• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA KABUPATEN BIREUEN TESIS.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA KABUPATEN BIREUEN TESIS."

Copied!
104
0
0

Teks penuh

(1)

TESIS

Oleh

TEUKU SYAHLIDIN 147032139/IKM

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(2)

T E S I S

Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat

untuk Memperoleh Gelar Magister Kesehatan (M.Kes) dalam Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat

Minat Studi Administrasi dan Kebijakan Kesehatan

pada Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

Oleh

TEUKU SYAHLIDIN 147032139

PROGRAM STUDI S2 ILMU KESEHATAN MASYARAKAT FAKULTAS KESEHATAN MASYARAKAT

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA MEDAN

2016

(3)
(4)

PANITIA PENGUJI TESIS

Ketua : Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M Anggota : 1. dr. Heldy BZ, M.P.H

2. Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes 3. dr. Fauzi, S.K.M

(5)

ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE

DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA KABUPATEN BIREUEN

T E S I S

Dengan ini saya menyatakan bahwa dalam tesis ini tidak terdapat karya yang pernah diajukan untuk memperoleh gelar kesajarnaan di suatu perguruan tinggi, dan sepanjang pengetahuan saya juga tidak terdapat karya atau pendapat yang pernah ditulis atau diterbitkan oleh orang lain, kecuali yang secara tertulis diacu dalam naskah ini dan disebutkan dalam daftar pustaka.

Medan, Juni 2016

(Teuku Syahlidin)

(6)

natrium dan kalium. Berdasarkan laporan Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen penderita diare pada anak setiap tahun bertambah terus tahun 2014 sebanyak 445 anak sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 505 anak. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui implementasi program promosi kesehatan dalam penanggulangan diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.

Jenis penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Lokasi penelitian ini adalah diwilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen. Penelitian ini dilaksanakan mulai dari bulan Februari sampai dengan Juni 2016. Subjek penelitian menjadi informan yang akan memberikan berbagai informasi yang diperlukan selama proses penelitian. Data primer diperoleh melalui wawancara mendalam kepada informan (indepth interview) dan Observasi lapangan, sedangkan data sekunder diperoleh dengan studi dokumentasi dan kegiatan observasi di Puskesmas.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala telah dilaksanakan dengan mengintegrasikan kegiatannya kedalam program setiap unit-unit kerja pelayanan di Puskesmas Kuala.

Penanggulangan kasus diare diwilayah Puskesmas Kuala dilaksanakan melalui pendekatan promosi kesehatan. Sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala masih sangat minim dan terbatas khususnya media untuk penanggulangan diare. Akibatnya pemahaman masyarakat tentang diare masih sangat kurang, disebabkan karena metode penyuluhan yang digunakan petugas tidak efektif.

Saran penelitian, diharapkan Puskesmas Kuala dapat merencanakan program promosi kesehatan dengan berkoordinasi antar unit program sehingga tidak terjadi perencanaan ganda, meningkatkan kerjasama lintas program dan sektoral untuk menanggulangi penyakit diare, petugas kesehatan sebaiknya menggunakan media promosi kesehatan yang dapat meningkatkan pengetahuan dan pemahaman masyarakat tentang diare.

Kata Kunci : Program Promosi Kesehatan, Penanggulangan Diare, Sarana Promosi Kesehatan.

(7)

potassium. Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, reported that child patients suffered from diarrhea increased each year: 445 children in 2014 and 505 children in 2015.

The objective of the research was to find out the implementation of health promotion program in handling diarrhea at Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, in 2016.

The research used qualitative method. It was conducted in the working area of Kuala Puskesmas, Bireuen Regency, from February until June, 2016. The research subjects were informants who provided information during the research process.

Primary data were gathered through in-depth interviews with informants and field observation, while secondary data were obtained from documentary study and observation at the Puskesmas.

The result of the research showed that the health promotion program at Kuala Puskesmas had been implemented by integrating it into each working unit at the Puskesmas. Diarrhea in the working area of Kuala Puskesmas was handled through health promotion approach. The facility of health promotion, especially in media, at Kuala Puskesmas was inadequate and limited in handling diarrhea. In consequence, people lacked of understanding due to ineffective counseling.

It is recommended that Kuala Puskesmas plan health promotion program by carrying out cross-sectoral program collaboration by using health promotion media which can increase people’s knowledge and understanding about diarrhea.

Keywords: Health Promotion Program, Diarrhea Handling, Health Promotion Facility

(8)

rahmatnya penulis dapat menyelesaikan Tesis yang berjudul ANALISIS IMPLEMENTASI PROGRAM PROMOSI KESEHATAN TERHADAP PENANGGULANGAN PENYAKIT DIARE DI WILAYAH KERJA PUSKESMAS KUALA KABUPATEN BIREUEN.

Dalam penulisan tesis ini penulis banyak mendapatkan bantuan dari berbagai pihak, untuk itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terimakasih kepada :

1. Bapak Prof.Dr. Runtung, SH.,M.Hum, selaku Rektor Universitas Sumatera Utara 2. Ibu Prof.Dr.Dra.Ida Yustina, M.Si, selaku Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat

Universitas Sumatera Utara

3. Ibu Prof. Dr. Ir. Evawany Y. Aritonang, M.Si selaku Sekretaris Program Studi S2 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara

4. Bapak Dr. Drs. R. Kintoko Rochadi, M.K.M, selaku ketua Komisi Pembimbing yang telah banyak membantu mengarahkan penulis untuk penyelesaian tesis ini 5. Bapak dr. Heldy BZ., M.P.H, selaku anggota Komisi Pembimbing yang

memberikan saran perbaikan penulisan tesis ini

6. Bapak Dr. Drs. Zulfendri, M.Kes dan Bapak dr. Fauzi, S.K.M, selaku Komisi Penguji yang memberikan kritik dan masukan penulisan tesis ini

7. Bapak/ibu yang telah berpartisipasi dan bersedia menjadi informan penelitian ini

(9)

9. Rekan-rekan mahasiswa S2 peminatan AKK stambuk 2014 yang memberikan dukungan kepada penulis

10. Teristimewa buat istriku tercinta Nurlian dan anak-anakku tersayang Cut Kanza Lindia Sari, Teuku Syauqi Amalul dan Cut Syabilla Ghahitsa yang selalu setia mendoakan dan mendampingi saya untuk menyelesaian tesis ini.

Semoga Allah memberikan rahmat dan ridhonya bagi kita dan bagi semua pihak yang telah membantu. Akhirnya penulis menyadari bahwa masih banyak kekurangan dan kelemahan dalam penulisan tesis ini, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan saran untuk penyempurnaannya.

Medan, Juni 2016 Penulis,

Teuku Syahlidin 147032139/IKM

(10)

N a m a : Teuku Syahlidin

Tempat/tanggal lahir : Meureudu, 5 Desember 1977

Agama : Islam

Alamat : Jl.Tgk.Nyak abi, Dusun Aman Desa Pulokiton Kecamatan Kota Juang Kabupaten Bireuen Provinsi Aceh

Riwayat pendidikan : 1. Sekolah Dasar Negeri No.05 Meureudu tahun 1989

2. Sekolah Menengah Pertama Negeri 1 Meureudu tahun 1992 3. Akademi Kesehatan Lingkungan Jabal Ghafur Aceh tahun 1999 4. S-1 Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Serambi Mekah

Banda Aceh tahun 2014

5. Mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat USU tahun 2014 Riwayat pekerjaan : 1. Pegawai Negeri Sipil (PNS) Kabupaten Bireuen tahun 2006

sampai dengan sekarang.

2. Koordinator Unit Pencegahan Penyakit Menular (P2M) Puskesmas Kuala Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen

3. Koordinator Unit Kesehatan Lingkungan Puskesmas Kuala Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen

4. Staf Puskesmas Kuala Kecamatan Kuala Kabupaten Bireuen sampai dengan saat ini.

(11)

ABSTRACT ... ii

KATA PENGANTAR ... iii

RIWAYAT HIDUP ... v

DAFTAR ISI ... vi

DAFTAR TABEL ... viii

GAMBAR GAMBAR ... ix

DAFTAR LAMPIRAN ... x

BAB 1. PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar belakang ... 1

1.2 Pertanyaan Penelitian ... 8

1.3 Tujuan Penelitian ... 8

1.4 Manfaat Penelitian ... 9

BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA ... 10

2.1 Promosi Kesehatan ... 10

2.1.1 Strategi Promosi Kesehatan ... 10

2.1.2 Sumber Daya Manusia Kesehatan ... 17

2.2 Metode dan Media Promosi Kesehatan ... 18

2.2.1 Metode Promosi Kesehatan ... 18

2.2.2 Media Promosi Kesehatan ... 20

2.3 Kegiatan Promosi Kesehatan ... 21

2.3.1 Kegiatan Promkes dalam gedung Puskesmas... 21

2.3.2 Kegiatan Promkes diluar gedung Puskesmas ... 22

2.4 Mutu Program Kesehatan ... 23

2.5 Penyakit Diare ... 27

2.5.1 Gejala Diare ... 31

2.5.2 Pencegahan Penyakit Diare ... 32

2.6 Landasan Teori ... 39

2.7 Kerangka Pikir Penelitian ... 40

BAB 3. METODE PENELITIAN ... 43

3.1 Jenis Penelitian ... 43

3.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 43

3.2.1 Lokasi Penelitian ... 43

(12)

