• Tidak ada hasil yang ditemukan

ALTERNATIF STRUKTUR OJK YANG OPTIMUM: KAJIAN AKADEMIK*

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2022

Membagikan "ALTERNATIF STRUKTUR OJK YANG OPTIMUM: KAJIAN AKADEMIK*"

Copied!
10
0
0

Teks penuh

(1)

  i  z

Tim Ke rja s a m a Pe n e litia n FEB U GM & FE U I

KAJIAN AKADEMIK* 

 

  Oleh 

   

*Kajian akademik ini merupakan hasil dari kerjasama penelitian oleh dosen dan asisten dosen dari FE UI  dan FE UGM.  Kami ucapkan terimakasih kepada para civitas akademika UGM yang aktif berpartisipasi  di  dalam  eksperimen.  Terimakasih  juga  kami  ucapkan  kepada  tim  SIFE  FEB‐UGM  yang  membantu  peneliti  dalam  mendesain  software  untuk  eksperimen.  Penelitian  ini  merupakan  draft  kedua  dan  masih  akan  dilakukan  revisi  untuk  menyempurnakannya.  Terima  kasih  kepada  ISEI  Cabang  Jakarta  yang  telah  menyelenggarakan diskusi dan kami mendapatkan masukan untuk perbaikan kajian ini. Kritik dan saran  sangat kami harapkan. Kontak: [email protected] dan [email protected] 

D RAFT III

2 3 Agu s tu s 2 0 10

TimUGM

Rimawan Pradiptyo Banoon Sasmitasiwi Gumilang Aryo Sahadewo  

Tim UI

Rofikoh Rokhim Maria Ulpah IAA Faradynawati

(2)

Abstrak

Kajian mengenai alternatif struktur otoritas jasa keuangan (OJK) yang optimum ini disusun terkait dengan penyusunan RUU OJK sebagai mandat yang diamanatkan pasal 34 UU tentang Bank Indonesia (BI). Bentuk-bentuk OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri yang disesuaikan dengan kondisi di Indonesia.

Sesuai dengan amanat Undang-Undang maka pembentukan OJK harus dilakukan dengan mendasarkan pada salah satu dari lima bentuk pendekatan yaitu institutional, functional, integrated, twin peak dan an exception. Kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokal salam suatu negara. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar.

Untuk mencari bentuk optimum dari OJK yang akan diterapkan, maka dilakukan pemodelan hubungan antar lembaga dalam struktur pengawasan di Indonesia dengan memakai Modelling Game Theory. Hasil menunjukkan bahwa individu Indonesia cenderung untuk bersikap rasional dalam pengambilan keputusan. Dengan desain payoffs tertentu, sebagian besar lebih memilih untuk tidak mau berkoordinasi. Walaupun strategi ini merupakan Nash Equilibrium, dampaknya tidak optimal bagi masyarakat secara umum karena setiap pemain lebih mengutamakan kepentingannya sendiri. Selan itu, hasil eksperimen menunjukkan bahwa pemain memberikan respon yang berbeda seiring perubahan payoffs. Fakta tersebut menjelaskan bahwa biaya koordinasi di Indonesia tinggi. Menarik untuk dicatat bahwa pemberlakuan framing effects memiliki pengaruh terhadap pengambilan keputusan pemain secara signifikan.

Pada bagian akhir dari penelitian ini akan diestimasi besarnya biaya pembentukan dan pengoperasian OJK versi RUU OJK apabila nantinya RUU OJK disetujui oleh DPR sesuai

(3)

mungkin dengan harapan untuk memberikan gambaran berapa kira-kira minimum irreducable biaya yang diperlukan untuk membentuk dan mengoperasikan OJK versi RUU OJK sesuai dengan ketentuan-ketentuan yang diatur di dalam RUU. Tentu saja biaya estimasi ini akan berubah jika nantinya terdapat perubahan dalam pasal-pasal yang mengatur tugas dan fungsi dari OJKversi RUU OJK.

Dengan melihat best practices reformasi struktur pengawasan di Negara-Negara lain dan melakukan review prasyarat sebuah struktur pengawasan yang optimum, maka kajian ini mengusulkan bahwa Bapepam-LK menjadi satu lembaga independen—tidak dibawah Departemen Keuangan—yang merupakan pengejawantahan OJK.

