HUBUNGAN DUKUNGAN KELUARGA DENGAN TINGKAT DEPRESI PASIEN HIV/AIDS DI PUSAT PELAYANAN KHUSUS
RSUP HAJI ADAM MALIK MEDAN TAHUN 2013
SKRIPSI
Oleh :
RESTU PEUTNA DARWIN 121121027
FAKULTAS KEPERAWATAN UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
PRAKATA
Puji dan syukur kepada Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahNya
sehingga peneliti dapat menyelesaikan skripsi dengan judul “Hubungan Dukungan
Keluarga dengan Tingkat Depresi Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus
RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013”. Skripsi ini disusun sebagai salah
satu syarat bagi peneliti untuk menyelesaikan pendidikan dan mencapai gelar
sarjana di Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara Medan.
Ucapan terima kasih peneliti sampaikan kepada pihak-pihak yang telah
memberikan bantuan, bimbingan dan dukungan dalam proses penyelesaian skripsi
ini, sebagai berikut:
1. dr. Dedi Ardinata, M.Kes selaku Dekan Fakultas Keperawatan Universitas
Sumatera Utara
2. Erniyati, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan I Fakultas Keperawatan
Universitas Sumatera Utara
3. Evi Karota Bukit, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan II Fakultas
Keperawatan Universitas Sumatera Utara
4. Ikhsanuddin Ahmad Harahap, S.Kp, MNS selaku Pembantu Dekan III
Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara
5. Diah Arruum, S.Kep, Ns, M.Kep selaku pembimbing yang telah banyak
meluangkan waktu dan pikiran memberikan pengarahan dan bimbingan,
motivasi, dan ilmu yang bermanfaat kepada peneliti selama penyusunan
6. Ismayadi, S.Kep, Ns, M.Kes selaku dosen penguji I dan Sri Eka Wahyuni,
S.Kep, Ns, M.Kep selaku penguji II yang bersedia meluangkan waktu untuk
memberi bimbingan, petunjuk dan saran-saran dalam penyusunan skripsi ini
7. Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan yang telah memberikan izin
sehingga penelitian ini dapat terlaksana
8. Koordinator Klinik VCT Pusyansus, Kepala Ruangan, seluruh perawat dan
staf di Poliklinik Pusyansus serta teman-teman LSM yang telah banyak
membantu
9. Teristimewa kepada keluargaku, Ayahanda Hanafiah Darwin SM, S.E, M.AP,
Ibunda Neneng Suaida yang selalu memberikan motivasi, dukungan moril
maupun materil serta do’a yang tiada henti bagi peneliti. Abang tercinta Lettu
Rachmat Phonna Darwin, Alm Ridha Duana, kakak tersayang Rizkika Lhenna
Darwin, M.A, dan adik terkasih Rahmi Limana Darwin serta teristimewa
teruntuk hatiku Andy Fasarela S.H terima kasih telah mengajarkan kesabaran,
memberikan dukungan dan motivasi yang sangat berarti bagi peneliti
10.Semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan skripsi
Peneliti menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu, peneliti mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun demi
kesempurnaan. Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu
pengetahuan dan profesi keperawatan.
Medan, Februari 2014
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Pernyataan... ii
Halaman Pengesahan ... iii
1.6 Dukungan Keluarga Pada Pasien HIV/AIDS ... 13
2. Konsep Depresi ... 15
2.1 Pengertian Depresi ... 15
2.2 Faktor-faktor Penyebab Depresi ... 15
2.3 Rentang Respon Emosional ... 17
2.4 Klasifikasi Depresi ... 18
2.5 Gejala Depresi ... 20
2.6 Depresi Pada Pasien HIV/AIDS ... 21
2.7 Cara Pengukuran Beck Depression Inventory II (BDI-II) ... 23
3. Konsep HIV/AIDS ... 25
3.1 Pengertian HIV/AIDS ... 25
3.2 Etiologi ... 26
3.3 Cara Penularan HIV ... 27
3.4 Perjalanan Penyakit HIV/AIDS ... 28
3.5 Perkembangan Klinis dan Manifestasi ... 31
3.6 Pemeriksaan Laboratorium ... 31
3.7 Pengobatan Pasien HIV/AIDS ... 32
BAB III KERANGKA KONSEPTUAL ... 33
1. Kerangka konsep ... 33
2. Defenisi Operasional ... 34
BAB IV METODOLOGI PENELITIAN ... 35
6. Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen ... 39
7. Pengumpulan Data ... 41
8. Pengolahan dan Analisa Data ... 43
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 45
1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian ... 45
2. Hasil Penelitian... 45
3. Pembahasan ... 50
4. Keterbatasan Penelitian ... 63
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN... 64
3. Hasil Reliabilitas Kuesioner 4. Hasil Uji Normalitas
5. Hasil Uji Univariat data demografi, dukungan keluarga dan depresi 6. Hasil Uji Bivariat Spearman
7. Surat Keterangan Survei Awal
8. Surat Keterangan Selesai Survei Awal 9. Surat Keterangan Pengambilan Data
10.Surat Keterangan Selesai Pengambilan Data 11.Surat Komisi Etik Penelitian
12.Surat Keterangan Validitas Kuesioner 13.Surat Keterangan Lembaga Bahasa 14.Jadwal Tentatif Penelitian
DAFTAR GAMBAR
Halaman Gambar 2.1 Rentang respon emosional ... 18
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 3.2 Definisi Operasional... 34 Tabel 4.1 Panduan Interprestasi Hasil Uji Hipotesis... 44 Tabel 5.1 Distribusi Frekuensi dan Persentase Responden Berdasarkan Usia,
Jenis Kelamin, Agama, Suku, Status Pernikahan, Tingkat Pendidikan, Pekerjaan, Pendapatan Keluarga, dan Golongan Darah di Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan (n=68)... 47 Tabel 5.2 Karakteristik Responden Berdasarkan Lama Menderita Penyakit
di RSUP H. Adam Malik Medan (n=68)... 48 Tabel 5.3 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan Dukungan Keluarga
pada Pasien HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan (n=68)... 49 Tabel 5.4 Distribusi Frekuensi responden berdasarkan tingkat depresi Pasien
HIV/AIDS di RSUP H. Adam Malik Medan (n=68)... 49 Tabel 5.5 Hasil analisis Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat
Judul : Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013
Nama Mahasiswa : Restu Peutna Darwin
NIM : 121121027
Program : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2014
ABSTRAK
Pasien HIV/AIDS merupakan pasien yang dapat mengalami depresi sehingga diperlukan dukungan keluarga untuk memberikan kenyamanan psikologis yang dapat mencegah terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. Desain penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional study. Populasi pada penelitian ini seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan. Sampel dalam penelitian sebanyak 68 responden dan dipilih dengan menggunakan teknik
accidental sampling. Hasil penelitian univariat menunjukkan bahwa hampir
setengah pasien HIV/AIDS mendapat dukungan keluarga baik sebanyak 48.5% dan tidak mengalami depresi sebanyak 45.6%. Analisis bivariat menggunakan korelasi Spearman menunjukkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS dimana p=0.000, r=-0.745. Rekomendasi pada penelitian ini adalah perlu dilakukan pemberian program konseling dan edukasi pada keluarga untuk meningkatkan dukungan keluarga dan meningkatkan partisipasi keluarga dalam merawat pasien HIV/AIDS untuk mencegah terjadinya depresi.
Kata Kunci : dukungankeluarga, depresi, pasien HIV/AIDS
Title : The Relationship of Family Support With AIDS/HIV Patient Depression Levels In Special Care Center of Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan 2013 Name of Student : Restu Peutna Darwin
Student Number : 121121027
Program : Bachelor of Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
AIDS/HIV patient is a patient who can have depression, thus family support is needed to provide psychological comfort that can prevent the occurrence of depression. The research aims to determine the relationship of family support with AIDS/HIV patient depression levels in Special Care Center of Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan 2013. The research design is correlative descriptive with cross sectional approach. The population of the research were all AIDS/HIV patients who had outpatient care in Special Care Center in Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan. The samples of the research were 68 respondents and selected using accidental sampling technique. The univariate results of the research showed that nearly half of AIDS/HIV patients receive good support of family as much as 48.5% and 45.6% did not experience depressed. Bivariate analysis using Spearman Correlation showed a significant relationship between family supports with AIDS/HIV patients depression levels, which p=0.000, r=-0.745. The recommendation in the research is the need of counseling and education program for family to improve family support and increase the participant of the family in caring for AIDS/HIV patients to prevent the occurrence of the depression.
