• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah"

Copied!
15
0
0

Teks penuh

(1)

1 BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Para pengusaha ataupun suatu badan hukum dalam mendirikan serta mengembangkan usahanya pasti membutuhkan dana. Dalam melakukan usahanya dana merupakan “oksigen” bagi suatu perusahaan. Sama halnya dengan manusia yang tidak akan bisa hidup tanpa oksigen, perusahaan juga akan mati tanpa dana. Dana bagi perusahaan diperoleh dari berbagai sumber, baik dari modal (equity) dan utang (loan) (Sutan Remy Sjahdeini, 2010:295). Suatu perusahaan akan berkembang dengan pesat apabila mendapat dana (Nuruzzhahrah Diza1 dan Imas Rosidawati, 2018:1).

Karena itu, banyak perusahaan yang meminjam dana kepada pihak lain untuk mengembangkan perusahaannya. Pihak yang memberikan pinjaman uang tersebut disebut kreditur atau si berpiutang, sedangkan pihak yang menerima pinjaman disebut debitur atau si berutang. Debitur yang meminjam kepada kreditur mempunyai kewajiban untuk mengembalikan pinjaman tersebut sesuai perjanjian yang telah dibuat. Hal ini juga berkaitan erat dengan asas kepercayaan dari kreditur, agar debitur dapat mengembalikan pinjamannya sesuai jangka waktu yang telah ditentukan (Claudia Anjani Zain dan Teddy Anggoro, 2014:2).

Dalam praktek, hubungan hukum berupa utang piutang antara kreditor dan debitor tidak selamanya berjalan lancar. Sebab tidak jarang debitor tidak mampu ataupun lalai dalam pembayaran utangnya kepada kreditor (Lenny Nadriana dan Sonny Dewi Judiasih,2017:102). Kondisi ini tentu berdampak terhadap kerugian yang diderita oleh kreditor. Dalam perkembangannya, sebuah perusahaan atau badan hukum biasanya harus memberikan suatu garansi atau jaminan kepada pihak pihak kreditur dalam pelunasan utangnya. Pada dasarnya jaminan dibedakan menjadi jaminan umum dan jaminan khusus.

(2)

Jaminan umum merupakan jaminan yang seketika lahir ketika diadakannya perjanjian kredit dimana jaminan tersebut berasal dari pihak debitor yang muncul karena aturan hukum dan merupakan suatu kewajiban hukum bagi debitor (Munir Fuady,2013:8). Dengan dilakukannya pinjaman yang dilakukan oleh debitor secara otomatis kreditor mendapatkan jaminan umum baik atas harta benda bergerak maupun tidak bergerak, baik benda yang sudah ada maupun yang masih akan ada (Sri Soedewi Masjchoen, 2011:44-45). Jaminan secara umum diatur dalam Pasal 1131 Kitab Undang- undang Hukum Perdata (KUH Perdata) yang juga dikenal dengan sebutan Bugerlijk Wetboek (BW), yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan.

Namun jaminan secara umum ini masih dirasakan kurang memadai oleh kreditur, karena jika debitor wanprestasi, kreditor hanya dapat minta pengadilan untuk menyita dan melelang seluruh harta debitor jika tidak ada hak-hak lain yang bersifat preferensial dari harta-harta debitor tersebut (Munir Fuady,2013:8). Karena harta benda tersebut tidak ditunjuk secara khusus dan diperuntukkan bagi kreditor. Kedudukan kreditor satu dengan yang lain adalah sama, dengan demikian kreditor disebut sebagai kreditor konkuren. Apabila ada kreditor preferen (pemegang hak tanggungan, fidusia, gadai, dan privilege) pemenuhan piutang kreditor konkuren tersebut dapat dikalahkan oleh kreditor preferen. Sehingga karena tiadanya kekhususan bagi kreditor, kreditor membutuhkan jaminan khusus.

Jaminan khusus adalah jaminan yang lahir setelah diadakannya perjanjian jaminan perorangan yang dilakukan oleh kreditor dan debitor (Riky Rustam, 2017:52).Jaminan khusus ini digolongkan lagi menjadi dua yakni jaminan kebendaan (jaminan materiil) dan jaminan perorangan atau borgtocht/personal guarantee (jaminan imateriil) (J. Satrio,2003:1).