3.4.2 Triangulasi Data ... 46

3.5 Analisa Data ... 46

BAB 4. HASIL PENELITIAN ... 48

4.1 Deskripsi Lokasi Penelitian ... 48

4.1.1 Letak dan Batas wilayah ... 48

4.1.2 Data Demografi ... 49

4.2 Fasilitas Puskesmas Kuala ... 50

4.3 Data Penyakit Umum Puskesmas Kuala ... 50

4.4 Karakteristik Informan ... 51

4.5 Implementsi Program Promosi Kesehatan di PKM Kuala ... 52

4.6 Pelaksanaan Penanggulangan Diare di PKM Kuala ... 54

4.7 Sarana Promosi Kesehatan di PKM Kuala ... 58

BAB 5. PEMBAHASAN ... 61

5.1 Analisis Implementasi Program Promosi Kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ... 61

5.2 Analisis Pelaksanaan Penanggulangan Diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ... 66

5.3 Analisis Sarana Promosi Kesehatan dalam Penanggulangan Diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen Tahun 2016 ... 73

BAB 6. KESIMPULAN DAN SARAN ... 78

6.1 Kesimpulan ... 78

6.2 Saran ... 79

DAFTAR PUSTAKA ... 80 LAMPIRAN

(13)

4.1 Distribusi Penduduk Kecamatan Kuala ... 49 4.3 Karakteristik Informan... 51

(14)

2.1 Kerangka Pikir Penelitian ... 40 4.3 Data Penyakit Umum di Puskesmas Kuala ... 50

(15)

1. Surat survey pendahuluan ... 81

2. Surat izin penelitian ... 82

3. Surat rekomendasi izin penelitian ... 83

4. Surat Keterangan selesai melaksanakan Penelitian ... 84

5. Foto kegiatan pengumpulan data penelitian... 85

(16)

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Diare menyebabkan kehilangan banyak cairan dan elektrolit melalui feces.

Kelainan yang mengganggu penyerapan di usus halus cenderung menyebabkan diare, sedangkan kelainan penyerapan di usus besar lebih jarang menyebabkan diare. Pada dasarnya semua diare merupakan gangguan transportasi larutan. Gejala klinis sesuai dengan derajat atau banyaknya kehilangan cairan. Bila dilihat dari banyaknya cairan yang hilang, derajat dehidrasi dapat dibagi berdasarkan kehilangan berat badan.

Berdasarkan kehilangan berat badan, dehidrasi ada empat kategori, yaitu tidak ada dehidrasi (bila penurunan berat badan 2,5%), dehidrasi ringan (bila terjadi penurunan berat badan 2-5%), dehidrasi sedang (bila penurunan berat badan 5-10%), dan dehidrasi berat bila terjadi penurunan berat badan 10% (Sodikin, 2011).

Penyakit diare masih menjadi suatu momok yang menakutkan bagi rakyat di Indonesia. Tingginya kasus diare tidak terlepas dari masih buruknya sanitasi lingkungan dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) yang masih sering dilupakan. Kementerian Kesehatan RI telah memprioritaskan pembangunan kesehatan dalam Rencana Strategis Kementerian Kesehatan dengan prioritas pembangunan kesehtan terpusat kepada pengendalian penyakit menular dan penyakit tidak menular diikuti penyehatan lingkungan serta promosi kesehatan.

(17)

Besarnya masalah diare untuk negara Indonesia dapat dilihat dari masih tingginya morbiditas diare yang disertai KLB bahkan sering disertai dengan kematian di Indonesia. Menurut hasil Riskesdas 2007, diare merupakan penyebab kematian nomor satu pada bayi (31,4%) dan pada balita (25,2%), sedangkan pada golongan semua umur merupakan penyebab kematian yang ke-empat (13,2%). Pada tahun 2012 angka kesakitan diare pada semua umur sebesar 214 per 1.000 penduduk dan angka kesakitan diare pada balita 900 per 1.000 penduduk (Kemenkes, 2014).

Menurut data Riskesdas 2013, insiden diare (≤ 2 minggu terakhir sebelum wawancara) berdasarkan gejala sebesar 3,5% (kisaran provinsi 1,6%-6,3%) dan insiden diare pada balita sebesar 6,7% (kisaran provinsi 3,3%-10,2%). Untuk period prevalence diare (>2 minggu-1 bulan terakhir sebelum wawancara) berdasarkan gejala sebesar 7% ( Kemenkes, 2014). Pada tahun 2013 terjadi 8 KLB yang tersebar di 6 Propinsi, 8 kabupaten dengan jumlah penderita 646 orang dengan kematian 7 orang atau Case Fatality Rate (CFR 1,08%). Sedangkan pada tahun 2014 terjadi 6 KLB Diare yang tersebar di 5 propinsi, 6 kabupaten/kota, dengan jumlah penderita 2.549 orang dengan kematian 29 orang (CFR 1,13%). Secara nasional angka kematian (CFR) pada KLB diare pada tahun 2014 sebesar 1,13%. Sedangkan target CFR pada KLB Diare diharapkan <1%. Dengan demikian secara nasional, CFR KLB diare tidak mencapai target program ( Kemenkes, 2014).

Setiap tahunnya terjadi peningkatan kasus diare di provinsi Aceh, hal ini dapat dilihar dari laporan kasus diare tahun 2013 kasus diare di Provinsi Aceh sebanyak 99.304 kasus dan pada tahun 2014 sebanyak 101.258 dan meningkat pada tahun 2015

(18)

dengan kasus diare sebanyak 182.322 kasus dengan kasus yang ditangani sebanyak 116.058 (63%). Tingginya kasus diare di Provinsi Aceh tidak terlepas dari program pengendalian dan pencegahan diare yang tidak berjalan dengan efektif dan efesien sehingga kasus diare terus meningkat pada setiap tahunnya.

Menurut Data Kemenkes tahun 2014 yang menunjukkan bahwa Provinsi Aceh menjadi salah satu provinsi yang memiliki penemuan kasus diare yang yang cukup tinggi di Indonesia dengan perkiraan kasus diare di fasilitas kesehatan sebanyak 101.258 kasus. Hal ini menjadikan Provinsi Aceh menjadi provinsi dengan urutan ke 12 tertinggi kasus diare di Indonesia dibawah Provinsi Papua, Provinsi Sulawesi Tengah, Provinsi Banten, Provinsi Jawa Timur, Provinsi Jawa Tengah, Provinsi Jawa Barat, Provinsi DKI Jakarta, Provinsi Lampung, Provinsi Sumatera Selatan, Provinsi Riau dan Provinsi Sumatera Barat.

Program penanggulangan Diare di Provinsi Aceh sangat minim sekali, hal ini tidak terlepas dari masih minimnya Petugas Promosi Kesehatan di Dinas Kesehatan Provinsi Aceh dan metode yang digunakan untuk melakukan penyuluhan masih konvensional sehingga masyarakat masih belum memiliki pengetahuan yang cukup untuk merubah berbagai kebiasaan yang berkaitan dengan penanggulangan diare.

Petugas kesehatan yang sebenarnya memiliki tugas berkaitan dengan penyakit diare juga enggan melakukann kegiatan promosi kesehatan karena mereka menganggap bahwa promosi kesehatan itu hanya dilakukan oleh bidang promosi kesehatan saja sedangkan mereka hanya terfokus dengan kegiatan dan program yang menurut mereka menjadi tugas pokok mereka seperti bidang kesehatan lingkungan, petugas

(19)

Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) dan petugas surveilens. Kepercayaan masyarakat Aceh tentang Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS) yang masih rendah juga turut berperan dalam meningkatkan terjadinya penyakit diare di provinsi Aceh seperti perilaku mencuci tangan dengan sabun dan air mengalir, Buang Air Besar (BAB) di jamban juga masih minim, pemberian ASI Ekslusif juga tidak signifikan, konsumsi air bersih yang minim serta tidak memasak air minum. Strategi promosi kesehatan juga telah diupayakan oleh Pemerintah Provinsi Aceh seperti menjalin kerjasama dengan LSM lokal dan luar negeri untuk membangun tempat cuci tangan di sekolah, membangun jamban dan sanitasi air bersih melalui program Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) namun tetap kepercayaan dan kebiasaan masyarakat belum banyak berubah yang berdampak masih banyaknya kasus kejadian penyakit Diare di Provinsi Aceh.

Kabupaten Bireuen merupakan salah satu daerah penyumbang kasus diare yang tinggi untuk Provinsi Aceh. Berdasarkan Data Profil Provinsi Aceh tahun 2015 menunjukkan bahwa Kabupaten Bireuen menjadi Kabupaten dengan kasus diare tertinggi kedua di Provinsi Aceh dengan jumlah perkiraan kasus sebanyak 16.844 dan Kabupaten Pidie sebagai kabupaten dengan kasus diare tinggi di Provinsi Aceh yaitu sebanyak 12.949 kasus diare (Profil Kesehatan Provinsi Aceh, 2015).

Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen merupakan salah satu Puskesmas terbesar di Kabupaten Bireuen dengan jumlah wilayah kerja 20 desa. Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen merupakan Puskesmas yang memiliki wilayah kerja pesisir dan menjadi daerah yang rawan banjir serta memiliki banyak rawa, tambak serta

(20)

persawahan. Penduduk di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen masih sangat banyak yang Buang Air Besar ( BAB) sembarangan seperti BAB di pinggir laut, aliran sungai dan tambak padahal penduduk di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen sebahagian besar masih mengkonsumsi air sungai dan sumur gali sebagai sumber air minum, ketika akan makan sering tidak mencuci tangan dengan sabun, pemberian ASI ekslusif juga masih rendah.

