5
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Chronic Kidney Disease (CKD) 2.1.1 Definisi Chronic Kidney Disease (CKD)
Chronic Kidney Disease (CKD) adalah suatu proses patofisiologis dengan etiologi yang beragam, mengakibatkan penurunan fungsi ginjal yang irreversibel dan progresif dimana kemampuan tubuh gagal untuk mempertahankan metabolisme dan keseimbangan cairan dan elektrolit sehingga menyebabkan uremia (Hawk, 2018).
Gagal ginjal kronik atau bisa disebut Chronic Kidney Disease (CKD) merupakan abnormalitas fungsi dan struktur ginjal, dimana laju filtrasi glomerulus kurang dari 60 mL/min/1,73 m² dan terjadi kerusakan ginjal yang berlangsung lebih dari 3 bulan. Kerusakan ginjal ini ditandai dengan albuminuria dimana laju ekskresi albumin ≥30 mg/24 jam atau rasio albumin kreatinin urin ≥30 mg/mmol, sedimen urin abnormal, gangguan elektrolit dan juga kelainan lainnya. CKD terjadi secara irreversible, yang berkembang secara perlahan dan progresif (Kdigo, 2013).
2.1.2 Epidemiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
Di Amerika Serikat, National Institute of Diabetes and Digestive and Kidney Diseases (NIDDK) melaporkan bahwa satu dari 10 orang dewasa Amerika memiliki beberapa tingkat penyakit ginjal kronis (CKD). Prevalensi CKD di AS meningkat drastis dengan usia (29-39 tahun sebanyak 4%; usia> 70 tahun 47%), dan perkembangan paling cepat pada usia 60 tahun atau lebih tua. Dalam (NHANES), prevalensi CKD stage 3 pada kelompok usia meningkat dari 18,8% pada tahun 1988 ̶ 1994 menjadi 24,5% selama tahun 2003 - 2006. Selama periode yang sama, prevalensi CKD pada orang berusia 20-39 tahun tetap konsisten di bawah 0,5% (Lerma, 2015).
6 Sedangkan jumlah penderita gagal ginjal di indonesia saat ini terbilang tinggi, mencapai 300.000 orang tetapi belum semua pasien dapat ditangani, artinya terdapat 80% pasien tak tersentuh pengobatan sama sekali (Susilat, 2012). Berdasarkan dari data survei yang dilakukan oleh pernefri (Perhimpunan Nefrologi Indonesia) pada tahun 2009, prevalensi gagal ginjal kronik di Indonesia sekitar 12,5%, yang bearti terdapat 18 juta orang dewasa di indonesia menderita penyakit ginjal kronik (Siallagan, 2012).
2.1.3 Manifestasi Klinik Chronic Kidney Disease (CKD)
Menurut (Smeltzer dan Bare, 2015). manifestasi gagal ginjal kronik terbagi menjadi berbagai sistem yaitu:
1. Kardiovaskular, Hipertensi, friction rub perikardial, pembesaran vena leher 2. Integrumen, Edema periorbotal, pitting edema (kaki, tangan, sacrum).Warna
kulit abu-abu mengkilat, kulit kering bersisik, pruritus, ekimosis, kuku tipis dan rapuh, rambut tipis dan kasar.
3. Pulmoner, Crackels, sputum kental dan kiat, nafas dangkal 4. Gastrointestinal, Nafas berbau amonia, ulserasi dan perdarahan
5. Neuro, Kelemahan dan keletihan, konfusi disorientasi, kejang, kelemahan pada tungkai
6. Musculoskeletal, Kram otot dan kekuatan otot hilang, fraktur tulang, edema pada ekstremitas
7. Reproduksi, Amenore
8. Perkemihan, Oliguri, anuria, dan proteinuria
2.1.4 Klasifikasi Chronic Kidney Disease (CKD)
Gagal ginjal kronik diklasifikasikan berdasarkan nilai GFR (Glomeruli Fitrate Rate). Berikut tabel klasifikasi gagal ginjal kronik:
Derajat Deskripsi GFR (Ml/min/1,73m2 )
7
1 Kerusakan jaringan normal ≥90
2 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR ringan 60-89 3 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR sedang 30-59 4 Kerusakan ginjal ringan dengan GFR berat 15-29
5 Gagal ginjal >15 (menjalani dialisis)
Sumber : (Foundation National Kidney, 2016) 2.1.5 Etiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
Gagal ginjal kronik terjadi setelah berbagai macam penyakit yang merusak nefron ginjal. Sebagian besar merupakan penyakit parenkim ginjal difus dan bilateral.
