• Tidak ada hasil yang ditemukan

SIFAT ANTI RAYAP EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes curvignathus) SKRIPSI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "SIFAT ANTI RAYAP EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) TERHADAP RAYAP TANAH (Coptotermes curvignathus) SKRIPSI"

Copied!
48
0
0

Teks penuh

(1)

i

F A K U L T A S

PE R T A N I A N

SIFAT ANTI RAYAP EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) TERHADAP RAYAP TANAH

(Coptotermes curvignathus)

SKRIPSI

Oleh:

Rio Putra Lbn Gaol 131201112 Teknologi Hasil Hutan

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(2)

SIFAT ANTI RAYAP EKSTRAK KULIT KAYU RARU (Cotylelobium melanoxylon) TERHADAP RAYAP TANAH

(Coptotermes curvignathus)

SKRIPSI

Oleh :

Rio Putra LbnGaol 131201112 Teknologi Hasil Hutan

Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Kehutanan di Fakultas Kehutanan

Universitas Sumatera Utara

FAKULTAS KEHUTANAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

2017

(3)

LEMBAR PENGESAHAN

Judul : Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit Kayu Raru (Cotylelobium melanoxylon) Terhadap Rayap Tanah

(Coptotermes curvignathus) Nama : Rio Putra Lbn Gaol

NIM : 131201112 Fakultas : Kehutanan

Departemen : Teknologi Hasil Hutan

Disetujui oleh Komisi pembimbing

Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si Ridwanti Batubara, S.Hut., MP.

Ketua Anggota

Mengetahui

Arif Nuryawan, S.Hut., M.Si., Ph.D Ketua Departemen Teknologi Hasil Hutan

Tanggal Lulus :

(4)

RIWAYAT HIDUP

Rio Putra Lumban Gaol dilahirkan di Lubuk Pakam pada tanggal 27 Juli 1995. Penulis merupakan anak bungsu dari lima bersaudara dari pasangan Ayah Paian Lumban Gaol dan Hotmauli Rajaguk-guk

Pendidikan formal yang ditempuh penulis selama ini di SD Negeri 107421 Lubuk Pakam, lulus pada tahun 2007 dilanjutkan di SMP RK Lubuk Pakam lulus pada tahun 2010 dan di SMA Negeri 2 Lubuk Pakam lulus pada tahun 2013.

Tahun 2013 penulis lulus ujian Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) diterima di Fakultas Kehutanan, Universitas Sumatera Utara. Penulis memilih jurusan Teknologi Hasil Hutan.

Semasa perkuliahan, penulis mengikuti kegiatan organisasi Himpunan Mahasiswa Silva (HIMAS) yang berkedudukan sebagai anggota. Penulis melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di BPK Aek Nauli pada tahun 2015. Penulis melaksanakan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Perum Perhutani KPH (Kesatuan Pemangku Hutan) Sukabumi pada tahun 2017. Pada akhir kuliah, penulis melaksanakan penelitian dengan judul “Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit Kayu Raru (Cotylelobium melanoxylon) Terhadap Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus)” dibimbing oleh ibu Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si dan Ridwanti Batubara, S.Hut., M.P.

(5)

i ABSTRACT

Rio Putra Lumban Gaol : The Anti termite Properties Of Raru skin Bark Extract (Cotylelobioum melanoxylon) to Subterranean Termite (Coptotermes curvignathus) supervised by Iwan Risnasari and Ridwanti Batubara

Preservatives are generally derived from chemicals that are toxic to wood- damaging organisms and can pollute the environment. Efforts to minimize contamination can be done by using vegetable preservatives such as raru skin bark (Cotylelobium melanoxylon). The aim of this research is to obtain the content of raru skin bark extract, toxicity of raru skin bark extract substance to termite mortality, decrease of sample weight and termite consumption level. The experiment was performed by extracting raru skin bark with methanol solvent and fractionated with n-hexane. The concentrated concentration of 2%, 4%, 6%, 8%, 10% obtained on the cellulose test paper and fed to the termites (Coptotermes curvignathus). The results showed that the content of raru skin bark extract was 4.31%. Increased concentrations generally affect termite mortality percentage, weight loss of test sample and termite consumption level. The highest termite mortality is found in the extractive substance of methanol solvent which has reached 100% at 3rd week at 8% concentration. The highest percentage of sample weight loss and highest termite consumption rate was found in extractive solvent of n-hexane solvent which was 51,37% at concentration level 2% and 6,9 mg at 2% concentration level. Thus the extractive agent with methanol solvent has the highest toxicity compared with the n-hexane solvent and the residue.

Keywords: Raru skin bark, Concentration, Solvent, Extract, Termite

(6)

ii

ABSTRAK

Rio Putra Lumban Gaol : Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit Kayu Raru (Cotylelobium melanoxylon) Terhadap Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus), dibimbing oleh Iwan Risnasari dan Ridwanti Batubara.

Bahan pengawet yang digunakan pada umumnya berasal dari bahan kimia yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu dan dapat mencemari lingkungan. Upaya untuk meminimalkan pencemaran dapat dilakukan menggunakan bahan pengawet nabati seperti kulit raru (Cotylelobium melanoxylon). Penelitian ini bertujuan untuk memperoleh kadar zat ekstrak kulit raru, mengetahui toksisitas zat ekstrak kulit raru terhadap mortalitas rayap, penurunan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap. Penelitian dilakukan dengan mengekstraksi kulit raru dengan pelarut metanol dan difraksinasi dengan n-heksan. Ekstrak pekat konsentrasi 2%, 4%, 6%, 8%, 10% yang diperoleh digunakan untuk uji toksisitas terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus).

Hasil penelitian menunjukkan kandungan kadar ekstrak kulit raru adalah 4,31%.

Peningkatan konsentrasi secara umum berpengaruh terhadap persentase mortalitas rayap, kehilangan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap. Mortalitas rayap tertinggi terdapat pada zat ekstraktif pelarut methanol yang sudah mencapai 100%

pada minggu ke-3 pada konsentrasi 8%. Persentase kehilangan berat contoh uji dan tingkat konsumsi rayap tertinggi terdapat pada zat ekstraktif pelarut n-heksan yaitu sebesar 51,37% pada tingkat konsentrasi 2% dan 6,9 mg pada tingkat konsentrasi 2%. Dengan demikian zat ekstraktif dengan pelarut metanol memiliki toksisitas tertinggi dibandingakan dengan pelarut n-heksan dan residu.

Kata Kunci : Kulit Kayu Raru, Ekstrak, Rayap tanah.

(7)

iii

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Tuhan yang Maha Esa karena atas rahmat-Nya penulis dapat menyelesaikan hasil penelitian yang berjudul “Sifat Anti Rayap Ekstrak Kulit Kayu Raru (Cotylelobim melanoxylon) Terhadap Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus)”.

Penulis menyampaikan terima kasih kepada orang tua yang selalu mendoakan, memberikan kasih saying, nasehat, dukungan dan materi dengan menginspirasi penulis untuk mewujudkan skripsi ini, serta teman-teman seperjuangan angkatan 2013 khususnya nova, novita, inggrit, dan teman-teman yang lainnya tidak dapat saya sebut satu per satu yang selalu membantu, menemani dan member dorongan dalam mengerjakan skripsi ini.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada Dr. Iwan Risnasari, S.Hut., M.Si dan Ridwanti Batubara, S.Hut., MP selaku ketua dan anggota komisi pembimbing yang telah membimbing dan memberikan berbagai masukan kepada penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. Penulis juga mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang turut membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan skripsi ini.

Penulis menyadari bahwa masih terdapat kekurangan dalam penulisan ini.

Akhir kata penulis mengucapkan terima kasih.