Berdasarkan hasil laporan Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen penderita diare pada anak setiap tahun bertambah terus yaitu: pada tahun 2013 penderita penyakit diare pada anak 0 – 5 tahun adalah 329 anak, tahun 2014 sebanyak 445 anak sedangkan pada tahun 2015 sebanyak 505 anak. Berdasarkan data tersebut menunjukkan peningkatan setiap tahunnya, walaupun belum ada laporan sampai meninggal. Berdasarkan data yang diperoleh dari Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2015 yang menunjukkan bahwa Persediaan air bersih (PAB) di wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen menggunakan Perusahaan Air Minum (PAM) dan sumur gali (SGL), dari 34.082 Kepala Keluarga (KK) yang diperiksa Persediaan air bersih (PAB), sebesar 29,84% (10.171 KK) menggunakan PAM, sebesar 70,16% (23.911 KK) menggunakan sumur gali (SGL) dan dari 33.175 KK yang diperiksa Jamban Keluarga (JAGA), sebesar 88,75% (29.441 KK) menggunakan jamban leher angsa, sebesar 11,26% (3.734 KK) menggunakan Water Closed (WC) cemplung.

Pengendalian penyakit diare dapat dilakukan dengan pemeliharaan sanitasi lingkungan dan promosi kesehatan. Salah satu usaha untuk mengendalikan penyakit

(21)

diare adalah dengan melakukan promosi kesehatan yaitu segala usaha yang dilakukan yang dapat berpengaruh terhadap peningkatan kesehatan. Strategi promosi kesehatan menurut Notoadmodjo (2012) yaitu pemberdayaan, bina suasana dan advokasi.

Kegiatan promosi kesehatan dapat berupa pendidikan, perubahan lingkungan yang mendukung peningkatan kesehatan, legislasi, ataupun perubahan pada norma-norma sosial.

Hasil penelitian Rahmawati (2008) menunjukkan bahwa tingginya kejadian diare pada bayi berusia dibawah dua tahun di Kecamatan Piyungan Kabupaten Bantul tidak terlepas dari program promosi kesehatan tentang diare tidak berjalan maksimal, masyarakat belum melihat adanya hubungan antara kejadian diare yang mereka rasakan dengan perilaku mereka yang sangat buruk berkaitan dengan PHBS dan sanitasi. Hasil penelitian sejalan diungkapkan Tangka (2014) bahwa kejadian diare yang terjadi di Puskesmas Bintauna Kabupaten Bolang Mongondow tidak terlepas dari program promosi kesehatan yang tidak berjalan secara optimal sehingga pengetahuan masyarakat tentang penggunaan air bersih, pengolahan air yang baik masih minim sehingga mereka konsumsi air yang kurang baik.

Program promosi kesehatan tentang diare yang direncanakan memiliki tujuan untuk mengendalikan kejadian diare, hal ini tidak terlepas dari sanitasi lingkungan kita yang masih buruk dan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat ( PHBS) yang tidak dilaksanakan. Terdapat berbagai macam tanggapan dan penerimaan yang berbeda dimasyarakat yang berkaitan dengan penyakit diare maupun pencegahan penyakit diare di masyarakat. Beberapa hal yang berkaitan dengan latar belakang pendidikan,

(22)

sosial budaya, dan ekonomi menyebabkan terjadinya bermacam pengertian, sikap dan tanggapan dan penerimaan masyarakat terhadap diare, kepadatan penduduk yang tinggi, higiene dan sanitasi yang buruk mempertinggi kejadian diare. Faktor-faktor tersebut mempermudah penyebaran atau penularan penyakit diare.

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen bahwa untuk mengatasi peningkatan kasus diare di wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen telah dilakukan kegiatan promosi kesehatan berupa penyuluhan untuk menanggulangi penyakit diare yang terjadi, namun kejadian diare masih tetap tinggi di wilayah kerja Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

Petugas kesehatan yang memegang program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen melakukan promosi kesehatan tentang diare kepada ibu balita khususnya ketika diadakan Posyandu di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen namun penyuluhan ini hanya dilakukan oleh bidang Promosi Kesehatan Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen karena bidang lainnya yang terkait dengan kejadian diare cenderung tidak memberikan penyuluhan kepada ibu balita seperti bidang kesehatan lingkungan, bidang Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA) dan bidang surveilens.

(23)

1.2. Pertanyaan Penelitian

Berdasarkan uraian di atas, maka pertanyaan penelitian yaitu :

1. Bagaimana implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016?

2. Bagaimana pelaksanaan promosi kesehatan dalam menanggulangi penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016?

3. Bagaimana sarana promosi kesehatan dalam mendukung penanggulangan diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016?

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui implementasi program promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.

2. Untuk mengetahui upaya promosi kesehatan dalama menanggulangi kejadian diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.

3. Untuk mengetahui sarana promosi kesehatan di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen tahun 2016.

(24)

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini antara lain :

1. Memperoleh masukan bagi Dinas Kesehatan Kabupaten Bireuen untuk dapat meningkatkan kinerja program promosi kesehatan dalam penanggulangan penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

2. Mendapatkan gambaran tentang kebutuhan masyarakat akan program promosi penanggulangan penyakit diare di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

3. Menjadi bahan penyusun program promosi kesehatan untuk pencegahan diare pada anak di Puskesmas Kuala Kabupaten Bireuen.

4. Menjadi tambahan informasi yang akan memperkaya kajian dalam ilmu Administrasi dan Kebijakan Kesehatan.

(25)

BAB 2

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Promosi Kesehatan

Menurut Piagam Ottawa (1986) promosi kesehatan merupakan suatu proses yang bertujuan memungkinkan individu meningkatkan kontrol terhadap kesehatannya. Demi mencapai derajat kesehatan yang sempurna, baik dari fisik, mental, maupun sosial, masyarakat harus mampu mengenal dan mewujudkan aspirasi dan kebutuhannya dan mampu mengubah atau mengatasi lingkungannya (Notoatmodjo, 2012).

Menurut Green dan Ottoson (1998) promosi kesehatan adalah kombinasi berbagai dukungan menyangkut pendidikan, organisasi, kebijakan dan peraturan perundang-undangan untuk perubahan lingkungan dan perilaku yang menguntungkan kesehatan. Batasan ini menekankan bahwa promosi kesehatan adalah program masyarakat yang menyeluruh, bukan hanya perubahan perilaku, melainkan juga perubahan lingkungan. Perubahan perilaku tanpa diikuti perubahan lingkungan tidak akan efektif dan juga dapat dipastikan tidak akan bertahan lama (Maulana, 2009).

2.1.1 Strategi Promosi Kesehatan

Committee on Health Education and Promotion Terminology yang dikutip oleh McKenzie (2007) menyatakan bahwa promosi kesehatan sebagai kombinasi terencana apapun dari mekanisme pendidikan, politik, lingkungan, peraturan, maupun mekanisme organisasi yang mendukung tindakan dan kondisi kehidupan yang

(26)

kondusif untuk kesehatan individu, kelompok dan masyarakat. Pada Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan disebutkan bahwa promosi kesehatan adalah upaya untuk meningkatkan kemampuan masyarakat melalui pembelajaran dari, oleh, untuk, dan bersama masyarakat, agar mereka dapat menolong dirinya sendiri, serta mengembangkan kegiatan yang bersumber daya masyarakat, sesuai sosial budaya setempat dan didukung oleh kebijakan publik yang berwawasan kesehatan.

Melakukan promosi kesehatan tidak terlepas dari perilaku. Perilaku tidak hanya menyangkut dimensi kultural yang berupa sistem nilai dan norma, melainkan juga dimensi ekonomi .Sistem nilai dan norma merupakan rambu-rambu bagi seseorang untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sistem nilai dan norma

“dibuat” oleh masyarakat untuk dianut oleh individu-individu anggota masyarakat tersebut. Namun demikian sistem nilai dan norma, sebagai sistem sosial, adalah sesuatu yang dinamis. Artinya, sistem nilai dan norma suatu masyarakat akan berubah mengikuti perubahan-perubahan lingkungan dari masyarakat yang bersangkutan (Depkes RI, 2007).

Hasil Konferensi Internasional ke-4 tentang Promosi kesehatan, yang dikutip oleh Liliweri (2007), menyatakan bahwa prioritas promosi kesehatan dalam abad 21 adalah: (1). Mempromosikan tanggung jawab sosial bagi kesehatan; (2).

Meningkatkan modal untuk pengembangan kesehatan; (3). Konsolidasi dan perluasan kemitraan untuk kesehatan; (4) Meningkatkan kapasitas komunitas dan memperkuat individu dan; (5) Melindungi keamanan infrastruktur promosi kesehatan. Hal ini sejalan dengan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor

(27)

1193/Menkes/SK/X/2004 tentang Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan dan Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor 1114/Menkes/SK/II/2005 tentang Pedoman Promosi Kesehatan di Daerah, strategi dasar promosi kesehatan adalah pemberdayaan, bina suasana, advokasi serta dijiwai semangat, kemitraan.

