8 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 1. Komunikasi Massa
Komunikasi massa dapat didefinisikan secara sederhana yakni pesan yang dikomunikasikan dengan menggunakan media massa kepada sejumlah khalayak yang ramai (Bittner, 1996). Dalam definisi ini, dapat dipahami bahwa komunikasi massa adalah jenis komunikasi dengan memakai media massa. Definisi komunikasi massa lain yang lebih detail adalah “Mass communication is the technology and institutionally based production and distribution of the most broadly shared continuous flow of the message in industrial societies (Gerbner, 1967).” yang berarti komunikasi massa adalah produksi dan distribusi berbasis teknologi dan institusional dari aliran pesan secara konsisten yang paling luas dan dibagikan pada masyarakat industri. Sedangkan definisi komunikasi massa menurut Gerbner dapat disimpulkan bahwa komunikasi massa itu menciptakan sebuah produk berupa pesan-pesan komunikasi. Produk tersebut didistribusikan, disebarkan kepada khalayak secara luas dan secara konsisten dalam jangka waktu yang tetap, seperti misalnya harian, mingguan, atau bahkan bulanan. Proses produksi pesan tidak bisa dikerjakan oleh individu, melainkan harus diproduksi oleh lembaga dan membutuhkan suatu teknologi tertentu, sehingga komunikasi massa dapat banyak dilakukan oleh masyarakat industri (Ardianto, 2007:3).
2. Media Massa
Media massa adalah salah satu jenis komunikasi yang disampaikan pada khalayak yang tersebar, anonim, dan heterogen melalui media elektronik atau cetak, sehingga pesan informasi yang serupa dapat diterima secara bersamaan dan instan. Media massa merupakan istilah dari bahasa inggris yaitu mass media, yang memiliki pengertian lain adalah komunikasi dengan memanfaatkan peralatan atau sarana yang bisa menjangkau massa dalam jumlah sebanyak-banyaknya dan dengan area yang seluas-luasnya.
Media massa tak terlepas dari massa, karena dalam komunikasi massa dan penyampaian pesannya menggunakan media (McQuail, 2003).
9
Eksistensi media massa sangat lekat dengan kehidupan masyarakat, karena media massa yakni bagian yang ada di dalam masyarakat. Apabila media massa memiliki tempat di dalam masyarakat, maka media massa akan menjadi bagian dari sebuah sistem pada seluruh masyarakat. Maka dari itu, media dapat menjadi sumber dominan yang dikonsumsi oleh masyarakat untuk mendapatkan gambaran serta citra realitas sosial, baik secara individu maupun secara kelompok.
3. Media Online
Media online adalah media yang menggunakan internet dan secara instan. Media online tentunya menggunakan kaidah-kaidah jurnalistik dalam sistem kerjanya. Karakteristik pada media online antara lain adalah berbasis teknologi, berkarakter fleksibel, memiliki potensial interaktif, dapat berfungsi secara personal dan publik serta berhubungan. Teori konvergensi menyatakan bahwa perkembangan media massa akan terus berkembang seiring waktu dengan awal siklus penemuannya. Setiap model perkembangan model media baru itu merupakan perpanjangan dari model- model sebelumnya. Karakteristik berhubungan pada internet ini dapat menjadi sarana yang efektif dalam mendapatkan serta bertukar informasi maupun berita. Pada konteks ini, internet merupakan medium baru yang mempertemukan seluruh karakteristik dari bentuk-bentuk terdahulu (Santana, 2005).
Aspek komunikasi dapat dipengaruhi oleh adanya perkembangan teknologi baru yaitu internet. Salah satu teknologi yang muncul dari perkembangannya adalah World Wide Web (WWW) yang merupakan hasil persilangan antara internet dan jurnalisme online saat pemberitaan tentang Drudge Report dikirimkan melalui 50 ribu email pelanggannya (Santana, 2005). Saat ini kehadiran internet dinilai memiliki kemampuan untuk menghilangkan batasan yang telah diciptakan oleh media konvensional pada berbagai kasus.
Media online memiliki berbagai keunggulan yang tidak dimiliki oleh media konvensional, hal tersebut dinyatakan oleh Mike Ward (dalam
10
Romli, 2018) pada bukunya yang berjudul Jurnalistik Online. Beberapa karakteristik media online disebutkan sebagai berikut:
A. Immediacy, informasi yang disajikan memiliki kecepatan dengan kurun waktu yang singkat dalam hitungan detik, menit, jam, maupun hari.