1. Infeksi, misalnya Pielonefritis kronik.
2. Penyakit peradangan, misalnya Glomerulonefritis.
3. Penyakit vaskuler hipertensif, misalnya Nefrosklerosis benigna, nefrosklerosis maligna, stenosis arteri renalis.
4. Gangguan jaringan penyambung, seperti lupus eritematosus sistemik (SLE), poli arteritis nodosa, sklerosis sistemik progresif.
5. Gangguan kongenital dan herediter, misalnya Penyakit ginjal polikistik, asidosis tubuler ginjal.
6. Penyakit metabolik, seperti DM, gout, hiperparatiroidisme, amiloidosis.
7. Nefropati toksik, misalnya Penyalahgunaan analgetik, nefropati timbale.
8. Nefropati obstruktif
1) Saluran Kemih bagian atas: Kalkuli neoplasma, fibrosis, netroperitoneal.
2) Saluran Kemih bagian bawah: Hipertrofi prostate, striktur uretra, anomali congenital pada leher kandung kemih dan uretra
2.1.6 Patofisiologi Chronic Kidney Disease (CKD)
8 Pada ginjal yang normal terdapat sekitar 1 juta nefron, yang masing masing memberikan kontribusi terhadap total laju filtrasi glomerulus. Dalam kerusakan ginjal (terlepas dari etiologi), ginjal memiliki kemampuan bawaan untuk mempertahankan laju filtrasi glomerulus, meskipun terjadi kerusakan progresif nefron, dengan cara hiperfiltrasi dan hipertrofi kompensasi dari nefronnefron yang masih sehat.
Kemampuan adaptasi ini terus berlangsung sampai ginjal mengalami kelelahan dan akan tampak peningkatan kadar ureum dan kreatinin dalam plasma. Peningkatan kadar kreatinin plasma dari nilai dasar 0,6 mg/dl menjadi 1,2 mg/dl, meskipun masih dalam rentang normal, sebetulnya hal ini merepresentasikan adanya penurunan fungsi ginjal sebesar 50%. Hiperfiltrasi dan hipertrofi dari nefron yang tersisa, meskipun tampak sebagai hal yang menguntungkan, namun ternyata diduga sebagai penyebab utama progresifitas disfungsi ginjal, karena pada keadaan ini terjadi peningkatan tekanan pada kapiler glomerulus sehingga menyebabkan kerusakan kapiler-kapiler dan menuju ke keadaan glomerulosklerosis fokal dan segmental hingga glomerulosklerosis global factor (Aurora, 2016).
Faktor-faktor selain proses penyakit yang mendasarinya dan hipertensi glomerulus yang dapat mengakibatkan kerusakan pada ginjal progresif meliputi antaralain; hipertensi sistemik, Nefrotoksin (misalnya, obat anti-inflammatory drugs [NSAID]), Penurunan perfusi (misalnya, dari dehidrasi berat atau episode shock), Proteinuria (selain menjadi penanda CKD), hiperlipidemia, hyperphosphatemia dengan deposisi kalsium fosfat, merokok, dan diabetes yang tidak terkontrol (Aurora, 2016).