Medan, September 2017

Penulis

(8)

iv

DAFTAR ISI

Halaman

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... ii

DAFTAR TABEL ... iv

DAFTAR GAMBAR ... v

DAFTAR LAMPIRAN ... vi

PENDAHULUAN Latar Belakang ... 1

Tujuan Penelitian ... 3

Manfaat Penelitian ... 3

Hipotesis Penelitian ... 3

TINJAUAN PUSTAKA Tanaman Raru (Cotylelobium melanoxylon) ... 4

Keawetan Kayu ... 6

Zat ekstraktif ... 6

Biotermitisida Alamiah ... 8

Metode Pengujian Sifat Anti Rayap ... 9

Rayap Tanah (Coptotermes curvignathusi) ... 9

METODE PENELITIAN Waktu dan Tempat Penelitian ... 11

Bahan dan Alat Penelitian ... 11

Prosedur Penelitian... 11

1. Persiapan Bahan Baku ... 11

a. Ekstraksi Kulit Raru ... 12

b. Penentuan Kadar Zat Ekstraktif ... 13

c. Penentuan Konsentrasi Larutan Ekstrak ... 14

2. Pengujian Sifat Anti Rayap ... 14

a. Persiapan Kertas Uji Selulosa ... 14

b. Pemberian Ekstrak Pada Kertas Uji ... 15

c. Pengumpanan Kertas Uji Terhadap Rayap ... 15

d. Perhitungan Persentase Mortalitas Rayap ... 15

e. Kehilangan Berat Kertas Uji ... 16

f. Tingkat Konsumsi rayap ... 16

Analisis Data ... 16

HASIL DAN PEMBAHASAN Kadar Zat Ekstraktif ... 18

Sifat Anti Rayap ... 20

1. Mortalitas Rayap Tanah ... 20

2. Kehilangan Berat Kertas Uji ... 25

3. Tingkat Konsumsi Rayap ... 28

(9)

v KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ... 32 Saran ... 32 DAFTAR PUSTAKA

LAMPIRAN

(10)

vi

DAFTAR TABEL

No. Halaman 1. Nilai Persentase Mortalitas Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus)

setelah diumpankan selama 4 minggu pada kertas uji yang

mengandung ekstrak kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon) ... 20 2. Uji Duncan Konsentrasi terhadap mortalitas rayap tanah ... 23 3. Hasil uji fitokimia ekstrak kulit kayu raru ... 23 4. Kehilangan berat kertas uji selulosa yang mengandung ekstrak kulit

kayu raru setelah pengumpanan terhadap rayap tanah C. curvignathus .... 25 5. Uji Duncan jenis pelarut terhadap Kehilangan Berat ... 26 6. Uji Duncan Konsentrasi terhadap Kehilangan Berat ... 26 7. Tingkat Konsumsi Makan Rayap Tanah (C. curvignathus) Pada

Kertas Uji Selulosa Yang mengandung ekstrak kulit kayu raru (C. melanoxylon) ... 29 8. Uji Duncan Pelarut terhadap Tingkat Konsumsi Rayap ... 30 9. Uji Duncan pada konsentrasi ... 31

(11)

vii

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman 1. Proses Ekstraksi dan Fraksinasi ... 13 2. Metode Pengumpanan Kertas Uji ... 15 3. Hasil Ekstraksi dan Fraksinasi Beberapa Pelarut ... 19 4. Hasil pengumpanan kertas uji terhadap rayap tanah

(Coptotermes curvignathus) pada beberapa taraf konsentrasi ... 28

(12)

viii

DAFTAR LAMPIRAN

1. Perhitungan Kadar Ekstrak ... 37

2. Data Mortalitas Rayap ... 38

3. Analisis Sidik Ragam Mortalitas rayap ... 39

4. Data Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa ... 40

5. Analisis Sidik Ragam Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa ... 41

6. Data Tingkat Konsumsi Rayap ... 42

7. Analisis Sidik Ragam Tingkat Konsumsi Rayap ... 43

(13)

1

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Indonesia sebagai negara tropis mempunyai tingkat kelembaban lingkungan, kehangatan, dan bahan organik dalam tanah yang tinggi. Keadaan inilah yang menyebabkan organisme perusak kayu dapat berkembang dengan baik, salah satu jenisnya adalah rayap. Rayap merupakan salah satu organisme yang sering dijumpai dan merupakan organisme pengurai dalam komponen rantai makanan dan hidup dalam suatu komunitas. Rayap akan merusak komponen konstruksi rumah atau bangunan yang material utamanya terbuat dari kayu.

Perkembangan rayap di alam sekitar khususnya di Indonesia belum dapat dicegah dengan efektif. Salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan memberikan perlakuan terhadap kayu tersebut dengan cara diawetkan agar tidak mudah diserang oleh organisme perusak kayu (OPK) khususnya rayap tersebut. Hal ini dikarenakan serangan OPK menyebabkan pemanfaatan kayu tersebut menjadi tidak maksimal dan umur pakainya menjadi rendah (Heyne, 1987).

Bahan pengawet yang umum digunakan berasal dari bahan kimia yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu dan dapat mencemari lingkungan, sehingga saat ini banyak dikaji penggunaan bahan alami sebagai pengawet kayu untuk meminimalkan pencemaran. Pada saat ini para peneliti sedang mengembangkan bahan pengawet alami pada kayu agar dapat meminimalkan pencemaran lingkungan dan juga dapat meningkatkan umur pakai kayu sama seperti bahan pengawet sintesis.

Menurut Tarumingkeng (2003), kerugian terhadap kerusakan bangunan di Jakarta akibat serangan rayap mencapai Rp 2,6 Triliun per tahun. Melihat

(14)

2

tingginya tingkat kerugian akibat rayap maka perlu upaya pengendalian rayap.

Upaya menghindari kerugian yang disebabkan oleh hama rayap tanah telah dilakukan tindakan pengendalian dengan berbagai cara, antara lain secara kimiawi dan secara hayati. Pengendalian secara kimiawi yaitu usaha pengendalian dengan menggunakan bahan kimia (insektisida). Cara ini dipandang kurang menguntungkan karena selain biayanya yang mahal, pemakaian insektisida kimia juga dapat mencemari lingkungan, seperti keracunan pada hewan dan manusia dan pencemaran air (Sari, dkk. 2004) Beberapa bahan pengawet alami telah diuji coba terhadap rayap adalah ekstrak kulit kayu Accacia auricoliformis A (Yanti, 2008), ekstrak kulit biji saga (Sinaga, 2012), ekstrak damar mata kucing (Sari, dkk. 2004) dan lain-lain. Walau sudah banyak bahan pengawet nabati, namun masih perlu mengeksplorasi jenis-jenis lain yang dapat digunakan sebagai bahan pengawet nabati seperti kulit kayu raru.

Bahan yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah kulit kayu raru.

Raru merupakan tanaman kayu hutan yang batangnya telah lama digunakan masyarakat Tapanuli Tengah sebagai bahan bangunan. Menurut Hildebrand (1954), disebutkan bahwa ada beberapa jenis kayu yang digolongkan sebagai kayu raru, antara lain Shorea maxwelliana King, Vatica songa V.Sl. dari famili dipterocarpaceae dan Garcinia sp. dari famili Guttifera. Penelitian Erika (2005), menyebutkan bahwa jenis Shorea faguetiana Heim termasuk juga sumber kulit raru.

Penelitian Pasaribu, dkk. (2007) mengidentifikasi Cotylelobium melanoxylon Pierre, memiliki komponen kimia kayu sebagai berikut: holoselulosa 66,61%, hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31%.

(15)

3

Selanjutnya kadar ekstraktif kayu raru yang larut dalam air dingin 3,19%, air panas 9,08%, alkohol benzene 1,76, NaOH 1% 19,27%.

Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Memperoleh kadar zat ekstraktif kulit kayu raru yang diperoleh dari hasil ekstraksi pelarut metanol dan fraksinasi n-heksan.

2. Mengetahui toksisitas zat ekstraktif kulit kayu raru terhadap mortalitas rayap.

3. Mengetahui penurunan berat contoh uji kertas selulosa yang diberi ekstrak kulit kayu raru, serta tingkat konsumsi rayap.

Manfaat Penelitian

Manfaat dari penelitian ini adalah mendapatkan pengawet alami yang ramah lingkungan.

Hipotesa

Kandungan ekstraktif yang terdapat di dalam kulit kayu raru diduga bersifat racun terhadap rayap tanah.

(16)

4

TINJAUAN PUSTAKA

Tanaman Raru (Cotylelobium melanoxylon)

Raru merupakan sebutan untuk kelompok jenis kulit kayu yang ditambahkan pada nira aren yang bertujuan untuk meningkatkan cita rasa dan kadar alkohol minuman. Penelitian Pasaribu, dkk (2007), mengidentifikasi Cotylelobium melanoxylon Pierre yang disebutkan bahwa jenis ini memiliki komponen kimia kayu berturut-turut adalah sebagai berikut: holoselulosa 66,61%, hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31%.

Selanjutnya kadar ekstraktif kayu raru yang larut dalam air dingin 3,19%, air panas 9,08%, alkohol benzene 1,76%, NaOH (1%) 19,27%. Menurut pengalaman masyarakat lokal, sudah dipakai untuk keperluan pengobatan tradisional.

Giam (Cotylelobium melanoxylon) memiliki kayu dengan karakter yang unggul, berat, keras, dan tahan. Dahulu jenis ini biasanya ditemukan dalam hutan dipterokarpa campuran, namun saat ini raru sudah mulai sulit dijumpai di alam.

Selain kayunya yang mahal, giam juga berpotensi untuk menghasilkan bahan antidiabetik dan anti-rayap. Giam tercantum dalam IUCN red list dan diklasifikasikan sebagai rentan (Togatorop, 2014).