Promosi kesehatan diharapkan dapat melaksanakan strategi yang bersifat paripurna (komprehensif), khususnya dalam menciptakan perilaku baru. Kebijakan Nasional Promosi Kesehatan telah menetapkan tiga strategi dasar promosi kesehatan, yaitu (1) advokasi, (2) gerakan pemberdayaan masyarakat dan, (3) bina suasana, yang diperkuat oleh kemitraan serta metode dan sarana komunikasi yang tepat (Depkes RI, 2007).

Menurut Notoadmodjo (2012) yang mengutip pendapat Hopkins, defenisi advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam- macam bentuk komunikasi persuasif. Advokasi dapat diartikan sebagai upaya atau proses yang strategis dan terencana untuk mendapatkan komitmen dan dukungan dari pihak-pihak yang terkait (stakeholders). Berbeda dengan bina suasana, advokasi diarahkan untuk menghasilkan dukungan yang berupa kebijakan (misalnya dalam bentuk peraturan perundang-undangan), dana, sarana dan lain-lain sejenis.

Stakeholders yang dimaksud bisa berupa tokoh masyarakat formal yang umumnya berperan sebagai penentu kebijakan pemerintahan dan penyandang dana pemerintah. Juga dapat berupa tokoh-tokoh masyarakat informal seperti tokoh agama, tokoh adat dan lain-lain yang umumnya dapat berperan sebagai penentu “kebijakan”

(tidak tertulis) di bidangnya. Tidak boleh dilupakan pula tokoh-tokoh dunia usaha,

(28)

yang diharapkan dapat berperan sebagai penyandang dana non-pemerintah (Puspromkes Depkes, 2006). Strategi advokasi dilakukan dengan melalui pengembangan kebijakan yang mendukung pembangunan kesehatan melalui konsultasi pertemuan-pertemuan dan kegiatan-kegiatan lain kepada para pengambil keputusan baik kalangan pemerintah, swasta maupun pemuka masyarakat (Notoatmodjo, 2012).

Bina Suasana adalah upaya menciptakan opini atau lingkungan sosial yang mendorong individu anggota masyarakat untuk mau melakukan perilaku yang diperkenalkan. Seseorang akan terdorong untuk mau melakukan sesuatu apabila lingkungan sosial di mana pun ia berada (keluarga di rumah, orang-orang yang menjadi panutan/ idolanya, kelompok arisan, majelis agama dan lain-lain dan bahkan masyarakat umum) memiliki opini yang positif terhadap perilaku tersebut. Oleh karena itu, untuk mendukung proses Pemberdayaan Masyarakat, khususnya dalam upaya mengajak para individu meningkat dari fase tahu ke fase mau, perlu dilakukan Bina Suasana (Depkes RI, 2006). Pada pelaksanaannya terdapat tiga pendekatan dalam Bina Suasana, yaitu (1) Pendekatan Individu, (2) Pendekatan Kelompok, dan (3) Pendekatan Masyarakat Umum (Depkes RI, 2007), dengan penjelasan sebagai berikut:

a. Bina Suasana Individu, ditujukan kepada individu tokoh masyarakat. Melalui pendekatan ini diharapkan mereka akan menyebarluaskan opini yang positif terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan. Mereka juga diharapkan dapat menjadi individu-individu panutan dalam hal perilaku yang sedang

(29)

diperkenalkan dengan bersedia atau mau mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan tersebut misalnya seorang pemuka agama yang rajin melaksanakan 3 M yaitu Menguras, Menutup dan Mengubur demi mencegah munculnya wabah demam berdarah. Lebih lanjut bahkan dapat diupayakan agar mereka bersedia menjadi kader dan turut menyebarluaskan informasi guna menciptakan suasana yang kondusif bagi perubahan perilaku individu.

b. Bina Suasana Kelompok, ditujukan kepada kelompok-kelompok dalam masyarakat, seperti pengurus Rukun Tetangga (RT), pengurus Rukun Warga (RW), kelompok keagamaan, perkumpulan seni, organisasi profesi, organisasi wanita, organisasi siswa/mahasiswa, organisasi pemuda, dan lain-lain.

Pendekatan ini dapat dilakukan oleh dan atau bersama-sama dengan pemuka/tokoh masyarakat yang telah peduli. Diharapkan kelompok-kelompok tersebut menjadi peduli terhadap perilaku yang sedang diperkenalkan dan menyetujui atau mendukungnya. Bentuk dukungan ini dapat berupa kelompok tersebut lalu bersedia juga mempraktikkan perilaku yang sedang diperkenalkan, mengadvokasi pihak-pihak yang terkait, dan atau melakukan kontrol sosial terhadap individu-individu anggotanya.

c. Bina Suasana Masyarakat Umum, dilakukan terhadap masyarakat umum dengan membina dan memanfaatkan media-media komunikasi, seperti radio, televisi, koran, majalah, situs internet, dan lain-lain, sehingga dapat tercipta pendapat umum. Dengan pendekatan ini diharapkan media-media massa tersebut menjadi peduli dan mendukung perilaku yang sedang diperkenalkan.

(30)

Suasana atau pendapat umum yang positif ini akan dirasakan pula sebagai pendukung atau “penekan” (social pressure) oleh individu-individu anggota masyarakat, sehingga akhirnya mereka mau melaksanakan perilaku yang sedang diperkenalkan. Strategi bina suasana dilakukan melalui: (1) Pengembangan potensi budaya masyarakat dengan mengembangkan kerja sama lintas sektor termasuk organisasi kemasyarakatan, keagamaan, pemuda, wanita serta kelompok media massa; dan (2) Pengembangan penyelenggaraan penyuluhan, mengembangkan media dan sarana, mengembangkan metode dan teknik serta hal-hal lain yang mendukung penyelenggaraan penyuluhan.

Pemberdayaan adalah proses pemberian informasi secara terus-menerus dan berkesinambungan mengikuti perkembangan sasaran, serta proses membantu sasaran, agar sasaran tersebut berubah dari tidak tahu menjadi tahu atau sadar (aspek knowledge), dari tahu menjadi mau (aspek attitude) dan dari mau menjadi mampu melaksanakan perilaku yang diperkenalkan (aspek practice) (Notoatmodjo, 2012).

Sasaran utama dari pemberdayaan adalah individu dan keluarga, serta kelompok masyarakat. Dalam mengupayakan agar seseorang tahu dan sadar, kuncinya terletak pada keberhasilan membuat orang tersebut memahami bahwa sesuatu (misalnya diare) adalah masalah baginya dan bagi masyarakatnya. Sepanjang orang yang bersangkutan belum mengetahui dan menyadari bahwa sesuatu itu merupakan masalah, maka orang tersebut tidak akan bersedia menerima informasi apa pun lebih lanjut. Manakala ia telah menyadari masalah yang dihadapinya, maka

(31)

kepadanya harus diberikan informasi umum lebih lanjut tentang masalah yang bersangkutan (Depkes RI, 2007).

Perubahan dari tahu ke mau pada umumnya dicapai dengan menyajikan fakta- fakta dan mendramatisasi masalah. Tetapi selain itu juga dengan mengajukan harapan bahwa masalah tersebut bisa dicegah dan atau diatasi. Di sini dapat dikemukakan fakta yang berkaitan dengan para tokoh masyarakat sebagai panutan; misalnya tentang seorang tokoh agama yang dia sendiri dan keluarganya tak pernah terserang diare karena perilaku yang dipraktikkannya (Depkes RI, 2007).

Bilamana sasaran sudah akan berpindah dari mau ke mampu melaksanakan, boleh jadi akan terkendala oleh dimensi ekonomi. Dalam hal ini kepada yang bersangkutan dapat diberikan bantuan langsung, tetapi yang seringkali dipraktikkan adalah dengan mengajaknya ke dalam proses pengorganisasian masyarakat (community organization) atau pembangunan masyarakat (community development).

Pemberdayaan akan lebih berhasil jika dilaksanakan melalui kemitraan serta menggunakan metode dan teknik yang tepat. Pada saat ini banyak dijumpai Lembaga- lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak di bidang kesehatan atau peduli terhadap kesehatan. LSM ini harus digalang kerjasamanya, baik di antara mereka maupun antara mereka dengan pemerintah, agar upaya pemberdayaan masyarakat dapat berdayaguna dan berhasilguna (Depkes, 2007).

(32)

2.1.2. Sumber Daya Promosi Kesehatan

Sumber daya utama yang diperlukan untuk penyelengaraan promosi kesehatan di Puskesmas adalah tanaga, sarana-prasarana dan dana atau anggaran. Standar tenaga khusus promosi kesehatan di Puskesmas menurut Surat Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor1114/Menkes/SK/II/2005 tentang Pedoman Promosi Kesehatan di Daerah adalah sebagai berikut:

Kualifikasi Jumlah Kompetensi Umum SDM Kesehatan minimal D3 kesehatan, minat dan bakat di bidang promosi 1 orang:

1. Membantu tenaga kesehatan lain merancang pemberdayaan kesehatan

2. Melakukan bina suasana dan advokasi Standar sarana-prasarana promosi kesehatan Puskesmas minimal sebagai berikut: Nomor, Jenis Sarana-Prasarana Jumlah 1 Flipcharts dan stand 1 set 2 LCD Proyektor 1 buah 3 Amplifier dan wireless microphone 1 set 4 Kamera foto 1 buah 5 Megaphon/ Public Address System 1 set 6 Portable Generator 1 buah 7 Tape/ casset recorder/ player 1 buah 8 Papan Informasi 1 buah. Pada unsur pendanaan promosi kesehatan Puskesmas memang tidak ditentukan standarnya, tetapi Puskesmas/ dinas kesehatan diharapkan menyediakan anggaran yang cukup untuk melaksanakan kegiatan promosi kesehatan di Puskesmas.

