• Tidak ada hasil yang ditemukan

Toleransi dalam Teks Humor NU Garis Lucu: Sebuah Analisis. Wacana

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "Toleransi dalam Teks Humor NU Garis Lucu: Sebuah Analisis. Wacana"

Copied!
50
0
0

Teks penuh

(1)

Toleransi dalam Teks Humor NU Garis Lucu: Sebuah Analisis Wacana

SKRIPSI

Diajukan kepada Fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga Yogyakarta Untuk Memenuhi Sebagai Syarat Memperoleh Gelar

Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

LUMILLAHIL AFIF NIM. 13520025

PROGRAM STUDI AGAMA-AGAMA

FAKULTAS USHULUDDIN DAN PEMIKIRAN ISLAM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA

YOGYAKARTA 2020

(2)

ii

(3)
(4)

iv

(5)

v

Halaman Motto

“Sampaikan Kebenaran Walau Satu Ayat”

(HR. Bukhori, 3202)

“Sampaiakan Kebenaran Walau Lucu”

(Twitter NU Garis Lucu)

(6)

vi

Halaman Persembahan

Karya ini penulis persembahkan untuk almamater saya UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, untuk teman-teman, dan keluarga.

(7)

vii Kata Pengantar

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah- Nya sehingga penelitian dan penulisan skripsi ini dapat diselesaikan. Penulis berusaha untuk menyusun dengan sebaik-baiknya dan sesuai dengan kemampuan penulis.

Penulis mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah memberikan bantuan, bimbingan, dan juga dorongan. Ucapan terimakasih penulis ucapkan kepada:

1. Prof. Dr. Phil. Al Makin selaku rektor UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

2. Dr. Inayah Rohmaniyah S. Ag, M. Hum, M. A selaku dekan fakultas Ushuluddin dan Pemikiran Islam UIN Sunan Kalijaga.

3. Dr. Dian Nur Anna S. Ag, M. A selaku ketua jurusan Studi Agama-Agama dan juga pembimbing skripsi yang selalu memperingatkan dan membantu kami yang semester tua untuk menjaga semangat dalam mengerjakan tugas akhir.

4. Semua dosen SAA yang telah berkontribusi dalam proses pendidikan saya selama di UIN Sunan Kalijaga.

5. Kepada orang tua tercinta di Jember yang selalu memberi petuah berupa menanyakan kapan lulus sembari memotivasi agar supaya cepet menyelesaikan ritual skripsi ini.

6. Teruntuk Vita yang selalu menemai dan 7/24 dalam pengerjaan skripsi ini.

7. Teruntuk Dia yang menjadi spirit dalam segala hlm.

(8)

viii

8. Kepada Guru tanpa batas di Jogja, Syekhnior ibelz, Kang Mahrus, Bos Pendi, Bung Alung Tonar, Bos Wawan Arif, Bung Imron Hakiki yang membimbingku berpikir, bergerak dan berkreativitas lebih di dunia nyata.

9. Kepada saudara-saudara saya di LIMAGOYA yang selalu menerima masukan meski sering saya kibuli.

10. Kepada teman seperjuangan saya Makdum Ali Robbani (arjemrobert), Hamdan Ali (Ucil), Mijibuddin (Sinyo), Muqronul Fais (Muqimuq), Alm.

Andi Mulyanto (Dito), Hairul Amin Rais (Cak Amin), M. Ilyas (Mahpu), M. Kholil (Kasorang) terimakasih sudah menjadi sahabat intim saya selama ini.

11. Kepada sahabat-sahabat Tanah Air (PMII 2013) yang sudah memberi ruang Dialektika tanpa bosan mendengar celotehku.

12. Kepada teman-teman angkatan SAA 2013.

13. Dan pihak yang tidak bisa saya sebutkan satu persatu.

Semoga semua bantuan yang telah diberikan kepada penulis mendapatkan imbalan pahala yang melimpah dari Allah SWT. meskipun masih jauh dari kesempurnaan dan semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak.

(9)

ix

Yogyakarta, 14 Januari 2021

Penulis,

Lumilahil Afif

(10)

x Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis tentang wacana toleransi dalam bentuk humor di akun media sosial NU Garis Lucu. Sosial media saat ini banyak digunakan untuk menebar isu intoleransi, diskriminasi, hingga persekusi atas kelompok lain. Keadaan seperti ini dapat menghancurkan keberagaman bangsa Indonesia.

Jenis penelitian ini adalah kualitatif dengan objek penelitian pada akun media sosial NU Garis Lucu baik di Instagram maupun Twitter. Metode pencarian data menggunakan observasi akun media NU Garis Lucu sebagai sumber primer dan sumber pustakan sebagai sumber sekunder.

Teori yang digunakan untuk menganalisis dalam penelitian ini adalah wacana Norman Firclough.

Hasil penelitian ini menemukan bahwa pada area teks, jalinan kehidupan religius direpresentasikan dalam kutipan yang dibuat oleh Nu Garis Lucu di media sosia. Bentuk bahasa dan konten informal di media sosial bernuansa humor merupakan strategi NU Garis Lucu untuk memparodikan nilai moderasi Islam di media sosial. Penelitiani ini juga menemukan bahwa wacana toleransi NU Garis Lucu memberikan determinasi dan efek yang dapat membentuk atau mengubah ketegangan di media Sosial.

Keyword: NU Garis Lucu, Toleransi, Teks Humor, Norman Firchlough.

(11)

xi Daftar Isi

Halaman Judul ... i

Halaman Pernyataan Keaslian ... ii

Halaman Nota Dinas Pembimbing ... iii

Halaman Pengesahan ... iv

Halaman Motto ... v

Halaman Persembahan ... vi

Kata Pengantar ... vii

Abstrak ... x

Daftar Isi ... xi

BAB I Pendahuluan ... 1

A. Latar Belakang ... 1

B. Rumusan Masalah ... 11

C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian ... 11

D. Tinjauan Pustaka ... 12

E. Metode Penelitian ... 16

F. Kerangka Teori ... 18

G. Sistematika Pembahasan ... 26

BAB II Profil Akun NU Garis Lucu ... 29

A. Sejarah Akun NU Garis Lucu ... 29

B. Konten Akun NU Garis Lucu ... 33

BAB III Upaya Akun NU Garis Lucu dalam Melawan Intoleransi di Media Sosial ... 38

(12)

xii

A. Fenomena Intoleransi Di Media Sosial ... 38

B. Humor Akun NU Garis Lucu sebagai Perlawanan Intoleransi di Media Sosial ... 52

BAB IV Diskursus Toleransi dalam Akun NU Garis Lucu ... 63

A. Konstruksi dan Penafsiran Toleransi dalam Teks Humor NU Garis Lucu... 64

B. Narasi Toleransi NU Garis Lucu dalam Praktik Diskursif: Penerimaan, Penolakan, dan Relasi-Relasi Antar Teks ... 78

1. Interpretasi Teks ... 79

2. Interpretasi Konteks ... 83

C. Toleransi NU Garis Lucu: Representasi Ideologi, Identitas dan Counter Wacana ... 90

1. Humor Memaknai Toleransi ... 93

2. Representasi Ideologi, Counter Wacana, dan Identitas ... 95

BAB V Penutup ... 100

A. Kesimpulan ... 100

B. Saran ... 101

Daftar Pustaka ... 103

(13)

1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

Indonesia dengan beragam suku, etnik dan budaya memiliki potensi yang besar terhadap perubahan sosial. Perubahan masyarakat Indonesia tersebut terjadi karena perkembangan ilmu pengetahuan dan pesatnya arus teknologi yang terus berkembang. Akulturasi antar budaya disertai pesatnya teknologi mendorong perubahan yang terjadi di Indonesia. Masyarakat dalam era teknologi memiliki kebebasan personal dalam menyampaikan ide, kritik, saran bahkan “hujatan”

melalui varian media sosial yang mereka miliki.1

Say no to technology merupakan ungkapan yang tidak bijak diucapkan pada

zaman ini, sebab teknologi sudah tidak dapat lagi dipisahkan dari kehidupan masyarakat Indonesia. Semua kalangan menggunakannya, mulai dari usia dini hingga lanjut usia. Kini tidak mungkin kita menolak laju pesatnya teknologi.2 Namun yang terpenting dalam perkembangan teknologi adalah mempertimbangkan dampak positif dan negatifnya. Salah satu akibat dari derasnya arus teknologi informasi di kalangan muda yang lebih populer disebut milenial (Gen Y) adalah berubahnya perspektif sosial-budaya. Ciri khas dari generasi ini adalah kreatif dan inovatif, namun di lain sisi mereka cenderung materialistis,

1 Anang Sugeng Cahyono, “Pengaruh Media Sosial Terhadap Perubahan Sosial Masyarakat di Indonesia”, Jurnal Publiciana, 2016, hlm. 140.

2 Nurlaila Suci Rahayu Rais dkk, "Kemajuan Teknologi Informasi Berdampak Pada Generalisasi Unsur Sosial Budaya Bagi Generasi Milenial", Jurnal Mozaik, Vol. X, Edisi 2 Desember 2018, hlm. 62.

(14)

2

konsumtif dan mengunggulkan perkembangan bangsa lain daripada bangsanya sendiri.