Selain itu, pengawasan makro dan mikro sektor perbankan tetap dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang telah memiliki tenaga ahli dan teknologi yang dibutuhkan dengan mendirikan lembaga pengawasan perbankan yang berada di bawah bank sentral. OJK melaksanakan fungsi pengawasan mikro di semua sektor keuangan kecuali bank dan fungsi pengawasan laku bisnis di semua sektor keuangan termasuk bank. Pembagian tugas antara BI dan OJK yang sedemikian rupa tidak akan menimbulkan biaya transaksi yang tinggi karena saat ini Bapepam-LK telah melaksanakan fungsi tersebut.

(4)

Daftar Isi

Abstrak ... ii 

Daftar Isi ... iv 

Bab 1: Pendahuluan ... 1 

1.1. Latar Belakang ... 1 

1.2. Permasalahan ... 2 

1.3. Pertanyaan Penelitian ... 6 

1.4. Tujuan Penelitian ... 6 

1.5. Metodologi ... 7 

1.5.1. Data ... 8 

Bab 2:  Struktur Industri dan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ... 9 

2.1. Struktur Industri Lembaga Keuangan ... 9 

2.1.1. Kinerja Pengawasan Perbankan ... 15 

2.1.2. Kinerja Pengawasan di Lembaga Keuangan Non‐Perbankan ... 18 

Bab 3: Otoritas Jasa Keuangan (OJK) ... 21 

3.1.Latar Belakang Pembentukan OJK ... 21 

3.2.Fungsi dan Tujuan Lembaga Pengawas ... 23 

3.3.Rencana Pembentukan OJK di Indonesia ... 29 

Bab 4: Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ... 36 

4.1 Skala Ekonomi dan Sistem Pengawasan Keuangan ... 36 

4.2.Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan di Berbagai Negara ... 38 

4.3.Perbandingan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ... 41 

4.4. Biaya Transaksi Perubahan Sistem Pengawasan ... 48 

4.5.Peran Bank Sentral ... 50 

4.6.Pengalaman Negara Lain ... 55 

4.6.1.Pengalaman Negara Prancis ... 55 

4.6.2.Pengalaman Negara Inggris ... 57 

4.6.3.Pengalaman Negara Korea Selatan ... 59 

4.6.4.Pengalaman Negara Jepang ... 61 

(5)

4.6.7.Pengalaman Negara Denmark ... 69 

4.6.8.Pengalaman Negara Kanada ... 71 

4.6.9.Lesson Learned  dari Negara Dengan Sistem Pengawasan tunggal ... 72 

Bab 5: Usulan Struktur dan Tugas OJK di Indonesia ... 74 

5.1.Pendahuluan ... 74 

5.2.Kompleksitas Sistem Pengawasan di Indonesia ... 74 

5.2.1  Kompleksitas SDM Sistem Pengawasan ... 86 

5.3.Usulan Sistem Pengawasan yang Optimum ... 89 

5.4. Model Pengawasan Pasar Modal ... 95 

5.5.Usulan Skema Koordinasi untuk Pencegahan Krisis ... 96 

Bab 6: Kompleksitas Koordinasi Antar Lembaga Pemerintah; Analisis Eksperimen  Proses Evolusi Prisoners’ Dilemma ... 99 

6.1. Pendahuluan ... 99 

6.2. Desain Eksperimen ... 125 

6.3. Hasil Eksperimen ... 131 

6.3.1. Kecenderungan Berkoordinasi ... 131 

6.3.2. Dampak Variabilitas Payoffs Terhadap Perilaku Subyek ... 138 

6.4. Implikasi Hasil Ekperimen ... 145 

Bab 7: Estimasi Biaya Pengubahan Sistem Pengawasan Lembaga Keuangan ... 148 

7.1. Pendahuluan ... 148 

7.2. Biaya Peralihan Sistem Pengawasan di Inggris ... 150 

7.3. Biaya Pengalihan ke OJK versi RUU OJK ... 152 

7.4. Mungkinkah Biaya OJK RUU Ditanggung Lembaga Keuangan? ... 168 

7.5. Biaya Pengalihan ke Usulan Skema I dan II OJK ... 172 

Bab 8: Kesimpulan dan Saran ... 174 

8.1 Kesimpulan ... 174 

8.2 Saran ... 175 

Referensi ...v 

Lampiran 1. Kemanfaatan dan Kompleksitas Model Pendanaan ... xii 

Lampiran 2. Panduan Eksperimen ... xiv 

Lampiran 3. Tugas Pokok Pengawas LKB untuk Bank Skala Kecil ... xvi 

(6)