(33)

2.2. Metode dan Media Promosi Kesehatan 2.2.1. Metode Promosi Kesehatan

Metode penyuluhan kesehatan dapat digolongkan berdasarkan teknik komunikasi, sasaran yang dicapai dan indera penerima dari sasaran promosi (Depkes, 2007).

a. Berdasarkan Teknik Komunikasi 1. Metode penyuluhan langsung

Dalam hal ini para penyuluh langsung berhadapan atau bertatap muka dengan sasaran. Metode ini dibedakan menjadi 2 yaitu :

a. Metode didaktik

Pada metode didaktik yang aktif adalah orang yang melakukan penyuluhan kesehatan, sedangkan sasaran bersifat pasif dan tidak diberikan kesempatan untuk ikut serta mengemukakan pendapatnya atau mengajukan pertanyaan–pertanyaan apapun. Dan proses penyuluhan yang terjadi bersifat satu arah (one way method). Contoh metode ini adalah metode ceramah.

b. Metode sokratik

Metode sokratik adalah metode komunikasi dua arah antara yang memberikan penyuluhan terhadap sasaran, sehingga diharapkan tingkat pemahaman sasaran terhadap pesan yang disampaikan akan lebih jelas dan mudah dipahami, diantaranya metode curah pendapat, diskusi, demonstrasi, simulasi, bermain peran dan sebagainya.

(34)

2. Metode penyuluhan tidak langsung. Dalam hal ini para penyuluh tidak langsung berhadapan secara tatap muka dengan sasaran, tetapi ia menyampaikan pesannya dengan perantara (media). Umpamanya publikasi melalui pertunjukan film, media cetak (poster, majalah, buletin, surat kabar) dan media eletronik (televisi, radio).

3. Berdasarkan jumlah sasaran yang dicapai a. Pendekatan perorangan

Dalam hal ini para penyuluh kesehatan berhubungan secara langsung maupun tidak langsung dengan sasaran secara perorangan, antara lain:

kunjungan rumah, hubungan telepon dan lain-lain.

b. Pendekatan kelompok

Dalam pendekatan ini penyuluh kesehatan berhubungan dengan sekolompok sasaran. Beberapa metode penyuluhan yang masuk dalam ketegori ini antara lain: pertemuan, demostrasi, diskusi kelompok, pertemuan FGD dan lain-lain.

c. Pendekatan massal

Petugas penyuluh kesehatan menyampaikan pesannya secara sekaligus kepada sasaran yang jumlahnya banyak. Beberapa metode yang masuk dalam golongan ini adalah: pertemuan umum, pertunjukan kesenian, penyebaran tulisan/ poster/ media cetak lainnya, pemutaran film dan lain- lain.

(35)

4. Berdasarkan indra penerima

a. Metode melihat/ memperhatikan.

Dalam hal ini pesan diterima sasaran melalui indera penglihatan, seperti:

penempelan poster, pemasangan gambar/ foto, pemasangan koran dinding, pemutaran film.

b. Metode pendengaran

Dalam hal ini pesan diterima oleh sasaran melalui indera pendengar, umpamanya: penyuluhan lewat radio, pidato, ceramah dan lain-lain.

c. Metode kombinasi. Dalam hal ini termasuk: demonstrasi (dilihat, didengar, dicium, diraba dan dicoba).

2.2.2. Media Promosi Kesehatan

Media merupakan sarana untuk menyampaikan pesan kepada sasaran sehingga mudah dimengerti oleh sasaran/ pihak yang dituju. Media promosi kesehatan adalah semua sarana atau upaya untuk menampilkan pesan atau informasi yang ingin disampaikan oleh komunikator, baik itu melalui media cetak, elektronik dan media luar ruang, sehingga sasaran dapat meningkat pengetahuannya yang akhirnya diharapkan dapat berubah perilakunya ke arah positif terhadap kesehatannya (Notoatmodjo, 2012).Media pendidikan kesehatan disebut juga sebagai alat peraga karena berfungsi membantu dan memeragakan sesuatu dalam proses pendidikan atau pengajaran. Prinsip pembuatan media bahwa pengetahuan yang ada pada setiap orang diterima atau ditangkap melalui panca indera.

(36)

Semakin banyak panca indera yang digunakan, semakin banyak dan semakin jelas pula pengertian atau pengetahuan yang diperoleh. Hal ini menunjukkan bahwa keberadaan alat peraga dimaksudkan mengerahkan indera sebanyak mungkin pada suatu objek sehingga memudahkan pemahaman. Menurut penelitian para ahli, panca indera yang paling banyak menyalurkan pengetahuan ke otak adalah mata (kurang lebih 75% sampai 87%), sedangkan 13% sampai 25% pengetahuan manusia diperoleh atau disalurkan melalui indera lainnya.

Alat peraga atau media mempunyai intensitas yang berbeda dalam membantu permasalahan seseorang. Elgar Dale menggambarkan intensitas setiap alat peraga dalam suatu kerucut. Berturut-turut intensitas alat peraga mulai dari yang paling rendah sampai paling tinggi adalah kata- kata, tulisan, rekaman/ radio, film, televisi, pameran, field trip, demonstrasi, sandiwara, benda tiruan, benda asli (Maulana, 2009).

Media promosi kesehatan yang baik adalah media yang mampu memberikan informasi atau pesan-pesan kesehatan yang sesuai dengan tingkat penerimaan sasaran, sehingga sasaran mau dan mampu untuk mengubah perilaku sesuai dengan pesan yang disampaikan.

2.3. Kegiatan Promosi Kesehatan

2.3.1 Kegiatan Promosi Kesehatan di dalam Gedung Puskesmas

Promosi kesehatan di dalam gedung Puskesmas adalah promosi kesehatan yang dilaksanakan di lingkungan dan gedung Puskesmas seperti di tempat pendaftaran, poliklinik, ruang perawatan, laboratorium, kamar obat, tempat

(37)

pembayaran dan halaman Puskesmas (Depkes, 2007). Promosi kesehatan yang ada di Puskesmas akan dibagi atas dua yaitu promosi kesehatan dalam gedung dan promosi kesehatan diluar gedung.

2.3.2 Kegiatan Promosi Kesehatan Di Luar Gedung Puskesmas

Kegiatan promosi kesehatan diluar gedung dilakukan dengan sasaran masyarakat yang berada di wilayah kerja Puskesmas yang bersangkutan sebagai upaya untuk meningkatkan PHBS dengan pengorganisaian masyarakat. Pelaksanaan promkes diluar gedung dilaksanakan Puskesmas bekerjasama dengan berbagai pihak potensial melalui metode advokasi, bina suasana, gerakan pemberdayaan yang dijiwai semangat kemitraan dengan kegiatan sebagai berikut (Depkes, 2007):

1. Promosi kesehatan melalui pendekatan individu

2. Promosi kesehatan melalui pendekatan kelompok (TP PKK, karang taruna, posyandu, SBH, majlis taklim dan lain sebagainya)

3. Promosi kesehatan melalui pendekatan organisasi masyarakat (ormas) seperti kelompok kesenian tradisional dan lain sebagainya

4. Penggerakan dan pengorganisaian masyarakat melalui: 1. Kunjungan rumah 2.

Pemberdayaan berjenjang 3. Pengorganisasian masyarakat melalui Survei Mawas Diri (SMD) dan Musyawarah Masyarakat Desa (MMD)

(38)

2.4. Mutu Program Kesehatan

Program kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit atau instansi pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu sistem yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, saling tergantung dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Mutu program kesehatan di Puskesmas adalah produk akhir dari interaksi dan ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek pelayanan. Bustami (2011), mengemukakan bahwa komponen program pelayanan kesehatan dapat terdiri dari masukan (input, disebut juga struktur) proses dan hasil (outcome). Ada tiga Pendekatan evaluasi (penilaian) mutu program kesehatan(Bustami, 2011), yaitu:

1) Input atau Struktur

Struktur meliputi sarana fisik perlengkapan dan peralatan, organisasi dan manajemen, keuangan, sumber daya manusia lainnya di fasilitas kesehatan. Baik tidaknya struktur sebagai input dapat diukur dari: jumlah, besarnya input, mutu struktur atau mutu input, besarnya anggaran atau biaya, kewajaran di Puskesmas.

Beberapa aspek penting dalam hal ini adalah kejujuran, efektivitas, efesiensi dan kuantitas serta kualitas dari masukan yang ada. Program kesehatan yang bermutu akan membutuhkan input/ struktur yang bermutu juga yang seharusnya dikelola dan diarahkan sesuai dengan ketentuan peraturan dan perundang-undangan juga prosedur kerja yang berlaku dengan maksud pelayanan kesehatan tersebut dapat diterima oleh pelanggan dengan baik (Bustami, 2011).

(39)

2) Proses

Proses merupakan semua kegiatan yang dilaksanakan secara profesional oleh tenaga kesehatan (dokter, perawat dan tenaga profesi lain) dan interaksinya dengan pasien atau masyarakat. Proses mencakup berbagai standar operasional prosedur (SOP) ataupun berbagai teori yang berkaitan dengan pelaksanaan program kesehatan.