9 2.1.7 WOC
(Amin, 2015a) Zat toksik Reaksi antigen
antibodi
Vaskular
arteriosklerosis Penyakit sistemik
Obat obatan Hipertensi
DM
Injeksi
Tertimbun ginjal
Suplai darah ginjal turun
GFR turun
CKD
Sekresi protein terganggu
Sekresi eritropoetin turun Retensi Na+
Total CES naik
Tekanan kapiler naikss Uremia
Gangguan keseimbanga n asam basa
perpospatem ia
Pruritus
Produksi RBC rendah
Anemia
Kelemahan
Kerusakan integritas kulit menurun
Kelebiha n volume cairan
Intoleransi aktivitas Preload naik
Beban jantung
naik
Hipertrovi ventrikel kiri Payah jantung kiri Produksi
asam lambung naik
Nausea, vomitting
Gastritis
Mual, muntah
Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
COP turun Bendungan atrium kiri
naik Suplay O2
jaringan turun
Edema paru Tekanan vena pulmonalis
Hambatan pertukaran gas
Kapiler paru Metabolism anaerob
Asam laktat naik
Fatigue, nyeri sendi
Nyeri
(Amin, 2015)
10 2.2.1 Komplikasi pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Komplikasi penyakit gagal ginjal kronik menurut (Bare, 2015) yaitu :
Hiperkalemia akibat penurunan eksresi, asidosis metabolik, katabolisme dan masukan diet berlebihan.
1. Perikarditis, efusi pericardial dan tamponade jantung akibat retensi produk sampah uremik dan dialysis yang tidak adekuat.
2. Hipertensi akibat retensi cairan dan natrium serta malfungsi sistem rennin- angiostensin-aldosteron
3. Anemia akibat penurunan eritropoetin, penurunan rentang usia sel darah merah, perdarahan gastrointestinal akibat iritasi oleh toksin dan kehilangan darah selama hemodialysis
4. Penyakit tulang serta kalsifikasi metastatik akibat retensi fosfat, kadar kalsium serum yang rendah, metabolisme vitamin D abnormal dan peningkatan kadar alumunium.
2.1.8 Penatalaksanaan Terapi Pada Pasien Chronic Kidney Disease (CKD) Penatalaksanaan gagal ginjal kronik dapat dilakukan dua tahap yaitu dengan terapi konservatif dan terapi pengganti ginjal. Tujuan dari terapi konservatif adalah mencegah memburuknya faal ginjal secara progresif, dengan pengaturan diet protein yang berfungsi untuk mencegah atau mengurangi azetomia, diet kalium untuk mencegah terjadinya hiperkalemi yang membahayakan pasien, diet kalori untuk menambah energi pasien gagal ginjal yang sering mengalami malnutrisi dan pengaturan kebutuhan cairan, mineral, dan elektrolit berguna untuk mengurangi kelebihan beban sirkulasi dan intoksikasi cairan. Jika penanggulangan konservatif tidak lagi dapat mempertahankan fungsi ginjal maka dilakukan terapi pengganti ginjal yaitu hemodialisis yang merupakan penggunan terapi pengganti ginjal terbanyak (Haryanti, I.A.P., 2015).
11 1. Tindakan konservatif
Tindakan konservatif merupakan tindakan yang bertujuan untuk meredakan atau memperlambat gangguan fungsi ginjal progresif.
a. Pengaturan diet protein, kalium, natrium dan cairan. Intervensi diet perlu pada gangguan fungsi renal dan mencakup pengaturan yang cermat terhadap masukan protein, masukan cairan untuk mengganti cairan yang hilang, masukan natrium untuk mengganti natrium yang hilang dan pembatasan kalium (Smeltzer dan Bare, 2015).
2. Pembatasan protein Pembatasan protein tidak hanya mengurangi kadar BUN, tetapi juga mengurangi asupan kalium dan fosfat, serta mengurangi produksi ion hydrogen yang berasal dari protein. Brunner dan Suddart (2016), menjelaskan protein yang diperbolehkan harus mengandung nilai biologis yang tinggi (produk susu, keju, telur, daging).
3. Diet rendah kalium Hiperkalemia biasanya merupakan masalah pada gagal ginjal lanjut. Asupan kalium dikurangi. Diet yang dianjurkan adalah 40-80 mEq/hari. Penggunanaan makanan dan obat-obatan yang tinggi kadar kaliumnya dapat menyebabkan hiperkalemia.
4. Diet rendah natrium Diet natrium yang dianjurkan adalah 40-90 mEq/hari (1-2 g Na). Asupan natrium yang terlalu longgar dapat mengakibatkan retensi cairan, edema perifer, edema paru, hipertensi dan gagal jantung kongestif.