B. Multiple Pagination, ratusan halaman dapat memiliki saling keterkaitan.
C. Multimedia, dapat menyajikan teks, video, gambar, dan audio sekaligus dalam penyajiannya.
D. Flexibility, jurnalis memiliki akses untuk memberikan penyajian berita dimana saja.
E. Archiving, fitur arsip dapat digunakan untuk memberikan kemudahan bagi para pembaca untuk mengakses berita yang telah disajikan pada waktu sebelumnya, bahkan dalam waktu yang relatif lama.
F. Relationship with Reader, fitur komentar yang berguna untuk menghubungkan antara pembaca dengan redaksi real time.
4. Jurnalisme Online
Jurnalisme online merupakan proses penyampaian pesan yang melalui media internet dengan menggabungkan antara audio, video, dan tulisan yang memungkinkan pengakses dapat membaca ataupun melihat kembali berita yang telah lalu (Craig, 2005: 14). Jurnalisme online atau yang biasa disebut sebagai cyber journalism merupakan “new media” atau media baru dari jurnalistik setelah jurnalisme konvensional seperti media cetak atau surat kabar dan jurnalisme (broadcast journalism) yakni seperti radio dan televisi. Jurnalisme online tidak hanya dapat dilakukan oleh jurnalis profesional yang bekerja di sebuah perusahaan media formal, namun dapat dilakukan oleh masyarakat biasa. Kemudian dapat disimpulkan bahwa jurnalisme online dapat didefinisikan sebagai proses penyampaian pesan berupa informasi melalui media internet, terutama website. Informasi yang disaji dalam internet dapat diakses maupun dibaca kapan saja dan dimana saja, selama terdapat perangkat yang memiliki koneksi internet.
11
Jurnalisme online memiliki keunggulan seperti yang dipaparkan oleh James C. Foust (dalam Romli, 2012) dalam bukunya yang berjudul Journalism: Principles and Practices of News For The Web. Terdapat beberapa karakteristik jurnalisme online, yakni sebagai berikut:
A. Audience Control, memberikan kemudahan bagi para pembaca dalam pemilihan berita dengan melakukan gerakan jari, tetikus, atau melakukan klik pada judul tertentu.
B. Nonlinearity, berita yang disajikan dapat berdiri sendiri tanpa harus memiliki kaitan dengan berita lainnya.
C. Storage and Retrieval, berita dapat tersimpan dan diarsipkan yang kemudian memberikan kemudahan dalam mengakses berita sebelumnya.
D. Unlimited Space, dengan memiliki ruang dengan jumlah yang tidak terbatas dapat memungkinkan penyajian berita jauh lebih lengkap daripada media konvensional seperti radio atau televisi.
E. Immediacy, bersifat real-time, cepat, dan langsung.
F. Multimedia Capability, teks, gambar, video serta suara dapat disajikan dalam satu komponen pada sebuah berita.
G. Interactivity, fitur ini akan memberikan akses pada pembaca untuk saling memberikan dan berbagi komentar pada berita.
5. Konstruksi Realitas Sosial
Peter L. Berger dan Thomas Luckman merupakan pencetus dari konstruksi realitas sosial pada tahun 1966. Definisi dari teori konstruksi sosial adalah sebagai teori yang menggambarkan dari proses sosial melalui perbuatan dan interaksinya, dimana individu atau kelompok membangun suatu realitas secara terus menerus yang dimiliki dan dialaminya bersama secara subjektif. Konstruksi realitas sosial merupakan terjadinya perputaran informasi yang cepat dengan cakupan wilayah yang luas dan secara merata dalam penyebarannya (dalam Burhan Bungin, 2008: 14). Konstruksi sosial (social construction) adalah istilah abstrak mengenai suatu kecenderungan yang luas serta memiliki pengaruh dalam ilmu sosial. Dalam teori ini dijelaskan bahwa ide terkait masyarakat sebagai sebuah realitas yang
12
objektif yang menekan individu dilawan dengan pandangan alternatif bahwa ide, kekuasaan dan struktur mengenai masyarakat akan dibuat oleh manusia itu sendiri secara konsisten, diproduksi ulang dan terbuka untuk dikritik (McQuail, 2011).
