i
PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS
SKRIPSI
Diajukan Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi
Program Studi Psikologi
Disusun Oleh : Tirza Yoga Nugroho
NIM : 099114128
PROGRAM STUDI PSIKOLOGI FAKULTAS PSIKOLOGI UNIVERSITAS SANATA DHARMA
iv
HALAMAN MOTTO
'And, when you want something, all the universe
conspires in helping you to achieve it
-
Paulo Coelho
–
You educate a man; you educate a man. You educate a
woman; you educate a generation
-
Brigham Young
–
Izinkan alam semesta memberikan kekuatan bagi
hidupmu, dan lakukanlah segala sesuatu seperti
untuk Sang Misteri dan bukan untuk manusia
v
HALAMAN PERSEMBAHAN
Karya ini aku persembahkan khusus untuk alam semesta dan Sang Misteri sebagai penciptanya. Karena telah memberi kesempatan kepada
seorang Tirza menjadi seorang perempuan yang ingin menguatkan banyak perempuan lain. Terimakasih Santa Edith Stein, santa pelindungku untuk selalu mengingatkan aku untuk menjadi tangguh. Untuk Papa, Mama, Ko Niu, Koko dan Ciciku. Untuk seorang Ayah Budi
vi
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA
Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa skripsi yang saya tulis ini
tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan
dalam kutipan dan daftar pustaka, sebagaimana layaknya karya ilmiah.
Yogyakarta, 15 Desember 2014
Penulis
vii
PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN HIV/AIDS
Tirza Yoga Nugroho
ABSTRAK
Depresi merupakan gangguan mental yang paling umum terjadi. Depresi bisa terjadi kepada siapapun dari berbagai latar belakang usia, budaya, dan ras. Salah satu subjek yang rentan terhadap depresi adalah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). ODHA terutama perempuan memiliki kerentanan yang jauh lebih tinggi terhadap depresi karena pengaruh hormon dibanding ODHA laki-laki. Penelitian ini bertujuan mengetahui pengaruh terapi tari terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Subjek penelitian adalah 32 perempuan dengan HIV/AIDS berusia 22-40 tahun di Yogyakarta. Penelitian mengajukan hipotesis bahwa terapi tari memiliki pengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS. Desain penelitian ini adalah Pretest-Posttest Control Group Design. Pengelompokan subjek ke dalam kelompok eksperimen dan kelompok kontrol dilakukan secara random. Analisis data menggunakan uji t menunjukkan nilai t (5,263) dan p=0,000 (p<0,005) dengan rata-rata gain score kelompok eksperimen (17,5) lebih tinggi dibanding rata-rata gain score kelompok kontrol (1,125). Dengan demikian hipotesis diterima.
viii
The Effect of Dance/Movement Therapy to Depression Level on Women with HIV/AIDS
Tirza Yoga Nugroho
ABSTRACT
Depression is a very common mental disorder. Depression may occur to everyone with a different background of age, culture, and race. One of the most potential subject of depression is PLWHA (People Living With HIV/AIDS). PLWHA especially women with PLWHA tend to be more vulnerable than men related to their hormones. This experiment research aims to find out the effect dance/movement thera py (DMT) to depression level on women with HIV/AIDS. The subjects were 32 women with HIV/AIDS aged 22-40 years old in Yogyakarta. The hypothesis says that dance/movement therapy (DMT) influence the depression level on women with HIV/AIDS. The research design is Pretest-Posttest Control Group Design. The subjects were divided into two groups, experiment group and control group with random assignment. Independent sample t-test show the value of t score (5,263) and p= 0,000 (p< 0,005). The average of experiment group gain score (17,5) is higher than the average of control group gain score (1,125). Therefore, the hypothesis is accepted.
ix
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH
Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma :
Nama : Tirza Yoga Nugroho
NIM : 099114128
Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada perpustakaan Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:
“Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan
HIV/AIDS”
beserta perangkat yang diperlukan (bila ada). Dengan demikian saya memberikan kepada Perputakaan Universitas Sanata Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain, mengelolanya di internet dan media lain untuk kepentingan akademis tanpa perlu meminta ijin saya maupun memberikan royalti kepada saya selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis. Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.
Dibuat di Yogyakarta
Pada tanggal : 15 Desember 2014 Yang menyatakan,
x
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan semesta alam yang telah memberikan berkat
penyertaan sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan skripsi yang
berjudul Pengaruh Tera pi Tari terhadap Tingkat Depresi P erempuan dengan
HIV/AIDS.
Skripsi ini merupakan syarat tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana
Psikologi Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Penelitian ini dapat
terselesaikan berkat bantuan, masukan, saran, bahkan kritikan dari banyak pihak
yang telah berkontribusi terhadap terselesaikannya karya tugas akhir ini. Oleh
karena itu peneliti hendak mengucapkan terimakasih kepada :
1. Bapak T. Priyo Widiyanto, M.Si., selaku Dekan Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma.
2. Ibu Ratri Sunar Astuti, M.Si., selaku Kaprodi Fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma sekaligus Dosen Penguji 1 yang telah
memberikan saran dan masukan.
3. Ibu M.M. Nimas Eki Suprawati, M.Si, Psi., selaku Dosen Pembimbing
skripsi yang telah dengan telaten dan sabar memberi dukungan dan
bimbingan dengan segala kondisi dan keterbatasan saya. Terimakasih,
xi
4. Ibu Debri Pristinella, M.Si., selaku Dosen Penguji 2 dan salah satu dosen
favorit saya yang telah membantu memberikan saran dan masukan untuk
karya ini.
5. Bapak C. Siswa Widyatmoko, S.Psi., M.Si., selaku dosen pembimbing
akademik saya selama ini. Terimakasih untuk diskusi yang selalu
bermakna bagi saya.
6. Romo Priyono Marwan, SJ yang telah bersedia membuka pemikiran
saya lebih luas dan memberi saya semangat dalam mengejar dan
menyelesaikan apa yang harus saya selesaikan.
7. Mas Doni, Mas Muji, Mas Gandung, Bu Nanik, yang telah membantu
saya selama berproses di Fakultas Psikologi.
8. Papa, Mama, Ko Diaz, Ci Santi, Ko Niu, Ik Nok dan Om Eddy yang sudah selalu bertanya “Kapan selesai?” dan sudah memberikan bantuan
luar biasa sehingga saya bisa menempuh pendidikan ini.
9. Kesayanganku, Hendy Hardiawan, teman hidup, sahabat, kakak, adik,
partner menari, bahkan teman bertengkar yang hebat. Terimakasih sudah
membuatku selalu merasa dikasihi, disayangi, dan mampu melakukan
banyak hal.
10.Bapak Hardi, bapakku dan juga mamakku, simbahku, dan adikku, Yogi
Satriawan. Terimakasih, keluargaku, aku merasa sangat dicintai.
11.Sahabat-sahabatku, Tiara, Diana, dan Lani untuk support yang luar biasa
xii
12.Virly Yuriken yang jauh disana, thank you ils, kalo ga ada lo gw pasti
kaga selese nulis skripsi.
13.Ginza, Albert, Al yang selalu bikin ketir-ketir ngerjain ini karena pada
uda mau selesai semua. Terutama Albert, thank you boy kita berjalan
sampai akhir bersama-sama.
14.Asri Nurani, temen kimchil gw yang oke banget. Thank you bebs, selalu
makes my day brighter than before dengan ke-embuh-an mu itu. Sukses
buatmu juga ya
15.Mba Anna dari Komisi Penanggulangan AIDS DIY yang sudah mau
direpotkan berhari-hari untuk rekomendasi penelitian.
16.Mba Dyah, Mba Nur, Mas Rudy, Mas Even, Mba Virgie, Mba Ochi,
Mba Krisna, dan semua teman-teman Victory Plus yang sudah mau
memberikan saya kesempatan berproses bersama.
17.Kak Mega “Memey” Lestari Silalahi yang sudah menjadi terapis tari
yang luar biasa dan teman berbagi yang manis.
18.Mas Iput Agustioko dan Jeffri Fernando Turnip untuk dokumentasi
karya ini dan segala macam kerepotannya.
19.Kakak-kakak tingkat yang selalu mendukung, Kang Kreteng, Mas
David, Mba Dessy, terimakasih banyak semua bantuannya.
20.Adik-adik tingkat, terutama Nyonyoku, Nathan Agung dan teman-teman
asisten laboratorium, Fiona, Vira, Hoyi. Terimakasih semua support dan
xiii
21.Kak Clay Dengah yang selalu bawel nanyain sampai dimana progress
skripsi. Thank you kak, lo the best lah!