Jaminan kebendaan adalah jaminan yang memberikan hak kepada kreditor atas suatu benda tertentu milik debitor, untuk mendapatkan pelunasan

(3)

piutangnya dengan cara mengalihkan (menjual atau melelang) benda tersebut jika debitor melakukan wanprestasi (Riky Rustam, 2017:74).

Kreditor pemegang hak jaminan kebendaan memiliki hak-hak untuk didahulukan dalam pemenuhan piutangnya dibandingkan dengan kreditur lain atas hasil penjualan suatu benda tertentu yang secara khusus diperikatkan (J. Satrio, 2002:17). Kreditor yang memegang jaminan kebendaan juga memiliki kekuatan eksekutorial dimana kreditor memiliki kewenangan untuk langsung melakukan eksekusi manakala piutang sudah dapat ditagih dan debitor wanprestasi.

Sedangkan jaminan perorangan pada dasarnya adalah jaminan perorangan hutang yang diatur dalam Pasal 1820-1850 KUH Perdata.

Hukum Jaminan mengatur mengenai jaminan perorangan yang timbul hubungan hukum antara kreditur dengan pihak ketiga yakni sebagai penjamin bagi debitur. Pihak ketiga bertindak sebagai penjamin dalam pemenuhan kewajiban debitur, berarti perjanjian jaminan perorangan merupakan janji untuk memenuhi kewajiban debitur, apabila debitur ingkar janji (Niken Prasetyawati dan Tony Hanoraga, 2015:129). Dengan kata lain, jaminan perorangan adalah suatu perjanjian antara seorang berpiutang (kreditur) dengan seorang pihak ketiga, yang menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban debitur (Hermansyah, 2014:74).

Jaminan perorangan (borgtocht/ personal guarantee) sendiri biasa dikaitkan dengan jaminan perusahaan dan bank garansi. Pada dasarnya ketiga bentuk jaminan tersebut adalah sama, hanya saja pihak yang memberikan jaminannya yang berbeda. Pada jaminan perorangan (borgtocht/personal guarantee) pihak jaminan perorangan adalah orang- perorangan sedangkan dalam jaminan perusahaan (corporate guarantee) adalah suatu badan hukum. Dilain sisi garansi bank merupakan jaminan yang diberikan oleh lembaga keuangan bank atau lembaga keuangan nonbank (Munir Fuady, 2013:11).

Saat mengikatkan diri menjadi panjamin, penjamin memiliki hak istimewa yang melekat pada dirinya yang tercantum pada Pasal 1831 KUH

(4)

Perdata “Si penaggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain jika si berutang lalai, sedangkan bendabenda si berutang ini harus lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya”. Penjamin dapat meminta agar harta benda debitor disita dan dijual terlebih dahulu pada saat pertama kali dituntut dimuka pengadilan dan juga menunjukkan harta benda tersebut kepada kreditor serta membayarkan dahulu biaya yang diperlukan untuk melakukan penyitaan dan pelelangan tersebut sesuai dengan ketentuan Pasal 1833 dan 1844 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

Setelahnya penjamin memiliki hak untuk menuntut kembali kepada debitor atas biaya yang dikeluarkannya yang tercantum pada Pasal 1839 KUH Perdata. Maka meskipun penjamin telah mengikatkan dirinya, ia memiliki hak untuk meminta kepada kreditor supaya harta benda debitor lebih dulu disita dan dijual kemudian apabila tidak mencukupi untuk membayar utangnya barulah penjamin membayarkan sisa utang debitor kepada kreditor.

Tetapi kenyataannya dalam dunia perkreditan, kreditor yang berkedudukan lebih kuat secara ekonomis akan meminta penjamin untuk melepaskan hak istimewanya, dalam perjanjian penjamin perorangan pada salah satu klausul perjanjiannya menyatakan untuk melepaskan hak istimewanya (Claudia Anjani Zain dan Teddy Anggoro, 2014:2). Hal ini terjadi jika ingin pinjaman yang dilakukan oleh debitor segera dicairkan.

