4 2.1 Tinjauan Pustaka
2.1.1 Nyeri
Nyeri adalah pengalaman emosional dan sensori yang tidak nyaman yang timbul dari kejadian atau potensi kerusakan jaringan. Persepsi nyeri berbeda-beda tiap pasien, tetapi yang terpenting adalah mengobati nyeri tersebut berdasarkan deskripsi pasien mengenai nyeri yang dialaminya masing-masing. Manajemen nyeri dilakukan berdasar pada penilaian pasien yang mencakup lokasi serta intensitas nyeri (Watkins, 2013).
Berdasarkan waktu, nyeri diklasifikasikan menjadi dua, yaitu:
a. Nyeri akut adalah nyeri yang berkaitan dengan trauma atau penyakit dan biasanya memiliki lokasi, ciri-ciri, dan waktu yang jelas. Nyeri akut disertai dengan gejala hiperaktivitas autonomik seperti takikardia, hipertensi, berkeringat, dan midriasis.
b. Nyeri kronis adalah nyeri yang biasanya dipandang sebagai nyeri yang bertahan selama lebih dari beberapa bulan. Nyeri kronis tidak berkaitan dengan trauma atau penyakit atau dapat bertahan setelah cedera awal sembuh. Nyeri kronis memiliki lokasi, ciri-ciri, dan waktu yang lebih tidak jelas dibandingkan dengan nyeri akut (Sweetman, 2009).
Secara fisiologis, nyeri dikelompokkan kembali menjadi dua, yaitu:
a. Nyeri nosiseptif adalah nyeri yang timbul setelah aktivasi nosiseptor oleh stimulus berbahaya tetapi tidak berkaitan dengan cedera terhadap saraf perifer atau sistem saraf pusat. Nyeri nosiseptif dapat berupa nyeri somatik atau viseral, tergantung pada reseptor atau saraf yang terlibat. Nyeri somatik biasanya memiliki lokasi yang lebih jelas dan dapat dideskripsikan sebagai nyeri dengan lokasi yang dalam (deeply located), tajam atau tumpul, nagging, tusukan, denyutan, atau seperti ditekan. Nyeri viseral umumnya kurang terlokalisasi dan lebih tersebar jika dibandingkan dengan nyeri somatik serta mengacu pada
bagian terpencil tubuh. Tergantung pada struktur yang terlibat, nyeri viseral dideskripsikan sebagai nyeri dengan lokasi yang dalam (deeply located), sakit, nagging, keram, atau tekanan, dan dapat disertai dengan mual atau muntah.
Nyeri nosiseptif biasanya merespon kepada pengobatan menggunakan analgesik konvensional.
b. Nyeri yang dihasilkan dari kerusakan atau disfungsi saraf/reseptor periferal atau sistem saraf pusat dikenal sebagai nyeri neuropatik atau nyeri neurogenik (neuropathy/neurogenic pain). Nyeri yang bertahan terus-menerus mencakup causalgia dan reflex sympathetic dystrophy, dan kondisi yang menyakitkan seperti neuralgia trigeminal dan postherpetic, dan neuropati diabetik. Nyeri neuropatik berkaitan dengan jaringan saraf sentral, seperti pada nyeri post- stroke sentral (thalamic syndrome) yang disebut sebagai central pain. Gejala klinis dari nyeri neuropatik ini sangat beragam. Beberapa gejala yang umum terjadi mencakup sensitivitas nyeri dan sensasi rasa terbakar (burning) atau tusukan (stabbing) yang meningkat. Nyeri tersebut dapat pula berkaitan dengan defisit sensorik atau beberapa bentuk instabilitas autonomik. Nyeri neuropatik memberikan respon yang kurang baik terhadap pemberian analgesik konvensional dan membutuhkan pengobatan yang lebih rumit (Sweetman, 2009).
Nyeri merupakan salah satu mekanisme pertahanan tubuh dan sangat penting untuk kelangsungan hidup. Nyeri diterima melalui reseptor khusus yang disebut nosiseptor, yang merupakan ujung saraf bebas yang terletak di jaringan.
Nosiseptor jumlahnya paling banyak di kulit; semakin dalam ke jaringan tubuh, jumlahnya semakin sedikit (Barber & Robertson, 2013).
Nosiseptor dirangsang oleh substansi mekanis, suhu, dan kimia dan memiliki ambang batas yang tinggi. Hal ini berarti bahwa hanya stimulus yang mengindikasikan kerusakan jaringan dalam tingkatan tertentu yang dipersepsikan sebagai nyeri (Barber & Robertson, 2013).
Selain stimulus yang merusak/membahayakan, seperti panas dan tekanan, nosiseptor dapat menjadi sensitif terhadap berbagai zat kimia yang muncul setelah terjadi cedera jaringan lokal. Zat kimia tersebut mencakup kalium, serotonin,
bradikinin, histamin, dan prostaglandin. Prostaglandin normalnya diproduksi oleh tubuh guna memastikan pengaturan lingkungan internal berlangsung secara lancar (homeostasis) (Barber & Robertson, 2013).
Stimulus nyeri diterima oleh nosiseptor dan kemudian dihantarkan oleh dua jenis serabut saraf yang berbeda, yaitu serabut delta A dan serabut C. Serabut delta A adalah serabut bermielin, berdiameter kecil, yang distimulasi oleh zat kimia.
Saraf bermielin adalah saraf yang dilapisi oleh zat pembungkus berlemak yang disebut myelin. Karena serabut delta A bermielin, serabut tersebut menghantarkan impuls dengan sangat cepat. Stimulasi serabut tersebut menyebabkan nyeri seperti tertusuk benda tajam yang dapat dengan mudah dilokalisir oleh individu. Serabut C juga serabut berdiameter kecil tetapi tidak bermielin sehingga menghantarkan impuls lebih lambat, menyebabkan sensasi nyeri terbakar atau sakit yang sulit ditentukan lokasinya. Nyeri seperti ini akan cenderung lebih bersifat umum dan lebih menyeluruh, misalnya pada nyeri abdomen (Barber & Robertson, 2013).