Sehingga pada penerapannya, konstruksi realitas dapat membentuk opini massa atau masyarakat yang cenderung apriori atau beranggapan sebelum mengetahui, melihat, atau pun menyelidiki dalam menanggapi sebuah isu yang terjadi dalam sebuah berita yang dibuat oleh media massa.
Dalam hal ini, individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi atas kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan atas tindakan yang di luar batas kontrol. Dalam proses sosial, manusia dilihat sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas dalam dunia sosialnya. Berger & Luckman mengatakan bahwa terdapat 3 (tiga) bentuk realitas sosial, antara lain:
A. Realitas Sosial Eksternalisasi
Realitas sosial eksternalisasi merupakan kompleksitas definisi realitas (termasuk ideologi dan keyakinan) gejala-gejala sosial, seperti perbuatan dan tingkah laku yang terjadi di dalam aktivitas keseharian dan sering dijumpai oleh individu sebagai fakta.
B. Realitas Sosial Objektifikasi
Sedangkan realitas sosial objektifikasi adalah ekspresi bentuk-bentuk simbolik dari realitas objektif, dimana secara umum diketahui oleh khalayak berbentuk karya seni, fiksi serta berita- berita di media.
C. Realitas Sosial Internalisasi
Realitas sosial ini terdapat pada individu, yang berasal dari realitas sosial objektif dan realitas simbolik, yang merupakan konstruksi definisi realitas milik individu dan dikonstruksi melalui proses internalisasi. Hal ini juga bisa disebut dengan bagaimana orang menyerap apa yang mereka jumpai.
Hal yang ditekankan pada konstruksi realitas sosial ini adalah membahas proses bagaimana manusia membentuk pemahaman bersama
13
mengenai makna. Makna ini dibangun serta dikembangkan, dengan bekerjasama dengan pihak lain bukan oleh perorangan secara terpisah.
6. Realitas Sosial dalam Berita
Realitas sosial mulai dikenal semenjak disajikan dalam buku The Social Construction of Reality oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckman.
Realitas yang terdapat pada berita cetak maupun online tidak terjadi secara alamiah. Realitas dari media tentunya dibangun oleh manusia yang menyusun institusi norma yang ada. Hal tersebut kemudian dipahami bahwa realitas sosial merupakan produk yang berwujud dialektis, dinamis serta plural. Setiap individu memiliki prosesnya yang berbeda-beda dalam konstruksi atas suatu realitas sosial dalam berita baik daring atau cetak.
Berita yang didapat dari liputan yang dilakukan oleh jurnalis pada setiap peristiwa di media massa secara tertulis, visual, dan audio-visual merupakan hasil dari konstruksi realitas sosial baik berupa daring atau pun cetak. Konstruksi realitas sosial dalam berita ialah upaya penyusunan realitas sosial dari sejumlah peristiwa. Peristiwa bersifat objektif yang sebelumnya terpisah menjadi tersusun secara sistematis sampai menjadi sebuah cerita dengan makna konstruksi realitas yang memiliki konsep subjektif dari jurnalis.
Isi media pada dasarnya adalah hasil konstruksi realitas yang menggunakan bahasa sebagai alat dasarnya. Sedangkan bahasa bukan hanya sekadar alat yang menggambarkan realitas, namun juga menentukan alur seperti apa yang akan diciptakan oleh bahasa dari realitas tersebut. Hal tersebut dapat mengakibatkan media massa mempunyai kesempatan yang sangat besar dalam mempengaruhi makna dan gambaran yang diciptakan dari realitas yang dikonstruksi.
Realitas sosial mengenai kasus kekerasan seksual kerap kali memiliki persepsi keliru. Padahal kasus kekerasan seksual telah menjadi sebuah ancaman yang perlu diberi perhatian lebih di tengah-tengah masyarakat, karena siapapun dapat menjadi korban kekerasan seksual.
Seperti salah satu contohnya adalah masyarakat seringkali beranggapan bahwa pelecehan seksual terjadi karena korban berpakaian seksi, padahal
14
menurut research hanya 0,5% yang menghubungkan dengan pakaian seksi korban (Jurnal Studi Wanita Internasional). Hal tersebut hanyalah salah satu contoh dari banyaknya realitas sosial yang terjadi di kalangan masyarakat.
