SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF
KULIT KAYU Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
HIKMA YANTI
SEKOLAH PASCASARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
PERNYATAAN MENGENAI
TESIS DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini.
Bogor, Juni 2008
ABSTRACT
HIKMA YANTI. The Antitermitic Properties of Extractives from Bark of Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Supervisors: WASRIN SYAFII and IGK TAPA DARMA.
This study was undertaken mainly to isolate and identify antitermitic substances that may be prospective as wood natural preservative from the bark of Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. The woodmeal of the samples were extracted with acetone. The acetone extract was then fractionated into n-hexane soluble fraction, ethyl ether soluble fraction, ethyl acetate soluble fraction, and insoluble fraction. The antifeedant bioassay test was carried out by treating paper discs with extracts at six level of concentration i.e. 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, and 10% (w/w). The bioassay test revealed that ethyl ether soluble fraction exhibited high toxicity to subterranean termite Coptotermes curvignathus Holmgren. Further investigation of the ethyl ether soluble fraction led to the isolation and identification of the possibly main compound addressed as pentahydroxyflavane (C15H14O6).
RINGKASAN
HIKMA YANTI. Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. Dibimbing oleh WASRIN SYAFII dan IGK TAPA DARMA
Sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia (sekitar 80 – 85 persen) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah diserang oleh organisme perusak kayu. Untuk meningkatkan umur pakai dan mengefisienkan penggunaan kayu dilakukan proses pengawetan kayu. Namun demikian penggunaan bahan pengawet tersebut seringkali menimbulkan masalah terhadap lingkungan karena bersifat non biodegaradable. Oleh karena itu perlu upaya pengembangan bahan pengawet alami yang bersifat biodegradable dan renewable.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah (C. curvignathus Holmgren) dengan cara isolasi dan mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap. Penelitian dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong.
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth yang diperoleh dari Darmaga Bogor yang dibuat serbuk dengan ukuran 40 – 60 mesh dan diekstraksi dengan pelarut aseton. Hasil ekstraksi berturut-turut difraksinasi bertingkat dengan pelarut n-heksan, etil eter, etil asetat. Untuk uji toksikologi digunakan rayap tanah C. curvignathus Holmgren dan bahan lain seperti kertas selulosa Whatmann. Untuk isolasi dilakukan dengan kolom kromatografi yang menggunakan silika gel 60 F254 (produk E. Merck 1.07734) dan kromatografi lapis tipis (KLT) yang menggunakan lempeng silika gel GF254 (produk E. Merck 05554).
Tahapan dalam penelitian ini adalah ekstraksi dan fraksinasi bertingkat kulit kayu A. auriculiformis, pengujian anti rayap untuk menentukan fraksi teraktif, isolasi untuk memperoleh senyawa murni dari fraksi teraktif kemudian identifikasi senyawa aktif untuk mengetahui struktur molekulnya.
Hasil ekstraksi dan fraksinasi bertingkat menunjukkan bahwa A. auriculiformis mengandung 19,660% ekstrak yang larut dalam aseton, yang terdiri dari 0,843% fraksi n-heksan, 7,911% fraksi etil eter, 4,176% fraksi etil asetat dan 6,730% residu. Pengujian anti rayap C. curvignathus menghasilkan fraksi teraktif adalah fraksi etil eter karena pada konsentrasi 4% sudah memiliki aktivitas anti rayap sangat kuat dan diikuti fraksi etil asetat, n-heksan, aseton dan residu.
© Hak cipta milik IPB, tahun 2008 Hak cipta dilindungi Undang-undang
1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebut sumber.
a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan suatu masalah.
b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB.
SIFAT ANTI RAYAP ZAT EKSTRAKTIF
KULIT KAYU Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
HIKMA YANTI
Tesis
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada
Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan
SEKOLAH PASCA SARJANA
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Judul Tesis : Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
Nama Mahasiswa : Hikma Yanti
NIM : E051060121
Disetujui:
Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M.Agr. Prof. Dr. Ir. IGK. Tapa Darma, M.Sc. Ketua Anggota
Diketahui
Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Imam Wahyudi, MS. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, MS. .
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karuniaNya sehingga pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis berjudul “Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.” ini dapat diselesaikan. Tesis ini disusun berdasarkan hasil penelitian selama 7 bulan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong. Terima kasih dan penghargaan penulis ucapkan kepada:
1. Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing yang telah banyak membimbing dan memberikan masukan serta saran dalam berbagai kesempatan diskusi yang terkait dengan penelitian ini.
2. Rektor Universitas Tanjungpura, Dekan Fakultas Kehutanan, dan Ketua Jurusan Teknologi Hasil Hutan atas kesempatan untuk melanjutkan Program Studi Pasca Sarjana dan biaya bantuan penyelesaian studi.
3. Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia yang memberikan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS).
4. Staf Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong yang telah banyak memberikan bantuan selama penulis melaksanakan penelitian, Pak Atin, Mas Wawan, Bu Rita, Bu Suminar, Pak Sabur, Pak Hanafi, Pak Ahmad, Mbak Sofa dan Pak Ari (Dosen FMIPA UNTAN).
5. Ayahanda H. Kamaruzzaman (alm), Ibunda Hj. Lawamah, mertuaku Darmadi dan Surati, Mbah, saudara-saudaraku (Nailul Qomariah, Rina Almiyah, Nanang Kazwini dan Safroni) , abang dan adik ipar, keponakan serta keluarga di Pontianak atas segala doa dan kasih sayangnya.
6. Suami dan putriku tercinta (Hendra Mart Priyanto, S. Hut dan Nafdariffa Azzahra Anandraputri) atas cinta, kasih sayang, pengorbanan dan dukungannya selama penulis menjalani studi, sehingga mengurangi hari-hari kebersamaan kita. Tanpa pengertian dan dukungan keluarga tercinta mustahil studi ini dapat terselesaikan dengan baik.
7. Teman-teman angkatan 2006 di pasca sarjana (eka, bu syahidah dll), dan teman-teman seprofesi di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura, teman seperjuangan (teteh, kak ida, yusro) dan penghuni Regensi B-26 yang telah memberi semangat dan dorongan selama proses belajar.
Selain itu tesis ini dapat terselesaikan juga atas dukungan dan dorongan berbagai pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu per satu, untuk itu penulis menyampaikan terimakasih dan penghargaan yang sebesar-besarnya.
Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Juni 2008
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Pontianak pada tanggal 24 Januari 1977. Penulis adalah anak ketiga dari lima bersaudara. Ayah bernama H. Kamaruzzaman (alm) dan Ibu bernama Hj. Lawamah. Penulis menikah dengan Hendra Mart Priyanto, S. Hut pada tanggal 16 Pebruari 2003 dan telah dikaruniai seorang putri pada tanggal 24 Januari 2004 bernama Nafdariffa Azzahra Anandraputri.
Pendidikan dasar penulis selesaikan di Sekolah Dasar Negeri 01 Pontianak tahun 1989 dan Sekolah Menengah Pertama Negeri 11 Pontianak hingga tahun 1992, kemudian penulis melanjutkan ke Sekolah Menengah Atas Negeri 3 Pontianak dan lulus tahun 1995. Pada tahun yang sama melanjutkan pendidikan di Jurusan Kehutanan Program Studi Teknologi Hasil Hutan Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura Kalimantan Barat dan lulus pada tahun 2000.
Pada bulan Desember tahun 2000 penulis diterima menjadi staf pengajar (dosen) di Fakultas Kehutanan Universitas Tanjungpura Pontianak. Pada tahun 2006 diterima sebagai mahasiswa S2 Sekolah Pascasarjana IPB pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan (IPK) Program Studi Teknologi Hasil Hutan dengan Beasiswa Program Pasca Sarjana (BPPS)
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Ilmu Pengetahuan Kehutanan penulis menyusun tesis dengan judul “Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif Kulit Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.” dibawah bimbingan Prof. Dr. Ir. Wasrin Syafii, M. Agr. sebagai ketua Komisi Pembimbing, dan Prof. Dr. Ir. IGK Tapa Darma, M.Sc. sebagai anggota Komisi Pembimbing.