22.Teman-teman Psikologi angkatan 2009, terutama Rani, Gusbay, Mas
Panjul, Patrick, Andang, Keket, Ko Albert, dan Lisa. Thank you ya
semua buat bantuan luar biasanya.
23.Terimakasih sangat banyak buat teman-teman kantor yang selalu seru.
Vera, Danur, Uyeq, Mba Naila, Mas Yoyok yang mendukung aku
ngerjain skripsi ini meskipun harus mencuri banyak waktu di jam kerja.
Terutama direktur aku yang kece badai sedunia ga ada yang ngalahin,
Inna Hudaya. Terimakasih, Teh.
24.Semua pihak yang tidak dapat saya sebut satu per satu. Terimakasih.
Peneliti menyadari bahwa karya ini masih banyak kekurangan. Oleh karena
itu peneliti sangat mengharapkan adanya masukan dan saran untuk pengembangan
penelitian ini.
Penulis,
xiv
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ILMIAH…...
ABSTRAK………
ABSTRACT………..
HALAMAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA ILMIAH…..
xv
A. TINGKAT DEPRESI PEREMPUAN DENGAN
HIV/AIDS
C. PENGARUH TERAPI TARI TERHADAP
xvi
D. HIPOTESIS……… 29
BAB III METODE PENELITIAN
A. JENIS PENELITIAN……….
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
xviii
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1 Data Subjek Penelitian………. 40
Tabel 2 Data Deskriptif Penelitian……… 41
Tabel 3 Uji Normalitas Shapiro-Wilk………. 44
Tabel 4 Levene’s Test for Equality of Variances……….. 44
xix
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1 Dinamika Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat
Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS
xx
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1 Beck Depression Inventory II (BDI-II)..……….. 60
Lampiran 2 Hasil Perolehan Data Kelompok Kontrol……….. 65
Lampiran 3 Hasil Perolehan Data Kelompok Eksperimen………… 67
1 BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Depresi adalah gangguan mental yang paling umum terjadi dimana
seseorang berada dalam tingkat suasana hati (mood) yang rendah dan enggan
dalam melakukan aktivitas yang mempengaruhi pikiran, perilaku, dan perasaan
seseorang (Salmans, 1995). Menurut World Heatlh Organization (WHO),
depresi dialami hampir 121 juta orang di seluruh dunia (WHO, 2010). Depresi
dapat terjadi pada siapa saja dari beragam latar belakang usia, etnis, dan
lingkungan. WHO menyatakan bahwa depresi dialami 20% wanita, 10% pria,
dan 5% remaja baik laki-laki maupun perempuan. Bahkan anak-anak pun bisa
mengalami depresi oleh karena situasi dan kondisi tertentu dalam
kehidupannya.
Salah satu subjek yang memiliki kecenderungan mengalami depresi cukup
tinggi adalah ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS). Menurut Direktorat Jenderal
Pengenalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan (Ditjen PP) dan
Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI) jumlah penderita
HIV/AIDS di Indonesia hingga akhir tahun 2013 mencapai 52.348 orang baik
laki-laki maupun perempuan dari berbagai latar belakang usia
(http://spiritia.or.id). Di Yogyakarta sendiri angka penderita HIV/AIDS
HIV/AIDS di Indonesia. Angka ini terhitung hingga bulan Desember 2013
(http://aidsyogya.or.id).
Secara umum, penderita HIV/AIDS mengalami shock ketika mereka
didiagnosis mengidap HIV/AIDS (Miller dalam Wessel-Bloom, 2004). Respon
lain yang mengikuti adalah stress karena hidup dengan HIV positif dapat
menjadi sangat berat. Hal ini terkait dengan rasa kehilangan, baik kehilangan
pekerjaan, kehilangan dukungan orang terdekat, dan kehilangan fungsi tubuh
yang seharusnya. Individu yang didiagnosa penyakit berat dapat mengalami
ketakutan dan mengalami ancaman terhadap self-image, kepercayaan diri, dan
identitas dirinya (Kobayashi; Sugimoto; Matsuda; Matsushima; Kishimoto,
2008). Banyak bukti menjelaskan bahwa hampir setiap penyakit dipengaruhi
emosi individu. Para penderita HIV/AIDS seringkali mengalami ketakutan dan
merasakan ketidakpastian akan kehidupan akan kehidupan yang akan mereka
jalani selanjutnya (Wessel-Bloom, 2004). Reaksi ketakutan individu dapat
mempengaruhi tubuh dalam kinerjanya menghasilkan hormon epinefrin yang
dikenal sebagai adrenalin. Hormon ini mempengaruhi munculnya emosi-emosi
yang kuat seperti rasa marah atau rasa takut, serta merespon kesiapan tubuh
terhadap stress (Seaward, 2012).
Selain reaksi yang ditimbulkan karena diagnosis HIV positif muncul,
ODHA harus menghadapi penolakan dan pengabaian, serta deskriminasi dari
masyarakat dimana mereka tinggal (http://aidsindonesia.or.id). Berbagai reaksi
dari individu secara pribadi dan reaksi masyarakat dimana para ODHA berada
depresi ini juga dapat timbul karena rasa ketidakpastian yang dirasakan ODHA
terhadap hidupnya (Miller, 1987). Biasanya simtom-simtom ini muncul sesaat
setelah diagnosa HIV positif dan ketika komplikasi dari penyakit ini
berkembang (Wessel-Bloom, 2004).
Beedham dan Wilson-Barnett (1995) melakukan studi yang memberikan
hasil bahwa penderita HIV/AIDS mengalami depresi dan level depresinya
sangat fluktuatif tergantung kejadian dan berbagai hal terkait perkembangan
penyakitnya. Ketika ODHA mengalami depresi mereka merasa tidak ada
satupun hal yang dapat membantu mereka. Selain itu, mereka juga mungkin
akan kehilangan kontrol terhadap dirinya sendiri (Wessel-Bloom, 2004).
Dari keseluruhan ODHA, ODHA perempuan merupakan individu yang
memiliki resiko dua kali lebih besar mengalami depresi (Penzak, Reddy &
Grimsley, 2000). Hal ini dikarenakan perempuan cenderung memiliki tipe
hormon yang berbeda dengan laki-laki. Ketika perempuan mengalami
perubahan hormon, masa-masa ini dapat menjadi pemicu depresi pada
perempuan (Nonacs, 2006). Penelitian yang dilakukan de Mello & Malbergier
(2006) terhadap perempuan dengan HIV positif menunjukkan bahwa
perempuan dengan HIV positif menghadapi kesulitan secara afektif dan dalam
relasi seksual terkait problem dalam pernikahan dan perceraian. Selain itu,
kemungkinana adanya depresi pada perempuan dengan HIV positif dapat
dipengaruhi oleh tingkat pendidikan, pekerjaan, atau lingkungan geografis
Depresi sebenarnya merupakan gejala wajar sebagai respon normal
terhadap suatu pengalaman atau kejadian dalam hidup (Aditomo & Retnowati,
2004). Depresi menjadi maladaptif dan abnormal bila hadir dalam intensitas
yang tinggi dan menetap. Literatur psikologi membedakan depresi abnormal
menjadi dua, yaitu mayor (unipolar) dan mania (bipolar) (APA, 1994).
Terapi untuk depresi dikembangkan dengan beberapa teori psikologi yang
popular. Ada lima teori etiologi yang popular membahas depresi dan terapi
untuk depresi. Kelima teori tersebut adalah teori biologis, teori psikodinamika,
teori kognitif, teori behavioral, dan teori sistem keluarga (Carr, 2001). Menurut
teori biologis, predesposisi gangguan mood termasuk depresi mungkin
diturunkan secara genetis (Andrew dalam Carr, 2001). Selain itu teori biologis
menjelaskan bahwa rendahnya level hormon tiroksin dan tingginya hormon
kortisol memiliki pengaruh terhadap meningkatnya simtom depresi (Deakin
dalam Carr,2001).
Dalam terapi psikodinamika, individu dibantu mengenali dan memahami
emosi, pemikiran, pengalaman masa lalu, dan menggali insight sehingga
problematika yang dihadapi di masa sekarang dapat dilewati. Selain itu
individu juga diajak mengevaluasi pola yang mereka kembangkan selama masa
hidup mereka (http://goodtherapy.org). Selanjutnya terapi kognitif
menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi karena cara pandang yang
salah terhadap dirinya sehingga memicu menurunnya penghargaan diri (
self-esteem). Rendahnya penghargaan diri inilah yang akhirnya memicu depresi.
perasaan mereka dengan perubahan yang terjadi dalam tubuhnya
(http://goodtherapy.org).
