SKRIPSI
diajukan untuk memenuhi sebagian syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Pendidikan Sejarah
oleh
Heryati Puspitasariningsih NIM 0906458
DEPARTEMEN PENDIDIKAN SEJARAH
FAKULTAS PENDIDIKAN ILMU PENGETAHUAN SOSIAL
UNIVERSITAS PENDIDIKAN INDONESIA
DI JEPANG TAHUN 1990 - 2003
disetujui dan disahkan oleh pembimbing :
Pembimbing I
Dr. Agus Mulyana, M.Hum. NIP. 19660808 199103 1 002
Pembimbing II
Dra. Lely Yulifar, M. Pd. NIP. 19641204 199001 2 002
Mengetahui,
Ketua Departemen Pendidikan Sejarah
Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial
Universitas Pendidikan Indonesia
Skripsi ini berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di
Jepang Tahun 1990-2003”. Masalah utama yang dibahas dalam skripsi ini adalah mengenai Bagaimana Eksistensi Mugyousha sebagai Pengangguran Terbuka bisa Berkembang di Jepang. Masalah utama tersebut kemudian dibagi menjadi 4 pertanyaan penelitian, yaitu 1) Bagaimana latar belakang kemunculan fenomena
Mugyousha di Jepang, 2) Bagaimana perkembangan fenomena Mugyousha di Jepang
pada tahun 1990-2002, 3) Bagaimana dampak yang ditimbulkan fenomena
Mugyousha terhadap kondisi sosial ekonomi masyarakat Jepang yang terjadi tahun
2002-2003, dan 4) Bagaimana kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk mengatasi perkembangan Mugyousha pada tahun 2003. Skripsi ini menggunakan metode historis dengan menggunakan empat langkah penelitian, yaitu heuristik sebagai upaya pencarian sumber, kritik terhadap sumber, interpretasi atau analisis terhadap sumber, dan historiografi atau penulisan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa fenomena kemunculan Mugyousha disebabkan oleh faktor internal, yakni pecahnya gelembung ekonomi akibat kredit macet yang terjadi di Bank Jepang pada tahun 1990. Besarnya dampak yang ditimbulkan dari pecahnya gelembung ekonomi menyebabkan beberapa perusahaan terpaksa tidak beroperasi dan berdampak pada semakin sedikitnya bursa kerja yang ditawarkan kepada angkatan kerja muda. Menariknya, ketika kondisi ekonomi Jepang sudah kembali membaik memasuki tahun 1997-an, jumlah angka pengangguran tidak mengalami penurunan. Dari hasil penelitian ternyata ditemukan ada beberapa alasan angkatan kerja muda menolak untuk memasuki dunia kerja, diantaranya karena sebagian dari mereka mengalami trauma akibat lamaran kerjanya yang terus-menerus ditolak, sedangkan yang lainnya sudah merasa nyaman dengan kondisinya sebagai pengangguran. Situasi angkatan kerja muda yang berusia 15-35 tahun dan menolak untuk bekerja ini kemudian dikenal masyarakat Jepang dengan sebutan Mugyousha. Para pelaku Mugyousha ini telah menimbulkan berbagai dampak sosial dan ekonomi bagi Jepang, dimulai dengan dilanggarnya nilai tradisional on dan giri untuk melaksanakan ninjo, berkembangnya perilaku hikikomori, parasite single, dan otaku, munculnya trend untuk jadi pekerja paruh waktu (freeter), dan semakin sedikitnya pajak pensiun yang tersedia di kas pemerintahan Jepang. Fenomena Mugyousha kemudian dianggap sebagai permasalahan nasional di Jepang pada tahun 2003 terutama setelah angka-angka natalitas juga mengalami penurunan. Munculnya fenomena ini menjadi hal menarik terutama jika melihat bahwa kondisi Mugyousha
yang „menganggur‟ berada di tengah-tengah masyarakat Jepang yang dikenal
sebaggai bangsa yang „pekerja keras‟.