5. Pengaturan cairan Cairan yang diminimum penderita gagal ginjal tahap lanjut harus di awasi dengan seksama. Parameter yang terdapat untuk diikuti selain data asupan dan pengeluaran cairan yang dicatat dengan tepat adalah pengukuran Berat badan harian.
6. Pencegahan Dan Pengobatan Komplikasi a Hipertensi
Hipertensi dapat dikontrol dengan pembatasan natrium dan cairan. Pemberian obat antihipertensi seperti metildopa (aldomet), propranolol, klonidin Apabila penderita sedang mengalami terapi hemodialisa, pemberian antihipertensi dihentikan karena dapat mengakibatkan hipotensi dan syok yang diakibatkan
12 oleh keluarnya cairan intravaskuler melalui ultrafiltrasi. Pemberian diuretik seperti furosemid (Lasix).
b Hiperkalemia
Hiperkalemia merupakan komplikasi yang paling serius, karena bila K+
serum mencapai sekitar 7 mEq/L, dapat mengakibatkan aritmia dan juga henti jantung. Hiperkalemia dapat diobati dengan pemberian glukosa dan insulin intravena, yang akan memasukkan K+ ke dalam sel, atau dengan pemberian kalsium glukonat 10%.
c Anemia
Anemia pada pasien CKD diakibatkan penurunan sekresi eritropoeitin oleh ginjal. Pengobatannya adalah pemberian hormon eritropoeitin selain dengan pemberian vitamin dan asam folat, besi dan tranfusi darah.
d Asidosis Asidosis ginjal biasanya tidak diobati kecuali HCO3 - plasma dibawah angka 15 mEq/L. Bila asidosis beratakan dikoreksi dengan pemberian Na HCO3 - (Natrium Bikarbonat) parenteral. Koreksi pH darah yang berlebihan dapat mempercepat timbulnya tetani, maka harus dimonitor dengan seksama.
e Diet rendah fosfat
Diet rendah fosfat dengan pemberian gel yang dapat mengikat fosfat didalam usus. Gel yang dapat mengikat fosfat harus dimakan bersama makanan.
f Pengobatan hiperurisemia
Obat pilihan untuk mengobati hiperurisemia pada penyakit ginjal lanjut adalah pemberian alopurinol. Obat ini menggurangi kadar asam urat dengan menghambat biosintesis sebagian asam urat total yang dihasilkan tubuh.
7. Dialisis Dan Transplatansi
Terapi pengganti ginjal dilakukan pada penyakit CKD stadium 5, yaitu pada GR kurang dari 15ml/menit. Terapi pengganti tersebut dapat berupa dialisis atau transplantasi ginjal (Sudoyo, dkk, 2010). Dialisis dapat digunakan untuk
13 mempertahankan penderita dalam keadaan klinis yang optimal sampai tersedia donor ginjal Menurut Smeltzer (2016) Penatalaksanaan keperawatan pada pasien CKD yaitu :
a. Mengkaji status cairan dan mengidentifikasi sumber potensi ketidak seimbangan cairan pada pasien.
b. Menetap program diet untuk menjamin asupan nutrisi yang memadai dan sesuai dengan batasan regimen terapi.
c. Mendukung perasan positif dengan mendorong pasien untuk meningkatkan kemampuan perawatan diri dan lebih mandiri.
d. Memberikan penjelasan dan informasi kepada pasien dan keluarga terkait penyakit CKD, termasuk pilihan pengobatan dan kemungkinan komplikasi.
e. Memberi dukungan emosional.
2.2 Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)
2.2.2 Definisi Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Anemia pada CKD dapat disebabkan oleh menurunnya produksi eritropoeitin atau kekuranagn zat besi (Rachmadi dan Mahesa, 2010). Penyebab lain dari anemia pada pasien dengan CKD antara lain defisiensi zat besi, adanya inflamasi, defisiensi asam folat dan vitamin B12, dan akumulasi uremik (hassan, 2015).
2.2.3 Etiologi Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Anemia biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori etiologi: penurunan produksi RBC (Red Blood Cell), peningkatan kerusakan RBC, dan kehilangan darah.