Judul : Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan Tahun 2013
Nama Mahasiswa : Restu Peutna Darwin
NIM : 121121027
Program : Sarjana Keperawatan (S.Kep)
Tahun : 2014
ABSTRAK
Pasien HIV/AIDS merupakan pasien yang dapat mengalami depresi sehingga diperlukan dukungan keluarga untuk memberikan kenyamanan psikologis yang dapat mencegah terjadinya depresi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013. Desain penelitian deskriptif korelatif dengan pendekatan cross sectional study. Populasi pada penelitian ini seluruh pasien HIV/AIDS yang menjalani rawat jalan di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan. Sampel dalam penelitian sebanyak 68 responden dan dipilih dengan menggunakan teknik
accidental sampling. Hasil penelitian univariat menunjukkan bahwa hampir
setengah pasien HIV/AIDS mendapat dukungan keluarga baik sebanyak 48.5% dan tidak mengalami depresi sebanyak 45.6%. Analisis bivariat menggunakan korelasi Spearman menunjukkan hasil adanya hubungan yang bermakna antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS dimana p=0.000, r=-0.745. Rekomendasi pada penelitian ini adalah perlu dilakukan pemberian program konseling dan edukasi pada keluarga untuk meningkatkan dukungan keluarga dan meningkatkan partisipasi keluarga dalam merawat pasien HIV/AIDS untuk mencegah terjadinya depresi.
Kata Kunci : dukungankeluarga, depresi, pasien HIV/AIDS
Title : The Relationship of Family Support With AIDS/HIV Patient Depression Levels In Special Care Center of Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan 2013 Name of Student : Restu Peutna Darwin
Student Number : 121121027
Program : Bachelor of Nursing
Year : 2014
ABSTRACT
AIDS/HIV patient is a patient who can have depression, thus family support is needed to provide psychological comfort that can prevent the occurrence of depression. The research aims to determine the relationship of family support with AIDS/HIV patient depression levels in Special Care Center of Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan 2013. The research design is correlative descriptive with cross sectional approach. The population of the research were all AIDS/HIV patients who had outpatient care in Special Care Center in Haji Adam Malik General Hospital Center-Medan. The samples of the research were 68 respondents and selected using accidental sampling technique. The univariate results of the research showed that nearly half of AIDS/HIV patients receive good support of family as much as 48.5% and 45.6% did not experience depressed. Bivariate analysis using Spearman Correlation showed a significant relationship between family supports with AIDS/HIV patients depression levels, which p=0.000, r=-0.745. The recommendation in the research is the need of counseling and education program for family to improve family support and increase the participant of the family in caring for AIDS/HIV patients to prevent the occurrence of the depression.
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
HIV/AIDS (Human Immunodeficiency Virus/ Acquired
Immunodeficiency Syndrome) merupakan masalah kesehatan yang perlu
mendapatkan perhatian serius. Hal ini karena perkembangan kasusnya di
dunia yang terus mengalami peningkatan. Terlihat dari data UNAIDS (United
Nations Programme on HIV/AIDS) dalam laporan hari AIDS sedunia tahun
2012 menyatakan hingga tahun 2011 diperkirakan sebanyak 34 juta orang
hidup dengan HIV/AIDS, sebanyak 2,5 juta kasus baru terinfeksi HIV, dan 1,7
juta kematian disebabkan oleh AIDS. Asia merupakan salah satu benua
dengan jumlah kasus HIV/AIDS kedua terbanyak setelah Sub Sahara yaitu 4,8
juta kasus (UNAIDS, 2012).
Indonesia merupakan salah satu negara berkembang di Asia Tenggara,
menduduki urutan ke-3 terbanyak kasus HIV/AIDS yaitu 380.000 kasus
(UNAIDS, 2012). Hampir setiap tahunnya Indonesia mengalami peningkatan
jumlah HIV/AIDS. Pada 2011 ditemukan sebanyak 112.772 kasus dan
meningkat tahun 2012. Menurut Ditjen PPM-PL Kemenkes RI (2012) hingga
September 2012, jumlah kumulatif pengidap HIV/AIDS mencapai 131.685
kasus.
Demikian pula kasus HIV di Sumatera Utara merupakan salah satu
provinsi yang menduduki posisi lima besar terbanyak yaitu 5.935 kasus
kunjungan pasien HIV/AIDS di poliklinik Pusat Pelayanan Khusus
(Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan survey data awal
peneliti pada Mei 2013 di poliklinik Pusyansus RSUP H. Adam Malik Medan
didapatkan kumulatif kasus HIV tahun 2003 hingga Maret 2013 sebanyak
3519 kasus (51,6%) dari seluruh kasus HIV di Sumut yakni 6824 kasus.
Infeksi HIV dan gangguan psikiatrik mempunyai hubungan yang
kompleks. Terinfeksi HIV akan menyebabkan gangguan psikiatrik sebagai
konsekuensi psikologis (Chandra, 2005 dalam Saragih, 2008). Penderita dapat
terus diselubungi oleh emosi seperti rasa bersalah, cemas, malu, dan takut
karena berbagai kehilangan seperti penolakan oleh keluarga serta sahabatnya,
jaminan finansial, dan fungsi seksual terganggu (Smeltzer & Bare, 2005).
Kondisi fisik yang memburuk, ancaman kematian, serta tekanan sosial yang
begitu hebat menyebabkan ODHA cenderung mengalami masalah emosional
yaitu depresi (Douaihy, 2001 dalam Kusuma, 2011). Beck (1996) membagi
tingkatan depresi atas tidak depresi, depresi ringan, sedang, dan berat.
Vardhana (2007, dalam Saragih, 2008) menemukan bahwa pasien yang
terinfeksi HIV positif rata-rata mengalami depresi berat berkisar 8%-67% dan
hingga 85% melaporkan gejala-gejala depresi. Sedangkan, di Indonesia dari
hasil penelitian kualitatif yang dilakukan oleh Iskandar (2008, dalam Kusuma,
2011) pada 6 orang pasien HIV/AIDS di Jakarta didapatkan keseluruhan
informan mengalami depresi. Penelitian terkait dilakukan oleh Kusuma (2011)
di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta didapatkan lebih dari setengah pasien
didukung oleh penelitian Saragih (2008) di RSUP H. Adam Malik Medan
didapatkan sindrom depresi sedang paling banyak terjadi pada penderita
HIV/AIDS 34%, diikuti sindrom depresi ringan 28%, tidak depresi 26% dan
sindrom depresi berat 12%.
Melihat tingginya prevalensi kasus depresi diatas maka masalah
HIV/AIDS saat ini bukan hanya masalah penyakit menular semata, tetapi
sudah menjadi masalah kesehatan masyarakat yang sangat luas. Oleh karena
itu, penanganan tidak hanya dari segi medis tetapi melibatkan aspek
psikososial. Agar ODHA (Orang dengan HIV/AIDS) mampu beradaptasi
akibat kesedihan, kegelisahan dan depresi yang dialaminya (Djoerban, 2000).
Selain itu, kondisi depresi pada ODHA dapat mempengaruhi motivasi
untuk terlibat aktif dalam pelayanan kesehatan dan mengalami frustasi (Potter
& Perry, 2009). Sehingga, depresi dapat menyebabkan penurunan fisik dan
mental, karena ketidakpatuhan pasien terhadap terapi anti retrovirus dan
obat-obatan lainnya, nafsu makan berkurang, tidak ingin berolahraga, dan kesulitan
tidur dapat memperberat penyakit (Holmes, et al, 2007 dalam kusuma, 2011).
Memiliki anggota keluarga yang positif HIV/AIDS mempengaruhi
keluarga secara ekonomis, sosial, fungsional, dan mengganggu pengambilan
keputusan keluarga (Potter & Perry, 2009). Dampak psikologis pada keluarga
berupa denial, marah, sedih, dan respon kehilangan menyebabkan keluarga
merasa tidak percaya bahwa ada anggota keluarga yang terinfeksi virus
tersebut (Stuart & Laraia, 2001). Akibatnya, keluarga tidak memberikan
Hasil wawancara peneliti dengan 10 orang pasien HIV/AIDS di
Pusyansus RSUP Haji Adam Malik Medan pada Mei 2013, didapatkan enam
dari sepuluh orang pasien mengatakan kurang mendapat perhatian, keluarga
tidak perduli dengan kondisi mereka dan bersikap menjauh setelah pasien
terdiagnosa HIV/AIDS. Hasil wawancara tersebut didukung oleh penelitian
Kusuma (2011) di RS Cipto Mangunkusumo Jakarta bahwa didapatkan
dominan dukungan keluarga non supportif 55,4% pada pasien HIV/AIDS.
Li, Wu, Wu, Sun, Cui, & Jia (2006) dalam penelitiannya menunjukkan
bahwa semua pasien HIV/AIDS membutuhkan sumber utama dukungan dari
keluarga, termasuk dukungan keuangan, proses pengungkapan, kegiatan
rutinitas sehari-hari, bantuan kesehatan, atau dukungan psikologi. Pernyataan
tersebut sejalan dengan penelitian Rihaliza (2010) di Lantera Minangkabau
Support terdapat hubungan yang signifikan antara dukungan sosial dari
kelompok dukungan sebaya dengan kejadian depresi pada pasien HIV/AIDS
dengan p < 0,05. Hal ini menunjukkan bahwa dukungan keluarga memiliki
pengaruh yang baik terhadap pasien HIV/AIDS yang mengalami depresi.
Menurut Friedman (1998) dukungan keluarga terbagi atas dukungan
informasi, penghargaan, instrumental, dan emosional. Keberadaan dukungan
keluarga yang adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas,
lebih mudah sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi
(Setiadi, 2008). Oleh karena itu, dukungan sebagai support system atau sistem
pendukung yang utama bagi penderita sehingga ia dapat mengembangkan
menangani stresor terkait penyakitnya baik fisik, psikologis, maupun sosial
(Lasserman & Perkins, 2001 dalam Kusuma, 2011).