Aktivitas generasi milenial sangat akrab dengan keterbukaan informasi.

Mereka sangat mudah mengakses informasi apa pun dari teknologi (smartphone) yang ada di genggamannya. Saking mudahnya mereka mendapat informasi, terkadang mereka tidak dapat menyeleksi dan memverifikasi informasi yang mereka terima. Masuknya era globalisasi menjadi momentum terbukanya beragam budaya-budaya global dari negara lain hingga masyarakat terbawa arus untuk melupakan ciri khas bangsa sendiri. Oleh karena itu perlu adanya pertimbangan antara baik-buruk yang ditimbulkannya serta perlunya pemahaman bahwa penggunaan teknologi harus dilandasi dengan etika.3 Teknologi berkembang secara perlahan namun pasti karena keberadaannya dapat membantu manusia memudahkan aktivitas kehidupan seperti belajar, bekerja, hiburan dan lain sebagainya. Perkembangannya beriringan dengan lajunya kebudayaan sesuai dengan tingkat peradaban suatu negara. Semakin maju kebudayaannya, semakin berkembang pula teknologinya karena teknologi merupakan perkembangan dari kebudayaan yang maju dengan pesat.4

Munculnya media sosial (Medsos) sebagai bagian dari perkembangan teknologi dapat mengubah pola interaksi masyarakat serta menggeser etika, norma

3 Arum Faiza,Sabila J Firda, dkk, Arus Metamorfosa Milenial, (Kendal: Penerbit Ernest, 2018), hlm. 25-27.

4 Mohammad Adib, Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 254.

(15)

3

dan budaya yang sudah lama dijaga dan dilestarikan di Indonesia. Perubahan yang terjadi oleh sebab kemajuan teknologi ini berpotensi terjadinya degradasi pada budaya asli Indonesia. Pada sebuah konferensi internasional di bidang Bahasa, Sastra, dan Budaya (icons laterals) yang diselenggarakan di Auditorium Widyaloka Universitas Brawijaya menyebutkan terdapat 12 bahasa lokal di Indonesia yang telah punah.5 Selain itu, perubahan masyarakat Indonesia semakin tampak melalui gaya dan pola hidup, dan sikapnya yang mengarah pada egois dan pragmatis. Lebih lanjut perilaku seperti ini akan membentuk masyarakat yang individualis dan materialistis hingga mengabaikan nilai-nilai luhur kemasyarakatan yang khas dari bangsa Indonesia sendiri, seperti tutur sapa, tenggang rasa, gotong royong dan sebagainya.

Kehadiran media sosial merupakan solusi bagi masyarakat untuk mempermudah komunikasi dan interaksi secara virtual.6 Kemudian berkembang menjadi sarana untuk mengujar kata-kata kebencian dan menyebarkan berita yang tidak bertanggung jawab dengan memanfaatkan komoditas semata. Media sosial dapat digunakan baik oleh individu ataupun kelompok orang yang memiliki tujuan tertentu. Mulai dari yang hanya menggunakannya untuk kebutuhan sehari-hari hingga propaganda dan kampanye politik. Ketika terjadi hajatan politik, intensitas penggunanya semakin masif hingga mengarah pada degradasi individu. Banyak

5 Dita Tuasikal, “Kearifan Lokal Generasi Muda Di Era Milenial”, dalam geotimes.co.id, diakses tgl 07 Juli 2019.

6 Lina Herlina, “Disintegrasi Sosial Dalam Konten Media Sosial Facebook”, Jurnal Pembangunan Sosial, Vol. 1 No. 2 Tahun 2018, hlm. 262.

(16)

4

individu yang menggunakan kata-kata caci-maki bahkan hujatan terhadap ras, etnis dan agama tertentu. Mereka menganggap bahwa ras, etnis, agamanya sendiri yang lebih unggul daripada yang lainnya. Kondisi seperti ini mengakibatkan bergesernya kualitas individu (interpersonal)7 yang awalnya ingin berkawan justru bermusuhan.

Keberagaman yang ada di negara ini dapat menjadi kekuatan jika kita mampu mengelola dengan baik, namun keberagaman ini dapat pula menjadi petaka jika kita tak mampu memanfaatkannya. Toleransi merupakan sebuah sikap yang harus dipahami dan diterapkan dalam kehidupan sehari-hari karena nilai tersebut menjadi pondasi dasar dari sebuah kerukunan agama, sosial, politik dsb.

Toleransi merupakan sikap atau perilaku manusia dalam mengikuti aturan namun tetap menghargai dan menghormati perbuatan yang dilakukan orang lain.8 Dalam konteks agama, toleransi dapat berarti perbuatan yang melarang akan adanya diskriminasi terhadap keyakinan yang berbeda dalam masyarakat. Kelompok agama yang mayoritas memberi payung perdamaian kepada yang minoritas dalam melakukan kehidupan sehari-hari secara bersama-sama serta saling memberi rasa aman terhadap agama yang diyakininya.

Indonesia merupakan bangsa yang berkarakter toleran terutama dalam hal agama. Sejak zaman kerajaan, leluhur kita sudah memiliki prinsip menghargai

7 Benedictus A. Simangunsong, “Interaksi Antarmanusia Melalui Media Sosial Facebook Mengenai Topik Keagamaan”, Jurnal ASPIKOM, Vol. 3 No. 1, Juli 2016, hlm 65.

8 Abu Bakar “Konsep Toleransi Dan Kebebasan Beragama”, Jurnal TOLERANSI: Media Komunikasi Umat Bergama, Vol.7, No.2 Juli-Desember 2015 hlm. 123.

(17)

5

berbagai keyakinan. Prinsip Indonesia sebagai “Bhinneka Tunggal Ika”

mencerminkan bahwa meskipun Indonesia bersifat multikultural tetapi tetap terintegrasi dalam keikatan, kesatuan.9 Berdirinya berbagai candi-candi bercorak Hindu-Budha menjadi bukti dari tingginya toleransi yang ada di negara ini. Namun wajah ramah sekaligus prestasi dari tingginya toleransi beragama di negara ini dicederai oleh beberapa kasus intoleransi beragama.

Menurut data yang di rilis oleh Social Progress Imperative dalam laporan tahunan Social Progress Index yang mencatat mulai 2014 hingga 2017 menunjukkan tren yang cenderung meningkat. Pada tahun 2014, skor toleransi dan inklusi Indonesia adalah 27,90 dan naik pada 2015 menjadi 32,30. Namun, skor ini turun pada 2016 menjadi 29,57. Skor kembali naik menjadi 35,47 di tahun berikutnya, menempatkan Indonesia pada posisi 117 dari 128 negara di kategori tersebut. Bila dirinci, komponen toleransi dan inklusi memiliki sub-komponen, yaitu toleransi terhadap imigran, toleransi terhadap homoseksual, diskriminasi dan kekerasan terhadap minoritas, toleransi beragama, dan jaringan keamanan masyarakat. Dari lima sub-komponen tersebut, skor terendah ada pada toleransi beragama dengan nilai sebesar 2,0.10

Medsos (Media Sosial) merupakan medium yang dapat menggambarkan terjadinya berbagai peristiwa dan fenomena di dunia nyata, karenanya medsos

9 Azyumardi Azra, Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia, (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hlm. 17.

10 Scholastica Gerintya “Benarkah Intoleransi Antar-Umat Beragama Meningkat?”, dalam tirto.id, diakses pada 09 Desember 2019.

(18)

6

menjadi representasi atas realitas intoleransi yang ada di Indonesia. Medsos juga memungkinkan seseorang untuk mengujar kebencian terhadap postingan atau konten yang tidak cocok dengan pemahamannya. netizen (user pengguna aktif internet) dengan mudah mencaci-maki, melecehkan dan merendahkan apa-apa yang berbeda dengan penyebar konten hingga si netizen juga menyebarkan dengan framing negatif berita awal tanpa mengklarifikasi validitas dari peristiwa tersebut.

Setiap pengguna medsos memiliki metode tersendiri untuk menyajikan beritanya, mulai dari yang bermuatan SARA, hoax, ujaran kebencian. Namun ada pula yang menyampaikannya dengan pendekatan humor,11 seperti meme, satire, dan sebagainya. Pendekatan humoris dalam menyajikan informasi. Hal ini dilakukan sebagai counter dari ketegangan yang terjadi di media sosial. Sebagian besar masyarakat di Indonesia adalah beragama Islam yang moderat dan cocok dengan nilai-nilai demokrasi seperti adanya penghargaan atas hak asasi manusia, budaya pluralitas, dan toleransi beragama. Namun secara umum, Martin Van Bruinessen sebagai serjana peneliti pasca orde baru menunjukkan bahwa Islam Indonesia justru tumbuh menjadi lebih konservatif dan semakin tidak toleran terhadap ekspresi keagamaan yang bertentangan dengan arus utama keyakinan Islam mayoritas di negara ini.12

11 Listya Istiningtyas, “Humor Dalam Kajian Psikologi Islam”, Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah, 2014, hlm. 300.

12 Martin Van Bruinessen, Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman Fundamentalisme, (Bandung: Mizan, 2014), hlm. 47.