The research titled “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun 1990-2003”. The main question of the research is How Mugyousha as open unemployment could get existence and develop in Japan. Afterwards its divided into 4 other research questions, that are 1) What kind of situation that become a background of Mugyousha’s appear in Japan, 2) What kind of development that Mugyousha has during 1990-2002, 3) What kind of influence that Mugyousha gives to Japanese in social economic situation during 2002-2003, and 4) What kind of government’s policies that Japanese do to solve Mugyousha in 2003. The research used historic method that has four steps, stand of heuristic which fill of sources search, critic to criticize the sources, interpretation to construe and make an analysis from the sources, and historiography to write of all the result. The result of the research show that internal factor become the right reason of Mugyousha’s existence in Japan, it is happen especially after the bubble economy get smashed caused of the credit stuck in Bank of Japan at 1990. The impact of it feels so huge and makes some business collapsed until wrought out the job stock exchange slightly for the freshman graduates as a side effect. The situations become more interesting in 1997s while the economic Japan success to tidy up but the number of unemployment does not decrease. The result of government’s research says that there is a couple of reason that make the young generation refuse to get a work, such as a traumatic because of his/her application kept on pushed away or even, obviously that he/she has been feeling comfortable with his/her situation. The young generation age aroung 15-35 that refused to work then known as Mugyousha in Japan. The existence of Mugyousha has made many influences in social and economic sector in Japan. In social sector, not only Mugyousha has broken the traditional norms like on and giri to choose ninjo, but also it has made negative behavior among the young generation like hikikomori, parasite single, and otaku. In economic sector, Mugyousha rather influence to increase the number of part timer (freeter) and decrease the amount of pension fund. In 2003, the government of Japan decided that Mugyousha become the highest priority problem that should to solve immediately, especially after they discover the decreases of number of birth rate. The existence of Mugyousha who jobless become more and more interesting because it has been appear among the Japanese who known as the workaholic.
DAFTAR ISI
ABSTRAK ...i
UCAPAN TERIMA KASIH ...iii
KATA PENGANTAR...v
DAFTAR ISI ...vi
DAFTAR GAMBAR ...viii
DAFTAR TABEL ...ix
DAFTAR LAMPIRAN ...x
BAB I PENDAHULUAN ...1
A. Latar Belakang Penelitian...1
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian ...8
C. Tujuan Penelitian ...9
D. Metodologi Penelitian...9
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian ...10
F. Struktur Organisasi Skripsi ...12
BAB II KAJIAN PUSTAKA ...14
A. Keadaan Sosial Ekonomi Masyarakat Jepang. ...16
B. Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang ...25
C. Nilai-Nilai Tradisional yang Dipatuhi Bangsa Jepang...31
D.Teori ...34
1. Teori Teknologi dan Ketinggalan Budaya ...34
2. Teori Konflik ...37
BAB III METODE PENELITIAN ...41
A.Metode Penelitian...41
B. Persiapan Penelitian ...46
C. Pelaksanaan Penelitian ...50
E. Laporan Penelitian ...59
BAB IV EKSISTENSI MUGYOUSHA SEBAGAI KEBANGKITAN GENERASI PENGANGGURAN TERBUKA DI JEPANG TAHUN 1990-2003...61
A. Latar Belakang Munculnya Fenomena Mugyousha tahun 1945-1990 ...63
1. Recovery Economy oleh Jenderal Doughlas Mac Arthur (1945-1952) ...63
2. Keajaiban Ekonomi Jepang tahun 1953-1970 ...69
3. Krisis Ekonomi Jepang tahun 1971-1990 ...75
B. Perkembangan Fenomena Mugyousha Tahun 1990-2002 ...82
1. Mengenal Kemunculan Generasi Mugyousha Pertama Tahun 1990-1997 ...85
2. Hilangnya Tenaga Kerja Jepang pada Tahun 1998-2002 ...96
C. Dampak Fenomena Mugyousha Tahun 2002-2003...101
1. Menguatnya Perilaku Hikikomori sampai Terjadinya Jisatsu...103
2. Perkembangan Dunia Otaku ...106
3. Dari Freeter sampai Parasite Single ...107
4. Isu Dana Pensiun ...110
D. Program Pemerintah Jepang Mengatasi Mugyousha Tahun 2003 ...112
1. Program Job Café...113
2. Program Pendidikan Karir (Kyaria Kyouiku) ...114
3. Program Sodateage Net...115
BAB V SIMPULAN DAN SARAN ...116
A. Simpulan ...116
B. Saran ...118
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1. Annual Increases or Decreases in Regular Employees and
Part-time or Temporary Workers...87
Gambar 4.2. Alasan Masyarakat Jepang Berhenti Mencari Pekerjaan...88
Gambar 4.3. Definition used in “Labor Force Survey” and Wher “Jobless Youth” Fall Into ...89
