• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II LANDASAN TEORETIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB II LANDASAN TEORETIS"

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

1 A. Peradilan Agama

1. Pengertian Sengketa

Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, sengketa adalah segala sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat, pertikaian atau perbantahan.1 Kata sengketa, perselisihan, pertentangan di dalam Bahasa Inggris sama dengan

“conflict” atau “dispute”.2 Keduanya mengandung pengertian tentang adanya perbedaan kepentingan diantara kedua belah pihak atau lebih, tetapi keduanya dapat dibedakan. Kosa kata “conflict” dalam Bahasa Indonesia diserap menjadi konflik, sedangkan kosa kata “dispute” diterjemahkan dengan kata sengketa. Konflik atau sengketa adalah sesuatu yang menyebabkan perbedaan pendapat antara dua pihak atau lebih yang berselisih perkara dalam pengadilan.3

Konflik atau sengketa terjadi juga karena adanya perbedaan persepsi yang merupakan penggambaran tentang lingkungan yang dilakukan secara sadar yang didasari pengetahuan yang dimiliki seseorang, lingkungan yang dimaksud adalah lingkungan fisik maupun sosial. Sebuah konflik berkembang menjadi sengketa bila pihak yang merasa dirugikan telah menyatakan rasa tidak puas atau keprihatinannya, baik secara langsung kepada pihak yang dianggap sebagai penyebab kerugian atau pihak lain. 4

Pertikaian atau sengketa, keduanya adalah yang dipergunakan secara bergantian dan merupakan terjemahan dari “dispute”. John G. Merrils memahami persengketaan sebagai terjadinya perbedaan pemahaman akan suatu keadaan atau obyek yang diikuti oleh pengklaim oleh satu pihak dan penolakan di pihak lain.

1 Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Penerbit Balai Pustaka, 1990), 643.

2 John.M. Echlos dan Hasan Shadily, Kamus Inggris Indonesia dan Indonesia Inggris, (Jakarta: Gramedia, 1996), 138.

3 Sudarsono, Kamus Hukum, Cetakan ke-3, (Jakarta: Rineka Cipta, 2002), 433.

4 Koentjaraningrat, Kebudayaan Metaliteit dan Pembangunan, (Jakarta: Gramedia, 1982), 103.

(2)

Karena itu, sengketa internasional adalah perselisihan yang tidak secara eksklusif melibatkan negara, dan memiliki konsekuensi pada lingkup internasional. 5

2. Pengertian Kompetensi

Kata “kekuasaan” sering disebut juga dengan “kompetensi”, yang berasal dari bahasa Belanda competentie, yang diterjemahkan dengan kewenangan atau kekuasaan untuk menentukan atau memutuskan sesuatu.6

Adapun Kompetensi Peradilan Agama dapat dirumuskan sebagai : Kekuasaan negara dalam menerima, memeriksa, mengadili dan memutus, dan menyelesaikan perkara-perkara tententu antara orang-orang yang beragama Islam untuk menegakan hukum dan keadilan. Yang dimaksud kekuasaan negara adalah kekuasaan kehakiman. Sedangkan yang dimaksud dengan perkara-perkara tertentu adalah perkara-perkara yang disebutkan dalam undang-undang tentang Peradilan Agama. Sedangkan Pengadilan Agama (PA) adalah pengadilan tingkat pertama dalam lingkungan peradilan agama. Hal itu menunjukan bahwa Pengadilan Agama adalah satuan (unit) penyelenggara Peradilan Agama. Adapun satuan penyelenggara peradilan pada tingkat kedua (banding) adalah Pengadilan Tinggi Agama (PTA), sedangkan pengadilan pada tingkat kasasi adalah Mahkamah Agung (MA). Dengan kata lain, bahwa pengadilan adalah badan peradilan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman untuk menegakan hukum dan keadilan.7

Penyelenggaraan kekuasaan kehakiman (judicial power) di Indonesia dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi dan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Umum termasuk peradilan khusus di bawahnya, Peradilan Agama, Peradilan Militer dan Peradilan Tata Usaha Negara, yang berpuncak pada Mahkamah Agung sebagai Pengadilan Negara Tertinggi.8 Pengadilan pada keempat lingkungan peradilan tersebut memiliki cakupan dan batasan pemberian kekuasaan untuk mengadili (attributi van rechtsmacht) itu, ditentukan oleh bidang yuridiksi yang dilimpahkan undang-undang kepadanya.

5 Jawahir Tantowi dan Pranoto Iskandar, Hukum Internasional Kontemporer, (Bandung:

PT.RefikaAditama), 224.

6Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta:

Penerbit Balai Pustaka, 1996), 516.

7Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006.

8Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004.

(3)

Pasal 4 Undang-undang No. 7 Tahun 1989 berbunyi :

a. Pengadilan Agama berkedudukan di kotamadya atau di ibu kota kabupaten, dan daerah hukumnya meliputi wilayah kotamadya atau kabupaten.

b. Pengadilan Tinggi Agama berkedudukan di Ibukota propinsi, dan daerah hukumnya meliputi wilayah Propinsi.

Berkenaan dengan hal itu, terdapat atribusi cakupan dan batasan kekuasaan peradilan agama. Pengadilan Agama merupakan pengadilan yang berkedudukan di kota atau kabupaten dan memiliki kewenangan hukum untuk mengadili perkara yang ada di wilayah kota atau kabupaten dimana pengadilan itu berada.

Sedangkan Pengadilan Tinggi Agama adalah pengadilan yang berkedudukan di wilayah ibu kota propinsi yang memiliki kewenangan sebagai pengadilan tingkat banding yang membawahi pengadilan agama-pengadilan agama yang berada di wilayah propinsi tersebut untuk memeriksa perkara banding dari pengadilan agama yang ada di bawahnya.9

Kekuasaan pengadilan pada masing-masing lingkungan terdiri atas kekuasaan relative (relative competentie) dan kekuasaan mutlak (asolute competentie). Kekuasaan relatif berhubungan dengan daerah hukum suatu pengadilan, baik pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan tingkat banding.

Artinya, cakupan dan batasan kekuasaan relative pengadilan ialah meliputi daerah hukumnya berdasarkan peraturan perundang-undangan.10

2. Sistem Penyelesaian Sengketa dalam Islam

Ajaran sistem penyelesaian sengketa Islam sebenarnya dapat kita lihat dari kejadian sehari-hari yang terjadi di masyarakat Arab dalam sejarah Islam pada masa Rasulullah saw. Ajaran ini diambil dari kasus-kasus yang terjadi dan ditauladani sampai hari ini. Paling tidak ada dua model penyelesaian sengketa Islam yang dapat dijadikan acuan, yaitu; Pertama, penyelesaian sengketa dengan al-Qadhâ' (Peradilan). Kedua, penyelesaian sengketa melalui tahkim (perwasitan/arbitrase).

Para ulama memberikan beberapa definisi al-qadhâ dalam pengertian syar'i ini. Menurut Al-Khathib asy-Syarbini, al-qadhâ' adalah penyelesaian perselisihan

9http://www.pa-kalianda.go.id/gallery/artikel/190-definisi-kompetensi-peradilan- agama.html (diakses pada tanggal 30 Januari 2016 pukul 11:30 WIB).

10Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000), 218.

(4)

di antara 2 (dua) orang atau lebih dengan hukum Allah SWT. Dalam Fath al-Qadîr al-qadhâ' diartikan sebagai al-ilzâm (pengharusan); dalam Bahr al-Muhîth diartikan sebagai penyelesaian perselisihan dan pemutusan persengketaan;

sedangkan dalam Badâ'i' ash-Shanâ'i' diartikan sebagai penetapan hukum di antara manusia dengan haq (benar).11

Al-Qadhâ' (Peradilan) merupakan perkara yang disyariatkan di dalam al- Quran dan as-Sunnah. Allah Swt memerintahkan untuk memutuskan hukum atau menghukumi manusia dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Rasul Saw secara langsung mengadili dan menghukumi perkara yang muncul di tengah-tengah masyarakat dengan hukum-hukum Allah. Rasul juga memberikan keputusan dalam beberapa masalah pernikahan, masalah harta, muamalah, dan 'uqûbât umumnya;

juga dalam masalah hisbah seperti ketika beliau mendapati pedagang di pasar yang mencampur gandum basah dengan gandum kering; dalam masalah mazhâlim mengenai penetapan harga; dalam perselisihan antara Zubair bin Awwam dan seorang Anshar dalam masalah pengairan dan sebagainya.12

Praktik al-Qadhâ' (Peradilan) oleh Rasul Saw bukan hanya dalam masalah perselisihan (al-Khushûmât), tetapi juga dalam masalah hisbah dan mazhâlim. Abu Abdillah berkata, "Perkataan sebagian bahwa al-Qadhâ' adalah penyelesaian antara dua orang yang bersengketa atau lebih jelas masih kurang." Sebab, definisi tersebut belum bersifat jâmi', yakni mencakup seluruh realita al-Qadhâ'.