(19)

7

Konservatisme bisa dilihat dari aktivitas Gerakan Islam kontemporer seperti Front Pembela Islam (FPI), Majelis Mujahidin Indonesia (MMI) yang sering memunculkan wajah seram Islam, seperti tindakan penyapuan (sweeping) tempat maksiat dan demonstrasi menentang kepentingan Barat. Yang tak kalah menyeramkan adalah munculnya tindakan-tindakan teror oleh sekelompok kecil umat Islam ini.13 Ada pula kalangan agama tertentu yang bersikukuh merekrut penganut agama dan denominasi intra-agamanya. Dalam kasus ini beranggapan bahwa dominasi dan pengaruhnya merupakan satu-satunya kebenaran, oleh karenanya mereka beranggapan bahwa dominasi lain tersebut harus dibawa pada satu-satunya jalan keselamatan. Sebenarnya kebangkitan konservatisme agama di Indonesia tidak menyangkut hanya pada Islam, konservatisme dapat dikatakan melanda semua agama, khususnya enam agama yang disebut sebagai agama yang diakui negara (state recognized religions), yaitu Islam, Kristen (Protestan), Katolik, Hindu, Buddha, dan Konghucu.14

Konservatif dalam agama pada dasarnya bukan suatu hal yang salah, jika tidak dibarengi dengan sikap eksklusifitas kelompok agama. Eksklusifitas agama tersebut menciptakan kelompok agama yang homogen dan mudah merespons dengan ejekan, hujatan bahkan makian di medsos. Perilaku netizen seperti ini mengakibatkan problem intoleransi atas nama agama menguat dan sulit diatasi.

13 Din Wahid, “Kembalinya Konservatisme Islam Indonesia”, Studia Islamika, Vol. 21, No. 2, 2014, hlm. 377.

14 Azyumardi Azra “Konservativisme Agama (1)” dalam republika.co.id, diakses pada 09 Desember 2019.

(20)

8

Wajah harmonis agama berubah seram atas dasar hujatan kelompok agama lain dan masing-masing dari mereka menghindar untuk tidak berkumpul ataupun berdialog karena perbedaan agama yang dipersepsikan berpotensi melunturkan iman.15

Namun media sosial sebagai ruang ekspresi tidak melulu berisi ujaran kebencian dan intoleransi tapi juga berbagai aneka humor untuk merespon realitas.

Salah satu contohnya adalah munculnya akun Garis Lucu seperti NU Garis Lucu (@NUGarislucu), Muhammadiyah Garis Lucu (@MuhammadiyahGL), LDII Garis Lucu (@LDIILucu), Hizbut Tahrir Garis Lucu (@HizbutTahrirGL), Wahabi Garis Lucu (@WahabiLucu). Semua akun ini memiliki persamaan, yaitu membahas perbedaan penafsiran agama Islam dengan cara receh dan menghibur.

Bukan hanya berkaitan dengan agama Islam saja, akun-akun Garis Lucu juga muncul dari kelompok agama-agama lain, seperti Katolik (@KatolikGL), Budha (@BuddhisGL), Kristen Protestan (@ProtestanGL) dan Konghucu (@KonghucuGL).16

Akun-akun Garis Lucu di atas seakan menjadi oasis dari riuhnya medsos yang cenderung menghakimi secara sepihak perilaku seseorang.17 Padahal medsos memiliki pengaruh positif jika difungsikan sebagai tujuan awalnya yaitu menjalin persaudaraan, berbagi pengalaman, dan bertukar pendapat tanpa merasa bahwa

15 Muhammad Asad, “Akun Garis Lucu dan Dialog Antaragama” dalam alif.id, diakses pada 09 Desember 2019.

16 Pical Gadi, “Tertawa Bersama Akun-akun Garis Lucu di Twitter” dalam kompasiana.com, diakses pada 09 Desember 2019.

17 Liberti Jemadu, “Akun-akun Garis Lucu Jadi Oase di Kasarnya Politik dalam Media Sosial”, dalam suara.com, diakses pada 09 Desember 2019

(21)

9

pendapatnyalah yang paling benar dan absolut. Akun Garis Lucu juga memberi kesan terhadap netizen bahwa berbincang agama tak selalu harus kaku, formil dan

„keras‟.

Isu-isu terbaru yang sempat menjadi gunjingan netizen adalah serah terima antara akun @NUGarislucu dan akun @KatolikG terkait pindah agamanya Deddy Corbuzier. Hal ini terpampang dari cuitan @KatolikG “Hari ini kami serahkan

@corbuzier ke @NUgarislucu untuk selanjutnya silahkan disunat dan diarahkan”.

Kemudian akun @NUGarisLucu membalas cuitan tersebut dengan “Siap, ndan, ajaran-ajaran baik dari sampean tetap kami pertahankan”. Beragam tanggapan positif muncul, salah satunya Asturi (@Astu_SW) yang mencuit, “Damainya negeri ini kalo bisa begini semua”. “Bayangkan, di Indonesia yang beragam agama bisa akur bercanda seperti ini. Tidak membedakan dan selalu mengajarkan kebaikan dalam setiap agama masing-masing, sejuk damai,” respons akun

@bangbengreza.18 Berbalas cuitan antara dua akun tersebut menggambarkan keharmonisan antar agama di medsos. Mereka memberikan contoh pada masyarakat bahwa agama itu bukan hal yang tabu untuk diperdebatkan dan pembahasannya dapat dibuat cair, ringan, dan lucu.

Dari berbagai pemaparan di atas, penelitian ini hanya berfokus pada akun NU Garis Lucu berdasarkan beberapa alasan akademik: Pertama, NU Garis Lucu adalah akun Twitter yang mempelopori lahirnya akun-akun bergenre Garis Lucu.

18 Zubi Mahrofi “Akun Garis Lucu beri oase dalam ketegangan politik”, dalam ataranews.com, diakses pada 09 Desember 2019.

(22)

10

Kedua, akun tersebut merupakan media humoris yang sekilas terkesan „receh‟ dan

menggelikan, namun memiliki peran besar terhadap dialog antar iman serta melunturkan berbagai sentimen berbasis pandangan keagamaan. Ketiga, wacana yang dibangun dalam postingan akun ini dapat mempererat jalinan sosial dan menyatukan orang dengan pandangan yang berbeda. Hal tersebut menunjukkan bahwa peran humor sebagai medium mampu mendekonstruksi pesan-pesan bermuatan konflik menjadi pesan yang memiliki makna lebih kompleks dan beragam di benak pembaca. Akun NU Garis Lucu dapat memunculkan pemahaman-pemahaman baru dalam merespon dan menyikapi isu toleransi yang ada di Indonesia. Wacana ataupun kritik agama jika disampaikan dengan cara yang lucu dan kocak akan menerobos sekat-sekat prasangka dan kecurigaan.

Berdasarkan alasan akademik di atas, penelitian ini terfokus pada wacana toleransi melalui humor pada akun @NUGarisLucu. Untuk itu peneliti mengangkat judul

“Toleransi dalam Teks Humor NU Garis Lucu: Sebuah Analisis Wacana

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penelitian ini mempunyai dua rumusan masalah, di antaranya:

1. Bagaimana fenomena intoleransi di media sosial?

2. Bagaimana wacana toleransi di akun NU Garis Lucu?

(23)

11 C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis intoleransi di Media Sosial dan mengetahui akun NU Garis Lucu dalam membangun wacana toleransi melalui humor di Indonesia. Sedangkan kegunaan dalam penelitian ini dapat dikelompokkan menjadi dua bagian, yaitu sebagai berikut:

a. Secara teoritis

Penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi terhadap perkembangan ilmu pengetahuan pada umunya dan memperkaya literatur-literatur tentang Analisis Wcana Kritis dan teori tentang Humor khususnya.

b. Secara Praktis

Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi masyarakat khususnya para jurnalis, pegiat sosial sehingga dapat menjaga dan memperkuat nilai-nilai toleransi di Indonesia.

D. Tinjauan Pustaka

Penelitian yang berkaitan dengan akun NU Garis Lucu tidak banyak dilakukan meskipun peneliti menemukan beberapa penelitian yang berkaitan dengan tema ini, seperti skripsi yang ditulis oleh Alfi Rohmatul Hidayah yang berjudul “Analisis Dekonstruksi Makna Konflik Melalui Humor Dalam Akun Instagram Nu Garis Lucu”.19 Penelitian ini dilatarbelakangi fenomena hadirnya

19 Alfi Rohmatul Hidayah, “Analisis Analisis Dekonstruksi Makna Konflik Melalui Humor Dalam Akun Instagram Nu Garis Lucu”, Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Surabaya, 2018.

(24)

12

kritik terhadap ormas Islam Nahdhatul Ulama, dan munculnya akun Instagram NU Garis Lucu yang notabene menyampaikan sindiran satire melalui media humor.

Penelitian tersebut mengidentifikasi upaya dekonstruksi makna konflik yang terdapat dalam akun Instagram NU Garis Lucu, bagaimana peran humor, dan meninjau kompleksitas makna yang hadir dan membentuk pemahaman alternatif baru dalam memaknai konflik.