Berbagai stigma pun berkembang melalui berita mengenai fenomena kekerasan seksual.
7. Analisis Framing
Secara umum, framing dikenal sebagai sebuah pembingkaian atau membingkai suatu peristiwa. Hal ini menjadi penting ketika memberikan makna dalam berita kepada pembaca. Framing dalam penelitian ini diketahui sebagai proses bagaimana menafsirkan, mengklasifikasikan, dan mengorganisasikan pengalaman sosialnya agar dapat mengerti dirinya dan realitas di luar dirinya. Selain dari itu, framing dinilai berguna dalam membuat suatu realitas menjadi lebih mudah diidentifikasi karena sudah ditandai dengan label tertentu. Secara metodologi analisis framing mempunyai perbedaan yang signifikan dengan analisis isi (content analysis). Analisis isi pada studi komunikasi lebih memfokuskan kepada metode penguraian fakta secara kuantitatif dan menggolongkan isi pesan teks media. Pada analisis isi, pertanyaan yang seringkali muncul seperti apa yang ada di berita pada suatu media dalam sebuah peristiwa. Sedangkan analisis framing memfokuskan pada terbentuknya pesan dari sebuah teks.
Framing melihat bagaimana sebuah pesan/peristiwa/isu dibingkai atau dibangun oleh media. Bagaimana jurnalis mengkonstruksi sebuah peristiwa dan menyuguhkannya kepada publik (Eriyanto, 2002).
Analisis framing merupakan versi terbaru dari pendekatan analisis wacana. Ide terkait framing, pertama kali dicetuskan oleh Bateson pada tahun 1955. Pada awalnya, frame diartikan sebagai struktur konseptual atau alat kepercayaan yang mengorganisir pandangan politik, kebijakan, dan wacana, serta yang menyediakan kategori-kategori untuk mengapresiasi realitas. Pada perspektif komunikasi, analisis framing digunakan untuk membedah ideologi atau cara media dalam mengkonstruksi fakta. Analisis ini berfungsi untuk mencermati strategi seleksi, penonjolan, dan pertautan fakta ke dalam berita agar lebih menarik, lebih bermakna, atau mudah
15
diingat, dan untuk menggiring interpretasi khalayak sesuai perspektif masing-masing. Dengan kata lain, framing digunakan untuk mengetahui perspektif yang dipilih oleh jurnalis ketika menyeleksi peristiwa dan menulis berita. Perspektif itu pada akhirnya menentukan fakta apa yang diambil, bagian mana yang difokuskan dan dihilangkan, dan dibawa kemana berita tersebut. Dalam penelitian ini, penelitian menggunakan teori framing milik Robert N. Entman.
Kemudian disimpulkan bahwa analisis framing merupakan analisis yang digunakan untuk melihat bagaimana media menyajikan berita dengan cara menyeleksi peristiwa yang dianggap penting dan menonjolkan beberapa aspek tertentu. Penyajian berita dalam media massa tentunya dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain individu, rutinitas media, organisasi, extramedia dan ideologi. Jika dikaitkan dengan fokus penelitian, peneliti ingin mengetahui bagaimana media online Detik.com dan JawaPos.com membingkai isu kekerasan seksual terhadap Novia Widyasari pada periode bulan Desember 2021.
8. Kekerasan Seksual
Kekerasan atau yang dalam bahasa inggris adalah violence merupakan sebuah istilah yang berasal dari dua kata, yakni “vis” yang memiliki arti (daya, kekuatan) dan “latus” yang berarti (membawa), sehingga dapat diartikan sebagai membawa kekuatan. Pengertian kekerasan lain dalam arti sempit hanya tercakup sebagai kekerasan fisik. Kekerasan adalah perbuatan yang dapat mengakibatkan cedera atau kematian pada orang lain atau dapat menyebabkan kerusakan fisik atau barang orang lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia).