Al-Qadhi an-Nabhani menjelaskan, lembaga al-Qadhâ inilah yang menyelesaikan perselisihan atau sengketa yang terjadi di antara anggota masyarakat; atau mencegah sesuatu yang bisa membahayakan hak-hak jamaah/umum; atau menyelesaikan persengketaan antara masyarakat dengan aparatur negara. Hal ini menjelaskan tiga kelompok perkara dan macam lembaga al-Qadhâ':13

11http://hizbut-tahrir.or.id/main.php? page=alwaie&id=67&print=1, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016 pukul 12:30 WIB).

12 http://hizbut-tahrir.or.id/main.php? page=alwaie&id=67&print=1, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016 pukul 12:30 WIB).

13 http://hizbut-tahrir.or.id/main.php? page=alwaie&id=67&print=1, (diakses pada tanggal 30 Januari 2016 pukul 12:30 WIB).

(5)

1. Perselisihan di antara manusia dalam perkara muamalah dan 'uqûbât.

Perkara ini ditangani oleh al-qâdhî (jamaknya alqudhât), kadang disebut Qudhât al-Khushûmât.

2. Perkara yang dapat membahayakan hak jamaah/umum; disebut Hisbah.

Perkara ini ditangani oleh Qâdhî al-Hisbah atau al-Muhtasib.

3. Sengketa masyarakat dengan negara dan aparaturnya, atau kezaliman yang dilakukan oleh atau akibat dari kebijakan negara dan aparaturnya.

Inilah yang disebut mazhâlim dan ditangani oleh Qâdhî al-Mazhâlim.

3. Kompetensi Absolut Peradilan Agama

Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak pengadilan yaitu wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh badan pengadilan dalam lingkungan pengadilan lain.

Kompetensi absolut atau kewenangan mutlak ini memberi jawaban atas pertanyaan : apakah peradilan tertentu itu pada umumnya berwenang memeriksa jenis perkara tertentu yang diajukan kepadanya dan bukan wewenang pengadilan yang lain. Kompetensi absolut /wewenang mutlak disebut juga artibusi kekuasaan kehakiman.14

Dengan kata lain yang dimaksud dengan kompetensi absolut adalah kekuasaan pengadilan yang berhubungan dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan, dalam perbedaannya dengan jenis perkara atau jenis pengadilan atau tingkatan pengadilan lainnya, misalnya : Pengadilan Agama berkuasa atas perkara perkawinan bagi mereka yang beragama Islam sedangkan bagi yang selain Islam menjadi kekuasaan Peradilan Umum.15

Batas-batas kewenangan mengadili antar lingkungan Peradilan tersebutlah yang dimaksud dengan “kompetensi absolut”. Artinya apa yang telah ditegaskan menjadi porsi setiap lingkungan peradilan, secara “mutlak” menjadi

14Muchinum, Komptensi Peradilan Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya (Bogor: Pusdiklat Teknis Bailtbang Diklat Kumdil MARI, 2008), 127.

15Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), 27.

(6)

kewenangannya untuk memeriksa dan memutus perkaranya. Lingkungan peradilan lain secara mutlak tidak berwenang untuk mengadilinya.16

Kompetensi absolut pengadilan dalam lingkungan pengadilan agama diatur dalam Pasal 2 Undang-undang Nomor 7 Tahun 1989 yang telah diubah dengan Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006, dimana dibangun atas azaz Personalitas Keislaman, yang mana dalam Pasal 2 disebutkan bahwa Peradilan Agama merupakah salah satu pelaksanaan kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam mengenai perkara-perkara perdata tertentu yang diatur dalam Pasal 49 ayat (1) UU No. 3 Tahun 2006, yaitu bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah dan ekonomi syari'ah.

4. Kompetensi Relatif Peradilan Agama

Kewenangan relatif atau kewenangan nisbi adalah untuk menjawab pertanyaan kepada pengadilan dimanakah gugatan atau tuntutan harus diajukan.

Kekuasan relatif diartikan sebagai kekuasaan pengadilan yang satu jenis dan satu tingkatan, dalam perbedaannya dengan kekuasaan pengadilan yang sama jenis dan sama tingkatan lainnya17, misalnya antara Pengadilan Agama Cirebon dengan Pengadilan Agama Sumber. Kompetensi relatif ini pada dasarnya berkaitan dengan wilayah hukum suatu pengadilan.18 Pasal 4 UU No. 7 Tahun 1989 ayat (1) menyebutkan : Pengadilan Agama berkedudukan di Kotamadya atau di ibukota Kabupaten dan daerah hukumnya meliputi wilayah Kotamadya atau Kabupaten. Didalam penjelasan Pasal 4 ayat (1) diterangkan bahwa tidak tertutup kemungkinan adanya pengecualian.

Adanya pengecualian itu banyak sekali ditemukan, oleh karena proses pemecahan daerah kota dan kabupaten terjadi terus-menerus seiring dengan pertumbuhan dan penyebaran penduduk, selain proses perubahan dari kawasan pedesaan menuju kawasan perkotaan (urbanisasi). Disamping itu, pembentukan pengadilan dalam lingkungan Peradilan Agama (PA dan PTA) dilakukan secara terus-menerus. Hal itu untuk memenuhi tuntutan kebutuhan karena beban perkara

16Yahya Harahap, Kedudukan, Kewenangan dan Acara Peradilan Agama (Jakarta: Sinar Grafika, 2007), 138.

17Roihan A Rasyid, Hukum Acara Peradilan Agama, 25.

18Muchinum, Komptensi Peradilan Agama Relatif dan Absolut dalam Kapita Selekta Hukum Perdata Agama dan Penerapannya, 128.

(7)

semakin besar, dan untuk melakukan penyesuaian dengan pengembangan pengadilan dalam lingkungan peradilan umum.19

Pada dasarnya untuk menentukan kekuasaan relatif pengadilan agama dalam perkara permohonan adalah diajukan ke pengadilan yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon. Namun dalam pengadilan agama telah ditentukan mengenai kewenangan relatif dalam perkara-perkara tertentu dalam undang-undang nomor 7 tahun 1989 sebagai berikut :20

a. Permohonan ijin poligami diajukan ke pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon

b. Permohonan dispensadi perkawinan bagi calon suami atau istri yang belum mencapai umur perkawinan (19 tahun bagi laki-laki dan 16 tahun bagi perempuan) diajukan oleh orangtuanya yang bersangkutan kepada pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi kediaman pemohon

c. Permohonan pencegahan perkawinan diajukan ke pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat pelaksanaan perkawinan

d. Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada pengadilan agama yang wilayah hukumnya meliputi tempat dilangsungkannya pernikahan atau tempat tinggal suami atau istri.

Oleh karena Hukum Acara Perdata yang dinyatakan berlaku bagi Pengadilan dalam lingkungan Pengadilan Agama adalah Hukum Acara Perdata yang berlaku bagi Peradilan Umum (Pengadilan Negeri) yaitu HIR/RBG, maka pada dasarnya ketentuan-ketentuan di dalam HIR/RBG, yang mengatur ke pengadilan dimana gugatan harus diajukan, berlaku juga bagi Pengadilan Agama, termasuk kewenangan Pengadilan Tinggi untuk memutus untuk tingkat pertama dan terakhir dalam hal terjadi sengketa wewenang antar pengadilan tingkat pertama yang menyangkut kewenangan relatif.

5. Murabahah

Murabahah dalam perspektif fiqh merupakan salah satu dari bentuk jual beli yang bersifat amanah (bai’ al-amanah). Jual beli ini berbeda dengan jual beli

19Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, 219.

20Abdullah Tri Wahyudi, Peradilan agama di indonesia (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2004), 88-89.