DAFTAR ISI
Identifikasi Masalah ... 3
Tujuan Penelitian .. ... 3
Manfaat Penelitian ... 3
Hipotesis... ... 3
TINJAUAN PUSTAKA ... 4
Keawetan Alami Kayu ... 4
Zat Ekstraktif... ... 6
Batasan dan Ruang Lingkup ... 6
Penggolongan Zat Ekstraktif... 7
Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif... 9
Metode Pengujian Sifat Anti Rayap... 11
Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif ... 12
Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) ... 14
Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth. ... 17
BAHAN DAN METODE ... 19
Tempat dan Waktu Penelitian ... 19
Bahan dan Alat... ... 19
Bahan ... ... 19
Alat ... ... 19
Metode Penelitian.. ... 20
Persiapan Sampel ... 20
Ekstrak Serbuk Kulit Kayu ... 20
Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak ... 22
Uji Bioassay Zat Ekstraktif terhadap Rayap Tanah ... 22
Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kulit A. auriculiformis dengan Kromatografi Kolom ... 23
Identifikasi Komponen Bioaktif... 24
HASIL DAN PEMBAHASAN... 25
Kandungan Zat Ekstraktif ... 25
Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth ... ... 26
Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren ... 26
Isolasi Fraksi Teraktif Etil Eter dari Ekstrak Kulit
A. auriculiformis... 30
Identifikasi Senyawa dalam Fraksi PE-2 ... 31
SIMPULAN DAN SARAN ... 33
Simpulan ... ... 33
Saran... ... 33
DAFTAR PUSTAKA . ... 34
DAFTAR TABEL
Halaman
1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan
lamanya pemakaian kayu ... 5
2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai
insektisida pada serangga... 11
3 Titik didih, titik beku dan konstanta dielektrik beberapa
jenis pelarut .. ... 13
4 Klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak kulit
A. auriculiformis ... 23
5 Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kulit
A. auriculiformis... 25
DAFTAR GAMBAR
Halaman 1 Skema ekstraksi dan fraksinasi dari serbuk Kulit Kayu
A. auriculiformis ... 21
2 Pengujian sifat anti rayap ... 23
3 Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dan fraksi-fraksinya pada contoh uji dengan mortalitas rayap tanah
C. curvignathus setelah pengumpanan selama 4 minggu ... 26
4 Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dengan kehilangan berat kertas uji selulosa ... 29
5 Penampakan kertas uji pada beberapa taraf konsentrasi setelah
Diumpankan pada rayap tanah C. curvignathus Holmgren ... 30
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman 1 Mortalitas rata-rata rayap tanah C. curvignathus Holmgren
setelah diumpankan selama 4 minggu ... 38
2 Kehilangan berat contoh uji kertas rata-rata setelah diumpankan
pada rayap tanah C. curvignathus selama 4 minggu ... 39
3 Gambar spektrum Proton NMR senyawa PE-2 ... 40
4 Gambar spektrum Carbon NMR senyawa PE-2 ... 41
1
PENDAHULUAN
Latar BelakangSeperti diketahui bahwa sebagian besar kayu yang terdapat di Indonesia
(sekitar 80 – 85 persen) mempunyai keawetan alami yang rendah sehingga mudah
diserang oleh organisme perusak kayu, misalnya jamur dan rayap. Organisme
perusak kayu tersebut dapat menyerang pohon, log, papan, maupun barang-barang
yang terbuat dari bahan kayu. Dari segi efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan,
penyerangan kayu dan produk kayu oleh organisme tersebut sangat merugikan
karena dapat memperpendek masa pakai kayu yang bersangkutan. Dalam rangka
peningkatan efisiensi pemanfaatan sumber daya hutan, khususnya kayu, maka
perlu dilakukan usaha-usaha untuk memperpanjang masa pakai kayu, misalnya
melalui proses pengawetan dengan bahan kimia (Syafii 2000a).
Untuk meningkatkan umur pakai dan mengefisienkan penggunaan kayu,
berbagai upaya telah dilakukan diantaranya dengan melakukan proses pengawetan
menggunakan bahan pengawet sintetis. Namun demikian penggunaan bahan
pengawet tersebut seringkali menimbulkan masalah terhadap lingkungan karena
pada umumnya bersifat sukar terurai di alam (non biodegaradable). Seiring
dengan meningkatnya kepedulian masyarakat terhadap lingkungan, bahan
pengawet sintetis ini mulai dibatasi penggunaannya.
Oleh karena itu perlu diupayakan untuk mencari bahan pengawet alternatif
yang lebih aman terhadap lingkungan, salah satunya adalah dengan memanfaatkan
sumber daya alam hayati yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet yang
bersifat bio degradable dan renewable misalnya zat ekstraktif.
Syafii dan Yoshimoto (1993) melaporkan bahwa zat ekstraktif kayu teras
lebih beracun dibandingkan dengan kayu gubal pada pohon yang sama dan
keawetan teras tersebut akan berkurang secara drastis apabila kayu tersebut di
ekstraksi dengan air panas atau pelarut organik. Harun dan Labosky (1985) dalam
Sari dan Syafii (2001), menyatakan bahwa diduga zat ekstraktif yang terdapat
dalam kayu awet juga terdapat dalam kulitnya, mengingat pembentukan jaringan
kayu teras dan kulit kayu dimulai dari meristem sekunder yang sama dan
2
hampir sama dari kedua jaringan tersebut. Doi dan Kurimoto (1998) dalam Sari
dan Syafii (2001) membuktikan bahwa ekstrak aseton, n-heksan, dan metanol
kayu teras sugi (Cryptomeria japonica) memiliki karakteristik resistensi terhadap
rayap tanah Reticulitermes speratus yang lebih tinggi dari kulit dan kayu
gubalnya.
Penelitian mengenai sifat anti rayap komponen bioaktif kayu sudah
banyak dilakukan oleh para peneliti. Menurut Syafii (2000)a, ekstrak aseton kayu
damar laut (Hopea spp.) menunjukkan aktivitas yang tinggi dalam menghambat
perkembangan rayap Cryptotermes cynocephalus. Latifolin dan noeflavanoid
yang diisolasi dari kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) juga dilaporkan
mempunyai sifat bio-aktif terhadap perkembangan C. curvignathus (Syafii 2000)b.
Penelitian sifat anti rayap zat ekstraktif kulit kayu jati (Tectona grandis L.F.) juga
telah dilakukan oleh Sari dan Syafii (2001). Dilaporkan bahwa zat ekstraktif yang
terdapat pada kulit kayu jati terutama pada fraksi n-heksan mempunyai sifat anti
rayap yang relatif tinggi terhadap rayap tanah C. curvignathus.
Acacia auriculiformis merupakan tanaman perdu berukuran besar atau
sedang yang berfungsi sebagai tanaman yang mampu memproduksi nitrogen,
toleran terhadap tanah yang tidak subur, asam, basa ber-garam atau tergenang,
musim kering, dan sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Hanum and Van
Der Maesen (1997) menyatakan bahwa kayu akasia mengandung flavanoid dalam
jumlah yang sangat besar yaitu sekitar 70% dari volume kayu terasnya. Harborne
(1974) dalam Rinawati et al. (1996) menyatakan bahwa senyawa yang tergolong
flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker, antiinflamasi,
antialergi, pengawet makanan, dan penurunan tekanan darah tinggi. Hal ini
menunjukkan bahwa kayu akasia mengandung senyawa bioaktif. Oleh karena itu,
kayu akasia diduga mengandung senyawa bioaktif yang bersifat racun terhadap
serangga perusak kayu khususnya rayap tanah. Komponen bioaktif kayu akasia
3
Identifikasi Masalah
Permasalahan yang ingin dijawab melalui pelaksanaan penelitian ini
adalah :
1. Kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif apa dari kulit kayu Acacia
auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah
(Coptotermes curvignathus Holmgren).
2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu
A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk:
1. Mengetahui kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit kayu A.
auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap tanah
(C. curvignathus Holmgren) dengan cara isolasi.
2. Mengidentifikasi komponen senyawa tunggal dalam zat ekstraktif kulit kayu
A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang diduga bersifat anti rayap.
Manfaat Penelitian
Dengan diketahuinya kandungan ekstraktif dan komponen bioaktif kulit
kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. yang bersifat racun terhadap rayap
maka diharapkan dapat bermanfaat sebagai pengawet alami kayu.
Hipotesis
Hipotesis dari penelitian ini adalah kandungan ekstraktif yang terdapat di
dalam kulit kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. diduga bersifat racun
4
TINJAUAN PUSTAKA
Keawetan Alami KayuKeawetan alami kayu adalah kemampuan kayu untuk menahan serangan
terhadap mikroorganisme (Eaton dan Hale 1993). Keawetan kayu secara alami
ditentukan oleh jenis dan banyaknya ekstraktif di dalam kayu yang bersifat racun
terhadap organisme perusak kayu seperti tanin, alkaloid, saponin, fenol, quinone
dan damar (Tsoumis 1991). Keawetan alami ini akan bervariasi sesuai dengan
banyaknya serta jenis ekstraktifnya. Hal ini menyebabkan keawetan alami kayu
berbeda-beda dalam menghadapi resiko pelapukan menurut jenis kayu, baik
dalam jenis yang sama maupun dalam pohon yang sama.
Sejumlah metabolit sekunder berperan sebagai fungisida atau antibiotik,
melindungi tanaman dari jamur dan bakteri seperti pterocarpan, pisatin,
sesquiterpenoid dan phytoalexin. Sedangkan metabolit sekunder lain bersifat
toksik terhadap serangga antara lain alkaloid dan cyanogenik glikogen yang
mencegah kerusakan tanaman dengan membunuh predator tersebut (Vickery dan
Vickery 1981).
Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya
zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat
di dalam kayu. Eaton dan Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif
diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan
dalam mencegah serangan serangga.