Anemia penyakit kronis dan anemia CKD keduanya dikaitkan dengan kategori penurunan produksi RBC. Ketika klasifikasi anemia didasarkan pada morfologi sel
14 darah merah, baik anemia penyakit kronis dan penyakit ginjal kronis biasanya dikaitkan dengan klasifikasi anemia normositik normokrom (Lerma, 2015).
Anemia pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoietin, namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan folat. Selain itu, kondisi komorbid seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada pasien CKD (Ismatullah, 2015).
2.2.4 Patofisologi Anemia Pada Chronic Kidney Disease (CKD)
Anemia biasanya dikelompokkan menjadi tiga kategori etiologi: penurunan produksi RBC (Red Blood Cell), peningkatan kerusakan RBC, dan kehilangan darah.
Anemia penyakit kronis dan anemia CKD keduanya dikaitkan dengan kategori penurunan produksi RBC. Ketika klasifikasi anemia didasarkan pada morfologi sel darah merah, baik anemia penyakit kronis dan penyakit ginjal kronis biasanya dikaitkan dengan klasifikasi anemia normositik normokrom (Lerma, 2015).
Anemia pada CKD terutama disebabkan karena defisiensi relatif dari eritropoietin, namun ada faktor-faktor lain yang dapat mempermudah terjadinya anemia, antara lain memendeknya umur sel darah merah, inhibisi sumsum tulang, dan paling sering defisiensi zat besi dan folat. Selain itu, kondisi komorbid seperti hemoglobinopati dapat memperburuk anemia pada pasien CKD (Ismatullah, 2015).
Besi dan erythropoietin sangat penting untuk produksi sel darah merah di dalam sumsum tulang. Ketersediaan besi dikendalikan oleh hepcidin hormon hati, yang mengatur penyerapan zat besi dan daur ulang besi dari sel-sel darah merah yang sudah tua dan dihancurkan oleh makrofag. Ada beberapa umpan balik siklus yang mengontrol kadar hepcidin, termasuk besi dan erythropoietin. Pada pasien CKD (terutama pada pasien penyakit ginjal stadium akhir hemodialisis), kadar hepcidin ditemukan sangat tinggi, diduga karena penurunan klirens ginjal dan induksi akibat inflamasi, yang mengarah pada terbatasnya eritropoiesis besi. CKD juga menghambat produksi EPO
15 diginjal, dan juga dapat menyebabkan inhibitor sirkulasi uremik-diinduksi eritropoiesis) memendeknya umur sel darah merah, dan kehilangan darah (Babitt, J.L., and Lin, 2012).
2.2.5 Komplikasi Anemia
1. Hipoksia adalah stimulus yang paling ampuh untuk produksi erythropoietin oleh ginjal. Pada Orang yang sehat, erythropoietin membantu meningkatkan produksi sel darah merah, sehingga meningkatkan konsentrasi oksigen dalam darah, sehingga memperbaiki kondisi hipoksia tersebut (Lerma, 2015).
2. Sindrom Anemia Cardiorenal Anemia, jika dalam kondisi berat, akan mengarah pada kompensasi hipertrofi ventrikel kiri. kompensasi LVH (left ventricular hypertrophy) pada akhirnya akan mengarah pada gagal jantung kongestif, yang menyebabkan penurunan perfusi darah ke ginjal, yang mengakibatkan kerusakan ginjal lebih lanjut (Lerma, 2015).
3. Penyakit kardiovaskular Anemia telah terbukti menjadi faktor risiko independen untuk peningkatan morbiditas dan mortalitas kardiovaskular. Dalam studi hasil parktek dialisi atau The Dialysis Outcomes Practice Pattern Study (DOPPS) yang melibatkan beberapa negara dan menujukan penurunakan konsentrasi Hb kurang < 11g / dL, terjadi peningkatan terkait dalam tingkat rawat inap dan kematian pada pasien dengan penyakit ginjal kronis (Lerma, 2015).