Sensasi nyeri dapat dipengaruhi atau dimodifikasi dengan beberapa cara, yaitu:
a. Menghindari penyebab nyeri.
b. Menurunkan sensitivitas nosiseptor (analgesik antipiretik, anestetik lokal).
c. Mengganggu penghantaran nosiseptif pada saraf sensorik (anestetik lokal).
d. Menekan transmisi impuls nosiseptif pada medulla spinalis (opioid).
e. Menghambat persepsi nyeri (opioid, anestetik umum).
f. Mengubah respon emosional terhadap nyeri (antidepresan sebagai co- analgesik) (Lüllman dkk., 2005).
Mediator inflamasi seperti bradikinin, histamin, serotonin, dan prostaglandin yang dihasilkan sebagai respon terhadap kerusakan jaringan dapat menghasilkan sensitisasi periferal sehingga reseptor memberikan respon terhadap stimulus yang tidak berbahaya maupun yang memiliki intensitas rendah; sensitisasi sentral juga terjadi. Nyeri yang berkaitan dengan kerusakan jaringan berakibat pada peningkatan sensitivitas sistem sensorik sehingga nyeri dapat terjadi pada kondisi tidak adanya stimulus yang jelas. Penurunan ambang nyeri (allodynia) dapat
menimbulkan respon yang berlebihan (hyperalgesia) atau efek yang berkepanjangan (hyperpathia) (Sweetman, 2009).
Sumber: Brunton dkk., 2011
Gambar 2.1 Mekanisme Nosisepsi yang Dirangsang Oleh Cedera Jaringan
Prostaglandin berperan dalam keseimbangan (homeostasis) alami tubuh dan memainkan peranan penting dalam tubuh. Seri prostaglandin E berperan memastikan lapisan mukosa saluran cerna tetap bekerja efektif. Seri tersebut juga berperan pada ginjal, yaitu membantu mempertahankan tekanan yang sesuai bagi ginjal untuk memfiltrasi air dan produk sisa. Oleh sebab itu, pembatasan produksi prostaglandin mengandung risiko tinggi bagi tubuh dan hal ini ditunjukkan dengan munculnya efek samping pada gastrointestinal dan ginjal (Barber & Robertson, 2013).
2.1.2 Obat-obat AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid)
Analgetik meredakan nyeri tanpa menghilangkan rasa atau sensasi nyeri, seperti halnya pada anestetik. Pilihan obat analgetik mencakup golongan salisilat, asetaminofen, obat-obat anti inflamasi non-steroid (AINS), dan narkotik. Beberapa dari obat tersebut juga bersifat antipiretik, yang berarti dapat menurunkan demam (Watkins, 2013).
Obat-obat AINS memiliki tiga efek terapeutik utama yang berasal dari penghambatan sintesis prostanoid pada sel-sel inflamasi, terutama melalui inhibisi isoform COX-2. Tiga efek tersebut antara lain:
a. Efek anti-inflamasi: penurunan PGE2 dan prostasiklin menimbulkan penurunan vasodilatasi, dan edema (secara tidak langsung). Akumulasi sel-sel inflamasi tidak berkurang secara langsung.
b. Efek analgesik: penurunan prostaglandin berarti berkurangnya sensitisasi ujung saraf nosiseptif oleh mediator-mediator inflamasi seperti bradikinin dan 5-hidroksitriptamin. Pemulihan sakit kepala dapat terjadi karena menurunnya vasodilatasi yang disebabkan oleh prostaglandin.
c. Efek antipiretik: interleukin-1 melepaskan prostaglandin ke sistem saraf pusat sehingga meningkatkan set point pengatur suhu tubuh di hipotalamus dan menyebabkan demam. Obat-obat AINS mencegah proses ini (Rang, H.P. dkk., 2016).
Obat-obat AINS adalah kelompok obat yang berbeda secara kimia dan memiliki aktivitas antipiretik, analgesik, dan anti inflamasi yang berbeda pula.
Golongan obat AINS meliputi turunan asam salisilat (aspirin, diflunisal, salsalat), asam propionat (ibuprofen, fenoprofen, flurbiprofen, ketoprofen, naproksen, oksaprozin), asam asetat (diklofenak, etodolak, indometasin, ketorolak, nabumeton, sulindak, tolmetin), asam enolat (meloksikam, piroksikam), fenamat (asam mefenamat, meklofenamat), dan penghambat selektif COX-2 (celecoxib) (Karen et.
al., 2015).
COX-1 merupakan enzim yang selalu aktif dan berperan dalam fungsi fisiologis organ-organ tubuh. Penghambatan enzim COX-1 dapat memberikan efek yang tidak diinginkan seperti cedera mukosa, kerusakan ginjal, perubahan hemodinamik, dan gangguan fungsi uterus. COX-2 adalah enzim yang diperoleh dari proses inflamasi dan menghasilkan prostaglandin yang merangsang nosiseptor, menimbulkan demam, dan menyebabkan inflamasi berupa vasodilatasi dan peningkatan permeabilitas kapiler (Lüllman dkk., 2005).
Kelompok obat AINS bekerja melalui penghambatan enzim siklooksigenase yang mengkatalisis tahap awal pada biosintesis prostanoid.