Pemahaman kekerasan secara istilah yaitu merupakan sifat dan keadaan yang dapat memusnahkan kehidupan manusia. Manusia sebagai makhluk yang memiliki akal budi dan mulia menjadi jatuh pada sifat kebinatangan. Meneror, merusak, memeras, memperkosa, menodai, meneror, mencuri, membunuh, serta memusnahkan merupakan perbuatan yang menodai dan menghancurkan kemuliaan manusia sebagai makhluk Tuhan. Kekerasan merupakan tindakan yang menggunakan kekuasaan dan
16
kekuatan fisik, ancaman atau perbuatan terhadap diri sendiri, individu, sekelompok orang atau masyarakat yang menyebabkan memar, kematian, trauma, kerugian pada psikologis, perampasan hak, dan kelainan perkembangan.
Kekerasan seksual terdiri dari dua kata, yaitu kekerasan dan seksual, yang dalam bahasa inggris ialah sexual harassment. Kata harassment mempunyai arti kekerasan, tidak bebas dan tidak menyenangkan (Shadily, 1997). Kata seksual merupakan kata yang sangat erat dengan seks dan seksual. Kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan maupun ucapan yang dilakukan oleh orang untuk menguasai serta membuat orang lain agar terlibat dalam aktivitas seksual tanpa kehendak atau tanpa izin dari orang lain tersebut (non consensual). Dalam kekerasan seksual, terdapat dua unsur yang dapat ditekankan, yaitu terdapat unsur pemaksaan atau pun tidak adanya pernyataan setuju dari pihak lain dan unsur korban belum mampu atau tidak mampu dalam memberikan kesepakatan.
Pada penelitian ini, peneliti berfokus pada kasus Novia Widyasari sebagai korban dugaan eksploitasi seksual dan pemaksaan aborsi. Menurut Guru Besar di Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia dengan kepakaran di bidang kajian gender, Melani Budianta bahwa aborsi merupakan salah satu tindakan kekerasan seksual. Karena pemaksaan aborsi berarti merampas hak perempuan. Karena pada prinsip umum, perempuan punya hak penuh atas tubuhnya (Kompas.com). Komnas Perempuan juga menyebutkan, bahwa tindakan pengguguran kandungan dan pemaksaan aborsi dengan adanya ancaman maupun paksaan termasuk dalam satu dari 15 bentuk kekerasan seksual.
9. Teori Hirarki Pengaruh Media Massa oleh Pamela J. Shoemaker Stephen D. Reese
Teori Hierarchy of Influence on Mass Media (hirarki pengaruh media massa) merupakan teori yang dicetus oleh Pamela J. Shoemaker dan Stephen D. Reese dalam buku Mediating The Message of Influence on Mass Media Content. Teori ini digunakan oleh peneliti untuk mengetahui kaitan
17
faktor yang mempengaruhi isi dari media massa. Dalam teori ini berisikan lima faktor yang mempengaruhi isi sebuah media massa, yaitu:
A. Individual Level
Pada level ini terdapat pengaruh dari etnis, gender, seks, orientasi, gender, kepercayaan dan nilai yang dianut, latar belakang pendidikan, serta orientasi politik jurnalis dalam menulis berita.
(Reese and Shoemaker, 1996:61)
Pada level individu ini dijelaskan bagaimana cara pengaruh aspek-aspek personal dari pemangku kuasa dari sebuah media dalam memberi pengaruh sebuah berita yang kemudian akan ditampilkan kepada masyarakat. (Reese and Shoemaker, 1996:60)
Dengan melalui beberapa pengalaman serta latar belakang yang dimiliki oleh seorang jurnalis, seperti perilaku politik dan perspektif mengenai agama akan dibawa dan dipraktekkan pada pekerjaan mereka. Sebagai seorang jurnalis, mereka menjadi audience yang aktif dalam mengembangkan sebuah cerita. (Reese and Shoemaker, 1996:61).
Nilai-nilai, sikap dan kepercayaan individu pada seorang jurnalis tidak begitu terlihat secara signifikan dalam isi pemberitaan, karena variabel ini akan menjadi pengaruh seberapa besar “power”
yang dimiliki oleh seorang jurnalis tersebut pada institusi media tempat dia bekerja. Bagaimanapun juga, jurnalis tetaplah menjadi bagian dari pekerja media dan ujung tombak dalam memproduksi berita. Maka dari itu mereka tetaplah menjadi representasi dari institusi sebuah media.