Di Kabupaten Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara, giam yang lebih dikenal dengan sebutan raru dan diidentifikasi sebagai Cotylelobium sp,sudah

sangat luas dimanfaatkan oleh masyarakat di Sumatera Utara. Kulit kayu ini biasanya digunakan oleh masyarakat sebagai campuran minuman tuak (minuman tradisional Batak). Masyarakat juga meyakini kulit kayu raru

dapat digunakan sebagai obat penurun kadar gula darah (anti diabetes) (Pasaribu dan Setyawati, 2011).

(17)

5

Penelitian Pasaribu (2009) menemukan bahwa salah satu kulit kayu raru yang berasal dari Tapanuli Tengah diidentifikasi sebagai Cotylelobium melanoxylon Pierre. Pohon raru tingginya mencapai 50 meter dan dapat tidak bercabang hingga 30 meter dan diameter 160 cm. Tangkai daun melengkung, daun meyerupai daun meranti. Kayu bagian dalam berwarna coklat kemerahan.

Kayu bagian luar memiliki warna yang berbeda dari bagian dalam. Kerapatan jenis 0,81–1,16 g/cm³. Antara kayu gubal dan kayu teras tidak terdapat perbedaan warna yang jelas. Tekstur kayu halus dengan arah serat yang lurus dan indah (Richter dan Dallwitz, 2009).

Berdasarkan Silk (2009), taksonomi dari kayu raru adalah sebagai berikut:

Kingdom: Plantae, Divisi: Magnoliophyta, Kelas: Magnoliopsida, Ordo:

Malvales, Famili: Dipterocarpaceae, Genus: Cotylelobium, Spesies: C.

melanoxylon

Kulit pohon raru diyakini masyarakat mampu menambah cita rasa dan kadar alkohol dari minuman tuak (minuman tradisional dari aren). Berdasarkan kajian ilmiah, kulit kayu ini mengandung kadar tanin yang cukup tinggi, yang cocok

digunakan sebagai bahan pengawet alami pada makanan. Pohon raru (C. melanoxylon) hanya dapat dijumpai di lokasi yang jauh dalam hutan yang sudah

sulit dijangkau masyarakat. Setelah kulit kayunya diambil, kayu nya akan dibiarkan, padahal kayu ini mempunyai kekuatan yang tinggi (Pasaribu, dkk., 2007). Pada hasil pengujian fitokimia pada penelitian (Pasaribu dan Setyawati, 2011) bahwa kulit kayu raru (C. melanoxylon) mengandung flavanoid, tanin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon.

(18)

6 Keawetan Kayu

Syafii (2000a) menyatakan bahwa pada umumnya kayu yang memiliki tingkat keawetan tinggi mempunyai kandungan zat ekstraktif lebih tinggi dibandingkan dengan kayu yang memiliki tingkat keawetan rendah. Faktor-faktor yang menyebabkan perbedaan dalam keawetan diantaranya disebabkan oleh kondisi dalam kayu itu sendiri dan lingkungan (Hunt dan Garrat 1986).

Keawetan kayu dipengaruhi oleh dua faktor utama yaitu karateristik kayu dan keadaan lingkungan. Faktor karakteristik kayu yaitu kandungan zat ekstraktif,

umur pohon, bagian kayu dalam batang (kayu gubal dan kayu teras),

dan kecepatan tumbuh. Faktor lingkungan yaitu tempat dimana kayu itu digunakan, jenis organisme penyerang, keadaan suhu, dan kelembaban

udara. Suatu jenis kayu yang awet terhadap serangan jamur belum tentu akan tahan terhadap rayap atau penggerek kayu di laut demikian pula sebaliknya (Sumarni dan Muslich, 2005).

Keawetan alami kayu salah satunya ditentukan oleh jenis dan banyaknya zat ekstraktif yang bersifat racun terhadap organisme perusak kayu yang terdapat di dalam kayu. Eaton and Hale (1993) menyatakan bahwa zat ekstraktif diperkirakan berperan sebagai toksikan terhadap mikroorganisme juga berperan dalam mencegah serangan serangga.

Zat Ekstraktif

Zat ekstraktif biasanya berada di dalam pori-pori dan dinding sel tanaman berkayu dalam jumlah yang sedikit. Zat ekstraktif tersebut tidak semuanya bisa larut dalam pelerut kimia, hal ini disebabkan adanya struktur lain dalam zat ekstraktif tersebut seperti mineral atau getah yang mempunyai derajat kondensasi

(19)

7

yang tinggi. Zat ekstraktif yang umumnya mempunyai gugus alkohol dan berikatan dengan lignin, kadang dapat diekstraksi dengan pelarut netral. Zat ekstraktif umumnya adalah zat yang mudah larut dalam pelarut seperti eter, alkohol, bensin dan air. Persentase zat ekstraktif ini rata-rata 3-8% dari berat kayu kering tanur. Termasuk di dalamnya minyak-minyakan, resin, lilin, lemak, tannin, gula, pati dan zat warna. Zat ekstraktif tidak merupakan bagian struktur dinding sel, tetapi terdapat dalam rongga sel. Zat ekstraktif memiliki arti yang penting dalam kayu karena dapat mempengaruhi sifat keawetan, warna, bau, rasa dan untuk mengenal sesuatu jenis kayu (Fengel dan Wegener, 1995).

Ekstraksi atau penyarian merupakan proses perpindahan massa zat aktif yang semula berada di dalam sel setelah mengalami pembasahan oleh cairan penyari, zat aktif yang terlarut pada cairan penyari akan keluar dari dinding sel.

Metode ekstraksi maserasi merupakan cara penyarian sederhana, yang dilakukan dengan cara merendam serbuk simplisia dalam cairan penyari. Cairan penyari akan menembus dinding sel dan masuk ke dalam ronga sel yang mengandung zat aktif, zat aktif akan larut dan karena adanya perbedaan konsentrasi antara larutan zat aktif di dalam sel dengan di luar sel, maka larutan yang terpekat didesak keluar (Kartikasari, 2008).

Sjöström (1995) menggolongkan zat ekstraktif ke dalam tiga kelompok, yaitu :

a. Terpena dan Terpenoid

Terpena dikenal sebagai kelompok besar dari hidrokarbon yang terbentuk dari unit-unit isoprena (C5H8). Turunan-turunan terpena dengan gugus fungsi

(20)

8

hidroksil, karbonil, dan karboksil adalah bukan hidrokarbon tetapi secara singkat disebut terpenoid.

b. Lemak dan Lilin

Lemak dan lilin merupakan konstituen utama dari bahan lipofil yang terdapat alam sel parenkim. Lemak itu sendiri merupakan ester-ester gliserol dari asam-asam lemak yang terdapat dalam kayu terutama sebagai trigliserida. Lemak dan lilin merupakan senyawa-senyawa alami yang non-polar dan dapat diekstraksi secara efektif dengan menggunakan pelarut seperti n-heksan, kloroform, etanol atau metanol (Houghton dan Raman, 1998).

c. Konstituen Fenol

Kayu teras dan kulit mengandung bermacam-macam ekstraktif aromatic yang kompleks. Sebagian besar diantaranya adalah senyawa-senyawa fenol dan banyak berasal dari fenil propanoid. Senyawa fenol tersebut mempunyai sifat-sifat fungisida dan melindungi kayu terhadap serangan mikrobiologi.

Biotermitisida Alamiah

Pestisida alami adalah pestisida yang bahan dasarnya berasal dari tanaman atau tumbuhan. Pestisida nabati bisa dibuat secara sederhana yaitu dengan menggunakan hasil perasan, ekstrak, rendaman atau rebusan bagian tanaman baik berupa daun, batang, akar, umbi, biji ataupun buah misalnya ekstrak kulit kayu Accacia auricoliformis A (Yanti, dkk., 2012), ekstrak kayu Eugenia cymosa Lamk. (Mayangsari, 2008), ekstrak kulit biji saga (Sinaga, 2012).

Biotermitisida sangat diperlukan dalam pengendalian hama rayap sesuai dengan dosis yang dianjurkan.

(21)

9

Menurut Sastrodihardjo (1999), pengaruh zat ekstraktif terhadap kematian rayap dan serangga lainnya adalah sebagai penghambat sintesis protein, khususnya dari kelompok tanin, stilbena, alkaloid dan resin. Sedangkan kelompok terpenoid dapat merusak fungsi sel rayap yang pada akhirnya menghambat proses ganti kulit rayap.

Metode Pengujian Sifat Anti Rayap

Metode pengujian sifat anti rayap biasa dilakukan dengan menggunakan metode anti-feedant bio-assay test seperti yang digunakan oleh Adharini (2008) dengan beberapa modifikasi. Dari metode ini akan didapatkan mortalitas rayap yang beragam bergantung pada jenis kayu, jenis fraksi dan konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji. Sebagian besar jenis kayu dan jenis fraksi memberikan pola yang sama yaitu semakin tinggi konsentrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka mortalitas rayap semakin meningkat pula. Pola ini memberikan indikasi umum bahwa ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap kehidupan rayap.

Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus)

Kondisi iklim dan tanah termasuk banyaknya ragam jenis tumbuhan di Indonesia sangat mendukung kehidupan rayap. Oleh sebab itu, lebih dari 80%

daratan Indonesia merupakan habitat yang baik bagi kehidupan berbagai jenis serangga ini. Rayap adalah serangga social yang hidup dalam suatu komunitas yang disebut koloni. Komunitas tersebut bertambah efisien dengan adanya spesialisasi atau kasta, dimana masing-masing kasta mempunyai bentuk dan peran yang berbeda dalam kehidupannya. Pada habitat yang tidak terganggu, rayap memiliki peranan yang penting, khususnya di daerah tropis seperti Indonesia.

(22)

10

Serangga ini berperan dalam proses daur ulang nutrisi tanaman melalui proses dekomposisi material organik dari kayu menjadi material anorganik. Namun, pembukaan lahan hutan untuk perkebunan, pertanian dan perumahan yang dilakukan oleh manusia mengakibatkan perubahan status rayap menjadi serangga hama yang merugikan karena merusak tanaman budi daya dan bangunan (Nandika, dkk., 2003).

Tambunan dan Nandika (1989) menyatakan bahwa pada koloni-koloni rayap bawah tanah, rayap pekerja merupakan individu yang jumlahnya jauh lebih banyak. Seperti serdadunya, rayap pekerja ini mandul, tanpa sayap, buta dengan tubuh berwarna lebih muda dan sedikit lebih pendek dari ¼ inci. Meskipun dengan ciri-ciri rahang yang kurang nampak, tetapi rahang bawah rayap pekerja ini telah disesuaikan secara khusus untuk menggigit putus potongan-potongan kayu, dan kasta inilah yang menimbulkan segala macam kerusakan yang disebabkan oleh rayap bawah tanah.

Rayap tanah merupakan salah satu organisme perusak kayu dan hama bagi tanaman pada lahan yang lembab, kerusakan yang ditimbulkan adalah yang terbesar bila dibandingkan dengan organisme perusak lain. Coptetermes curvignathus termasuk jenis rayap yang sangat cepat menyesuaikan diri dengan keadaan yang berbeda dari habitat aslinya. Sarang Coptetermes curvignathus sebenarnya di dalam tanah, namun bila habitat aslinya diganggu maka koloni rayap akan mempertahankan hidupnya dengan menggunakan sisa-sisa kayu, kayu-

kayu bakar dan tonggak-tonggak sebagai bahan makanannya (Tarumingkeng, 2003).

(23)

11

METODOLOGI PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Maret - Juni 2017. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, dan Laboratorium Kimia Bahan Alam Program studi Kimia Fakultas MIPA Universitas Sumatera Utara, Medan.

Bahan dan Alat Penelitian

Bahan yang digunakan pada penelitian ini adalah kulit kayu raru yang berasal dari Kabupaten Tapanuli Tengah, pasir, aquades, aluminium foil, kertas selulosa Whatmann, dan rayap tanah jenis Coptotermes curvignathus dari kampus Kehutanan USU untuk menguji toksisitasnya. Bahan pelarut yang digunakan dalam penelitian ini adalah metanol, n-heksan.

Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini meliputi saringan ukuran 40- 60 mesh, rotary vacuum evaporator, blender, bak pengumpanan, Erlenmeyer, oven, cawan petri, timbangan analitik, toples besar, botol kaca, spatula, desikator, masker, kamera digital, dan alat tulis.

Prosedur Penelitian

1. Persiapan Bahan Baku

Pengambilan kulit kayu raru kemudian bahan dikeringkan. Setelah kering, bahan dihaluskan atau ditumbuk dengan menggunakan tumbukan atau blender untuk mendapatkan serbuk kulit raru, kemudian bahan serbuk disaring dengan

(24)

12

ukuran 40-60 mesh, dikeringkan sampai kering udara dan dimasukkan ke dalam kantung plastik.

a. Ekstraksi Kulit Raru (Coptotermes curvignathus)

Metode ekstraksi acuan pada penelitian Hakim, et al, (2008) dengan modifikasi. Serbuk kulit kayu raru yang telah kering diambil sebanyak ± 2000 gram, dimasukkan ke dalam toples besar, kemudian diekstrak dengan pelarut metanol dengan memasukkan sedikit demi sedikit kedalam serbuk tersebut sehingga seluruh serbuk terendam dengan perbandingan volume serbuk dan pelarut 1 : 3. Campuran tersebut diaduk dengan menggunakan spatula kemudian disimpan. Setelah disimpan selama 48 jam, larutan ekstrak disaring ke botong lain.

Ekstrak metanol yang diperoleh selanjutnya dipekatkan dengan menggunakan rotary vacuum evaporator pada suhu 30OC – 40OC untuk memisahkan pelarut dan ekstrak pekat sampai mencapai volume menjadi 1 liter.

Untuk mengetahui berat ekstraknya, dari 1 liter larutan ekstrak tersebut diambil 10 ml dan dimasukkan ke dalam Erlenmeyer yang kering dan telah diketahui beratnya kemudian dievaporasikan hingga kering. Selanjutnya dilakukan pengeringan dengan oven pada suhu ± 40OC - 60OC sampai beratnya konstan.

Setelah ekstrak kering, ekstrak dimasukkan ke dalam desikator selama ± 15 menit dan ditimbang unutk mengetahui berat kering oven ekstrak metanol yang diperoleh. Kandungan ekstrak metanol dihitung berdasarkan persentase berat padatan ekstrak metanol dengan berat kering oven serbuk.

Larutan ekstrak sebanyak 500 ml dievaporasi sampai 100 ml. Ekstrak metanol tersebut difraksinasi dengan pelarut n-heksana. Proses tersebut dilakukan

(25)

13

dengan memasukkan larutan yang telah kental ke dalam funnel separator kemudian ditambah pelarut n-heksana sebanyak 75 ml untuk sekali penambahan dan 20 ml aquades. Campuran ini dikocok dan dibiarkan sehingga terjadi pemisahan. Setelah terjadi pemisahan, fraksi terlarut dalam n-heksan dipisahkan dari residunya dan dimasukkan ke dalam labu yang tertutup rapat. Fraksinasi yang menggunakan n-heksana dilakukan sampai fraksi terlarut dalam n-heksan berwarna jernih.

Ektraksi dengan metanol

Keterangan : *) = dilakukan pengujian bio assay anti rayap Gambar 1. Proses ekstraksi dan fraksinasi

b. Penentuan Kadar Zat Ekstraktif

Larutan ekstrak metanol sebanyak 10 ml dan larutan hasil fraksinasi terlarut dalam n-heksan, dan residunya yang telah diuapkan dikeringkan dalam erlenmeyer dengan oven pada suhu ± 40-60oC sampai diperoleh berat konstannya.

Untuk mengetahui kadar zat ekstraktif yang diperoleh dari hasil ekstraksi dan fraksinasi dihitung dengan menggunakan rumus dari Syafii et al. (1994) sebagai berikut :

Serbuk Kulit Kayu Raru 2000 g

Residu Ekstrak Methanol*)

Residu*) Fraksi n-heksana*)

Fraksinasi dengan n-heksana

(26)

14 Kadar Zat Ekstraktif

Keterangan: Wa = berat padatan ekstraktif (g) Wb = berat kering oven serbuk (g) c. Pembuatan Konsentrasi larutan Ekstrak

Setelah memperoleh padatan zat ekstraktif yang dilakukan dengan pengeringan di dalam oven pada suhu ± 40-60oC dan dikeringudarakan, tahap selanjutnya adalah pembuatan konsentrasi larutan ekstrak dengan menggunakan pelarutnya masing-masing. Metanol, n-heksan dan residu dibuat menjadi beberapa taraf konsentrasi larutan ekstrak yaitu 2, 4, 6, 8, dan 10%. Penentuan konsentrasi larutan ekstrak dibuat berdasarkan perbandingan berat padatan ekstraktif dengan berat kering tanur kertas selulosa.

2. Penguijan Sifat Anti-Rayap a. Persiapan Kertas Uji Selulosa

Metode pengujian mengacu kepada metode cellulose pads yang telah dilakukan oleh Yanti et al. (2012) dengan modifikasi. Kertas uji dikeringkan dengan oven pada suhu 103 ± 2oC selama 24 jam untuk mengetahui berat kering tanurnya. Setelah dikeringkan, kertas uji ditimbang untuk mengetahui berat awalnya. Jumlah contoh uji yang digunakan dalam penelitian sebanyak 48 buah yaitu kombinasi 6 konsentrasi (0, 2, 4, 6, 8, dan 10%), dengan 3 ulangan dan 0%

sebagai control untuk kertas uji sebanyak 3 ulangan.