Terapi behavioral menyimpulkan bahwa individu mengalami depresi
karena berkurangnya penguatan pada diri individu sehingga terapi behavioral
menekankan pemberian penguatan pada individu yang mengalami depresi.
Teori terakhir yang juga membahas depresi adalah teori sistem keluarga. Teori
ini menyatakan bahwa depresi disebabkan oleh tekanan dalam hubungan
keluarga, tidak adanya dukungan dari keluarga atau significant others, sistem
kepercayaan, dan pola interaksi dalam keluarga (Carr, 2001). Terapi menurut
teori ini menekankan kepada pemberian perhatian (caregiving) dan
peningkatan pola interaksi keluarga yang lebih baik.
Terapi depresi lain yang menjadi populer adalah terapi tari atau dikenal
dengan Dance/Movement Therapy (DMT). Terapi tari merupakan cabang
termuda dari terapi seni (art therapy) dimana dalam penelitian yang pernah
dilakukan Wessels-Bloom (2004) terhadap pasien ODHA memunculkan hasil
yang positif. Melalui terapi tari ini, ODHA secara umum mengalami
peningkatan dalam kondisi kesehatannya (Wessels-Bloom, 2004). Peningkatan
ini dipengaruhi oleh meningkatnya kekebalan tubuh para ODHA yang dicapai
melalui penguatan konstruk psikologis tertentu seperti stress, dukungan sosial,
serta penghargaan diri yang diperoleh melalui DMT (Wessels-Bloom, 2004).
Terapi tari sendiri didefnisikan oleh American Dance/Movement Therapy
(ADMT) UK pada tahun 2004 sebagai berikut “dance/movement therapy is the
engage creatively in a process to further their emotional, cognitive, physical,
and social integration” (Karkou & Sanderson, 2006). Ritter & Low (1996, 1998) melakukan meta analisis di US dan dikalkulasi ulang oleh Cruz & Sabers
(1998) menunjukkan bahwa terapi tari terbukti efektif menurunkan stress dan
meningkatkan kesehatan bagi klien atau pasien dengan berbagai kesulitan
kronis, pasien kanker payudara, pecandu alkohol, serta individu dengan
gangguan mental tertentu (Karkou & Sanderson, 2006). Lebih dari itu, terapi
tari juga dapat diterapkan pada semua individu dari berbagai latar belakang
usia dan ras serta dapat dilakukan secara individu, berpasangan, ataupun
kelompok (http://adta.org)
Fleksibilitas terapi tari yang dapat diterapkan dalam berbagai latar
belakang budaya dan ras membuat terapi tari dipilih untuk terapi depresi yang
baik (Seide, 1986). Berbeda dengan terapi seni lain seperti terapi musik, terapi
gambar, dan terapi teater yang perlu penyesuaian terkait latar belakang budaya
dan ras serta terkadang mensyaratkan terapi dilakukan secara kelompok
(Behrends; Muller; Dziobek, 2012).
Terapi tari secara biologis terbukti dapat meningkatkan kemampuan
seseorang sehingga tidak rentan terhadap depresi dan stress dengan meregulasi
tingkat hormon serotonin dan dopamin. Kedua hormon tersebut membantu
individu yang memiliki perasaan terisolasi karena situasi depresi karena AIDS
merupakan penyakit yang mengisolasi penderitanya (Penzak et.al, 2000). Lebih
dari itu, menari juga meningkatkan kepercayaan diri yang akan membantu
Perilaku non-verbal seperti tari mentransformasikan berbagai hal yang
tidak dapat dituangkan dalam tulisan atau kata-kata atau gambar, sehingga
terapi keratif ini memegang peranan penting dalam konseling interkultur dan
psikoterapi karena hampir secara keseluruhan menyentuh tingkat
ketidaksadaran (Wessels-Bloom, 2004). Tujuan terapi tari sendiri adalah untuk
membebaskan emosi-emosi yang ditekan dan disimpan dalam tubuh sebagai
tekanan dan keyakinannya terhadap nilai pelepasan katarsis tari (Chodrow,
2008).
Selanjutnya, terapi tari dapat meningkatkan komunikasi dimana individu
dapat memanfaatkan ini sebagai sarana menjauhkan diri dari tekanan,
kecemasan, kemarahan, mengurangi depresi, serta meningkatkan dan
mengkonstitusi ulang bentuk tubuhnya (Seide, 1986). Terapi tari dapat
diterapkan dalam berbagai latar belakang budaya dengan prinsip dasar bahwa
bahasa tubuh merupakan bentuk komunikasi paling dasar yang dapat dipahami
di berbagai budaya.
B.Rumusan Masalah
Apakah terapi tari berpengaruh terhadap tingkat depresi perempuan dengan
HIV/AIDS?
C.Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah di atas, tujuan penelitian ini adalah untuk
mengetahui apakah terapi tari memiliki pengaruh terhadap tingkat depresi
D.Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menjadi sumbangan bagi dunia kesehatan mental dan
psikoterapi bahwa terapi tari atau Dance/Movement Therapy (DMT)
merupakan sarana mengungkapkan emosi-emosi yang ditekan dan mampu
meningkatkan komunikasi individu, dalam hal ini ODHA perempuan, sehingga
individu menurun tingkat depresinya.
2. Manfaat Praktis
Penelitian ini dapat menjadi alternative terapi psikologis bagi ODHA
perempuan karena terapi ini dapat menjadi sarana bagi mereka untuk
mengekspresikan diri sekaligus melepaskan rasa terisolasi dari penyakit yang
mereka derita. Selain itu terapi ini dapat menjadi sarana meningkatkan
9 BAB II
LANDASAN TEORI
A.Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS 1. Depresi
a. Definisi Depresi
Menurut DSM-IV depresi merupakan kondisi dimana seseorang merasa
sedih, kosong, atau terganggu yang diikuti perubahan kognisi dan somatic
yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas fungsional individu.
Individu yang mengalami depresi akan merasa putus asa dan kehilangan
harapan. Seringkali mereka berpikir mengenai kematian dan mengakhiri
hidupnya atau bunuh diri karena merasa tidak mampu bangkit kembali dari
keadaan mereka dan melakukan berbagai hal. Bahkan untuk penderita
depresi mayor yang berat, berpakaian saja menjadi hal yang sangat berat
untuk dilakukan.
Depresi akan diikuti oleh perubahan fisik, seperti gangguan makan atau
gangguan tidur. Mereka yang mengalami depresi mungkin kehilangan
nafsu makan atau malah makan dalam jumlah yang berlebihan. Mereka
juga rentan mengalami kesulitan tidur, kesulitan berkonsentrasi, dan terus
mengalami reaksi fisik seperti pusing atau rasa sakit yang seringkali tidak
dapat dijelaskan (Lynch & Kilmartin, 2013).
Depresi mayor atau yang sering dikenal dengan istilah depresi unipolar
terjadi dua kali lebih sering pada perempuan dibanding laki-laki di
berbagai belahan dunia. Hal ini dikarenakan perempuan cenderung
memiliki tipe hormon yang berbeda dibanding laki-laki. Para ahli
meyakini bahwa pada saat perempuan berada dalam tahun-tahun
reproduktifnya, perempuan mengalami fluktuasi hormon yang konstan,
selain itu perubahan hormon yang fluktuatif ini dapat memicu depresi pada
perempuan (Nonacs, 2006).
Dalam penelitian ini, pengertian depresi terbatas pada definisi dan
etiologi yang dikemukakan oleh teori kognitif bahwa depresi disebabkan
oleh adanya pandangan diri yang negatif sehingga berpengaruh terhadap
menurunnya penghargaan diri (Carr, 2001). Depresi merupakan suatu
gangguan yang berkaitan dengan perubahan suasana hati, adanya cara
pandang diri yang negatif dan penyalahan diri, serta regresi dan keinginan
untuk bunuh diri yang diikuti perubahan vegetatif serta perubahan tingkat
aktivitas seperti retardasi dan agitasi (Beck, 1967).
b.Gejala-Gejala Depresi
Berdasarkan definisi yang dikemukakan Beck (1967), depresi dapat
dikenali melalui gejala-gejalanya. Menurut Beck, gejala depresi dapat
dikenali berdasarkan manifestasinya dalam diri individu. Manifestasi
motivasional, manifestasi fisik dan vegetatif, serta adanya delusi dan
halusinasi.