B. Media Routines Level
Dalam sebuah organisasi, rutinitas didefinisikan sebagai sebuah pattern yang telah diatur sesuai struktur yang berguna untuk menjalankan aktivitas keseharian dari organisasi tersebut. Maksud dari level di sini adalah bagaimana media dapat mempengaruhi proses produksi berita terhadap konten berita. Pemikiran ini berangkat dari keyakinan bahwa sebagai makhluk sosial, setiap
18
individu manusia selalu berpartisipasi dalam kegiatan yang tidak pernah terbentuk. (Reese and Shoemaker, 1996:105)
Rutinitas media juga sering disebut sebagai proses gatekeeper yang memiliki tujuan untuk menetapkan mana berita yang layak dicetak dari berbagai cerita yang tersebar di masyarakat (Reese and Shoemaker, 1996:105). Menurut Tuchman di dalam Reese dan Shoemaker bahwa rutinitas media akan membuat setiap peristiwa akan disusun ulang dan dikenal. Setiap peristiwa yang terjadi di dalam masyarakat harus diseleksi dan diproses sedemikian rupa oleh organisasi media massa, sehingga apa yang disampaikan kepada khalayak merupakan berita yang terpilih menurut media yang berkaitan (Shoemaker, 1996:108).
Rutinitas media mempunyai dampak yang sangat signifikan dalam pembuatan makna-makna simbolik. Faktor rutinitas media memiliki hubungan dengan mekanisme dan produksi penetapan berita. Setiap media massa pada umumnya memiliki ukuran sendiri tentang apa yang disebut berita. Terlebih lagi pada bagan di atas dapat dilihat bahwa pembentukan berita terbentuk dari lingkungan.
C. Organization Level
Pada level berikut ini merupakan tingkat organisasional.
Faktor pada tingkat organisasional memiliki pengaruh yang besar dalam sebuah konten kandungan berita pada sebuah media. Pada struktur organisasi media, pengelola media dan wartawan bukan menjadi komponen individu yang terlibat dalam proses pembuatan berita. Mereka hanya menjadi salah satu bagian kecil dalam organisasi media, yang mana kemungkinan memiliki kepentingan masing-masing.
Pada tingkat organisasi ini, kekuatan terbesar tentu saja adalah pemilik media. Meskipun mereka tidak terlibat dalam proses produksi berita, pengaruh mereka sangat besar. Dampak kepemilikan media menjadi perhatian utama bagi media berita.
Meskipun perusahaan penghasil berita mendapat dukungan dari
19
perusahaan besar, konten mereka masih dapat dikontrol secara tidak langsung melalui upaya sewa dan promosi serta serta self-censorship (Reese and Shoemaker,1996:155-161).
Terdapat tingkatan umum dalam organisasi media. Pekerja garis depan seperti penulis, jurnalis, dan kreatif mengumpulkan dan mengemas bahan mentah. Lapisan tengah terdiri dari editor, manajer, produser, dan orang-orang yang mengoordinasikan proses, dan menjadi mediator komunikasi antara lapisan atas dan bawah yang merumuskan kebijakan organisasi. Eksekutif puncak perusahaan dan berita mengeluarkan kebijakan organisasi, menetapkan anggaran, membuat keputusan penting, dan melindungi kepentingan bisnis dan politik perusahaan serta bila diperlukan mempertahankan organisasi dari tekanan luar. (Reese and Shoemaker,1996:145)
D. Extramedia Level
Pada level keempat ini merupakan extramedia level, di mana ada hal-hal di luar media itu (faktor eksternal). Faktor eksternal antara lain ialah budaya, lingkungan sosial dan politik, dimana institusi media itu berada. Pada proses produksi berita nantinya akan mendapatkan pengaruh dari lingkungan luar media tersebut. Faktor- faktor eksternal tersebut berasal dari sumber berita: relasi kedekatan antara jurnalis dengan sumber, pemilihan sumber, advertisement power (kekuatan iklan): siapa yang mengiklan. siapa yang menjadi target audience, pengaruh dari pemerintah misalkan karakteristik pasar, pengaruh teknologi, dan kebijakan pemerintah. (Reese and Shoemaker, 1996: 166).