Penelitian tersebut dilakukan untuk menganalisis realitas munculnya NU Garis Lurus yang seakan-akan mengotak-atik paham keagamaan NU yang toleran.

muncul kelompok yang seakan menjadi antitesa dari adanya upaya pelurusan agama yang dianggap menyimpang, yakni NU Garis Lucu. Sejalan dengan hal itu, penelitian tersebut melihat adanya bentuk baru atas salah satu ormas berbasis keagamaan terbesar di Indonesia, yakni Nahdhatul Ulama. Nahdhatul Ulama kini memunculkan bentuk barunya dalam pengemasannya, yakni melalui akun Instagram NU Garis Lucu. Dengan demikian, di dalam postingan akun NU Garis Lucu terdapat dekonstruksi makna konflik yang dimunculkan melalui humor, yakni konflik bukan lagi dipandang sebagai hasil dari pertentangan kelas, ras, dan kelompok lainnya (untuk menarik manfaat tertentu), tetapi lebih merujuk pada ketidakpahaman diri sendiri terhadap apa yang telah terjadi. Humor dalam postingan NU Garis Lucu dipandang sebagai penghancur kebenaran biner yang mendukung proses dekonstruksi agar teks mampu bereproduksi setiap waktu, tempat dan konteks yang terus berubah.

(25)

13

Menurut penelitian yang dilakukan oleh Winaria Lubis, fenomena munculnya akun garis lucu di Twitter mampu memberikan pilihan alternatif untuk melihat realitas dengan sudut pandang menghibur.20 Penelitian ini dilakukan atas dasar refleksinya terhadap medsos, pasalnya sejak pemilu 2014 terkesan serius dan kaku, medsos sebagai jembatan persahabatan telah bergeser menjadi alat kampanye baik berupa kampanye politik, kemasyarakatan bahkan aliran keagamaan. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan pendekatan paradigmatik. Pendekatan ini digunakan untuk mengkaji satuan analisis tindak ujaran atau tindak tutur, dengan itu dapat diketahui maksud fungsi tindak tutur itu diujarkan oleh penuturnya. Karena setiap ujaran yang dituturkan oleh penutur memiliki makna dan maksud tertentu sesuai dengan tujuannya masing-masing. Pendekatan Paradikmatik dari penelitian ini menghasilkan bahwa akun NU Garis Lucu menunjukkan tindak tutur yang terbagi menjadi tiga yaitu tindak lokusi berupa tindak tutur yang bermakna secara umum, kedua ilokusi yaitu tindak tutur yang disertai dengan maksud tertentu dan yang ketiga perlokusi adalah tindak tutur yang mengakibatkan lawan tutur bertindak. Oleh karena itu, NU Garis Lucu dapat menjadi penyeimbang dari munculnya berbagai Tagar dari akun-akun yang menyuarakan kekerasan, berita palsu (hoax), dan permusuhan.

20 Winaria Lubis, “Analisis Tindak Tutur Dalam Akun-Akun Twitter Garis Lucu, sebuah Tinjauan Pragmatik”, Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia, Vol. 04 No. 01, September 2019.

(26)

14

Senada dengan penelitian di atas, terdapat penelitian Sari Hernawanti dalam jurnal Atlantis Press.21 Dalam penelitian tersebut, Sari menguraikan bahwa akun Twitter NU Garis lucu memiliki andil yang besar dalam melakukan deradikalisasi.

Selain karena mudahnya menggunakan platform, akun Twitter NU Garis Lucu juga mampu menghibur generasi muda serta mendapat apresiasi yang besar dari kalangan milenial. Terbukti, penelitian ini menemukan sebanyak 1.828 responden pengguna Twitter, sebanyak 72 persennya mengaku merasa terhibur oleh akun twitter NU Garis Lucu. Selain itu, penelitian ini juga mengungkapkan bahwa

“akun media sosial yang lucu, kemungkinan akan lebih banyak mendapat simpati dari para pengikutnya”.

Selain NU Garis Lucu, peneliti menemukan penelitian yang mengkaji situs mojok.co.22 Situs ini merupakan pelopor situs hiburan yang berani mengkritik berbagai isu politik secraa terbuka dengan bahasa satire melalui teks. Tujuan dari penelitian ini adalah mengkaji bagaimana wacana satire politik tersebut dalam teks-teks artikelnya. Penelitian ini dilakukan karena menurut peneliti dalam situs mojok.co terdapat gaya satire humor yang mampu merespon wacana politik secara efektif, namun satire tersebut dapat menggeser, menghilangkan kemudian membalikkan dan memunculkan wacana politik baru.

21 Sari Hernawati, “Attempts on Deradicalisation of Religious Generation of Millenials Through the Utilization of Institutional Website or Social Media Account” Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), Vol. 140 No. 3, April 2019.

22 Agustina Suminar, “Wacana Satire Politik dalam Situs mojok.co”, Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik Universitas Airlangga, Januari, 2018.

(27)

15

Dengan menggunakan analisis wacana kritis Firclough penelitian ini mengidentifikasi bahwa dalam situs mojok.co tidak terlepas dengan keperpihakan dan sikap. Situs ini berupaya untuk terus konsisten dalam melawan dominasi elite politik. Arah politik situs mojok.co tidak bisa terlepas dengan pengaruh pemilik media yaitu Putut EA. Sebagai seorang berlatar belakang mantan aktivis 1998, Putut EA banyak mempengaruhi banyak hal bagaimana situs mojok.co merespon fenomena politik Indonesia. Meskipun menggunakan pisau analisis yang sama, penelitian Agustina Suminar memfokuskan pada wacana politik. Sementara penelitian ini akan memfokuskan pada wacana toleransi agama.

Nu Garis Lucu memiliki Jargon “sampaikan kebenaran walau lucu”. Jargon tersebut merupakan upaya akun ini untuk melenturkan wacana antara pihak yang saling mengklaim kebenaran (truth klaim). Sebagai akun yang unik untuk diteliti, akun ini tidak mendapat perhatian lebih untuk dikaji lebih kritis dan komprehensif.

Oleh sebab itu, penelitian ini berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya, di mana akun NU Garis Lucu dikaji melalui pendekatan Wacana Kritis dan teori humor pada wacana toleransi di Indonesia.

E. Metode Penelitian

Dalam melakukan penelitian medsos pada akun NU Garis Lucu, peneliti menggunakan metode kualitatif. Jenis penelitian ini berupa literer atau bercorak kepustakaan (library research) dengan metode analisis teks media. Analisis teks media adalah jenis penelitian yang memanfaatkan teknis analisis dan studi

(28)

16

kepustakaan dengan obyek utamanya adalah kajian media. Terdapat beberapa jenis model analisis teks media, di antaranya analisis wacana (discourse analysis), analisis semiotik (semiotic analysis), dan analisis framing/bingkai

(framing analysis).23 Namun metode yang digunakan untuk mengkaji struktur teks dan wacana dalam penelitia ini adalah analisis wacana kritis atau sering disebut Critical Discourse Analysis (CDA/AWK).

Sumber data dari penelitian ini terbagi menjadi dua bagian: pertama, sumber primer penelitian ini diambil dari akun NU Garis lucu dalam berbagai platform medsos. Kedua, peneliti akan mengumpulkan data dari berbagai akun-akun Garis Lucu agama-agama lain yang dapat menunjang penelitian yang berkaitan dengan toleransi di Indonesia. Selain itu, peneliti akan menggunakan hasil penelitian-penelitian terdahulu yang berkaitan dengan toleransi di medsos, berupa jurnal, buku, dan media online yang lain menjadi sumber data sekuder dari penelitian ini.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi. Peneliti akan mengumpulkan beberapa postingan berupa video, gambar, teks dari akun NU Garis Lucu dan akun-akun garis lucu lainnya. Beberapa fakta dan data berkaitan dengan toleransi di Indonesia tersimpan dalam bentuk dokumentasi.

Sifat utama dari data dokumentasi ini tidak terbatas pada ruang dan waktu,

23 Alex Sobur, Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming, (Bandung: Rosda Karya, Cetakan Pertama 2001), hlm. 3.

(29)

17

sehingga memberi peluang kepada peneliti untuk hal-hal yang telah silam.24 Dengan demikian, penelitian ini akan menggunakan dokumen berupa postingan video, gambar dan caption dari akun NU garis Lucu dan akun-akun garis lucu lainnya.

Setelah semua data dikumpulkan, peneliti akan menganalisisnya dengan metode yang diterapkan dalam pendekatan AWK. AWK merupakan salah satu bentuk dari paradigma kritis yang banyak merujuk pada interpretasi atau penafsiran. Dengan penafsiran tersebut peneliti akan mendapatkan pemahaman yang komprehensif, masuk menyelami kedalaman teks dan menyingkap makna yang ada di balik sebuah wacana.25 Dalam paradigma kritis, realitas tidak benar-benar riil, realitas yang muncul merupakan realitas semu yang terbentuk tidak dengan proses alami, melainkan dibentuk oleh proses sejarah, ekonomi, sosial dan politik.