Gambar 4.4. Sumber Penghasilan Shitsugyousha dan Mugyousha (dalam persen) ...93
Gambar 4.5. Jenis Pekerjaan yang Disukai Generasi Muda...95
Gambar 4.6. Alasan Wanita Jepang Menunda Pernikahannya...99
Gambar 4.7. Birth, Deaths, and the Over-65 Population in Japan...100
Gambar 4.8. The Ratio of Academic Qualifications of Regular Workers, Temporary Workers (Freeter) and Other (NEET) (Data from ESS2002) ...101
Gambar 4.9. Perkembangan Freeter di Jepang...108
Gambar 4.10. Perbandingan Usia Penduduk Jepang dalam Kaitannya dengan Dana Pensiun ...110
DAFTAR TABEL
Tabel 4.1. Perubahan Perekonomian Jepang oleh SCAP...67
Tabel 4.2. Penghasilan selama Pemesdsanan Perbekalan Amerika pada
Perang Korea (dalam ribuan dollar) ...68
Tabel 4.3. Bagian dari Sepuluh Perusahaan Niaga Teratas dalam
Perdagangan Luar Negeri dalam Tahun 1950-an ...70
Tabel 4.4. Minat Masyarakat Jepang terhadap Sekolah ...77
Tabel 4.5. Compositions of Employed and Non-Employed, Unmarried
Youths Aged 15-34 Who Do Not Attend School ...90
Tabel 4.6. Proportion of Annual Househols Income by Jobless Youth Type
(Per cent) ...92
Tabel 4.7. Independent Variable and the Percentage of Total Jobless Youths
(Those Unmarried and Aged 15-34 Who Do Not Attend School
in 2002)...97
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Peta Jepang ...127
Lampiran 2. Peta Industri Jepang ...128
Lampiran 3. Contoh Pelaku Mugyousha ...129
Lampiran 4. Contoh Suasana Kamar Pelaku Hikikomori ...130
Lampiran 5. Contoh Suasana Kamar Pelaku Otaku...131
Lampiran 6. Contoh Freeter di Akihabara Jepang ...132
Lampiran 7. Contoh Suasana Pelatihan Kerja di Sodateage.net ...133
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penelitian
Generasi muda adalah generasi penerus harapan bangsa atau dikenal juga
dengan sebutan the leader of tomorrow. Penyebutan istilah ini tidak terlepas dari
fakta bahwa generasi muda adalah penerus yang akan menentukkan nasib bangsa dan negaranya di masa yang akan datang, akan „dibentuk‟ menjadi developing country
atau under developing country. Selama ini generasi muda dipandang sebagai pribadi
yang memiliki kekuatan fisik dan pola berpikir yang sangat produktif, maka sebagai
penerus bangsa, generasi muda diharapkan memiliki kemampuan untuk selalu
mengembangkan berbagai kompetensi yang dimiliki oleh dirinya.
Di dalam perkembangan sejarah bangsa Jepang telah tampak jelas peran aktif
generasi muda untuk memajukan bangsa dan negaranya. Pada era Meiji misalnya,
generasi muda Jepang telah banyak memperlihatkan hasrat kuat untuk membangun
masyarakat yang progresif (Pyle, 1988, hlm. 33), begitupun generasi muda Jepang
yang hidup di akhir masa pendudukan Sekutu, mereka telah berperan aktif untuk
melaksanakan berbagai perubahan yang luar biasa di bidang teknologi dan industri
yang hasilnya dapat dinikmati hingga sekarang. Perkembangan-perkembangan
tersebut dapat dicapai karena muncul sikap inisiatif dan kemantapan diri di dalam
generasi muda Jepang untuk selalu belajar dan bekerja dengan baik. Hasil yang paling
luar biasa yang diciptakan generasi muda Jepang adalah kondisi negaranya yang
dapat kembali normal setelah 20 tahun berlalu sejak kekalahan Jepang pada Perang
Dunia II (1 September 1939-2 September 1945) yang mengakibatkan Jepang berada
dalam kondisi terpuruk dan selama terjadinya pendudukan Sekutu (1945-1952)
(Susilo, 2009, hlm. 12).
Dengan berakhirnya pendudukan Sekutu di Jepang melalui penandatanganan
perjanjian perdamaian San Francisco pada bulan September 1951, perekonomian
terlepas dari faktor campur tangan kebijakan Jenderal MacArthur selama pendudukan
Amerika di Jepang, yang tujuannya untuk menghilangkan sifat Ultra-nasionalisme
dan Militerisme dari bangsa Jepang (Mattulada, 1979, hlm. 187-188).
Beragam perusahaan besar maupun perusahaan kecil mulai mampu beroperasi
kembali secara aktif. Kondisi seperti ini sangat menguntungkan bagi anak-anak muda
Jepang yang saat itu baru saja lulus dari sekolah formal mereka. Hampir seluruh
pemuda Jepang yang baru lulus mampu mendapatkan pekerjaan yang sesuai dengan
minat mereka. Hal ini menyebabkan lapangan pekerjaan yang disediakan pemerintah
mampu terpenuhi dengan jumlah angkatan kerja yang sesuai dengan kebutuhannya.
Senada dengan pendapat Oshima (1981, hlm. 7):
Di Jepang,… tingkat pengangguran “terbuka” boleh dikatakan rendah, barangkali di bawah 5% dari angkatan kerja.... Pada awal tahun 1960-an, tingkat pengangguran “terbuka” turun demikian rendahnya sehingga keadaan ekonomi bekerja penuh sudah tercapai kelihatannya beberapa tahun yang lalu. Indeks harga konsumen terus menanjak, terutama harga jasa yang tidak bisa diimpor. Upah nyata buruh kasar, terutama golongan terendah terus naik, seirama dengan semakin berkurangnya buruh kasar.