1) Manifestasi Emosional
Manifestasi emosional depresi berkaitan dengan berbagai perubahan
pada perasaan atau perilaku nyata individu yang secara langsung
diakibatkan oleh keadaan emosinya. Gejala-gejala ini meliputi :
a) Dejected mood merupakan perasaan ditolak. Individu merasa
kesepian, bosan, dan tidak memiliki siapapun.
b)Munculnya berbagai perasaan negatif mengenai diri sendiri, dalam
gejala ini individu merasa benci terhadap diri sendiri dan merasa diri
tidak berharga.
c) Hilangnya kepuasan, dalam hal ini yang dimaksud adalah kepuasan
dalam melakukan berbagai hal yang biasanya dilakukan individu.
Gejala ini sampai juga pada hilangnya kepuasan akan kegiatan
makan, tidur, dan kepuasan seksual.
d)Kehilangan kelekatan emosional dengan orang lain atau kegiatan
yang biasa dilakukan diikuti hilangnya kepuasan terhadap kegiatan
tersebut.
e) Meningkatnya frekuensi menangis atau tidak dapat menangis
meskipun sebenarnya ingin.
f) Kehilangan kegembiraan. Individu yang mengalami depresi kerap kali
2) Manifestasi Kognitif
Manifestasi kognitif terdiri atas tiga kelompok perilaku individu yang
menyimpang. Kelompok pertama meliputi perilaku akibat tanggapan
penderita yang menyimpang mengenai dirinya. Gejala-gejala yang
termasuk dalam kelompok ini adalah penilaian diri yang rendah,
gambaran diri yang menyimpang dan harapan yang negatif. Kelompok
kedua menggambarkan dugaan pasien tentang penyebab terjadinya
masalah yang sedang dihadapinya. Sedangkan kelompok ketiga adalah
penyimpangan yang berhubungan dengan pengambilan keputusan. Pada
umumnya individu merasa bimbang dan terombang-ambing ketika harus
mengambil sebuah keputusan (Beck, 1967).
Berikut ini adalah gejala yang termasuk dalam tiga kelompok seperti
yang telah disebutkan di atas.
a) Penilaian yang rendah terhadap diri sendiri. Individu yang mengalami
depresi melihat dirinya sendiri sebagai pribadi yang kurang dalam
segala hal seperti kemampuan, kecerdasan, kesehatan, kekuatan, daya
tarik personal, popularitas, dan kekayaan.
b)Adanya harapan yang negatif, individu cenderung murung dan
pesimis terhadap berbagai hal serta kehilangan harapan. Mereka
cenderung membayangkan hal-hal yang buruk dan menolak
c) Individu mencela atau mengkritik dirinya sendiri bila tidak dapat
memenuhi atau melakukan tuntutan-tuntutan atau
kewajiban-kewajiban yang terlalu tinggi.
d)Sulit mengambil keputusan, bahkan dalam hal-hal kecil sekalipun.
Individu cenderung melakukan prokrastinasi dalam melakukan
berbagai hal.
e) Memiliki gambaran diri (body image) yang buruk. Gejala ini lebih
sering muncul pada perempuan dibanding pada laki-laki.
3) Manifestasi Motivasional
Manifestasi motivasional merupakan manifestasi yang tampak paling
menonjol dalam depresi. Manifestasi ini meliputi pengalaman sadar akan
hasrat dan dorongan-dorongan yang ada dalam diri individu. Gejala ini
dapat dilihat dengan cara mengamati perilaku individu yang mengalami
depresi. Karakteristik yang menonjol pada individu ditinjau dari
manifestasi ini adalah adanya kemunduran sifat dasar (regressive
nature). Individu menarik diri dari aktivitas yang sebenarnya berguna
bagi dirinya. Mereka juga cenderung menghindar dari tanggung jawab,
tidak memiliki inisiatif, serta mengalami penurunan kuantitas energi.
Gejala-gejala manifestasi motivasional secara lebih spesifik adalah
sebagai berikut :
a) Hilangnya motivasi dan keinginan untuk melakukan berbagai
makan, minum, atau mengkonsumsi obat untuk meringankan
stressnya.
b)Keinginan untuk menghindar, melarikan diri, dan menarik diri dari
berbagai aktivitas.
c) Keinginan untuk bunuh diri yang seringkali muncul.
d)Meningkatnya ketergantungan terhadap orang lain secara berlebihan.
Ketergantungan disini dimaksudkan lebih pada keinginan untuk
dibantu, dibimbing, atau diarahkan daripada proses nyata bergantung
terhadap orang lain.
4) Manifestasi Fisik dan Vegetatif
Dalam manifestasi fisik dan vegetatif dijelaskan oleh beberapa
peneliti sebagai bukti adanya gangguan otonomi dasar atau hipotalamus
yang merupakan penyebab timbulnya depresi. Gangguan otonomis dasar
merupakan gangguan pada sistem syaraf otonomis yang mengakibatkan
gangguan pada detak jantung, tekanan darah, dan gangguan-gangguan
lain yang sejenis. Sedangkan gangguan hipotalamus adalah gangguan
pada bagian otak yang mengatur pengendalian emosi, fungsi tidur, dan
fungsi fisiologis lainnya.
Manifestasi-manifestasi fisik dan vegetatif tampak pada hal-hal
a) Kehilangan selera makan
b)Gangguan tidur, bisa berupa insomnia atau hypersomnia
c) Kehilangan dorongan seksual
d)Mudah merasa lelah
5) Delusi dan Halusinasi
Delusi atau yang dikenal juga dengan istilah waham adalah keyakinan
yang keliru, yang tetap dipertahankan sekalipun dihadapkan dengan
cukup bukti tentang kekeliruannya, dan tidak serasi dengan latar
belakang pendidikan dan dosial budaya orang yang bersangkutan.
Sedangkan halusinasi adalah penghayatan (seperti persepsi) yang
dialami melalui panca indera dan terjadi tanpa adanya stimulus eksternal.
Delusi dan halusinasi merupakan gejala hilangnya kontak individu
dengan realitas atau lingkungan (Fauziah & widury, 2008).
c. Jenis-Jenis Depresi
Depresi dapat diklasifikasikan menjadi beberapa jenis. Beck (1967)
mengklasifikasikan depresi menurut penyebab (etiology) depresi yang
menghasilkan depresi endogen dan depresi eksogen. Depresi endogen
adalah depresi yang disebabkan oleh faktor internal atau dari dalam diri
individu yang bisa berupa kekacauan biologis atau genetis individu.
Depresi eksogen adalah depresi yang disebabkan oleh faktor eksternal atau
dari luar individu. Faktor eksternal ini bisa berupa kejadian yang
finansial. Depresi eksogen seringkali disebut juga dengan istilah depresi
reaktif karena terjadi setelah adanya sebuah kejadian pada diri individu.
Selanjutnya Beck (1967) mengemukakan klasifikasi selanjutnya
berdasarkan tingkat aktivitas utama individu menjadi depresi agitasi dan
depresi retardasi. Depresi agitasi ditandai dengan adanya aktivitas
berlebihan atau tidak henti-hentinya. Individu cenderung tidak bisa
berhenti bergerak, sering meremas-remas tangan, atau menggaruk bagian
tubuhnya hingga terluka. Depresi retardasi ditandai dengan berkurangnya
aktivitas spontan, dimana individu cenderung diam pada satu posisi dalam
jangka waktu yang lebih lama dari jangka waktu normal.
Selain klasifikasi yang diberikan Beck, depresi juga diklasifikasikan
berdasarkan fase depresi yang dialami individu yaitu depresi mayor
(unipolar) dan depresi mania (bipolar). Pada depresi mayor individu akan
mengalami kesedihan yang mendalam, kehilangan gairah terhadap hal-hal
yang menyenangkan atau yang dulu pernah diminati. Sedangkan depresi
mania ditandai dengan adanya periode mania yaitu adanya perasaan
gembira, optimism, dan gairan yang berlebihan atau meluap-luap (APA,
2003).
Secara singkat, jenis depresi dapat dibedakan menjadi 3 (tiga)
klasifikasi yaitu berdasarkan penyebab yakni depresi endogen dan
eksogen, berdasarkan tingkat aktivitas utama yakni depresi agitasi dan
depresi retardasi, dan berdasarkan fase depresi yakni depresi
d.Faktor-Faktor Penyebab Depresi
Faktor-faktor penyebab depresi dibedakan menjadi 4 (empat) dimensi
yaitu dimensi biologis, dimensi psikologis, dimensi sosial, dan dimensi
sosiokultural (Sue et al., 2008)
1)Dimensi Biologis
Pendekatan biologis terhadap penyebab depresi secara umum
berfokus pada kecenderungan genetis, disfungsi fisiologis, dan
kombinasi keduanya. Faktor genetika cenderung menjadi penyebab
utama depresi pada individu. Selain itu, faktor biologis lain seperti
fungsi neurotransmitter yang meningkatkan hormon kortisol yang
menjadi penyebab utama depresi. Jika hormon ini tidak ditekan laju
sekresinya akan memperburuk kondisi depresi individu.