E. Ideological Level
Faktor terakhir ini merupakan level ideologi yang dapat mempengaruhi media. Dalam level ini, terlihat bagaimana kekuasaan media memberi pengaruh pada pemberitaan, bahwa struktur yang lebih dominan diyakini dapat mampu merubah kondisi sesuai yang diinginkan. (Reese and Shoemake,1996:213)
20
Media massa menjalankan tugas jurnalistik sebagai berdasarkan ideologi yang diyakini kebenarannya, sehingga secara tidak langsung telah memberikan standarisasi dalam proses produksi berita. Bentuk ideologi adalah pengetahuan yang menyediakan aturan yang diterapkan selama proses produksi berita yang sedang berlangsung. Mereka yang memiliki peluang besar memberikan arahan berita melalui ideologinya adalah pemilik media atau pemangku kekuasaan media itu sendiri.
Gambar II. 1. Skema Teori Hirarki Pengaruh Media Massa oleh P.J Shoemaker & Stephen D. Reese
10. Teori Perspektif Media Massa oleh Denis McQuail
Media massa memiliki peran penting dalam kehidupan sosial, terutama dalam masyarakat modern. Menurut McQuail dalam bukunya Mass Communication Theories, terdapat enam perspektif dalam melihat peran media (McQuail, 2000), yaitu:
A. Window on event and experience
Pada perspektif ini, media diibaratkan sebagai jendela yang memungkinkan masyarakat melihat apa yang sedang terjadi di luar sana. Atau dapat dikatakan media merupakan sarana belajar untuk mengetahui isu atau peristiwa.
B. A mirror of event in society and the world, implying a faithful reflection
21
Media seringkali dianggap sebagai cermin berbagai peristiwa yang terdapat di masyarakat dunia, yang merefleksikan apa adanya.
Karena itu, media sering merasa tidak “bersalah” dalam membuat isi media penuh dengan peristiwa kekerasan, konflik, pornografi, dan berbagai peristiwa buruk lainnya. Karena menurut media, memang itu lah fakta yang terjadi, media hanya sebagai refleksi suatu fakta, terlepas dari suka ataupun tidak suka.
C. Gatekeeper
Media juga dapat dipandang sebagai filter atau gatekeeper yang menyeleksi berbagai hal untuk diberi perhatian atau tidak. Media selalu memilih isu, informasi atau bentuk konten yang lain yang lain berdasarkan standar para pengelolanya. Dari sini, masyarakat
“dipilihkan” oleh media mengenai apa-apa yang layak mendapat perhatian lebih.
D. Guide atau interpreter
Media juga sering dianggap sebagai petunjuk jalan (guide) atau (interpreter), yang menunjukan jalan, menerjemahkan sesuatu atas berbagai ketidakpastian, atau alternatif yang beragam.
E. Forum
Pada perspektif ini, media massa dipandang sebagai forum untuk menyajikan berbagai ide-ide dan informasi kepada masyarakat, sehingga memungkinkan terjadinya tanggapan dan umpan balik (feedback).
F. Interlocutor
Media massa sebagai teman bicara, yang tidak hanya sekadar tempat berlalunya informasi, melainkan dapat menjadi partner komunikasi yang memungkinkan terjadinya komunikasi interaktif.
22 11. Basis Teori
Teori Framing Model Robert N. Entman
Teori yang digunakan dalam penelitian ini salah satunya adalah teori dari Robert N. Entman yang memperkenalkan konsep framing. Menurut Entman, teori ini dapat menggambarkan proses seleksi dan memfokuskan pada aspek tertentu dari fakta atau realitas oleh media (Eriyanto, 2002).
Dalam konsep analisis framing oleh Entman ini, framing pada dasarnya merujuk pada pemberian definisi, penerangan mengenai definisi, evaluasi, dan rekomendasi dalam suatu wacana untuk menekankan kerangka berpikir terhadap peristiwa yang diwacanakan. Analisis ini kemudian dilihat dapat menempatkan informasi-informasi dalam sebuah konteks yang berbeda agar isu atau pemberitaan yang ada dinilai lebih penting dibandingkan isu lainnya.
12. Fokus Penelitian
Penelitian ini akan membahas mengenai cara media Detik.com dalam membingkai topik serta kecenderungan dalam memberitakan kasus kekerasan seksual pada Novia Widyasari Rahayu. Dasar yang menjadi alasan peneliti memfokuskan penelitian ini karena peneliti ingin mengetahui apakah Detik.com membingkai sebuah pemberitaan berita atau isu dan bagaimana sebuah media memberitakan kasus kekerasan seksual.