(8)

musawwamah / tawar menawar. Murabahah terlaksana antara penjual dan pembeli berdasarkan harga barang, harga asli pembelian penjual yang diketahui oleh pembeli dan keuntungan yang diambil oleh penjual pun diberitahukan kepada pembeli, sedangkan musawwamah adalah transaksi yang terlaksana antara penjual dan pembeli dengan suatu harga tanpa melihat harga asli barang. Jual beli yang juga termasuk dalam jual beli bersifat amanah adalah jual beli wadhi’ah, yaitu menjual kembali dengan harga rendah (lebih kecil dari harga asli pembelian), dan jual beli tauliyah, yaitu menjual dengan harga yang sama dengan harga pembelian.21

Menurut ulama Hanafiyyaħ, yang dimaksud dengan murabahah ialah

”Mengalihhkan kepemilikan sesuatu yang dimiliki melalui akad pertama dengan harga pertama disertai tambahan sebagai keuntungan”. Ulama Malikiyah mengemukakan rumusan definisi sebagai berikut: ”Jual beli barang dagangan sebesar harga pembelian disertai dengan tambahan sebagai keuntungan yang sama diketahui kedua pihak yang berakad”. Sementara itu, ulama Syâfi’iyyaħ mendefinisikan murabahah itu dengan: ”Jual beli dengan seumpama harga (awal), atau yang senilai dengannya, disertai dengan keuntungan yang didasarkan pada tiap bagiannya”.22

Lebih lanjut, Imam Syafi’i berpendapat, jika seseorang menujukkan suatu barang kepada orang lain dan berkata : ”belikan barang seperti ini untukku dan aku akan memberi mu keuntungan sekian”. Kemudian orang itu pun membelinya, maka jual beli ini adalah sah. Imam Syafi’i menamai transaksi sejenis ini (murabahah yang dilakukan untuk pembelian secara pemesanan) dengan istilah al-murabahah li al-amir bi asy-syira’.23

Menurut Ibnu Rusyd, sebagaimana dikutip oleh Syafi’i Antonio, mengatakan bahwa murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli jenis ini, penjual harus memberitahu harga barang yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai

21 Wiroso, Jual Beli Murabahah, (Yogyakarta : UII Prees, 2005), 14.

22 M. Syaf ’i’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, (Jakarta: Gema Insani, 2001), 102.

23 M. Syaf ’i’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, 103.

(9)

tambahannya. Sedangkan menurut Zuhaily, transaksi murabahah adalah jual beli dengan harga awal ditambah dengan keuntungan tertentu.24

Dari rumusan para ulama definisi di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya murabahah tersebut adalah jual beli dengan kesepakatan pemberian keuntungan bagi si penjual dengan memperhatikan dan memperhitungkannya dari modal awal si penjual. Dalam hal ini yang menjadi unsur utama jual beli murabahah itu adalah adanya kesepakatan terhadap keuntungan. Keuntungan itu ditetapkan dan disepakati dengan memperhatikan modal si penjual. Keterbukaan dan kejujuran menjadi syarat utama terjadinya murabahah yang sesungguhnya. sehingga yang menjadi karakteristik dari murabahah adalah penjual harus memberi tahu pembeli tentang harga pembelian barang dan menyatakan jumlah keuntungan yang ditambahkan pada biaya tersebut.25

Murabahah dalam konsep perbankan syariah merupakan jual beli barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam jual beli murabahah penjual atau bank harus memberitahukan bahwa harga produk yang ia beli dan menentukan suatu tingkat keuntungan sebagai tambahannya. Aplikasi pembiayaan murabahah pada bank syariah maupun Baitul Mal Wa Tamwil dapat digunakan untuk pembelian barang konsumsi maupun barang dagangan (pembiayaan tambah modal) yang pembayarannya dapat dilakukan secara tangguh (jatuh tempo/angsuran).26

Jadi singkatnya, murabahah adalah akad jual beli barang dengan menyatakan harga perolehan dan keuntungan (margin) yang disepakati oleh penjual dan pembeli. Dalam teknis perbankan syariah, akad ini merupakan salah satu bentuk natural certainty contracts, karena dalam murabahah ditentukan require rate of profitnya (keuntungan yang ingin diperoleh).27

Dalam daftar istilah buku himpunan fatwa DSN (dewan Syariah Nasional) dijelaskan bahwa yang dimaksud dengan murabahah adalah menjual suatu barang

24 Wahbah Az Zuhaili, Al Fiqh Al Islami wa Adillatuhu, (Damascus: Dar al-Fikr,1997), 3765.

25 Ibnu Rusyd, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Mugtashid (Beirut: Dar al- Kutub Al- Ilmiyah, tt.), 293.

26 Moh. Rifa’I, Konsep Perbankan Syariah, (Semarang : CV. Wicaksana, 2002), 61.

27 Ir. Adiwarman Karim, Bank Islam : Analisis Fiqh dan Keuangan, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2007), 113.

(10)

dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.28

6. Hukum Formil dan Materiil di Pengadilan Agama

Dalam dunia peradilan termasuk lingkungan Peradilan Agama di Indonesia, sumber hukum yang dipakai atau dirujuk dala memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara secara garis besar terbagi menjadi dua, yaitu Hukum Formil yang sering disebut hukum acara dan Hukum Materiil.

a. Pengertian Hukum Materiil dan Hukum Formil

1) Hukum Materiil adalah hukum yang menerangkan perbuatan-perbuatan apa yang dapat dihukum serta hukuman-hukuman apa yang dapat dijatuhkan.

Hukum materil menentukan isi sesuatu perjanjian, sesuatu perhubungan atau sesuatu perbuatan. Dalam pengertian hukum materil perhatian ditujukan kepada isi peraturan.

2) Hukum Formil adalah hukum yang menunjukkan cara mempertahankan atau menjalankan peraturan-peraturan itu dan dalam perselisihan maka hukum formil itu menunjukkan cara menyelesaikan di muka hakim. Hukum formil disebut pula hukum Acara. Dalam pengertian hukum formil perhatian ditujukan kepada cara mempertahankan/ melaksanakan isi peraturan.29 b. Sumber Hukum Acara (Hukum Formil)

Hukum Materiil Peradilan Agama adalah hukum Islam yang kemudian sering didefinisikan sebagai fiqh, yang sudah barang tentu rentang terhadap perbedaan pendapat.30

Hukum materiil Peradilan Agama pada masa lalu bukan merupakan hukum tertulis (Hukum Positif) dan masih tersebar dalam berbagai kitab fiqh karya ulama, karena tiap ulama fuqoha penulis kitab-kitab fiqh tersebut berlatar sosiokultural berbeda, sering menimbulkan perbedaan ketentuan hukum tentang masalah yang sama, maka untuk mengeliminasi perbedaan tersebut dan menjamin kepastian hukum, maka hukum-hukum materiil tersebut dijadikan hukum positif yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan.

28 Majelis Ulama Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan Syariah Nasional, Edisi Kedua, (Jakarta : MUI).

29Achmad Ichsan, Hukum Perdata Ia (Jakarta: PT. Pembimbing Masa, 1967), 67.

30Basiq Djalil, Peradilan Agama di Indonesia, 147.

(11)

Berikut adalah hukum materiil yang digunakan dalam Peradilan Agama, disajikan secara kronologis berdasar tahun pengesahannya:

 Undang-undang No. 22 Tahun 1946 dan Undang-undang No. 23 Tahun 1954 yang mengatur tentang hukum perkawinan, talak dan rujuk.

 Surat Biro Peradilan Agama No. B/1/735 tangal 18 februari 1968 yang merupakan pelaksana PP No. 45Tahun 1957 tentang Pembentukkan Peradilan Agama di luar Jawa dan Madura.

Dalam surat Biro Peradilan tersebut diatas dinyatakan bahwa, untuk mendapatkan kesatuan hukum materiil dalam memeriksa dan memutus perkara, maka para hakim Peradilan Agama/Mahkamah Syar’iyah dianjurkan agar menggunakan sebagai rujukkan 13 kitab fiqh, antara lain31;

1) Al-Bajuri;

2) Fatkhul Mu’in;

3) Syarqawi ‘Alat Tahrir;

4) Qalyubi wa Umairah/al-Mahali;

5) Fatkhul wahbah;

6) Tuhfah;

7) Targhib al-Mustaq;

8) Qawanin Syari’ah li Sayyid bin Yahya;

9) Qawanin Syari’ah li Sayyid Shadaqah;

10) Syamsuri li Fara’id;

11) Bughyat al-Musytarsyidin;

12) Al-Fiqh ala Madzahib al-arba’ah;

13) Mughni al-Muhjaj.

Kedua aturan Hukum Acara ini diberlakukan di lingkungan Peradilan Agama, kecuali hal-hal yang telah diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Jo. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama. Di samping dua peraturan sebagaimana tersebut di atas, diberlakukan juga BW (Bugerlijke Wetbook Voor Indonesia) atau yang disebut dengan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata, khususnya buku ke IV tentang

31Hotnidah Nasution, Buku Dasar Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: FSH UIN Syahid, 2007), 189.

(12)

Pembuktian yang termuat dalam Pasal 1865 sampai dengan Pasal 1993 Juga diberlakukan Wv.K (Wetbook Van Koophandel) yang diberlakukan berdasarkan Stb 1847 Nomor 23, khususnya dalam Pasal 7, 8, 9, 22, 23, 32, 225, 258, 272, 273, 274 dan 275. Dalam kaitan dengan peraturan ini terdapat juga Hukum Acara yang diatur dalam Failissements Verordering (Aturan Kepailitan) sebagaimana yang diatur dalam Stb 1906 Nomor 348, dan juga terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia dan dijadikan pedoman dalam praktek Peradilan Indonesia.32

c. Sumber Hukum Formil

Seperti dikemukakan di atas, setelah seluruh tahap pemeriksan selesai lalu hakim melanjutkan kerjanya untuk mengambil putusan dalam rangka mengadili perkara tersebut. Untuk itu hakim mencari hukumnya dari sumber-sumber yang sah dan menafsirkannya, untuk kemudian diterapkan pada fakta atau peristiwa konkret yang ditemukan dalam perkara tersebut.33 Sumber-sumber hukum yang sah dan diakui secara umum, khususnya di bidang bisnis adalah isi perjanjian, undang-undang, yudisprudensi, kebiasaan, perjanjian internasional, dan ilmu pengetahuan.34 Adapun bagi lingkungan pengadilan agama, sumber-sumber hukum yang terpenting untuk dijadikan dasar dalam mengadili perkara-perkara perbankan syariah setelah Al Qur’an dan As Sunnah sebagai sumber utama, antara lain adalah :

1) Peraturan Perundang-Undangan

Banyak sekali aturan hukum yang terdapat dalam berbagai peraturan perundang-undangan yang mempunyai titik singgung dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 ini. Oleh karena itu Hakim Peradilan Agama harus mempelajari dan memahaminya untuk dijadikan pedoman dalam memutuskan perkara ekonomi syari’ah.