2)Dimensi Psikologis
Ditinjau dari dimensi psikologis ada tiga sudut pandang yang
diambil. Dari sudut pandang psikodimanima, individu dapat mengalami
depresi ketika terjadi peristiwa keterpisahan misalnya karena seseorang
yang dikasihi meninggal atau pergi. Selain itu individu dapat
mengalami depresi ketika kekurangan atau tidak mampu
mengekspresikan amarahnya. Selanjutnya dari sudut pandang
behavioral, individu dapat mengalami depresi karena kehilangan
seseorang yang dicintai hanya saja dalam sudut pandang ini lebih
berfokus pada berkurangnya penguatan (reinforcement) individu setelah
memandang bahwa depresi disebabkan oleh karena pandangan individu
yang negatif tentang berbagai hal di hidupnya. Pandangan negatif ini
berlaku dalam cara individu memandang kesehariannya. Pandangan
inilah yang berpengaruh terhadap menurunnya penghargaan diri (
self-esteem) sebagai faktor yang menyebabkan depresi.
3)Dimensi Sosial
Dimensi sosial berfokus pada hubungan dan stressor interpersonal
serta dukungan sosial yang membuat seseorang rentan atau sebaliknya
tahan terhadap depresi. Dimensi ini diangkat dari sudut pandang teori
sistem keluarga. Hal ini dikuatkan dengan temuan bahwa orang-orang
di dunia barat lebih rentan mengalami depresi karena adanya pola
budaya dimana diri sendiri menajdi lebih penting dari orang lain
sehingga seseorang sulit menemukan makna hidup dan mengarah
kepada meningkatnya depresi (Sue, 2008)
4)Dimensi Sosiokultural
Dimensi sosiokultural berfokus pada budaya, demografi, dan faktor
sosioekonomi yang menjadi penyebab meningkat atau menurunnya
depresi. Contohnya, perempuan memiliki kecenderungan tingkat
depresi yang jauh lebih tinggi dari laki-laki. Berbagai faktor biologis
maupun psikologis juga telah dikemukakan terkait perbedaan jenis
kelamin sebagai penyebab depresi. Nolen-Hoeksema (2010)
mengemukakan hipotesis bahwa cara seseorang merespon suasana hati
depresi dalam dirinya. Perempuan cenderung memikirkan dan
memperkuat suasana hati depresi mereka, sedangkan laki-laki
cenderung meredam atau menentukan cara untuk meminimalkannya.
e. Alat Ukur Depresi
Depresi oleh beck diukur dengan menggunakan alat ukur yang dikenal
sebagai Beck Depression Inventory II (BDI-II) dalam versi Bahasa
Indonesia. BDI-II merupakan instrumen pengukuran mandiri yang terdiri
dari 21 aitem pernyataan untuk mengukur tingkat depresi pada dewasa dan
remaja di atas usia 13 tahun. BDI-II disusun sebagai indikator adanya
simtom-simtom depresi sesuai kriteria DSM-IV. Instrumen ini
dikembangkan oleh Aaron T. Beck, Robert A. Steer, dan Gregory K.
Brown. BDI-II merupakan paper and pencil questionnaire yang pada
umumnya diadministrasikan selama 5-10 menit oleh subjek sendiri atau
disajikan seara oral (wawancara). 21 aitem pada BDI-II terdiri dari 4 skala
rasio 0-3. Total skor yang mungkin adalah 0-63, dimana total skor ini
nantinya dikonversi untuk mennetukan kondisi atau keberadaan simtom
depresi pada individu (Community-University Partnership for the Study of
Children, Youth, and Families, 2011).
Robinson (dalam Aditomo & Retnowati, 2004) mencatat bahwa BDI-II
memiliki reliabilitas konsistensi internal yang baik yaitu 0,93 dengan
reliabilitas test-retest 0,70. Leigh & Anthony Tolbert (2001) dalam The
Pharma Innovation Journal (2013) menemukan reliabilitas test-retest
BDI-II telah diadaptasi dan diteliti beberapa kali reliabilitasnya.
Prabandari (dalam Hasanat, 1994) mencatat reliabilitas BDI-II versi
Bahasa Indonesia adalah sebesar 0,93.
2. Perempuan dengan HIV/AIDS
Perempuan dengan HIV/AIDS atau ODHA adalah individu berjenis
kelamin perempuan yang telah positif terinfeksi virus HI (Human
Immunodeficiency). ODHA adalah akronim dari Orang Dengan HIV/AIDS.
Dalam bahasa Inggris ODHA disebut dengan PLWHA (People Living With
HIV/AIDS).
B.Terapi Tari
Association of Dance/Movement Therapy (ADMT) memberikan definisi
terapi tari sebagai penggunaan gerakan menjadi salah satu metode psikoterapi
dimana seseorang dapat terlibat secara kreatif dalam sebuah proses integrasi
emosional, kognitif, fisik, dan sosial yang lebih dalam (Karkou & Sanderson,
2006). Terapi tari berdiri dengan prinsip bahwa melalui gerakan ekspresif dan
tari individu dapat ikut mengalami pertumbuhan personalnya karena terdapat
hubungan antara gerak dan emosi seseorang (Payne, 1992). Melalui eksplorasi
gerak yang dialami ini memungkinkan individu untuk meningkatkan
keseimbangan secara spontan dan adaptif. Melalui gerak dan tari ini pula,
individu berbagi simbol diri mereka ketika menari bersama rekan-rekannya
yang memunculkan hubungan nyata antara satu individu dengan yang lain.
perasaan individu dapat secara aman diekspresikan, dipahami, dan
dikomunikasikan (Payne, 1992).
Pemahaman Jung (dalam Chodorow, 2008) terhadap nilai terapeutik dari
pengalaman artistik sangat esensial terhadap teori dan praktek dari DMT.
Menurut Jung, simbol dari diri seseorang muncul dari dalam diri melalui
gerakan atau movement (Jung, 1969). Dalam hal ini individu diajak melakukan
gerakan-gerakan (movements) sesuai dengan afek yang ingin digambarkannya.
Melalui movements inilah individu diajak menyadari, menerima, dan
memahami dirinya yang dalam pandangan humanistik cara ini mampu
meningkatkan penghargaan diri (self-esteem) sebagai faktor penting dari
kesehatan mental individu (Benson; Collin; Ginsburg; Grand; Lazyan; Weeks,
2012).
Movements itu sendiri memperkuat sistem kardiovaskular, sistem endokrin,
sistem kekebalan tubuh, dan sistem syaraf pusat sehingga otak pun menjadi
aktif melalui sistem motoric. Movements meningkatkan level endorphin dalam
otak dimana ada 3 (tiga) neurotransimitter utama disana yaitu norepinephrine,
dopamine, dan serotonin. Ketiga neurotransmitter ini berhubungan erat dengan
mood, kognisi, perilaku, dan kepribadian sehingga terimplikasi pada efek
peningkatan mood. Movements meningkatkan fungsi neurotransmitter yang
membantu regulasi mood, mengontrol kecemasan, dan kemampuan mengatasi
stress dan agresi, serta membuat individu menjadi semakin atentif dan mudah
Dalam terapi tari dikenal penggunaan active mirroring of movement yang
dikenal juga dengan istilah empathetic reflection atau kinaesthetic empathy.
Ketika individu melakukan gerakan secara bersama-sama, tumbuhlah empati
dan perasaan positif terhadap rekannya yang mengarah kepada munculnya
dukungan sosial, termasuk di dalamnya interaksi terapeutik dimana peran dari
neuron mirror dalam keterlibatan empatis teridentifikasi (Karkou et al., 2012).
Empati sendiri adalah kemampuan individu untuk memahami individu lain
(Fischman dalam Chaiklin&Wengrower, 2009) sehingga melalui kinesthetic
empathy juga terapis memfasilitasi perkembangan diri individu ketika
prosesnya terhenti atau terganggu oleh suatu kondisi, misalnya depresi
(Fischman dalam Chaiklin&Wengrower, 2009).