Terpenuhinya jumlah angkatan kerja di Jepang menyebabkan tingkat
kemakmuran masyarakatnya juga semakin membaik dan mampu hidup dengan
lingkungan yang lebih modern. Banyak pandangan menilai bahwa dampak negatif
dari kemunculan lingkungan dan pola hidup yang lebih modern akan menyebabkan
nilai dan tradisi yang dimiliki suatu masyarakat akan terhapus secara alami, namun
pandangan ini tampaknya tidak bisa berlaku sama di Jepang. Menjadi sesuatu yang
menarik untuk mengetahui bahwa, walaupun kemajuan ekonomi Jepang telah
berhasil membuatnya menjadi salah satu anggota negara paling maju di dunia sejak
terjadinya keajaiban ekonomi pada tahun 1960-an, tapi kekuatan kecepatan impor
teknologi mereka berjalan sama cepat dengan perkembangan impor kebudayaan dan
telah menyebar di antara penduduk (Vogel, 1982, hlm. 35).
Bertahannya kepatuhan masyarakat terhadap nilai dan tradisi di Jepang di
tengah-tengah arus modernisasi dapat dipahami dengan memperhatikan pola
pengajaran yang penuh dengan pembatasan yang diberikan para orangtua terhadap
tahapan yang berkelanjutan hingga mencapai taraf usia dewasa. Tujuannya untuk
membuktikan bahwa apapun yang diinginkan oleh anak tersebut bukanlah yang
paling penting di dunia ini, sehingga anak akan terbiasa untuk tidak merajuk, tidak
merengek, dan tidak menangis jika keinginannya tidak terpenuhi. Pembatasan ini
dipandang sebagai salah satu jalan untuk melatih mental (shuyo) dan mendatangkan
hasil-hasil yang bisa dicapai tanpa mementingkan keinginan pribadi (Benedict, 1982,
hlm. 265-266).
Pembatasan yang dilakukan biasanya akan berjalan menuju tahapan-tahapan
berikutnya, seiring dengan bertambahnya kewajiban yang harus ditanggung oleh
setiap anggota masyarakat Jepang. Kewajiban ini biasanya disebut on dan sepanjang
hidupnya orang Jepang akan menerima on dari orang lain. Cara membayar on atau
kewajiban tersebut dapat dilakukan orang Jepang dengan melakukan gimu dan giri.
Gimu dan giri, keduanya memiliki konsep dan pengertian yang berbeda satu sama
lain. Bersumber pada pendapat Mattulada (1979, hlm. 285), menyatakan bahwa gimu
adalah:
… sekumpulan kewajiban atau tugas yang dipunyai oleh seseorang semenjak kelahirannya sampai kepada kematiannya untuk dilakukan tanpa batas dan tanpa akhir. Kewajiban atau tugas kepada lingkungan keluarga dekat, kepada penguasa yang menjadi simbol negerinya, yang telah mengikat kesetiannya semenjak seseorang itu lahir dalam lingkungan keluarga dan bangsanya.
Berbeda dengan gimu yang diuraikan Mattulada, Benedict (1982, hlm.
140-141) berpandangan bahwa konsep giri adalah yang paling berat untuk ditanggung jika
dibandingkan dengan gimu. Hal ini karena dilihat dari proses pembayaran on atau
kewajiban yang penuh dengan perasaan yang tidak nyaman dan proses perhitungan
yang tepat jika on atau kewajiban tersebut akan dibayar melalui proses giri, yang
jumlah pembayarannya harus disesuaikan dengan kebaikan yang telah diterima dan
dilakukan dengan batas waktu tertentu. Bagi bangsa Jepang, kewajiban membayar
giri dan gimu harus selalu dipatuhi dan tidak boleh diacuhkan hanya karena perasaan
pribadi atau ninjo, yang biasanya datang secara tiba-tiba dan dapat menumbuhkan
perasaan egois di dalam diri, sehingga dapat mengalahkan keinginan untuk membayar
Contoh pembayaran on atau kewajiban terberat yang dimiliki setiap anggota
masyarakat Jepang adalah proses pembayaran terhadap negaranya sendiri, karena
menurut bangsa Jepang, selama hidupnya mereka telah mendapat banyak sekali
kebaikan dari negaranya. Kebaikan-kebaikan yang mereka terima dari negara
tersebut, mereka anggap sebagai on yang harus dibayar dengan cara bekerja keras dan
disiplin untuk kemajuan negaranya, baik dari aspek sosial, ekonomi, maupun politik.