32H. Abdul Manan, Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah ; Sebuah Kewenangan Baru Peradilan Agama, 27.

33Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1999), 167.

34Taufiq, Nadhariyyatu al-Uqud Al-Syar’iyyah, (Jakarta: Suara Uldilag, 2006), 95.

(13)

2) Fatwa-fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN)

Dewan syari’ah Nasional (DSN) berada dibawah MUI, dibentuk pada tahun 1999. Lembaga ini mempunyai kewenangan untuk menetapkan fatwa tentang produk dan jasa dalam kegiatan usaha Bank yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah.

3) Aqad Perjanjian (Kontrak)

Dalam mengadili perkara sengketa ekonomi syari’ah, sumber hukum utama adalah perjanjian, sedangkan yang lain merupakan pelengkap saja. Oleh karena itu, hakim harus memahami jika suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi syarat dan rukun sahnya suatu perjanjian.35

Syarat suatu aqad perjanjian itu sudah memenuhi azas kebebasan berkontrak, azas persamaan dan kesetaraan, azas keadilan, azas kejujuran jika aqad perjanjian itu mengandung hal-hal yang dilarang oleh Syariat Islam, seperti mengandung unsur riba dengan segala bentuknya, ada unsur gharar atau tipu daya, unsur maysir atau spekulatif dan unsur dhulm atau ketidakadilan.

Ketentuan tersebut tentu saja dapat diterapkan seluruhnya dalam hukum keperdataan Islam, karena dalam aqad perjanjian Islam tidak dikenal adanya bunga yang menjadi bagian dari tuntutan ganti rugi.

Oleh karena itu, ketentuan ganti rugi harus sesuai dengan prinsip Syariat Islam. Jika salah satu pihak tidak melakukan prestasi, dan itu dilakukan bukan karena terpaksa (overmach), maka ia dipandang ingkar janji (wanprestasi) yang dapat merugikan pihak lain. Penetapan wanprestasi ini bisa berbentuk putusan hakim atau atas dasar kesepakatan bersama atau berdasarkan ketentuan aturan hukum Islam yang berlaku.

Sehubungan dengan hal di atas, bagi pihak yang wanprestasi dapat dikenakan ganti rugi atau denda dalam ukuran yang wajar dan seimbang dengan kerugian yang ditimbulkannya serta tidak mengandung unsur ribawi.

Perbuatan melawan hukum diartikan bahwa berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang melanggar hak orang lain, atau berlawanan dengan kewajiban hak orang yang berbuat atau tidak berbuat itu sendiri atau bertentangan dengan tata

35Taufiq, Nadhariyyatu al-Uqud Al-Syar’iyyah, 6-7.

(14)

susila, maupun berlawanan dengan sikap hati-hati sebagaimana patutnya dalam pergaulan masyarakat, terhadap diri sendiri dan terhadap orang lain.36

4) Fiqih dan Ushul Fiqih

Fiqih merupakan sumber hukum yang dapat dipergunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah. Sebagian besar kitab-kitab fiqih yang muktabar berisi berbagai masalah muamalah yang dapat dijadikan acuan dalam menyelesaikan masalah ekonomi syari’ah.

5) Adat Kebiasaan

Untuk dapat dijadikan sebagai sumber hukum guna dijadikan dasar dalam mengadili perkara perbankan syariah, kebiasaan di bidang ekonomi syariah itu haruslah mempunyai paling tidak tiga syarat yaitu :37

a) Perbuatan itu dilakukan oleh masyarakat tertentu secara berulangulang dalam waktu yang lama (longaet inveterate consuetindo);

b) Kebiasaan itu sudah merupakan keyakinan hukum masyarakat (opinion necessitates); dan

c) Adanya akibat hukum apabila kebiasaan itu dilanggar Apabila kebiasaan di bidang ekonomi syariah mempunyai ketiga syarat tersebut, maka dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah.

6) Yurisprudensi

Yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum sebagai dasar dalam mengadili perkara ekonomi syariah dalam hal ini adalah yurisprudensi dalam arti putusan hakim tingkat pertama dan tingkat banding yang telah berkekuatan hukum tetap dan dibenarkan oleh Mahkamah Agung, atau putusan Mahkamah Agung itu sendiri yang telah dikekuatan hukum tetap, khususnya di bidang ekonomi syariah. Dengan perkataan lain yurisprudensi yang dapat dijadikan sumber hukum dalam hal ini adalah putusan hakim yang benar-benar sudah melalui proses “eksaminasi” dan “notasi” dari Mahkamah Agung dengan

36Kansil, Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum Idonesia (Jakarta : Balai Pustaka, 1986), 254.

37Sudikno Mertokusumo, Mengenal Hukum Suatu Pengantar (Yogyakarta: Liberty, 1999), 99.

(15)

rekomendasi sebagai putusan yang telah memenuhi standar hukum yurisprudensi.38

B. Ekonomi Syariah

1. Pengertian Ekonomi Syariah

Ekonomi syariah adalah perbuatan atau kegiatan usaha yang dilaksanakan menurut prinsip syariah yang meliputi bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berharga berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pergadaian syariah, dana pensiun lembaga keuangan syariah dan bisnis syariah.39

Menurut Dr. Muhammad Abdullah al-‘Arabi, ekonomi syariah adalah sekumpulan dasar-dasar umum ekonomi yang kita simpulkan dari al-Qur’an dan as-Sunnah, dan merupakan bangunan perekonomian yang kita dirikan di atas landasan dasar-dasar tersebut sesuai tiap lingkungan dan masa.40 Menurut Prof.

Dr. Zainuddin Ali, ekonomi syariah adalah kumpulan norma hukum yang bersumber dari al-Qur’an dan al-Hadits yang mengatur perekonomian umat manusia.41 Sedangkan menurut M. A. Manan, ekonomi syariah adalah ilmu pengetahuan sosial yang mempelajari masalah-masalah ekonomi rakyat yang diilhami oleh nilai-nilai Islam.42

Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa ekonomi syariah merupakan sistem ekonomi yang bersumber dari wahyu yang transcendental (al- Qur’an dan as-Sunnah/al-Hadits) dan sumber intrepetasi dari wahyu yang disebut dengan ijtihad.43 Hukum-hukum yang diambil dari nash qath’i itu secara konsep dan prinsip adalah tetap (tidak dapat berubah kapan pun dan di mana pun), tetapi

38Ahmad Kamil dan M. Fauzan, Kaidah-Kaidah Hukum Yurisprudensi (Jakarta: Khairul Bayan, 2004), 10-11.

39Edy Sismarwoto, Prinsip-Prinsip Ekonomi Syari’ah (Semarang: Pustaka Magister, 2009), 2.

40Ahmad Muhammad al-‘Assal dan Fathi Ahmad Abdul Karim, Sistem Ekonomi Islam:

Prinsip-prinsip dan Tujuan-tujuannya (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1980), 11.

41Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), 4.

42Abdul Manan, Ekonomi Syariah: Dari Teori ke Praktek (Jakarta: PT. Intermasa, 1992), 19.

43Dr. Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2011), 2.

(16)

dalam hal yang berhubungan dengan nash yang bersifat zhanni, itu dapat berubah yang dipengaruhi oleh waktu, tempat, dan keadaan.

2. Ruang Lingkup Ekonomi Syariah

Dalam Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah, ruang lingkup ekonomi syariah meliputi aspek ekonomi sebagai berikut: ba’i, akad-akad jual-beli, syirkah, mudharabah, murabahah, muzara’ah dan musaqah, khiyar, istishna’, salam, ijarah, kafalah, hawalah, rahn, wadi’ah, gashb dan itlaf, wakalah, shulhu, pelepasan hak, ta’min, obligasi syariah mudharabah, pasar modal, reksadana syariah, sertifikat bank Indonesia syariah, pembiayaan multi jasa, qardh, pembiayaan rekening Koran syariah, dana pensiun syariah, zakat dan hubah, dan akuntansi syariah.44

Sedangkan menurut UU Nomor 3 Tahun 2006 perubahan atas UU Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, maka dapat diketahui bahwa ruang lingkup ekonomi syariah meliputi: bank syariah, lembaga keuangan mikro syariah, asuransi syariah, reasuransi syariah, reksadana syariah, obligasi syariah dan surat berjangka menengah syariah, sekuritas syariah, pembiayaan syariah, pegadaian syariah, dena pensiun lembaga keuangan syariah, dan bisnis syariah.