Penghambatan ini menimbulkan penurunan sintesis prostaglandin disertai efek yang menguntungkan dan merugikan. Perbedaan keamanan dan efektivitas obat- obat AINS ini bergantung pada selektivitas relatif masing-masing obat terhadap enzim COX-1 atau COX-2. Penghambatan enzim COX-2 memberikan efek antiinflamasi dan analgesik dari obat AINS tersebut, sementara penghambatan terhadap enzim COX-1 bermanfaat pada pencegahan kejadian kardiovaskular dan sebagian besar efek samping (Karen et. al., 2015).
Parasetamol dan AINS merupakan kelompok analgesik pilihan pertama untuk mengobati nyeri ringan hingga sedang dan juga digunakan pada nyeri sedang hingga berat untuk meningkatkan efek opioid (potensiasi). Parasetamol dan AINS cocok digunakan untuk nyeri akut maupun kronis (Sweetman, 2009).
Kemungkinan terjadinya efek samping yang tidak diinginkan dari penggunaan obat-obat AINS terbilang tinggi, dapat dikarenakan umumnya AINS digunakan pada pasien lanjut usia dan seringkali untuk jangka panjang. Ketika digunakan untuk mengobati penyakit sendi (yang biasanya memerlukan dosis cukup besar dan pengobatan berkelanjutan), terdapat angka kejadian efek samping
Sumber: Borazan & Furst, 2015
Gambar 2.2 Mekanisme Kerja AINS Pada Jalur Prostaglandin
yang tinggi—sebagian besar pada saluran lambung-usus tetapi juga pada hati, ginjal, limpa, darah, dan sumsum tulang (Rang, H.P. dkk., 2016).
Dikarenakan prostaglandin termasuk ke dalam pelindung lambung, agregasi platelet, autoregulasi pembuluh ginjal, dan induksi saat proses persalinan, semua obat AINS memiliki efek samping yang serupa. Obat-obat yang selektif terhadap COX-2 memiliki toksisitas lambung-usus yang lebih rendah, tetapi tidak dapat diabaikan (Rang, H.P. dkk., 2016).
Efek samping obat-obat AINS yang sebagian besar berawal dari penghambatan enzim isoform COX-1, seringkali terjadi terutama pada pasien lanjut usia. Efek samping tersebut antara lain:
a. Dispepsia, mual, muntah, dan efek lambung-usus lainnya. Kerusakan lambung dan usus dapat terjadi pada pasien dengan penyakit kronis, disertai risiko pendarahan, ulserasi, dan perforasi yang dapat mengancam jiwa. Penyebab efek samping ini adalah penekanan prostaglandin yang bersifat gastroprotektif di mukosa lambung.
b. Reaksi pada kulit.
c. Insufisiensi ginjal yang reversibel.
d. Efek terhadap kardiovaskular, dapat terjadi pada banyak obat golongan AINS dan –coxib yang berkaitan dengan penghambatan enzim COX-2 di macula densa atau lokasi lain yang dapat menimbulkan hipertensi.
e. Nefropati yang disebabkan oleh analgesik, terjadi setelah penggunaan regimen AINS dosis besar dalam jangka lama dan umumnya bersifat irreversibel.
f. Gangguan hati, depresi sumsum tulang.
g. Bronkospasme. Efek samping yang terdapat pada pasien asma yang sensitif terhadap aspirin, tetapi tidak terjadi pada penggunaan dengan –coxib (Rang, H.P. dkk., 2016).
2.1.3 Asam Mefenamat
Asam mefenamat adalah suatu turunan asam antranilat yang termasuk ke dalam golongan AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid), meskipun efek anti inflamasinya cenderung lemah. Asam mefenamat digunakan pada nyeri ringan hingga sedang, di antaranya sakit kepala, sakit gigi, nyeri setelah operasi atau melahirkan, dan dismenorrhoea, juga pada kelainan sendi dan muskuloskeletal seperti osteoartritis dan rheumatoid arthritis, dan pada menorrhagia (Sweetman, 2009).
Asam mefenamat diabsorpsi dari saluran lambung-usus. Konsentrasi puncak dalam plasma terjadi sekitar 2-4 jam setelah diserap. Waktu paruh asam mefenamat dilaporkan sekitar 2-4 jam dan lebih dari 90% jumlah asam mefenamat yang berikatan dengan protein plasma. Asam mefenamat terdistribusi ke dalam air susu ibu. Asam mefenamat dimetabolisme oleh isoenzim sitokrom P450 menjadi asam 3-hidroksimetil mefenamat, yang kemudian mengalami oksidasi menjadi asam 3-karboksimefenamat. Sekitar lebih dari 50% asam mefenamat ditemukan dalam urin sebagai bentuk unchanged atau konjugat asam mefenamat dan metabolitnya (Sweetman, 2009).
Efek samping yang dimiliki asam mefenamat sebagian besar sama dengan efek samping umum dari obat-obat golongan AINS yaitu gangguan lambung-usus seperti gastrointestinal discomfort, mual, dan diare. Efek samping yang menyangkut sistem saraf pusat meliputi sakit kepala, vertigo, pusing, gugup, tinnitus, depresi, mengantuk, dan insomnia. Reaksi hipersensitivitas juga sering terjadi, meliputi demam, angioedema, bronkospasme, dan rashes. Penggunaan
Sumber: Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, 2014
Gambar 2.3 Struktur Kimia Asam Mefenamat
asam mefenamat harus dihentikan bila terjadi diare dan kemerahan (rashes). Efek samping lain meliputi mengantuk, dan efek pada darah seperti trombositopenia, anemia hemolitik, dan anemia aplastik (jarang terjadi). Pada kasus overdosis, dapat pula terjadi kejang. Asam mefenamat dikontraindikasikan pada pasien dengan penyakit inflamasi usus (Sweetman, 2009).