F. Kerangka Teoritik 1. Analisis Wacana Kritis

Analisis wacana (discourse analysis) diperkenalkan oleh Zellig Harris melalui artikel berjudul “Discourse Analysis” yang dimuat pada jurnal Language, No. 28/1952, 1-30. Dalam artikel itu, Harris membicarakan wacana iklan dengan menelaah saling hubungan antara kalimat-kalimat yang

24 Burhan Bungin, Metodologi Penelitian Sosial: Format-format Kuantitatif dan Kualitatif (Surabaya: Airlangga University Press, 2001), hlm. 152

25 Eriyanto, Analisis Wacana Kritis: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 61.

(30)

18

menyusunnya dan kaitan antara teks dengan masyarakat dan budaya.26 Sebagai sebuah pendekatan penelitian, analisis wacana memiliki beberapa metode analisis wacana dan metode-metode tersebut berasal dari teori wacana, bahkan adalah teori sosial. Teori wacana sendiri adalah bidang kajian linguistik, sehingga untuk mendapatkan hasil analisis wacana sebaiknya diperdalam teori wacana yang relevan dengan metode yang digunakan.

Pandangan Halliday27 tentang “bahasa sebagai semiotika sosial” dan

“linguistik sebagai tindakan” memberikan pengaruh yang kuat terhadap beberapa karya tokoh linguistik kritis seperti Fowler dan terhadap tokoh analisis wacana kritis seperti Firclough dan Van Dijk.28 Bahasa memiliki dimensi semiotika sosial, Halliday mempercayai bahwa bahasa adalah sistem tanda yang dikembangkan untuk mengekspresikan makna sosial. Interpretasi terhadap Bahasa tergantung seberapa luas pengetahuan pembaca terhadap konteks sosial yang melekat pada bahasa tersebut. Bahasa juga berfungsi menyediakan sarana bagi seseorang untuk mengendalikan tindakan dan lingkungannya, proses pengendalian itu disebut proyeksi konseptual. Proyeksi

26 Paulus Ari Subagyo, “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik Dengan Analisis Wacana Kritis”, Jurnal Linguistik Indonesia Tahun ke-28, No. 2, Agustus 2010, hlm. 177.

27 Halliday merupakan nama besar dalam bidang linguistik, khususnya para tokoh yang berpandangan bahwa Bahasa adalah fenomena sosial. Jumlah karya Halliday mencapai 100 publikasi ketika didaftar pada tahun 1989 oleh Hasan & Martin. Lihat Anang Santoso “Jejak Halliday Dalam Linguistik Kritis Dan Analisis Wacana Kritis” Bahasa Dan Seni, Tahun 36, Nomor 1, Februari 2008.

28 Karya dalam linguistik kritis dan analisis wacana kritis banyak terinspirasi oleh karya-karya Halliday. Dalam karyanya “Language and Power” dan “Critical Discourse Analysis: The Critical Study of Language” Firclough menyebut bahwa teorinya adalah gabungan dari linguistik fungsional- sistemik Halliday, Linguistik Fowler dan teori sosial Faucault.

(31)

19

konseptual adalah penyediaan sarana bagi seseorang untuk berinteraksi dan membangun relasi sosial dengan orang lain.

Sedangkan Gillian Brown dan George Yule berpendapat bahwa analisis wacana adalah analisis atas bahasa yang digunakan. Analisis wacana mengkaji tujuan bahasa digunakan. Di dalam analisisnya, kedua ahli tersebut memfokuskan pada dua fungsi utama: Pertama, fungsi transaksional, yaitu fungsi bahasa untuk mengungkapkan isi. Kedua, fungsi interaksional, yaitu fungsi bahasa yang terlibat dalam pengungkapan sikap individu dan interaksi sosial.29

Wacana merupakan proses pengembangan komunikasi yang menggunakan simbol-simbol dan peristiwa-peristiwa di dalam sistem kemasyarakatan yang luas. Melalui wacana, segala hal yang ingin disampaikan kepada khalayak, contohnya berupa kata, tulisan, gambar, dan yang lainnya, bisa ditentukan oleh manusia yang menggunakannya.30 Definisi wacana menurut Norman Fairclough dan Ruth Wodak mengatakan bahwa wacana adalah pemakaian bahasa yang tampak praktik sosial; sedangkan analisis wacana adalah mengenai bagaimana teks bekerja/berfungsi dalam praktik sosial-budaya. analisis wacana yang melibatkan fenomena sosial dalam pemakaian bahasa ini dikenal dengan sebutan analisis wacana kritis (critical discourse analysis). Dalam hal ini,

29 Brown, G. dan G. Yule, Discourse Analysis, (Cambridge: University Press, 1983), hlm. 1-2

30 Irpan Maulana, “Struktur Wacana Rubrik Bale Bandung Dalam Majalah Mangle: Analisis Wacana Kritis Model Teun A. van Dijk”, Jurnal Lokabasa, Vol. 4, No. 2, Oktober 2013, hlm. 137

(32)

20

Fairclough memandang wacana sebagai interaksi sosial yang terungkap melalui pemakaian bahasa.31

Jika Brown dan Yule membatasi fungsi analisis wacana hanya terbatas pada pengungkapan isi dan hubungan individu di dalam interaksi sosialnya, namun Firclough dan Wodak dengan analisis wacana kritis mengartikan bahwa wacana tidak hanya dipahami sebagai studi bahasa. Bahasa dianalisis tidak hanya dengan menggambarkan aspek kebahasaan, tetapi juga dengan menghubungkannya dengan konteks. Konteks berarti bahasa dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu.32

Wacana sebagai praksis sosial mengarahkan fokusnya untuk menganalisis institusi, organisasi, relasi kelompok, struktur, proses sosial-politik untuk dipelajari pada tingkat wacana, komunikasi dan interaksi. Menurut Firclough, Analisis Wacana Kritis harus memperhatikan tiga dimensi, yaitu sebagai berikut: Pertama, dimensi teks (micro level), yaitu semua yang mengacu ke wicara, tulisan, gambar dan kombinasi diantaranya, atau semua bentuk linguistik teks (khasanah kata, gramatika, sintaksi, metafora atau retorika).

Dalam dimensi ini, peneliti menganalisis teks dengan fokus dan cermat untuk memperoleh data yang mampu menggambarkan representasi teks. Secara detail, aspek yang dianalisis merupakan garis besar dari isi teks, lokasi, sikap, tindakan tokoh dan sebagainya.

31 Norman Firclough, Media Discourse (New York: Edward Arnold, 1995), hlm. 28-32

32 Yoce Aliah Darma, Analisis Wacana Kritis, (Bandung: Yrama Widya, 2009) hlm. 173

(33)

21

Kedua, dimensi praktik diskursif (meso level), yaitu semua bentuk produksi

dan konsumsi teks. Dalam analisis ini, penafsiran dilakukan terhadap pemrosesan wacana yang meliputi aspek penghasilan, penyebaran, dan penggunaan teks. Beberapa dari aspek wacana memiliki karakter yang lebih institusional. Berkenaan dengan proses institusional ini, editor memiliki pengaruh yang besar dalam menghasilkan teks-teks media. Dalam proses ini sudah terdapat proses penghubungan antara produksi dan konsumsi atau terdapat ruang interpretasi terhadap hal yang diproduksi. Ketiga, praksis sosial (macro level), dalam dimensi ini biasanya sudah masuk pemahaman intertekstual dimana teks mampu dibentuk dan oleh membentuk praksis sosiokultural.33 Dimensi ini didasarkan pada pendapat bahwa konteks sosial yang ada di luar media sesungguhnya memenuhi bagaimana wacana yang ada di dalam media. Ruang redaksi atau wartawan bukanlah bidang atau ruang kosong yang steril, tetapi juga sangat ditentukan oleh faktor-faktor di luar media itu sendiri.34 Fairclough menyatakan bahwa praktik sosial memiliki berbagai orientasi, seperti orientasi ekonomi, politik, sosial, budaya, ideologi dan sebagainya dan wacana adalah gambaran dari berbagai orientasi tersebut.35 Dapat disimpulkan bahwa analisis dimensi praktik sosial merujuk pada usaha

33 Haryatmoko Critical Discourse Analysis: Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, (Depok: Rajawali Press, 2019) hal, 23-24.

34 Andi Indah Yulianti “Penggunaan Bahasa Pada Akun Instagram Lambe Turah: Analisis Wacana Kritis”, Telaga Bahasa, Volume 6 No. 1 Juni 2018, hlm. 373-374.

35 Norman Firclough, Introduction: Critical Language Awareness, (New York: Longman 1992) hlm. 67

(34)

22

menjelaskan persoalan yang berkaitan dengan nilai, kepercayaan, ideologi, filosofi, budaya yang terdapat dalam wacana.

Hakikat praktik wacana dari produksi teks mempertajam teks, dan hakikat interpretasi menentukan bagaimana bentuk-bentuk teks akan ditafsirkan. Jadi praksis sosial sebagai semiosis mau menggambarkan sesuatu dalam representasi. Aktor sosial juga memproduksi representasi dari praktik sosial lain. Aktor sosial itu kemudian menempatkan kembali ke suatu konteks praktik lain untuk diintegrasikan ke dalam praktik sosialnya. Jadi representasi merupakan proses konstruksi praksis sosial.36

Dalam studi analisis wacana kritis, bahasa digunakan sebagai media yang dipakai untuk tujuan dan praktik tertentu termasuk praktik ideologi dan membongkar secara kritis situasi sosial-budaya yang melingkupi wacana tersebut. Firclough berpendapat bahwa wacana kritis mengacu pada penggunaan bahasa yang menyebabkan kelompok sosial tertentu melakukan

“pertarungan” ideologinya masing-masing. Konsep ini berasumsi bahwa wacana dapat memproduksi kesenjangan antar kelas sosial, laki-laki dan wanita, kelompok mayoritas dan minoritas yang keadaan itu direpresentasikan dalam praktik-praktik sosial. Oleh karena itu, model pendekatan analisis

36 Haryatmoko, Critical Discourse Analysis: Landasan Teori, Metodologi dan Penerapan, (Depok: Rajawali Press, 2019) hlm. 25.

