyawan Rp. 543.759.800+
Total biaya gaji karyawan seluruhnya Rp. 9.898.877.310
Selain berdampak pada unsur biaya gaji, perencanaan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan memberikan tunjangan pajak penghasilan pada karyawan berdampak pula terhadap Laba Fiskal yang diperoleh perusahaan karena menurut pasal 4 ayat (1) Undang-undang Nomor 36 tahun 2008, pemberian tunjangan Pajak Penghasilan Pasal 21 sebesar Rp.
181.475.000 yang dimasukkan dalam daftar gaji dapat menaikkan biaya operasional
perusahaan dan dengan sendirinya menyebabkan Laba Fiskal menjadi kecil sehingga Pajak
Badan yang terhutang menjadi lebih kecil. Untuk mengetahui berapa pajak yang dapat di
hemat melalui perencanaan pajak yang telah diterapkan oleh PT. XYZ melalui perhitungan
pemotongan Pajak Penghasilan Pasal 21 dengan menggunakan gross up method adalah
sebagai berikut :
Tabel 4.4
Tax Saving yang diperoleh atas perencanaan PPh Pasal 21 Tahun 2011 Uraian
PPh Net Method
PPh Gross up Method
Laba Fiskal sebelum pajak PPh terutang
Tax Saving
Rp. 32.801.996.624 Rp. 8.950.499.156
Rp. 32.620.521.624 Rp. 8.905.130.406 Rp. 45.368.750