2.3 Konsep Asuhan Keperawatan 2.2.1 Pengkajian
1. Pengumpulan Data Awal a. Identitas pasien
Pengkajian meliputi nama pasien, jenis kelamin, pekerjaan, pendidikan, suku/bangsa, agama, status pernikahan, alamat, diagnosis medis, tanggal masuk rumah sakit, ruang rawat dan nomor RM.
16 2. Pengumpulan Data Dasar
a. Keluhan utama Biasanya
Klien datang dengan keluhan utama yang didapat bervariasi, mulai dari urine output sedikit sampai tidak dapat BAK, gelisah sampai penurunan kesadaran, tidak selera makan (anoreksi), mual, muntah, mulut terasa kering, rasa lelah, napas berbau (ureum), dan gatal pada kulit (Muttaqin, Arif, Kumala, 2011).
b. Riwayat kesehatan sekarang
Biasanya terjadi penurunan urine output, penurunan kesadaran, perubahan pola napas, kelemahan fisik, adanya perubahan kulit, adanya napas berbau ammonia, dan perubahan pemenuhan nutrisi. Kemana saja klien meminta pertolongan untuk mengatasi masalah dan mendapat pengobatan apa (Muttaqin, Arif, Kumala, 2011).
c. Riwayat kesehatan dahulu
Biasanya ada riwayat penyakit gagal ginjal gagal akut, infeksi saluran kemih, payah jantung, pengguanaan obat-obat nefrotoksik. Benign Prostatic Hyperplasia, dan prostatektomi. Dan biasanya adanya riwayat penyakit batu saluran kemih, infeksi system perkemihan yang berulang, penyakit diabetes mellitus, dan penyakit hipertensi pada masa sebelumnya yang menjadi presdiposisi penyebab. Penting untuk dikaji mengenai riwayat pemakaian obatobatan masa lalu dan adanya riwayat alergi terhadap jenis obat kemudian dokumentasikan (Muttaqin, Arif, Kumala, 2011).
d. Riwayat kesehatan keluarga
Biasanya klien mempunyai anggota keluarga yang pernah menderita penyakit yang sama dengan klien yaitu CKD, maupun penyakit diabetes mellitus dan hipertensi yang bisa menjadi faktor pencetus terjadinya penyakit CKD.
3. Pola Aktivitas Sehari-Hari
17 a. Pola aktivitas / istirahat Gejala :
Kelelahan ekstrem, kelemahan, malaise. Gangguan tidur (insomnia/gelisah atau samnolen). Tanda : kelemahan otot, kehilangan tonus, penurunan rentang gerak.
b. Pola nutrisi Makan / cairan Gejala :
Peningkatan berat badan cepat (edema), penurunan berat badan (malnutrisi).
Anoreksia, nyeri ulu hati, mual/muntah, rasa tidak sedap pada mulut (pernafasan ammonia). Tanda : distensi abdomen, pembesaran hati, perubahan turgor kulit edema, ulserasi gusi, perdarahan gusi/lidah, penurunan otot, penurunan lemak sub kutan, penampilan tidak bertenaga.
c. Pola eliminasi Gejala :
Penurunan frekuensi urin, oliguria, anuria (gagal tahap lanjut, abdomen kembung, diare atau konstipasi. Tanda : perubahan warna urin, contoh : kuning pekat, merah, coklat berawan, oliguria , dapat menjadi anuria.
d. Pola sirkulasi Gejala :
Riwayat hipertensi lama atau berat, palpitasi, nyeri dada (angina). Tanda : hipertensi, nadi kuat, edema jaringan umumdan pitting pada kaki, telapak tangan, disritmia jantung, nadi lemah halus, hipotensi, ortostatik menunjukkan hipovolemia, yang jarang pada penyakit tahap akhir, pucat,kulit coklat kehijauan, kuning, kecendrungan perdarahan.
e. Integritas ego Gejala :
Faktor stress, contoh : financial, hubungan, persaan tidak berdaya, tidak ada kekuatan. Tanda : menolak, ansietas, takut, marah, mudah tersinggung, perubahan kepribadian
f. Neurosensori Gejala :
18 Sakit kepala, penglihatan kabur, kram otot/ kejang sindrom “kaki gelisah”, rasa terbakar pada telapak kaki. Tanda : gangguan status mental, contoh : penurunan lapang perhatian , ketidakmampuan berkonsentrasi, kehilangan memori, kacau, penurunan tingkat kesadaran, kejang, rambut tipis, kuku rapuh dan tipis.