(27)

15 b. Pemberian Ekstrak pada Kertas Uji

Pemberian ekstrak pada kertas uji dilakukan dengan cara penambahan larutan ekstraktif pada kertas uji sesuai perbandingan berat ekstraktif terhadap berat kering tanur kertas selulosa dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8 dan 10.

c. Pengumpanan Kertas Uji terhadap Rayap

Pengumpanan kertas uji dilakukan dengan cara kertas uji yang telah diberi ekstraktif dimasukkan ke dalam botol uji dengan media berupa pasir yang berukuran 30-50 mesh sebanyak 10 g kemudian dicampur dengan ± 2 ml aquades.

Kertas uji ditempatkan pada plastic saucer. Sebuah lapisan basah dibentang di bawah tempat pengumpanan yang bertujuan untuk untuk menjaga kelembaban.

Sebanyak 50 ekor rayap tanah yang terdiri dari 45 ekor kasta pekerja dan 5 ekor kasta prajurit dimasukkan ke dalam contoh uji dan diumpankan selama empat minggu disimpan di tempat yang gelap. Penempatan kertas uji dalam botol dapat dilihat pada Gambar 2.

Gambar 2. Metode Pengumpanan Kertas Uji d. Perhitungan Persentase Mortalitas Rayap

Pengujian toksisitas ekstraktif terhadap kelangsungan hidup rayap dilakukan selama pengumpanan. Data yang diambil selama pengumpanan adalah

(28)

16

mortalitas rayap setiap minggunya. Perhitungan persentase mortalitas rayap dengan menggunakan rumus dari Syafii et al. (1994) sebagai berikut :

Mortalitas Rayap

Keterangan :

M1 = Jumlah rayap yang mati pada contoh uji ke-i (ekor) M2 = Jumlah rayap awal pengumpanan (50 ekor)

e. Kehilangan Berat Kertas Uji

Perhitungan persentase kehilangan berat kertas uji dilakukan setelah pengumpanan selama 28 hari, dengan menggunakan persamaan berikut :

Kehilangan berat =

Keterangan :

B0 = berat kering oven kertas uji sebelum pengumpanan (g) B1 = berat kering oven kertas uji setelah pengumpanan (g) f. Tingkat Konsumsi Rayap

Laju konsumsi rayap dihitung berdasarkan penelitian Rudi dan Nandika (1999). Konsumsi makan rayap rata-rata juga dihitung dengan rumus :

Konsumsi makan rayap (g) = (B0-B1)/N

dimana B0 adalah berat contoh uji sebelum diumpankan (g), B1 adalah berat contoh uji setelah diumpankan (g), dan N adalah jumlah rayap pekerja awal.

3. Analisa Data

Analisa data yang dilakukan untuk menghitung perbedaan pengaruh perlakuan bahan pelarut dan konsentrasi dapat diketahui dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan menggunakan 2 faktor. Faktor pertama

(29)

17

adalah zat ekstraktif berdasarkan jenis pelarut yang terdiri dari metanol, n-heksan, residu. Faktor ke dua adalah konsentrasi zat ekstraktif yang dibuat menjadi 6 taraf terdiri dari 0%, 2%, 4%, 6%, 8%, 10%. Dengan ulangan sebanyak 3 kali ulangan.

Model analisa yang digunakan sebagai berikut:

Yijk = μ + Ai + Bj + (AB)ij + Єijk Keterangan :

Yijk = nilai pengamatan jenis pelarut ke-i dengan konsentrasi ke-j dan pada ulangan ke-k

μ = Rata-rata umum

Ai = Pengaruh akibat jenis pelarut ke-i Bj = Pengaruh akibat konsentrasi ke-j

ABij = Pengaruh interaksi dari jenis pelarut dengan ke-i dengan konsentrasi zat ekstraktif ke-j

Єijk = Galat percobaan jenis pelarut ke-i dan konsentrasi zat ekstraktif ke-j serta pada ulangan ke-k

(30)

18

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kadar Zat Ekstraktif

Kadar ekstrak yang diperoleh dari 2000 gr serbuk kulit kayu raru menghasilkan ekstrak pasta sebanyak 86,27 gr. Sehingga kadar zat ekstraktif yang diperoleh dari ekstraksi dengan pelarut metanol menghasilkan ekstrak metanol berkadar 4,31%. Kadar zat ekstraktif kulit kayu raru ini tergolong tinggi menurut kelas komponen kimia kayu Indonesia (Lestari dan Pari, 1990), dimana kadar ekstraktif kayu tergolong kelas tinggi jika kadar ekstraktif lebih besar dari 4%, kelas sedang jika kadar ekstraktif antara 2-4% dan kelas rendah jika kadar ekstraktifnya kurang dari 2%.

Besar kecilnya nilai rendemen ekstrak menunjukkan keefektifan proses ekstraksi. Menurut Kartikasari (2008), efektifitas proses ekstraksi dipengaruhi oleh jenis pelarut yang digunakan sebagai pengekstrak, ukuran partikel ekstrak, metode, dan lamanya ekstraksi. Kadar ekstrak aseton kayu Kuku (Mahmudah, 2003) yang diperoleh sebesar 4,27%. Sedangkan penelitian Sutarmaji (2005) menghasilkan ekstrak aseton kayu Jengkol sebesar 1,20%. Selain itu penelitian sinaga (2012) kadar ekstrak kulit biji saga yang dihasilkan sebesar 15,82% dengan perendaman pelarut metanol. Hal ini menunjukkan adanya variasi kandungan zat ekstraktif yang berbeda dari setiap jenis kayu. Pernyataan tersebut didukung oleh Fengel dan Wegeneger (1995) yang menyebutkan bahwa kandungan dan komposisi ekstraktif berbeda-beda diantara spesies kayu.

Hasil uji fitokimia senyawa ekstrak kulit kayu raru oleh Pasaribu dan Setyawati (2011), didapatkan bahwa kulit kayu raru mengandung senyawa flavanoid, tannin, saponin, triterpenoid dan hidrokuinon. Sejumlah senyawa aktif

(31)

19

telah diidentifikasi dari sejumlah tanaman keras sebagai anti rayap dan anti fungi.

Senyawa tersebut berupa zat ekstraktif yaitu senyawa suatu senyawa yang mengisi rongga sel kayu. Zat ekstraktif ini berperan dalam keawetan alami kayu mahoni terhadap serangan biologis yaitu berupa senyawa polipenol, terpenoid dan tanin (Sari, et al., 2004).

Penggunaan pelarut metanol bertujuan untuk mempercepat proses keluarnya zat ekstraktif yang terkandung pada kulit kayu raru tersebut. Menurut Sastrodiharjo (1999), senyawa bioaktif yang terkandung tersebut diduga memiliki peranan yang sangat besar dalam meningkatkan sifat anti rayap dalam mematikan rayap. Selain itu, hasil penelitian Rahmana dkk. (2010) menunjukkan bahwa antara air, metanol, etanol, dan propanol yang mampu melarutkan zat warna yang paling banyak adalah metanol.

Gambar 3. Ekstrak kulit kayu raru hasil ekstraksi dan fraksinasi beberapa pelarut

Hasil ekstraksi dan fraksinasi dapat dilihat pada Gambar 3, Gambar tersebut memperlihatkan adanya perbedaan warna dari ekstraksi dan fraksinasi yang diperoleh dengan pelarut yang berbeda. Ekstrak metanol yang dihasilkan dalam penelitian ini berwarna coklat, zat ekstraktif yang terlarut dalam pelarut n- heksan berwarna kuning bening dan residu berwarna coklat kehitaman. Hal ini

(32)

20

diduga tergantung pada jenis masing-masing pelarut pada jenis senyawa yang terlarut.

Sifat Anti Rayap

Parameter yang digunakan untuk menguji sifat anti rayap adalah mortalitas rayap tanah (C. curvignathus), kehilangan berat kertas uji, serta tingkat konsumsi rayap tanah.

Mortalitas Rayap Tanah ( C. curvignathus )

Indikator yang digunakan dalam penentuan aktifitas anti rayap dari zat ekstraktif adalah mortalitas rayap yang dihitung per minggunya. Hasil nilai persentase mortalitas rayap berdasarkan hasil penelitian yang disajikan dalam Tabel 1.

