• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PENDIDIKAN INFORMAL TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2023

Membagikan "PENGARUH PENDIDIKAN INFORMAL TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL "

Copied!
95
0
0

Teks penuh

(1)

i

PENGARUH PENDIDIKAN INFORMAL TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL

(Studi Pada Siswa Kelas V SD Al-Zahra Indonesia Pamulang)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Aci Sutanti NIM. 1112018300042

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M

(2)

i

PENGARUH PENDIDIKAN INFORMAL TERHADAP KECERDASAN EMOSIONAL

(Studi Pada Siswa Kelas V SD Al-Zahra Indonesia Pamulang)

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.)

Oleh Aci Sutanti NIM. 1112018300042

Mengetahui, Pembimbing

Dr. Fidrayani, M.Pd.

NIP. 19760207 201503 2 001

JURUSAN PENDIDIKAN GURU MADRASAH IBTIDAIYAH FAKULTAS ILMU TARBIYAH DAN KEGURUAN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440 H / 2019 M

(3)

ii

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING

Skripsi berjudul Pengaruh Pendidikan Informal Terhadap Kecerdasan Emosional (Studi pada siswa kelas V SD Al-Zahra Indonesia Pamulang), disusun oleh Aci Sutanti, NIM. 1112018300042, Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, telah melalui bimbingan dan dinyatakan sah sebagai karya ilmiah yang berhak diujikan pada sidang munaqasah sesuai ketentuan yang ditetapkan oleh fakultas.

Jakarta, 27 November 2018

Yang mengesahkan, Pembimbing

Dr. Fidrayani, M.Pd.

NIP. 19760207 201503 2 001

(4)

iii

(5)

iv

(6)

v ABSTRAK

Aci Sutanti, NIM. 1112018300042, “Pengaruh Pendidikan Informal Terhadap Kecerdasan Emosional (Studi pada siswa kelas V SD Al-Zahra Indonesia Pamulang)” Skripsi Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah, Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Kata Kunci: Pendidikan Informal, Kecerdasan Emosional

Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan dan mencari data empirik pengaruh pendidikan informal terhadap kecerdasan emosional siswa kelas V SD.

Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode kuantitatif.

Penelitian ini dilakukan di SD Al-Zahra Indonesia Pamulang. Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan teknik simple random sampling.

Instrumen penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Kuesioner yang diberikan ada dua jenis, yaitu untuk mengetahui pendidikan informal yang didapatkan siswa dan kecerdasan emosional yang dimiliki siswa.

Kuesioner kecerdasan emosional mewakili indikator menurut teori Daniel Goleman. Berdasarkan hasil uji-t diperoleh thitung = 0,662 dan ttabel = 0,294 dengan taraf signifikan (α) = 0,05. Karena thitung > ttabel (0,662 > 0,294), maka H0 ditolak dan Ha diterima. Hal ini menunjukkan, terdapat pengaruh positif dan signifikan antara pendidikan informal terhadap kecerdasan emosional siswa.

(7)

vi ABSTRACT

Aci Sutanti, NIM. 1112018300042. “The Effect of Informal Education in Emotional Intelligence (Study on 5th Grade Students of Al-Zahra Indonesia Elementary School Pamulang)” Teaching Education of Madrasah Ibtidaiyah Department Thesis, Faculty of Tarbiyah and Teacherships. Islamic State University Syarif Hidayatullah Jakarta, 2018.

Key Words: Informal Education, Emotional Intelligence

The purpose of this research is to prove and looking for empirical data about influence of informal education in emotional intelligence 5th grade students.

The method of this research is quantitative. This research did in Al-Zahra Indonesia elementary school Pamulang. Technic sampling used in this research is simple random sampling. The instrument used in this research is questionnaire.

The questionnaire provided is of two types, namely to find out the informal education that students get and the emotional intelligence students have.

Questionnaire of emotional intelligence represent to indicator emotional intelligence of Goleman. Based on t-test obtained tvalue = 0,662 and ttable = 0,294 with significance level (α) = 0,05. Because tvalue > ttable (0,662 > 0,294), then H0 is rejected and Ha is accepted. This shown that there is effect between informal education with emotional intelligence students.

(8)

vii

KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji dan rasa syukur penulis sampaikan kepada hadirat Allah SWT, yang telah memberikan taufik, hidayah, dan kesehatan kepada penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam semoga senantiasa tercurahkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya, dan umat Islam yang mengikutinya sampai akhir zaman.

Penulis menyadari dalam penulisan ini banyak rintangan dan hambatan yang dihadapi. Namun, berkat curahan karunia Allah SWT, dan siraman doa restu dari berbagai pihak yang telah ikhlas memberikan dukungan dan bimbingan secara moril dan materiil, penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Oleh karena itu, dengan segala ketulusan hati, penulis mempersembahkan rasa terima kasih yang mendalam kepada:

1. Prof. Dr. Ahmad Thib Raya, M.A., selaku Dekan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan (FITK) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Dr. Khalimi, M.Ag., selaku Ketua Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, sekaligus merangkap sebagai dosen pembimbing akademik yang tidak ada lelahnya memberikan semangat.

3. Asep Ediana Latip, M.Pd., selaku Sekretaris Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

4. Dr. Fidrayani, M.Pd., selaku Dosen Pembimbing yang telah membantu dalam pembuatan skripsi, serta memberikan semangat dan motivasi.

5. Seluruh dosen Jurusan Pendidikan Guru Madrasah Ibtidaiyah (PGMI) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan ilmu pengetahuan dan bimbingan kepada penulis selama mengikuti perkuliahan.

6. Kepala, guru, dan staff SD Al-Zahra Indonesia, Pamulang, Tangerang Selatan, yang telah memberikan izin untuk melakukan penelitian di SD Al-Zahra Indonesia.

7. Keluarga tersayang, terutama Bapak Suparno, Ibu Watik, Mas Adi Sutikno, Alvin Romadhoni Setiawan, dan Aprilleo Ilham Santoso, yang telah

(9)

viii

8. memberikan dukungan dalam bentuk apapun, yang telah sabar menunggu penulis menyelesaikan studinya.

9. Calon suami tercinta, Mas Tri Rochmadi, yang telah memberikan segala sesuatu yang penulis butuhkan, yang telah sabar menunggu penulis menyelesaikan studinya untuk segera meminang.

10. Mamih, Iah, Lina, sahabat yang tak henti-hentinya mengolok penulis karena paling lambat mengerjakan skripsi, yang memicu penulis juga untuk segera wisuda.

11. YOUDAH (Yolanda, Ociana, Uul, Dita, Aci, Halimah), sahabat angkatan yang terus memberikan doa yang tulus.

12. Arina Taruli Sitorus, kakak sekaligus pembimbing skripsi yang mengajarkan bahwa orang jujur itu tidak akan disalahkan.

13. Amaliatun Hikmah, adik angkatan serasa seumuran, yang telah menemani penulis di masa-masa sulit.

14. Sonya Octavia, teman kantor yang memberikan semangat pada penulis untuk segera wisuda.

15. Keluarga besar PGMI 2012, yang telah mengisi hari-hari penulis di awal-awal semester.

Serta semua pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu, mudah- mudahan bimbingan, dukungan, semangat, dan doa yang telah diberikan menjadi pintu datangnya ridho dan kasih sayang Allah SWT di dunia dan akhirat.

Semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi penulis khususnya dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan umumnya. Aamiin.

Jakarta, 29 Oktober 2018 Penulis

Aci Sutanti

(10)

ix DAFTAR ISI

LEMBAR PENGESAHAN ILMIAH ... i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ... ii

LEMBAR PENGESAHAN ... iii

LEMBAR PERNYATAAN KARYA ILMIAH ... iv

ABSTRAK ... v

ABSTRACT ... vi

KATA PENGANTAR ... vii

DAFTAR ISI ... ix

DAFTAR TABEL ... xii

DAFTAR GAMBAR ... xiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xiv

BAB I PENDAHULUAN ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Identifikasi Masalah ... 6