Biasanya penjamin merupakan seseorang yang juga memiliki kepentingan atas dilakukan pinjaman kredit oleh debitor maka ia juga akan tunduk dengan syarat yang diberikan oleh kreditor. Alasan lain kesediaan menjadi penjamin dapat karena adanya hubungan keluarga atau perkawinan dengan debitor (Zachrowi Soejoeti dan Masyhud Asyhari, 1993:15).

Dengan dilepasnya hak istimewa tersebut bila dikemudian hari debitur tidak membayarkan utangnya atau wanprestasi kreditor dapat langsung menagih kepada penjamin sehingga tidak perlu berurusan lagi dengan debitur secara pribadi (Adrian Sutedi,2009:151). Ketentuan ini tercantum pada Pasal 1832 (1) KUH Perdata padahal hak istimewa

(5)

merupakan bentuk perlindungan dari undang-undang kepada penjamin.

Penjamin perorangan yang melepaskan hak istimewanya telah menyatakan diri bertanggung jawab renteng dengan debitur, jika debitur maupun penjamin tidak mampu memenuhi kewajibanya, maka kreditur dapat memohonkan pailit dan menuntut pertanggungjawaban secara tanggung renteng (Yudha Pradana, 2016:3). Selain itu, kedudukan penjamin berubah menjadi debitur disaat debitur utama melakukan wanprestasi. Hal tersebut didasarkan oleh pengertian debitur dan utang dalam Undang-Undang No.

37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.

Sistem Hukum Kepailitan di Indonesia menganut prinsip debt collective yaitu sita umum atas harta debitur sebagai jaminan pelunasan atas utang-utangnya melalui lembaga kepailitan. Prinsip debt collective menekankan bahwa utang debitur harus dibayar dengan harta yang dimiliki oleh debitur sesegera mungkin. Tujuan utama dari perlindungan kepailitan adalah untuk mengalihkan risiko yang terkait dengan pengaturan utang di antara pihak yang berkepentingan (Barry E. Adler,1991:57). Hukum Kepailitan mencapai tujuan ini dengan menyediakan distribusi aset yang merata di antara kreditor dari individu atau entitas yang bangkrut (Stephen C. Behymer, 2013:41). Berdasarkan prinsip ini, kepailitan berfungsi sebagai sarana pemaksa untuk merealisasikan hak-hak kreditor melalui proses likuidasi terhadap harta kekayaan debitur. Hukum Kepailitan di Indonesia tidak mengenal prinsip debt forgiveness, yang implementasinya antara lain berupa diberikannya penghapusan utang debitur untuk membayar utang- utangnya yang benar-benar tidak dapat dipenuhinya.

Menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UU Kepailitan), setelah berakhirnya kepailitan, maka debitur tidak lagi berada dalam keadaan pailit, karena berakhirnya kepailitan telah mencabut status pailit debitur, sehingga debitur dianggap cakap untuk mengurus kembali harta bendanya, akan tetapi pengakhiran kepailitan tidak serta merta membebaskan debitur dari

(6)

sisa utang. Kreditor berhak untuk menagih dan debitur wajib untuk melunasinya. Setelah pengakhiran kepailitan, debitur atau ahli warisnya dapat mengajukan permohonan rehabilitasi, akan tetapi rehabilitasi akan dikabulkan jika semua kreditornya menyatakan sudah memperoleh pembayaran secara memuaskan, artinya kreditor yang diakui tidak akan mengajukan tagihan lagi terhadap debitur sekalipun mereka mungkin tidak menerima pembayaran atas seluruh tagihannya. Permohonan rehabilitasi hanya dapat diberikan jika debitur telah menyelesaikan seluruh skema kepailitan dan kreditor merasa puas dengan pembayaran yang ada (Sonyendah Retnaningsih and Isis Ikhwansyah,2017:1).