Berdasarkan uraian dan fenomena diatas, maka peneliti tertarik untuk
melakukan penelitian tentang hubungan dukungan keluarga dengan tingkat
depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik
Medan tahun 2013.
1.2 Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan masalah adalah
“Bagaimana hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien
HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun
2013?”.
1.3 Hipotesa Penelitian
Hipotesis penelitian adalah hipotesis alternatif (Ha) yaitu: Ada
hubungan antara dukungan keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS
di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
1.4 Tujuan Penelitian
1.4.1 Tujuan Umum
Mengetahui hubungan dukungan keluarga dengan tingkat depresi
pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik
Medan tahun 2013.
1.4.2 Tujuan Khusus
a. Mengidentifikasi dukungan keluarga pasien HIV/AIDS di Pusat
b. Mengidentifikasi tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat
Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
c. Mengidentifikasi hubungan dukungan keluarga dengan tingkat
depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji
Adam Malik Medan tahun 2013.
1.5 Manfaat Penelitian
1.5.1 Bagi Praktek
a. Menambah pengetahuan dan kesadaran perawat tentang pentingnya
memperhatikan aspek psikososial pada penanganan pasien
HIV/AIDS sehingga pelayanan yang diberikan semakin berkualitas
dan profesional.
b. Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai informasi bagi perawat
untuk meningkatkan partisipasi keluarga dalam perawatan pasien
HIV/AIDS.
1.5.2 Bagi Pendidikan
Hasil penelitian ini dapat memberikan informasi bagi institusi
pendidikan untuk pengembangan ilmu keperawatan medikal bedah
khususnya aspek psikososial dan dapat digunakan sebagai bahan
referensi/bacaan bagi mahasiswa keperawatan.
1.5.3 Bagi Penelitian Selanjutnya
Dapat dijadikan acuan sebagai data dasar dalam penelitian lebih lanjut
yang berkaitan dengan dukungan keluarga terhadap depresi pada
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Konsep Keluarga
2.1.1 Pengertian Keluarga
Keluarga adalah dua orang atau lebih individu yang tergabung karena
ikatan tertentu untuk saling membagi pengalaman dan melakukan pendekatan
emosional, serta mengidentifikasi diri mereka sebagai bagian dari keluarga
(Friedman, 1998 dalam Sudiharto, 2007).
Keluarga juga diartikan sebagai suatu ikatan atau persekutuan hidup
atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup
bersama atau seorang laki-laki atau seorang perempuan yang sudah sendirian
dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam
sebuah rumah tangga (Sayekti, 1994 dalam Suprajitno, 2004).
2.1.2 Tipe Keluarga
Menurut Suprajitno (2004), ada beberapa tipe keluarga antara lain:
a. Keluarga inti (nuclear family) adalah suatu keluarga yang terdiri dari
ayah, ibu, dan anak-anak.
b. Keluarga besar (exstended family) adalah keluarga inti ditambah dengan
sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu,
paman, atau bibi.
c. Keluarga bentukan kembali (dyadic family) adalah keluarga baru yang
d. Orang tua tunggal (single parent family) yaitu keluarga yang terdiri dari
salah satu orang tua dengan anak-anaknya akibat perceraian atau
ditinggal pasangannya.
e. Ibu dengan anak tanpa perkawinan yang sah (the unmarried teenage
mother).
f. Orang dewasa laki-laki atau perempuan yang tinggal sendiri tanpa pernah
menikah (the single adult living alone).
g. Keluarga dengan anak tanpa pernikahan sebelumnya (the non marital
heterosecual cohabiting family).
h. Keluarga yang dibentuk oleh pasangan yang berjenis kelamin sama (gay
and lesbian family).
2.1.3 Peran Keluarga
Peranan keluarga adalah seperangkat perilaku interpersonal, sifat, dan
kegiatan yang berhubungan dengan individu dalam posisi dan situasi tertentu
(Setiadi, 2008). Setiap anggota keluarga mempunyai peran masing–masing.
Ayah sebagai pemimpin keluarga, pencari nafkah, pendidik,
pelindung/pegayom, dan pemberi rasa aman kepada anggota keluarga. Selain
itu, sebagai anggota masyarakat/kelompok sosial tertentu. Ibu sebagai
pengurus rumah tangga, pengasuh, pendidik anak-anak, pelindung keluarga,
dan juga sebagai pencari nafkah tambahan keluarga. Selain itu, sebagai
anggota masyarakat. Anak berperan sebagai pelaku psikososial sesuai dengan
2.1.4 Fungsi Keluarga
Adapun fungsi keluarga menurut Friedman (1998, dalam Zaidin,
2009):
a. Fungsi afektif. Berhubungan dengan fungsi internal keluarga yang
merupakan dasar kekuatan keluarga. Fungsi afektif berguna untuk
pemenuhan kebutuhan psikososial bagi para anggotanya. Anggota
keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, peran dijalankan
dengan baik, dan penuh kasih sayang serta saling menerima dan
mendukung.
b. Fungsi sosialisasi. Proses perkembangan dan perubahan yang dilalui
individu menghasilkan interaksi sosial, dan individu tersebut
melaksanakan perannya dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan
tempat individu melaksanakan sosialisasi dengan anggota keluarga dan
belajar disiplin, norma budaya dan perilaku melalui interaksi dalam
keluarga, sehingga individu mampu berperan di dalam masyarakat.
c. Fungsi reproduksi. Fungsi untuk meneruskan kelangsungan keturunan
dan menambah sumber daya manusia.
d. Fungsi ekonomi. Fungsi untuk memenuhi kebutuhan keluarga, seperti
makanan, pakaian, perumahan, dan lain-lain.
e. Fungsi perawatan keluarga. Keluarga menyediakan makanan, pakaian,
perlindungan, dan asuhan pemeliharaan kesehatan/keperawatan
2.1.5 Dukungan Keluarga
Dukungan sosial adalah suatu keadaan yang bermanfaat bagi individu
yang diperoleh dari orang lain yang dapat dipercaya, sehingga seseorang akan
tahu bahwa ada orang lain yang memperhatikan, menghargai, dan
mencintainya (Cohen & Syme, 1996 dalam Setiadi, 2008). Friedman (1998)
menambahkan anggota keluarga sangat membutuhkan dukungan dari
keluarganya karena dukungan sosial keluarga ini membuat individu tersebut
merasa dihargai dan anggota keluarga siap memberikan dukungan untuk
menyediakan bantuan dan tujuan hidup yang ingin dicapai individu.
Dukungan sosial keluarga merupakan suatu proses hubungan antara
keluarga dan lingkungan sosialnya (Friedman, 1998). Dalam semua tahap,
dukungan sosial keluarga menjadikan keluarga mampu berfungsi dengan
berbagai kepandaian dan akal, sehingga akan meningkatkan kesehatan dan
adaptasi mereka dalam kehidupan (Setiadi, 2008). Sukardi (2002, dalam
Hidayat, 2009) menjelaskan bahwa dukungan keluarga merupakan suatu
bentuk perhatian, dorongan yang didapatkan individu dari orang lain melalui
hubungan interpersonal yang meliputi perhatian, emosional, dan penilaian.
Keluarga menurut Stolte (2004) dipandang sebagai suatu sistem, jika
terjadi gangguan pada salah satu anggota keluarga dapat mempengaruhi
seluruh sistem. Sebaliknya disfungsi keluarga dapat pula menjadi salah satu
penyebab terjadinya gangguan pada anggota keluarga. Dukungan keluarga
telah menjadi koping bagi keluarga dalam menghadapi masalah (Friedman,
Keluarga berfungsi sebagai pendukung bagi anggota keluarganya.
Peran keluarga sangat diperlukan untuk membentuk suatu ikatan keluarga
yang kuat, sehingga dapat berfungsi efektif dalam mengatasi masalah yang
dihadapi, khususnya masalah kesehatan. Memelihara lingkungan keluarga
yang mendukung perkembangan keluarga dan anggota keluarga merupakan
sebuah tugas yang berat karena begitu banyak gangguan (biologis, sosiologis,
psikologis dan spiritual) yang dapat mempengaruhi sistem homeostatis
keluarga. Gangguan–gangguan tersebut dipandang sebagai stressor yang
dapat menimbulkan ketegangan bagi keluarga dan anggota keluarga
(Friedman, 1998).
Menurut Friedman (1998) keluarga mempunyai beberapa jenis
dukungan yang dapat digunakan untuk mempertahankan keadaan homeostatis
keluarga dengan anggota keluarga. Fungsi dukungan tersebut terdiri dari:
a. Dukungan informasional/informasi
Pada dukungan informatif keluarga berfungsi sebagai sebuah kolektor
dan disseminator (penyebar) informasi, munculnya suatu stressor karena
informasi yang diberikan dapat menyumbangkan aksi sugesti yang khusus
pada individu dalam menanggulangi persoalan-persoalan yang dihadapi.