C. Pembatasan Masalah ... 6

D. Perumusan Masalah ... 7

E. Tujuan Penelitian ... 7

F. Kegunaan Penelitian ... 7

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 8

A. Kecerdasan Emosional ... 8

1. Pengertian Kecerdasan Emosional ... 8

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional ... 12

3. Faktor-faktor Kecerdasan Emosional ... 13

4. Karakteristik Kecerdasan Emosional ... 14

B. Pendidikan Informal ... 15

1. Pengertian Pendidikan ... 15

2. Faktor-faktor Pendidikan... 17

3. Pendidikan Informal ... 18

4. Pendidikan Keluarga ... 19

(11)

x

5. Fungsi Keluarga ... 21

6. Materi Pendidikan Keluarga... 24

C. Hasil Penelitian yang Relevan ... 25

D. Kerangka Teoritik ... 26

E. Hipotesis Penelitian ... 28

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 29

A. Tempat dan Waktu Penelitian ... 29

B. Metode dan Desain Penelitian ... 29

C. Populasi dan Sampel ... 30

D. Variabel Penelitian ... 32

E. Instrumen Penelitian ... 32

1. Instrumen Variabel Y (Kecerdasan Emosional)... 34

2. Instrumen Variabel X (Pendidikan Informal) ... 35

F. Uji Instrumen ... 37

1. Uji Validitas ... 37

2. Uji Reliabilitas... 38

G. Uji Prasyarat Analisis ... 39

1. Uji Normalitas ... 39

2. Uji Homogenitas ... 39

H. Uji Hipotesis ... 40

I. Hipotesis Statistik ... 42

BAB IV PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 43

A. Deskripsi Data ... 43

1. Data Hasil Penelitian Variabel X (Pendidikan Informal)... 43

2. Data Hasil Penelitian Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 45

B. Uji Instrumen ... 47

1. Uji Validitas ... 47

2. Uji Reliabilitas... 48

C. Uji Prasyarat Analisis ... 50

1. Uji Normalitas ... 50

(12)

xi

2. Uji Homogenitas ... 50

3. Uji Linieritas ... 51

D. Uji Hipotesis ... 52

1. Uji Analisis Regresi Sederhana ... 52

2. Analisis Korelasi Sederhana... 54

3. Uji Koefisien Determinasi ... 54

E. Pembahasan Hasil Penelitian ... 55

F. Keterbatasan Penelitian ... 56

BAB V PENUTUP ... 57

A. Kesimpulan ... 57

B. Saran ... 57

DAFTAR PUSTAKA ... 59

LAMPIRAN ... 61

(13)

xii

DAFTAR TABEL

Tabel 3.1. Jadwal Kegiatan Penelitian ... 29

Tabel 3.2. Distribusi Jumlah Populasi dan Sampel Penelitian ... 31

Tabel 3.3. Kriteria Penilaian Skala Likert ... 33

Tabel 3.4. Kisi-kisi Instrumen Variabel Y (Kecerdasan Emosional)... 35

Tabel 3.5. Kisi-kisi Instrumen Variabel X (Pendidikan Informal) ... 36

Tabel 3.6 Interpretasi Koefisien Korelasi ... 40

Tabel 4.1. Deskripsi Data ... 43

Tabel 4.2. Distribusi Frekuensi Variabel X (Pendidikan Informal) ... 44

Tabel 4.3. Distribusi Frekuensi Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 46

Tabel 4.4. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel X (Pendidikan Informal) ... 47

Tabel 4.5. Hasil Uji Validitas Instrumen Variabel Y (Kecerdasan Emosional) . 48 Tabel 4.6. Hasil Uji Reliabilitas Variabel X (Pendidikan Informal)... 49

Tabel 4.7. Hasil Uji Reliabilitas Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 49

Tabel 4.8. Hasil Uji Normalitas ... 50

Tabel 4.9. Hasil Uji Homogenitas ... 51

Tabel 4.10. Hasil Uji Linieritas ... 51

Tabel 4.11. Hasil Uji Koefisien Regresi Sederhana ... 53

Tabel 4.12. Hasil Uji Analisis Korelasi ... 54

Tabel 4.13. Hasil Uji Koefisien Determinasi ... 55

(14)

xiii

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1. Kerangka Teoritik ... 29

Gambar 3.1 Bagan Desain Penelitian ... 30

Gambar 4.1. Grafik Histogram Variabel X (Pendidikan Informal) ... 45

Gambar 4.2. Grafik Histogram Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 46

(15)

xiv

DAFTAR LAMPIRAN

Lampiran 1 Tabel r Product Moment ... 62

Lampiran 2 Tabel t ... 63

Lampiran 3 Angket Instrumen Penelitian Variabel X (Pendidikan Informal) .... 64

Lampiran 4 Angket Instrumen Penelitian Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 66

Lampiran 5 Data Mentah Variabel X (Pendidikan Informal) ... 69

Lampiran 6 Data Mentah Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 70

Lampiran 7 Hasil Uji Validitas Variabel X (Pendidikan Informal) ... 71

Lampiran 8 Hasil Uji Validitas Variabel Y (Kecerdasan Emosional) ... 72

Lampiran 9 Surat Permohonan Izin Penelitian ... 73

Lampiran 10 Surat Keterangan Telah Melakukan Penelitian ... 74

Lampiran 11 Surat Bimbingan Skripsi ... 75

Lampiran 12 Catatan Lapangan ... 76

Lampiran 13 Lembar Uji Referensi ... 77

Lampiran 14 Daftar Riwayat Hidup ... 80

(16)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Jalur pendidikan di Indonesia terdiri dari pendidikan formal, nonformal, dan informal. Hal tersebut tertuang dalam UU No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional dan dijelaskan lebih lengkap pada PP No. 17 Tahun 2010 Tentang Pengelolaan dan Penyelenggaraan Pendidikan.

Pada UU No. 20 Tahun 2003 Pasal 13 Ayat 1 dikemukakan, ketiga jalur tersebut saling melengkapi dan memperkaya.1 Hal itu disebabkan.

pendidikan melalui ketiga jalur tersebut berlangsung bersama-sama namun mengkaji aspek yang berlainan. Dengan demikian, akan menjadi studi yang lengkap tentang pendidikan.

Dari ketiga jalur tersebut, yang paling banyak mendapat perhatian dari masyarakat maupun pemerintah adalah pendidikan formal. Hal ini dikarenakan, pendidikan formal dijadikan tumpuan utama untuk pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM).

Pendidikan formal adalah jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang, yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.2 Wajar saja jika pendidikan formal dijadikan acuan karena pelaksanaannya pun berkelanjutan dan dijadikan syarat untuk mendapatkan pekerjaan yang baik, sehingga bisa meningkatkan kualitas hidup seseorang.

Lain pendidikan formal lain pendidikan nonformal. Pendidikan nonformal lebih berfungsi sebagai pengganti, penambah dan atau pelengkap pendidikan formal dalam rangka mendukung pendidikan sepanjang hayat.3 Misalnya, orangtua meminta anaknya untuk mengikuti bimbingan belajar. Hal itu bertujuan untuk mendukung prestasi anak di sekolah.

1 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 13 Ayat 1.

2 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 1 Ayat 11.

3 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 26 Ayat 1.

(17)

2

Selain itu, jika seseorang tidak dapat menempuh pendidikan formal, maka orang tersebut bisa mengikuti program pendidikan nonformal yang relevan. Seperti Paket A untuk SD, Paket B untuk SLTP, serta Paket C untuk SLTA dan selanjutnya mengikuti penilaian penyetaraan yang diselenggarakan oleh lembaga yang ditunjuk pemerintah.

Beda dengan dua jalur pendidikan yang sudah dijelaskan sebelumnya, pendidikan informal jarang diperhatikan oleh khalayak ramai.

Pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan berbentuk kegiatan belajar secara mandiri.4 Itu berarti, pendidikan informal diselenggarakan secara terpisah, sepenuhnya merupakan tanggung jawab keluarga, dan peserta didiknya pun adalah individu bukan dalam bentuk kelompok.5

Keluarga, khususnya orangtua, berperan menjadi pendidik utama dalam pendidikan informal. Oleh karena itu, orangtua harus memperhatikan materi yang akan diajarkan. Selain itu, materinya pun harus disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan itu sendiri.

Menurut Helmawati, asas atau dasar materi pendidikan yang akan diberikan kepada anak hendaknya berdasarkan pada asas agama, asas falsafah, asas psikologi, dan asas sosial.6 Hal itu bertujuan agar anak memiliki nilai hidup jasmani, nilai estetis, nilai kebenaran, nilai moral, dan nilai keagamaan, serta bertindak sesuai dengan nilai tersebut.7

Menurut Laela Maghfiroh, pola asuh orangtua mempengaruhi kecerdasan emosional anak sebesar 8,8% dan sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.8 Goleman juga berpendapat sama. Ia mengatakan, kehidupan keluarga

4 Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 27 Ayat 1.

5 Sudardja Adiwikarta, Sosiologi Pendidikan: Analisis Sosiologi Tentang Praksis Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 153.

6 Helmawati, Pendidikan Keluarga: Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 53.

7 Hasbullah, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2017), h.

23.

8 Laela Maghfiroh, Pengaruh Pola Asuh Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Kelas IV SDN Grogol Selatan 01, Kearsipan Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, September 2017, h. 67.