Pada umumnya jenis kayu yang awet secara alami memiliki warna yang
lebih gelap pada kayu terasnya dibandingkan dengan jenis kayu yang kurang
awet. Warna yang secara alami terdapat pada kayu teras sebagai akibat adanya
ekstraktif yang diendapkan pada saat pembentukan kayu teras tersebut. Namun
daya tahannya terhadap organisme sangat ditentukan oleh adanya zat ekstraktif
yang bersifat racun meskipun kandungannya sedikit.
Faktor utama yang menyebabkan keawetan alami kayu adalah adanya zat
ekstraktif yang bersifat racun yang terdapat di dalam kayu teras yang terbentuk
selama proses pembentukan kayu teras tersebut (Syafii 2001). Pada umumnya
5
pengendapan unsur-unsur kimia tertentu yang terdapat di dalam kayu selama
peralihan kayu gubal menjadi kayu teras (Pandit dan Ramdan 2002). Senyawa
polifenol pinosilvin bertanggung jawab terhadap ketahanan kayu teras pinus
dibandingkan dengan kayu gubalnya (Walker 1993). Sejumlah senyawa aromatik
seperti fenol, stilbena, flavonoid, tanin, kuinon, tropolon, lignan dan substansi
lainnya terdapat pada kayu teras dan kulit. Tidak ada jenis kayu yang awet yang
berasal dari kayu gubal. Pada akhirnya penggolongan kayu akan didasarkan pada
keawetan alami dari kayu teras berdasarkan lamanya pemakaian kayu tersebut
(Tabel 1).
Tabel 1 Klasifikasi tingkat keawetan alami kayu teras berdasarkan lamanya
pemakaian kayu
Kelas Awet Kayu Tingkat Keawetan
I
Selain faktor zat ekstraktif, ketahanan alami dipengaruhi pula oleh jumlah
dan tipe lignin (Zabel dan Morrel 1992). Lignin kayu daun lebar disusun oleh tipe
siringil dan guaiasil, sedangkan kayu daun jarum disusun oleh tipe guaiasil. Kayu
yang ligninnya didominasi oleh tipe guaiasil cenderung lebih tahan terhadap
pelapukan dibandingkan tipe siringil. Syafii et al. (1987) menyatakan bahwa kayu
ulin, kayu bengkirai, kayu kohi, dan kayu malas memiliki laju pelapukan oleh
Coriolus versicolor yang lebih rendah dibandingkan kayu yang lainnya. Kayu
tersebut memiliki lignin dengan tipe guaiasil yang lebih dominan dibandingkan
dengan tipe siringil.
Keawetan alami pada pohon beragam, khususnya pada jenis yang
keawetannya tinggi. Keragaman terjadi di antara jenis yang berbeda maupun di
antara individu pohon jenis yang sama. Pada sebagian besar jenis, keawetan alami
bagian terdalam kayu teras lebih rendah dibandingkan bagian terluar. Bagian
6
pohon. Sedangkan pada kayu teras bagian terdalam akan semakin awet dari
bagian pangkal ke bagian ujung pohon (Eaton dan Hale 1993).
Zat Ekstraktif Batasan dan Ruang Lingkup
Dinding sel kayu tersusun oleh tiga unsur utama yaitu selulosa,
hemiselulosa dan lignin, yang semuanya merupakan polimer. Selain ketiga
komponen utama tersebut terdapat pula sejumlah unsur atau bahan yang disebut
ekstraktif.
Hillis (1987) mendefinisikan zat ekstraktif sebagai senyawa-senyawa yang
dapat diekstrak dari kayu atau kulit dengan pelarut polar dan non polar. Zat
ekstraktif ini bukan merupakan bagian struktural dinding sel kayu, tetapi sebagai
zat pengisi rongga sel. Zat ekstraktif terdiri dari bermacam-macam bahan yang
tidak termasuk bagian dari dinding sel. Komponen ini memiliki nilai yang penting
karena menyebabkan kayu tahan terhadap serangan jamur dan serangga, memberi
bau, rasa dan warna pada kayu. Cara yang dapat digunakan untuk memisahkan zat
ekstraktif ini antara lain dengan uap (dihasilkan kelompok dari hidrokarbon,
asam-asam aldehid dan alkohol), dengan eter panas (dihasilkan asam-asam lemak,
asam-asam damar, lemak, sterol dan bahan-bahan tak tersabunkan), dengan
alkohol panas (dihasilkan tannin, zat-zat warna, fenol dan bahan-bahan larut air)
dan dengan air (dihasilkan alkohol siklik, polisakarida, dengan berat molekul
rendah, garam-garam).
Sjostrom (1993) menyatakan bahwa kandungan dan komposisi zat
ekstraktif sangat bervariasi antar jenis kayu, bahkan dalam batang yang sama pada
satu jenis kayu pun dapat berbeda. Hal ini sesuai dengan yang dikemukakan oleh
Eaton dan Hale (1993) bahwa substansi yang bersifat racun beragam di antara
jenis dan marga dan beragam dalam sifat kimianya sehingga berbagai pelarut akan
mengekstrak berbagai bahan toksik yang berbeda pada berbagai jenis.
Kandungan ektraktif dalam kulit lebih tinggi daripada dalam kayu. Ia tidak
hanya tergantung pada jenis tetapi juga pada pelarut yang digunakan.
Keanekaragaman senyawa yang diekstraksi biasanya membutuhkan serangkaian
7
maupun ekstrak etanol mengandung polimer flavonoid yang lebih tinggi meliputi
asam-asam polifenolat (Fengel dan Wegener 1995).
Menurut Sjostrom (1993), kulit adalah lapisan luar kambium yang
mengelilingi batang, cabang, dan akar, yang jumlahnya sekitar 10 – 15% dari
berat pohon. Setelah kayu, kulit kayu merupakan jaringan batang pohon yang
paling penting kedua. Kulit kayu merupakan sekitar 10 – 20% dari batang
tergantung pada spesies dan kondisi pertumbuhan (Fengel dan Wegener 1995).
Susunan kimia kulit kayu menentukan sifat-sifat yang penting dari segi
penggunaannya. Kulit mempunyai sifat pembengkakan yang berbeda, kurang
anisotropik, memiliki koefisien perambatan panas sedikit lebih rendah, dan jauh
lebih lunak dalam semua sifat mekanik kayu (Martin 1969; Cassens 1974 dalam
Fengel dan Wegener 1995).
Penggolongan Zat Ekstraktif
Menurut Fengel dan Wegener (1995) dalam ekstraktif terdapat beberapa
senyawa-senyawa organik seperti terpena, lignan, stilbena, flavonoid, aromatik
lain, lemak, lilin, asam lemak, alkohol, steroid dan hidrokarbon tinggi. Sjostrom
(1993) menyatakan bahwa secara kimiawi ekstraktif kayu dapat digolongkan ke
dalam tiga bagian, yaitu :
1. Komponen-komponen alifatik
Berbagai macam senyawa alifatik yang terdapat dalam resin seperti n-alkana,
alkohol lemak, asam lemak, lemak (ester gliserol), lilin (ester dari alkohol),
suberin (poliestolida). Asam lemak umumnya terdapat sebagai ester dan
merupakan komponen utama resin parenkim di dalam kayu daun jarum
maupun daun lebar. Ester dan alkohol lainnya, biasanya berupa alkohol
alifatik atau terpenoid alami, yang dikenal sebagai lilin.
2. Terpena dan terpenoid
Terpena merupakan hasil kondensasi dari dua atau beberapa unit isoprena
(C5H8) yang menghasilkan dimer dan oligomer yang lebih tinggi. Menurut
jumlah unit isoprena (n), terpena dikelompokkan lagi menjadi monoterpena
(n=2), seskuiterpena (n=3), diterpena (n=4), triterpena (n=6), tetraterpena
8
Terpena adalah hidrokarbon murni, sedangkan terpenoid mengandung gugus
fungsi seperti hidroksil, karbonil, karboksil dan ester. Contoh dari terpenoid
adalah poliprenol. Ekstraktif kayu daun jarum mengandung semua jenis
terpena, dari monoterpena sampai tri dan tetraterpena, kecuali seskuiterpena
yang tergolong sangat langka. Sedangkan di dalam kayu daun lebar
mengandung terpena yang lebih tinggi, monoterpena ditemukan hanya pada
beberapa kayu tropis saja (Fengel dan Wegener 1995). Terpena yang paling
penting adalah α-pinena dan limonena yang terdapat pada semua kayu daun
jarum. Beberapa monoterpena merupakan unsur pokok oleoresin dari beberapa
kayu tropika.
3. Senyawaan fenolat
Golongan ini sangat heterogen, penggolongannya dibuat menurut lima kelas,
yaitu :
3.1 Tanin terhidrolisis : produk hidrolisisnya adalah asam galat dan elagat
serta gula, biasanya glukosa sebagai produk utama.
3.2 Tanin terkondensasi (flavonoid) : polifenol yang mempunyai rantai
karbon C6C3C6, contohnya krisin dan taksifolin.