g. Nyeri/kenyamanan Gejala :
Nyeri panggul, sakit kepala, kram otot/ nyeri kaku (memburuk saat malam hari) Tanda : perlu berhati-hati, distraksi, gelisah.
h. Pernafasan Gejala :
Nafas pendek, dyspenia, nocturnal paroksimal, batuk dengan atau tampa sputum kental dan banyak.
i. Keamanan Gejala :
Kulit gatal, ada/berulangnya infeksi. Tanda : pruritus, demam (sepsis, dehidrasi), normotemia dapat secara actual terjadi peningkatan pada pasien yang mengalami suhu tubuh lebih rendah dari normal (depresi respons imun), petekie, area ekimosis pada kulit.
j. Seksualitas Gejala : Penurunan libido, amenorea, infertilitas.
k. Interaksi Sosial Gejala : Kesulitan menentukan kondisi, contoh tidak mampu bekerja, mempertahankan fungsi peran biasanya dalam keluarga.
l. Penyuluhan/ pembelajaran Gejala :
Riwayat DM keluarga (risiko tinggi untuk gagal ginjal), penyakit polikistik, nefitis herediter, kulkulus urinaria, malignansi. Riwayat terpajan pada toksin, contoh obat, rancun lingkungan. Penggunaan antibiotic nefrotoksik saat ini/berulang.
2.2.2 Pemeriksaan Fisik
19 1. Keadaan Umum dan TTV
a. Keadaan umum klien lemah, letih dan terlihat sakit berat
b. Tingakat kesadaran klien menurun sesuai dengan tingkat uremia dimana dapat mempengaruhi system saraf pusat
c. TTV : RR meningkat, tekanan darah didapati adanya hipertensi 2. Kepala
a. Rambut : Biasanya klien berambut tipis dan kasar, klien sering sakit b. Wajah : Biasanya klien berwajah pucat
c. Mata : Biasanya mata klien memerah, penglihatan kabur, konjungtiva an emis, dan sclera tidak ikterik.
d. Hidung : Biasanya tidak ada pembengkakkan polip dan klien bernafas pe ndek dan kusmaul
e. Bibir:Biasanya terdapat peradangan mukosa mulut, ulserasi gusi, perdara han gusi, dan napas berbau
f. Gigi : Biasanya tidak terdapat karies pada gigi. g) Lidah : Biasanya tidak terjadi perdarahan
3. Leher : Biasanya tidak terjadi pembesaran kelenjar tyroid atau kelenjar getah benin g
4. Dada / Thorak Inspeksi : Biasanya klien dengan napas pendek, pernapasan kusmaul (cepa t/dalam) Palpasi : Biasanya fremitus kiri dan kanan Perkusi : Biasanya Sonor Auskultasi : Biasanya vesicular
5. Jantung Inspeksi : Biasanya ictus cordis tidak terlihat Palpasi : Biasanya ictus Cordis teraba di ruang inter costal 2 linea dekstra sinistra Perkusi : Biasanya ada nyeri Auskultasi : Biasanya terdapat irama jantung yang cepat
20 6. Abdomen Inspeksi :Biasanya terjadi distensi abdomen, acites atau penumpukan caira n, klien tampak mual dan muntah Auskultasi : Biasanya bising usus normal, berkisar antara 5-35 kali/menit Palpasi : Biasanya acites, nyeri tekan pada bagian pinggang, dan adanya p embesaran hepar pada stadium akhir. Perkusi : Biasanya terdengar pekak karena terjadinya acites.
7. Genitourinaria Biasanya terjadi penurunan frekuensi urine, anuria distensi abdomen, diare atau konstipasi, perubahan warna urine menjadi kuning pekat, merah coklat dan berwarna.
8. Ekstremitas Biasanya diadapatkan adanya nyeri panggul, oedema pada ekstermitas, kram otot, kelemahan pada tungkai, rasa panas pada telapak kaki, keterbatasan gerak sendi.