(18)

merupakan sekolah pertama untuk mempelajari emosi. Artinya, bagaimana seseorang merasakan perasaan diri sendiri dan perasaan orang lain, memilih tindakan yang tepat terhadap suatu peristiwa, dan mengungkapkan harapan serta rasa takut.9

Tim dari University of Washington telah menemukan, orangtua yang terampil secara emosional memiliki anak-anak yang pergaulannya lebih baik dan memperlihatkan lebih banyak kasih sayang kepada orangtuanya. Selain itu, anak-anak ini juga lebih pintar menangani emosinya, dan lebih efektif menenangkan diri saat marah.10

Namun, sekolah dan budaya lebih menitikberatkan pada kemampuan akademis dan mengabaikan kecerdasan emosional. Sebab masih banyak keluarga yang sangat memprioritaskan kecerdasan intelektual (IQ) semata.11

Hal tersebut diperkuat oleh Yuli Setyowati yang menyatakan, pemahaman dan kesadaran keluarga mengenai pentingnya komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak masih tergolong rendah.12 Padahal, kecerdasan emosi harus dipupuk dan diperkuat dalam diri setiap anak. Pasalnya, kecerdasan emosi sangat erat kaitannya dengan kecerdasan-kecerdasan lain, seperti kecerdasan sosial, moral, interpersonal, dan spiritual.

Sebagaimana fakta, kecerdasan intelektual bukan merupakan satu- satunya faktor yang menentukan keberhasilan seseorang, sebab masih ada faktor lain yang mempengaruhi. Di antaranya adalah kecerdasan emosional yakni kemampuan memotivasi diri sendiri, mengatasi frustasi, mengontrol desakan hati, mengatur suasana hati (mood), berempati, serta kemampuan bekerja sama.13

9 Daniel Goleman, Kecerdasan Emosional, (Jakarta: Gramedia, 2009), h. 268.

10 Ibid., h. 271.

11 Ibid., h. 47.

12 Yuli Setyowati, Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada Keluarga Jawa), Jurnal Ilmu Komunikasi, Vol. 2 No. 1, Juni 2005, h. 67-78.

13 Jassin Tuloli dan Dian Ekawaty Ismail, Pendidikan Karakter: Menjadikan Manusia Berkarakter Unggul, (Yogyakarta: UII Press, 2016), h. 122-124.

(19)

4

Menurut Goleman, kecerdasan akademis praktis tidak menawarkan persiapan untuk menghadapi kesulitan-kesulitan hidup. Tak hanya itu, IQ yang tinggi pun tidak menjamin kesejahteraan, gengsi, atau kebahagiaan hidup.14

Senada dengan hal tersebut, Eva Nauli Thaib dalam penelitiannya menyatakan, kecerdasan emosional dapat dinyatakan sebagai salah satu faktor yang penting jika siswa memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah serta menyiapkan mereka menghadapi dunia nyata.15 Kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional merupakan unitas.

Artinya, satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan satu sama lain dalam mengukir kesuksesan.16

Pada kenyataannya, berdasarkan hasil observasi di SD Al-Zahra Indonesia Pamulang, terdapat 5-6 siswa di masing-masing kelas VA, VB, dan VC membutuhkan bimbingan khusus. Para siswa tersebut tidak fokus saat proses belajar mengajar, kesulitan untuk menyelesaikan tugas yang diberikan guru, tidak berbaur dengan teman saat diskusi, mudah marah saat tugasnya tidak terselesaikan, serta mudah mengganggu teman sekelas saat pembelajaran.17 Kasus-kasus tersebut secara umum disebabkan oleh rendahnya kapasitas kecerdasan emosional siswa.18

Dalam pandangan Islam, emosi identik dengan nafsu yang dianugrahkan oleh Allah SWT. Nafsu inilah yang akan membawanya menjadi baik atau jelek, budiman atau preman, pemurah atau pemarah, dan lain sebagainya. Keberadaan nafsu dalam diri manusia ini harus dikelola dengan baik agar mencapai perbuatan-perbuatan yang baik. Sebab pada dasarnya kecerdasan dalam Islam adalah kemampuan mengelola atau mengendalikan emosi dan perilakunya.19

14 Daniel Goleman, Op.Cit., h. 47.

15 Eva Nauli Thaib, Hubungan Antara Prestasi Belajar dengan Kecerdasan Emosional, Jurnal Ilmiah Didaktika, Vol. 13 No. 2, Februari 2013, h. 398.

16 Jassin Tuloli dan Dian Ekawaty Ismail, Op.Cit., h. 121.

17 CL 01.

18 Jassin Tuloli dan Dian Ekawaty Ismail, Op.Cit., h. 122-124.

19 Muallifah, Pshyco Islamic Smart Parenting, (Yogyakarta: Diva Press, 2009), h. 129.

(20)

Dasar pengendalian emosi terdapat pada al-Qur’an surat Al-Hadid ayat 22-23 berikut ini:

َف ٍلاَت ْخُم هلُك ُّبِحُي َلَ ُ هاللََّو ۗ ْمُكاَتآ اَمِب اوُحَرْفَت َلََو ْمُكَتاَف اَم ٰىَلَع اْوَسْأَت َلَْيَكِل ٍروُخ

“(Kami jelaskan yang demikian itu) supaya kamu jangan berduka cita terhadap apa yang luput dari kamu, dan supaya kamu jangan terlalu gembira terhadap apa yang diberikan-Nya kepadamu. Dan Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi membanggakan diri.”20

Ayat di atas secara spesifik menggambarkan bahwa Allah memerintahkan kepada manusia agar tidak berlebihan ketika menghadapi sesuatu. Dengan kata lain ayat di atas memerintahkan agar manusia mampu mengendalikan diri.

Pengendalian diri dalam Islam juga tercermin dalam hadis Nabi sebagai berikut:

يدسلا سيل :لاق ملسو هيلع اللَّ ىلص اللَّ وسر نا ُهْنَع ُاللَّ َىِضَر َهَرْيَرُه ىِبَا ْنَع رصل اب د

بيغلا دنع هسفن كلمي ىذلاديدشلا امنا ةع

“Darinya (Abu Hurairah) Radhiyallahu Anhu, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda, “Orang kuat itu bukanlah orang yang jago bergulat.

Akan tetapi orang kuat adalah orang yang dapat menahan dirinya ketika marah.” [shahih, Al-Bukhari (6114) dan Muslim (2609)]21

Hadis di atas sangat jelas, perasaan marah bukan untuk ditunjukkan atau dilampiaskan sesuka hati. Akan tetapi terdapat anjuran untuk menguasai nafsunya, dalam hal ini berarti anjuran untuk mengontrol emosinya.

Dalam Islam, bentuk nyata dari kecerdasan emosi adalah akhlakul karimah atau budi pekerti yang baik. Akhlakul karimah merupakan perbuatan baik dilakukan oleh seseorang yang muncul atas kemampuan seseorang memahami nafsu dalam dirinya. Untuk mewujudkan budi pekerti yang baik tersebut perlu ada kecakapan pengelolaan emosi, meliputi istiqomah

20 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Bumi Restu, 1976), h. 537.

21 Muhammad Fuad Abdul Baqi, Kumpulan Hadits Shahih Bukhari Muslim, (Sukoharjo: Insan Kamil).

(21)

6

(konsistensi), rendah hati (tawadhu), tulus atau ikhlas, totalitas, seimbang, dan integritas (membaur).22

Dari permasalahan-permasalahan yang sudah dipaparkan di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian dengan judul “Pengaruh Pendidikan Informal Terhadap Kecerdasan Emosional (Studi pada siswa kelas V SD Al-Zahra Indonesia Pamulang)”.

B. Identifikasi Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah, maka masalah yang dapat diidentifikasi adalah sebagai berikut:

1. Rendahnya kecerdasan emosional siswa.

2. Kurangnya kesadaran orangtua tentang pentingnya kecerdasan emosional bagi perkembangan siswa.

C. Pembatasan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penelitian ini dibatasi pada pengaruh pendidikan informal terhadap kecerdasan emosional siswa SD Al-Zahra Indonesia Pamulang yang meliputi:

1. Pendidikan informal yang dimaksud dalam penelitian ini adalah pendidikan keluarga.

2. Kecerdasan emosional yang dimaksud dalam penelitian ini adalah siswa memiliki self awareness (kesadaran diri), self regulation (mengatur), self motivation (motivasi), social awareness (kesadaran sosial), dan social skills (kemampuan bersosial).

3. Siswa yang menjadi responden penelitian ini berjumlah 45 siswa yang terdiri dari masing-masing kelas V-A, V-B, dan V-C SD Al-Zahra Indonesia Pamulang.

4. Penelitian ini dilaksanakan pada Agustus hingga November 2018.

22 Ary Agustian Ginanjar, ESQ; Rahasia Sukses Membangun Kecerdasan Emosi dan Spiritual Berdasarkan Islam, (Jakarta: Arga, 2006), h. 208.