Baik tidaknya proses dapat diukur dari: relevan tidaknya proses itu bagi pasien atau masyarakat, fleksibilitas dan efektifitas, mutu proses itu sendiri sesuai dengan standar pelayanan yang semestinya, kewajaran, tidak kurang dan tidak berlebihan (Bustami, 2011).

Baik atau tidaknya proses di Puskesmas dapat diukur (Bustami, 2011) dengan:

(1) Relevan atau tidaknya proses yang diterima oleh pelanggan (2) Efektif atau tidaknya proses yang dilakukan

(3) Mutu proses yang dilakukan

Variabel proses merupakan pendekatan langsung terhadap mutu pelayanan kesehatan. Semakin patuh petugas (profesi) terhadap standar pelayanan maka akan semakin bermutu pelayanan kesehatan yang diberikan (Bustami, 2011).

3) Outcome

Outcome adalah hasil akhir kegiatan dan tindakan tenaga kesehatan profesional terhadap pasien. Dapat berarti adanya perubahan derajat kesehatan dan kepuasan baik positif maupun negatif. Outcome jangka pendek adalah hasil dari segala suatu tindakan tertentu atau prosedur tertentu (Bustami, 2011).

(40)

Outcome jangka panjang adalah status kesehatan dan kemampuan fungsional pasien atau masyarakat. Logika yang digunakan yaitu jika masukan telah tersedia sesuai dengan rencana dan proses akan bisa terlaksana. Apabila proses dilaksanakan sesuai dengan direncankan sesuai dengan rencana berdasarkan standar yang ada maka hasil yang akan tercapai dengan baik (Bustami, 2011). Jadi program kesehatan terkait (Bustami, 2011) dengan:

(1) Perencanaan, mulai dengan apa yang harus disediakan (masukan), apa yang harus dilakukan (proses) dan apa yang ingin dicapai (hasil).

(2) Monitoring dan evaluasi untuk meyakinkan bahwa apa yang direncanakan telah dilaksanakan, input telah tersedia dan proses telah dilakukan seperti yang direncakan untuk memberikan hasil yang optimal.

Program kesehatan Puskesmas dan rumah sakit memiliki faktor masukan seperti tenaga lebih fokus kepada keberadaan tenaga bidan, perawat dan dokter yang secara kompetensi lebih tepat dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana umumnya terkait dengan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. Untuk pengadaan perlengkapan peralatan petugas kesehatan dan kebutuhan petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan tentunya dibutuhkan dana sesuai dengan kondisi rumah sakit masing- masing (Bustami, 2011).

Faktor proses dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tentunya mengacu kepada Standar Operasional Prosedur (SOP) asuhan pelayanan kesehatan karena pelayanan kesehatan mempunyai SOP tersendiri, demikian juga SOP untuk pelayanan kesehatan lainnya. Sesuai dengan pelayanan kesehatan tahun 2005, bahwa untuk

(41)

memudahkan pengukuran, evaluasi serta mempertanggungjawabkan program pelayanan kesehatan yang dilakukan (Bustami, 2011). Menurut Depkes (2007) bahwa indikator keberhasilan program promosi kesehatan di Puskesmas dapat dilihat dari indikator masukan, indikator proses, indikator keluaran dan indikator dampak.

Indikator masukan program promosi kesehatan dapat dilihat dari:

a. Adanya komitmen Kepala Puskesmas yang mencerminkan dalam Rencana Umum Pengembangan promkes Puskesmas.

b. Adanya komitmen seluruh jajaran yang tercermin dalam Rencana Operasional Promkes Puskesmas.

c. Adanya tenaga Puskesmas sesuai dengan acuan dalam standar SDM promkes Puskesmas.

d. Adanya tenaga Puskesmas dan tenaga kesehatan lain di Puskesmas yang sudah dilatih.

e. Adanya sarana dan peralatan promkes Puskesmas sesuai acuan dalam standar sarana promkes Puskesmas.

f. Adanya dana di Puskesmas yang mencukupi untuk penyelenggaraan promkes Puskesmas.

Untuk indikator proses dalam promosi kesehatan dapat dilihat (Depkes, 2007) dari:

a. Dilaksanakannya kegiatan promkes didalam gedung (setiap tenaga kesehatan melakukan promosi atau diselenggarakan klinik khusus, pemasangan poster dan lain-lain) dan atau frekuensinya.

(42)

b. Kondisi media komunikasi yang digunakan (poster, leaflet, spanduk dan lain- lain) masih bagus dan relevan.

c. Dilaksanakannya kegiatan promkes di masyarakat (kunjungan rumah &

pengorganisasian masyarakat).

Untuk melihat indikator keluaran dari promosi kesehatan dapat dilihat (Depkes, 2007) dari:

a. Semua tenaga kesehatan Puskesmas telah melaksanakan promkes.

b. Berapa banyak pasien/ klien yang sudah terlayani oleh berbagai kegiatan promkes dalam gedung (konseling, bibliografi dan lain-lain).

c. Berapa banyak keluarga yang telah mendapat kunjungan rumah oleh Puskesmas.

d. Berapa banyak kelompok masyarakat yang sudah digarap Puskesmas dengan pengorganisasian masyarakat.

e. Puskesmas sebagai model institusi kesehatan yang ber-PHBS, yaitu dengan Puskesmas bebas rokok, lingkungan bersih, bebas jentik dan jamban sehat.

2.5. Penyakit Diare

Secara klinis diare didefinisikan sebagai bertambahnya defekasi (buang air besar) lebih dari biasanya/ lebih dari tiga kali sehari, disertai dengan perubahan konsisten tinja (menjadi cair) dengan atau tanpa darah. Secara klinik dibedakan tiga macam sindrom diare yaitu diare cair akut, disentri dan diare persisten. Sedangkan menurut menurut Kemenkes (2011), diare adalah suatu penyakit dengan tanda-tanda

(43)

adanya perubahan bentuk dan konsistensi dari tinja, yang melembek sampai mencair dan bertambahnya frekuensi buang air besar biasanya tiga kali atau lebih dalam sehari.

Diare akut diberi batasan sebagai meningkatnya kekerapan, bertambah cairan, atau bertambah banyaknya tinja yang dikeluarkan, akan tetapi hal itu sangat relatif terhadap kebiasaan yang ada pada penderita dan berlangsung tidak lebih dari satu minggu. Apabila diare berlangsung antara satu sampai dua minggu maka dikatakan diare yang berkepanjangan (Soegijanto, 2002). Beberapa perilaku yang dapat meningkatkan risiko terjadinya diare pada balita, yaitu Kemenkes (2011):

1. Tidak memberikan ASI secara penuh 4-6 bulan pertama pada kehidupan. Pada balita yang tidak diberi ASI resiko menderita diare lebih besar daripada balita yang diberi ASI penuh dan kemungkinan menderita dehidrasi berat lebih besar.

2. Menggunakan botol susu, penggunaan botol ini memudahkan pencemaran oleh kuman karena botol susah dibersihkan. Penggunaan botol yang tidak bersih atau sudah dipakai selama berjam-jam dibiarkan di lingkungan yang panas, sering menyebabkan infeksi usus yang parah karena botol dapat tercemar oleh kuman-kuman/ bakteri penyebab diare. Sehingga balita yang menggunakan botol tersebut berisiko terinfeksi diare.

3. Menyimpan makanan masak pada suhu kamar, bila makanan disimpan beberapa jam pada suhu kamar, makanan akan tercermar dan kuman akan berkembang biak.

(44)

4. Menggunakan air minum yang tercemar.

5. Tidak mencuci tangan sesudah buang air besar dan sesudah membuang tinja anak atau sebelum makan dan menyuapi anak.

6. Tidak membuang tinja dengan benar, seringnya beranggapan bahwa tinja tidak berbahaya, padahal sesungguhnya mengandung virus atau bakteri dalam jumlah besar. Selain itu tinja binatang juga dapat menyebabkan infeksi pada manusia.

Secara klinis penyebab diare dapat dikelompokkan dalam golongan enam besar, tetapi yang sering ditemukan di lapangan adalah diare yang disebabkan infeksi dan keracunan. Penyebab diare secara lengkap adalah sebagai berikut: (1) infeksi yang dapat disebabkan: a) bakteri, misal: Shigella, Salmonela, E. Coli, golongan vibrio, bacillus cereus, Clostridium perfringens, Staphyiccoccus aureus, Campylobacter dan aeromonas; b) virus misal: Rotavirus, Norwalk dan norwalk like agen dan adenovirus; c) parasit, misal: cacing perut, Ascaris, Trichiuris, Strongyloides, Blastsistis huminis, protozoa, Entamoeba histolitica, Giardia labila, Belantudium coli dan Crypto; (2) alergi, (3) malabsorbsi, (4) keracunan yang dapat disebabkan; a) keracunan bahan kimiawi dan b) keracunan oleh bahan yang dikandung dan diproduksi: jasat renik, ikan, buah-buahan dan sayur-sayuran, (5) Imunodefisiensi dan (6) sebab-sebab lain . Kemenkes (2011), mengklasifikasikan jenis diare menjadi empat kelompok yaitu:

(45)

1) Diare akut: yaitu diare yang berlangsung kurang dari empat belas hari (umumnya kurang dari tujuh hari),

2) Disentri; yaitu diare yang disertai darah dalam tinjanya,

3) Diare persisten; yaitu diare yang berlangsung lebih dari empat belas hari secara terus menerus,

4) Diare dengan masalah lain; anak yang menderita diare (diare akut dan persisten) mungkin juga disertai penyakit lain seperti demam, gangguan gizi atau penyakit lainnya.