9. Sistem Integumen Biasanya warna kulit abu-abu, kulit gatal, kering dan bersisik adanya area ekimosis pada kulit.
10. Sistem Neurologi Biasanya terjadi gangguan status mental seperti penurunan lapang perhatian, ketidakmampuan konsentrasi, kehilangan memori, penurunan tingkat kesadaran, disfungsi serebral, seperti perubahan proses piker dan disorientasi. Klien sering didapati kejang, dan adanya neuropati perifer (Muntaqqin, 2011).
2.2.3 Pemeriksaan Penunjang 1. Urine
a. Volume Kurang dari 400 ml/24 jam (oliguria) atau urine tidak ada (anuria) b. Warna : biasanya didapati urine keruh disebabkan oleh pus, bakteri, lem ak,
partikel koloid, fosfat atau urat.
c. Berat jenis : kurang dari 1,015 (menetap pada 1,010 menunjukkan kerus akan ginjal berat).
21 d. Osmolalitas : kurang dari 350 m0sm/kg (menunjukkan kerusakan tubula r) e. Klirens Kreatinin : agak sedikit menurun.
f. Natrium : lebih dari 40 mEq/L, karena ginjal tidak mampu mereabsorpsi natrium.
g. Proteinuri : terjadi peningkatan protein dalam urine (3-4+) 2. Darah
a. Kadar ureum dalam darah (BUN) : meningkat dari normal.
b. Kreatinin : meningkat sampai 10 mg/dl (Normal : 0,5-1,5 mg/dl).
c. Hitung darah lengkap -. Ht : menurun akibat anemia -. Hb : biasanya kurang dari 7-8 g/dl
d. Ultrasono Ginjal : menetukan ukuran ginjal dan adanya massa, kista,obstrus i pada saluran kemih bagian atas.
e. Pielogram retrograde : menunjukkan abnormalitas pelvis ginjal dan ureter f. Endoskopi ginjal : untuk menentukan pelvis ginjal, keluar batu, hematuria
dan pengangkatan tumor selektif
3. Elektrokardiogram (EKG): mungkin abnormal menunjukkan ketidakseimba ngan elektrolit dan asam/basa.
4. Menghitung laju filtrasi glomerulus : normalnya lebih kurang 125ml/menit, 1 jam dibentuk 7,5 liter, 1 hari dibentuk 180 liter (Haryono, 2013).
2.2.4 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul
Diagnose keperawatan ditegakkan atas dasar data pasien. Kemungkinan diagnosa keperawatan dari orang dengan kegagalan ginjal kronis adalah sebagai berikut (Brunner&Sudart, 2013 dan SDKI, 2016):
22 1. Hipovolemia berhubungan dengan kehialngan cairan aktif, kegagalan
mekanisme regulasi, kekurangan intake cairan
2. Defisit nutrisi berhubungan dengan factor psikologis (mis, keengganan untuk makan, stress), ketidakmampuan mengabsorsi makanan, ketidakmampuan mencerna maknaan.
3. Nausea berhubungan dengan iritasi lambung, efek agen farmakologis
4. Gangguan integritas kulit/jaringan berhubungan dengan perubahan status nutrisi.
5. Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan ketidakseimbangan ventilasi- perfusi
6. Intoleransi aktivitas berhubungan dengan kelemahan, tirah baring.
7. Resiko penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan irama jantung 8. Nyeri akut berhubungan dengan agen pencedara fisik, agen pencedera
fisiologis.
2.2.5 Implementasi
Implementasi merupakan langkah keempat dalam tahap proses keperawatan, dengan melaksanakan berbagai strategi kesehatan (tindakan keperawatan) yang telah direncanakan dalam rencana tindakan keperawatan.
2.2.6 Evaluasi
Evaluasi merupakan suatu proses yang berkelanjutan untuk menilai efek dari tindakan keperawatan pada pasien. Evaluasi dilakukan terus-menerus terhadap respon pasien pada tindakan keperawatan yang telah dilakukan. Evaluasi proses atau promotif dilakukan setiap selesai tindakan.