Norman Firclough Media Discourse (New York: Edward Arnold, 1995) hlm. 57-62

(35)

23

wacana Firclough ini sering disebut sebagai model perubahan sosial (social change).37

2. Humor

Humor merupakan bagian dari sarana berkomunikasi, seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, atau simpati. Menurut Sujoko, humor memiliki beberapa fungsi:38 (1) melaksanakan segala keinginan dan segala tujuan gagasan atau pesan; (2) menyadarkan orang bahwa dirinya tidak selalu benar; (3) mengajar orang melihat persoalan dari berbagai sudut;

(4) menghibur; (5) melancarkan pikiran; (6) membuat orang mentoleransi sesuatu; (7) membuat orang memahami soal pelik.

Humor termasuk salah satu sarana komunikasi, seperti menyampaikan informasi, menyatakan rasa senang, marah, jengkel, atau simpati. Di samping fungsi untuk mengubah situasi emosional seseorang, humor juga memiliki fungsi sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial.39 Sebagai sarana pendidikan, humor digunakan oleh masyarakat sebagai alat untuk meningkatkan pengetahuan dan wawasan. Sebagai sarana kritik sosial, humor merupakan alat kritik yang ampuh karena yang dikritik tidak merasakannya sebagai suatu konfrontasi. Mindess berpendapat bahwa fungsi humor yang paling penting adalah kekuatannya untuk membebaskan diri dari banyak rintangan dan

37 Eriyanto, Analisis Wacana Kritis: Pengantar Analisis Teks Media (Yogyakarta: LKiS, 2015), hlm. 285

38 Didik Rahmanadji, Sejarah, Teori, Jenis, Dan Fungsi Humor, Bahasa Dan Seni, Tahun 35, No. 2, Agustus 2007, hlm. 218.

39 I Dewa Putu Wijana, “Pemanfaatan Homonimi di dalam Humor”, Jurnal Humaniora, No. 1, Tahun 1994, hlm. 21.

(36)

24

pembatasan dalam kehidupan sehari-hari. Humor dapat melepas individu dari berbagai tuntutan yang dialami dan dapat membebaskannya dari perasaan inferioritas.40

Secara informal, humor juga sudah menjadi bagian dari kesenian rakyat Indonesia, seperti ludruk, ketoprak, lenong, wayang kulit, wayang golek, dan sebagainya. Unsur humor di dalam kelompok kesenian menjadi unsur penunjang, bahkan menjadi unsur penentu daya tarik. Humor yang dalam istilah lainnya sering disebut dengan lawak, dagelan, dan sebagainya. Humor kemudian menjadi lebih terlembaga setelah Indonesia merdeka, seperti munculnya grup-grup lawak Atmonadi Cs, Kwartet Jaya, Loka Ria, Srimulat, Warkop DKI, dan lain-lain. Di era medsos berbagai jenis humor terus berkembang di masyarakat, misalnya humor yang ditampilkan dalam bentuk tulisan, gambar dan gerakan.

Teori humor jumlahnya sangat banyak, tidak satu pun yang persis sama dengan yang lainnya, tidak satu pun juga yang bisa mendeskripsikan humor secara menyeluruh, dan semua cenderung saling terpengaruh.41 Salah satu teori humor adalah teori ketidakselarasan, atau bisosiasi. Teori ketidakselarasan merujuk pada penjelasan kognitif, yaitu menyangkut penggabungan dua makna tuturan atau dua interpretasi yang tidak sama, digabungkan dalam satu makna gabungan yang kompleks, kemudian masuk ke dalam satu peta kognitif.

40 Rahmawati, Bangun Yoga Wibowo, (dkk.), “Pengaruh Stimulasi Humor Audio Visual Terhadap Burnout Study”, Jurnal Penelitian Bimbingan dan Konseling, Vol 2, No. 2, 2017, hlm. 130.

41 Arwah Setiawan Teori Humor,(Jakarta: Majalah Astaga, 1990) Thlm. 3 No. 3, hlm. 34-35.

(37)

25

Dengan kata lain, dalam benak lawan tutur secara sekaligus masuk dua makna yang berlawanan tetapi mengacu pada satu hal yang sama. Kondisi ketidakselarasan itu tidak umum dan aneh, sehingga menimbulkan kelucuan dan terciptalah humor. Ketidakselarasan itu harus dikuasai/ dipahami dalam pengetahuan bersama penutur sehingga komunikasi tetap nyambung.

Danandjaja mengemukakan bahwa tertawa akibat humor karena antar penuturnya paham dengan konteksnya. Akan tetapi, ada lima faktor yang menghambat kelucuan dalam humor, yaitu (1) masalah bahasa yang kurang dimengerti oleh pendengarnya (lawan tutur),(2) pembawanya (petutur kurang pandai dalam menyampaikannya, (3) pendengarnya (lawan tutur) tidak mengetahui konteks dari humor tersebut, (4) apabila ada resepsi secara psikologis yang kuat dari pihak pendengarnya, dan (5) pada umumnya harus disajikan dalam keadaan segar, tidak untuk dua kali apalagi untuk ketiga kali bagi pendengar yang sama.42

Claire dalam Astuti berpendapat bahwa humor dapat membuat kelucuan apabila mengandung satu atau lebih dari empat unsur, yaitu (1) ada kejutan, (2) mengakibatkan rasa malu, (3) ketidakmasukakalan, (4) membesar-besarkan masalah. Keempat unsur itu dapat terlaksana melalui rangsangan verbal berupa

42 James Danandjaja, Humor Mahasiswa, (Jakarta: Pustaka Sinar harapan, 2002) hlm.32-34

(38)

26

kata-kata atau satuan-satuan bahasa yang sengaja dikreasi sedemikian rupa oleh penuturnya.43

Teori analisis wacana kritis Firclough akan digunakan untuk membongkar wacana, ideologi dalam akun NU Garis Lucu. Analisis wacana kritis juga akan digunakan menganalisis bagaimana admin mengkonstruksi makna-makna agama yang terdapat dalam postingan akun ini. Konstruksi mengandalkan peran penting bahasa, dan interaksi sosial dibangun dalam kerangka versi bahasa tertentu, selanjutnya versi bahasa tersebut dapat mengkonstruksi realitas sosial.

Penggunaan bahasa di akun NU Garis Lucu ini erat kaitannya dengan humor. Kekhasan dalam merespon realitas agama yang cenderung kaku dan formil dapat diolah dengan senda gurau tanpa menghilangkan substansi dari agama itu. Oleh karenanya membutuhkan spesifikasi khusus dalam menggunakan humor di postingannya. Teori yang digunakan oleh peneliti dalam menganalisis humor tersebut menggunakan teori abisosiasi yang beranggapan bahwa tertawa terjadi dengan tiba-tiba karena menyadari terdapat ketidaksesuaian antara konsep dengan realita yang sebenarnya. Humor timbul karena menemukan hal-hal yang tidak diduga.

G. Sistematika Pembahasan

Penelitian ini disusun secara sistematis yang terdiri dari beberapa bab, yaitu sebagai berikut:

43 Wiwik Dwi Astuti, Wacana Humor Tertulis Kajian Tindak Tutur, (Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, 2006) hlm. 10

(39)

27

Bab I Pendahuluan. Bab ini menjelaskan unsur-unsur penelitian, yakni berupa latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan dan kegunaan penelitian, tinjauan pustaka, kerangka teoritik, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. Kemudian berkaitan dengan gambaran umum akun NU Garis Lucu akan dijelaskan pada bab berikutnya.

Bab II Pada bab ini berisi Gambaran Umum tentang Akun Nu Garis Lucu.

Gambaran tersebut meliputi Sejarah, pembentukan nama, Afiliasi, Tokoh, Ideologi dan platform yang digunakan NU Garis Lucu. Kemudian pada bab ini pula peneliti akan mengulas berbagai akun-akun garis lucu lain yang muncul akibat dari Wacana Humor yang digunakan NU Garis Lucu di Media sosial.

Bab III Pada bab ini akan dijelaskan tentang beragam feomena intoleransi di media sosial. Pada bab ini akan diurai berbagai postingan yang mengandung usur intoleransi. Bukan hanya postingan, tapi berbagai macam komentar dan ulasan tentang postingan tersebut. Pada bab ini juga dijelaskan tentang respon NU Garis Lucu atas wacana intoleransi yang berkembang di media sosial.

Bab IV Pada bab ini peneliti menjelaskan tentang analisis konten NU Garis Lucu. Analisis konten tersebut akan menggunakan analisis wacana kritis untuk mengungkapkan representasi ideologis dari setiap postingan yang digunakan dalam merespon isu yang mengandung unsur intoleransi. Selain itu juga, pembahasan dalam bab mengurai beberapa sindiran atau gaya satire sebagai upaya untuk menjaga kerukunan di Indonesia.