Pola hidup masyarakat Jepang yang dipenuhi dengan nilai-nilai tradisional seperti on,
giri¸dan gimu telah banyak mengakibatkan sisi positif dan negatif. Sisi positifnya,
terbukti nyata dengan kemajuan Jepang yang berhasil dicapai hingga saat ini, di sisi
yang lain, pola hidup bangsa Jepang yang dipenuhi dengan berbagai tuntutan
kewajiban sepanjang hidupnya juga telah mampu menjaga nilai dan tradisi
masyarakat Jepang di tengah-tengah arus modernisasi ini. Sisi negatifnya adalah
munculnya pola hidup sebagian besar masyarakat Jepang yang selalu
menomersatukan pekerjaannya dibandingkan dengan kehidupan pribadinya, seperti
kehidupan keluarga. Di Jepang, beberapa kali telah terdengar berita mengenai pekerja
yang meninggal karena kelelahan bekerja. Berita-berita tersebut tampaknya menjadi
bukti nyata betapa keras perjuangan hidup orang Jepang untuk membalas budi (on)
yang telah mereka terima.
Di luar sisi positif dan negatif yang muncul akibat nilai-nilai budaya on, giri,
dan gimu, dampak lain yang mulai terlihat muncul adalah kegelisahan yang
mendalam di kalangan generasi muda bangsa Jepang dewasa ini (Reischauer, 1982,
hlm. 194-195). Generasi muda yang gelisah tersebut mayoritas adalah mereka yang
telah terbawa arus modernisasi, memiliki berbagai fasilitas dan teknologi yang sangat
menunjang kehidupan mereka, dan orangtua yang mampu dan mau untuk memenuhi
apapun keinginan anaknya. Kebiasaan orangtua Jepang dewasa ini yang dengan
mudah memberikan kenyamanan kepada anak mereka didasari kepada pengalaman
hidup mereka yang penuh dengan penderitaan dan kerja keras pasca Perang Dunia II
(1939-1945), sehingga tidak ingin kehidupan yang pahit itu dapat dirasakan kembali
oleh anaknya. Pola hidup yang telah dipengaruhi modernisasi ini akhirnya
berikutnya jika dibandingkan dengan generasi sebelumnya. Sikap-sikap hidup yang
berbeda tersebut di antaranya adalah sikap hedonis, individualis, dan kebiasaan untuk
menutup diri dari realitas sosial yang popular dengan sebutan hikikomori, yang
akhirnya dapat menyebabkan generasi muda saat ini tidak memiliki keberanian untuk
hidup mandiri.
Berawal dari rasa gelisah yang diakibatkan pola hidup yang berbeda antara
dirinya dengan masyarakat sekitarnya, generasi muda Jepang mulai mengalami
puncak pola hidup yang destruktif. Hal ini ditandai dengan munculnya golongan
pemuda yang berinisiatif menjadi pengangguran terbuka karena telah kehilangan
gairah untuk beraktifitas, yang bahkan sampai kepada sikap tidak mau melakukan
kegiatan apapun seumur hidupnya, seperti bersekolah ataupun bekerja, padahal
mereka sudah mencapai usia kerja dan termasuk dalam golongan angkatan kerja.
Golongan pemuda ini sekarang telah dikenal dengan sebutan Mugyousha yang di
dunia internasional dikenal dengan sebutan NEET (Not Employment, Education, or
Training) Generation dan dianggap sebagai suatu penyimpangan sosial dan bukti
sedang terjadinya krisis degenerasi bangsa. Genda (2007, hlm. 24) dalam Social
Science Japan Journal menyatakan bahwa:
Some described NEETs as a lazy, spoiled, and undisciplined, while other emphasized that they face obstacle to employment… Nevertheless, in spite of such limitations, several researchers from the academic fields of sociology and economics have made some important discoveries. For example, … NEETs include a relatively higher proportion of less-educated workers such as junior high school graduated and high-school dropouts; … that many NEETs have no friends and are more likely to lack good communication skills…
Beberapa ahli berpendapat bahwa kemunculan fenomena Mugyousha sebagai
salah satu penyebab kemunduran perekonomian Jepang, sehingga saat ini ekonomi
Jepang berada di titik „stagnan‟ dan tidak bisa maju kembali seperti saat terjadi
keajaiban ekonomi di Jepang tahun 1960-an. Hal ini dimulai tahun 1990 ketika terjadi
deflasi akibat resesi ekonomi yang memaksa Bank Central Japan melaksanakan
kebijakan pengetatan, saat itu juga adalah awal pertama diketahui bahwa fenomena
Mugyousha dianggap masyarakat Jepang sebagai masalah keluarga atau internal yang
tidak boleh dicampuri oleh orang lain. Namun setelah terjadinya krisis ekonomi yang
melanda Jepang di tahun 1997, fenomena Mugyousha ini semakin menguat dan
akhirnya mendapat perhatian yang besar, baik dari pemerintah maupun dari
masyarakat Jepang.