Penjelasan istilah-istilah di atas sebagai berikut:

a. Ba’i adalah kesepakatan antara dua perjanjian dengan benda atau pertukaran benda dengan uang.

b. Akad adalah kesepakatan dalan suatu perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan hukum tertentu.

c. Syirkah adalah kerjasama antara dua orang atau lebih dalam usaha permodalan, keterampilan, atau kepercayaan dalam hal tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

d. Mudharabah adalah kerjasama antara pemilik dana dan dengan pengelola modal untuk melakukan usaha tertentu dengan pembagian keuntungan berdasarkan nisbah.

e. Muzaraah adalah kerjasama antara pemilik lahan dengan penggarap untuk memanfaatkan lahan.

44Buku II Pasal 10 Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah.

(17)

f. Musaqah adalah kerjasama antara pihak-pihak dalam pemeliharaan tanaman antara pemilik dengan pemelihara tanaman dengan pembagian hasil berdasarkan nisbah.

g. Murabahah adalah pembiayaan saling menguntungkan antara pemilik harta dengan pihak yang membutuhkan melalui transaksi jual-beli dengan penjelasan bahwa harga pengadaan barang dan harga jual terdapat nilai lebih yang merupakan laba atau keuntungan bagi pemilik harta dan pengembaliannya dilakukan dengan cara tunai atau angsur.

h. Khiyar adalah hak pilih bagi penjual dan pembeli untuk melanjutkan atau membatalkan akad jual-beli yang dilakukan.

i. Ijarah adalah sewa barang dalam jangka waktu tertentu dengan pembayaran.

j. Istishna’ adalah jual-beli barang atau jasa dalam bentuk pemesanan dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati antara pihak pemesan dan pihak penjual.

k. Salam adalah jasa pembiayaan yang berkaitan dengan jual-beli yang pembayarannya bersamaan dengan pemesanan barang.

l. Kafalah adalah jaminan atau garansi yang diberikan oleh penjamin atau pihak ketiga/pemberi pinjaman untuk memenuhi kewajiban pihak kedua/peminjam.

m. Hawalah adalah pengalihan utang dan muhil al-ashil kepada muhal ‘alaih.

n. Rahn adalah penguasaan barang milik peminjam oleh pemberi pinjaman sebagai jaminan.

o. Gashb adalah pengambilan hak milik orang lain tanpa izin dan tanpa niat untuk memilikinya.

p. Itlaf adalah pengurangan nilai kualitas suatu barang.

q. Wadi’ah adalah penitipan dana antara pihak pemilik dana dengan pihak penerima titipan yang dipercaya untuk menjaga dana tersebut.

r. Ju’alah adalah perjanjian imbalan tertentu dari pihak pertama kepada pihak kedua atas pelaksanaan suatu tugas/pelayanan yang dilakukan oleh pihak kedua untuk kepentingan pihak pertama.

(18)

s. Wakalah adalah pemberian kuasa kepada pihak lain untuk mengerjakan sesuatu.

t. Obligasi syariah adalah surat berharga yang diterbitkan berdasarkan prinsip syariah sebagai bukti atas bagian penyertaan terhadap aset surat berharga baik dalam mata uang rupiah maupun valuta asing.

u. Reksadana syariah adalah lembaga jasa keuangan non-bank yang kegiatannya berorientasi pada investasi di sektor portofolio atau nilai kolektif dari surat berharga.

v. Ta’min adalah perjanjian antara dua belah pihak atau lebih, yang pihak penanggung mengikatkan diri kepada pihak tertanggung dengan menerima premi ta’min untuk menerima penggantian kepada pihak tertanggung karena kerugian, kerusakan, atau kehilangan keuntungan yang diharapkan, atau tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga yang mungkin akan diderita pihak tertanggung yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti.

w. Pasar modal adalah kegiatan yang bersangkutan penawaran umum dan perdagangan efek, perusahaan publik yang berkaitan dengan efek yang diterbitkan serta lembaga dan profesi yang berkaitan dengan efek.

x. Surat berharga syariah adalah surat bukti berinvestasi berdasarkan prinsip syariah yang lazim diperdagangkan di pasar dan/atau pasar modal, antara lain wesel, obligasi syariah, sertifikat reksadana syariah, dan surat berharga lainnya berdasarkan prinsip syariah.

y. Qardh adalahpenyediaan dana atau tagihan antara lembaga keuangan syariah dengan pihak peminjam untuk melakukan pembayaran secara tunai atau cicilan dalam jangka waktu tertentu.

z. Dana pensiun syariah adalah badan usaha yang mengelola dan menjalankan program yang menjanjikan manfaat pensiun berdasarkan prinsip-prinsip syariah.

aa. Rekening Koran syariah adalah pembiayaan yang dananya ijarah pada setiap saat dapat ditarik atau disetor oleh pemiliknya yang dijalankan berdasarkan prinsip syariah.

Bedasarkan pengertian ekonomi syariah dan ruang lingkup ekonomi syariah di atas, dapat dirumuskan beberapa tujuan sistem ekonomi syariah, antara lain:

(19)

 Kesejahteraan ekonomi dalam kerangka norma moral Islam (QS. Al-Baqarah ayat 2 dan 168, al-Maidah ayat 87-88, al-Jumuah ayat 10).

 Membentuk masyarakat dengan tatanan sosial yan solid berdasarkan keadilan dan persaudaraan yang universal (QS. Al-Hujurat ayat 13, al-Maidah ayat 8, asy-Syu’araa ayat 183).

 Mencapai distribusi pendapatan dan kekayaan yang adil dan merata (QS. Al- An’am ayat 165, an-Nahl ayat 71, az-Zukhruf ayat 32).

 Menciptakan kebebasan individu dalam kenteks kesejahteraan sosial (QS. Ar- Ra’du ayat 36, Luqman ayat 22).

Ekonomi syariah yang merupakan bagian dari sistem perekonomian memiliki nilai-nilai yang berfokus kepada ‘amar ma’ruf nahi mungkar. Oleh karena itu, ekonomi syariah dapat dilihat dari empat sudut pandang sebagai berikut45:

a. Ekonomi illahiyah (ketuhanan)

Ekonomi illahiyah mengandung arti manusia diciptakan oleh Allah untuk memenuhi perintah-Nya, yakni beribadah, dan dalam mencari kebutuhan hidupnya, manusia harus berdasarkan aturan-aturan (syariah) dengan tujuan utama mendapatkan ridha Allah SWT.

b. Ekonomi akhlak

Ekonomi akhlak mengandung arti kesayuan antara ekonomi dan akhlak harus berkaitan dengan sektor produksi, distribusi, dan konsumsi. Dengan demikian seorang muslim tidak mengerjakan apa saja yang diinginkan atau yang menguntungkan tanpa mempedulikan orang lain.

c. Ekonomi kemanusiaan

Ekonomi kemanusiaan mengandung arti Allah memberikan predikat khalifah hanya kepada manusia, karena manusia diberi kemampuan dan perasaan yang memungkinkan ia melaksanakan tugasnya.

d. Ekonomi keseimbangan

Ekonomi keseimbangan adalah pandangan Islam terhadap hak individu dan masyarakat diletakan dalam neraca keseimbangan yang adil tentang dunia

45Dr . Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, 7.

(20)

dan akhirat, jiwa dan raga, akal dan hati, perumpamaan dan kenyataan, iman dan kekuasaan.

3. Sumber Ekonomi Syariah a. Al-Qur’an

Al-Qur’an adalan sumber pertama dan utama bagi ekonomi syariah, di dalamnya terdapat hal ihwal yang berkaitan dengan ekonomi dan juga terdapat hukum-hukum dan undang-undang yang diharamkannya riba, dan diperbolehkannya jual-beli yang tertera pada surat al-Baqarah (2) : 25





































































“… padahal Allah telah menghalalkan jual-beli dan mengharamkan riba.

Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti (dari mengambil riba) maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan), dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (mengambil riba) maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka, mereka kekal di dalamnya.”

b. As-Sunnah an-Nabawiyah

As-Sunnah adalah sumber kedua perundang-undangan Islam. Di dalamnya terdapat khazanah aturan perekonomian syariah. Di antaranya seperti sebuah hadits yang memerintahkan untuk melindungi dan menjaga harta kita, baik milik pribadi maupun umum serta tidak boleh mengambil yang bukan miliknya.