Secara normatif, perjanjian penjaminan atau penanggungan ini juga berimplikasi hukum terhadap ahli waris dari penjamin atau penanggung saat ia meninggal dunia. Hal ini diatur dalam ketentuan Pasal 1826 KUH Perdata, yang selengkapnya berbunyi “Perikatan-perikatan penanggung beralih kepada para ahli warisnya”. Ketentuan Pasal 1826 KUH Perdata secara jelas dan tegas menentukan bahwa semua perikatan yang dibuat oleh seorang penjamin atau penanggung atas utang dari debitur secara hukum beralih kepada ahli warisnya saat si penjamin atau penanggung utang tersebut meninggal dunia. Pewaris tidak selamanya meninggalkan harta warisan yang bermanfaat bagi ahli waris, tetapi juga bisa berbentuk utang sebagai akibat dari perjanjian-perjanjian yang dilakukan oleh pewaris selama hidupnya. Salah satu perjanjian yang berimplikasi hukum terhadap ahli waris adalah perjanjian penjaminan atau penanggungan atas utang debitur yang dibuat oleh pewaris.

Jika sebelum pewaris meninggal dunia, ia telah menyelesaikan kewajibannya sebagai penjamin atau penanggung karena debitur mampu melunasi kredit atau utangnya kepada kreditor tentu tidak menimbulkan masalah. Tetapi jika pada saat pewaris meninggal dunia, ia belum menyelesaikan kewajiban sebagai penjamin atau penanggung atas utang debitur yang ternyata tidak mampu melunasi utang, misalnya disebabkan debitur itu pailit, maka tidak terhindarkan secara hukum ahli waris dari si

(7)

pewaris tersebutlah yang harus menanggung utang dari debitur yang jatuh pailit itu.

Jika hal ini terjadi dalam kenyataan, tentu sangatlah memberatkan bagi ahli waris, apalagi jika para ahli waris tidak mengetahui tentang adanya perjanjian penjaminan atau penanggungan utang debitur yang dibuat oleh pewaris semasa hidupnya. Adanya ketentuan tentang sita umum dalam kasus kepailitan tentu sangat memberatkan bagi ahli waris. Tentu saja hal ini menimbulkan pergulatan antara hak dan kewajiban bagi ahli waris, antara bersedia memenuhi implikasi hukum atas perjanjian penjaminan atau penanggungan utang tersebut, atau menolak untuk memenuhinya.

Pada praktiknya pengaturan hukum kepailitan menerapkan ketentuan hukum Bugerlijk Wetboek (BW) terhadap kewajiban ahli waris untuk menanggung segala utang penjamin pada perusahaan yang pailit.

Salah satu kasus mengenai kewajiban ahli waris dari pewaris pemegang jaminan perorangan yakni dalam kasus kepailitan Putusan Pengadilan Niaga Makasar Nomor: 02/Pdt.Sus.Pailit/2014/PN Niaga Mks (judex facti) juncto Putusan Nomor 19 K/Pdt.Sus-Pailit/2015 (judex juris) Juncto Putusan Mahkamah Agung Nomor 125 Pk/Pdt.Sus-Pailit/2015.

Berdasarkan putusan majelis hakim menjatuhkan pailit terhadap ahli waris dari penjamin yang telah meninggal dunia. Ahli waris bertanggung jawab terhadap segala harta yang dimiliki oleh ahli waris baik harta pribadi maupun harta yang diterima dari boedel waris menjadi sitaan umum oleh kurator (Lenny Nadriana dan Eman Suparman,2017:396). Melihat praktik putusan pengadilan tersebut membawa konsekuensi hukum terhadap kewajiban ahli waris menanggung segala utang pewaris penjamin di dalam kepailitan.Berdasarkan fenomena di atas , maka penulis tertarik untuk mengangkat dan mengkaji lebih dalam penulisan hukum (skripsi) dengan judul : KEDUDUKAN DAN TANGGUNG JAWAB PENJAMIN PERORANGAN SERTA AHLI WARISNYA DALAM PERKARA KEPAILITAN

(8)

B. RUMUSAN MASALAH

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, perumusan masalah yang akan penulis kaji dalam penelitian hukum ini adalah:

1. Bagaimana Kedudukan Serta Tanggung Jawab Penjamin Perorangan Dalam Perkara Kepailitan?

2. Bagaimana Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Perjanjian Penjamin Perorangan Yang Dibuat Pewaris Dalam Perkara Kepailitan

C. Tujuan penelitian

Dalam penelitian terdapat dua tujuan yang hendak dicapai oleh penulis, yaiutu:

1. Tujuan Objektif

Tujuan objektif merupakan tujuan penulisan dilihat dari tujuan umum yang berasal dari penelitian itu sendiri, yaitu sebagai berikut:

a. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai Kedudukan Serta Tanggung Jawab Penjamin Perorangan Dalam Perkara Kepailitan

b. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai Tanggung Jawab Ahli Waris Terhadap Perjanjian Penjamin Perorangan Yang Dibuat Pewaris Dalam Perkara Kepailitan

2. Tujuan Subjektif

a. Untuk memenuhi syarat akademis guna memperoleh gelar sarjana hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret

b. Untuk menerapkan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri serta dapat memberikan kontribusi

(9)

positif bagi perkembangan ilmu pengetahuan di bidang hukum.

c. Untuk memperluas pengetahuan, pengalaman, dan pemahaman aspek hukum di dalam teori maupun praktik penulisan, khususnya dalam bidang Hukum Perdata

D. Manfaat Penelitian

Sebuah penelitian dapat memberikan manfaat bagi pengetahuan terutama ilmu hukum baik secara teoritis maupun praktis. Adapun manfaat yang diharapkan penulis dari hasil penelitian ini adalah:

1) Manfaat Teoretis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat dalam pengembangan ilmu pengetahuan di bidang ilmu.

hukum pada umumnya dan hukum perdata pada khususnya.

b. Hasil karya ini diharapkan dapat memperkaya referensi dan literatur sebagai acuan untuk melakukan penelitian sjenis di kemudian hari.

2) Manfaat Praktis

a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas permasalahan yang diteliti oleh peneliti secara benar dan dapat mengembangkan penalaran untuk mengetahui kemampuan penulis dalam menerapkan ilmu hukum yang diperoleh.

b. Hasil penelitian ini dihaapkan dapat menambah masukan dan pengetahuan bagi masyarakat pada umumnya dan berbagai pihak terkait mengenai masalah yang diteiti serta berguna bagi para pihak yang berminat pada permasalahan yang sama.

(10)

E. Metode Penelitian

Penelitian hukum adalah sarana dalam mengembangkan ilmu pengetahuan dan tekhnologi. Penelitian hukum merupakan penelitian yang diserasikan dengan disiplin ilmu hukum yaitu suatu sistem ajaran tentang hukum sebagai norma dan kenyataan (Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,2007: 23). Sementara itu menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian hukum merupakan kegiatan untuk memecahkan isu hukum yang timbul sehingga dibutuhkan kemampuan untuk mengidentifikasikan masalah hukum, melakukan penalaran hukum yang dihadapi, dan kemudian memberikan pemecahan atas permasalahan tersebut (Peter Mahmud Marzuki, 2014: 60).

Penelitian hukum memerlukan metode penelitian yang dapat menunjang hasil penelitian untuk mencapai tujuan dari penelitian hukum itu sendiri. Metode penelitian yang digunakan penulis adalah sebagai berikut:

a. Jenis Penelitian

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif atau biasa disebut dengan penelitian hukum doctrinal, yaitu penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan pustaka atau data sekunder yang teerdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier. Menurut Peter Mahmud Marzuki, semua penelitian yang berkaitan dengan (legal research) adalah selalu normatif. Jika tipe penulisan ini harus dinyatakan dalam bentuk tulisan cukup dikemukakan bahwa penelitian ini adalah penelitian hukum. Dengan adanya pernyataan demikian maka sudah jelas bahwa penelitian tersebut bersifat normatif. Hanya saja pendekatan dan bahan-bahan hukum yang digunakan harus dikemukakan (Peter Mahmud Marzuki,2014:55-56).

Dalam penelitian ini penulis menggunakan penelitian hukum normatif karena menurut Peter Mahmud Marzuki penelitian itu berfungsi untuk menemukan benaran kohesi, yaitu adakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa

(11)

perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan telah sesuai dengan norma hukum atau prinsip hukum yang ada (Peter Mahmud Marzuki,2014: 47).

Maka dari itu penulis dalam penelitian ini mencari kesesuaian antara sesuatu yang hendak diteliti dengan nilai atau ketetapan aturan atau prinsip yang hendak dijadikan refrensi, dan bukan bertujuan untuk mencari fakta empiris. Maka metode penelitian yang penulis gunakan adalah penelitian hukum normatif.

b. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian yang bersifat preskriptif. Sebagaimana telah kita ketahui bahwa ilmu hukum bukan termasuk dalam ilmu deskriptif melainkan ilmu bersifat preskriptif (Peter Mahmud Marzuki 2014:59). Ilmu hukum mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, dan norma norma hukum.