Bagi individu dengan depresi, DMT memungkinkan untuk memberikan efek
positif. Contohnya, suasana hati individu akan meningkat karena penggunaaan
gerak dan tari merupakan salah satu bentuk latihan fisik. Latihan fisik telah
terbukti memberikan efek positif berupa relaksasi sehingga simtom depresi
dapat berkurang/menurun (Mead, 2010). Perwujudan kreativitas, imajinasi
gerak, penggunaan gerakan simbolis, dan penggunaan gerak sebagai metafora
dapat menjadi ciri unik dari DMT yang melatarbelakangi adanya efek spesifik
pada perubahan terapeutik individu (Karkou, 2006). Metafora gerak juga
merupakan sarana yang berguna baik untuk mengurangi jarak emosional antara
terapis dank lien serta mendekatkan jarak emosional terhadap perasaan dan
Proses kreatif dari DMT memiliki 4 (empat) tahap. Setiap tahap memiliki
seperangkat tujuan yang berkorelasi dengan tujuan DMT yang lebih besar.
Dalam penelitian ini, tujuan DMT adalah untuk mengekspresikan emosi
individu dalam rangka menurunkan simtom depresi. Tahap-tahap DMT
tergolong progresif dan biasanya ditinjau kembali dari keseluruhan proses
DMT (http://adta.org). Adapun tahap-tahap tersebut adalah :
1) Preparation
Tahap ini merupakan tahap awal DMT atau disebut tahap persiapan
dimana individu disiapkan untuk menjalani proses terapi. Pada tahap ini
terapis menyiapkan ruang gerak yang aman dan nyaman tanpa gangguan dan
pengalih perhatian dalam rangka membangun relasi supportif dengan
individu-individu yang diterapi. Hal ini dilakukan dengan cara menyiapkan
ruang terapi yang bersih dan lapang serta mencairkan suasana melalui
introduksi diri terapis dan apa yang akan mereka lakukan bersama serta
manfaat yang ingin dicapai bersama-sama. Pada tahap ini individu disiapkan
untuk bergerak, secara biologis kondisi fisik mereka disiapkan supaya tidak
mengalami shock dan ketegangan fisik ketika melakukan gerakan. Lebih
dari itu, terapis memfasilitasi individu agar merasa nyaman dan aman untuk
mulai bergerak dengan mata tertutup. Tujuan menutup mata saat bergerak
ini adalah supaya masing-masing individu secara bebas dan tanpa judgement
dapat mulai mencoba mengekspresikan perasaannya melalui gerakan. Selain
dirinya karena antara satu sama lain berfokus pada diri masing-masing dan
tidak melihat rekan-rekannya.
2) Incubation
Tahap ini adalah tahap relaksasi dimana individu diajak melepaskan
kontrol kesadaran sehingga gerakan tubuh meraka menjadi simbol dari alam
bawah sadar mereka. pada tahap ini individu masih bergerak dengan
menutup matanya. Terapis mengajak individu untuk mulai bergerak
mengikuti apa yang mereka rasakan dan pikirkan tanpa harus melihat
rekan-rekan lain. Jadi, dalam tahap ini terapis sekaligus memfasilitasi individu
untuk dapat mengeksplorasi perasaan mereka dan memaksimalkan
ketubuhan mereka dalam gerak.
3) Illumination
Tahap ini adalah tahap dimana makna dari setiap gerakan menjadi lebih
jelas. Bisa jadi gerakan yang muncul memuat emosi negatif atau emosi
positif. Proses ini diintegrasikan kedalam kesadaran melalui dialog dengan
terapis selama mereka bergerak. Melalui refleksi atau diskusi ini, individu
dapat mengungkapkan pengalaman bawah sadarnya dan terapis dapat
memberikan affirmasi dan penguatan yang dapat diterima oleh individu.
Jadi, dalam tahap ini terapis mengajak individu untuk berbagi apa saja yang
mereka ungkapkan melalui gerak-gerak yang tercipta. Melalui proses
illumination inilah individu menyadari hal-hal mengenai dirinya,
pengalaman tersebut. Setelah mereka menyadarinya, individu diajak
menerima kemudian menghargai apa yang sudah dilewatinya. Setelah
individu menerima dan menghargai pengalaman mereka dan menyadari cara
pandangnya, terapis mengajak dan mendorong individu untuk merubah cara
pandangnya yang keliru dan negatif menjadi lebih positif.
4) Evaluation
Tahap ini merupakan tahap dimana individu dan terapis mendiskusikan
signifikansi proses terapi dan mengeksplorasi pengalaman individu, serta
mempersiapkan individu untuk mengakhiri sesi terapi. Terapis memberikan
penguatan atau reinforcement untuk dapat melangkah lagi dari apa yang
sudah pernah berhenti karena depresi yang dialami individu.
Gerakan tubuh sebagai komponen inti dari tari itu sendiri menjadi sarana
penilaian dan intervensi dari terapi tari. Secara keseluruhan, terapi tari
menggunakan kombinasi sudut pandang psikodinamika, behavioral,
humanistik, dan kognitif. Individu diajak menyadari pengalaman masa lalu
mereka menjadi salah satu indikator adanya sudut pandang psikodinamika.
Pemberian reinforcement dalam rangka memberi pemahaman kepada individu bahwa “it’s okay to have a bad past time” menjadi ciri khas
pandangan behavioral. Selanjutnya dari sudut pandang humanistik, terapi
tari mengajak individu menerima dan menghargai apa yang menjadi
self-esteem yang menjadi salah satu faktor depresi yang harus ditingkatkan untuk
menurunkan tingkat depresi.
Akhirnya, setelah individu menyadari, menerima, dan menghargai diri
dan pengalaman hidup mereka, mendapat penguatan (reinforcement) untuk
melangkah lagi, mereka dapat mengubah cara pandang yang keliru dan
negatif seperti yang dikemukakan teori kognitif bahwa cara pandang yang
keliru dan negatif merupakan faktor penyebab depresi.
C.Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS
Depresi paling utama disebabkan oleh rendahnya penghargaan diri (
self-esteem) dimana hal ini dimulai dari adanya pandangan yang keliru dan negatif
terhadap diri sendiri dan pengalaman hidup yang telah dialami. Pengalaman ini
dapat berupa kehilangan, baik karena kematian, perpisahan, atau penolakan dan
deskriminasi. Dalam hal ini perempuan HIV/AIDS masuk ke dalam salah satu
kategori ini, karena mereka mengalami penurunan penghargaan diri akibat
status baru yang disandangnya sebagai ODHA. Mereka juga mendapatkan
penolakan, baik dari masyarakat secara umum maupun orang-orang terdekat
mereka yang seharusnya memberikan dukungan dan penguatan.
Depresi yang dialami oleh para perempuan dengan HIV/AIDS ini adalah
depresi eksogen karena disebabkan oleh peristiwa yang menyedihkan atau
menyakitkan. Menyadari bahwa fungsi tubuhnya dan dirinya tidak seperti dulu
depresi. Penolakan dan deskriminasi dari masyarakat menambah daftar stressor
yang membuat simtom-simtom depresi muncul pada para perempuan dengan
HIV/AIDS ini.
Secara biologis ketika individu mengalami depresi, sekresi hormon kortisol
menjadi lebih tinggi. Melalui terapi tari sekresi hormon ini ditekan dengan
meningkatkan level endorphin yang akan melepaskan hormon norephinephrine,
dopamine, dan serotonin melalui gerak atau movement. Ketika level endorphin
meningkat, kondisi mood yang negatif dankecemasan individu berkurang serta
kemampuan individu mengatasi stress mengalami peningkatan (Kavanagh,
2009).
Selain itu, tahap incubation memfasilitasi individu untuk dapat
mengekspresikan emosi-emosinya. Mereka dapat melakukan berbagai
eksplorasi gerak sebagai bentuk ekspresi emosi dan diri mereka. Selanjutnya
dalam tahap illumination, individu dapat menyadari diri, menyadari
pengalaman masa lalunya yang mengarah kepada penerimaan akan diri mereka
dan masa lalu mereka. Setelah individu menyadari dan menerima diri mereka,
mereka mendapatkan affirmasi bahwa ”it’s okay to have those past times. It’s
okay to have a positive and negative side” dan juga reinforcement bahwa
mereka mampu dan bisa untuk melangkah lagi melanjutkan hidup. Hal ini
merupakan salah satu cara bagi para perempuan dengan HIV/AIDS untuk dapat
menyadari dan berpikir (thinking) mengenai memori dan pengalaman masa lalu
yang memicu emosi negatif mereka. Kemudian mereka belajar mengintuisi
yang mereka lakukan sebagai bentuk ekspresi perasan mereka (Boeree, 2009)
Dari sinilah penghargaan diri mereka dapat mulai ditumbuhkan dan
penghargaan diri (self-esteem) yang meningkat menjadi indikator penting
terhadap menurunnya simtom-simtom depresi.