Perhatian yang muncul khususnya dari pemerintah, lebih banyak dilatar-
belakangi oleh fakta berkurangnya salah satu faktor produksi yang dimiliki Jepang,
yaitu tenaga kerja aktif yang dari tahun ke tahun semakin menurun. Hal ini lalu
diiringi dengan semakin berkurangnya jumlah angka kelahiran di Jepang. Bentuk
piramida penduduk Jepang yang seperti guci terbalik (constructive pyramid),
menyebabkan Jepang lebih dikenal sebagai negara yang lebih banyak memiliki
anggota penduduk generasi tua daripada generasi mudanya atau dikenal dengan
sebutan koreika shakai. Kelangkaan sumber daya manusia ini semakin diperparah
oleh sikap generasi mudanya, yang selain memiliki keengganan untuk membangun
rumah tangga dan memiliki keturunan, juga karena sebagiannya memiliki sifat
menyimpang sebagai Mugyousha.
Melihat betapa seriusnya masalah kelangkaan sumber daya manusia yang
dialami Jepang, masalah perilaku menyimpang seperti Mugyousha telah menjadi isu
masalah sosial yang sangat besar dan harus segera ditindak lanjuti. Di Jepang,
Mugyousha terbagi ke dalam empat tipe (Afifa, 2005, hlm. 17-20):
Tipe pertama adalah tipe berkelakuan buruk, biasanya didominasi oleh mereka yang berpendidikan rendah… mugyousha tipe ini lulus atau keluar
sekolah tanpa menyadari rencana yang pasti mengenai masa depan mereka… Tipe ke kedua adalah tipe penyendiri atau di Jepang disebut juga dengan
hikikomori, tipe ini biasanya memiliki latar belakang pendidikan yang cukup
tinggi, walaupun demikian karena mereka tidak memiliki kemampuan untuk berinteraksi dengan masyarakat, banyak dari tipe ini lebih memilih tinggal di rumah dan tidak melakukan tindakan apapun yang berarti…. Tipe ketiga adalah tipe ragu-ragu, mugyousha tipe ini biasanya adalah lulusan perguruan tinggi, namun karena tidak memahami bakat dan kemampuan diri sendiri,
mugyousha tipe ini jadi ragu-ragu dalam mencari pekerjaan yang sesuai untuk
mereka… Tipe keempat adalah tipe yang kehilangan kepercayaan diri,
mugyousha tipe ini ditunjukkan bagi orang-orang yang pernah memiliki
Dampak yang disebabkan fenomena Mugyousha beragam, dimulai dari
nilai-nilai tradisi leluhur yang semakin dilanggar dan diacuhkan, kewajiban-kewajiban
sosial yang tidak dilaksanakan dengan baik, bertambahnya jumlah pengangguran,
sampai kepada terkuaknya skandal ekonomi yang dilakukan oleh beberapa petinggi
bank-bank umum selama deflasi berlangsung di Jepang. Fenomena Mugyousha juga
telah turut berperan aktif di dalam menambah jumlah anggota kelompok yang
melakukan kegiatan unik namun merugikan pemerintah Jepang, seperti hikikomori
yang hanya memiliki kegiatan berdiam diri di kamar, yankee yang menghabiskan
hidupnya dengan bersenang-senang dan menggantungkan hidupnya pada orangtuanya
yang mapan sebagai parasite freeter, ataupun otaku yang memusatkan diri mereka
terhadap suatu objek yang mereka gemari, seperti komik, anime, ataupun game.
Bertambahnya jumlah Mugyousha, telah merugikan Jepang baik dari sisi
budaya maupun dari sisi ekonomi. Kerugian yang dilihat dari sisi budaya dapat
dilihat dengan semakin pudarnya nilai-nilai tradisi leluhur yang selama ini telah
dijaga dengan baik oleh bangsa Jepang, sedangkan kerugian dari sisi ekonomi yang di
derita Jepang muncul dari perhitungan pajak yang semakin berkurang untuk
pembayaran uang pensiun. Kerugian ini muncul karena anggota Mugyousha tidak
memiliki kegiatan yang menghasilkan pendapatan, sehingga mereka tidak membayar
pajak. Akibatnya pemerintah Jepang terpaksa mengambil sikap untuk mengantisipasi
bertambahnya jumlah Mugyousha di Jepang di tahun-tahun berikutnya. Berbagai
program telah dilakukan oleh pemerintah Jepang pada tahun 2003, bekerjasama
dengan perusahaan pemerintah atau negeri maupun perusahaan swasta.
Program-program tersebut antara lain adalah adanya kegiatan pengarahan, konseling,
pengenalan dunia kerja, dan tawaran untuk melakukan job-training bagi para
Mugyousha, dan diharapkan bisa menumbuhkan rasa percaya diri mereka untuk
terjun ke dunia kerja.