Penelitian hukum yang bersifat preskriptif bertujuan memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogyanya dilakukan.

c. Pendekatan Penelitian

Didalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan.

Dengan pendekatan tersebut peneliti akan mendapatkan informasi dari berbagai aspek mengenai isu hukum yang sedang dicoba untuk dicari jawabannya. Pendekatan-pendekatan yang digunakan dalam penelitian hukum adalah pendekatan perundang undangan (statue approach), pendekatan kasus (case approach), pendekatan historis (historis approach), dan pendekatan konsep (conseptual approach) (Peter Mahmud Marzuki,2014:133).

Dalam penelitian hukum ini, penulis menggunakan dua macam pendekatan, yaitu pendekatan perundang undangan (statue approach) yang tidak lepas dari penelitian hukum yaitu dengan mencari peraturan perundang undangan yang terkait. Karena dalam penelitian hukum ini, penulis akan memecahkan permasalahan

(12)

hukum berdasarkan dengan praturan perundang undangan yang berlaku. kemudian pendekatan kasus (case approach) yaitu sebagai suatu pendekatan dengan memusatkan perhatian pada suatu permasalahan secara intensif dan rinci yang dalam hal ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap kasus-kasus yang berkaitan dengan isu yang telah terjadi.

d. Jenis dan Sumber Bahan Hukum

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder. Data sekunder adalah data yang diperoleh dari bahan pustaka berupa keterangan-keterangan yang secara langsung diperoleh melalui studi kepustakaan, peraturan perundan undangan yang terkait dan bahan sekunder yang berasal dari berbagai macam literatur baik dari buku, hasil penelitian, hasil pengkajian, maupun artikel dalam jurnal untuk mencari berbagai macam teori yang berkaitan dengan substansi penelitan.

Sumber sumber penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang terdiri dari perundang undangan. Adapun bahan hukum sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang merupakan dokumen-dokumen resmi.

Publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks, kamus-kamus hukum dan jurnal hukum (Peter Mahmud Marzuki,2014:181).

Dalam penelitian hukum ini bahan hukum yang penulis gunakan adalah sebagai berikut:

a) Bahan Hukum Primer:

1) Kitab undang-undang hukum perdata

2) Undang-undang No. 37 tahun 2004 tentang kepailitan b) Bahan Hukum sekunder

Bahan hukum sekunder berupa semua publikasi yang bukan merupakan dokumen resmi, publikasi tentang hukum meliputi buku-buku, teks, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum dan

(13)

komentar-komentar atas putusan pengadilan (Peter Mahmud Marzuki,2014: 181).

c) Bahan Non Hukum

Peneliti menggunakan bahan-bahan non-hukum yang dipandang perlu dan sepanjang mempunyai relevasi dengan topic penelitian, karena bahan non-hukum merupakan pelengkap dan bukan yang utama. Bahan non-hukum dapat berupa skripsi, tesis dan makalah hasil daripada penelitian non-hukum, serta artike-artikel relevan yang termuat dalam internet (Peter Mahmud Marzuki,2014:184).

e. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum

Dalam suatu penelitian hukum, tekhnik pengumpulan bahan hukum dimaksudkan untuk memperoleh bahan-bahan hukum yang digunakan dalam penelitian hukum. Mengingat pendekatan yang digunakan adalah pendekatn undang undang (state approach) dan pendekatan kasus (case approach), maka tekhnik yang digunakan adalah menggunakan teknik studi pustaka (library research) dan teknik pengumpulan bahan hukum, hal ini diperlukan untuk menemukan landasan teori dan dasar hukum yang berkaitan dengan penelitian untuk melakukan kajian lebih lanjut, kemudian setelah isu hukum didapat peneliti menelusur untuk mencari bahan-bahan hukum yang relevan dengan isu yang dihadapi dalam penelitian hukum ini.

f. Teknik Anslisis Bahan Hukum

Teknik analisis bahan hukum yang penulis gunakan dalam penelitian hukum ini dengan menggunakn metode deduksi.