Aspek-aspek dalam dukungan ini adalah nasehat, saran, petunjuk/pengarahan,
ide-ide, atau pemberian informasi lainnya yang dibutuhkan dan dapat
disampaikan (Friedman, 1998).
Menurut House & Smet (1994, dalam Setiadi, 2008) dukungan
disediakan agar dapat digunakan oleh seseorang dalam menanggulangi
persoalan-persoalan yang dihadapi, meliputi pemberian nasehat, pengarahan,
ide-ide atau informasi lainnya yang dibutuhkan.
b. Dukungan penilaian (penghargaan/appraisal)
Keluarga bertindak sebagai sebuah bimbingan umpan balik,
membimbing dan menengahi pemecahan masalah. Terjadi lewat ungkapan
rasa hormat (penghargaan) serta sumber dan validator identitas anggota
keluarga, diantaranya adalah memberikan penghargaan positif dan perhatian
(Friedman, 1998). Penilaian yang positif dan negatif sangat berpengaruh bagi
seseorang. Berkaitan dengan dukungan sosial keluarga maka penilaian yang
sangat membantu adalah penilaian positif (House & Smet, 1994 dalam
Setiadi, 2008).
c. Dukungan instrumental (finansial)
Keluarga merupakan sebuah sumber pertolongan praktis dan nyata,
diantaranya keteraturan menjalani kehidupan, dalam hal kebutuhan makan
dan minum, istirahat, dan terhindarnya seseorang dari kelelahan. Dukungan
ini juga mencakup bantuan langsung, seperti dalam bentuk uang, peralatan,
waktu, modifikasi lingkungan maupun menolong serta menyediakan
peralatan lengkap dan memadai bagi penderita, menyediakan obat yang
dibutuhkan dan lain-lain (Friedman, 1998).
d. Dukungan emosional
Keluarga sebagai tempat yang aman dan damai untuk istirahat dan
menjaga hubungan emosional meliputi dukungan yang diwujudkan dalam
bentuk empati, kepedulian, adanya kepercayaan, perhatian keluarga
(Friedman, 1998).
Menurut House & Smet (1994, dalam Setiadi, 2008) dukungan
emosional mempunyai ciri-ciri antara lain: setiap orang pasti membutuhkan
bantuan afeksi dari orang lain, dukungan ini dapat berupa dukungan simpati
dan empati, cinta, kepercayaan, dan penghargaan. Dengan demikian
seseorang yang menghadapi persoalan merasa dirinya tidak menanggung
beban sendiri tetapi masih ada orang lain yang memperhatikan, mau
mendengar segala keluhan, empati terhadap persoalan bahkan mampu
memecahkan masalah yang dihadapinya.
2.1.6 Dukungan keluarga pada pasien HIV/AIDS
Dukungan keluarga mempunyai efek terhadap kesehatan dan
kesejahteraan. Secara lebih spesifik, keberadaan dukungan keluarga yang
adekuat terbukti berhubungan dengan menurunnya mortalitas, lebih mudah
sembuh dari sakit, fungsi kognitif, fisik, dan kesehatan emosi. Disamping itu,
pengaruh positif dari dukungan keluarga adalah penyesuaian terhadap
kejadian dalam kehidupan yang penuh stres (Setiadi, 2008).
Dukungan keluarga sangat diperlukan pada pasien HIV (Nursalam,
2007). Respon psikologis pasien terhadap hasil tes yang sero positif dapat
mencakup perasaan panik, depresi dan putus asa. Oleh karena itu pasien
memerlukan dukungan baik finansial, medis dan psikologis (Smeltzer, 2005).
paling dekat dengan pasien. Keluarga menjadi unsur penting dalam kehidupan
karena keluarga merupakan suatu sistem yang didalamnya terdapat anggota
keluarga yang saling berhubungan dan ketergantungan. Individu yang
termasuk dalam memberikan dukungan meliputi pasangan (suami/istri),
orangtua, anak, dan sanak keluarga (Friedman, 1998 dalam Nursalam, 2007).
Sebagai satu diantara fungsi pertalian/ikatan sosial, segi fungsional
keluarga pada pasien HIV mencakup dukungan emosional, mendorong adanya
ungkapan perasaan positif (dukungan penghargaan), memberi nasihat atau
informasi (dukungan informasi), pemberian bantuan material (dukungan
instrumental/finansial) (Smet, 1994 dalam Nursalam, 2007).
Gallant (2010) menambahkan dukungan keluarga juga berupa
perhatian keluarga dalam mengatur gaya hidup pasien HIV/AIDS.
Diantaranya (1) menghindari makanan yang diolah setengah matang atau
mentah seperti daging, telur, susu dan lain-lain, (2) makan buah dan sayur
segar setiap hari, (3) konsumsi vitamin, (4) minum air putih yang sudah
dimasak, (5) tidak mengkonsumsi alkohol dan rokok, (5) berolahraga, (6) dan
selalu menjaga kebersihan diri dan lingkungan untuk mengurangi infeksi
akibat imun yang semakin menurun.
Faktor yang berhubungan dengan depresi adalah dukungan sosial
(social support) yang tersedia bagi individu bila berhadapan dengan stres. Ada
bukti bahwa individu yang memiliki keluarga dan teman-teman yang akrab
individu yang memperoleh dukungan sosial kecil kemungkinan akan
mengalami depresi (Semiun, 2010).
Dukungan keluarga sangat dibutuhkan oleh pasien HIV/AIDS sebagai
support system atau sistem pendukung yang utama sehingga ia dapat
mengembangkan respon atau koping yang efektif untuk beradaptasi dengan
baik dalam menangani stressor yang ia hadapi terkait penyakitnya baik fisik,
psikologis, maupun sosial (Lasserman & Perkins, 2001 dalam Kusuma, 2011).
Khairurahmi (2009) menambahkan dukungan keluarga berpengaruh pada
pemanfaatan fasilitas kesehatan pada pasien HIV/AIDS.
2.2 Konsep Depresi
2.2.1 Pengertian Depresi
Depresi merupakan kesakitan yang menghancurkan sehingga dapat
mempengaruhi seluruh tubuh baik fisik, emosi, maupun spiritual (Purba,
Wahyuni & Daulay, 2008). Depresi menurut Hawari (2011) adalah gangguan
alam perasaan (mood) yang ditandai dengan kemurungan dan kesedihan yang
mendalam dan berkelanjutan sehingga hilangnya kegairahan hidup, tidak
mengalami gangguan dalam menilai realitas, kepribadian tetap utuh, dan
perilaku dapat terganggu tetapi dalam batas-batas normal. Sedangkan
menurut Stuart (2006) depresi atau melankolia adalah suatu kesedihan atau
perasaan duka yang berkepanjangan.
2.2.2 Faktor Penyebab Depresi
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perkembangan depresi
1. Faktor biologis. Berdasarkan faktor biologis, faktor genetik menjadi
penyebab timbulnya depresi. Depresi lebih sering terjadi pada orang yang
mempunyai riwayat trauma, kekerasan seksual, kekerasan fisik, cacat fisik
dan penyakit kronis.
2. Faktor psikososial. Berdasarkan faktor psikososial, terdapat empat kategori
yang berpotensi menyebabkan depresi, yaitu: stress, perasaan tidak
berdaya dan kehilangan harapan, pertahanan yang ekstrim melawan stres
dan pengaruh hubungan interpersonal dari gangguan afektif. Stres dengan
faktor pencetus karena depresi biasanya terjadi karena adanya stressor.
3. Faktor sosiokultural. Hasil penelitian yang dilakukan menyebutkan bahwa
depresi sering terjadi pada kelompok masyarakat non industrialis karena
kehidupan mereka yang cenderung lebih miskin.
4. Faktor Kognitif
Pendekatan kognitif memberikan sudut pandang lain terhadap gangguan
suasana hati (Alford & Beck, 2006, dalam King, 2010). Individu-individu
yang depresi jarang memiliki pikiran yang positif. Mereka memaknai
hidup mereka dalam cara-cara memukul diri sendiri dan memiliki harapan
negatif tentang masa depan mereka (Gilbert, 2001 dalam King, 2010).
Psikiater Aaron Beck (1976, dalam King 2010) percaya bahwa
pikiran-pikiran negatif tersebut menggambarkan skema-skema yang membentuk
pengalaman hidup individu yang depresi. Kebiasaan menghasilkan
negatif dari individu-individu yang depresi (Kuyken & Beck, 2007 dalam
King, 2010).
Berikut ini faktor predisposisi depresi menurut Tomb (2003): (a)
kehilangan besar pada masa kanak-kanak misal orang tua, (b) baru saja
mengalami kehilangan misal: sakit, kehilangan pekerjaan, dan pasangan, (c)
stres kronis misal gangguan medis, (d) kerentanan psikiatrik misal gangguan
kepribadian histrionik, kompulsif, dependen, penyalahgunaan obat dan
alkohol.
Sedangkan menurut Stuart (2006) faktor resiko depresi antara lain: (a)
adanya episode depresi sebelumnya, (b) riwayat keluarga dengan depresi, (c)
percobaan bunuh diri sebelumnya, (c) jenis kelamin wanita, (d) usia awitan
depresi <40 tahun, (e) kurang dukungan sosial, (f) stres, dan (g)
penyalahgunaan zat.