Tabel 1. Nilai persentase mortalitas rayap tanah (C. curvignathus) setelah diumpankan selama 4 minggu pada kertas uji yang mengandung ekstrak kulit kayu raru (Cotylelobium melanoxylon)

Jenis Zat Konsentrasi Mortalitas Rayap (%) *)

Ekstraktif (%) Minggu 1 Minggu 2 Minggu 3 Minggu 4

Kontrol 0% 1,33 1.33 3.33 10

Metanol 2% 9,33 32,67 58,33 73,33

Metanol 4% 6,00 36,00 92,67 100,00

Metanol 6% 6,67 42,00 94,67 100,00

Metanol 8% 14,00 56,67 100,00 100,00

Metanol 10% 21,33 68,00 95,33 100,00

N-heksan 2% 6,00 22,67 46,00 57,33

N-heksan 4% 6,00 26,00 58,67 82,00

N-heksan 6% 12,67 42,67 81,33 100,00

N-heksan 8% 14,00 59,33 96,00 100,00

N-heksan 10% 16,67 52,00 90,00 100,00

Residu 2% 4,67 16,00 50,67 70,00

Residu 4% 6,67 30,00 58,00 73,33

Residu 6% 1,33 40,67 96,67 100,00

Residu 8% 2,67 47,33 96,67 100,00

Residu 10% 12,67 82,67 100,00 100,00

Keterangan: *) = rataan tiga ulangan

(33)

21

Pada Tabel 1 dapat dilihat bahwa nilai persentase zat ekstraktif dan tingkat konsentrasi memberikan nilai mortalitas rayap yang berbeda-beda. Hal ini diduga disebabkan jenis zat ekstraktif yang terkandung di dalam pelarut tersebut pada tingkat konsentrasi yang berbeda. Secara umum, besar konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan mempunyai korelasi positif dengan mortalitas rayap dimana peningkatan konsentrasi ekstrak sejalan dengan peningkatan mortalitas rayap.

Pola ini menurut Syafii (2000b) menunjukkan bahwa ekstrak yang ditambahkan tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap.

Pada Tabel 1 juga dapat dilihat bahwa mortalitas paling tinggi adalah zat ekstraktif pada metanol yang diikuti fraksinasi residu dan terakhir fraksinasi n- heksan. Hal ini berdasarkan nilai mortalitas rayap pada zat ekstraktif dengan pelarut metanol pada minggu ke 3 sudah ada yang mencapai 100% yaitu pada konsentrasi 8%, sedangkan fraksinasi residu yang mencapai 100% pada konsentrasi 10% dan n-heksan belum mencapai 100% pada minggu ke 3.

Fraksi n-heksan dan residu memiliki sifat anti rayap yang lebih rendah dari pada metanol karena nilai mortalitasnya lebih rendah dari ekstrak metanol pada berbagai konsentrasi di minggu akhir pengujian atau minggu ke 4. Tetapi jika dibandingkan keduanya, fraksi residu lebih memberikan efek toksik dibandingkan dengan fraksi n-heksan. Hal ini terlihat pada nilai mortalitas fraksi residu pada minggu ke 3 lebih tinggi hampir di setiap konsentrasi dan sudah ada yang mencapai 100% dibandingkan dengan n-heksan belum ada yang mencapai 100%

di minggu ke 3. Fraksi n-heksan mempunyai aktivitas yang rendah diduga disebabkan adanya lemak dan lilin yang terkandung dalam fraksi tersebut.

(34)

22

Menurut Hougthon dan Raman (1998), pelarut n-heksan dapat melarutkan lemak dan lilin dan senyawa tersebut merupakan senyawa yang kurang toksik.

Pada Tabel 1 juga dapat dilihat mortalitas rayap dengan LC50. LC50 (lethal concentration 50%) artinya adalah kondisi mortalitas lebih dari 50% dengan pemberian dosis tertentu. Pada kontrol kondisi LC50 rayap tidak terjadi karena dapat dilihat pada tabel diatas mortalitas rayap sampai di akhir pengujian atau minggu ke 4 belum menyentuh diangka 50 melainkan hanya 10%. Berbeda dengan kontrol, perlakuan dengan pemberian zat ekstraktif methanol dan n-heksan pada minggu ke 2 dengan konsentrasi 8 dan 10% telah melewati kondisi LC50

sedangkan residu pada minggu ke 2 hanya 10% yang melewati LC50, Hal ini berarti bahwa pemberian taraf konsentrasi yang tinggi pada ekstrak kulit raru mengakibatkan kematian rayap tanah yang cukup tinggi. Sebaliknya pada

perlakuan kontrol tingkat mortalitas yang terjadi cukup lama dan rendah kuantitas yang berarti pada tingkat ini daya tahan rayap tanah cukup tinggi. Hal

ini sesuai dengan pernyataan Pasaribu dan Setyawati (2011), ekstrak kulit kayu raru (C. melanoxylon) bersifat toksik pada telur udang (Artemisia salina Leach).

Berdasarkan hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa konsentrasi berbeda nyata pada mortalitas rayap. Namun jenis pelarut yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap mortalitas rayap. Sehingga konsentrasi dari jenis pelarut dapat disimpulkan mempengaruhi mortalitas rayap. Hasil uji lanjutan Duncan yang dilakukan konsentrasi terhadap mortalitas sebagai berikut:

(35)

23

Tabel 2. Uji Duncan Konsentrasi terhadap mortalitas rayap tanah Rata-rata Mortalitas Pada Konsentrasi Nilai

0% 10,00 a

2% 66,89 b

4% 85,11 c

6% 100,00 d

8% 100,00 d

10% 100,00 d

Notasi yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata

Hasil uji lanjutan Duncan pada konsentrasi 0% dengan semua perlakuan konsentrasi berbeda nyata, konsentrasi 2% dengan semua perlakuan konsentrasi berbeda nyata, konsentrasi 4% berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi terhadap mortalitas rayap tanah. Sedangkan 6, 8 dan 10% tidak berbeda nyata.

Nilai persentase mortalitas rayap sangat tinggi selama pengumpanan disebabkan senyawa kimia bioaktif saponin dan triterpenoid yang meracuni rayap.

Pada penelitian Pasaribu, dkk. (2007) komponen kimia kayu raru sebagai berikut:

hemiselulosa 29,26%, alphaselulosa 37,35%, lignin 22,26% dan pentosan 17,31%.

Ekstrak kulit kayu raru mengandung bahan yang beracun dapat mematikan rayap dapat dilihat pada Tabel 3. Hasil uji fitokimia ekstrak kulit kayu raru

Tabel 3. Hasil uji fitokimia ekstrak kulit kayu raru

senyawa / Compound Cotylelobium melanoxylon Cotylelobium lanceolatum

Flavanoid ++ ++

Tanin ++ ++

Saponin ++ ++

Triterpenoid + ++

Steroid - -

Hidrokuinon + ++

Alkaloid:

Dragendorf - -

Waner - -

Meyer - -

Keterangan : (-): tidak terdeteksi ; (+): positif ; (++): positif kuat Sumber : (Pasaribu dan Setyawati, 2011)

(36)

24

Selain itu senyawa-senyawa bioaktif tersebut dapat merusak sistem syaraf serangga (insect nervous system). Gangguan tersebut mengakibatkan sistem syaraf tidak berfungsi yang akhirnya menyebabkan kematian rayap. Gangguan yang terjadi pada sistem syaraf tersebut mengakibatkan kejang-kejang pada otot sehingga pada akhirnya menyebabkan kematian rayap (Eaton and Hale, 1993).

Disisi lain, mortalitas rayap pada kontrol diduga karena kurang tahan terhadap kondisi lingkungan yang baru. Menurut Anisah (2001), rayap yang mati pada kontrol diduga ketidakmampuan rayap untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya yang bergantung pada suhu, kelembaban dan intensitas cahayanya dan dihadapkan pada kondisi tidak ada pilihan bahan makanan lain.

Selain itu, rayap mempunyai sifat necrophagy yaitu rayap dapat memakan bangkai sesamanya dan sifat kanibalistik yaitu memakan rayap yang sudah lemah dan sakit (Nandika et al. 2003).

Pada Tabel 1 memperlihatkan bahwa zat ekstraktif yang diuji menunjukkan kecenderungan sama yaitu semakin besar konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan, semakin besar pula nilai mortalitas rayap. Tetapi ekstraksi metanol dan fraksi n-heksan pada konsentrasi 10% sama-sama mengalami penurunan mortalitas rayap. Hal ini diduga karena pengaruh keragaman umur rayap dan kondisi rayap pada saat pengambilan tidak sama. Walaupun sudah diusahakan menciptakan kondisi rayap pada saat pengambilan seragam tetapi tidak tertutup kemungkinan terambil rayap yang mempunyai umur tidak sama.

Kehilangan Berat Kertas Uji Selulosa

Selain mortalitas rayap, indikator lain yang digunakan dalam pengujian sifat anti rayap adalah dengan menghitung besarnya kehilangan berat kertas uji

(37)

25

setelah diumpankan selama 28 hari. Semakin tinggi persentase kehilangan berat kertas uji menunjukkan semakin rendah toksisitas suatu ekstrak (sifat anti rayap).

Nilai persentase kehilangan berat kertas uji berdasarkan hasil penelitian dapat dilihat di Tabel 4.