Jepang telah dikenal dunia internasional sebagai negara yang memiliki
anggota masyarakat yang penuh dengan dedikasi dan semangat kerja keras, walaupun
secara kuantitas mereka lebih sedikit dibandingkan negara-negara lain, namun
disayangkan, kini telah muncul fenomena Mugyousha yang dipenuhi anak-anak muda
yang memiliki karakteristik yang jauh berbeda, pemalas namun unik, hedonis dan
terbiasa dengan peralatan canggih namun tidak mampu bersosialisasi dengan baik,
telah membuat fenomena ini menjadi menarik untuk diteliti. Angka tahun 1990
terpilih sebagai tahun awal penelitian, karena pada tahun tersebutlah fenomena
mugyosha mulai muncul di Jepang dan masih dianggap sebagai masalah keluarga
atau pribadi. Diakhiri dengan angka tahun 2003, setelah pemerintah Jepang mulai
menganggap fenomena Mugyousha sebagai masalah serius yang harus ditangani oleh
negara.
Maka berdasarkan penjelasan latar belakang yang telah disampaikan, peneliti
merasa tertarik dan ingin mencoba untuk memahami lebih jauh fenomena Mugyousha
tersebut, dan membahasnya melalui skripsi yang berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun 1990-2003”
B. Identifikasi dan Perumusan Masalah Penelitian
Dalam penelitian ini yang menjadi masalah utama adalah “Bagaimana
eksistensi Mugyousha sebagai generasi pengangguran terbuka bisa berkembang
di Jepang?”. Berdasarkan permasalahan utama tersebut, peneliti telah membatasinya
menjadi beberapa pertanyaan penelitian berikut ini:
1. Bagaimana latar belakang kemunculan fenomena Mugyousha di Jepang?
2. Bagaimana perkembangan fenomena Mugyousha di Jepang pada tahun
1990-2002?
3. Bagaimana dampak yang ditimbulkan fenomena Mugyousha terhadap
kondisi kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepang yang terjadi tahun
2002-2003?
4. Bagaimana kebijakan yang dilakukan oleh pemerintah Jepang untuk
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini secara umum adalah
untuk menjawab permasalahan penelitian yang berkaitan dengan perkembangan
Mugyousha sebagai fenomena generasi pengagguran terbuka di Jepang yang terjadi
tahun 1990-2003. Namun, secara khusus tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk memperoleh gambaran umum mengenai deskripsi dan pengertian
Mugyousha sebagai fenomena pengangguran terbuka di Jepang serta latar
belakang yang menyebabkan Mugyousha bisa muncul di Jepang.
2. Untuk memahami proses tumbuh dan berkembangnya fenomena
Mugyousha di Jepang yang terjadi tahun 1990-2002.
3. Untuk mengidentifikasi dampak keberadaan Mugyousha terhadap
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Jepang selama fenomena
Mugyousha berkembang di Jepang.
4. Untuk mengkaji kebijakan yang dilakukan pemerintah Jepang di dalam
mengatasi perkembangan Mugyousha setelah fenomena tersebut dianggap
sebagai masalah degenerasi nasional bangsa Jepang.
D. Metode Penelitian
Metode yang akan dipakai untuk penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode historis. Kuntowijoyo (1994, hlm. 111) berpandangan bahwa metode ini
membantu peneliti untuk tetap memiliki cara pandang yang kritis, walaupun jati diri
sumber-sumber yang digunakan terbentuk di masa lampau. Adapun langkah-langkah
yang akan peneliti gunakan dalam melakukan penelitian sejarah ini sebagaimana
dijelaskan oleh Ismaun (2005, hlm. 48-50):
1. Heuristik yaitu tahap pengumpulan sumber-sumber yang dianggap relevan
dengan topik penelitian yang dipilih. Peneliti sendiri memilih untuk
menggunakan sumber tertulis yang diperoleh dari Kedutaan Besar Jepang
lain berupa tulisan-tulisan ilmiah pun peneliti cari dari berbagai
perpustakaan dan situs web resmi yang diketahui peneliti.
2. Kritik yaitu memilih dan menyaring validitas sumber-sumber yang telah
ditemukan. Pada tahap ini, peneliti mulai membandingkan kualitas satu
sumber literatur dengan sumber literatur lainnya, termasuk dengan
mengkritik latar belakang penulis dari sumber literatur itu sendiri.
3. Interpretasi yaitu memaknai atau memberikan penafsiran terhadap
fakta-fakta yang diperoleh dengan cara menghubungkan fakta-fakta-fakta-fakta tersebut
satu dengan yang lain. Peneliti disini mencoba menafsirkan perkembangan
fenomena Mugyousha di Jepang.