2.2.3 Rentang respon emosional
Ekspresi emosi dalam rentang sehat sakit dalam Stuart (2006) adalah
sebagai berikut: (1) respon emosional: berperan aktif didalam dunia internal
dan eksternal seseorang dan sadar akan perasaannya, (2) reaksi berduka tak
terkomplikasi: terjadi sebagai respon terhadap kehilangan dan tersirat bahwa
seseorang sedang menghadapi suatu kehilangan yang nyata serta terbenam
dalam proses berduka, (3) supresi emosi: tampak sebagai penyangkalan
(denial) terhadap perasaan sendiri, pelepasan dari keterikatan dengan emosi,
(4) penundaan reaksi berduka: ketidakadaan yang persisten respon emosional
perasaan duka yang berkepanjangan dan (6) mania: elevasi alam perasaan,
berkepanjangan dan mudah tersinggung.
Rentang respon emosional dapat dilihat pada gambar 2.1 di bawah ini:
Respon Adaptif Respon Maladaptif
2.2.4 Klasifikasi Depresi
Menurut King (2010) gangguan dalam suasana hati dapat meliputi
gejala-gejala kognitif, perilaku, dan somatik (fisik), seperti juga kesulitan
interpersonal. Dua tipe utama gangguan suasana hati adalah gangguan
depresif dan gangguan bipolar.
a. Gangguan depresif (depressive disorders): gangguan suasana hati dimana
individu menderita depresi (situasi kurangnya kegembiraan dalam hidup
yang berkepanjangan). Tingkat keparahan gangguan depresi bervariasi:
1) Gangguan depresif mayor (major depressive disorder-MDD):
melibatkan episode depresi utama dan karakteristik depresi seperti
tidak bersemangat dan ketidakberdayaan, setidaknya selama 2
minggu. Gangguan depresif mayor menyebabkan fungsi sehari-hari
individu menjadi terganggu.
Sembilan gejala yg mencirikan episode depresi utama
(diantaranya harus muncul minimal 5 gejala dalam waktu 2 minggu):
Kurangnya minat atau kesenangan pada semua atau sebagian
aktivitas, c) Berkurangnya atau meningkatnya berat badan secara
signifikan atau penurunan minat makan, d) Kesulitan tidur atau tidur
terlalu banyak, e) Agitasi psikomotor atau kemunduran dalam
psikomotorik, f) Kelelahan atau kehilangan energi, g) Perasaan tidak
berharga atau bersalah yang tidak tepat atau berlebihan, h)
Permasalahan dalam proses berpikir, berkonsentrasi atau membuat
keputusan, i) Pikiran berulang tentang kematian dan bunuh diri.
2) Gangguan depresif distimik (dystymic disorder-DD): gangguan
depresi yang biasanya lebih kronis dan disertai gejala depresi lebih
sedikit dibandingkan dengan gangguan depresi mayor. Individu
biasanya dalam suasana hati terdepresi pada kebanyakan hari selama
setidaknya 2 tahun pada dewasa atau setidaknya 1 tahun sebagai
anak atau remaja. Untuk diklasifikasikan mengidap dystymic
disorder, individu harus tidak memiliki episode depresif mayor, dan
selama 2 tahun periode depresi harus tidak boleh terinterupsi oleh
periode suasana hati yang normal selama lebih dari 2 bulan. Dua
atau lebih dari 6 gejala ini harus muncul: nafsu makan kurang atau
makan berlebihan, masalah dalam tidur, energi rendah atau
kelelahan, harga diri rendah, konsentrasi buruk atau sukar
mengambil keputusan, dan perasaan tidak berdaya (Ryder & Bagby,
b. Gangguan bipolar: sebuah ganguan suasana hati yang ditandai dengan
perubahan suasana hati yang ekstrem yang mencakup satu atau lebih
episode mania (keadaan terlalu bersemangat, optimistis yang tidak
realistis). Kebanyakan gangguan bipolar mengalami siklus berulang dari
depresi yang bergantian dengan mania (King, 2010).
2.2.5 Gejala Depresi
Hawari (2011) menyebutkan ciri kepribadian depresif antara lain:
pemurung, sukar untuk bisa senang, sukar untuk bisa merasa bahagia, pesimis
menghadapi masa depan, memandang diri rendah, mudah merasa bersalah
dan berdosa, mudah mengalah, enggan bicara, mudah merasa haru, sedih dan
menangis, gerakan lamban, lemah, letih, lesu dan kurang energik, sering
mengeluh psikosomatik, mudah tegang, agitatif dan gelisah, serba cemas,
khawatir dan takut, mudah tersinggung, tidak ada kepercayaan diri, merasa
tidak mampu, tidak berguna, merasa selalu gagal dalam usaha, pekerjaan dan
studi, suka menarik diri, pemalu dan pendiam, lebih suka menyisihkan diri,
tidak suka bergaul dan pergaulan sosial sangat terbatas dan lebih senang
berdamai untuk mengindari konflik.
Sedangkan Stuart (2006) membagi gejala depresi dalam 4 klasifikasi:
a. Afektif: kemarahan, ansietas, apatis, kepahitan, kekesalan, penyangkalan
perasaan, kemurungan, rasa bersalah, ketidakberdayaan, keputuasaan,
kesepian, harga diri rendah, kesedihan, dan rasa tidak berharga.
b. Fisiologik: nyeri abdomen, anoreksia, sakit punggung, nyeri dada,
insomnia, kelesuan, perubahan haid, nausea, makan berlebihan, gangguan
tidur, muntah, dan perubahan berat badan.
c. Kognitif: ambivalens, kebingungan, ketidakmampuan berkonsentrasi,
tidak dapat mengambil keputusan, kehilangan minat dan motivasi,
menyalahkan diri sendiri, mencela diri sendiri, pikiran yang dekstruktif
tentang diri sendiri, pesimis, dan ketidakpastian.
d. Perilaku: agresif, agitasi, alkoholisme, perubahan tingkat aktivitas,
kecanduan obat, intoleransi, mudah tersinggung, kurang spontanitas,
sangat tergantung, kebersihan diri kurang, keterbelakangan psikomotor,
isolasi sosial, mudah menangis, kurang mampu mencapai hasil, dan
menarik diri.
2.2.6 Depresi pada pasien HIV/AIDS
Cichocki (2009, dalam Kusuma, 2011) menemukan dalam studinya
bahwa pasien HIV/AIDS sangat rentan mengalami tanda dan gejala depresi
mulai ringan hingga berat dimulai sejak 1 bulan setelah terdiagnosa HIV yang
selanjutnya fluktuatif dan berkembang seiring perjalanan penyakit.
Depresi dapat timbul pada penderita HIV/AIDS yang dapat
disebabkan oleh beberapa hal berikut (Chandra, 2005 dalam Saragih, 2008):
1. Invasi virus HIV ke Susunan Saraf Pusat (SSP), dimana menghasilkan
perubahan neuropatologis pada bangsal ganglia, thalamus, nucleus
batang otak yang menyebabkan disfungsi dan akhirnya akan
2. Efek samping penggunaan obat-obat anti retroviral seperti: evavirenz
interferon, zidovudin.
3. Komplikasi HIV seperti infeksi oportunistik dan tumor intra kranial
4. Pengaruh psikologis yang ditimbulkan setelah diketahui menderita
penyakit tersebut, biasanya penderita mengalami reaksi penolakan dari
pekerjaan, keluarga maupun masyarakat.
Pada ODHA dengan tahap infeksi HIV positif, kondisi fisik yang
tidak stabil dan cenderung menurun diikuti dengan munculnya gejala-gejala
fisik seiring dengan perjalanan penyakit serta tekanan sosial yang begitu
hebat yang didapatkan dari lingkungan dapat menjadi sumber stres yang
dapat menyebabkan ODHA mengalami depresi (Kusuma, 2011).
Berdasarkan pendekatan Psychoneuroimunology dapat dijelaskan
bahwa keadaan stres atau depresi yang dialami pasien HIV/AIDS akan
memodulasi sistem imun melalui jalur HPA (
Hipothalamic-Pituitary-Adrenocorticoid) axis dan sistem limbik (yang mengatur emosi dan learning
process). Kondisi stres tersebut akan menstimulasi hypothalamus untuk
melepaskan neuropeptida yang akan mengaktivasi ANS (Autonomic Nerve
System) dan hypofise untuk mengeluarkan kortikosteroid dan katekolamin
yang merupakan hormon-hormon yang bereaksi terhadap kondisi stres.
Peningkatan kadar glukokortikoid akan mengganggu sistem imunitas, yang
menyebabkan pasien akan semakin rentan terhadap infeksi opportunistik
(Gunawan & Sumadiono, 2007 dalam Kusuma, 2011). Hal tersebut didukung
bahwa ODHA yang mengalami depresi kronis akan mengalami penurunan
yang tajam dalam jumlah sel CD4 selama 2 tahun dibanding ODHA yang
tidak depresi. Hal tersebut akan memperburuk derajat kesehatan fisik pasien.