Dosis awal untuk asam mefenamat adalah 500 mg yang diikuti dengan 250 mg tiap 6 jam sesuai dengan kebutuhan. Penggunaan asam mefenamat sebaiknya tidak melebihi 7 hari pada satu waktu (Thomson Healthcare, 2007).
2.1.4 Histamin dan Antihistamin
Histamin adalah salah satu mediator kimia yang sebagian besar dihasilkan dalam sel mast. Histamin, melalui sistem reseptor multipel, menjadi perantara berbagai respon selular, termasuk reaksi alergi dan inflamasi, sekresi asam lambung, dan transmisi neuron di otak. Histamin terdapat di seluruh jaringan, dengan jumlah yang signifikan terdapat pada paru-paru, kulit, pembuluh darah, dan saluran lambung-usus. Histamin ditemukan dalam konsentrasi yang tinggi pada sel mast dan basofil. Histamin berfungsi sebagai neurotransmitter di otak, juga sebagai salah satu komponen racun dalam sengatan serangga (Karen et. al., 2015).
Pelepasan histamin sebagai respon terhadap adanya stimulus tertentu memberikan efek dengan cara berikatan pada beberapa tipe reseptor histamin (H1, H2, H3, dan H4). Reseptor H1 dan H2 terdapat secara luas dan merupakan target dari sebagian besar obat-obat klinis. Histamin memiliki cakupan efek farmakologis yang luas yang diperantarai oleh reseptor H1 dan H2. Sebagai contoh, reseptor H1
memegang peranan penting dalam menghasilkan kontraksi otot polos dan meningkatkan permeabilitas kapiler. Reseptor histamin H1 memerantarai banyak proses patologis, termasuk rinitis alergi, atopik dermatitis, konjungtivitis, urtikaria, bronkokontriksi, asma, dan anafilaksis (Karen et. al., 2015).
Kata “antihistamin” umumnya mengacu pada obat-obat yang menghambat reseptor histamin H1. Obat-obat golongan antihistamin H1 terbagi menjadi generasi satu dan generasi dua. Antihistamin H1 generasi pertama masih digunakan secara luas karena efektif dan tidak mahal. Meskipun begitu, sebagian besar obat-obat
tersebut berpenetrasi ke sistem saraf pusat dan menimbulkan sedasi. Lebih jauh lagi, antihistamin H1 generasi pertama cenderung berinteraksi dengan reseptor lainnya dan menyebabkan berbagai efek yang tidak diinginkan (Karen et. al., 2015).
Obat-obat antihistamin generasi pertama terdiri dari antazolin, bromfeniramin, klorfeniramin, siklizin, siproheptadin, deksklorfeniramin, difenhidramin, doksilamin, feniramin, prometazin, trimeprazin, dan triprolidin.
Azelastin, setirizin, levokarbastin, levosetirizin, loratadin, desloratadin, dan feksofenadin merupakan antihistamin generasi kedua (Bullock dan Manias, 2014).
Berikut adalah efek yang ditimbulkan pada pengikatan histamin dengan reseptor H1 dan H2:
Tabel 2.1 Efek Patologis yang Disebabkan oleh Histamin Reseptor H1 dan H2
Kulit Menimbulkan dilatasi dan peningkatan
permeabilitas pembuluh kapiler pada kebocoran (leakage) protein dan cairan ke dalam jaringan.
Pada kulit, hal tersebut menyebabkan triple response: pembentukan wheal, warna kemerahan akibat vasodilatasi lokal, dan flare (halo).
Reseptor H1
Ujung saraf sensorik Menimbulkan gatal dan nyeri.
Reseptor H2
Perut Stimulasi sekresi asam lambung.
Semua obat antihistamin generasi pertama dapat melewati blood-brain barrier, oleh karena itu, antihistamin generasi pertama memiliki efek terhadap sistem saraf pusat; di mana reseptor H1 di otak berperan dalam menjaga kesadaran (wakefulness), penghambatan reseptor H1 ini menimbulkan rasa mengantuk dan sedasi. Perbedaan utama antara antihistamin generasi pertama dan kedua adalah antihistamin generasi kedua lebih tidak lipofilik, dan karena hal tersebut, antihistamin generasi pertama melewati blood-brain barrier dalam jumlah yang relatif kecil (Bullock dan Manias, 2014).
Obat-obat antihistamin H1 generasi kedua spesifik terhadap reseptor H1
periferal. Hal itu dikarenakan sifat polar antihistamin H1 generasi kedua yang
Sumber: Karen (ed.) et al., 2015
ditimbulkan terutama oleh penambahan kelompok karboksil (misalnya, setirizin merupakan derivat terkarboksilasi dari hidroksizin). Di antara antihistamin H1
generasi kedua, desloratadin, feksofenadin, dan loratadin menunjukkan efek sedasi yang paling lemah. Setirizin dan levosetirizin merupakan obat-obat antihistamin H1
generasi kedua yang sedikit memberikan efek sedasi (Karen et. al., 2015).
Zat antihistamin ini menghambat respon yang diperantarai oleh reseptor dari jaringan target. Obat-obat antihistamin H1 lebih efektif untuk mencegah gejala dibandingkan dengan mengembalikan efek patologis yang telah terjadi. Meskipun begitu, sebagian besar obat-obat ini memiliki efek tambahan tertentu yang tidak berkaitan dengan kemampuannya dalam menghambat reseptor H1 (Karen et. al., 2015).
Efek samping yang mungkin ditimbulkan dari penggunaan antihistamin H1
antara lain mengantuk, pusing, kurang koordinasi, tremor, mulut kering, sakit kepala, peningkatan nafsu makan, serta reaksi hipersensitivitas (untuk penggunaan antihistamin H1 secara topikal). Antihistamin H1 berinteraksi dengan obat-obat depresan sistem saraf pusat, penghambat monoamin oksidase (Mono Amine Oxidase Inhibitor/MAOI), dan antikolinergik (antimuskarinik) (Karen et. al., 2015).