Lampiran 4. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Menengah ... xxv  Lampiran 5. Tugas Pokok Pengawas Perbankan untuk Bank Skala Besar ... xxxv   

(7)

Bab 1: Pendahuluan

 

1.1. Latar Belakang

Sistem keuangan memegang peranan penting dalam perekonomian karena sistem keuangan berfungsi mengalokasikan dana dari pihak yang mengalami surplus finansial kepada pihak yang mengalami defisit finansial. Apabila sistem keuangan tidak stabil dan tidak berfungsi secara efisien, pengalokasian dana tidak akan berjalan dengan baik sehingga dapat menghambat pertumbuhan ekonomi. Pengalaman menunjukkan, sistem keuangan yang tidak stabil, terlebih lagi jika mengakibatkan terjadinya krisis, memerlukan biaya yang sangat tinggi untuk upaya penyelamatannya.

Krisis ekonomi selalu menelan biaya yang tidak sedikit, baik dilihat dari biaya ekonomi maupun biaya sosial yang diakibatkannya. Krisis ekonomi di tahun 1997-1998, misalnya, membebani perekonomian Indonesia sebesar 50% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan pertumbuhan ekonomi minus 13%. Di sisi lain, diperlukan waktu yang tidak singkat untuk mengembalikan perekonomian ke kondisi sebelum krisis.

Belajar dari krisis ekonomi akhir dekade 1990-an, beberapa perubahan mendasar telah dilakukan pemerintah untuk mengidentifikasi secara dini kemungkinan krisis ekonomi dan kalaupun krisis terjadi dampak yang ditimbulkan dapat diminimasim, antara lain melalui pembentukan Lembaga Pinjaman Simpanan (LPS) yang berperan sebagai bank insurance.

LPS mulai beroperasi sejak 22 September 2005 yang pendiriannya disahkan melalui UU 24/2004. Peran Bank Indonesia (BI) pasca Orde Baru diatur di dalam UU Nomor 23/1999 yang kemudian disempurnakan melalui UU Nomor 3/2004.

Didasarkan pada kedua UU yang mengatur peran BI tersebut, diamanatkan fungsi pengawasan perbankan akan dialihkan ke Lembaga Pengawas Jasa Keuangan (LPJK) independen atau sering disebut dengan Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Sesuai dengan UU 3/2004, OJK harus terbentuk selambat-lambatnya pada 31 Desember 2010. OJK dibentuk sebagai lembaga independen yang mengawasi lembaga keuangan, baik bank maupun bukan bank, seperti perusahaan sekuritas, anjak piutang, sewaguna usaha, modal ventura, perusahaan pembiayaan, reksa dana, asuransi, dan dana pensiun serta lembaga lain yang berkegiatan mengumpulkan dana masyarakat.

(8)

Pembentukan OJK tidak terlepas dari situasi di perekonomian dunia pada saat terjadi krisis ekonomi di tahun 1997/1998. BI dipandang tidak optimal dalam melakukan fungsi pengawasan. Di sisi lain, di negara maju, terdapat kecenderungan adanya pemisahan fungsi pengawasan perbankan dari bank sentral untuk kemudian ditangani khusus oleh lembaga pengawas keuangan yang bersifat independen, misalnya Financial Service Authority (FSA) di Inggris.

1.2. Permasalahan

Hingga saat ini, BI berperan sebagai pengawas perbankan sekaligus sebagai regulator di bidang moneter. Dengan struktur yang ada saat ini, BI berperan aktif dalam dua hal sekaligus, yaitu macro-prudential supervision dan micro-prudential supervision. Macro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap aktivitas lembaga keuangan, khususnya perbankan, yang memiliki pengaruh signifikan pada sistem keuangan atau perekonomian. Di sisi lain, micro-prudential supervision merupakan kewajiban untuk melakukan pengawasan terhadap lembaga keuangan, khususnya perbankan, dengan tujuan untuk menjaga tingkat kesehatan lembaga keuangan secara individu.