(22)

D. Perumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dikemukakan di atas, maka masalah dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “Adakah pengaruh dan seberapa besar pengaruh pendidikan informal terhadap kecerdasan emosional (studi pada siswa SD Al-Zahra Indonesia Pamulang)?”.

E. Tujuan penelitian

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah untuk membuktikan atau menemukan data empirik tentang pengaruh pendidikan informal terhadap kecerdasan emosional siswa kelas V SD Al-Zahra Indonesia, Pamulang.

F. Kegunaan Penelitian

1. Bagi individu; sebagai penambahan wawasan serta prasyarat untuk mendapatkan gelar Sarjana Pendidikan (S.Pd.) di Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

2. Bagi lembaga; penelitian ini diharapkan menjadi bahan referensi maupun evaluasi dalam meningkatkan kecerdasan emosional maupun menambahkan bentuk pendidikan informal di SD Al-Zahra Indonesia, Pamulang.

3. Bagi ilmu pengetahuan; penelitian ini diharapkan dapat menambah kekayaan keilmuan serta memperkaya hasil penelitian sebelumnya terkait pendidikan informal dan kecerdasan emosional.

4. Bagi kampus; sebagai tambahan kepustakaan dan referensi penelitian terkait pendidikan informal maupun kecerdasan emosional.

(23)

8 BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kecerdasan Emosional

1. Pengertian Kecerdasan Emosional

Menyoal kecerdasan, khalayak ramai memahaminya sebagai kecakapan seseorang untuk menyelesaikan sebuah masalah yang sedang dihadapi dan mencari solusi atas semua itu. Definisi intelegensi yang dituliskan oleh beberapa ahli dalam Wowo Sunaryo Kusnawa menjelaskan bahwa:

Inteligensi sebagai kemampuan menyesuaikan diri (Tyler,1956;

Wechsler,1958; Sorenson,1977), inteligensi juga sebagai kemampuan untuk belajar (Freeman,1971), inteligensi sebagai kemampuan untuk berfikir abstrak (Mehrens,1973; Terman dalam Crider, 1983, inteligensi merupakan sisi tunggal dari karakteristik yang terus berkembang sejalan dengan proses kematangan seseorang. Binet, 1857-1931 menyatakan bahwa inteligensi berfungsi sebagai: (1) direction (kemampuan untuk memusatkan pada suatu masalah yang harus dipecahkan); (2) adaptation (kemampuan untuk menandakan adaptasi terhadap masalah yang dihadapinya atau fleksibel dalam menghadapi masalah); (3) criticism (kemampuan untuk mengadakan kritik, baik terhadap masalah yang dihadapi maupun terhadap dirinya sendiri), inteligensi sebagai kemampuan untuk memahami masalah-masalah yang bercirikan:

mengandung kesukaran, kompleks, abstrak dan diarahkan pada tujuan (George D. Stoddard, 1941), serta Whitherington juga mengemumukan inteligensi adalah “kelakuan cerdas”.23

Bertolak dari beberapa defenisi yang dituliskan para ahli tersebut, maka dapat ditsimpulkan bahwa, inteligensi (kecerdasan) merupakan kemampuan mengelola atau mengendalikan stimulus dari luar diri dengan cara bijaksana sehingga efek atau responnya bersifat positif.

Efek positif mengandung dua pengertian. Pertama, responnya bersifat efektif maksudnya dimana responnya tepat sesuai dengan yang diharapkan dan kedua, responnya bersifat produktif, artinya yang dihasilkan

23 Wowo Sunaryo Kuswana, Biopsikologi (Pembelajaran Perilaku), (Bandung:

Alfabeta, 2014), h. 149.

(24)

maksimal.

Emosi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) didefinisikan sebagai (1) luapan perasaan yang berkembang dan surut dalam waktu singkat; (2) keadaan dan reaksi psikologis dan fisiologis.24 Emosi jarang muncul sendiri, mereka tidak berdiri sendiri, tapi berinteraksi dengan emosi lainnya. Umumnya beberapa emosi muncul dan pudar bersamaan. Dan yang lebih sering terjadi adalah satu emosi muncul terlebih dahulu lalu memicu emosi lainnya sambil emosi pertama ini memudar atau hilang.

Menurut Goleman, emosi pada dasarnya adalah dorongan untuk bertindak, rencana seketika untuk mengatasi masalah yang telah ditanamkan secara berangsur-angsur oleh evolusi. Akar kata emosi adalah movere, kata kerja dalam Bahasa Latin adalah menggerakkan atau bergerak. Kecenderungan bertindak merupakan hal mutlak dalam emosi. Bahwasanya emosi memancing tindakan, emosi menjadi akar dorongan untuk bertindak terpisah dari reaksi-reaksi yang tampak di mata.25

Emosi dapat digambarkan sebagai proses biologis dan hasil evolusi karena mereka memberikan solusi yang baik untuk pemecahan suatu masalah berulang seperti yang dihadapi nenek moyang kita terdahulu. Menurut Wowo Sunaryo Kuswana emosi dapat dibedakan dari sejumlah konstruksi serupa dalam bidang neuroscience afektif yaitu:

a. Perasaan yang terbaik dipahami sebagai representasi subjektif dari emosi bagi individu yang mengalaminya.

b. Moods suatu pernyataan afektif difus yang biasanya berlangsung selama jangka waktu yang lebih lama daripada emosi, dan juga biasanya kurang intens dibandingkan emosi.

c. Hal yang mempengaruhi untuk topik emosi, perasaan, dan suasana hati bersama-sama, meskipun biasanya digunakan bergantian dengan emosi.26

24 Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, diakses dari https://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/emosi pada tanggal 1 November 2018 pukul 12:00 WIB.

25 Daniel Goleman, Emotional Intelligence, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2007), h. 7.

26 Wowo Sunaryo Kuswana, Opcit., h. 214.

(25)

10

Penelitian pada emosi sosial berfokus pada penampilan fisik emosi termasuk bahasa tubuh manusia (mempengaruhi penampilan).

Sebagai contoh, meskipun tampaknya melawan individu tetapi dapat membangun reputasi seseorang sebagai seseorang yang harus ditakuti.

Malu dan kebanggaan dapat memotivasi perilaku yang membantu seseorang mempertahankan seseorang berdiri di sebuah komunitas, dan harga diri adalah perkiraan seseorang tentang status seseorang.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa emosi adalah keadaan bergejolaknya perasaan (feeling) sebagai akibat stimulus dari luar. Gejolak perasaan tersebut bisa bersifat respon positif dan dapat pula bersifat negatif. Gejolak perasaan bersifat positif tampak pada adanya respon berupa rasa empati, simpati, cinta, rindu, kasihan, senang, bahagia, percaya diri, optimis, gembira, puas, terkesima, tergiur, termotivasi dan terimprovisasi dari yang menerima stimulus. Gejolak perasaan bersifat negatif seperti adanya respon cuek, antipati, benci, dendam, jengkel, tidak enak, penderitaan, tidak percaya diri, pesimis, tidak puas, tersontak, bosan, tidak termotivasi dan tidak terimprovisasi dari yang menerima stimulus.

Akar awal kecerdasan emosional dapat ditelusuri dari karya Charles Darwin tentang pentingnya ekspresi emosional untuk kelangsungan hidup dan adaptasi. Penggunaan pertama istilah

“Kecerdasan Emosional” biasanya dihubungkan dengan disertasi Doktor Wayne Payne, A Study Emotion. Mengembangkan kecerdasan emosional dari tahun 1985. Namun, sebelum ini, istilah “Kecerdasan Emosional”

telah muncul di Leuner pada 1966.27

Pada 1983, pandangan Gardner dalam Frames Howard Gardner of Mind. Beliau mengemukakan keragaman kecerdasan terus berkembang.

Gardner menyebut kecerdasan emosional sebagai kecerdasan pribadi yang terdiri dari kecerdasan antar pribadi dan kecerdasan intra pribadi.