Stres adalah respon alami dan peringatan pada tubuh manusia yang
memerlukan proses adaptasi. Respon alami ini dapat menjadi gangguan
patologis berlebihan dan tidak terkendali. Menurut Robinson (2003, dalam
Kusuma, 2011), keadaan stres yang berlebihan pada pasien depresi berperan
penting terhadap perkembangan penyakit pada klien HIV (+) yaitu dapat
mempercepat terjadinya replikasi virus dan menekan respon klien sehingga
dapat memperpendek periode HIV (+) tanpa gejala dan mempercepat
perjalanan penyakit menuju AIDS.
Selain itu depresi juga mempengaruhi self care pasien. Depresi
menyebabkan seseorang malas untuk mengikuti regimen pengobatan anti
retrovirus, nafsu makan yang kurang, keengganan berolahraga, dan kesulitan
tidur sehingga dapat memperberat gangguan fisiknya (Holmes et al, 2007
dalam Kusuma, 2011).
2.2.7 Cara Pengukuran Beck Depression Inventory (BDI-II)
Menurut Tomb (2003) skala depresi yang dapat membantu
menemukan keparahan depresi dan dapat digunakan untuk mengukur
perubahan dari waktu ke waktu adalah skala Beck Depression Inventory.
Beck Depression Inventory (BDI-II) merupakan salah satu instrumen yang
dikembangkan untuk menilai status emosional terkait depresi. BDI-II di buat
Inventory (BDI). Instrumen ini pertama kali diterbitkan pada tahun 1961 dan
kemudian mengalami revisi pada tahun 1978 sebagai BDI-1A. Setelah itu
mengalami revisi kembali tahun 1996 menjadi BDI-II dan terstandar untuk
digunakan dalam tes psikologi klinik (VanVoorhis & Blumentritt, 2007).
VanVoorhis & Blumentritt (2007) menyebutkan BDI-II
dikembangkan sejalan dengan kriteria diagnostik yang terdapat dalam
Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition
(DSM-IV; American Psychiatric Association, 1994). BDI-II berisi 21 item
pernyataan gejala depresi yang dirasakan selama 2 minggu dengan
menggunakan skala likert. Masing-masing item dinilai dengan 4
pengkategorian yaitu 0 sampai 3. Total skor berkisar 0-63. Semakin tinggi
skor mencerminkan tingkat keparahan depresi yang lebih besar. Pincus, et al
(2000, dalam Saragih, 2008) mengemukakan interpretasi dari nilai-nilai
keparahan BDI-II oleh Beck yaitu tidak depresi (0-9), depresi ringan (10-16),
depresi sedang (17-29), dan depresi berat (30-63).
BDI-II menunjukkan reliabilitas tes ulang 0.93. Tes ini juga memiliki
konsistensi internal yang baik. Perkiraan konsistensi internal alpha 0.93 untuk
sampel mahasiswa dan 0.92 pasien rawat jalan. Menggunakan koefisien alpha
konsistensi internal dari BDI-II adalah 0.90. Tingkat ini sesuai dengan
penelitian sebelumnya yang menunjukkan berbagai koefisien alpha antara
2.3 Konsep HIV/AIDS
2.3.1 Pengertian HIV/AIDS
Human Immunodeficiency Virus (HIV) merupakan virus yang
menyerang sistem kekebalan tubuh. Perjalanan infeksi HIV di dalam tubuh
menyerang sel Cluster of Differentiation 4 (CD4) sehingga terjadi penurunan
sistem pertahanan tubuh. Replikasi virus yang terus menerus mengakibatkan
semakin berat kerusakan sistem kekebalan tubuh dan semakin rentan terhadap
infeksi oportunistik (IO) sehingga akan berakhir dengan kematian (Smeltzer
& Bare, 2005).
Accuired Immune Deficiency Syndrome (AIDS) merupakan suatu
kumpulan kondisi klinis atau gejala yang timbul akibat menurunnya sistem
kekebalan tubuh manusia, yang disebabkan oleh HIV. AIDS merupakan tahap
akhir dari infeksi HIV, dimana perjalanan HIV akan berlanjut menjadi AIDS
membutuhkan waktu sekitar 10 sampai 13 tahun. Indikator penyakit ini
adalah limfosit CD4+ kurang dari 200/µl (baik simtomatik maupun
asimtomatik) akan mengalami imunosupresi yang berat dan berisiko tinggi
terjangkit keganasan dan infeksi oportunistik (Price & Wilson, 2005).
Menurut Kemenkes RI (2012) kasus AIDS yang dilaporkan 66,8%
berjenis kelamin laki-laki dan 32,9% perempuan. Proporsi kasus AIDS di
Indonesia tertinggi dilaporkan pada kelompok umur 20-29 tahun yaitu 42,3%,
30-39 tahun 33,1%, 40-49 tahun 11,4%, 15-19 tahun 4%, dan yang berumur
Penyakit HIV/AIDS telah menimbulkan berbagai masalah yang cukup
luas pada individu yakni meliputi masalah fisik, sosial, dan emosional
(Smeltzer & Bare, 2005). Masalah secara fisik terjadi akibat penurunan daya
tahan tubuh progresif yang mengakibatkan ODHA rentan terhadap berbagai
penyakit terutama penyakit infeksi oportunistik dan keganasan (Price &
Wilson, 2005). Manifestasi klinis dalam bentuk keganasan dan infeksi
oportunistik yang khas meliputi:
1) Keganasan: Sarkoma Kaposi (SK), Limfoma Maligna, Kanker Serviks
Invasive, Mieloma Multiple, Leukimia Limfositik akut sel B, Karsinoma
2) Infeksi: Pneumonia Pneumocystis carinii (PPC), Cryptosporidium,
Microsporidium, Isospora Belli menginfeksi saluran cerna, Myobacterium
Tuberculosis, Kandiidasis, Kriptokokosis, Virus Herpes Simpleks (Price &
Wilson, 2005).
Infeksi oportunistik yang menyertai di Indonesia tercatat sejak tahun
2007 sampai September 2012 tertinggi yaitu tuberkulosis 3.874 kasus,
kandidiasis 3.593 kasus, dan diare 3.356 kasus (Kemenkes RI, 2012).
2.3.2 Etiologi
HIV yang dahulu disebut virus limfotrofik sel T manusia tipe III
(HTVL-III/ human T Cell Limfadenopati virus tipe III) atau virus
limfadenopati (LAV) adalah suatu retrovirus manusia sitopatik dari famili
lentivirus. Retrovirus mengubah asam ribonukleatnya (RNA) menjadi asam
deoksiribonukleat (DNA) setelah masuk kedalam sel panjamu. HIV 1 dan
diseluruh dunia (Price & Wilson, 2005). Menurut Smeltzer & Bare (2005)
penyebab AIDS adalah virus HIV.
Murtiastutik (2008) menambahkan walaupun sudah jelas dinyatakan
bahwa HIV sebagai penyebab AIDS, tetapi asal-usul virus ini masih belum
diketahui secara pasti. Mula-mula dunamakan Lymphadenopathy Associated
Virus (LAV). HIV adalah retrovirus yang mampu mengkode enzim khusus,
reverse transcriptase, yang memungkinkan DNA ditranskripsi dari RNA.
Sehingga HIV dapat menggandakan gen mereka sendiri, sebagai DNA, di
dalam sel inang (hospes=host) seperti limfosit helper CD4. DNA virus
bergabung dengan gen limfosit dan hal ini adalah dasar dari infeksi kronis
HIV. Penggabungan gen virus HIV pada sel inang merupakan rintangan
untuk pengembangan antivirus terhadap HIV.
2.3.3 Cara Penularan HIV
Penularan HIV hanya terjadi bila melewati empat jalur, yaitu: (1)
hubungan seksual, (2) melalui darah atau transfusi darah, (3) Jarum kotor:
penggunaan narkoba suntik, alat medis dan tusuk lain seperti tato, pisau cukur
dan lain-lain yang sudah tercemar HIV, dan (3) melalui seorang ibu pada
janinnya dalam kandungan atau bayi yang disusui (Smeltzer & Bare, 2005).
Cara penularan yang terbanyak adalah hubungan seks yang tidak
aman pada heteroseksual 81,9%, penggunaan jarum suntik tidak steril pada
penasun 7,2%, dari ibu (positif HIV) ke anak 4,6% dan LSL (lelaki seks
lelaki) 2,8% (Kemenkes RI, 2012). Sampai saat ini juga belum terbukti
merawat pasien, atau kontak biasa (seperti bersalaman, bersentuhan,
berpelukan) dalam keluarga, sekolah, kolam renang, WC umum, atau tempat
kerja dengan penderita AIDS (Sudoyo, dkk , 2007 dalam Kusuma, 2011).
Cairan tubuh yang paling banyak mengandung HIV adalah air mani
(semen), cairan vagina/serviks, dan darah sehingga penularan utama HIV
adalah melalui 4 jalur yang melibatkan cairan tubuh tersebut:
a. Jalur hubungan seksual (homoseksual/heterseksual)
b. Jalur pemindahan darah atau produk seperti transfusi darah, alat suntik,
alat tusuk tato, tindik, alat bedah, dokter gigi, alat cukur, dan melalui luka
kecil di kulit (termasuk lesi mikro).
c. Jalur transplantasi alat tubuh
d. Jalur transplasental, janin dalam kandungan ibu hamil dengan infeksi
HIV dan infeksi perinatal (Murtiastutik, 2008).