Sumber: Karen (ed.) et al., 2015
Gambar 2.4 Efek Terapeutik Antihistamin H1
2.1.5 Setirizin
Setirizin—derivat piperazin dan metabolit hidroksizin—merupakan antihistamin non-sedasi dengan kerja panjang dan aksi stabilisasi sel mast. Setirizin memiliki kemungkinan rendah memberikan efek mengantuk pada dosis terapi dan tidak memiliki aktivitas antimuskarinik. Setirizin digunakan untuk meredakan kondisi alergi mencakup rinitis dan urtikaria kronis secara simptomatik (Sweetman, 2009).
Setirizin, yang dianggap sebagai antihistamin H1 paling poten, memiliki aktivitas lain yaitu menghambat perpindahan eosinofil ke tempat yang mengalami inflamasi, sehingga meminimalisasi respon inflamasi melalui mekanisme lainnya (Bullock dan Manias, 2014).
Antagonis H1 tertentu, seperti setirizin, menghambat pelepasan histamin dan beberapa mediator inflamasi lainnya dari sel mast. Penghambatan ini bukan disebabkan karena blokade reseptor H1, melainkan efek terhadap reseptor H4. Belum tersedia ligan H4 yang dapat digunakan pada manusia, tetapi penelitian menemukan bahwa beberapa antagonis selektif H1 (misalnya difenhidramin, setirizin, loratadin) menunjukkan afinitas terhadap reseptor ini. Beberapa penelitian menduga antagonis reseptor H4 dapat bermanfaat pada kasus pruritus, asma, rinitis alergi, dan kondisi nyeri (Katzung dan Trevor, 2015).
Setirizin diabsorpsi secara cepat dari saluran lambung-usus setelah diberikan secara oral, konsentrasi plasma puncak dicapai dalam waktu 1 jam.
Sumber: Sweetman, 2009
Gambar 2.5 Struktur Kimia Setirizin
Adanya makanan dapat memperlambat tercapainya konsentrasi plasma puncak tetapi tidak memengaruhi jumlah obat yang diabsorpsi. Setirizin terikat kuat dengan protein plasma dan memiliki waktu paruh mencapai 10 jam. Setirizin diekskresikan terutama melalui urin dalam bentuk tidak berubah (unchanged). Setirizin tidak berpenetrasi ke darah-otak-kulit (blood-brain-barrier) dalam jumlah yang signifikan (Sweetman, 2009).
Pada pasien dewasa dan anak-anak berusia 6 tahun atau lebih, setirizin hidroklorida diberikan secara oral dengan dosis 10 mg satu kali sehari atau dosis 5 mg sebanyak dua kali dalam satu hari. Anak-anak berusia 2 hingga 5 tahun dapat diberikan setirizin dengan dosis 5 mg satu kali sehari atau 2,5 mg sebanyak dua kali sehari (Sweetman, 2009).
Dosis oral letal minimal pada mencit adalah 237 mg/kg (sekitar 95 kali lipat dari dosis maksimal yang direkomendasikan untuk dewasa pada basis mg/m2) dan 562 mg/kg pada tikus (sekitar 460 kali lipat dari dosis maksimal yang direkomendasikan untuk dewasa pada basis mg/m2). Pada hewan pengerat, target toksisitas akut adalah sistem saraf pusat dan target toksisitas multiple-dose adalah hati (Food and Drug Administration, 2015).
Efek samping yang paling umum terjadi pada pasien berusia 12 tahun atau lebih adalah mengantuk yang terjadi pada 11%, 14%, atau 6% pada pasien yang menerima pengobatan dengan setirizin dosis 5 mg, 10 mg, atau plasebo. Kelelahan (fatigue) atau pusing terjadi sekitar 5,9% pada pasien berusia 12 tahun dan sekitar 2% pada pasien lebih dari 12 tahun (American Society of Health-System Pharmacists, 2008).
2.1.6 Pengujian Aktivitas Analgetik
Beragam metode eksperimental dapat menggambarkan aktivitas antinosiseptif obat yang diujikan sebagai analgetik. Perbedaan kelas analgetik yang beragam mempengaruhi mekanismenya dalam menangani nyeri, sehingga disarankan untuk tidak bergantung hanya pada satu jenis pengujian nosiseptif selama proses penentuan khasiat analgetik. Pengujian nosiseptif yang banyak dilakukan berbeda satu sama lain berdasarkan jenis stimulus, parameter, tempat
pengaplikasian, jenis respons, kuantisasi (quantitation), dan aparatus. Berdasarkan jenis stimulusnya, pengujian analgetik dapat dibedakan menjadi metode kimia, elektrik, mekanis, dan panas (thermal) (Parmar & Prakash, 2006).
A. Metode Kimia
1. Metode Geliat (Writhing Test)
Beragam bahan kimia telah digunakan untuk menimbulkan nyeri.
Pemberian substansi kimia secara intraperitoneal pada mencit dan kucing mengakibatkan iritasi peritoneal, yang menimbulkan respons geliat. Tiap geliat dikarakterisasi sebagai gerakan memutar kaki ke bagian dalam, menggaruk bagian perut, perpanjangan tubuh, gerakan punggung melengkung, berguling ke satu sisi dan tidak bergerak, atau berbalik dan memutari kandang. Banyak zat kimia yang telah dilaporkan dapat menimbulkan geliat, tetapi asam asetat dan fenilbenzokuinon merupakan dua zat iritan yang paling umum digunakan. Meskipun begitu, penggunaan fenilbenzokuinon memiliki keterbatasan berkaitan dengan kelarutan, fotosensitivitas, dan auto-oksidasi (Parmar & Prakash, 2006).