Tabel 4. Kehilangan berat kertas uji selulosa yang mengandung ekstrak kulit kayu raru setelah pengumpanan terhadap rayap tanah C. curvignathus

Jenis Pelarut Konsentrasi (%) Kehilangan Berat (%)*)

Kontrol 0 54.44

Metanol 2 42.2

Metanol 4 39.15

Metanol 6 31.67

Metanol 8 25.01

Metanol 10 17.95

N-Heksan 2 51.37

N-Heksan 4 50.83

N-Heksan 6 45.9

N-Heksan 8 26.68

N-Heksan 10 18.09

Residu 2 38.87

Residu 4 37.9

Residu 6 21.37

Residu 8 20.54

Residu 10 15.21

Keterangan: *) = rataan dari 3 ulangan

Tabel 4 memperlihatkan bahwa nilai persentase kehilangan menunjukkan kecenderungan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstraktif yang ditambahkan pada kertas uji, maka semakin rendah persentase penurunan berat contoh uji.

Kehilangan berat kertas uji berkisar antara 54.44% - 15.21%. Hal ini membuktikan bahwa semakin tinggi konsentrasi zat ekstraktif, maka semakin banyak ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji selulosa dan ini berarti semakin banyak racun yang ditambahkan. Sehingga mengalami penurunan persentase kehilangan berat kertas uji. Kondisi tersebut memungkinkan rayap menolak untuk memakannya sehingga akan menghambat aktivitas makan rayap.

(38)

26

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat kertas uji. Jenis pelarut dan konsentrasi berpengaruh nyata terhadap kehilangan berat kertas. Hasil uji lanjut Duncan pada jenis pelarut dan konsentrasi sebagai berikut:

Tabel 5. Uji Duncan jenis pelarut terhadap Kehilangan Berat Rata-rata Kehilangan Berat Pada Pelarut Nilai

Residu 26,77 a

Metanol 31,19 ab

N-heksan 38,57 b

Kontrol 54,44 c

Notasi yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata.

residu tidak berbeda nyata dengan metanol tetapi berbeda nyata dengan n-heksan dan kontrol, metanol tidak berbeda nyata dengan n-heksan tetapi berbeda nyata kontrol, kontrol dengan semua perlakuan pada jenis pelarut berbeda nyata.

Tabel 6. Uji Duncan Konsentrasi terhadap Kehilangan Berat Rata-rata Kehilangan Berat Pada Konsentrasi Nilai

10% 17,08 a

8% 24,07 ab

6% 32,98 b

4% 42,62 c

2% 44,16 c

0% 54,44 d

Notasi yang diiikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata.

Hasil uji lanjut pada konsentrasi pada taraf 10% tidak berbeda nyata dengan 8%

tetapi berbeda nyata dengan 0, 2, 4, dan 6%. Konsentrasi 8% tidak berbeda nyata dengan 6% tetapi berbeda nyata dengan 0, 2 dan 4%. Konsentrasi 6% dengan 0, 2 dan 4% berbeda nyata. Konsentrasi 4% dengan 2% tidak berbeda nyata, konsentrasi 4 dan 2% dengan 0, 6, 8 dan 10% berbeda nyata. Kontrol dengan semua perlakuan konsentrasi berbeda dengan nyata. Dengan demikian penambahan konsentrasi dapat mempengaruhi kehilangan berat kertas uji.

Persentase kehilangan berat pada kontrol lebih tinggi dibandingkan persentase

(39)

27

kehilangan berat yang memiliki kandungan ekstraktif. Hal ini membuktikan bahwa zat ekstraktif berperan dalam menghambat aktivitas makan rayap.

Nilai persentase kehilanngan berat yang tertinggi terdapat pada kontrol dengan 54,44%, disusul dengan fraksi n-heksan, ekstrak metanol, dan residu. Hal ini dapat dilihat di Tabel 4, bahwa nilai kehilangan berat kertas uji berturut-turut dari fraksi n-heksan pada konsentrasi 8% dan 10% (26,68% dan 18,09%) lebih tinggi dari ekstrak metanol (25,01% dan 17,95%), residu (20,54% dan 15,21%).

Hal ini mengindikasikan bahwa penambahan zat ekstraktif dari kulit kayu raru pada kertas uji mampu menghambat kemampuan rayap mengonsumsi kertas uji sebagai efek termisida dari zat ekstraktif tersebut. Menurut Pasaribu dan Setyawati (2011) sebagaimana diketahui bahwa ekstrak kulit kayu raru yang mengandung saponin, triterpenoid dan flavanoid bersifat toksik terhadap kematian Artemia salina Leach.

Pengujian bio assay anti rayap beberapa jenis kayu memiliki fraksi teraktif yang berbeda. Normasari (2007) melaporkan bahwa fraksi etil asetat yang terkandung dalam kayu Cempaka Kuning memiliki komponen bioaktif yang lebih bersifat racun dibandingkan fraksi lainnya. Tetapi Mahmudah (2003) dan Lestari (2003) menyatakan bahwa komponen bioaktif yang pada kayu Kuku dan kayu Pilang lebih beracun terhadap rayap terdapat pada fraksi n-heksan dan etil eter.

Astuti (2005) dan Ikhsan (2005) melaporkan bahwa fraksi etil asetat dalam ekstrak aseton kayu Petai dan Puspa merupakan fraksi yang memiliki sifat anti rayap yang tertinggi. Seperti halnya dalam penelitian ini juga, fraksi teraktif terdapat pada fraksi etil asetat dari ekstrak aseton kayu Kopo. Sedangkan Sutarmaji (2005) melaporkan bahwa fraksi n-heksan merupakan fraksi yang

(40)

28

paling aktif terhadap rayap dibandingkan fraksi lainnya. Berdasarkan penelitian- penelitian di atas menunjukkan bahwa jenis fraksi terlarut dalam jenis kayu yang berbeda memiliki sifat anti rayap yang berbeda pula.

Secara visual, kehilangan berat kertas uji selulosa dapat dilihat pada gambar 4, yang memperlihatkan kerusakan kertas uji akibat aktivitas makan rayap pada berbagai konsentrasi. Semakin tinggi konsentrasi zat ekstraktif yang diberikan, semakin rendah kerusakan kertas uji.

Gambar 4. Hasil pengumpanan kertas uji terhadap rayap tanah (Coptotermes curvignathus) pada beberapa taraf konsentrasi.

Tingkat Konsumsi Rayap

Indikator lain yang dapat digunakan untuk melihat sifat anti rayap dari zat ekstraktif kulit kayu raru adalah tingkat laju konsumsi rayap terhadap contoh uji kertas selulosa. Laju konsumsi ditunjukkan dengan besarnya kehilangan berat contoh uji setelah diumpankan. Tingkat konsumsi makan rayap dapat dilihat pada Tabel 7.

(41)

29

Tabel 7. Tingkat Konsumsi Makan Rayap Tanah (C. curvignathus) Pada Kertas Uji Selulosa Yang mengandung ekstrak kulit kayu raru (C. melanoxylon) Jenis Pelarut Konsentrasi (%) Konsumsi Makan Rayap (mg)*)

kontrol 0 7.26

metanol 2 5.7

metanol 4 5.33

metanol 6 4.37

metanol 8 3.48

metanol 10 2.52

n-heksan 2 6.9

n-heksan 4 6.88

n-heksan 6 6.3

n-heksan 8 3.71

n-heksan 10 2.52

residu 2 5.26

residu 4 5.18

residu 6 2.96

residu 8 2.89

residu 10 2.15

Keterangan: *) = rataan dari 3 ulangan

Tabel 7 memperlihatkan tingkat konsumsi rayap yang yang paling rendah terdapat pada fraksi residu diikuti ekstrak metanol dan fraksi n-heksan. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 4, bahwa tingkat konsumsi rayap berturut-turut pada konsentrasi 8% dan 10% dari fraksi residu (2.89 mg dan 2.15 mg), ekstrak metanol (3.48 mg dan 2.52 mg) dan n-heksan (3.71 mg dan 2.52 mg). Sedangkan tingkat konsentrasi tertinggi terdapat pada kontrol sebesar 7.26 mg. kehilangan berat contoh uji sangat bervariasi bergantung pada konsentrasi ekstrak yang ditambahkan pada kertas selulosa. Syafii, (2000), menyatakan bahwa ekstrak yang ditambahkan pada kertas uji tersebut mempunyai daya racun terhadap perkembangan rayap, yang ditunjukkan oleh hilangnya kemampuan rayap dalam mengonsumsi kertas uji tersebut.