2.3.4 Perjalanan penyakit HIV/AIDS
Sel tubuh manusia yang pertama diserang oleh virus HIV adalah CD4
yaitu limfosit dalam tubuh manusia yang berfungsi sebagai pertahanan tubuh
terhadap kuman penyakit. Bila jumlah dan fungsi CD4 berkurang, maka
sistem kekebalan orang yang bersangkutan akan rusak, sehingga mudah
dimasuki dan diserang oleh berbagai kuman penyakit. Setelah terinfeksi
jumlah limfosit CD4 akan berkurang (Djoerban, 2000).
Menurut Murtiastutik (2008) perjalanan HIV melalui beberapa
a. Infeksi HIV akut: disebut sebagai infeksi primer HIV atau sindrom
serokonversi akut. Antara 40-90% infeksi baru HIV memberikan keluhan.
Waktu dari paparan virus sampai timbulnya keluhan antara 2-4 minggu.
Beberapa akan menunjukkan keluhan seperti demam pada influenza yang
antara lain: demam, keluar ruam merah dikulit, arthralgia, nyeri otot, sakit
kepala, nyeri telan, badan lesu dan limfadenopati. Kadang-kadang
terdapat sindrom neurologi akut yang biasanya sembuh sendiri.
Gejala-gejalanya seperti meningitis aseptis, neuropati perifer, ensefalitis, dan
mielitis. Tes serologi standar untuk antibody terhadap HIV masih
memberikan hasil negatif. Tes serologi memberikan hasil positif pada
4-12 minggu setelah infeksi.
b. Infeksi seropositif HIV asimtomatis: pada orang dewasa terdapat periode
laten infeksi HIV yang bervariasi dan lama untuk timbulnya penyakit
yang terkait HIV dan AIDS. Seseorang yang terinfeksi HIV bisa tidak
mengalami keluhan apa pun selama 10 tahun atau lebih. Pada anak-anak
masa infeksi asimtomatis ini lebih pendek daripada orang dewasa.
Beberapa bayi menjadi sakit dalam beberapa minggu pertama.
Kebanyakan anak-anak menjadi sakit sebelum usia 2 tahun. Sebagian
kecil bisa tetap sehat untuk beberapa tahun kemudian pada masa ini,
meskipun penderita tidak nampak keluhan apa-apa, tetapi bila diperiksa
darahnya akan menunjukkan seropositif. Hal ini akan sangat berbahaya
c. Persisten Generalized Lymphadenophaty/PGL: pada masa ini ditemukan
pembesaran limfonodi yang meliputi sedikitnya dua tempat selain
limfonodi inguinal dan tidak ada penyakit lain atau pengobatan yang
menyebabkan pembesaran limfonodi. Pada saat ini, jaringan limfe
berfungsi sebagai tempat penampungan utama HIV. PGL terjadi pada
sekitar sepertiga orang yang terinfeksi HIV tanpa gejala. Pembesaran
limfonodi menetap, menyeluruh, simetris dan tidak nyeri tekan. Pada
kondisi ini hasil biopsi pembesaran limfonodi akan memberikan
gambaran hiperplasia reaktif yang tidak spesifik. Bila pada pembesaran
limfonodi terdapat gejala konstitusional, nyeri tekan, asimetri, mandadak
dan adanya limfadenopati menyeluruh/generalisata, maka perlu
pemeriksaan biopsi untuk mengetahui penyebab lainnya.
Progresivitas infeksi HIV tergantung pada karakteristik virus dan
hospes. Karakteristik virus meliputi tipe dan subtipe virus: HIV-1 dan
beberapa subtype HIV-1 menyebabkan progresivitas lebih cepat.
Karakteristik hospes yang bisa menyebabkan progresivitas yang lebih cepat
antara lain: usia < 5 tahun atau > 40 tahun, infeksi yang menyertai, faktor
genetik. Bersamaan dengan progesivitas infeksi HIV dan penurunan imunitas,
penderita menjadi lebih rentan infeksi. Menurut Price & Wilson (2005) hitung
limfosit CD4+ turun yaitu kurang dari 200/µl sebagai kriteria tunggal untuk
diagnosis AIDS, apapun kategori klinisnya baik simtomatik maupun
2.3.5 Perkembangan klinis dan manifestasi
Menurut Price & Wilson (2005) infeksi HIV primer akut yang
lamanya 1-2 minggu pasien akan merasakan seperti flu, saat fase supresi imun
simptomatik (3 tahun) pasien akan mengalami demam, keringat di malam
hari, penurunan berat badan, diare, neuropati, keletihan, ruam kulit,
limfadenopati, penurunan kognitif dan lesi oral.
WHO menetapkan kriteria diagnosis HIV/AIDS apabila terdapat dua
gejala mayor dan satu gejala minor di bawah ini (Murtiastutik, 2008):
a. Gejala Mayor: penurunan berat badan > 10% berat badan, diare kronis >1
bulan, demam >1 bulan, kesadaran menurun dan gangguan neurologis
demensia
b. Gejala Minor: batuk >1 bulan, pruritus dermatitis menyeluruh, infeksi
umum yang rekuren, kandidiasis orofaringeal, infeksi herpes simpleks
yang meluas atau menjadi kronik progresif, limfadenopati generalisata.
2.3.6 Pemeriksaan Lab
Uji khas yang digunakan untuk mendeteksi antibodi terhadap HIV
adalah:
1. Enzyme linked immunosorbent assay (ELISA), Bereaksi terhadap adanya
antibodi dalam serum yang memperlihatkan warna yang lebih jelas
apabila terdeteksi antibodi virus dalam jumlah besar. Karena hasil
positif-palsu dapat menimbulkan dampak psikologis yang besar, maka hasil uji
ELISA yang positif diulang, dan apabila keduanya positif maka dilakukan
2. Uji Western blot juga dikonfirmasi dua kali. Uji ini lebih kecil
kemungkinannya memberi hasil positif-palsu atau negatif palsu
(Martuastik, 2008). Saat Elisa dan Western blot bereaksi lemah dan agak
mencurigakan. Hal ini dapat terjadi pada awal infeksi HIV.
2.3.7 Pengobatan pasien HIV/AIDS
Antiretrovirus (ARV) yang ditemukan pada tahun 1996, mendorong
suatu revolusi dalam perawatan penderia HIV/AIDS. Meskipun belum mampu
menyembuhkan penyakit dan menambah tantangan dalam hal efek samping
dan resistensi, obat ini secara dramatis menunjukkan penurunan angka
mortalitas dan morbiditas akibat HIV/AIDS (Murtiastutik, 2008). Pemberian
ARV bergantung pada tingkat progresifitas penyakit, yang dapat dinilai
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL 3.1 Kerangka Konsep
Kerangka konsep penelitian dibuat berdasarkan studi kepustakaan
yang dikembangkan dari teori Friedman (1998) yang menjelaskan bahwa
dukungan keluarga terdiri dari empat dukungan yaitu dukungan informasi,
penilaian (penghargaan/appraisal), instrumental (finansial) dan emosional.
Sedangkan konsep depresi berdasarkan kumpulan gejala depresi yang dinilai
berdasarkan kuesioner Beck Depression Inventory-II (BDI-II), dengan
interpretasi nilai keparahan adalah tidak depresi, depresi ringan, sedang, dan
berat (Beck, 1996).
Penelitian ini mengamati hubungan dukungan keluarga dengan tingkat
depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus RSUP Haji Adam
Malik Medan. Adapun secara skematis kerangka konsep penelitian ini dapat
dilihat pada skema 3.1 berikut ini:
Variabel Independen Variabel Dependen
Tingkat Depresi:
- Tidak depresi - Ringan - Sedang - Berat
Gambar 3.1 Kerangka Konsep Penelitian Hubungan Dukungan Keluarga dengan Tingkat Depresi Pasien HIV/AIDS
Dukungan Keluarga:
3.2 Defenisi Operasional emosional kepada pasien HIV/ AIDS di Poliklinik Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan untuk membantu diri sendiri, mengkritik diri sendiri, keinginan bunuh diri, menangis, gelisah, tidak bertenaga, masalah tidur, merasa hidup tidak berharga, tidak nafsu makan, tidak ada minat terhadap aktivitas, dan tidak dapat berkonsentrasi yang dialami pasien HIV/AIDS di Poliklinik Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan
BAB IV
METODOLOGI PENELITIAN 4.1 Desain Penelitian
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif korelatif (Setiadi,
2013), dengan pendekatan cross sectional study yaitu peneliti melakukan
observasi atau pengukuran variabel pada satu saat tertentu (Sastroasmoro,
2010). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hubungan dukungan
keluarga dengan tingkat depresi pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus
RSUP Haji Adam Malik Medan tahun 2013.
4.2 Populasi dan Sampel
4.2.1 Populasi
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh pasien HIV/AIDS yang
menjalani rawat jalan di poliklinik Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus)
RSUP Haji Adam Malik Medan. Berdasarkan laporan poliklinik Pusyansus
RSUP Haji Adam Malik Medan, jumlah pasien selama satu tahun terakhir
(April 2012 – April 2013) sebanyak 681 orang.