“Sesungguhnya (menumpahkan) darah kalian, (mengambil) harta kalian, (mengganggu) kehormatan kalian haram sebagaimana haramnya hari kalian saat ini, di bulan ini, di negeri ini, …” (HR. Bukhari).

c. Ijtihad

(21)

Untuk mendapatkan ketentuan-ketentuan hukum muamalah (ekonomi syariah) yang baru timbul seiring dengan kemajuan zaman dan kebutuhan masyarakat, sangat diperlukan pemikiran-pemikiran baru yang biasa dikenal dengan istilah ijtihad. Sumber ijtihad inilah yang memegang peranan yang sangat penting dalam mengembangkan fiqih Islam, terutama dalam bidang ekonomi syariah.46

4. Keistimewaan dan Karakteristik Ekonomi Syariah

Ada beberapa keistimewaan dan karakteristik ekonomi syariah yang berbeda dengan sistem ekonomi konvensional, antara lain:

a. Ekonomi syariah merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari bagian konsep ekonomi Islam yang utuh dan menyeluruh.

b. Aktivitas ekonomi syariah merupakan suatu bentuk ibadah.

c. Tatanan ekonomi syariah memiliki tujuan yang sangat mulia.

d. Ekonomi syariah merupakan sistem yang memiliki pengawasan melekat yang berakar dari keimanan dan tanggung jawab kepada Allah (muraqabatullah).

e. Ekonomi syariah merupakan sistem yang menselaraskan antara maslahat individu dan maslahat umum.47

f. Harta kepunyaan Allah dan manusia sebagai khalifah atas harta.

g. Ekonomi terikat dengan ibadah, syariah (hukum), dan moral.

h. Keseimbangan antara rohani dan kebendaan.

i. Kebebasan individu dijamin oleh Islam.

j. Negara diberi wewenang turut campur dalam perekonomian.

k. Bimbingan konsumsi.

l. Petunjuk investasi.

m. Zakat.

n. Larangan Riba.48

46Ahmad Ahzar Basyir, Asas-asas Hukum Ekonomi Muamalah (Yogyakarta: UII Press, 2000), 13.

47Ahmad Izzan dan Syahri Tanjung, Referensi Ekonomi Syariah: Ayat-ayat al-Qur’an yang Berdimensi Ekonomi (Bandung: Rosdakarya, 2007), 33.

48Veithzal Rivai dan Andi Buchari, Islamic Economics (Jakarta: Bima Aksara, 2009), 168.

(22)

5. Dasar-dasar Ekonomi Syariah

a. Mengakui Hak Milik (Baik Secara Individu Atau Umum)

Sistem ekonomi syariah mengakui hak seseorang untuk memiliki apa saja yang dia inginkan dari barang-barang produksi, ataupun barang-barang konsumsi. Dan dalam waktu bersamaan mengakui juga kepemilikan umum.

Dalam hal ini ekonomi syariah memadukan antara maslahat individu dan maslahat umum. Tampaklah ininya satu-satunya jalan untuk mencapai keseimbangan dan keadilan di masyarakat.

Demikian dengan perjalanan masa semakin tampak bahwa sesuatu yang baik dan benar akan tetap, sedangkan yang buruk dan batil akan cepat atau lambat pasti akan menemui kehancuran. Allah SWT berfirman:































“Adapun buih itu akan lenyap sebagai sesuatu yang tidak ada harganya, adapun yang memberi manfaat kepada manusia, maka ia tetap di bumi. Demikian Allah membuat perumpamaan-perumpamaan.” (QS. Ar-Raad: 17)

b. Kebebasan Ekonomi Bersyarat

Islam memberikan kebebasan bagi setiap individu untuk memiliki, memproduksi, dan mengonsumsi. Setiap individu bebas untuk berjual-beli dan menentukan upah/harga dengan berbagai macam nilai nominal, tetapi dengan syarat tidak bertentangan dengan kepentingan umum. Sebagaimana jua halnya setiap pribadi bebas untuk memindahkan harta yang ada di bawah kepemilikannya kepada orang yang dikehendakinya baik semasa hidup dengan cara hibah atau hadiah ataupun setelah meninggal dengan cara wasiat sesuai dengan syariat Islam.

Setiap individu juga memiliki kebebasan dalam mengembangkan hartanya dengan cara yang baik, tetapi harus meninggalkan praktik perdagangan yang diharamkan, baik dengan cara riba maupun dengan cara menimbun dan yang sejenisnya, dan juga sejumlah kebebasan-kebebasan lainnya.

(23)

Adapun syarat yang harus dipenuhi dari kebebasan-kebebasan tersebut adalah sebagai berikut:49

1) Memperhatikan halal dan haram, misalnya tidak tadzir (boros), dan israf (berlebih-lebihan),

2) Komitmen terhadap kewajiban-kewajiban yang telah ditentukan oleh syariat Islam,

3) Tidak menyerahkan pengelolaan harta kepada orang-orang bodoh, kurang akal (gila) dan lemah,

4) Hak untuk berserikat (saling memiliki) dengan tetangga atau mitra kerja, 5) Tidak dibenarkan mengelola harta pribadi yang merugikan kepentingan

orang banyak,

6) At-Takaful al-Ijma’i (kebersamaan dalam menanggung suatu kebaikan).

6. Asas-asas Ekonomi Syariah

Dalam filsafat ekonomi syariah terdapat tiga asas pokok, antara lain50:

a. Asas yang menjelaskan bahwa dunia dan seluruh isinya, termasuk alam semesta, adalah milik Allah SWT dan berjalan menurut kehendaknya.

b. Asas yang menjelaskan bahwa Allah SWT merupakan pencipta semua makhluk hidup yang ada di alam semesta ini.

c. Asas yang menjelaskan bahwa iman kepada hari kiamat akan mempengaruhi pola pikir dan tingkah laku ekonomi manusia.

7. Transaksi yang Dilarang Dalam Ekonomi Syariah

Ada beberapa faktor yang menyebabkan terlarangnya sebuah transaksi, baik haram zatnya maupun selain zatnya, dan transaksi yang tidak sah atau tidak lengkap akadnya.51

a. Haram zatnya

Yaitu transaksi yang dilarang karena objeknya (barang dan/atau jasa) bertentangan (haram) dari sudut pandang Islam, misalnya transaksi minuman keras, daging babi, dan sebagainya.

49Dr . Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, 13-15.

50Abdul Ghofur Anshori, Aspek Hukum Reksadana Syariah di Indonesia (Bandung: Refika Aditama, 2008), 46.

51Adiwarman Karim, Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan (Jakarta: Rajagrafindo, 2004), 27.

(24)

b. Haram selain zatnya

Yaitu transaksi yang melanggar prinsip an taradhin minkum, artinya prinsip-prinsip keralaan antara kedua belah pihak (sama-sama ridha) yang didasarkan pada informasi yang sama (complete information), atau dengan kata lain tidak didasarkan pada informasi yang tidak sama (asymmetric information).

Selain itu suatu transaksi dilarang apabila melanggar prinsip laa tadzlimuna wa laa tudzlamun, yaitu prinsip tentang jangan mendzalimi dan jangan didzalimi.

c. Tidak sah atau tidak lengkap akadnya

Faktor-faktor yang menyebabkan ketidakabsahan suatu akad, bisa berkaitan dengan rukun dan syaratnya, terjadi ta’alluq (adanya dua akad yang saling berkaitan, di mana berlakunya akad satu tergantung pada akad kedua, contohnya ba’i al-inah), terjadi two in one, yaitu suatu transaksi yang diwadahi dalam dua akad sekaligus, sehingga terjadi ketidakpastian (gharar) mengenai akad mana yang harus digunakan atau berlaku.

8. Prinsip Ekonomi Syariah

Syarat suatu bangunan agar tetap kokoh adalah tiang yang kokoh. Jika bangunan yang kokoh tersebut adalah ekonomi syariah, maka tiang penyangganya adalah sebagai berikut:52

a. Siap menerima risiko;

b. Tidak melakukan penimbunan;

c. Tidak monopoli;

d. Pelarangan interest (riba);

e. Solidaritas sosial;

f. Keadilan distribusi pendapatan;

g. Kebesan individu dalam konteks kesejahtaraan sosial.

9. Manfaat Ekonomi Syariah

Apabila ekonomi syariah diaplikasikan dalam kehidupan, maka akan mendatangkan manfaat yang besar bagi umat Islam itu berupa53:

52http://www.pesantrenvirtual.com/.../ekonomi.../1079-enam-pilar-perekonomian-modern- yang-islami. (diakses pada tanggal 8 Februari 2015 pukul 14:12 WIB).

53Zainuddin Ali, Hukum Ekonomi Syariah, 11.