3.3 Lignan : dimer dari dua unit fenilpropana (C6C3), contoh konidendrin,
pinoresinol, dan asam plikatat.
3.4 Stilbena (1,2-difeniletilena) : mempunyai ikatan ganda terkonjugasi
sehingga komponen-komponennya bersifat sangat reaktif, contohnya
pinosilvin.
3.5 Tropolon : mempunyai kekhasan berupa cincin karbon beranggota tujuh
yang tidak jenuh, contoh α,β, dan τ-tujaplisin yang diisolasi dari Thuja
plicata.
Meskipun fenolat terkondensasi terdapat dalam jumlah sedikit di dalam kayu
teras, kulit dan xilem, namun fenolat ini mempunyai fungsi sebagai fungisida dan
secara efektif melindungi kayu dari serangan organisme perusak kayu. Selain itu
juga meningkatkan pewarnaan pada kayu. Harborne (1974) dalam Rinawati et al.
(1996) mengemukakan bahwa flavanoid merupakan kelompok fenol yang tersebar
di alam. Hampir semua bagian tumbuhan yaitu daun, akar, kayu, tepung sari,
9
tergolong flavanoid dapat berfungsi sebagai antioksidan, antidiare, antikanker,
antiinflamasi, antialergi, pengawet makanan, dan penurun tekanan darah tinggi.
Sifat Anti Rayap Zat Ekstraktif
Findlay (1978) menjelaskan bahwa zat ekstraktif memberikan karakteristik
warna tersendiri dalam memberikan ketahanan alami pada kayu. Lebih lanjut
dikatakan bahwa beberapa kayu dari hutan tropis mengandung zat ekstraktif yang
bersifat racun, seperti alkaloid yang secara tetap menyebabkan iritasi atau
menyebabkan gatal-gatal bagi orang yang menyentuhnya. Hillis (1987)
menyatakan bahwa zat ekstraktif pada kayu teras dapat memberikan berbagai
bentuk ketahanan pohon hidup terhadap agen perusak meskipun sangat bervariasi
pada berbagai habitat. Rowell (1984) menyatakan bahwa zat ekstraktif merupakan
senyawa-senyawa organik yang meliputi lemak, lilin, alkaloid, protein, senyawa
fenolik sederhana dan kompleks, gula sederhana, pektin, gum, resin, tepena, pati,
glikosida, saponin dan minyak esensial. Beberapa di antaranya berfungsi sebagai
cadangan energi atau sebagai bagian dari mekanisme sistem pertahanan pohon
terhadap serangan mikroorganisme. Zat ekstraktif juga berperan terhadap sifat
kayu seperti warna, bau dan ketahanan terhadap pelapukan.
Sjostrom (1993) menyatakan bahwa senyawa fenolik yang terdapat pada
kayu teras, kulit dan juga yang terdapat pada xilem, bersifat racun atau anti jamur.
Oleh karenanya dapat melindungi pohon dari gangguan organisme perusak kayu.
Sejumlah senyawa aktif telah didefinisikan sebagai anti rayap dan anti
jamur. Eusiderin, sejenis neolignan dari kayu ulin (Eusideroxylon zwageri) (Syafii
et al. 1985) dan Angolensin diekstrak dari kayu Pterocarpus indicus (Pilotti et al.
1995) bersifat racun terhadap jamur Coriolus versicolor dan Tyromyces palustris.
Sedangkan pada kayu sonokeling (Dalbergia latifolia) diketahui terdapat senyawa
latifolin dan neoflavonoid yang bersifat racun terhadap rayap Reticulitermes
speratus (Syafii 2000b). Ohashi et al. (1994) melaporkan bahwa 3 jenis komponen
bioaktif yaitu 8-acetoxyelemol, 8-hydroxyelemol dan hinociic acid yang diisolasi
dari daun kayu Juniperus chinensis var pyramidalis terbukti dapat menghambat
pertumbuhan beberapa jenis jamur. Demikian juga ekstrak chloroform kayu
10
bersifat anti rayap terutama rayap Coptotermes formosanus (Yaga et al. 1991).
Sedangkan Hashimoto et al. (1997) melaporkan adanya sifat anti rayap kamper
yang diisolasi dari kayu Cinnamomum camphora. Pada kayu Cunninghamii
lanceolata berhasil diidentifikasi senyawa cedrol yang bersifat anti jamur (Shieh
dan Sumimoto 1992). Zat ekstraktif kayu sonokeling (Dalbergia latifolia Roxb.)
dan kayu damar laut (Hopea spp.) juga dilaporkan mempunyai sifat anti rayap
(Syafii 2000a dan 2000b).
Zat ekstraktif flavonoid dari kayu Japanese larch (Larix leptolepis)
memperlihatkan sifat penolak yang tinggi terhadap aktifitas makan rayap tanah
Coptotermes formosanus pada kertas uji yang digunakan dalam bio-assay test.
Hal ini karena ekstraktif kayu Japanese larch mengandung flavonoid dalam
jumlah yang cukup besar yang berpotensi menghambat aktifitas makan rayap
tanah (Chen et al. 2004).
Aktifitas anti rayap minyak esensial dari daun yang berasal dari dua klon
Cinnamomum osmophloeum (A dan B) dan kandungan kimianya terhadap
Coptotermes formosanus Shiraki telah diteliti dengan aplikasi kontak langsung.
Hasil percobaan ini memperlihatkan bahwa minyak esensial daun kayu manis
lokal B memiliki aktifitas antirayap yang lebih efektif daripada minyak esensial
daun kayu manis lokal A. Selanjutnya ketika cinnamaldehid, eugenol, dan
α–terpineol diekstrak dari minyak esensial daun kayu manis lokal dan digunakan pada dosis kuat 1mg/g, efektifitas antirayapnya jauh lebih tinggi daripada ketika
menggunakan minyak esensial daun kayu manis lokal. Di antara ketiga
komponen yang diuji tersebut, cinnamaldehid memperlihatkan sifat antirayap
yang paling kuat (Chang dan Cheng 2002).
Tanaman memproduksi metabolit sekunder sebagai perlindungan terhadap
serangan dari luar, misalnya dari serangan rayap. Menurut Mitsunaga (2007),
beberapa aktifitas biologis dan fisiologis dari ekstraktif tanaman telah diteliti di
laboratorium Department of Applied Life Science, Faculty of Applied Biological
Science, Gifu Univesity, Japan, menunjukkan bahwa senyawa polyfenol dari kayu
tropis mempunyai efek anti rayap, anti jamur dan anti bakteri. Anti rayap
umumnya sebagai zat yang dapat menyebabkan kematian (mortality) rayap atau
11
jamur perusak kayu. Sedang sebagai anti bakteri, zat ekstraktif bersifat sebagai
bactericide terhadap bakteri yang menyerang kayu. Peranan zat ekstraktif sebagai
insektisida selengkapnya disajikan pada Tabel 2.
Tabel 2 Jenis-jenis zat ekstraktif tumbuhan yang berperan sebagai insektisida pada serangga
No Jenis zat ekstraktif tumbuhan Target biokimiawi pada serangga 1. a. Rotenon
b. Tropan, quinon, quinodin, senyawa nitro, imidazol, aldehida
2. Diterpen, flavonoid, polyacetylen, phenol, asam aromatik, coumarin, asam lemak
Uncouler dari phosphorilasi oksidase
3. a. Asam aminnonouprotein b. Tanin, stilben, resin, quinon c. Protein toksis (ricin), basa purin d. Alkaloid indol
Penghambat sintetis protein a. Pengaktifan asam amino b. Fungsi protein
c. Komplek inisiasi ribosom 4. a. Basa analog (5-metil sitosin)
b. Kinin, Colchicin, alkaloida
Vera-5. Asam fluoroacetat Penghambat transfer energi
glycolisis dan oksidasi asam lemak 6. Polyacetylen, sesquiterpen, triterpen,
alkaloid, steroid
Perusak fungsi sel (integritas membran sel)
Sumber : Sastrodihardjo (1999)
Metode Pengujian Sifat Anti Rayap
Metode pengujian sifat anti rayap biasa dilakukan dengan menggunakan
metode anti-feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Ohmura et al.
(1997) dalam Syafii (2000a) dengan beberapa modifikasi. Dari metode ini akan
didapatkan mortalitas rayap yang beragam bergantung pada jenis kayu, jenis
fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Sebagian besar
jenis kayu dan jenis fraksi memberikan pola yang sama yaitu semakin tinggi
konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin
meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa ekstrak yang
12
Selain mortalitas rayap, indikator lain yang dapat digunakan untuk
melihat daya racun zat ekstraktif adalah penilaian laju konsumsi terhadap contoh
uji oleh rayap. Laju konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat
contoh uji setelah diumpankan. Laju konsumsi rayap setelah pengumpanan selama
4 minggu pada kertas uji yang telah diberi ekstrak pada berbagai konsentrasi
berkisar antara 1% sampai 23%. Kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi
bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi, dan konsentrasi ekstrak yang
ditambahkan pada kertas uji. Dari hasil pengujian ini secara umum dapat
dikatakan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas
uji, maka kehilangan berat kertas uji tersebut semakin kecil. Hal ini memberikan
indikasi bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji tersebut mempunyai
daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya
kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut (Syafii 2000b).