Proses penyadaran, penerimaan, dan penghargaan diri yang terjadi menjadi
titik awal dari meningkatnya penghargaan diri (self-esteem) dan dari situlah
dimulai modifikasi pandangan negatif yang dimiliki individu secara kognitif.
Ketika cara pandang yang keliru dan cenderung negatif ini berubah, individu
dapat menjadi pribadi yang lebih sehat secara mental.
Para perempuan dengan HIV/AIDS ini pun akan mendapatkan manfaat lebih
dari meningkatnya penghargaan diri mereka. Beberapa konstruk psikologis
seperti stress dan depresi apabila diatasi akan memberikan pengaruh terhadap
kesehatan fisik mereka dan sistem kekebalan tubuh. Wessels-Bloom (2004)
dalam penelitiannya membuktikan bahwa kondisi psikologis seseorang
mempengaruhi sistem kekebalan tubuh sehingga tingkat keparahan penyakit
dapat berkurang.
Lebih dari semuanya, terapi tari dapat menjadi sarana meningkatkan empati
yang mengarah pada dukungan sosial, sehingga hubungan interpersonal dengan
orang lain menjadi lebih baik. Ketika dukungan sosial didapatkan dan individu
memiliki hubungan interpersonal yang baik, penghargaan diri (self-esteem)
Gambar 1. Pengaruh Terapi Tari terhadap Tingkat Depresi Perempuan dengan HIV/AIDS
D.Hipotesis
Berdasarkan teori dan referensi penelitian yang telah dijelaskan di atas,
maka penelitian ini mengajukan hipotesis sebagai berikut :
Terapi tari dapat menurunkan tingkat depresi pada perempuan dengan
HIV/AIDS.
Depresi karena peristiwa yang menyedihkan
Menurunnya
Terapi Tari / Dance/Movement Therapy (DMT)
30 BAB III
METODE PENELITIAN
A.Jenis Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen ini
ingin mengetahui pengaruh terapi tari terhadap tingkat depresi perempuan
dengan HIV/AIDS. Desain yang akan digunakan adalah Pretest-Posttest
Control Group Design karena dalam desain ini baik pada kelompok
eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan random assignment. Random
assignment bertujuan menyetarakan kedua kelompok sehingga terkontrol
konstansinya (Seniati; Setiadi; Yulianto, 2005). Dalam penelitian ini, tingkat
depresi subjek diukur sebelum pemberian terapi dan setelah diberikan terapi
baik pada kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol.
B.Identifikasi Variabel Penelitian 1. Variable Dependen (VD)
Dalam penelitian ini variable dependen adalah tingkat depresi perempuan
dengan HIV/AIDS.
2. Variable Independen (VI)
C.Definisi Operasional 1. Variable Dependen
Variable dependen dalam penelitian ini adalah tingkat depresi
perempuan dengan HIV/AIDS. Depresi merupakan kondisi dimana
seseorang merasa sedih, kosong, atau terganggu diikuti perubahan kognisi
dan somatic yang secara signifikan mempengaruhi kapasitas fungsional
individu.
Tingkat depresi perempuan dengan HIV/AIDS diukur menggunakan
Beck Depression Inventory II (BDI-II). BDI-II merupakan konstruk skala
pengukur depresi yang disusun oleh Aaron T. Beck, Robert A. Steer, dan
Gregory K. Brown. BDI-II terdiri dari 21 aitem yang memuat
indikator-indikator simtom depresi berdasarkan DSM-IV. 21 aitem BDI-II ini terdiri
dari respon yang berbobot 0-3 yang disusun berdasarkan konten emosional,
dimana 0 mengindikasikan mood yang baik atau rendahnya perasaan
depresif dan 3 mengindikasikan tingginya reaksi depresif (Gussak, 2007).
2. Variable Independen
Variable independen dalam penelitian ini adalah terapi tari. Terapi tari
merupakan penggunaan gerakan kreatif sebagai salah satu metode
psikoterapi untuk mengintegrasi emosi, kognisi, fisik, dan sosial individu.
Gerakan-gerakan kreatif yang digunakan adalah gerakan-gerakan simbolik
yang mewakili ekspresi emosi individu.
Manipulasi yang dilakukan terhadap variable independen ini adalah
eksperimen dan kelompok kontrol. Kedua kelompok ini dibagi secara
random. Subjek dalam kelompok eksperimen diberikan sesi terapi tari
selama 5 sesi, masing-masing 60 menit dan subjek dalam kelompok kontrol
tidak diberi perlakuan apapun.
D.Subjek Penelitian
Kriteria subjek dalam penelitian ini adalah perempuan berusia 18-40 tahun
yang disebut perempuan dewasa (Santrock, 1998) dan telah positif diperiksa
secara medis menderita HIV/AIDS. Jumlah subjek adalah 32 perempuan yang
akan dibagi menjadi 2 (dua) kelompok, yaitu kelompok eksperimen dan
kelompok kontrol.
E.Instrumen Manipulasi
Penelitian ini menggunakan instrumen manipulasi sebagai berikut :
1. Ruangan Tertutup
Terapi tari dilakukan di dalam ruangan tertutup untuk menghindari
distraksi berupa suara atau aktivitas lain di luar ruangan yang mungkin
menghambat jalannya terapi. Dalam terapi ini, terapi dilakukan di dalam
studio tari dengan sirkulasi udara yang baik.
2. Musik Pengiring
Musik pengiring yang digunakan dalam terapi ini merupakan musik
ilustrasi kontemporer. Terapi menggunakan musik ilustrasi supaya individu
tidak terpancang pada ketukan instrument musik tertentu seperti apabila
mulai dari tempo lambat hingga tempo cepat dan ritme lembut hingga ritme
yang keras.
Hal ini dimaksudkan agar musik dapat berperan sebagai trigger bagi
klien untuk mengeksplorasi perasaan dan emosi-emosinya dalam situasi
yang terbentuk bersama musik yang didengarnya. Terapis sekaligus
memberikan penguatan dan affirmasi kepada subjek bersamaan dengan
musik diperdengarkan.
3. Waktu Terapi
Terapi tari dilakukan pada hari dan jam yang sama setiap minggunya
dengan asumsi bahwa subjek berada pada kondisi yang sama setiap kali
mengikuti sesi terapi. Terapi dilakukan pada sore hari sesuai kesepakatan
bersama antara peneliti, terapis, dan subjek penelitian.
4. Suasana Terapi
Terapi tari dilakukan dengan suasana lingkungan terapi yang tenang dan
positif. Tenang disini dalam arti tidak ada distraksi berupa suara berisik dari
luar ruangan atau suara keluar masuk pintu ruangan terapi. Positif disini
dimaksudkan sebagai suasana dimana terapis memberikan motivasi dan
kata-kata positif dalam rangka mengajak subjek untuk bergerak serta
menciptakan hubungan yang baik dengan subjek supaya mereka tidak
F.Metode Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan alat penelitian berupa skala pengukuran depresi
yaitu The Beck Depression Inventory-Short Form (BDI-II). BDI-II merupakan
alat assessmen psikologi yang baku. Pertimbangan peneliti memilih skala ini
adalah karena skala ini cukup popular dan telah diuji konsistensinya selama
lebih dari 25 tahun. Selain itu, penelitian sebelumnya terhadap depresi pada
ODHA perempuan secara umum menggunakan skala ini untuk mengukur
tingkat depresi (de Mello; Malbergler, 2005).
G.Desain Penelitian
Desain penelitian eksperimen ini menggunakan Between Design, yaitu
Randomized Pretest-posttest Control Group Design karena dalam desain ini
baik kelompok eksperimen maupun kelompok kontrol dilakukan random
assignment untuk menyetarakan kedua kelompok sehingga terkontrol
konstansinya (Seniati; Setiadi; Yulianto, 2005). Selain itu peneliti melakukan
balancing dengan cara mengatur pertemuan dengan subjek di kelompok
eksperimen berbeda dengan subjek di kelompok kontrol. Selanjutnya, peneliti
melakukan single blind cover story dimana subjek penelitian tidak tahu tujuan
penelitian yang sebenarnya. Hal ini mengantisipasi adanya faking dalam
perilaku subjek selama kondisi treatment.