Kecerdasan antar pribadi merupakan kemampuan untuk memahami orang

27 Ibid., h. 240-243.

(26)

lain, apa yang memotivasi mereka, bagaimana mereka bekerja, bagaimana bekerja bahu membahu dengan orang lain. Tenaga-tenaga penjualan, politisi, guru, dokter, perawat dan pemimpin yang sukses merupakan orang-orang yang mempunyai tingkat kecerdasan antar pribadi yang sangat tinggi. Kecerdasan intra pribadi adalah kemampuan korelatif, tetapi terarah kedalam diri. Kemampuan tersebut adalah kemampuan membentuk suatu model diri sendiri yang teliti dan mengacu pada diri serta kemampuan untuk menggunakan model tadi sebagai alat untuk menempuh kehidupan secara efektif. Inti kecerdasan pribadi menurut Gardner merupakan kemampuan untuk membedakan dan menanggapi dengan tepat suasana hati, tempramen, motivasi dan hasrat orang lain.28

Kemudian, Stanley Greenspan (1989) juga mengajukan model Emotional Inteligience (EI), diikuti oleh Peter Salovey dan John Mayer (1989) yang menempatkan kecerdasan pribadi Gardner sebagai dasar tentang kecerdasan emosional yang diteruskannya dengan memperluas kemampuan ini menjadi lima faktor utama yaitu: 1. Mengenali emosi diri, 2. Mengelola emosi, 3. Motivasi diri, 4. Empati, 5. Hubungan Sosial29. Selanjutnya, Daniel Goleman (1995) mengelompokkan kecerdasan emosional menjadi lima domain yaitu; pemahaman terhadap emosi sendiri, pengelolaan emosi sendiri, memotivasi diri sendiri, memahami peraan orang lain, dan menata hubungan dengan orang lain yang dapat dilakukan dengan jalan memahami perasaan orang lain atau empati.30

Martini Djamaris juga menjelaskan bahwa kecerdasan emosional melibatkan sejumlah bentuk perilaku, bentuk emosi, dan berbagai bentuk komunikasi. Selanjutnya, proses dan produk kecerdasan emosional juga melibatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengurangi stress, konflik, meningkatkan pengetahuan dan keterampilan dalam mengurangi

28 Daniel Goleman, Op.Cit., h. 50–52.

29 Ibid., h. 57-59.

30 Martini Djamaris, Orientasi Baru Dalam Psikologi Pendidikan, (Jakarta: Yayasan Penamas Murni, 2010), h. 142-143.

(27)

12

konflik, meningkatkan hubungan antara manusia, stabilitas, keberlanjutan dan keharmonisan.31

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan mengenali dengan baik emosi sendiri dan mampu mengelola atau mengendalikannya dari yang sifatnya negatif atau rendah tingkatannya ketingkatan yang lebih tinggi serta kemampuan mengenali dengan baik emosi orang lain dan mampu menyesuaikan atau menjalin hubungan positif dengan orang lain.

2. Aspek-aspek Kecerdasan Emosional

Kecerdasan emosional dikembangkan karena kecerdasan intelektual merupakan konsep yang sangat terbatas dalam menjelaskan kemampuan manusia. Menurut Martini Djamaris kecerdasan emosional terdiri dari dua aspek, yaitu aspek yang berkaitan dengan pemahaman terhadap diri sendiri (seperti: tujuan hidup, arti hidup, respon terhadap perilaku, dan lain-lain), dan aspek yang berkaitan dengan pemahaman terhadap perasaan orang lain.32

Sedangkan menurut Daniel Goleman kecerdasan emosional mencakup lima aspek, yaitu:

a. Kesadaran diri yaitu: kemampuan untuk mengetahui emosi seseorang, kekuatan, kelemahan, pendorong, nilai-nilai dan tujuan dan mengakui dampaknya pada orang lain saat menggunakan insting untuk menuntun keputusan.

b. Self regulasi yaitu: melibatkan, mengontrol atau mengarahkan emosi pengganggu seseorang dan dorongan dan menyesuaikan dengan perubahan kondisi.

c. Keterampilan sosial yaitu: mengelola hubungan untuk memindahkan orang ke arah yang diinginkan

d. Empati yaitu: mempertimbangkan perasaan orang lain terutama ketika membuat keputusan.

e. Motivasi yaitu: dorongan untuk mencapai demi prestasi.33

31 Ibid., h. 143.

32 Ibid., h. 142.

33 Wowo Sunaryo Kuswana, Op.Cit., h. 245-246.

(28)

Konsep Goleman mencakup seperangkat kompetensi emosional dalam setiap konstruk kecerdasan emosional. Kompetensi emosional bukan bakat bawaan, tetapi kemampuan belajar lebih yang harus dikerjakan dan dapat dikembangkan untuk mencapai kinerja yang luar biasa. Tinggi rendahnya kapasitas pemilikan kecerdasan emosional ini mempengaruhi peran kecerdasan emosional dalam hal pengenalan perasaannya dan perasaan orang lain.

3. Faktor-faktor Kecerdasan Emosional

Seseorang akan memiliki kecerdasan emosi yang berbeda-beda.

Kecerdasan emosional mencakup penguasaan dalam menangani hubungan sosial. Orang-orang yang terampil dalam kecerdasan sosial dapat menjalin hubungan dengan orang lain dengan cukup lancar, peka membaca reaksi dan perasaan mereka, mampu memimpin dan mengorganisir, dan pintar menangani perselisihan yang muncul dalam setiap kegiatan manusia.

Kecerdasan emosi juga akan dipengaruhi oleh beberapa faktor penting penunjangnya hal tersebut diperkuat oleh Goleman dengan menyatakan bahwa ada faktor internal dan eksternal yang mempengaruhi kecerdasan emosi antara lain:

a. Faktor internal adalah faktor yang ada dalam diri seseorang. Setiap manusia akan memiliki otak emosional yang di dalamnya terdapat sistem saraf pengatur emosi atau lebih dikenal dengan otak emosional. Otak emosional meliputi keadaan amigdala, meokorteks, sistem limbik, lobus preforontal dan keadaan lain yang lebih kompleks dalam otak emosional.

b. Faktor eksternal adalah faktor pengaruh yang berasal dari luar diri seseorang. Faktor eksternal kecerdasan emosi adalah faktor yang datang dari luar dan mempengaruhi perubahan sikap. Pengaruh tersebut dapat berupa perorangan atau secara kelompok.

Perorangan mempengaruhi kelompok atau kelompok mempengaruhi perorangan. Hal ini lebih memicu pada lingkungan.34

34 Daniel Goleman, Op.Cit., h. 422-425, 166-167.

(29)

14

Lain Goleman lain Woro Priatini, Melly Latifah, dan Suprihatin Guhardja. Mereka, dalam penelitiannya, mengatakan, ada tiga faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu tipe pengasuhan, lingkungan sekolah, dan peran teman sebaya.35

Pertama, tipe pengasuhan pelatih emosi berpengaruh positif nyata terhadap kecerdasan emosional remaja. Hal ini berarti, orangtua yang menerapkan tipe pengasuhan pelatih emosi, akan mempunyai anak remaja yang cerdas secara emosional. Kedua, kecerdasan emosional dipengaruhi pula oleh disiplin di sekolah. Hal ini berarti semakin baik disiplin di lingkungan sekolahnya, maka semakin baik pula tingkat kecerdasan emosional peserta didiknya.

Ketiga, fungsi komparasi sosial dengan teman sebaya berpengaruh positif sangat nyata terhadap kecerdasan emosional. Artinya pengaruh teman sebaya sangat kuat pada masa remaja, maka teman sebaya yang mempunyai kecerdasan emosional yang baik, menjadi model dan sumber informasi yang baik pula bagi remaja.

4. Karakteristik Kecerdasan Emosional

Menurut Goleman kecerdasan emosi seseorang dapat pula dikategorikan seperti halnya kecerdasan intelegensi. Tetapi kategori tersebut hanya dapat diketahui setelah seseorang melakukan tes kecerdasan emosi.36

Adapun ciri-ciri seseorang dikatakan memiliki kecerdasan emosi yang tinggi apabila ia secara sosial mantap, mudah bergaul dan jenaka.

Tidak mudah takut atau gelisah, mampu menyesuaikan diri dengan beban stres. Memiliki kemampuan besar untuk melibatkan diri dengan orang- orang atau permasalahan, untuk mengambil tanggung jawab dan memiliki pegangan moral. Kehidupan emosional mereka kaya, tetapi wajar, memiliki rasa nyaman terhadap diri sendiri, orang lain serta lingkungannya. Menurut Goleman seseorang dikatakan memiliki

35 Woro Priatini, dkk, Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan Sekolah, dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja, Vol. 1 No. 1, Januari 2008, h. 52-53.

36 Ibid., h. 60-61.

(30)

kecerdasan emosi rendah apabila seseorang tersebut tidak memiliki keseimbangan emosi, bersifat egois, berorientasi pada kepentingan sendiri.

Tidak dapat menyesuaikan diri dengan beban yang sedang dihadapi, selalu gelisah. Keegoisan menyebabkan seseorang kurang mampu bergaul dengan orang-orang disekitarnya. Tidak memiliki penguasaan diri, cenderung menjadi budak nafsu dan amarah, mudah putus asa dan tenggelam dalam kemurungan.37

Dari paparan mengenai perkembangan emosi di atas dapat disimpulkan bahwa karakteristik kecerdasan emosional yang harus dimiliki anak yaitu anak dapat mengembangkan rasa percaya dirinya untuk memotivasi diri, bersemangat dan bekerja keras untuk keberhasilannya dalam belajar guna meningkatkan hasil belajar siswa.