(25)

a. Mewujudkan intregitas seorang muslim yang kaffah, sehingga Islamnya tidak lagi parsial. Apabila ada seorang muslim yang masih bergelut dan mengamalkan ekonomi konvensional yang mengandung unsur riba, berarti Islamnya belum kaffah, sebab ajaran ekonomi syariah diabaikannya.

b. Menerapkan dan mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syariah, reksadana syariah, pegadaian syariah dan/atau baitul maal wa tamwil mendapat keuntungan di dunia dan di akhirat. Keuntungan di dunia berupa keuntungan bagi hasil dan keuntungan di akhirat adalah terbebasnya dari unsur riba.

c. Praktik ekonomi syariah berdasarkan syariat Islam bernilai ibadah, karena telah mengamalkan syariat Allah SWT.

d. Mengamalkan ekonomi syariah melalui bank syariah, asuransi syariah dan/atau baitul maal wa tamwil, berarti mendukung lembaga ekonomi umat Islam itu sendiri.

e. Mengamalkan ekonomi syariah dengan membuka tabungan, deposito atau menjadi nasabah asuransi syariah, berarti mendukung upaya pemberdayaan ekonomi umat Islam itu sendiri untuk mengembangkan usaha-usaha kaum muslimin.

f. Mengamalkan ekonomi syariah berarti mendukung gerakan amar ma’ruf nahi mungkar, sebab dana yang terkumpul tersebut hanya boleh dimanfaatkan untuk usaha-usaha halal.

10. Etika Ekonomi Syariah

Yang membedakan Islam dengan materialisme ialah bahwa Islam tidak pernah memisahkan ekonomi dan etika, sebagaimana tidak memisahkan ilmu dan akhlak, politik dan etika, perang dan etika, dan kerabat sedarah sedaging dengan kehidupan Islam. Hal ini sesuai dengan misi diutusnya Rosulullah SAW untuk menyempurnakan akhlak manusia.54

Islam memberikan kebebasan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya dalam bidang ekonomi. Namun harus terikat dengan iman dan etika, sehingga

54Dr . Mardani, Hukum Ekonomi Syariah di Indonesia, 22.

(26)

tidak bebas mutlak dalam menginvestasikan modalnya atau membelanjakan hartanya.

Masyarakat muslim tidak bebas tanpa kendali dalam memproduksi segala sumber daya alam, mendistribusikannya, dan mengonsumsinya. Muslim harus terikat dengan rambu-rambu syariah. Misalnya larangan berternak babi, menjual/memproduksi minuman keras, larangan jual-beli ketika datangnya waktu sholat jum’at, bisnis prostitusi, dan lain-lainnya. karena itu para pakar ekonomi nonmuslim mengakui keunggulan sistem ekonomi Islam. Islam telah sukses menggabungkan etika dan ekonomi, sementara sistem kapitalis dan sosialis memisahkan keduanya.55

11. Perkembangan Ekonomi Syariah Di Indonesia

Ekonomi Islam dalam dasawarsa ini mengalami kemajuan yang pesat, baik dalam kajian akademis di perguruan tinggi maupun dalam praktek operasional.

Dalam bentuk pengajaran, ekonomi Islam telah dikembangkan di beberapa universitas baik di negara-negara muslim, maupun negara-negara barat, seperti USA, Inggris, Australia, dan lain-lain.

Dalam bentuk praktek, ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk lembaga perbankan dan juga lembaga-lembaga Islam non bank lainnya. Sampai saat ini, lembaga perbankan dan lembaga keuangan Islam lainnya telah menyebar ke 75 negara termasuk negara barat.

Di Indonesia, perkembangan pembelajaran dan pelaksanaan ekonomi Islam juga telah mengalami kemajuan yang pesat. Pembelajaran tentang ekonomi Islam telah diajarkan di beberapa perguruan tinggi negeri maupun swasta.

Perkembangan ekonomi Islam telah mulai mendapatkan momentum sejak didirikannya Bank Muamalat pada tahun 1992. Berbagai Undang-Undang yang mendukung tentang sistem ekonomi tersebutpun mulai dibuat, seperti UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dalam UU No. 10 Tahun 1998 dan UU No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia, bahkan mendapat dukungan langsung dari bapak wakil presiden Indonesia, Jusuf Kalla.56

55Yusuf Qardhawi, Norma dan Etika Ekonomi Islam (Jakarta: Gema Insani Press, 1995), 55.

56 https://vhara.wordpress.com/perkembangan-ekonomi-islam-di-indonesia/. (diakses pada tanggal 16 Juli 2015 pukul 16.00 WIB).

(27)

Namun selain itu sesuai dengan perkembangan ekonomi global dan semakin meningkatnya minat masyarakat dengan ekonomi perbankan secara islami, ekonomi Islam mendapat tantangan yang sangat besar pula. Setidaknya ada tiga tantangan yang harus dihadapi, yaitu: pertama, ujian atas kredibilitas sistem ekonomi dan keuangannya. Kedua, bagaimana sistem ekonomi Islam dapat meningkatkan dan menjamin atas kelangsungan hidup dan kesejahteraan seluruh umat, dapat menghapus kemiskinan dan pengangguran di Indonesia ini yang semakin marak, serta dapat memajukan ekonomi dalam negeri yang masih terpuruk dan dinilai rendah oleh negara lain. Ketiga, mengenai perangkat peraturan, hukum dan kebijakan baik dalam skala nasional maupun dalam skala internasional.

Harus diakui bahwa perkembangan ekonomi Islam merupakan bagian penting dari pembangunan ekonomi bangsa dan juga mayoritas muslim, bukan hanya sebuah gerakan sebagaimana penilaian dan pemikiran oleh sebagian orang yang sama sekali tidak paham tentang karakteristik ekonomi syari’ah. Hikmah didirikannya ekonomi Islam-pun sangat banyak, salah satunya praktek ekonomi Islam ini mengajarkan pada kita bahwa perbuatan riba (melebih-lebihkan) itu adalah perbuatan dosa besar yang sangat dibenci oleh Allah SWT dan mengajarkan pada kita agar menjauhi perbuatan tersebut. Selain itu ekonomi Islam juga sebagai wadah menyimpan dan menjamin uang secara halal dan diridhoi oleh Allah SWT.

C. Prinsip Utama dalam Menangani Perkara Ekonomi Syariah

Adapun prinsip utama yang harus benar-benar dipahami dan diperhatikan dalam menangani perkara ekonomi syari’ah khususnya dan perkara bidang ekonomi syari’ah pada umumnya bahwa dalam proses penyelesaian perkara tersebut sama sekali tidak boleh bertentangan dengan prinsip syari’ah. Hal ini jelas merupakan prinsip ekonomi syari’ah di pengadilan agama karena ekonomi syari’ah seperti ditegaskan Pasal 1 Ayat (7) jo. Pasal 2 UU No. 21 Tahun 2008 dalam menjalankan kegiatan usahanya tidak lain berdasarkan prinsip syari’ah. Oleh karena itu, jika terjadi sengketa berkaitan dengan kegiatan usaha tersebut jelas tidak mungkin diselesaikan dengan cara-cara yang justru bertentangan dengan prinsip

(28)

syari’ah. Hal ini penting diingatkan dan dipahami karena seperti diketahui hukum formil, dan bahkan mungkin sebagian hukum materiil, dalam hal ini seperti HIR / R.Bg, Rv dan KHU Perdata (BW), yang akan digunakan dalam menyelesaikan sengketa ekonomi syari’ah di lingkungan peradilan agama, pada awalnya memang bukan dibuat dengan tujuan untuk menegakkan dan melindungi hukum materiil Islam. Oleh karena itu, meskipun ketentuan-ketentuan hukum tersebut secara umum tidak banyak yang bertentangan dengan hukum Islam, tetapi tidak mustahil masih ada bagianbagian dari ketentuan-ketentuan tersebut yang apabila diterapkan apa adanya justru akan bertentangan atau dianggap tidak relevan dengan prinsip syari’ah yang menjadi dasar ekonomi syari’ah dalam menjalankan segala aktivitasnya sehingga hal itu menimbulkan persoalan baru.

Dalam hal penerapan lembaga dwangsom (uang paksa) misalnya, yang diatur dalam Pasal 606 a b. B.Rv. Ketika ia diminta atas dasar ketentuan Pasal 225 HIR dan Pasal 259 R.Bg, yaitu gugatan untuk melaksanakan suatu persetujuan berdasarkan Pasal 1267 KUH Perdata. Dalam hal ini hakim peradilan agama harus berhati-hati dan perlu memahami betul kapan dan dalam hal apa saja permintaan dwangsom itu dapat dikabulkan, karena jika keliru dalam menerapkannya dapat saja pembebanan dwangsom justru mengandung unsur-unsur ribawiyah yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.

Hal ini bisa saja terjadi, karena hakim kurang cermat misalnya dalam amar putusannya mengabulkan permintaan dwangsom terhadap setiap kertelambatan pembayaran sejumlah uang oleh pihak tergugat (nasabah misalnya). Hal semacam ini jelas akan menimbulkan persoalan baru atau paling tidak akan memicu timbulnya kontroversial karena bagaimanapun membebankan dwangsom terhadap kertelambatan pembayaran uang jelas mengandung unsur ribawiyah yang bertentangan dengan prinsip syari’ah.