Park dan Shin (2005) telah melakukan suatu percobaan mengenai aktifitas
anti rayap dengan menggunakan bioassay fumigasi. Kertas saring (Whatman no.
2 dengan diameter 4,5 cm) diberi perlakuan dengan minyak esensial kemudian
diletakkan di penutup bagian bawah silinder gelas (diameter 5 cm x 10 cm)
dengan saringan kawat tepat 3,5 cm di atas dasar, kemudian penutup tersebut
disegel. Sepuluh rayap pekerja dan seekor prajurit diletakkan di atas kawat. Ini
mencegah kontak langsung rayap dengan minyak tanaman yang diuji dan
senyawanya. Rayap diekspos selama 1- 3 hari. Kertas saring dibasahi dengan air
untuk mensuplai makanan. Perlakuan rayap dilakukan pada suhu 25±1oC dan
kelembaban relatif 80%. Akumulasi mortalitas rayap dicatat setelah 1, 2 dan 3
hari perlakuan. Semua perlakuan diulangi sebanyak 3 kali.
Isolasi dan Identifikasi Komponen Bioaktif
Isolasi ekstraktif dilakukan melalui ekstraksi dengan campuran pelarut
netral atau dengan campuran pelarut tunggal. Fraksi atsiri seperti terpena dalam
kayu daun jarum, umumnya diisolasi dengan penyulingan uap. Ekstraksi pelarut
dapat dikerjakan dengan berbagai pelarut organik seperti eter, aseton, benzena,
etanol, diklorometana, atau campuran pelarut tersebut. Asam lemak, asam resin,
13
dengan pelarut organik. Komponen utama yang larut air terdiri atas karbohidrat,
protein dan garam-garam organik. Dalam kasus manapun tidak ada perbedaan
yang tegas antara komponen ekstraktif yang dipisahkan dengan pelarut berbeda.
Misalnya tanin larut dalam air panas tetapi juga ditemukan dalam ekstrak alkohol
(Adijuwana dan Nur 1989).
Pengisolasian ekstraktif umumnya diawali dengan pelarut yang kurang
polar dan dilanjutkan dengan pelarut yang lebih polar. Tingkat polaritas pelarut
dapat ditentukan dari nilai konstanta dielektrik pelarut. Urutan polaritas beberapa
jenis pelarut tersaji pada Tabel 3.
Tabel 3 Titik didih, titik beku, dan konstanta dielektrik beberapa jenis pelarut
Jenis pelarut Titik didih (oC) Titik beku (oC) Konstanta dielektrik (D)
Sumber : Adijuwana dan Nur (1989)
Tidak ada satupun pelarut yang dapat mengeluarkan atau mengekstraksi
semua ekstraktif yang ada dalam kayu. Umumnya dipakai dua atau lebih pelarut
untuk mengeluarkan ekstraktif tersebut. Untuk mengekstraksi dengan baik dipakai
pelarut organik dan air (TAPPI 1991).
Ekstraksi juga dapat dilakukan pada suhu ruangan di dalam suatu alat
penapis atau melalui pengadukan bahan. Waktu ekstraksi dengan menggunakan
soxhlet atau dengan metode suhu ruangan biasanya minimum 6 jam. Metode
ekstraksi tersebut diperlukan untuk mengeluarkan sebagian besar atau semua
pelarut dari ekstrak melalui evaporasi, yang biasanya dilakukan di dalam alat
extraction apparatus atau alat sejenisnya pada tekanan rendah untuk menghindari
kemungkinan terjadinya oksidasi dan degradasi ekstrak, dan pada suhu tidak lebih
14
Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren)
Rayap merupakan serangga sosial dengan ukuran tubuh kecil sampai
sedang. Rayap termasuk filum Arthropoda, kelas Insecta dan ordo Isoptera yang
dalam perkembangan hidupnya mengalami metamorfosa bertahap. Kelompok
binatang ini pertumbuhannya melalui tiga tahap yaitu tahap telur, tahap nimfa, dan
tahap dewasa. Setelah menetas dari telur, nimfa akan menjadi dewasa dengan
melalui beberapa instar yaitu bentuk di antara dua masa perubahan. Perubahan ini
berlangsung secara bertahap menyebabkan bentuk badan pada umumnya, cara
hidup maupun makanan pokok di antara nimfa dan dewasa adalah serupa (Hasan
1983).
Rayap hidup dalam koloni-koloni dan membagi kegiatan-kegiatan
utamanya di dalam bentuk kasta yang sudah berkembang. Berdasarkan perbedaan
morfologis dan fisiologisnya, rayap dibagi menjadi tiga kasta, yaitu kasta
reproduktif, kasta prajurit, dan kasta pekerja.
a. Kasta Reproduktif
Kasta reproduktif terdiri atas reproduktif primer dan sekunder. Reproduktif
primer merupakan sepasang imago (raja dan ratu) yang semasa hidupnya
bertugas untuk menghasilkan telur. Apabila reproduktif primer tersebut mati,
sepasang reproduktif sekunder menggantikannya. Pada masa bersilangan
(swarming), reproduktif sekunder akan terbang keluar sarang dalam jumlah
besar. Masa bersilangan ini merupakan masa perkawinan dimana sepasang
imago (jantan dan betina) bertemu dan segera menanggalkan sayapnya serta
mencari tempat baru yang sesuai untuk perluasan koloni. Kasta reproduksi
memiliki panjang badan 7,5-8 mm, sedangkan yang bersayap memiliki
rentang sayap 15-16 mm(Tambunan dan Nandika 1989).
b. Kasta Prajurit
Kasta prajurit mudah dikenali dari bentuk kepalanya yang besar dan
mengalami penebalan yang nyata. Kasta ini sering dijumpai dengan ukuran
yang berbeda (polimorfisme). Karakter seksual pada kasta prajurit dari
beberapa spesies rayap hampir tidak tampak secara genetik. Kasta prajurit
15
melindungi koloninya dari gangguan yang mungkin timbul selama siklus
hidup koloni. Kasta prajurit memiliki panjang badan 5-5,5 mm.
c. Kasta Pekerja
Kasta pekerja merupakan anggota koloni yang sangat penting dalam koloni
rayap. Tidak kurang dari 80% populasi dalam koloni rayap merupakan
individu-individu kasta pekerja. Kasta ini umumnya berwarna pucat dengan
kutikula hanya sedikit mengalami penebalan sehingga tampak menyerupai
nimfa. Karakter seksual kasta ini sulit untuk ditentukan dengan jelas.
Walaupun kasta ini tidak terlibat dalam proses perkembangbiakan koloni dan
pertahanan, namun hampir semua tugas lainnya dikerjakan oleh kasta ini,
antara lain bertugas memberi makan kepada seluruh anggota koloni dan
membangun atau memperbesar liang-liang untuk menampung koloni. Kasta
pekerja memiliki panjang badan 4,5-5 mm.
Beberapa sifat-sifat penting rayap menurut Nandika (1991) adalah sebagai
berikut:
a. Sifat trofalaksis, yaitu rayap berkumpul saling menjilat dan mengadakan
pertukaran bahan makanan melalui mulut dan anus.
b. Sifat kriptobiotik, yaitu sifat rayap menjauhi cahaya.
c. Sifat kanibalisme, yaitu sifat rayap untuk makan sesamanya yang lemah atau
sakit. Sifat ini menonjol dalam keadaan kekurangan makanan
d. Sifat polimorfisme atau polimorfik, yaitu bentuk-bentuk rayap yang berbeda
antara pekerja, prajurit dan rayap reproduktif.
e. Sifat nekrofagi, yaitu sifat rayap memakan bangkai sesamanya.
Berdasarkan habitat atau perilaku bersarang, rayap digolongkan ke dalam
tipe-tipe:
a. Rayap pohon, yaitu jenis-jenis rayap yang menyerang pohon yang masih
hidup, bersarang dalam pohon dan tak berhubungan dengan tanah. Contoh
khas rayap ini adalah Neotermes tectonae (famili Kalotermitidae), hama
pohon jati.
b. Rayap kayu lembab, menyerang kayu mati dan lembab, bersarang dalam kayu
dan tak berhubungan dengan tanah. Contohnya Glyoptermes spp. (famili
16
c. Rayap kayu kering, seperti Cryptotermes spp. (famili Kalotermitidae), hidup
dalam kayu yang telah kering. Hama ini umum terdapat di rumah-rumah dan
perabot-perabot seperti kursi, meja dan sebagainya. Tanda serangannya adalah
terdapatnya butir-butir eksremen kecil berwarna kecoklatan yang sering
berjatuhan di lantai atau di sekitar kayu yang diserang. Rayap ini juga tidak
berhubungan dengan tanah karena habitatnya kering.
d. Rayap tanah atau subteran, umumnya hidup di dalam tanah yang mengandung
banyak bahan kayu yang telah mati atau membusuk, atau bahan organik
lainnya yang mengandung selulosa seperti serasah dan humus. Di Indonesia,
dua famili rayap perusak kayu masuk dalam kategori rayap subteran, yaitu
Termitidae dan Rhinotermitidae. Contoh famili Termitidae yang paling umum
menyerang bangunan adalah Macrotermes spp. (terutama M. gilvus),
Odontermes spp., dan Microtermes spp. Jenis-jenis rayap ini sangat ganas,
dapat menyerang obyek-obyek berjarak sampai 200 m dari sarangnya.