Diare akut dapat mengakibatkan: (1) kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, asidosis metabolik dan hipokalemia, (2) Gangguan sirkulasi darah, dapat berupa renjatan hipovolemik sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai muntah, (3) Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah (Soegijanto, 2002). Diare mengakibatkan terjadinya:

a. Kehilangan air dan elektrolit serta gangguan asam basa yang menyebabkan dehidrasi, dan asidosis metabolik.

b. Gangguan sirkulasi darah dapat berupa renjatan hipovolemik atau prarenjatan sebagai akibat diare dengan atau tanpa disertai dengan muntah, perpusi jaringan berkurang sehingga hipoksia dan asidosismetabolik bertambah berat, kesadaran menurun dan bila tak cepat diobati penderita dapat meninggal.

(46)

Gangguan gizi yang terjadi akibat keluarnya cairan berlebihan karena diare dan muntah, kadang-kadang orang tuanya menghentikan pemberian makanan karena takut bertambahnya muntah dan diare pada anak atau bila makanan tetap diberikan dalam bentuk diencerkan. Hipoglikemia akan lebih sering terjadi pada anak yang sebelumnya telah menderita malnutrisi atau bayi dengan gagal bertambah berat badan. Sebagai akibat hipoglikemia dapat terjadi edema otak yang dapat mengakibatkan kejang dan koma (Suharyono, 2008).

2.5.1. Gejala Diare

Diare dapat menyebabkan hilangnya sejumlah besar air dan elektrolit, terutama natrium dan kalium dan sering disertai dengan asidosis metabolik. Dehidrasi dapat diklasifikasikan berdasarkan defisit air dan atau keseimbangan serum elektrolit.

Setiap kehilangan berat badan yang melampaui 1% dalam sehari merupakan hilangnya air dari tubuh. Kehidupan bayi jarang dapat dipertahankan apabila defisit melampaui 15% (Soegijanto, 2002).

Gejala diare atau mencret adalah tinja yang encer dengan frekuensi empat kali atau lebih dalam sehari, yang kadang disertai: muntah, badan lesu atau lemah, panas, tidak nafsu makan, darah dan lendir dalam kotoran, rasa mual dan muntah-muntah dapat mendahului diare yang disebabkan oleh infeksi virus. Infeksi bisa secara tiba- tiba menyebabkan diare, muntah, tinja berdarah, demam, penurunan nafsu makan atau kelesuan. Selain itu, dapat pula mengalami sakit perut dan kejang perut, serta gejala- gejala lain seperti flu misalnya agak demam, nyeri otot atau kejang, dan sakit

(47)

kepala. Gangguan bakteri dan parasit kadang-kadang menyebabkan tinja mengandung darah atau demam tinggi (Amiruddin, 2007).

Menurut Ngastisyah (2005) gejala diare yang sering ditemukan mula-mula pasien cengeng, gelisah, suhu tubuh meningkat, nafsu makan berkurang, tinja mungkin disertai lendir atau darah, gejala muntah dapat timbul sebelum dan sesudah diare. Bila penderita benyak kehilangan cairan dan elektrolit, gejala dehidrasi mulai nampak, yaitu berat badan menurun, turgor berkurang, mata dan ubun-ubun besar menjadi cekung, selaput lendir bibir dan mulut serta kulit tampak kering.

2.5.2. Pencegahan Penyakit Diare

Pada dasarnya ada tiga tingkatan pencegahan penyakit secara umum yakni:

pencegahan tingkat pertama (Primary Prevention) yang meliputi promosi kesehatan dan pencegahan khusus, pencegahan tingkat kedua (Secondary Prevention) yang meliputi diagnosis dini serta pengobatan yang tepat, dan pencegahan tingkat ketiga (tertiary prevention) yang meliputi pencegahan terhadap cacat dan rehabilitasi (Kemenkes, 2011).

a. Pencegahan Primer

Pencegahan primer penyakit diare dapat ditujukan pada faktor penyebab, lingkungan dan faktor pejamu. Untuk faktor penyebab dilakukan berbagai upaya agar mikroorganisme penyebab diare dihilangkan. Peningkatan air bersih dan sanitasi lingkungan, perbaikan lingkungan biologis dilakukan untuk memodifikasi lingkungan. Untuk meningkatkan daya tahan tubuh dari pejamu maka dapat dilakukan peningkatan status gizi dan pemberian imunisasi (Kemenkes, 2011).

(48)

1. Penyediaan air bersih

Air adalah salah satu kebutuhan pokok hidup manusia, bahkan hampir 70%

tubuh manusia mengandung air. Air dipakai untuk keperluan makan, minum, mandi, dan pemenuhan kebutuhan yang lain, maka untuk keperluan tersebut WHO menetapkan kebutuhan per orang per hari untuk hidup sehat 60 liter. Selain dari peranan air sebagai kebutuhan pokok manusia, juga dapat berperan besar dalam penularan beberapa penyakit menular termasuk diare (Notoadmodjo, 2011).

Sumber air yang sering digunakan oleh masyarakat adalah: air permukaan yang merupakan air sungai dan danau. Air tanah yang tergantung kedalamannya bisa disebut air tanah dangkal atau air tanah dalam. Air angkasa yaitu air yang berasal dari atmosfir seperti hujan dan salju. Air dapat juga menjadi sumber penularan penyakit.

Peran air dalam terjadinya penyakit menular dapat berupa, air sebagai penyebar mikroba patogen, sarang insekta penyebar penyakit, bila jumlah air bersih tidak mencukupi, sehingga orang tidak dapat membersihkan dirinya dengan baik dan air sebagai sarang hospes sementara penyakit (Notoadmodjo, 2011).

Memahami daur/ siklus air di alam semesta ini, maka sumber air dapat diklasifikasikan menjadi; a) air angkasa seperti hujan dan air salju, b) air tanah seperti air sumur, mata air dan artesis, c) air permukaan yang meliputi sungai dan telaga.

Untuk pemenuhan kebutuhan manusia akan air, maka dari sumber air yang ada dapat dibangun bermacam-macam saran penyediaan air bersih yang dapat berupa perpipaan, sumur gali, sumur pompa tangan, perlindungan mata air, penampungan air hujan dan sumur artesis (Sanropie, 1984).

(49)

Untuk mencegah terjadinya diare maka air bersih harus diambil dari sumber yang terlindungi atau tidak terkontaminasi. Sumber air bersih harus jauh dari kandang ternak dan kakus paling sedikit sepuluh meter dari sumber air. Air harus ditampung dalam wadah yang bersih dan pengambilan air dalam wadah dengan menggunakan gayung yang bersih dan untuk minum air harus di masak. Masyarakat yang terjangkau oleh penyediaan air bersih mempunyai resiko menderita diare lebih kecil bila dibandingkan dengan masyarakat yang tidak mendapatkan air bersih (Andrianto, 1995).

2. Tempat pembuangan tinja

Pembuangan tinja merupakan bagian yang penting dari kesehatan lingkungan.

Pembuangan tinja yang tidak tepat dapat berpengaruh langsung terhadap insiden penyakit tertentu yang penularannya melalui tinja antara lain penyakit diare (Haryoto, 1983). Keluarga yang tidak memiliki jamban harus membuat dan keluarga harus membuang air besar di jamban. Jamban harus dijaga dengan mencucinya secara teratur. Jika tak ada jamban, maka anggota keluarga harus membuang air besar jauh dari rumah, jalan dan daerah anak bermain dan paling kurang sepuluh meter dari sumber air bersih (Andrianto, 1995). Untuk mencegah kontaminasi tinja terhadap lingkungan, maka pembuangan kotoran manusia harus dikelola dengan baik. Suatu jamban memenuhi syarat kesehatan apabila memenuhi syarat kesehatan: tidak mengotori permukaan tanah, tidak mengotori air permukaan, tidak dapat di jangkau oleh serangga, tidak menimbulkan bau, mudah digunakan dan dipelihara dan murah.

Tempat pembuangan tinja yang tidak memenuhi syarat sanitasi akan meningkatkan

(50)

risiko terjadinya diare berdarah pada anak balita sebesar dua kali lipat dibandingkan keluarga yang mempunyai kebiasaan membuang tinjanya yang memenuhi syarat sanitasi (Notoatmodjo, 2011).

3. Status gizi

Status gizi didefinisikan sebagai keadaan kesehatan yang berhubungan dengan penggunaan makanan oleh tubuh. Penilaian status gizi dapat dilakukan dengan menggunakan berbagai metode, yang tergantung dan tingkat kekurangan gizi.

Menurut Gibson (1990) metode penilaian tersebut adalah; 1) konsumsi makanan; 2) pemeriksaan laboratorium, 3) pengukuran antropometri dan 4) pemeriksaan klinis.

Metode-metode ini dapat digunakan secara tunggal atau kombinasikan untuk mendapatkan hasil yang lebih efektif. Makin buruk gizi seseorang anak, ternyata makin banyak episode diare yang dialami. Mortalitas bayi di negara yang jarang terdapat malnutrisi protein energi (KEP) umumnya kecil (Canada, 28,4 permil). Pada anak dengan malnutrisi, kelenjar timusnya akan mengecil dan kekebalan sel-sel menjadi terbatas sekali sehingga kemampuan untuk mengadakan kekebalan nonspesifik terhadap kelompok organisme berkurang (Suharyono, 2008).