Apabila tingkat konsumsi rayap kecil berarti penghambat aktivitas makannya tinggi. Konsumsi makan rayap dari hasil penelitian ini rata-rata per

(42)

30

individu besarnya antara 2,15 mg – 7,26 mg pada berbagai konsentrasi. Hal ini diduga disebabkan protozoa yang berperan dalam merombak polimer selulosa tidak dapat bekerja dengan baik sehingga rayap tidak memperoleh suplai makanan (Arif, dkk, 2008). Dengan demikian perlakuan kertas uji tanpa ekstrak kulit kayu raru sebagai kontrol lebih banyak dikonsumsi dari pada kertas uji yang diberikan ekstrak mempengaruhi rayap dalam mengkonsumsi kertas tersebut.

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa jenis pelarut dan konsentrasi berpengaruh nyata terhadap tingkat konsumsi rayap. Hasil uji lanjutan Duncan yang dilakukan pada jenis pelarut dan konsentrasi sebagai berikut:

Tabel 8. Uji Duncan Pelarut terhadap Tingkat Konsumsi Rayap Rata-rata Tingkat Konsumsi Rayap Pada pelarut Nilai

Residu 3,69 a

Metanol 4,28 ab

N-heksan 5,25 b

Kontrol 7,26 c

Notasi yang diiikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata.

Residu dengan metanol tidak berbeda nyata tetapi residu dengan N-heksan dan kontrol berbeda nyata, metanol tidak berbeda nyata dengan residu dan N-heksan tetapi berbeda nyata dengan kontrol. Sedangkan pada kontrol dengan semua perlakuan pelarut berbeda nyata. Hal ini disebabkan zat ekstraktif yang diberikan bersifat toxic dibandingkan kontrol. Dengan demikian zat ekstraktif yang diberikan pada kertas uji, akan mempengaruhi rayap untuk mengonsumsi kertas uji yang diberikan.

(43)

31 Tabel 9. Uji lanjutan Duncan pada konsentrasi

Rata-rata Tingkat Konsumsi Rayap Pada Konsentrasi Nilai

10% 2,39 a

8% 3,36 ab

6% 4,54 bc

4% 5,80 cd

2% 5,95 d

0% 7,26 e

Notasi yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata

Konsentrasi pada 10% tidak berbeda nyata dengan 8% tetapi berbeda nyata dengan 0, 2, 4, dan 6%. Konsentrasi 8% tidak berbeda nyata dengan 6% tetapi berbeda nyata dengan 0, 2, dan 4%. Konsentrasi 6% tidak berbeda nyata dengan 4% tetapi berbeda nyata dengan 0 dan 2%. Konsentrasi 4% tidak berbeda nyata dengan 2% tetapi berbeda nyata dengan 0%. Konsentrasi 0% berbeda nyata dengan semua perlakuan konsentrasi. Hal ini disebabkan tingginya konsentrasi mempunyai efek yang bau pada sampel yang lebih kuat. Dengan demikian semakin tingggi konsetrasi ekstrak yang diberikan pada kertas uji, maka efek bau pada ekstrak akan lebih kuat yang akan mempengaruhi rayap untuk mengonsumsi kertas uji yang diberikan.

Sifat trofalaksis rayap juga diduga sebagai penyebab matinya rayap pada kertas uji yang diberi perlakuan. Tambunan dan Nandika (1989), menyatakan bahwa terdapat sifat trofalaksis, yaitu sifat rayap untuk berkumpul mengadakan pertukaran bahan makanan antara rayap pekerja dan rayap prajurit. Kasta prajurit memperoleh makanannya dari kasta pekerja melalui peristiwa trofalaksis.

Sehingga dari sifat rayap tersebut akan mempercepat penyebaran racun saat mengadakan pertukaran bahan makanan sehingga rayap tersebut mati.

(44)

32

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

1. Kandungan kadar ekstrak kulit kayu raru yang diperoleh sebesar 4,31%.

2. Berdasarkan pengujian nilai mortalitas rayap, toksisitas tertinggi pada ekstrak metanol yaitu pada minggu ke 3 sudah ada yang mencapai 100% pada konsentrasi 8% yang diikuti residu pada minggu ke 3 pada konsentrasi 10%

sudah mencapai 100% dan fraksi n-heksan pada minggu ke 3 belum mencapai 100% pada semua konsentrasi .

3. Berdasarkan pengujian nilai kehilangan berat kertas, persentase penurunan berat tertinggi pada kontrol diikuti fraksi n-heksan, selanjutnya metanol dan residu. Sedangkan pada pengujian tingkat konsumsi rayap, persentase tertinggi pada fraksi n-heksan diikuti dengan ekstrak metanol dan residu.

Saran

Perlu dilakukan penelitian lanjutan berupa aplikasi lapangan untuk mendeteksi lebih teliti pengaruh ekstrak kulit kayu raru pada pengawetan kayu konstruksi. Pengawet dengan bahan pengawet alami sangat disarankan untuk mengurangi pencemaran lingkungan.

(45)

33

DAFTAR PUSTAKA

Adharini, G. 2008. Uji Keampuhan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica Benth) untuk Pengendalian Rayap Tanah Coptotermes curvignathus Holmgren.

IPB Press. Bogor.

Anisah, L.N. 2001. Zat Ekstraktif Kayu Tanjung (Mimusops elengi Linn) dan Kayu Sawo Kecik (Manilkara kauki Dubard) serta Pengaruhnya terhadap Rayap Tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) dan Jamur Pelapuk (Schizophyllum commune Fries). Tesis Pascasarjana IPB, Bogor.

Arif, A., Usman, M., dan Fatmawaty, S. 2008. Sifat anti rayap dari ekstrak ijuk aren (arenga pinnata merr.) Antitermicidal activities of sugar- palm tree fibers extract. Jurnal perennial, Vol 3 No 1 Hal 15-18.

Astuti, Y.D. 2005. Sifat anti rayap zat ekstraktif kayu Petai (Parkia speciosa Hassk.) [skripsi]. Bogor : Departemen Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor.

Eaton, R.A, dan Hale, M.D.C. 1993. Wood : Decay, Pests and Protection.

London: Chapman and Hall.

Erika, S. 2005. Uji Toksisitas Ekstrak Kulit Batang Raru (Shorea faguetiana Heim) Menggunakan Brine Shrimp Lethality Test (BSLT) [skripsi].

Departemen Teknologi Hasil Hutan, Fakultas Kehutanan IPB. Bogor.

Fengel, D. dan Wegener, G. 1995. Kayu: Kimia, Ultrastuktur, Reaksi-reaksi.

Sastrohamidjojo H, penerjemah. Jogjakarta: Gadjah Mada University Press. Terjemahan dari: Wood, Chemical, Ultrastructure, Reactions.

Hakim, L., Azhar, I., Utomo, B., dan Silaen, P.C. 2008. Pemanfaatan Ekstrak Akar Tuba (Derris elliptica) Sebagai Biotermitisida. Jurnal Akademika.

Jurnal Akademia. Vol. 13 No. 4.

Heyne, K. 1987. Tumbuhan Berguna Indonesia III. Badan Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jakarta: Departemen Kehutanan.

Hildebrand, F.H. 1954. Daftar Nama Pohon-Pohonan 'Tapanuli' Sumatera Utara.

Laporan Balai Penyelidikan Kehutanan No.67. Balai Penyelidikan Kehutanan Bogor. Indonesia.

Houghton, P.J. dan Raman, A. 1998. Laboratory Handbook for Fractionation of Natural Extracts. London: Chapman & Hall.

Referensi

Dokumen terkait

berdasarkan fraksi terlarut ekstrak daun mindi pada konsentrasi yang berbeda 9 4 Persentase kehilangan berat kertas selulosa terhadap rayap tanah C.. berdasarkan fraksi

Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui toksisitas fraksi n-heksan dan fraksi etil asetat dari ekstrak limbah kulit kayu bakau R.apiculata terhadap serangan

Pada kontrol yang tanpa diberi ekstrak kehilangan berat kertas umpan sangat besar yang dikarenakan banyak rayap yang masih hidup dengan tingkat mortalitas

Penelitian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui ketahanan kayu terhadap serangan rayap tanah (Coptotermes curvignathus Holmgren) jenis kayu yang digunakan yaitu

Penelitian ini bertujuan untuk menentukan sifat anti rayap ekstrak daun jeruk bali yang diuji terhadap rayap tanah Coptotermes sp.,serta menentukan senyawa yang

Penelitian ini bertujuan untuk menguji efikasi (keampuhan) umpan dari campuran daun kayu putih dengan limbah kertas HVS dan kardus terhadap rayap tanah ( C. curvignathus ) di

Laju konsumsi rayap dilakukan selama 7 hari pada kertas uji yang telah diberikan minyak atsiri kulit jeruk manis ( Citrus sinensis L.. Namun pada konsentrasi 10%

Bahan yang akan digunakan pada penelitian ini adalah rayap tanah kasta pekerja (C. curvignathus), sarang rayap, kayu karet, kayu nangka, kayu mangga, kayu jambu air,