13. Penelitian Terdahulu
Tabel II. 1. Penelitian Terdahulu ke-1
Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Puji Suryani Analisis Framing Berita
Kekerasan Seksual Pada Anak di Kompas.id Bulan Januari – Juni 2018
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Media Kompas.id cenderung mengangkat insiden ke kasus hukum dan kemanusiaan dalam pemberitaan kekerasan seksual.
2. Terdapat banyak undang-
23
undang untuk menghapus kekerasan seksual yang tidak ditegakkan dengan baik.
3. Terdapat kalimat persuasif yang meminta seluruh masyarakat Indonesia untuk mengawasi anaknya agar terhindar dari kekerasan seksual. Karena tonggak pencegahan kasus-kasus seperti itu berasal dari regulasi itu sendiri.
Perbedaan : Penelitian yang dilakukan oleh Puji Suryani berfokus pada analisis framing pemberitaan kekerasan seksual pada anak-anak dan portal berita yang diteliti hanya fokus pada satu portal berita, yaitu Kompas.id pada periode Januari – Juni 2018. Sedangkan peneliti berfokus pada analisis framing pada pemberitaan kekerasan seksual pada Novia Widyasari dan membandingkan antara dua portal berita yang diteliti, yaitu Detik.com. dan JawaPos.com pada periode bulan Desember 2021.
Tabel II. 2. Penelitian Terdahulu ke-2
Nama Peneliti Judul Penelitian Hasil Penelitian Meta Fauziana
Lestari
Analisis Framing Berita Kasus Pelecehan Seksual di Jakarta International
School pada
Hidayatullah.com dan Detik.com
Berdasarkan hasil penelitian tersebut, peneliti menyimpulkan bahwa:
1. Hidayatullah.com
mendapat tekanan dari semua pihak untuk segera menyelesaikan dan menyelesaikan kasus tersebut, dengan menggunakan sudut pandang Islam, saat melaporkan kasus tersebut di Jakarta International School.
2. Sementara itu, Detik.com melaporkan kasus tersebut di Jakarta International
School, meminta
pemerintah menyelesaikan masalah tersebut sesuai
24 14. Asumsi Dasar
Dilihat dari teori Pamela J. Shoemaker dan Denis McQuail dapat disimpulkan bahwa setiap media memiliki kecenderungan masing-masing dalam membingkai suatu berita. Asumsi dasar pada penelitian ini adalah bahwa portal berita online Detik.com dan JawaPos.com memiliki dua
dengan hukum yang berlaku di Indonesia.
3. Hidayatullah.com
cenderung melihat kasus yang terjadi dengan menggunakan sudut pandang islam. Dalam kejadian ini semua pihak ikut bertanggung jawab dan berhak disalahkan.
Terutama pemerintah berhak mengatur sekolah- sekolah asing atau internasional untuk senantiasa sesuai dengan aturan yang berlaku di Indonesia
4. Detik.com menyiratkan
bahwa Jakarta
International School disinyalir bekum
mempunyai izin
operasional. Pemerintah harus mengawasi serta meninjau ulang sekolah- sekolah internasional, apabila menyimpang aturan yang berlaku sebaiknya dicabut izin operasionalnya.
Perbedaan : Penelitian yang dilakukan oleh Meta Fauziana Lestari berfokus pada analisis framing pemberitaan kasus pelecehan seksual yang terjadi di Jakarta International School dan membandingkan pada dua portal media, yaitu Hidayatullah.com dan Detik.com. Sedangkan peneliti berfokus pada analisis framing pada pemberitaan kekerasan seksual pada Novia Widyasari dan membandingkan antara dua portal berita yang diteliti, yaitu Detik.com. dan JawaPos.com dan menyantumkan periode pada bulan Desember 2021.
25
karakteristik yang berbeda dalam membingkai berita. Hal tersebut karena adanya pengaruh media massa dari berbagai level, serta peran media yang dipandang dari berbagai perspektif. Peneliti juga memiliki asumsi dasar bahwa realitas dalam berita yang disajikan pada media hadir secara subjektif yang tercipta melalui konstruksi, perspektif, serta ideologi wartawan.
15. Kerangka Berpikir
Tabel II. 3. Kerangka Berpikir Penelitian