Mencit Swiss (24-30 g) dengan jenis kelamin jantan atau betina dapat digunakan. Kelompok yang terdiri dari 6 mencit digunakan sebagai kelompok obat uji dan kelompok obat standar. Mencit kemudian ditempatkan secara individual ke dalam gelas kimia dan setelah 5 menit lalu diamati geliat yang dihasilkan. Suatu geliat diindikasikan melalui peregangan abdomen yang disertai dengan peregangan yang terus menerus pada setidaknya satu kaki belakang (Parmar & Prakash, 2006).
Pada metode ini, baik analgetik sentral maupun perifer dapat menghasilkan penghambatan geliat yang signifikan dan oleh karena itu metode ini berguna untuk menguji analgetik yang bekerja melalui efek sentral maupun perifer. Metode geliat telah digunakan bersama pemantauan perubahan pada permeabilitas kapiler untuk membedakan analgesik narkotik dan non-narkotik (Parmar & Prakash, 2006).
2. Metode Randall-Sellito
Prinsip dari metode Randall-Sellito adalah inflamasi meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri yang mana dapat dimodifikasi oleh analgesik. Inflamasi menurunkan ambang nyeri dan penurunan batas terhadap reaksi nyeri ini dapat ditingkatkan oleh analgetik non-narkotik seperti salisilat dan amidopirin, maupun
analgetik narkotik jenis opiat. Ragi Brewer digunakan untuk menghasilkan inflamasi yang dapat meningkatkan sensitivitas terhadap nyeri (Parmar & Prakash, 2006).
Metode ini menggunakan tikus Wistar jantan (150-200 g) sejumlah 6-10 ekor tiap kelompok. Suspensi ragi Brewer dengan konsentrasi 20% sebanyak 0,1 ml diinjeksikan secara subplantar ke dalam permukaan plantar telapak kaki kiri tikus. Tiga jam kemudian, suatu tekanan diaplikasikan pada permukaan plantar kaki tikus dengan laju konstan menggunakan alat tertentu hingga pada suatu titik di mana tikus mulai memberontak, menjerit, atau berusaha untuk menggigit. Pengujian dilakukan dalam interval waktu 15 menit (Parmar & Prakash, 2006).
3. Metode Bradikinin Intra Arterial
Metode ini menggunakan tikus Wistar jantan dengan berat sekitar 300 g yang dianestesi ringan dengan eter. Setelah itu, kateter polietilen dengan diameter internal sebesar 0,5 mm dimasukkan secara sentripetal ke dalam arteri karotid kanan. Kateter tersebut kemudian dilewatkan melalui jaringan subkutan untuk menonjol dari bagian belakang hewan uji. Satu jam setelah pulih dari anestesi, dosis pertama bradikinin (0,05-0,10 ug/kg) diinjeksikan melalui kateter yang menimbulkan pergerakan dekstrorotatori kepala, lengkungan tubuh bagian depan, dan jeritan sesekali. Pemberian bradikinin yang berulang pada rentang yang teratur tidak menimbulkan takifilaksis. Ketika sensitivitas tikus secara individual telah ditetapkan, tikus diberikan dosis obat uji dan efek obat terhadap respon bradikinin dinilai. Injeksi bradikinin diganti pada interval waktu 5 menit hingga respon analgetik terhadap bradikinin muncul kembali. Kriteria untuk proteksi adalah menghilangnya efek bradikinin setelah setidaknya dua dosis bradikinin. Baik analgesik sentral maupun perifer dapat menggunakan metode ini (Parmar &
Prakash, 2006).
4. Metode Formalin
Metode formalin pada tikus telah digunakan untuk menggambarkan nyeri kronis yang merespon secara selektif terhadap analgetik sentral. Metode ini menggunakan tikus Wistar jantan dengan berat antara 200-300 g. Formalin dengan konsentrasi 10% sebanyak 0,05 ml diinjeksikan secara subkutan ke dalam
permukaan dorsal telapak kaki depan tikus yang mengakibatkan munculnya respons seperti mengangkat dan menjilat telapak kaki. Pembacaan dilakukan pada menit ke- 30 dan 60 setelah pemberian injeksi formalin dan dinilai berdasarkan skor berikut:
0 = seluruh berat badan terletak pada telapak kaki
1 = telapak kaki yang diinjeksikan formalin terletak di atas lantai tanpa menahan berat apapun
2 = telapak kaki yang diinjeksikan formalin terangkat dan tidak menyentuh permukaan apapun
3 = telapak kaki yang diinjeksikan formalin dijilat atau digigit (Parmar & Prakash, 2006).
Respon analgetik diindikasikan ketika kedua telapak kaki terletak di atas lantai tanpa menyokong telapak kaki yang diinjeksikan formalin. Obat standar dan obat uji diberikan secara subkutan atau oral. Tiap tikus ditempatkan pada kandang polipropilen yang jernih dan transparan untuk pengamatan (Parmar & Prakash, 2006).
B. Metode Elektrik
1. Stimulasi Elektrik pada Ekor
Stimulasi elektrik pada ekor melalui jarum intrakutan menimbulkan respon yang konsisten pada hewan uji. Tiga jenis ambang nyeri dapat ditentukan dengan electric shock yang diaplikasikan pada ekor berkaitan dengan tiga tingkatan integrasi nyeri pada sistem saraf pusat, yaitu:
a. stimulasi dengan densitas rendah menimbulkan respons motorik, penarikan ekor (merupakan refleks spinal tingkat rendah);
b. tegangan yang lebih tinggi menimbulkan vokalisasi sederhana yang meliputi stem otak yang lebih rendah;
c. stimulasi menggunakan tegangan yang lebih tinggi menghasilkan vokalisasi singkat setelah stimulasi dihentikan (vocalization after discharge) yang menggambarkan konponen afektif dari respons nyeri yang meliputi hipotalamus dan rhinencephalon (Parmar & Prakash, 2006).