Coptotermes spp. termasuk ke dalam famili Rhinotermitidae, rayap ini banyak
menyerang bangunan. Perilaku rayap ini mirip Macrotermes, namun
perbedaan utama adalah kemampuan Coptotermes untuk bersarang di dalam
kayu yang diserangnya, walaupun tidak ada hubungan dengan tanah, asal saja
sarang tersebut dalam keadaan lembab (Tarumingkeng 1993).
Menurut Tambunan dan Nandika (1989), rayap tanah C. curvignathus
Holmgren termasuk rayap yang paling luas serangannya di Indonesia. Nandika et
al. (2003) menyatakan bahwa jenis rayap ini termasuk ke dalam famili
Rhinotermitidae sub famili Coptotermitinae, yang banyak digunakan dalam
penelitian karena rayap tersebut sangat ganas penyerangannya terhadap material
kayu atau bahan lain yang mengandung selulosa.
Ciri-ciri rayap C. curvignathus, menurut Nandika et al. (2003),
mempunyai sebuah fontanel (ubun-ubun) yang merupakan tempat yang pucat,
kecil dan cekung pada bagian depan kepala antara dua mata, pada bagian
mesonotum dan matanotum terdapat sayap dengan tipe reticulate tanpa bulu-bulu.
Pekerja C. curvignathus yang berwarna putih pucat mampu memperluas
serangannya karena kelompok pekerja ini mampu membentuk saluran-saluran
17
tempat perlindungan dari predator dan sinar matahari, tanah tersebut berfungsi
untuk mempertahankan suhu dan kelembaban sehingga keadaan seperti habitat
aslinya yang jauh di dalam tanah tetap terkendali.
Rayap secara umum memakan kayu atau bahan berlignoselulosa. Selulosa
dalam makanan dicerna oleh berbagai protozoa yang sangat banyak jumlahnya
yang hidup dalam saluran pencernaannya. Hubungan ini adalah mutualisme.
Beberapa rayap jenis lain mengandung bakteri dan protozoa pada pencernaannya.
Kayu Acacia auriculiformis A. Cunn. ex Benth.
Acacia auriculiformis yang bernama daerah akor atau ori akor penyebaran
alaminya meliputi Australia, Maluku, dan Irian Jaya. Dapat tumbuh pada tanah
yang kurang subur dengan curah hujan tahunan 1.080-2.100 mm. Ketinggian
tempat yang ideal untuk tanaman ini berkisar antara 0-400 m dpl.
Akasia berasal dari Australia, Papua New Guinea dan Indonesia. Tanaman
ini tumbuh pada dataran rendah yang lembab dan panas, curah hujan tahunan
rata-rata 800-2500 mm dan suhu rata-rata-rata-rata 20-30°C dan sering dijumpai di tepi-tepi
sungai dan pantai. Akasia dibudidayakan luas di daerah tropis pada ketinggian
0-1000 mdpl, masih tahan terhadap salju ringan, walaupun salju tidak cocok dengan
sebaran alamnya. Akasia dapat tumbuh di tempat asam dan bekas tambang dengan
pH 3 hingga pantai ber-pasir basa dengan pH 8-9. Akasia tidak tahan di tempat
teduh atau angin kencang. Analisa isoenzim memperlihatkan variasi marka
genetik yang sangat mencolok diantara 3 lokasi penyebaran Papua New Guinea,
Queensland dan Northern Territory. Uji coba lapang menunjukkan bahwa Papua
New Guinea produksinya paling tinggi, dari Queensland proporsi batang tunggal
besar. Dari Northern Territory jelek baik pertumbuhan maupun bentuknya. Hibrid
A. Auriculiformis dan A. mangium menunjukkan sifat-sifat yang baik (Joker
2001).
Pada umumnya jenis ini dapat mencapai tinggi 15 m dengan diameter
batang ± 50 cm. Pada waktu muda pertumbuhannya sangat cepat. Sehingga umur
4 tahun saja dapat mencapai tinggi 10 m dengan diameter batang 6,6 cm. Bentuk
18
lebar agak rapat dengan ukuran panjang daun 150-400 mm dan lebar 100-180
mm. Musim berbuahnya pada bulan Juli-November (New Forest Project 2007).
Kingdom: Plantae
Divisi : Magnoliophyta
Class : Magnoliopsida
Ordo : Fabales
Family : Fabaceae / Leguminosae
Genus : Acacia
Species : A. auriculiformis
A. auriculiformis memiliki berat jenis rata-rata 0,6 – 0,75 dan
merupakan sumber kayu bakar utama, kayunya yang padat dan nilai energi tinggi
yang mendukungnya. Kayunya menyediakan arang yang berpijar sangat baik
dengan asap sedikit dan tidak mengeluarkan percikan. Nilai energi kayunya
adalah 4.800-4.900kcal/kg (Hanum and Van Der Maesen 1997).
Akasia dapat tumbuh bahkan pada kondisi yang sangat jelek di daerah
tropis. Pertumbuhan awal tinggi, mampu memproduksi nitrogen, toleran terhadap
tanah yang tidak subur, asam, basa bergaram atau tergenang, musim kering, dan
sangat cocok untuk rehabilitasi lahan kritis. Mampu bersaing dengan alang-alang
(Imperata cylindrica) dan mengurangi rumput yang menutup seluruh permukaan
lahan. Kayunya sangat baik untuk kayu bakar, arang, pulp dan konstuksi ringan.
Karena penyebaran akarnya tidak terlalu melebar, banyak digunakan dalam
agroforestry dan ditumpangsarikan dengan kacang tanah, padi dan
kacang-kacangan (Joker 2001).
19
BAHAN DAN METODE
Tempat dan Waktu PenelitianPenelitian ini dilakukan di Bagian Kimia Hasil Hutan Departemen Hasil
Hutan Fakultas Kehutanan, Laboratorium Kimia Organik Departemen Kimia
Fakultas MIPA Institut Pertanian Bogor dan Pusat Penelitian Kimia LIPI Serpong.
Waktu pelaksanaan September 2007-Maret 2008.
Bahan dan Alat Bahan
Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu A.
auriculiformis A. Cunn. ex Benth yang diperoleh dari Darmaga Bogor (diameter
pohon 30 cm). Untuk uji toksikologi digunakan rayap tanah C. curvignathus
Holmgren.
Bahan pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah aseton,
n-heksan, etil eter, etil asetat, kloroform, metanol dan air destilata serta bahan lain
seperti aluminum foil, kertas selulosa Whatmann. Untuk kolom kromatografi
dipergunakan silika gel 60 F254 (produk E. Merck 1.07734) dan untuk
kromatografi lapis tipis (KLT) dipergunakan lempeng silika gel GF254 (produk E.
Merck 05554).
Alat
Alat yang digunakan dalam penelitian ini antara lain gergaji mesin,
hammer mill, saringan yang berukuran 40 – 60 mesh, botol reagent, spatula,
erlenmeyer, alat-alat gelas, rotary evaporator, funnel separator, kondensor,
timbangan analitik, oven, pasir, kain kasa hitam, kolom kromatografi, dan
lempeng KLT silika gel. Untuk mengidentifikasi komponen bioaktifnya
digunakan Spektrometri Proton Nuclear Magnetic Resonance (NMR) dan Carbon
20
Metode Penelitian Persiapan sampel
Kulit kayu A. auriculiformis bagian dalam (inner bark) digiling menjadi
serbuk dengan menggunakan penggiling dan dilewatkan pada mesh screen
berukuran 40-60 mesh, kemudian dikeringanginkan hingga kadar air serbuk
sekitar 15%.
Ekstrak Serbuk Kulit Kayu
Sebanyak + 2000 gram serbuk kulit kayu A. auriculiformis dimasukkan ke
dalam botol reagent dan direndam dengan pelarut aseton, sehingga seluruh serbuk
terendam dengan perbandingan volume serbuk dan pelarut adalah 1 : 3. Campuran
ini diaduk sesering mungkin menggunakan spatula, dan setelah 48 jam larutan
ekstraksi tersebut disaring dengan kertas saring. Perlakuan tersebut dilakukan
hingga diperoleh larutan ekstrak jernih, sehingga dianggap semua ekstraktif larut
sudah dalam aseton. Selanjutnya larutan ekstrak disimpan dalam wadah yang
tertutup rapat.