B. Pendidikan Informal 1. Pengertian Pendidikan

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani “pedagogie”, yang akar katanya “pais” yang berarti anak dan “again” yang artinya membimbing. Jadi, “pedagogie” berarti bimbingan yang diberikan kepada anak.38

Pendidikan bagi kehidupan umat manusia merupakan kebutuhan mutlak yang harus dipenuhi sepanjang hayat. Menurut Moh. Solikodin Djaelani pengertian pendidikan adalah:

a. Aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi-potensi pribadinnya yang mencakup rohani (piket, rasa, karsa cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indra serta keterampilan-keterampilan).

b. Pendidikan juga berarti lembaga yang bertanggung jawab menetapkan cita-cita (tujuan) pendidikan, isi, sistem dan organisasi pendidikan. Lembaga-lembaga ini meliputi keluarga, sekolah dan masyarakat.

c. Pendidikan berarti pula hasil atau prestasi yang dicapai oleh perkembangan manusia dan usaha lembaga-lembaga tersebut

37 Ibid., h. 11-15.

38 Syafril dan Zelhendri Zen, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: Prenadamedia Group, 2017), h. 26.

(31)

16

dalam mencapai tujuannya.39

Definisi ilmu pendidikan yang dituliskan oleh beberapa ahli, dalam Hasbullah, menjelaskan bahwa:

a. Menurut Prof. Dr. N. Driyarkara, ilmu pendidikan adalah pemikiran ilmiah tentang realitas yang kita sebut pendidikan (mendidik dan dididik).

b. Menurut Prof. M. J Langeveld, ilmu pendidikan adalah suatu ilmu yang bukan saja menelaah objeknya untuk mengetahui betapa keadaan atau hakiki objek itu, melainkan mempelajari pula betapa hendaknya bertindak. Objek ilmu pendidikan ialah proses-proses atau situasi pendidikan.

c. Dr. Sutari Imam Barnadib, ilmu pendidikan mempelajari suasana dan proses-proses pendidikan.

d. Menurut Prof. Brodjonegoro, ilmu pendidikan adalah teori pendidikan, perenungan tentang pendidikan. Dalam arti yang luas ilmu pendidikan merupakan pengetahuan yang mempelajari soal- soal yang timbul dalam praktik pendidikan40.

Menurut pendapat Syafril dan Zelhendri Zen mengemukakan bahwa pendidikan adalah:

Upaya sadar untuk mengembangkan potensi-potensi yang dimiliki manusia dan melahirkan teori-teori pendidikan. Hakikat ilmu pendidikan didasarkan kepada asumsi dasar pendidikan yang mengatakan bahwa pendidikan merupakan suatu proses interaksi yang bersifat manusiawi untuk menyiapkan peserta didik menghadapi lingkungan yang senantiasa mengalami perubahan demi meningkatkan kualitas kehidupan pribadi dan masyarakat, yang berlangsung seumur hidup, sehingga memperoleh kiat menerapkan IPTEK. Hal ini hanya bisa dicapai kalau pendidik melaksanakan peranannya yang dinamis berupa pengendalian (proses menjadikan peserta didik menjadi dirinya sendiri sedini mungkin dan berlangsung sepanjang hayat)41.

Dari beberapa pendapat para ahli di atas, dapat diperoleh kesimpulan bahwa ilmu pendidikan membahas masalah-masalah yang bersifat ilmu secara teori maupun praktis. Ilmu pendidikan juga berisi

39 Moh. Solikodin Djaelani, dkk, Dasar-Dasar Kependidikan, (Jakarta: Pustaka Mandiri, 2015), h. 7.

40 Hasbullah, Dasar-Dasar Ilmu Pendidikan, (Depok: PT. Raja Grafindo Persada, 2017), h. 5-6.

41 Syafril dan Zelhendri Zen. Op.Cit., h. 44-46.

(32)

tentang masalah-masalah yang menyangkut teori-teori, pedoman-pedoman maupun prinsip-prinsip tentang pelaksanaan pendidikan secara ilmiah, dan bergerak dari praktik kepenyusunan sistem pendidikan.

2. Faktor-faktor Pendidikan

Dalam aktivitas pendidikan ada enam faktor pendidikan yang dapat membentuk pola interaksi atau saling mempengaruhi namun faktor integratifnya terutama terletak pada pendidik dengan segala kemampuan dan keterbatasannya yang mencakup: faktor tujuan, faktor pendidik, faktor peserta didik, faktor isi atau materi pendidikan, faktor metode pendidikan dan faktor situasi lingkungan.42 Menurut Sutari Imam Barnadib, dalam Hasbullah, perbuatan mendidik dan dididik memuat faktor-faktor tertentu yang mempengaruhi pikiran dan menentukan, yaitu:

a. Adanya tujuan yang hendak dicapai

b. Adanya subjek manusia (pendidik dan anak didik) yang melakukan pendidikan.

c. Yang hidup bersama dalam lingkungan hidup tertentu (milieu).

d. Yang menggunakan alat-alat tertentu untuk mencapai tujauan.43

Antara faktor yang satu dengan faktor lainnya, tidak bisa dipisahkan, karena semuanya saling mempengaruhi. Telah merupakan pengetahuan umum bahwa pendidikan berlangsung sepanjang hayat (life long) dan dilaksanakan melalui tiga jalur atau tiga lingkungan: pendidikan informal, pendidikan formal yang diperoleh dari lembaga pendidikan/

sekolah, dan nonformal atau yang didapatkan dari luar sekolah. Sejalan dengan hasil-hasil pengkajian bahwa pendidikan informal memegang peran penting dalam pembentukan kepribadian, dan pendidikan nonformal juga semakin penting bagi pendidikan orang dewasa.

Dari definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa, faktor-faktor pendidikan bertujuan untuk membantu seseorang dalam menghadapi pembelajaran sepanjang hayat. Maksudnya agar manusia tersebut mampu

42 Moh. Solikodin Djaelani, dkk, Op.Cit., h. 8-11.

43 Hasbullah, Op.Cit. h. 7-8.

(33)

18

meningkatkan kualitas hidup.

3. Pendidikan Informal

Dalam Undang-undang No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan informal diatur dalam tiga pasal, yaitu pasal 1, 13, dan 27. Dalam pasal 1 disebutkan bahwa pendidikan informal adalah jalur pendidikan keluarga dan lingkungan; pasal 13 mengemukakan bahwa pendidikan informal, nonformal dan formal, saling melengkapi dan saling memperkaya; pasal 27 memuat dua hal yaitu bahwa pendidikan informal dilakukan oleh keluarga dan berbentuk kegiatan belajar mandiri, dan bahwa hasil pendidikan informal itu diakui sama dengan pendidikan formal dan nonformal setelah peserta didiknya luas dalam ujian sesuai dengan standar nasional pendidikan.44

Untuk kajian sosiologi pendidikan, pasal 27 ayat 1 yang menerangkan bahwa pendidikan informal diselenggarakan oleh keluarga memerlukan penjelasan karena dalam sosiologi ada dua konsep yang berbeda dan sering terkacaukan dalam penggunaannya, yaitu keluarga (family): satuan sosial yang terbentuk melalui pernikahan ,dan rumah tangga (household): kesatuan sosial yang memiliki satu kehidupan-rumah bersama.45

Pendidikan informal diperoleh dan berlangsung sepanjang hayat, tetapi meskipun demikian yang terpenting adalah jalur pendidikan informal dalam rumah tangga dan lingkungan, yang saling melengkapi dengan pendidikan formal dan nonformal. Pendidikan informal dalam rumah tangga disebut juga pengasuhan, meliputi perawatan atau pemeliharaan fisik dan pendidikan. Pendidikan informal juga memainkan peran yang amat penting dalam pembentukan kepribadian, tetapi kurang mendapat perhatian, baik dari masyarakat maupun pemerintah.

Pengasuhan dalam rumah tangga dimulai sejak hari kelahiran (diyakini juga sejak anak dalam kandungan) dan berakhir pada saat anak

44 H. Sudardja Adiwikarta, Sosiologi Pendidikan, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya Offset, 2016), h. 150.

45 Ibid.

(34)

memasuki usia dewasa. Sementara itu, peran lingkungan berlangsung terus sesudah individu memasuki usia dewasa bahkan sampai akhir hayat.

Komponen-komponen pendidikan informal berkembang sejalan dengan usia anak. Mula-mula pendidikan informal sepenuhnya merupakan pendidikan dalam rumah tangga, kemudian ditambah dengan lingkungan sekitar, dan seterusnya ditambah lagi dengan melibatkan pendidikan formal. Pada usia dewasa, secara mandiri individu menetapkan sendiri sumber pendidikan informal itu. Di dalam perkembangannya, ketergantungan berkurang bersamaan dengan meningkatnya kemandirian.