Metode ini sensitif terhadap agonis opioid, antagonis opioid, dan obat-obat AINS (Anti Inflamasi Non-Steroid). Metode elektrik ini menggunakan mencit
Swiss jantan dengan rata-rata berat badan 20 g yang ditempatkan pada kandang khusus. Sepasang alligator clips terikat pada ekor mencit dimana elektroda positif ditempatkan pada ujung proksimal ekor. Tegangan yang diberikan sebesar 40-50 V secara konstan. Frekuensi stimulasi adalah 1 shock per detik dan durasi tegangan 2,5 ms. Rentang waktu respons normal adalah 3-4 detik. Setelah pemberian obat uji, waktu respon diuji setelah 15 menit waktu reaksi kembali ke tingkat kontrol (Parmar & Prakash, 2006).
2. Flinch-Jump Test
Pada teknik flinch-jump, current shock yang konstan dialirkan ke lantai kandang dan tingkah laku hewan diamati. Ketika intensitas shock ditingkatkan dari nol, tingkah laku pertama adalah menjauhkan diri; pada intensitas yang lebih tinggi, hewan uji berusaha melarikan diri untuk menghindari shock. Pengujian ini memberikan keuntungan berupa sensitivitas yang baik terhadap analgesik opioid dan non-opioid. Analgetik opioid meningkatkan ambang lompatan tanpa memengaruhi flinch threshold (Parmar & Prakash, 2006).
Metode ini menggunakan mencit Swiss jantan (20-25 g) yang secara individual ditempatkan dalam chamber plastik yang transparan. Lantai chamber terdiri dari jaringan yang dapat dialiri listrik. Stimulus diberikan dalam bentuk square wave pulses, 30 siklus per detik dengan durasi 2 ms tiap pulse. Dengan peningkatan intensitas shock, mencit akan menjauhkan diri (flinch), menimbulkan reaksi terkejut, peningkatan locomotion, atau usaha untuk melompat. Tingkah laku tersebut secara akurat tergambar pada oscilloscope pada fluktuasi pulse yang tertera dan didefinisikan sebagai respons ambang nyeri. Ambang nyeri ditentukan pada tiap mencit sebanyak dua kali sebelum pemberian obat uji dan pada menit ke-15, 30, 60, 90, dan 120 setelah pemberian obat uji. Mencit sebanyak 10 ekor tiap kelompok digunakan pada kelompok kontrol dan kelompok uji (Parmar & Prakash, 2006).
3. Tooth-Pulp Stimulation
Stimulasi elektrik pada tooth-pulp telah digunakan dalam skrining antinosiseptif dan pembelajaran facial pulp. Stimulasi tooth-pulp menimbulkan reaksi seperti menjilat, menggigit, mengunyah, dan mengibaskan kepala yang dapat
diamati dengan mudah. Metode ini menggunakan kelinci jantan atau betina dengan berat 2-3 kg yang dianestesi menggunakan thiopentone sodium 15 mg/kg atau fentanil sitrat 0,2 mg/kg secara intravena. Setelah aklimatisasi selama 30 menit, stimulasi dimulai untuk menentukan nilai batas. Stimulus diberikan melalui rectangular current dengan frekuensi 50 Hz dan durasi 1 detik. Tegangan elektrik dimulai dari 0,2 mA dan meningkat secara bertahap hingga muncul perilaku menjilat. Untuk menentukan nilai dasar, ambang batas diuji sebanyak tiga kali pada tiap hewan uji. Pengujian aktivitas analgetik obat baru dan nilai ED50, 8-10 hewan uji digunakan untuk tiap dosis obat uji. Obat uji diberikan secara intravena atau oral.
Ambang batas sebagai indikator efek antinosiseptif ditentukan pada menit ke-0, 15, 30, 60, dan 120 setelah pemberian obat uji secara intravena atau oral (Parmar &
Prakash, 2006).
Metode ini sangat efektif untuk menguji analgetik sentral. Metode tooth- pulp stimulation menghasilkan nilai ED50 yang lebih rendah jika dibandingkan dengan metode lainnya, mengindikasikan sensitivitas yang tinggi. Obat-obat seperti ketamin dan AINS juga memberikan respons positif terhadap metode ini (Parmar
& Prakash, 2006).
C. Metode Mekanis 1. Haffner’s Tail Clip Test
Metode tail clip menggunakan mencit Swiss jantan dengan berat 20-25 g.
Kelompok kontrol dan kelompok uji terdiri dari 10 ekor mencit. Obat uji diberikan secara subkutan untuk mencit yang tidak dipuasakan atau secara oral untuk mencit yang dipuasakan. Obat diberikan pada menit ke-15, 30, atau 60 sebelum pengujian.
Artery clip digunakan di bagian root ekor mencit (sekitar 1 cm dari tubuh) untuk menginduksi nyeri. Hewan uji memberikan respons secara cepat melalui gerakan menggigit klip atau ekor dekat lokasi klip. Waktu antara onset stimulasi dan respon diukur menggunakan stopwatch dengan akurasi 0,1 detik. Cut-off time ditentukan dengan mengambil rata-rata waktu reaksi ditambah 3 kali standar deviasi dari latensi mencit kontrol yang digabungkan pada tiap periode waktu. Waktu reaksi tiap hewan uji yang lebih besar dibandingkan cut-off time merupakan indikasi respons positif terhadap aktivitas analgetik. Lamanya waktu hingga terjadinya
respons mengindikasikan periode aktivitas terbesar setelah pemberian obat. Nilai ED50 terhitung pada waktu puncak dari aktivitas obat. Pengujian ini tidak memerlukan alat yang rumit, tetapi pengamat yang teliti dan terampil. Obat-obat AINS tidak dapat terdeteksi dengan metode ini (Parmar & Prakash, 2006).