4. Pemberian air susu ibu (ASI)

ASI adalah makanan yang paling baik untuk bayi komponen zat makanan tersedia dalam bentuk yang ideal dan seimbang untuk dicerna dan diserap secara optimal oleh bayi. ASI saja sudah cukup untuk menjaga pertumbuhan sampai umur 4- 6 bulan. Untuk menyusui dengan aman dan nyaman ibu jangan memberikan cairan tambahan seperti air, air gula atau susu formula terutama pada awal kehidupan anak.

(51)

Memberikan ASI segera setelah bayi lahir, serta berikan ASI sesuai kebutuhan. ASI mempunyai khasiat preventif secara imunologik dengan adanya antibodi dan zat-zat lain yang dikandungnya. ASI turut memberikan perlindungan terhadap diare, pemberian ASI kepada bayi yang baru lahir secara penuh mempunyai daya lindung empat kali lebih besar terhadap diare dari pada pemberian ASI yang disertai dengan susu botol. Pada bayi yang tidak diberi ASI pada enam bulan pertama kehidupannya, risiko mendapatkan diare adalah 30 kali lebih besar dibanding dengan bayi yang tidak diberi ASI (Kemenkes, 2011).

Bayi yang memperoleh ASI mempunyai morbiditas dan mortalitas diare lebih rendah. Bayi dengan air susu buatan (ASB) mempunyai risiko lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang selain mendapat susu tambahan juga mendapatkan ASI dan keduanya mempunyai risiko diare lebih tinggi dibandingkan dengan bayi yang sepenuhnya mendapatkan ASI. Risiko relatif ini tinggi dalam bulan-bulan pertama kehidupan (Suharyono, 2008).

5. Kebiasaan mencuci tangan

Diare merupakan salah satu penyakit yang penularannya berkaitan dengan penerapan perilaku hidup sehat. Sebahagian besar kuman infeksius penyebab diare ditularkan melalui jalur oral. Kuman-kuman tersebut ditularkan dengan perantara air atau bahan yang tercemar tinja yang mengandung mikroorganisme patogen dengan melalui air minum. Pada penularan seperti ini, tangan memegang peranan penting, karena lewat tangan yang tidak bersih makanan atau minuman tercemar kuman penyakit masuk ke tubuh manusia (Kemenkes RI, 2011).

(52)

Pemutusan rantai penularan penyakit seperti ini sangat berhubungan dengan penyediaan fasilitas yang dapat menghalangi pencemaran sumber perantara oleh tinja serta menghalangi masuknya sumber perantara tersebut kedalam tubuh melalui mulut.

Kebiasaan mencuci tangan pakai sabun adalah perilaku amat penting bagi upaya mencegah diare. Kebiasaan mencuci tangan diterapkan setelah buang air besar, setelah menangani tinja anak, sebelum makan atau memberi makan anak dan sebelum menyiapkan makanan. Kejadian diare makanan terutama yang berhubungan langsung dengan makanan anak seperti botol susu, cara menyimpan makanan serta tempat keluarga membuang tinja anak (Howard & Bartram, 2003). Hubungan kebiasaan mencuci tangan dengan kejadian diare dikemukakan oleh Bozkurt et al. (2003) di Turki, orang tua yang tidak mempunyai kebiasaan mencuci tangan sebelum merawat anak, anak mempunyai risiko lebih besar terkena diare.

b. Pencegahan Sekunder

Pencegahan tingkat kedua ini ditujukan kepada si anak yang telah menderita diare atau yang terancam akan menderita yaitu dengan menentukan diagnosa dini dan pengobatan yang cepat dan tepat, serta untuk mencegah terjadinya akibat samping dan komplikasi. Prinsip pengobatan diare adalah mencegah dehidrasi dengan pemberian oralit (rehidrasi) dan mengatasi penyebab diare. Diare dapat disebabkan oleh banyak faktor seperti salah makan, bakteri, parasit, sampai radang. (Kemenkes, 2011).

(53)

Pengobatan yang diberikan harus disesuaikan dengan klinis pasien. Obat diare dibagi menjadi tiga, pertama kemoterapeutika yang memberantas penyebab diare seperti bakteri atau parasit, obstipansia untuk menghilangkan gejala diare dan spasmolitik yang membantu menghilangkan kejang perut yang tidak menyenangkan.

Sebaiknya jangan mengkonsumsi golongan kemoterapeutika tanpa resep dokter.

Dokter akan menentukan obat yang disesuaikan dengan penyebab diarenya misal bakteri, parasit. Pemberian kemoterapeutika memiliki efek samping dan sebaiknya diminum sesuai petunjuk dokter (Kemenkes, 2011).

c. Pencegahan Tertier

Pencegahan tingkat ketiga adalah penderita diare jangan sampai mengalami kecatatan dan kematian akibat dehidrasi. Jadi pada tahap ini penderita diare diusahakan pengembalian fungsi fisik, psikologis semaksimal mungkin. Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinya akibat samping dari penyakit diare. Usaha yang dapat dilakukan yaitu dengan terus mengkonsumsi makanan bergizi dan menjaga keseimbangan cairan. Rehabilitasi juga dilakukan terhadap mental penderita dengan tetap memberikan kesempatan dan ikut memberikan dukungan secara mental kepada anak. Anak yang menderita diare selain diperhatikan kebutuhan fisik juga kebutuhan psikologis harus dipenuhi dan kebutuhan sosial dalam berinteraksi atau bermain dalam pergaulan dengan teman sepermainan (Kemenkes, 2011).

(54)

2.6. Landasan Teori

Program kesehatan baik Puskesmas, rumah sakit atau instansi pelayanan kesehatan lainnya merupakan suatu system yang terdiri dari berbagai komponen yang saling terkait, saling tergantung dan mempengaruhi antara satu dengan lainnya. Mutu program kesehatan di Puskesmas adalahan produk akhir dari interaksi dan ketergantungan yang rumit antara berbagai komponen atau aspek pelayanan. Bustami (2011), mengemukakan bahwa komponen program pelayanan kesehatan dapat terdiri dari masukan (input, disebut juga struktur) proses dan hasil (outcome).

Program kesehatan Puskesmas dan rumah sakit memiliki faktor masukan seperti tenaga lebih fokus kepada keberadaan tenaga bidan, perawat dan dokter yang secara kompetensi lebih tepat dalam pelaksanaan program pelayanan kesehatan, sarana dan prasarana umumnya terkait dengan perlengkapan yang dibutuhkan dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan. Untuk pengadaan perlengkapan peralatan petugas kesehatan dan kebutuhan petugas kesehatan dalam pelayanan kesehatan tentunya dibutuhkan dana sesuai dengan kondisi rumah sakit masing- masing (Bustami, 2011).

Faktor proses dalam pelaksanaan pelayanan kesehatan tentunya mengacu kepada Standar Operasional Prosedur (SOP) asuhan pelayanan kesehatan karena pelayanan kesehatan mempunyai SOP tersendiri, demikian juga SOP untuk pelayanan kesehatan lainnya. Sesuai dengan pelayanan kesehatan tahun 2005, bahwa untuk memudahkan pengukuran, evaluasi serta mempertanggungjawabkan program pelayanan kesehatan yang dilakukan (Bustami, 2011). Depkes (2007) juga mengemukakan bahwa indikator keberhasilan program promosi kesehatan di Puskesmas dapat dilihat dari

Gambar

Gambar 2.1 Kerangka Pikir Penelitian Proses Strategi Program Promosi Kesehatan Diare   Pemberdayaan   Bina Suasana   Advoasi Input   Sosial Budaya Masyarakat   Sarana    Tenaga kesehatan   Media   Metode  Output  -  Kasus diare
Tabel 4.1 Distribusi penduduk Kecamatan Kuala   Kabupaten Bireuen Tahun 2015
Grafik 4.2. Data 10 Penyakit terbanyak di Puskesmas Kuala  Tahun 2015
Tabel 4.3. Karakteristik Informan
+2

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini bertujuan untuk memecahkan masalah terkait dengan tujuan penelitian: (1) sejarah Pura Tampurhyang dijadikan pusat Kawitan Catur Sanak di Desa

Salah satu contoh aplikasi teknologi informasi di bidang Jasa adalah dengan mengimplementasikan suatu sistem yang dapat merekam semua proses pencatatan data baik data

1.03.01 Dinas PU Dana Alokasi Khusus (DAK) Tahun 2014 Pembangunan Sanitasi Lingkungan Berbasis Masyarakat di Taman Bambu Runcing Kecamatan Langsa Kota 1 Keg. Belanja Modal

Syaddah atau tasydid yang dalam sistem tulisan Arab dilambangkan dengan sebuah tanda syaddah, dalam transliterasi ini tanda syaddah tersebut dilambangkan

Suatu perusahaan yang mengetahui hal tersebut, tentu tidak hanya menjual produk itu sendiri, tetapi juga manfaat dari produk tersebut dimana pada akhirnya hal tersebut

Kaedah Ielaran merupakan antara kaedah penyelesaian yang telah banyak digunakan bagi menyelesaikan sistem tak linear di mana kaedah lelaran yang paling banyak digunakan dalam sistem

Berdasarkan evaluasi yang telah dilakukan, diketahui bahwa faktor-faktor penyebab tidak sesuainya penyelenggaraan partisipasi masyarakat dalam revisi Perda no 2 tahun 2004 tentang