Ekstrak aseton yang diperoleh selanjutnya dievaporasikan pada suhu
maksimum 40oC hingga diperoleh volume sebanyak 1 liter. Dari jumlah tersebut
diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer yang kering dan telah
diketahui beratnya kemudian dievaporasikan hingga kering. Selanjutnya
dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu + 105oC selama 3 jam, setelah
dingin ditimbang sehingga diketahui berat kering tanur ekstrak aseton yang
diperoleh. Kandungan ekstrak aseton dihitung berdasarkan persentase berat
padatan ekstrak aseton dengan berat kering tanur serbuk.
Dari 990 ml larutan ekstrak aseton yang tersisa, diambil sebanyak 500 ml
dan dievaporasikan hingga diperoleh volume sebanyak 100 ml. Larutan ekstrak
aseton yang kental tersebut selanjutnya dimasukkan ke dalam funnel separator,
kemudian ditambahkan air destilata sebanyak 20 ml dan pelarut n-heksan
sebanyak 75 ml. Campuran ini selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai terjadi
pemisahan antara pelarut aseton dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan,
selanjutnya fraksi terlarut n-heksan dipisahkan dari residu. Fraksi n-heksan yang
diperoleh selanjutnya dimasukkan ke dalam botol dan ditutup rapat-rapat.
Fraksinasi dengan menggunakan n-heksan dilakukan hingga larutan berwarna
21
Residu hasil fraksinasi dengan n-heksan yang tertinggal dalam funnel
separator selanjutnya ditambahkan lagi dengan pelarut etil eter sebanyak 75 ml.
Selanjutnya dikocok dan dibiarkan sampai terjadi pemisahan seperti halnya
fraksinasi dengan n-heksan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut etil eter
dipisahkan dan disimpan pada botol yang tertutup rapat. Fraksinasi ini dilakukan
hingga larutan berwarna jernih.
Tahapan terakhir dari fraksinasi bertingkat ini adalah dengan
menggunakan pelarut etil asetat. Residu hasil fraksinasi dengan pelarut etil eter
selanjutnya difraksinasi dengan pelarut etil asetat sebanyak 75 ml. Fraksinasi ini
dilakukan sama seperti fraksinasi dengan tiga pelarut sebelumnya. Untuk lebih
jelasnya proses fraksinasi bertingkat tersebut disajikan pada Gambar 1.
Larutan hasil fraksinasi bertingkat diuapkan pelarutnya dengan
menggunakan evaporator pada suhu 40oC. Fraksi-fraksi yang diperoleh
dikeringkan pada suhu 40-60oC. Kandungan zat ekstraktif pada tiap-tiap fraksi
dihitung terhadap bobot kering tanur kulit kayu A. auriculiformis.
Ekstraksi aseton
Serbuk kulit kayu A. auriculiformis 40-60 mesh
Fraksinasi n – heksan
FraksinasiDietil eter
Fraksinasi Etil asetat
Fraksi terlarut n – heksan * Residu
Fraksi terlarut dietil eter * Residu
Fraksi terlarut etil asetat * Residu* Ekstrak aseton*
Gambar 1 Skema Ekstraksi dan Fraksinasi dari serbuk Kulit Kayu A. auriculiformis
22
Pembuatan Konsentrasi Larutan Ekstrak
Masing-masing fraksi (ekstrak aseton, fraksi n-heksan, fraksi etil eter,
fraksi etil asetat dan fraksi tak terlarut) dibuat 6 taraf konsentrasi larutan bahan
pengawet ekstraktif yaitu 0%, 2%, 4%, 6%, 8% dan 10%. Penentuan konsentrasi
larutan ekstrak dibuat berdasarkan perbandingan berat padatan ekstrak dan berat
kering tanur kertas selulosa untuk pengujian terhadap rayap.
Uji Bioassay Zat Ekstraktif terhadap Rayap Tanah
Pengujian terhadap rayap dilakukan dengan menggunakan metode
cellulose pads (Steller dan Labosky 1984 dalam Syafii 2000a) yang telah
dimodifikasi. Kertas selulosa yang akan diawetkan dengan lima macam larutan
ekstraktif kulit kayu A. auriculiformis pada berbagai taraf konsentrasi ditimbang
untuk mengetahui banyaknya larutan ekstraktif yang harus ditambahkan
berdasarkan konsentrasi masing-masing perlakuan. Kertas selulosa yang telah
diberi larutan ekstraktif sesuai dengan konsentrasi di tempatkan pada gelas uji,
lalu dibiarkan sampai tercapai kelembaban relatif yang sesuai dengan lingkungan.
Untuk kontrol digunakan kertas selulosa yang diberi perlakuan tanpa penambahan
zat ekstraktif.
Untuk pengumpanan terhadap rayap, kertas selulosa yang telah diberi
perlakuan dimasukkan ke dalam wadah plastik. Tiap-tiap contoh uji diberi 45 ekor
rayap pekerja dan 5 ekor rayap prajurit yang sehat dan telah dikondisikan. Untuk
menjaga kelembaban, pasir yang terdapat di dalam gelas uji ditetesi air destilata.
Gelas uji ditutup dengan kain kasa dan di simpan ditempat gelap selama empat
minggu. Pengumpanan kertas uji terhadap rayap C. curvignathus di dalam gelas
uji dapat dilihat pada Gambar 2. Ada dua parameter yang digunakan dalam
pengujian ini, yaitu mortalitas rayap dan kehilangan berat contoh uji. Pengamatan
mortalitas rayap dilakukan setiap minggu. Bagi rayap yang mati segera dibuang
karena selain akan dimakan oleh rayap lainnya, rayap yang mati akan berjamur
dan dapat mematikan rayap lainnya.
Penentuan nilai mortalitas dilakukan pada minggu keempat dengan
menggunakan rumus :
23
dimana Ki = persentase kematian rayap pada contoh uji ke-i (%) Mi = jumlah mortalitas rayap pada contoh uji ke-i
Perhitungan berat contoh uji dilakukan pada minggu keempat pengamatan.
Perhitungan persentase kehilangan berat contoh uji menggunakan persamaan
berikut :
A = B0 - B1 x 100% B0
dimana A = persentase kehilangan berat (%) B0 = Berat sebelum pengumpanan (gram)
Gambar 2 Pengujian sifat anti rayap
Aktivitas setiap ekstrak dinilai dengan melihat besaran nilai mortalitas dan
diklasifikasikan ke dalam kategori seperti yang tercantum pada Tabel 4.
Tabel 4 Klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak kulit A. auriculiformis
Mortalitas (%) Tingkat aktivitas Simbol
m > 95%
Isolasi Fraksi Teraktif Ekstrak Kulit A. auriculiformis dengan Kromatografi Kolom
Fraksi yang memiliki aktivitas anti rayap untuk selanjutnya dilakukan
24
adalah silika gel 60 F254 yang mempunyai ukuran partikel 0,063 sampai 0,200
mm.
Sebelum pelaksanaan kromatografi kolom, dilakukan terlebih dahulu
kromatografi lapis tipis (KLT) untuk mendapatkan eluen yang akan digunakan
pada kromatografi kolom. KLT dilakukan dengan menggunakan lempeng silika
gel GF254. KLT dilakukan dengan menggunakan beberapa pelarut.
Pelaksanaan kromatografi kolom adalah sebagai berikut: kolom yang
sudah dibersihkan dipasang pada statif secara tegak lurus. Kolom diberi kapas
pada bagian bawahnya dan diisi dengan sepertiga pelarut yang akan digunakan
sebagai eluen. Kemudian dimasukkan silika gel yang telah disuspensikan dengan
eluen. Campuran silika gel tersebut dimasukkan ke dalam kolom sedikit demi
sedikit agar diperoleh lapisan yang seragam. Eluen dibiarkan mengalir sehingga
silika gel di dalam kolom menjadi padat dan permukaannya rata. Untuk
meningkatkan kepadatan dan penyebaran silika dalam kolom rata, kolom
digetarkan.
Sebelum ekstrak dimasukkan ke dalam kolom, ekstrak dilarutkan dalam
pelarut metanol yang digunakan sebagai eluen. Campuran tersebut diaduk rata,
kemudian campuran sedikit demi sedikit dimasukkan ke dalam kolom sehingga
merata di dalam suspensi silika gel.
Eluen dialirkan ke dalam kolom. Masing-masing fraksi ditampung
sebanyak 10 ml di dalam tabung reaksi. Pada fraksi yang diperoleh dilakukan
pengecekan bercak dengan menggunakan kromatografi lapis tipis (KLT). Hasil
pada lempeng KLT tidak kelihatan bercaknya, maka dilihat dengan menggunakan
sinar UV (merk Heraeus). Fraksi yang mempunyai bercak kromatogram yang
sama digabung menjadi satu. Apabila telah memperoleh bercak tunggal dan
terbentuk kristal, berarti telah memperoleh senyawa tunggal.