Bentuk-bentuk sistem pengawasan OJK hingga kini masih menjadi bahan diskusi dengan mengacu pada best practice yang terjadi di luar negeri. Selain itu patut dipertimbangkan dari survei cross country yang diselenggarakan oleh IMF dengan hasil bahwa pengawasan keuangan di bawah OJK ternyata tidak sepenuhnya menjamin sistem keuangan berjalan lancar. Jikalaupun akan dibentuk maka OJK disarankan mengadop sistem Prancis, Korea Selatan, Jepang, Jerman atau Inggris yang telah direvisi.

Jika Rancangan Undang-Undang (RUU) OJK disetujui dan RUU OJK benar-benar dibentuk sebagai badan independen lepas dari BI, maka peran serta BI sebagai pengawas perbankan akan hilang dan BI akan fokus sebagai regulator pada bidang moneter. Implikasinya adalah bahwa fungsi penjaga stabilitas keuangan diserahkan kepada RUU OJK, sementara BI hanya bertugas untuk menjaga stabilitas moneter. Permasalahan yang muncul kemudian adalah bahwa stabilitas moneter seringkali tidak bisa dipisahkan terhadap stabilitas sistem keuangan.

Krisis ekonomi akibat subprime-mortgage yang kemudian memaksa pemerintah Amerika Serikat mem-bailout Bear Stern, AIG, maupun pemerintah Inggris mem-bailout Northern Rock, Lloyd TSB, Royal Bank of Scotland, dan pemerintah Jerman mem-bailout Hyppo Real Estate membuktikan bahwa instabilitas sistem keuangan berdampak terhadap instabilitas moneter. Di lain pihak, krisis moneter yang dialami Inggris di tahun 1992, maupun krisis

(9)

Jika peran pengawasan sistem keuangan diberikan sepenuhnya kepada OJK sementara . regulator moneter diemban oleh BI, maka akan muncul beberapa permasalahan:

1. Meski RUU OJK mungkin bisa segera dibentuk, namun karena lembaga baru ini terdiri dari berbagai komponen (misalnya BI, Departemen Keuangan, dan lain-lainya), diperlukan waktu cukup panjang untuk bisa mulai beroperasi dengan sempurna.

Belajar dari lembaga ad-hoc lain, pembentukan KPK dilandasi UU Nomor 30/2002, namun lembaga tersebut baru terbentuk tahun 2004 dan mulai beroperasi penuh pada tahun 2005. Contoh lain adalah Badan Nasional Penanggulangan Bencana yang didirikan berdasarkan UU Nomor 24/2007. Sesuai amanat konstitusi, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) didirikan disemua provinsi dan kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Hingga saat ini BPBD Tingkat I telah terbentuk di 28 provinsi. Masih ada lima provinsi lain yang belum memiliki BPBD Tingkat I, meskipun provinsi tersebut sering terkena gempa (misalnya DIY dan Papua). Dari total 399 kabupaten se Indonesia, sampai ini hanya 104 kabupaten saja yang telah didirikan BPBD Tingkat II, padahal idealnya semua kabupaten di Indonesia didirikan BPBD.

2. Koordinasi antara RUU OJK dan BI cenderung akan suboptimal, karena masing- masing lembaga cenderung untuk fokus kepada tugas pokok fungsi masing-masing sementara seringkali tugas pokok fungsi masing-masing lembaga cenderung bertentangan. Seperti halnya teori public choice, hubungan antar lembaga pemerintah bisa dimodelkan sebagai 2x2 prisoners dilemma game. Pada game tersebut, pareto optimum bukanlah pilihan yang rasional, karena setiap pemain selalu memiliki insentif untuk beralih dari strategi yang menghasilkan pareto optimum.

3. Lemahnya koordinasi dan pertukaran informasi antara RUU OJK dan BI akan meningkatkan kerentanan ekonomi Indonesia terhadap krisis ekonomi, baik yang disebabkan oleh krisis moneter maupun krisis sistem keuangan.

4. Fungsi lender of the last resort dari BI tidak akan optimal selama BI tidak memiliki informasi yang memadai tentang kondisi sistem keuangan di tingkat lembaga keuangan individual. Kasus ini terjadi di Inggris yaitu ketika Northern Rock, sebuah lembaga keuangan yang diawasi oleh FSA, akhirnya kolaps dan di-bailout oleh Bank of England (BOE) dan bank sentral tersebutlah yang selama ini tidak tahu tentang

(10)

sepak terjang pengelola Northern Rock yang terlalu berani melakukan ekspansi pengucuran kredit, dipaksa untuk mengambil keputusan sulit ketika kasus tersebut dilimpahkan oleh FSA untuk di-bailout.