4. Pendidikan Keluarga

Istilah pendidikan berasal dari bahasa Yunani, Paedagogy, yang mengandung makna seorang anak yang pergi dan pulang sekolah diantar seorang pelayan. Dalam bahasa Romawi, pendidikan diistilahkan dengan educate yang berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidik berarti mengeluarkan sesuatu yang berada di dalam. Dalam bahasa Inggris, pendidikan diistilahkan to educate yang berarti memperbaiki moral dan melatih intelektual.46 Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan diartikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya sehingga memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta ketrampilan yang diperlukan oleh dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.47

Jadi, pendidikan adalah segala usaha manusia untuk menciptakan kualitas hidup yang baik. Selain itu, untuk bisa bergaul dan berbaur dalam masyarakat.

46 Wiji Suwarno, Dasar-dasar Ilmu Pendidikan, (Jogjakarta: Ar-Ruzz Media, 2009), h.

19.

47 Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1996), h. 98.

(35)

20

Sedangkan pengertian keluarga menurut Helmawati adalah kelompok kecil yang memiliki pemimpin dan anggota, mempunyai pembagian tugas dan kerja, serta hak dan kewajiban bagi masing-masing anggotanya. Selain itu, keluarga merupakan tempat pertama dan utama di mana anak-anak belajar.48 Dalam pengertian lain, keluarga merupakan sebuah institusi yang terbentuk karena ikatan perkawinan dengan suatu tekad dan cita-cita untuk membentuk keluarga bahagia dan sejahtera lahir batin.49

Antara keluarga dan pendidikan adalah dua istilah yang tidak dapat dipisahkan. Sebab, dimana ada keluarga di situ ada pendidikan.

Ketika orang tua melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya mendidik anak, maka pada waktu yang sama anak mendapatkan dan mengilhami pendidikan dari orangtua.

Dalam UU Sisdiknas disebutkan bahwa pendidikan keluarga merupakan bagian dari jalur pendidikan luar sekolah yang diselenggarakan dalam keluarga, dan memberikan keyakinan agama, nilai budaya, nilai moral dan keterampilan.50 Maksudnya, pendidikan keluarga bersifat mandiri dan tidak terstruktur seperti di sekolah maupun lembaga bimbingan belajar. Namun walau begitu, pendidikan keluarga memberikan pengetahuan yang tidak diajarkan di sekolah.

Jadi dapat disimpulkan bahwa pendidikan keluarga adalah usaha bersama anggota keluarga terutama orangtua dalam mewujudkan keluarga yang terpenuhi kebutuhan spiritual dan materiilnya, melalui penanaman nilai-nilai keagamaan, sosial budaya, cukup kasih sayang, terpenuhi pendidikan, ekonomi, dan peduli terhadap lingkungan.

48 Helmawati, Pendidikan Keluarga: Teoretis dan Praktis, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2016), h. 42-43.

49 Syaiful Bahri Djamarah, Pola Asuh Orangtua dan Komunikasi dalam Keluarga, (Jakarta: Rineka Cipta, 2014), h. 18.

50 Chabib Thoha, Op.Cit., h. 103.

(36)

5. Fungsi Keluarga

Menurut Ahmad Tafsir, dalam Helmawati, menyatakan bahwa fungsi pendidik dalam keluarga harus dilakukan untuk menciptakan keharmonisan baik di dalam maupun di luar keluraga itu. Oleh karena itu, para orangtua harus menjalankan fungsi sebagai pendidik dalam keluarga dengan baik, khususnya ayah sebagai pemimpin dalam keluaraga. fungsi pendidikan dalam keluarga di antaranya fungsi biologis, fungsi ekonomi, fungsi kasih sayang, fungsi pendidikan, fungsi perlindungan, fungsi sosialisasi anak, fungsi rekreasi, fungsi status keluarga, dan fungsi agama.51

Berdasarkan fenomena di atas, terciptanya output pendidikan yang gagal disebabkan tidak terpenuhinya fungsi keluraga yang sehat dan bahagia. Mengutip Dadang Hawari, Nick De Frain, dalam “The National Study On Family Strength”, mengemukakan lima hal tentang pegangan atau kriteria menuju hubungan keluarga yang sehat dan bahagia, yaitu: a) terciptanya kehidupan beragama dalam keluarga; b) tersedianya waktu bersama keluarga; c) interaksi segitiga (ayah, ibu, dan anak); d) saling menghargai dalam interaksi ayah, ibu, dan anak harus erat dan kuat; dan e) jika keluarga mengalami krisis, prioritas utama adalah keluarga.52

Berdasarkan kriteria tersebut Sudjana mencatat ada enam fungsi yang harus dijalankan oleh keluarga sebagai lembaga sosial terkecil, yaitu:

a) fungsi biologis; b) fungsi edukatif; c) fungsi religius; d) fungsi protektif; e) fungsi sosialisasi anak; dan f) fungsi ekonomis.53 Dari keenam fungsi tersebut, salah satu fungsi yng sangat penting untuk difungsikan dalam keluarga adalah fungsi religius karena dalam era globalisasi telah terjadi reduksi pada fungsi religius.

Sementara Samsul Nizar, dalam Helmawati menyatakan, dalam memberdayakan pendidikan keluarga sangat relevan untuk dibahas beberapa fungsi keluarga. selanjutnya ia membagikan fungsi keluarga

51 Helmawati, Op.Cit., h. 44.

52 Ibid.

53 Ibid.

(37)

22

menjadi delapan fungsi, yaitu:54 a. Fungsi Agama

Fungsi agama adalah penanaman keimanan dan takwa untuk mengajarkan kepada anggota keluarga agar selalu menjalankan perintah Tuhan Yang Maha Esa dan menjauhi larangan-Nya.

Penerapan pembelajaran ini dapat dilaksanakan dengan metode pembiasaan dan peneladanan.

Dari teori di atas, dapat mengungkapkan, apabila suatu keluarga menjalankan fungsi keagamaan maka keluarga tersebut akan memiliki suatu pandangan bahwa kedewasaan seseorang di antaranya ditandai oleh suatu pengakuan pada suatu sistem dan ketentuan norma beragama yang direalisasikan dalam lingkungan kehidupan sehari-hari.

b. Fungsi Biologis

Fungsi biologis adalah fungsi pemenuhan kebutuhan agar keberlangsungan hidupnya tetap terjaga secara fisik. Maksudnya, pemenuhan kebutuhan yang berhubungan dengan jasmani manusia.

Dari teori di atas, maka dapat disimpulkan, kebutuhan dasar manusia untuk terpenuhinya kebutuhan biologis yaitu berupa kebutuhan seksual yang berfungsi untuk menghasilkan keturunan (regenerasi).

c. Fungsi Ekonomi

Fungsi ini berhubungan dengan bagaimana pengaturan penghasilan yang diperoleh untuk memenuhi kebutuhan dalam rumah tangga. Maksudnya adalah seorang istri harus mampu mengelola keuangan yang diserahkan oleh suaminya dengan baik.

Dari teori di atas, fungsi ekonomi yaitu pemenuhan kebutuhan yang bersifat prioritas dalam keluarga. Sehingga, penghasilan yang diperoleh suami akan dapat mencukupi kebutuhan hidup keluarga.

d. Fungsi Kasih Sayang

Fungsi ini menyatakan bagaimana setiap anggota keluarga

54 Ibid., h. 44-49.

(38)

harus menyayangi satu sama lain. Di mana, orangtua hendaknya menunjukkan dan mencurahkan kasih sayang kepada anaknya secara tepat.