4.2.2 Sampel
Besarnya sampel dalam penelitian menggunakan rumus dari Arikunto
(2006) yaitu 10% dari populasi. Sehingga jumlah sampel dalam penelitian ini
adalah 68 pasien.
4.2.3 Cara Pengambilan Sampel
nonprobability sampling jenis accidental sampling (Notoatmodjo, 2010),
dengan kriteria sampel sebagai berikut:
a. Seluruh pasien HIV/AIDS di Pusat Pelayanan Khusus (Pusyansus) RSUP
Haji Adam Malik Medan yang tinggal serumah dengan keluarga inti (ayah,
ibu, suami, istri, anak, kakak/adik kandung)
b. Pasien terdiagnosa positif HIV/AIDS sejak minimal 1 bulan yang lalu
c. Bersedia berpartisipasi dalam penelitian dan kooperatif
4.3 Lokasi dan Waktu Penelitian
4.3.1 Lokasi
Penelitian ini dilakukan di poliklinik Pusat Pelayanan Khusus
(Pusyansus) RSUP Haji Adam Malik Medan.
4.3.2 Waktu Penelitian
Penelitian dilakukan pada Maret 2013 sampai Januari 2014.
4.4 Pertimbangan Etik
Penelitian ini dilakukan setelah mendapat izin dari Komisi Etik
Penelitian Kesehatan Fakultas Keperawatan Universitas Sumatera Utara dan
Direktur RSUP Haji Adam Malik Medan. Setelah mendapat izin dalam
pengumpulan data, maka dilakukan pendekatan kepada responden dan
menjelaskan maksud dan tujuan penelitian. Menurut Nursalam (2009), ada
pertimbangan etik yang perlu diperhatikan pada penelitian ini yaitu: 1) Self
Determination, peneliti memberi kebebasan kepada responden untuk
menentukan apakah bersedia atau tidak untuk mengikuti kegiatan penelitian
yang diambil tidak berdampak pada kualitas pelayanan kesehatan yang akan
diterima. 2) Informed Consent, peneliti menanyakan kesediaan menjadi
responden setelah peneliti memperkenalkan diri, menjelaskan tujuan, dan
manfaat penelitian. Jika responden bersedia menjadi peserta penelitiaan maka
responden diminta menandatangani lembar persetujuan, 3) Anonymity,
penelitian tidak mencantumkan nama lengkap responden pada lembar
pengumpulan data, namun hanya memberikan kode pada masing-masing
lembar persetujuan tersebut, 4) Confidentiality, penelitian menjamin
kerahasiaan informasi responden dan kelompok tertentu yang dilaporkan
sebagai hasil penelitian.
4.5 Instrumen Penelitian
Alat pengumpulan data yang digunakan berupa kuesioner yang terdiri
dari 3 bagian yaitu:
a. Bagian A, yang berisi data demografi dan sebagai kuesioner pembuka.
Data demografi ini berupa karakteristik responden meliputi: kode
responden, usia, jenis kelamin, agama, suku, status pernikahan, tingkat
pendidikan, pekerjaan, penghasilan keluarga per bulan, lama menderita
penyakit, dan golongan darah.
b. Bagian B, merupakan kuesioner dukungan keluarga. Kuesioner dukungan
keluarga disusun sendiri oleh peneliti berdasarkan teori dukungan keluarga
oleh Friedman (1998) untuk menilai dukungan keluarga pasien HIV/AIDS.
Kuesioner ini terdiri dari 20 pernyataan yang mewakili 4 subvariabel
Adapun uraian dari tiap pernyataan adalah sebagai berikut:
a. Pernyataan 1 s/d 5: tentang dukungan informasi keluarga dengan
pernyataan positif berjumlah 4 yaitu soal no 1, 2, 3, 5 dan pernyataan
negatif berjumlah 1 yaitu soal no 4.
b. Pernyataan 6 s/d 10: tentang dukungan penghargaan (penilaian)
keluarga dengan pernyataan positif berjumlah 4 yaitu soal no 7, 8, 9,
10 dan pernyataan negatif berjumlah 1 yaitu soal no 6.
c. Pernyataan 11 s/d 15: tentang dukungan instrumental (finansial)
keluarga dengan pernyataan positif berjumlah 4 yaitu soal no 11, 12,
13, 15 dan pernyataan negatif berjumlah 1 yaitu soal no 14.
d. Pernyataan 16 s/d 20: tentang dukungan emosional keluarga dengan
pernyataan positif berjumlah 5 yaitu soal nomor 16, 17, 18, 19, dan 20.
Penilaian menggunakan skala Likert dalam alternatif jawaban yaitu
tidak pernah (TP), kadang-kadang (KD), sering (SR), dan selalu (SL).
Setiap jawaban akan diberi skor TP= 1, KD= 2, SR= 3, SL= 4 untuk item
penyataan positif dan sebaliknya TP= 4, KD=3, SR=2, SL=1 untuk
pernyataan negatif. Skor total berentang antara terendah 20 dan tertinggi
80. Semakin tinggi jumlah skor maka dukungan makin tinggi berdasarkan
rumus statistik Sudjana (2002):
Menurut Sudjana (2002) dimana P merupakan panjang kelas, dengan
rentang (nilai maksimal-nilai minimal) yaitu 80-20 = 60 dan banyak kelas P = rentang
banyak kelas
untuk dukungan keluarga dibagi menjadi kurang, cukup dan baik. Maka
diperoleh panjang kelas 20. Maka P = 20 menjadi nilai terendah sebagai
batas bawah kelas interval pertama, sehingga dukungan keluarga
dikategorikan atas kelas interval sebagai berikut: 20-39= kurang, 40-59=
cukup dan 60-80= baik.
c. Bagian C kuesioner depresi untuk mengukur kejadian depresi
menggunakan kuesioner Beck’s Depression Inventory II (BDI-II) (Beck,
1996) yang terdiri dari 21 item pernyataan. Tiap pernyataan mengkaji
tanda gejala depresi selama 2 minggu terakhir. Setiap item pernyataan
terdapat 4 pilihan jawaban dengan skor keparahan simptom tidak ada atau
ringan (nilai 0) sampai ke berat (nilai 3) diberikan untuk setiap jawaban
dan kemudian skor total dibandingkan dengan kunci untuk menentukan
keparahan depresi itu (Beck, 1996). Nilai keparahan depresi dibuat dengan
menyimpulkan nilai-nilai dari pokok-pokoknya. Pengkategorian skor
merujuk pada ketentuan kuesioner BDI II yaitu 0-9: tidak depresi, 10-16:
menunjukkan depresi ringan, 17-29: menunjukkan depresi sedang, dan
30-63: menunjukkan depresi berat (Pincus, et al, 2000 dalam Saragih, 2008).
4.6 Uji Validitas dan Reliabilitas Instrumen
Prinsip penyusunan instrumen penelitian adalah validitas (kesahihan)
dan reliabilitas (keandalan). Validitas (kesahihan) adalah menyatakan apa
yang seharusnya diukur dan reliabilitas (keandalan) adalah adanya suatu
kesamaan hasil apabila pengukuran dilaksanakan oleh orang yang berbeda
Kuesioner Beck’s Depression Inventory II (BDI-II) merupakan
instrumen baku yang disusun oleh Aaron T Beck (1996) dan peneliti tidak
melakukan uji validitas dan reliabilitas. Kuesioner BDI-II dalam bentuk
bahasa Inggris diterjemahkan oleh lembaga bahasa American-Indonesian
Exchange Foundation EDUCATIONAL ADVISING SERVICE. Prosedur
menerjemahkan kuesioner BDI-II melalui 2 tahapan. Tahap pertama yaitu
menerjemahkan kuesioner asli BDI-II dari bahasa Inggris ke dalam bahasa
Indonesia. Selanjutnya tahap kedua yaitu kuesioner BDI-II dalam bahasa
Indonesia tersebut diperiksa oleh dosen yang berkompeten dan ahli
dibidangnya lalu diterjemahkan kembali ke dalam bahasa Inggris untuk
melihat keakuratan terjemahan. Setelah hasil terjemahan akurat, barulah
peneliti menggunakan hasil terjemahan kuesioner BDI-II tersebut.
Sedangkan kuesioner dukungan keluarga dilakukan uji validitas dan
reliabilitas. Uji validitas yang dilakukan pada pengujian ini adalah validitas
isi yang dapat dicapai jika pernyataan dalam alat ukur dapat mengukur apa
yang ingin diukur (Polit & Beck, 2003). Kuesioner telah divalidasi oleh dosen
yang berkompeten dan ahli dalam bidangnya dengan nilai Content Validity
Indeks (CVI) 0.887.
Untuk mengetahui kepercayaan (reliabilitas) instrumen dukungan
keluarga maka dilakukan uji reliabilitas. Dalam penelitian ini menggunakan
uji reliabilitas dengan uji Cronbach Alpha. Instrumen dukungan keluarga
diuji 16 Agustus 2013 pada 30 responden di poliklinik Pusyansus yang