5. Hingga saat ini otoritas yang bertanggung jawab dalam mengambil keputusan penting di saat krisis adalah KSSK dan KK yang terdiri dari BI, Kementrian Keuangan dan LPS. Jika OJK dipisahkan dari BI, maka jumlah lembaga di KSSK dan KK menjadi empat. Hal ini akan meningkatkan masalah koordinasi untuk pengambilan keputusan penting di saat krisis.

Tidak dipungkiri bahwa rancangan awal RUU OJK yang beredar di masyarakat adalah mengikuti struktur terintegrasi sebagaimana yang dianut oleh Inggris dengan FSA sebagai satu satunya lembaga yang mengawasi seluruh industri keuangan. Akan tetapi, jika melihat penerapan di beberapa negara di dunia, sistem integrasi ini hanya diterapkan oleh negara- negara yang memiliki universal banking di mana produk-produknya merupakan produk hibrida antara produk bank dan lembaga keuangan lain. Di negara-negara yang memiliki universal banking tersebut pengawasan lembaga keuangan menjadi krusial untuk berada dalam satu atap karena produk-produk yang dihasilkan lembaga-lembaga keuangan sudah sedemikian menyatu, sehinga sulit menentukan apakah suatu produk keuangan termasuk produk keluaran perbankan atau non perbankan. Sementara itu di Indonesia, mayoritas bank adalah bank komersial (commercial banking) dan jikapun terdapat produk hibrida, jumlahnya masih sedikit dibanding dana di sektor perbankan, sehingga struktur pengawasan yang terpisah per industri boleh jadi merupakan struktur pengawasan yang lebih tepat bagi Indonesia dan negara berkembang lainnya (Grenville, 2005).

Tabel 1.1 menunjukkan kelima bentuk stuktur pengawasan yang ada dan telah diterima secara worldwide meskipun tidak ada contoh negara yang menerapkan sama persis sesuai dengan pendekatan tersebut. Setiap pendekatan tersebut distrukturisasi berdasarkan keunikan sejarah, politik, budaya, perkembangan ekonomi, dan struktur bisnis lokalnya. Maka, keefektifannya dalam penerapannya untuk setiap negara lebih didasarkan pada keunikan faktor-faktor lokalnya sehingga tidak ada satu model yang pasti cocok dan optimal untuk diterapkan di setiap negara. Konsensus yang berlaku menyatakan bahwa pemilihan pendekatan mana yang sesuai dalam pembentukan struktur model pengawasan sistem keuangan haruslah berdasarkan pada:

Referensi

Dokumen terkait

Benturan kewenangan di bidang kepelabuhan antara Badan Pengusahaan dengan Pemerintah Kota Batam didasarkan pada konflik norma antara Undang-undang Nomor 36 Tahun 2000

Pengkayaan Selenium Organik, Inorganik dan Vitamin E dalam Produk Puyuh melalui Supplementasi dalam Ransum serta Potensi Telur Puyuh sebagai Bahan Pembuat Juice Telur

Berdasarkan pembahasan semua parameter tesebut di atas, dapat disimpulkan bahwa produk kompos yang dihasilkan dari lokasi Timika dan Kuala Kencana sudah memenuhi kriteria

Atap kampung adalah jenis yang paling sederhana berdasar struktur dan dikenal sebagai tempat tinggal orang biasa; atap limasan merupakan ragam bentuk atap kampung

Indikator ini didukung oleh 2 sub output, yaitu (1) Penyelenggaraan Pendidikan Kesetaraan Paket C, yang telah merealisasikan anggaran Rp. Jumlah desa

Dari tabel tersebut terlihat bahwa diantara usia, jenis kelamin serta pendidikan yang memiliki hubungan terhadap tingkat kepatuhan adalah pendidikan dengan nilai p <

Clothing line merupakan salah satu bisnis yang ramai dizaman modern seperti sekarang ini. Banyak brand baru bermunculan, mulai dari yang langsung memiliki nama besar atau yang

Untuk meningkatkan nilai rasio yang diperoleh petani, salah satu cara yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan kualitas susu yang diproduksi, sehingga harga yang diterima