(40)

28

Bab V merupakan bagian penutup dalam skripsi ini, dimana peneliti akan memberikan kesimpulan penelitian, serta saran tema penelitian, tujuannya agar supaya dapat dijadikan bahan pertimbangan untuk penelitian selanjutnya.

(41)

100 BAB V Penutup A. Kesimpulan

Diskursus toleransi yang dibangun teks-teks NU Garis Lucu merupakan bentuk pergulatan diskursif untuk mengcounter isu dan wacana intoleran di media sosial. Analisis wacana ditinjau dari tiga konsepsi Fairclough yang terdiri atas teks-diskursif-sosial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gagasan toleransi yang dikonstruksi dan diwacanakan oleh NU Garis Lucu tidak hanya bermaksud sebagai counter-wacana kasus-kasus intoleran di arena media sosial, melampaui itu, struktur wacananya merepresentasikan ideologi dan menunjukkan identitas Islam yang moderat.

Media sosial sebagai ruang diskursif dan ruang sosial baru mengkonstruksi dan memproduksi nilai-nilai toleransi, pluralitas, dan multikultur. Artinya, dalam koherensi lokal (local coherence), NU Garis Lucu mengkonstruksi nilai toleransi dalam konteks moderasi beragama. Sementara, dalam tataran global (global coherence), toleransi yang diwacanakan bersifat generik, mengacu pada konteks

ke-Indonesia-an yang memiliki masyarakat multikultu; Isu toleransi ditujukan untuk membangun sikap pluralitas dan sifat penghargaan manusia terhadap manusia lainnya, tanpa membedakan ras, suku, agama, latar belakang, dan identitas-identitas lainnya. Dengan demikian diskursus toleransi NU Garis Lucu dapat disimpulkan, yaitu:

1. Dalam wilayah teks, bentuk jalinan dari harmonisasi kehidupan beragama terrepresentasikan dalam teks-teks quotes yang dibangun oleh NU Garis

(42)

101

Lucu di media sosialnya. Teks jenis „quotes‟ di sini diupayakan meredamkan berbagai teks-teks dari islam-islam radikal yang berusaha menyebarkan hatespeech untuk membelah persatuan bangsa. Bentuk-bentuk bahasa informal dan konten media sosial yang bernuansa humor merupakan strategi NU Garis Lucu untuk menyatirkan, memparodikan, dan menebarkan „islam yang rahmah‟ atau dengan kata lain dapat disebut sebagai bentuk „islam toleran‟. Sebagai konstruksi nilai, toleransi berkembang menjadi diskursus yang mewarnai konstelasi sosial-keagamaan tanah air, memunculkan dikotomi dan standar tentang toleran dan inteoleran, dan hal-hal yang dianggap toleran dengan tidak.

2. Praktik diskursif NU Garis Lucu menunjukkan proses bagaimana teks dikonsumsi (diterima) oleh masyarakat pembaca. Penerimaan tersebut dapat dikategorikan berdasarkan tiga jenis masyarakat yang melingkupi teks.

Pertama, penerimaan masyarakat pembaca yang pro-terhadap narasi toleransi. Kedua, penerimaan masyarakat pembaca terhadap narasi-narasi toleransi yang dibangun NU Garis Lucu. Ketiga, relasi-relasi yang membangun dan mengukuhkan narasi toleransi NU Garis Lucu.

3. Sebagai praktik sosial, wacana toleransi NU Garis Lucu memberikan determinasi dan efek yang dapat memapankan ataupun mengubah ketegangan di media sosial.

(43)

102 B. Saran

Penelitian ini masih memiliki banyak kekurangan, tentunya untuk peneliti selanjutnya dapat merevisi, menambahkan bahkan mengkritik apa yang tidak menjadi bahasan dalam penelitian ini. Di sisi lain, saran bagi pengguna media sosial seyogyanya bijak dalam menggunakan media sosial. Pengguna juga dapat memberikan pesan damai kepada khalayak luas agar media sosial lebih teduh, nyaman, dan tidak ada yang tersinggung demi persatuan bangsa Indonesia

(44)

103 Daftar Pustaka Buku:

Abdullah, M. Pluralisme Agama dan Kerukunan dalam Keagamaan. Jakarta:

Kompas, 2001.

Adib, Mohammad. Filsafat Ilmu: Ontologi, Epistemologi, Aksiologi, dan Logika Ilmu Pengetahuan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2011.

Astuti, Wiwik Dwi. Wacana Humor Tertulis Kajian TIndak Tutur. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidika Nasional. 2006.

Azra, Azyumardi. Merawat Kemajemukan Merawat Indonesia. Yogyakarta:

Kanisius. 2007.

Bahari, Toleransi Beragama Mahasiswa (Studi tentang Pengaruh Kepribadian, Keterlibatan Organisasi, Hasil Belajar Pendidikan Agama, dan Lingkungan Pendidikan terhadap Toleransi Mahasiswa Berbeda Agama pada 7 Perguruan TInggi Umum Negeri), Laporan Penelitian, Jakarta: Badang Litbang dan Diklat Kementerian Agama 2010.

Brown, G. dan G. Yule. Discourse Analysis. Cambridge: University Press. 1983 Bruinessen, Martin Van. Conservative Turn: Islam Indonesia dalam Ancaman

Fundamentalisme. Bandung: Mizan. 2014.

Bungin, Burhan. Metodologi Penelitian Sosial: Fromat-format Kuantitatif dan Kualitatif. Surabaya: Airlangga University Press. 2001.

Danandjaja, James. Humor Mahasiswa. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. 2002.

Dara, Yoce Aliah. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. 2009.

Eriyanto. Analisis Wacana Kritis: Pengantar Analisis Teks Media. Yogyakarta:

LKiS. 2015.

Faiza, Arum, dkk. Arus Metamorfosa Milenial. Kendal: Penerbit Ernest. 2018.

Firclough, Norman. Media Discourse. New York: Edward Arnold. 1995.

Foucault, Michel. Seks dan Kekuasaan, S.H. Rahayu (terj). Jakarta: Gramedia.

Geertz, Clifford. Agama Jawa. Jakarta: Komunitas Bambu, 2013.

(45)

104

Hamad, Ibnu. Konstruksi Realitas Politik dalam Media Massa: Sebuah Studi Critical Discourse Analysis terhadap Berita-Berita Politik. Jakarta: Granit, 2004.

Haryatmoko. Critical Discourse Analysis: Landasan Teori Metodologi dan Penerapan. Depok: Rajawali Press. 2019.

Hoover, Stewart M. Religion in the Media Age. London: Routledge, 2010.

Hurlcok, Psikologi Perkembangan: Suatu Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan. Jakarta: Erlangga, 1999.

Louise Philips & Marianne Jorgensen, Discourse Analysis as Theory and Method.

Los Angeles: Sage, 2002.

M.C Ricklef, M.C. Mengislamkan Jawa. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2012.

Makin, Al. Nabi-Nabi Nusantara: Kisah Lia Eden dan Lainnya. Yogyakarta:

Suka Press, 2017.

Muzadi, Abdul Muchith. NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran (Refleksi 65 Th. Ikut Nu).Surabaya: Khalista, 2007.

Praiser, Eli. The Filter Bubble: What the Internet is Hiding From You. USA: The Penguin Press, 2011.

Proctor, James D. Science, Religion, and The Human Experience. New York:

Oxford University Press, 2005.

Rainer, Forst. Tolerance in Conflict: Past and Present. Cambridge: Cambridge University Press, 2013.

Rosyid, M. Agama Baha’i. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2015.

Sahide, Ahmad. Ketegangan Politik Syiah-Sunni di Timur Tengah,. Yogyakarta:

The Phinisi Press, 2013.

Said, Edward W. The World, The Text and The Critic. Cambridge, Massachusests:

Harvard University Press, 1983.

(46)

105

Sally White & Greg Fealy (Ed), Ustadz Seleb, Bisnis Moral & Fatwa Online:

Ragam Ekspresi Islam Indonesia Kontemporer. Jakarta: Komunitas Bambu, 2012.

Sobur, Alex. 2001. Analisis Teks Media: Suatu Pengantar Analisis Wacana, Analisis Semiotik, dan Analisis Framming. Bandung: Rosda Karya

Syihab, Habib Rizieq. Hancurkan Liberalisme dan Tegakkan Syariat Islam.

Jakarta: Suara Islam Press, 2012.

Thompson, John B. Studies in the Theory of Ideology. California: University of California Press, 1984.

Wach, Joachim. The Comparative Study of Religion. New York: Colombia University Press, 1958.

Wahid, Abdurrahman. (Ed), Ilusi Negara Islam: Ekspansi Gerakan Islam Transnasional di Indonesia. Jakarta: Wahid Institute & Maarif Institute, 2009.

Jurnal:

Arwah, Setiawan. “Teori Humor” Th. 3 No. 3 Jakarta: Majalah Astaga. 1990.

Bakar, Abu. “Konsep Toleransi dan Kebebasan Beragama” Jurnal TOLERANSI:

Media Komunikasi Umat Beragama Vol. 7 No. 2 Edisi Juli-Desember 2015 Cahyono, Anang Sugeng. “Pengaruh Media Sosial terhadap Perubahan Sosial

Masyarakat di Indonesia” dalam Jurnal Publiciana. 2016.