Identifikasi Komponen Bioaktif
Identifikasi dilakukan dengan menggunakan spektrometri Proton NMR
dan Carbon NMR untuk menentukan kedudukan hidrogen dan karbon. Dari hasil
25
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kandungan Zat Ekstraktif
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kandungan ekstrak aseton yang
diperoleh dari 2000 gram kulit A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. (kadar air
13,94%) adalah 172,543 gram (19,660%). Ekstrak aseton ini kemudian
difraksinasi secara bertingkat menggunakan metode ektraksi pelarut-pelarut yang
tidak bercampur (solvent-solvent extraction) secara berturut-turut dengan
n-heksan, etil eter dan etil asetat. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kulit
kayu A. auriculiformis A. Cunn. ex Benth. disajikan pada Tabel 5.
Tabel 5 Kandungan zat ekstraktif hasil fraksinasi bertingkat dalam beberapa pelarut organik terhadap ekstrak aseton kulit A. auriculiformis.
Jenis Fraksi Berat Ekstrak Padatan (gram)*) Kadar Ekstrak (%)*)
Fraksi n-Heksan 7,39 0,84
Fraksi Etil Eter 69,43 7,91
Fraksi Etil Asetat 36,65 4,18
Fraksi Residu 59,07 6,73
Ekstrak Aseton 172,54 19,66
Keterangan: *) dihitung berdasarkan berat kering oven
Tabel 5 di atas menunjukkan bahwa hasil yang diperoleh dipengaruhi oleh
jenis senyawa yang terdapat dalam sampel dan kelarutan senyawa tersebut dalam
pelarut yang digunakan. Hasil fraksinasi bertingkat ekstrak aseton kulit A.
auriculiformis sebagian besar mengandung senyawa-senyawa yang bersifat semi
polar. Berdasarkan klasifikasi kelas komponen kimia kayu (Lestari dan Pari
1990) yang menyatakan bahwa kadar ekstraktif kayu termasuk tinggi jika kadar
zat ekstraktif lebih besar dari 4%, maka kandungan zat ekstraktif kulit A.
auriculiformis yang diperoleh tergolong tinggi.
Kayu yang berkadar ekstraktif tinggi diperkirakan lebih tahan terhadap
serangan organisme perusak kayu dibandingkan yang berkadar ekstraktif rendah.
Tetapi faktor ketahanan kayu lebih tergantung kepada senyawa-senyawa bioaktif
26
Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit A. auriculiformis A. Cunn. Ex. Benth.
Parameter yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap zat ekstraktif
adalah mortalitas rayap C. curvignathus dan kehilangan berat kertas uji.
Mortalitas Rayap Tanah C. curvignathus Holmgren.
Indikator yang digunakan untuk melihat aktivitas anti rayap dari zat
ekstraktif adalah mortalitas rayap C. curvignathus Holmgren. Nilai mortalitas
yang tinggi menunjukkan ekstrak memiliki aktivitas anti rayap yang tinggi.
Persentase nilai rataan mortalitas rayap disajikan pada Lampiran 1 yang
menunjukkan adanya pengaruh yang beragam dari setiap jenis ekstrak (aseton,
n-heksan, etil eter, etil asetat, dan residu) dan tingkat konsentrasi yang digunakan
terhadap nilai mortalitas rayap. Hal ini disebabkan oleh jenis dan taraf konsentrasi
zat ekstraktif yang berbeda pada masing-masing ekstrak. Fraksi yang memiliki
aktivitas anti rayap tertinggi adalah fraksi etil eter, diikuti fraksi etil asetat,
n-heksan, aseton dan residu. Hal ini ditunjukkan oleh nilai mortalitas rayap dimana
setelah 3 minggu pengumpanan, mortalitas fraksi etil eter 4%, 6%, 8% dan 10%
umumnya sudah mencapai 100%. Berdasarkan nilai mortalitas rayap setiap
minggunya mengindikasikan bahwa fraksi etil eter yang paling aktif dibandingkan
dengan fraksi lainnya karena pada konsentrasi 4% sudah memiliki daya racun
yang sangat kuat.
Kontrol
Gambar 3 Hubungan antara konsentrasi ekstrak aseton kulit A. auriculiformis dan fraksi-fraksinya pada contoh uji dengan mortalitas rayap tanah C. curvignathus setelah pengumpanan selama 4 minggu.
27
Gambar 3 memperlihatkan bahwa semua jenis ekstrak yang diuji
menunjukkan kecenderungan yang sama, yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak
yang ditambahkan ke dalam contoh uji menghasilkan nilai mortalitas rayap yang
semakin besar. Dari hasil penelitian ini dapat diduga bahwa ekstrak aseton kulit
kayu A. auriculiformis sebagai fraksi awal dan fraksi-fraksi lain yang
ditambahkan ke dalam contoh uji tersebut mempunyai aktivitas anti rayap,
meskipun fraksi-fraksi yang diujikan memiliki aktivitas yang berbeda.
Berdasarkan klasifikasi tingkat aktivitas anti rayap ekstrak (Prijono 1998)
menunjukkan bahwa fraksi etil eter pada konsentrasi 4% sudah memiliki aktivitas
anti rayap sangat kuat yang berarti konsentrasi 4% mempunyai daya racun yang
tinggi.
Ada beberapa kemungkinan mekanisme kematian rayap yang diakibatkan
senyawa-senyawa bioaktif yang terdapat pada ekstraktif tersebut. Kemungkinan
pertama adalah senyawa toksikan tersebut mematikan protozoa yang merupakan
simbion rayap melalui gangguan terhadap aktivitas enzim. Telah diketahui bahwa
rayap tidak secara langsung mencerna kayu atau bahan berselulosa lain termasuk
kertas uji karena tidak memiliki enzim yang dapat mendekomposisi selulosa.
Untuk mengubah selulosa menjadi senyawa-senyawa sederhana yang mudah
dicerna rayap, di dalam usus rayap terdapat protozoa yang mengeluarkan enzim
selulase sehingga rayap tersebut dapat memanfaatkan senyawa-senyawa tersebut
sebagai sumber energi. Apabila protozoa mati maka aktivitas enzim selulase yang
dikeluarkan protozoa tersebut terganggu, hal ini dapat menyebabkan rayap tidak
memperoleh makanan dan energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati.
Sajap dan Lardizabal (1998) menyatakan bahwa di dalam usus rayap tanah C.
curvignathus terutama usus belakang ditemukan tiga genus protozoa yaitu
Pseudotrichonympha, Holomastogoides, dan Spirotrichonympha, dimana populasi
Spirotrichonympha merupakan protozoa yang terbesar pada usus rayap tersebut.
Yamaguchi et al. (1999) dalam Syafii (2000a) melaporkan bahwa β
-thujaplicin, senyawa aktif dari kultur jaringan Cupressus lusitanica mampu
menghambat aktivitas enzim ATP-ase yang selanjutnya dapat menyebabkan rayap
tidak memperoleh energi yang dibutuhkan sehingga rayap tersebut mati. Selain itu
28
nervous system). Gangguan tersebut mengakibatkan sistem syaraf tidak berfungsi
yang akhirnya menyebabkan kematian rayap. Gangguan yang terjadi pada sistem
syaraf tersebut mengakibatkan kejang-kejang pada otot sehingga pada akhirnya
menyebabkan kematian rayap (Eaton dan Hale 1993).
Kemungkinan lain pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan
serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintetis protein (zat ekstraktif dari
kelompok tanin, stilben, quinon, alkaloid dan resin), sedangkan kelompok
terpenoid dapat merusak fungsi sel (integritas membran sel) rayap yang pada
akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap (Sastrodihardjo 1999).
Berdasarkan nilai mortalitas rayap ternyata bahwa di antara semua fraksi
yang diujikan, fraksi etil eter mengandung senyawa bioaktif yang bersifat toksik
terhadap rayap sehingga mempunyai kemampuan untuk mematikan rayap.
Tingkat kematian rayap yang terjadi diakibatkan efek termitisida dari ekstraktif
tersebut yang mampu menghambat perkembangan rayap bahkan bersifat
mematikan.
Kehilangan Berat Contoh Uji Kertas
Selain mortalitas rayap, indikator lain yang menunjukkan daya racun
ekstraktif kayu adalah dengan menghitung laju konsumsi rayap tanah C.
curvignathus yang ditunjukkan besarnya kehilangan berat kertas uji setelah
diumpankan selama 4 minggu. Semakin tinggi persentase kehilangan berat kertas
uji mengindikasikan semakin rendah sifat anti rayap dari ekstrak uji. Nilai
rata-rata kehilangan berat contoh uji kertas disajikan pada Lampiran 2 yang
menunjukkan bahwa kehilangan berat kertas uji sangat bervariasi bergantung pada
jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji, yaitu
4,5681% sampai 65,0201%. Pada semua fraksi pelarut terdapat kecenderungan
bahwa semakin tinggi konsentrasi esktraktif yang ditambahkan pada kertas uji,
maka kehilangan berat kertas uji semakin kecil (Gambar 4). Hal ini
mengindikasikan bahwa penambahan larutan ekstraktif dari kulit kayu A.
auriculiformis pada kertas uji mampu menghambat kemampuan rayap