Sebagaimana silogisme yang diajarkan aristotales, penggunaan metode deduksi ini berpangkal dari pengajuan premis mayor.

Kemudian diajukan premis minor, dari kedua premis tersebut maka akan ditarik suatu kesimpulan atau conclusion (Peter Mahmud Marzuki, 2014 :89).

(14)

Dalam menerapkan metode deduksi ke dalam penelitian hukum. Selanjutnya Philipus M Hadjon dalam pemaparannnya mengemukakan bahwa didalam logika silogistik untuk metode deduksi yang merupakan premis mayor adalah aturan hukum. Dari kedua hal tersebut kemudian ditarik suatu konklusi (Peter Mahmud Marzuki ,2014:90).

F. Sistematika Penulisan Hukum

Sistematia penulisan hukum ini bertujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis dan menyeluruh mengenai bahasan yang dikaji oleh penulis. Selain itu sistematika ini untuk mempermudah dalam melakukan pembahasan, menganalisa, serta penjabaran isi dari penelitian yang dimaksud. Adapun sistematika penulisan hukum yang akan digunakan adalah sebagai berikut:

BAB I PENDAHULUAN

Pada bab ini terdiri dari latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan hukum.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

Bab ini menguraikan tentang kerangka teori atau penjelasan secara teoritik yang bersumber dari bahan hukum yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti oleh penuls. Bab ini juga berisi uraian mengenai kerangka pemikiran tekait penelitian penulis.

BAB III HASIL PENELITIAN DAN

PEMBAHASAN

(15)

Bab hasil penelitian adalah bab inti dalam penulisan hukum ini. Bab Ini akan memaparkan hasil penelitian yang kemudian dengan analisis, menghasilkan pembahasan atas sebelumnya. Bab ini akan menjawab permasalahan yang diangkat . dalam penulisan hukum ini yang akan dijawab adalah Kedudukan dan Tanggung Jawab Penjamin Perorangan Serta Ahli Warisnya Dalam Perkara Kepailitan

BAB IV PENUTUP

Dalam bab akhir penelitian ini, peneliti membuat simpulan dan memberikan saran- saran terkait dengan permasalahan yang diteliti sehingga diharapkan hasil dari penelitian ini dapat memberikan masukan terhadap permasalahan yang diteliti di dalam penulisan hukum (skripsi).

DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN

Referensi

Dokumen terkait

Kesepakatan bersama yang dibuat antara PT Pelindo II Cabang Cirebon dengan perusahaan Bongkar Muat batu Bara atau pelaku usaha lainnya akan penulis dalami dari

organik pada air limbah pencucian kendaraan bermotor akan diserap oleh permukaan karbon aktif sehingga jumlah bahan organik dalam air limbah

Orang Kelantan, walau pun yang berkelulusan PhD dari universiti di Eropah (dengan biasiswa Kerajaan Persekutuan) dan menjawat jawatan tinggi di Kementerian atau di Institusi

4< ◆ ◆ Kagcbkbtj ugtuh Kagcbkbtj ugtuh kagcjlagtjejhbsj lbg kagcjlagtjejhbsj lbg karukushbg kbsbibo karukushbg kbsbibo tagtbgc fdyah 0 ljkagsj tagtbgc fdyah 0 ljkagsj ◆

Adapun konsep diri dari aspek fisik yang dirasakan oleh responden 2 sesuai dengan hasil wawancara adalah :Bahwa Septi merasa kalau ia berjilbab mode, ia akan terlihat

Untuk mengevaluasi kinerja dosen dalam pembelajaran pada setiap mata kuliah, maka dilakukan penyebaran kuesioner yang harus diisi mahasiswa serta pemberian kritik dan saran

Puji syukur kepada Tuhan Yesus Kristus atas segalaa anugerah-Nya sehinga penulis akhirnya dapat menyelesaikan skripsi dengan judul PEMBERDAYAAN KARYAWAN DAN

kesesuaian tindakan aktor yang terlibat. • Yang menunjukkan bahwa lebih berpengaruh dibandingkan variabel lainnya, yang mana menunjukkan besarnya kekuatan masyarakat dalam