Carsam, “Membangun Sikap Toleransi Beragama dalam Masyarakat Plural”, Wawasan: Jurnal Ilmiah Agama dan Sosial Budaya Vol. 1, No. 2.Juli 2016.

Fairclough, Norman. “Language and Power” dalam Language in Social Life Series oleh Christopher N. Candlin (Ed). New York: Longman Inc, 1996.

Harianto, Puji. “Radikalisme Islam dalam Media Sosial (Konteks Channel Youtube)”, Jurnal Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol. 12, No. 2, 2018.

Herlina, Lina. “Disintegrasi Sosial dalam Konten Media Sosial Facebook”, TEMALI: Jurnal Pembangunan Sosial, Vol. 1 No, 2, 2018,

Hernawati, Sari. “Attempts on Deradicalisation of Religiious Generation of Millenials through the Utilization of Institutional Website or Social Media

(47)

106

Account” dalam Jurnal Advances in Social Science, Education and Humanities Research (ASSEHR), Vol. 140 No. 3 Edisi April 2019

Hidayah, Alfi Rohmatul. “Analisis Dekonstruksi Makna Konflik Melalui Humor dalam Akun Instagram NU Garis Lucu”, Skripsi. Surabaya: Universitas Airlangga, 2017.

Humaidi, M. Ali. “Kerusuhan Sampang: Kontestasi Aliran Keagamaan dalam Wajah Kebudayaan Madura”, Jurnal Harmoni, Vol. 13, No. 2, 2014.

Iqbal, Asep M. “Internet, Identity and Islamic Movements: The Case of Salafism in Indonesia”, Islamika Indonesiana, Vol. 1, No. 1 2014

Istiningtyas, Listya. “Humor dalam Kajian Psikologi Islam” dalam Jurnal Ilmu Agama UIN Raden Fatah. 2014.

KT Darmaningrum & A Hidayatullah , “Inklusifitas Dakwah Akun

@NUgarislucu Di Media Sosial”, Jurnal Islamic Communication Journal Vol, 4, No. 2, 2019.

Lay, Cornelis. “Kekerasan Atas Nama Agama: Perspektif Politik”, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Vol. 13, No, 1, 2009.

Lubis, Winaria. “Analisis Tindak Tutur dalam Akun-akun Twitter Garis Lucu Sebuah Tinjauan Pragmatik” dalam Jurnal Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Vol. 04 No. 01 Edisi Spetember 2019

Maulana, Irpan. “Struktur Wacana Rubrik Bale Bandung dalam Majalah Mangle:

Analisis Wacana Kritis Model Teun A. van Dijk” dalam Jurnal Lokabasa Vol. 4 No. 2 Edisi Oktober 2013

Munfarida, Elya. “Analisis Wacana Kritis dalam Perspektif Norman Fairclough”, Jurnal Komunika, Vol. 8 No.1 1, Januari-Juni 2014.

Qodir, Zuly. “Kaum Muda, Intoleransi, dan Radikalisme Agama”, Jurnal Studi Pemuda, Vol. 5, No. 1, 2016.

Rahmanadji, Didik. 2007. “Sejarah, Teori, Jenis, dan Fungsi Humor” dalam Jurnal Bahasa dan Seni Th. 35 No. 2 Edisi Agustus 2007

(48)

107

Rahmawati, Bangun Yoga Wibowo, dkk. 2017. “Pengaruh Stimulasi Humor Audio Visual terhadap Burnout Study” dalam Jurnal Penelitian Bimbingan dan Konseling Vol. 2 No. 2

Rais, Nurlaila Suci Rahayu, dkk. 2018. “Kemajuan Teknologi Informasi Berdampak pada Generalisasi Unsur Sosial Budaya bagi Generasi Milenial” dalam Jurnal Mozaik Vol. X, Edisi 2 Desember 2018

Roshwald, Mordecai. “Tolerantion, Pluraism, and Truth”, Diogenes 219

Setyabudi, M Nur Prabowo. “Toleransi: dari Pengalaman Sejarah Menuju Konstruksi Teoretis”, Waskita: Jurnal Pendidikan Nilai dan Pembangunan Karakter, Vol. 2 No. 1. 2018.

Simangunsong, Benedictus A. “Interaksi Antar Manusia Melalui Media Sosial Facebook Mengenai Topik Keagamaan” dalam Jurnal ASPIKOM Vol. 3 No. 1 Edisi Juli 2016.

SM, M Mujibuddin “Konstruksi Media dalam Gerakan Islam Populis 212”, Jurnal Sosiologi Agama dan Perubahan Sosial, Vol. 12, No. 2, 2018.

Subagyo, Paulus Ari. “Pragmatik Kritis: Paduan Pragmatik dengan Analisis Wacana Kritis” dalam Jurnal Linguistik Indonesia Tahun Ke-28 No. 2 Edisi Agustus 2010

Suminar, Agustina. 2018. “Wacana Satire Politik dalam Sutus mojok.co” dalam Skripsi Jurusan Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

Surabaya: Universitas Airlangga

Tavernier, Johan de.”Incridible Forgiveness. Christian Ethics Between Fanaticism and Reconciliation” dalam Tolerance, Pluralism, and Truth, D. Pollefyt (Ed). Peeters: Leuven, 2004.

Wahid, Din. “Kembalinya Konservatisme Islam Indonesia” dalam Jurnal Studia Islamika Vol. 21 No. 2. 2014.

Wijana, I Dewa Putu. “Pemanfaatan Homonimi di dalam Humor” dalam Jurnal Humaniora No. 1. 1994.

Yulianti, Andi Indah. “Penggunaan Bahasa pada Akun Instagram Lambe Turah:

Analisis Wacana Kritis” dalam Jurnal Telaga Bahasa Vol. 6 No. 1 Edisi Juni 2018

(49)

108 Media Online:

Asad, Muhammad. “Akun Garis Lucu dan Dialog Antaragama”, diakses pada 06 November 2020.

Asad, Muhammad. “Akun Garis Lucu dan Dialog Antaragama” dalam alif.id, diakses pada 09 Desember 2019.

Azra, Azyumardi. “Konservativisme Agama (1)” dalam republika.co.id, diakses pada 09 Desember 2019.

Gadi, Pical. “Tertawa Bersama Akun-akun Garis Lucu di Twitter” dalam kompasiana.com, diakses pada 09 Desember 2019.

Gerintya, Scholastica. “Benarkah Intoleransi Antar-Umat Beragama Meningkat?”, dalam tirto.id, diakses pada 09 Desember 2019.

Haryanto, Agus Tri. “Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia”, dalam detik.com, diakses pada 14 Oktober 2020.

Jemadu, Liberti. “Akun-akun Garis Lucu Jadi Oase di Kasarnya Politik dalam Media Sosial”, dalam suara.com, diakses pada 09 Desember 2019

Khoiri, M. Alim. “Meluruskan NU Garis Lurus”, dalam nu.or.id, diakses pada 05 November 2020.

Mahrofi, Zubi. “Akun Garis Lucu beri oase dalam ketegangan politik, dalam ataranews.com, diakses pada 09 Desember 2019.

Saroh, Mutaya. Survei: Pesan Intoleransi Bertebaran di Media Sosial”, dalam tirto.id, diakses pada 15 November 2020.

Sutan. “NU Garis Lucu, Toleransi Dikemas Humor Ringan”, dalam tebuireng.online diakses pada 10 November 2020.

Tuasikal. Dita. “Kearifan Lokal Generasi Muda Di Era Milenial”, dalam geotimes.co.id, diakses pada 07 Juli 2019.

Referensi

Dokumen terkait

Pratama (2011) Yuristisia (2009) Pengaruh Sistem Akuntansi, Desentalisasi dan Ketidakpastian Lingkungan Terhadap Kinerja Manajerial Pada Bank Syariah di Manado

Pelasanaan menayakan kapan anak lahir, apakah sesuia HPL atau premature.Hitung usia anak, Jelaskan tentang tujuan dari pemeriksaan ini , bahwa DDST II buykan lah IQ test dan

Sistem  Pertahanan dan  Keamanan Negara Republik  Indonesia /tayangan vidio/film  dengan penuh rasa  syukur dan atau   melakukan kajian 

Dari hasil wawancara diatas, diperoleh data bahwa pernikahan poliandri memberikan dampak yaitu pelaku cenderung menutupi perkawinannya yang kedua, hubungan

kemampuan konsentrasi anak usia prasekolah setelah perlakuan pemberian stimulasi motorik halus, tidak ada responden yang mempunyai daya konsentrasi di bawah rata-rata,

Sesuai dengan hasil konferensi cabang tanggal 22-23 juli 2006, yang diantaranya yaitu mengesahkan pokok-pokok program kerja NU Kota Semarang periode 2006-2011, maka

3.1 “PECEBOOKss” Sebagai Solusi Penyulingan Minyak Daun Cengkeh yang Efektif “PECEBOOKss” merupakan suatu Inovasi mesin penyulingan cengkeh berkondensor dan menggunakan bahan

4) BONUS yang bisa diakses melalui menu Bonus, merupakan bonus materi yang kami berikan pada Anda untuk melengkapi pembelajaran Anda seperti CD Joe’s Practical Tips Series dan Q