Padahal seperti diketahui dwangsom tidak berlaku terhadap tindakan untuk membayar sejumlah uang, ia hanya merupakan hukuman pengganti atas keingkaran mengsongkan atau menyerahkan sesuatu barang objek sengketa.57 Dalam hal

57 M. Yahya Harahap, Ruang Lingkup Permasalahan Eksekusi Bidang Perdata (Jakarta:

Gramedia, 1989), 303.

(29)

semacam itu pun dari perspektif hukum Islam hingga saat ini masih terjadi kontroversi.

Demikian juga halnya dengan penyelesaian sengketa antara pihak ekonomi syari’ah dengan nasabah mampu yang menunda-nunda pembayaran utang misalnya. Di mana ekonomi syari’ah selaku penggugat dalam gugatannya misalnya, meminta pengadilan agar menghukum nasabah tersebut selaku tergugat membayar sejumlah uang sebagai denda atas keterlambatan tersebut.

Dalam sengketa ekonomi konvensional tuntutan semacam ini merupakan sesuatu yang lazim dilakukan. Bahkan ketika menetapkan sanksi administratif berupa denda dengan menghukum nasabah untuk membayar bunga keterlambatan, dalam sengketa ekonomi konvensional hal itu itu emrupakan sesuatu yang wajar saja.

Namun dalam penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah di pengadilan agama, hakim dalam hal harus berhati-hati. Sebab, meskipun mengenai hal ini sudah ada fatwanya, yaitu fatwa No. 17/DSN-MUI/IX/2000 tentang Sanksi Atas Nasabah Mampu Yang Menunda-nunda Pembayaran, namun keabsahan hukumnya hingga saat ini di kalangan ulama masih kontroversial.. Di satu pihak terdapat ulama-ulama yang menentang pemberian sanksi berupa denda sejumlah uang terhadap keterlambatan tersebut karena sanksi semacam itu dianggap mengandung unsur riba yang secara qat’i dilarang syara’, sementara hal mendasar yang memberdakan ekonomi syari’ah dengan bank konvensional justru unsur yang mengandung ribu itu sendiri. Di pihak lain, terdapat ulama yang mendukung pemberian sanksi semacam itu terhadap nasabah tersebut karena beralasan untuk menegakkan maqasid asysyari’ah.58

Berkaitan dengan hal itu jika dihadapkan dengan kasus-kasus semacam itu hakim dituntut berhati-hati dan secermat mungkin agar putusan yang diajtuhkan tidak bertentangan dengan prinsip syari’ah sehingga justru menimbulkan persoalan baru bagi para pencari keadilan khususnya dan bagi masyarakat pada umumnya.

58Maftukhatusolikhah dan M. Rusydi, Sistem Ekonomi Dalam Islam (Bandung : Rineka Cipta, 2008), 6.

(30)

D. Hambatan-Hambatan yang Muncul dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama dan Cara Mengatasinya 1. Hambatan-Hambatan yang Muncul dalam Menyelesaikan Sengketa

Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama

Munculnya keadaan atau kondisi baru cenderung akan menimbulkan suatu goncangan dalam masyarakat. Dalam konteks ini, maka Pengadilan Agama sebagai lembaga yang berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 mendapatkan perluasan kewenangan menyangkut ekonomi syari’ah yang cakupannya sangat luas, diperlukan persiapan-persiapan agar dapat meniminalisir terjadinya kendala- kendala atau hambatan-hambatan yang akan terjadi dalam implementasinya.

Adapun kendala-kendala yang ada antara lain dalah keadaan sumber daya manusia dari para hakim yang belum memadai. Hakim pengadilan agama yang selama ini menghadapi sengketa di bidang perkawinan, kewarisan, hibah dan wakaf tentu saja harus mendapatkan pelatihan yang intensif mengenai aspek-aspek hukum dari ekonomi syari’ah.

Di setiap pengadilan agama di bentuk minimal 1 (satu) majelis hakim yang dipersiapkan untuk memeriksa perkara sengketa kegiatan ekonomi syari’ah.

Kendala yang muncul, salah satu anggota dari majelis hakim tersebut suatu ketika dimutasi. Untuk selanjutnya, kekosongan salah satu anggota majelis hakim tersebut tidak segera diisi atau digantikan.

Selain itu, ternyata institusi keuangan Islam yang ada, beberapa masih belum memiliki dasar hukum materiil yang jelas. Praktek menunjukkan bahwa hanya Perbankan Syari’ah sajalah yang telah memiliki hukum materiil yang jelas dalam bentuk undang-undang. Dengan demikian menurut pendapat penulis, kendala utama yang dihadapi oleh para hakim di lingkungan pengadilan agama adalah sumber daya manusia dari para hakim yang belum memadai dan belum lengkapnya sumber hukum materiil lembaga keuangan ekonomi syari’ah. Apabila hal seperti dibiarkan terjadi, maka suatu ketika akan timbul suatu kondisi hukum tidak jelas mengatur kegiatan ekonomi syari’ah. Padahal hakim tidak boleh menolak memeriksa suatu perkara jikalau hukum tidak jelas mengatur atau sama sekali tidak ada dasar hukum sebagai sumber hukum terhadap perkara yang sedang diperiksa.

(31)

Setiap pengadilan agama terdapat fasilitas perpustakaan. Dalam pengamatan penulis, koleksi buku, majalah, jurnal, undang-undang dalam perpustakaan tersebut kurang memadai. Padahal koleksi dalam perpustakaan sangat mendukung sekali bagi para hakim untuk menambah wacana dan wawasan ilmu pengetahuan, khususnya perkembangan di bidang hukum.

Dalam paktek, pembuatan akta otentik atau akad-akad perjanjian kegiatan ekonomi syari’ah masih banyak tidak mencantumkan mengenai mekanisme penyelesaian sengketa ekonomi syari’ah yang akan diselesaikan melalui pengadilan agama. Untuk itu penulis mendorong bagi para notaris maupun PPAT dapat memberikan masukan kepada para pihak yang melakukan kesepakatan dalam akad- akad kegiatan ekonomi syari’ah dengan tegas menyatakan bahwa apabila suatu ketika terjadi sengketa maka akan diselesaikan melalui pengadilan agama. Bahkan, hampir dapat dikatakan seluruh notaris dan PPAT dalam pembuatan akta otentik masih menggunakan format dan blangko lama, sehingga mengenai mekanisme penyelesaian sengketa akan diselesiakan pada pengadilan negeri.

Secara umum, masyarakat belum mengetahui mekanisme penyelesaian bidang sengketa ekonomi syari’ah di Pengadilan Agama. Hal ini berkaitan dengan kesadaran hukum masyarakat sehingga diperlukan sosialisasi ke masyarakat tentang adanya Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Pengadilan Agama dan hukum materiil lainnya yang mengatur kegiatan di bidang keuangan ekonomi syari’ah.

Masih muncul anggapan yang beredar di kalangan masyarakat secara luas, bahwa jika perkara atau sengketa diselesaikan melalui jalur pengadilan (litigasi) akan membutuhkan uang atau dana, waktu yang tidak sedikit. Selain itu pula munculnya mafia kasus (markus) dalam sistem peradilan di Indonesia makin memperparah kondisi, yang pada gilirannya masyarakat enggan beperkara di pengadilan.

2. Cara Mengatasi Hambatan-Hambatan Yang Muncul Dalam Menyelesaikan Sengketa Ekonomi Syari’ah Melalui Pengadilan Agama

Untuk meningkatkan kemampuan dan pengetahuan hakim sebagai sumber daya manusia yang akan dipersiapkan sebagai anggota majelis hakim dalam memeriksa sengketa kegiatan ekonomi syari’ah dapat dilakukan dengan

Referensi

Dokumen terkait

Bahan Hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan, yang terdiri dari Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, Kitap Undang-undang Hukum Perdata

Transportasi di Indonesia diatur dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku yaitu Undang-Undang Dasar 1945, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1969 tentang

bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, berupa peraturan perundang-undangan, antara lain: Undang-Undang Dasar Tahun 1945, Undang-Undang

20 Pelanggaran lalu lintas secara normatif telah diatur secara jelas dalam berbagai macam peraturan perundang-undangan mulai dari tingkat Undang- Undang hingga Peraturan

Berdasarkan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan tersebut, maka Peraturan Bank Indonesia sebagai aturan pelaksana Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008

Dalam penelitian ini bahan hukum primer, yaitu: berbagai dokumen peraturan perUndang-Undangan yang tertulis mengenai perdagangan efek tanpa warkat, Undang-Undang Nomor

Peraturan Perundang-undangan : Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undag Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik

75 Peraturan Perundang-Undangan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84/PMK.012/2006 tentang Perusahaan Pembiayaan Undang-Undang No.. 42 Tahun 1999