D. Metode Panas (Thermal) 1. Hot Plate Method
Telapak kaki hewan pengerat sangat sensitif terhadap panas pada temperatur yang tidak melukai kulit mereka. Hewan pengerat biasanya memberikan respons berupa melompat, gerakan menarik kaki, dan menjilat. Metode hot plate menggunakan kelompok yang terdiri dari 10 ekor mencit Swiss jantan atau betina dengan berat 20-25 g. Temperatur hot plate diatur pada suhu 55-56o C. Mencit ditempatkan di atas hot plate dan waktu yang dibutuhkan hingga muncul gerakan menjilat atau melompat diukur menggunakan stopwatch. Latensi diukur sebelum pemberian obat uji dan obat standar secara subkutan atau oral dan pada menit ke- 20, 60, dan 90 setelah pemberian obat uji dan obat standar (Parmar & Prakash, 2006).
Metode ini sesuai untuk pengujian analgesik yang bekerja secara sentral.
Meskipun begitu, metode hot plate memiliki kerugian karena obat-obat golongan sedatif, relaksan otot, dan psikomimetik juga dapat memberikan hasil positif palsu (Parmar & Prakash, 2006).
E. Pengujian untuk Membedakan Analgetik Sentral dan Perifer
Isolated perfused rabbit ear digunakan untuk membedakan analgetik yang bekerja secara sentral dan perifer. Metode ini menggunakan kelinci jantan New Zealand dengan berat 3-4 kg yang dianestesi dengan pentobarbitone sodium secara intravena dengan dosis awal sebesar 30 mg/kg dan selanjutnya diberikan dosis tambahan. Satu telinga disiapkan dalam kondisi satu-satunya penghubung ke bagian tubuh adalah melalui saraf aurikular besar. Perfusi diberikan pada telinga yang terisolasi melalui arteri utama menggunakan larutan Tyrode teroksigenasi (O2 : CO2 = 95% : 5%), prostaglandin E2 (PGE2) sebanyak 40 ng/ml pada temperatur 34o C dan laju aliran konstan pada 2 ml per menit menggunakan pompa kapiler.
Tekanan dan temperatur infus dimonitor dan diukur secara berkelanjutan.
Bradikinin (2-4 µg/ml) bergantung pada respons hewan, dan asetilkolin (100 µm/ml) dalam larutan Tyrode buffer diinjeksikan ke sistem perfusi sebagai aliquot 0,1 ml pada interval waktu 10 menit. Sistem perfusi stabil selama 6-8 jam. Obat diberikan secara lokal di daerah perfusat atau sistemik melalui intravena atau intraperitoneal.
Gerakan menjauhkan kepala (head-flick) yang merupakan respons nyeri diukur menggunakan isometric strain-gauge yang terhubung dengan benang kapas ke gigi kelinci (Parmar & Prakash, 2006).
Obat-obat AINS, parasetamol, dan morfin telah diuji menggunakan metode ini. Metode perfusi pada telinga kelinci memungkinkan untuk membedakan obat- obat analgetik yang bekerja secara sentral atau perifer. Pada pemberian secara lokal, aspirin, natrium diklofenak, dan parasetamol menghambat refleks nyeri yang diinduksi bradikinin, sementara morfin ditemukan tidak efektif. Pada pemberian secara sistemik, hanya morfin yang aktif pada rentang terapeutik. Oleh karena itu, metode ini berguna untuk membedakan analgetik sentral dan perifer (Parmar &
Prakash, 2006).
2.2 Kerangka Konsep
Variabel terikat yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah aktivitas analgetik setirizin. Variabel independen dalam penelitian ini adalah dosis setirizin.
Peneliti menggunakan dosis setirizin sebesar 5 mg, 10 mg, dan 20 mg. Dosis yang lazim digunakan di masyarakat adalah dosis 10 mg. Pada penelitian ini, digunakan setengah dosis lazim dan dua kali dosis lazim sebagai variasi dosis setirizin yang diujikan. Dosis setirizin pada manusia dikonversi menjadi dosis mencit.
Variabel Independen:
Cetirizine dalam berbagai dosis (5 mg, 10 mg, 20 mg)
Variabel Dependen:
Aktivitas analgetik Cetirizine (jumlah geliat, persentase proteksi, persentase efektivitas)
Gambar 2.6 Kerangka konsep
2.3 Definisi Operasional
No. Variabel Definisi Cara Ukur Alat
Ukur Hasil Ukur Skala Ukur 1. Aktivitas
Analgetik
Kemampuan zat uji dalam menurunkan nyeri yang dihitung dari penurunan jumlah geliat, persentase proteksi, dan persentase efektivitas pada mencit yang diinduksi asam asetat 0,7%.
Geliat mencit dikarakterisasi sebagai suatu gerakan memutar kaki ke bagian dalam (internal) serta perpanjangan tubuh mencit.
Metode geliat (writhing test)
Visual Jumlah geliat, persentase proteksi, dan persentase efektivitas
Rasio
2. Variasi dosis setirizin
Jumlah setirizin yang dibuat berdasarkan dosis 5 mg, 10 mg, dan 20 mg pada manusia.
Penimbangan dan
pengukuran
Neraca analitik dan gelas ukur
I: 0,013 mg/20 g II: 0,026
mg/20 g III: 0,052
mg/20 g
Nominal
Tabel 2.2 Definisi Operasional