Dari teori di atas dapat disimpulkan, kasih sayang bukan hanya berupa materi yang diberikan. Tetapi perhatian, kebersamaan yang hangat sebagai keluarga, saling memotivasi dan mendukung untuk kebaikan bersama anggota keluarga.

e. Fungsi Perlindungan

Fungsi ini menyatakan bagaimana setiap anggota keluarga harus menjaga atau melindungi setiap anggota keluarganya dengan memberikan kenyamanan dan keamanan dalam keluarga. Sehingga tidak ada anggota keluarga saling menyakiti keluarganya, baik secara fisik maupun psikis, serta menjaga kenyamanan situasi dan kondisi lingkungan sekitar agar terbentuk keluarga yang sehat dan bahagia.

f. Fungsi Pendidikan

Pada fungsi ini menekankan, pendidikan merupakan salah satu faktor yang sangat penting untuk meningkatkan martabat dan peradaban manusia. Dalam fungsi ini, ayah sebagai seorang pemimpin dalam keluarga atau seorang kepala keluarga hendaknya memberikan bimbingan dan pendiidkan bagi setiap anggota keluarga, baik itu istri maupun anak-anaknya. Karena anak-anak melihat, mendengar, dan melakukan apa yang diucapkan atau dikerjakan orangtuanya. oleh karena itu, tutur kata dan perilaku orangtua hendaknya dapat menjadi teladan bagi anak-anaknya. Sekolah yang dipilih hendaknya mampu mewakili orangtua untuk mendidik anak dalam mengembangkan potensi-potensi yang dimilikinya.

g. Fungsi Sosialisasi Anak

Fungsi ini menjelaskan, dalam keluarga sejak dini ketika berkomunikasi hendaknya anak mulai diajarkan untuk mampu mendengarkan, menghargai, dan menghormati orang lain, serta peduli dengan lingkungan sekitar dan diajarkan untuk bersikap jujur, saling

(39)

24

membantu, saling menyayangi, dan bertanggung jawab. Tidak hanya kepada manusia, tetapi anak juga harus mempunyai etika yang baik terhadap makhluk hidup lainnya.

h. Fungsi Rekreasi

Pada fungsi ini menyatakan, rekreasi merupakan salah satu hiburan bagi jiwa dan pikiran. Orangtua memberi waktu untuk menyegarkan pikiran, menenangkan jiwa, dan lebih mengakrabkan tali kekeluargaan pada setiap anggota keluarganya.

6. Materi Pendidikan Keluarga

Seiring dengan tanggung jawab orangtua terhadap pendidikan anak-anaknya, maka materi atau kurikulum pendidikan yang akan diajarkan dalam keluarga seharusnya disesuaikan dengan kebutuhan dan tujuan pendidikan itu sendiri. Orangtua sebagai pendidik yang pertama dan utama kiranya perlu mengetahui materi pendidikan apa saja yang harus diberikan kepada anak-anaknya. Apakah materi itu dapat memenuhi harapan orangtuanya di kemudian hari atau dapatkah materi pendidikan itu memenuhi kebutuhan kebahagiaan anaknya di dunia dan di akhirat.

Asas atau dasar materi pendidikan yang akan diberikan kepada anak hendaknya berdasarkan pada asas agama, asas falsafah, asas psikologi, dan asas sosial. Pendidikan yang diberikan dalam keluarga islami tentunya harus berlandaskan nilai-nilai atau ajaran agama Islam.55

Pendidikan yang berasaskan pada agama akan membantu anak dalam memiliki iman yang kuat kepada Tuhan Yang Maha Esa sehingga anak akan mampu membedakan mana yang baik dan buruk serta mampu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Pendidikan agama akan membentuk akhlak mulia serta menjadi manusia yang produktif.

Materi pendidikan yang berasaskan falsafah mengandung arti materi pendidikan yang bermuatan nilai-nilai spiritual, nilai natural, nilai- nilai kemanusiaan, nilai-nilai realistik, nilai-nilai perubahan, dan nilai- nilai kemanfaatan. materi pendidikan yang berasaskan psikologi berarti

55 Ibid., h. 53.

(40)

pelajaran yang diberikan hendaknya disesuaikan dengan tahap perkembangan, pertumbuhan, kematangan, bakat, minat, keinginan- keinginan, kecakapan, dan perbedaan anak itu sendiri.56

Materi pendidikan yang berasas sosial mengandung makna materi pendidikan berisikan pengetahuan (sains), kepercayaan, nilai-nilai ideal, keterampilan, cara berpikir, cara hidup, adat kebiasaan, tradisi, undang-undang, sistem pemerintahan, kesusateraan, seni, dan unsur sosial kemasyarakatan lainnya sehingga anak akan tumbuh menjadi warga negara yang baik dan berguna selain untuk dirinya juga untuk lingkungan sosialnya.57

C. Hasil Penelitian Yang Relevan

Penelitian ini juga pernah diangkat sebagai topik penelitian oleh beberapa peneliti sebelumnya. Maka peneliti juga diharuskan untuk mempelajari penelitian-penelitian terdahulu atau sebelumnya yang dapat dijadikan sebagai acuan bagi peneliti dalam melakukan penellitian ini. Antara lain penelitian yang telah dilakukan oleh:

1. Eva Nauli Thaib pada 2013 dengan judul “Hubungan Antara Prestasi Belajar dengan Kecerdasan Emosional” menyatakan dalam penelitiannya, kecerdasan emosional dapat dinyatakan sebagai salah satu faktor yang penting yang seharusnya dimiliki oleh siswa yang memiliki kebutuhan untuk meraih prestasi belajar yang lebih baik di sekolah serta menyiapkan mereka menghadapi dunia nyata. Untuk itu disarankan kepada pihak sekolah terutama guru-guru pengajar agar memasukkan unsur-unsur kecerdasan emosioal dalam menyampaikan materi serta melibatkan emosi siswa dalam proses pembelajaran.

2. Yuli Setyowati pada 2005 dengan judul “Pola Komunikasi Keluarga dan Perkembangan Emosi Anak (Studi Kasus Penerapan Pola Komunikasi Keluarga dan Pengaruhnya terhadap Perkembangan Emosi Anak pada

56 Ibid.

57 Ibid.

(41)

26

Kelurga Jawa)” menyatakan dalam penelitiannya, pemahaman dan kesadaran keluarga mengenai pentingnya komunikasi keluarga dan pengaruhnya terhadap perkembangan emosi anak masih tergolong rendah.

Selain itu, pengaruh penerapan pola komunikasi keluarga terhadap perkembangan emosi anak akan bersifat positif apabila di dalam keluarga terdapat budaya komunikasi yang demokratis.

3. Laela Maghfiroh pada 2017 dengan judul “Pengaruh Pola Asuh Orangtua Terhadap Kecerdasan Emosional Siswa Kelas IV SDN Grogol Selatan 01”

menyatakan dalam penelitiannya, pola asuh orangtua berpengaruh terhadap kecerdasan emosional anak sebesar 8,8% serta sisanya dipengaruhi oleh faktor lain.

4. Woro Priatini, Melly Latifah, dan Suprihatin Guhardja pada 2008 dengan judul “Pengaruh Tipe Pengasuhan, Lingkungan Sekolah, dan Peran Teman Sebaya Terhadap Kecerdasan Emosional Remaja” menyatakan dalam penelitiannya, ada tiga faktor yang mempengaruhi kecerdasan emosional, yaitu tipe pengasuhan, lingkungan sekolah, dan peran teman sebaya. Dan 35,5% kecerdasan emosional remaja dipengaruhi oleh faktor tersebut.

D. Kerangka Teoritik

Kecerdasan emosional merupakan sebuah hal yang sangat penting karena meskipun intelektual dapat mengatakan banyak hal secara objektif, namun tidak dapat memberitahu bagaimana perasaan kita menjadi bijaksana, karena wewenang kecerdasan emosional adalah hubungan pribadi dengan orang lain. Selain itu, kecerdasan emosional itu sendiri bertanggungjawab untuk penghargaan diri, kesadaran diri, kepekaan sosial, dan adaptasi sosial.

Kecerdasan emosional bukan hanya berguna untuk mengendalikan diri. Lebih dari itu, kecerdasan emosional juga dapat mencerminkan kemampuan dalam “mengelola” perasaan kepada seseorang atau sesuatu.

Banyak keuntungan bila seseorang memiliki kecerdasan emosional yang baik atau memadai. Pertama, kecerdasan emosional jelas mampu menjadi alat untuk pengendalian diri, sehingga seseorang tidak terjerumus ke

Referensi

Garis besar

Dokumen terkait

Subjek penelitian yang diperoleh berjumlah 110 responden diambil dari pasien rawat jalan yang telah selesai mendapatkan pelayanan kesehatan di RS Misi Lebak dengan

Our physiological, patho- physiological, and clinical depart- ment is a little different concerning its approach to the teaching of physi- ology, but the goal is the same: to

March 2 nd 3 rd , 2016, Atria Hotel & Conference, Malang, Indonesia Department of Mathematics, Faculty of Science, Brawijaya

Pengujian sistem merupakan proses pengeksekusian sistem perangkat keras dan lunak untuk menentukan apakah sistem tersebut cocok dan sesuai dengan yang diinginkan

menyampaikan maksud, tetapi huruf yang dipakai juga tetap harus dapat mendukung maksud dari isi. Dengan kata lain, huruf harus bisa berperan sebagai isi

Struktur Organisasi PDAM Kota Denpasar telah sesuai dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 2 Tahun 2007 Tentang Organ dan Kepegawaian Perusahaan Daerah Air

Ketentuan tersebut terdapat pada amanat Pasal 36 Protokol Tambahan I Konvensi Jenewa tentang Perlindungan Korban-korban Pertikaian-Pertikaian Bersenjata

1) Pembuatan Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang berisi rencana pembelajaran untuk setiap kali pertemuan, lebih tepatnya sebanyak 8 RPP. 2) Pembuatan