H.Prosedur Penelitian
Prosedur pelaksanaan dalam penelitian ini melewati beberapa langkah
1. Penyusunan Materi Terapi Tari
Materi terapi tari yang diberikan sebagai perlakuan terhadap subjek
penelitian disusun oleh peneliti bersama dengan seorang therapist tari yang
telah memiliki pengalaman di bidang tari dan terapi tari itu sendiri.
Therapist itu sendiri menurut Oxford English Dictionary adalah orang yang
memiliki keterampilan khusus pada bidang yang diterapi (Soanes &
Stevenson, 2003). Dalam hal ini therapist tari adalah orang yang memiliki
keterampilan khusus pada bidang tari dan telah melakukan terapi tari secara
professional.
2. Perizinan
Demi kelancaran kegiatan penelitian, peneliti meminta izin kepada
Komisi Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta untuk
melakukan penelitian dengan langkah-langkah sebagai berikut :
a) Meminta surat pengantar pada Fakultas Psikologi Universitas Sanata
Dharma Yogyakarta yang ditanda tangani oleh dekan fakultas. Surat ini
menjelaskan bahwa peneliti adalah mahasiswa fakultas Psikologi
Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. Selain itu, surat ini juga
menjelaskan maksud dan tujuan serta sasaran penelitian.
b)Menyerahkan surat pengantar tersebut ke Sekretariat Komisi
Penanggulangan AIDS Daerah Istimewa Yogyakarta untuk memperoleh
surat izin melakukan penelitian yang akhirnya diberikan 3 (tiga) hari
c) Menyerahkan surat izin dari Komisi Penanggulangan AIDS Daerah
Istimewa Yogyakarta ke lembaga swadaya masyarakat (LSM) Victory
Plus, sebagai LSM yang bergerak di bidang pemberdayaan ODHA dan
memperoleh izin untuk melakukan penelitian 1 minggu setelahnya.
3. Prosedur Pelaksanaan Penelitian
a) Opening
Peneliti memperkenalkan diri serta membangun rapport dengan
subjek sehingga tercipta suasana yang akrab.
b) Pretest
Peneliti membagikan skala penelitian dengan acuan skala penelitian
BDI-II untuk mengetahui tingkat depresi subjek sebelum treatment.
c) Random Assignment
Peneliti membagi subjek menjadi 2 (dua) kelompok, tanpa melihat
hasil pretest dan secara acak subjek dibagi menjadi 2 (dua) kelompok
yaitu kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
d) Briefing
Peneliti memperkenalkan terapis dan menjelaskan kepada subjek
mengenai aktivitas yang akan dilakukan.
e) Sesi Terapi
Peneliti melakukan treatment bersama terapis sebanyak 5 kali terapi,
masing-masing 60 menit. Penentuan 5 sesi dalam manipulasi didasarkan
pada studi penelitian-penelitian lain dengan terapi tari yang rata-rata
terjadi pada subjek (Burger, Thompson, Saarikallio, Luck, Toiviainen,
2003; Cohen & Shamus, 2009).
f) Posttest
Peneliti membagikan skala penelitian yang sama seperti yang
dibagikan sebelum terapi pada pertemuan keakraban setelah 5 kali sesi
terapi untuk mengetahui tingkat depresi subjek setelah treatment.
g) Closing
Peneliti mengadakan sesi keakraban bersama subjek untuk
mengucapkan terimakasih atas kerjasama yang dilakukan selama
aktivitas terapi tari.
h) Follow Up
Peneliti melakukan follow up dengan melakukan terapi tari kepada
subjek di kelompok kontrol untuk menghindari demoralization subjek
pada kelompok kontrol.
I. Metode Analisis Data
Data yang diperoleh dari pretest dan posttest tersebut dianlisa
menggunakan independent sample t-test untuk melihat apakah terapi tari
38 BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A.Jenis Penelitian
Dalam melakukan penelitian ini, peneliti meminta izin dan rekomendasi dari
Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti
mengirim surat perizinan dari Fakultas Psikologi Universitas Sanata Dharma
dengan melampirkan proposal penelitian kepada KPA DIY. Setelah itu KPA
DIY memberikan surat izin dan rekomendasi untuk peneliti kepada LSM
Victory Plus. Selanjutnya peneliti mengirimkan surat izin dan rekomendasi dari
KPA DIY ke LSM Victory Plus kemudian berkoordinasi dengan staff LSM
Victory Plus untuk pelaksanaan penelitian.
B.Pelaksanaan Penelitian 1. Tahap Pretest
Tahap pretest diakukan pada tanggal 13-14 Juni 2014 pada peremuan
dengan status HIV positif. Pengambilan data pretest melibatkan 32 subjek
yang dibagi menjadi 2 (dua) kelompok masing-masing terdiri dari 16 subjek.
Kedua kelompok tersebut adalah kelompok eksperimen dan kelompok
kontrol. Pada kelompok kontrol dilakukan pretest pada tanggal 13 Juni 2014
pukul 16.3- - 18.00 WIB. Kelompok eksperimen mendapatkan pretest pada
kelompok kontrol maupun eksperimen diminta mengisi 21 aitem apda skala
Beck Depression Inventory II (BDI-II).
2. Tahap Manipulasi / Treatment
Manipulasi dilakukan pada kelompok eksperimen dengan jumlah subjek
16 orang perempuan ODHA. Subjek pada kelompok eksperimen mengikuti
terapi tari selama 5 sesi yang berlangsung selama 90 menit setiap sesinya.
Terapi tari merupakan penggunaan gerak atau tari dalam psikoterapi yang
mengarah pada integrasi kognitif, emosi, fisik, dan sosial dalam diri
individu. Kelompok kontrol tidak mendapatkan treatment apapun.
Terapi tari diberikan oleh seorang therapist yang sudah memiliki
pengalaman di bidang terapi tari. Terapi tari disini bertujuan untuk
menurunkan tingkat depresi pada subjek yang menyandang status HIV.
Terapi tari dilakukan selama 5 sesi setiap hari Selasa dan Jumat pukul 16.00 – 17.30 WIB dan dimulai pada hari Jumat, 30 Juni 2014. Terapi tari ini
dilaksanakan di Studio Miryam, Mrican, Sleman, Yogyakarta. Pada sesi
terapi yang pertama, waktu terapi berlangsung lebih lama 30 menit karena
subjek masih tampak menyesuaikan diri dengan aktivitas menari yang
sebelumnya tidak pernah dilakukan.
Beberapa subjek tampak kurang berminat pada awal sesi terapi, namun
tampak lebih bersemangat di sesi kedua dan seterusnya. Bahkan, beberapa
subjek tampak mulai berani mengkespresikan diri dengan gerakan tari yang
dibuatnya sendiri sebagai ungkapan emosinya. Secara umum, subjek mampu
3. Tahap Posttest
Posttest dilakukan pada hari Jumat, 18 Juli 2014 pada 16 subjek pada
kelompok eksperimen dan 16 subjek pada kelompok kontrol. Posttest ini
dilakukan setelah kelompok eksperimen mendapatkan 5 (lima) sesi terapi
tari. Posttest dilakukan di Studio Miryam, Mrican, Sleman, Yogyakarta.
Kelompok kontrol mengikuti posttest pada pukul 10.00-11.00 WIB dan
kelompok eksperimen pada pukul 16.00-17.00 WIB.
C.Hasil Penelitian 1. Subjek Penelitian
Subjek penelitian adalah 32 orang perempuan ODHA berusia 22-40
tahun baik dari lini 1 ataupun lini 2. Lini 1 dan lini 2 ini merupakan
indikator tingkat keparahan penyakit. Lini 1 adalah tingkatan awal dari HIV
sedangkan lini 2 adalah tingkatan yang lebih tinggi atau lebih parah.
2. Deskripsi Data Penelitian
Nilai rata-rata (mean) dan jumlah subjek (N) pada penelitian ini dalam
masing-masing kelompok adalah sebagai berikut :
Tabel 2.
Tabel Data Deskriptif Penelitian
No Keterangan Kelompok Subjek N Mean Standard Deviasi
1
Apabila dilihat dari rata-rata gain score, kelompok eksperimen
mengalami penurunan tingkat depresi sebesar 17,5 dan kelompok kontrol
mengalami penurunan sebesar 1,125. Jika dilihat dari data keseluruhan, dari
16 subjek dalam kelompok kontrol, 6 subjek mengalami penurunan tingkat
depresi, 8 subjek mengalami peningkatan, dan 2 subjek tidak mengalami
perubahan tingkat depresi. Selanjutnya, dari 16 subjek dalam kelompok