4. Historiografi yaitu tahapan akhir dalam penulisan sejarah. Pada tahapan
ini peneliti menyajikan hasil temuannya dengan cara menyusun data yang
sudah ditafsirkan dalam bentuk tulisan yang jelas dengan tata bahasa
penulisan yang baik dan benar.
Dalam upaya mengumpulkan bahan-bahan yang diperlukan di dalam
penyususunan proposal skripsi, peneliti telah melakukan teknik pengumpulan sumber
dengan menggunakan studi literatur. Teknik penulisan skripsi sendiri telah
disesuaikan dengan buku pedoman penulisan karya tulis ilmiah yang diterbitkan oleh
UPI pada tahun 2014. Adapun hal-hal yang berkaitan dengan pembahasan metode
dan teknik penelitian akan dijelaskan lebih mendetail pada bab tiga.
E. Manfaat/Signifikansi Penelitian
Manfaat/signifikansi penelitian dapat dilihat dari segi tataran teoritis/akademis
dan tataran praktis, seperti berikut ini:
1. Teoritis/Akademis
a. Memperkaya kajian-kajian karya tulis ilmiah di Universitas
Pendidikan Indonesia, khususnya di Jurusan Pendidikan Sejarah.
Khususnya karya tulis ilmiah yang memiliki hubungan dengan kajian
penulisan sejarah kawasan dengan tema nilai dan kebudayaan di
b. Menambah ilmu dan pengetahuan bagi peneliti maupun pembaca
skripsi mengenai perkembangan Mugyousha sebagai sebuah salah satu
isu sosial mengenai kebangkitan beberapa pemuda Jepang yang
memiliki sifat pemalas sehingga menimbulkan masalah degenerasi
nasional, yang akhirnya berdampak negatif terhadap berbagai aspek
kehidupan bangsa Jepang.
c. Untuk dijadikan sebagai salah satu sumber pembantu bagi karya tulis
yang memiliki kajian yang sejenis.
d. Diharapkan mampu membantu di dalam pengembangan materi
pembelajaran sejarah di sekolah-sekolah, khususnya materi
pembelajaran yang memiliki kaitan bahasan dengan sejarah Jepang.
Sehingga guru dan siswa diharapkan mampu memperkaya wawasan
keilmuannya dalam memahami dan mengeksplorasi sejarah dan
budaya bangsa Jepang.
2. Praktis
a. Mengkaji lebih dalam mengenai kondisi sosial dan ekonomi bangsa
Jepang, terutama nilai-nilai dan tradisi yang telah menjadi landasan
etos kerja bangsa Jepang selama ini.
b. Memahami perkembangan generasi muda bangsa Jepang yang
memiliki perbedaan pola hidup dan sikap hidup yang berbeda dengan
generasi sebelumnya yang disebabkan oleh pola kehidupan mereka
yang lebih modern, sehingga menimbulkan masalah degenerasi bangsa
dan penyimpangan sosial yang mengakibatkan masalah-masalah baru
yang lebih besar terhadap sendi-sendi kehidupan masyarakat Jepang.
c. Mengkaji langkah-langkah kebijakan pemerintah Jepang yang
berkaitan dengan cara penanganan mereka untuk mengantisipasi
bertambahnya jumlah generasi muda Jepang yang memiliki
F. Struktur Organisasi Skripsi
Struktur organisasi yang ditulis dalam penulisan skripsi ini telah disesuaikan
dengan buku Pedoman Penulisan Karya Ilmiah yang diterbitkan oleh Universitas
Pendidikan Indonesia tahun 2014. Struktur organisasi yang dimaksud adalah sebagai
berikut:
Bab I Pendahuluan. Di dalam bab ini terdapat uraian latar belakang dan
masalah yang menguraikan hal-hal umum mengenai Mugyosha di Jepang. Dengan
uraian latar belakang dan masalah tersebut, diharapkan mampu memperjelas
ketertarikan peneliti untuk mengangkat tema Mugyousha sebagai sebuah penelitian.
Di dalam bab ini juga diuraikan masalah yang ingin dibahas dan perumusan dan
pembatasan masalahnya, agar permasalahan tidak menjadi melebar. Terdapat juga
sedikit penjelasan mengenai metode dan teknik penelitian yang dilakukan peneliti,
manfaat dan tujuan dari penelitian, serta struktur organisasi penulisan skripsi yang
akan menjadi kerangka berpikir dan pedoman di dalam penulisan penelitian ini.
Bab II Kajian Pustaka, berisi berbagai sumber literatur yang digunakan
peneliti untuk mendukung tema penelitian yang sedang dibahas, termasuk mengenai
pembahasan penelitian terdahulu yang relevan. Bab ini berfungsi untuk menunjukkan
kedudukan masalah penelitian yang sedang ditulis. Di dalam bab ini, peneliti bertugas
untuk membandingkan, mengontraskan, dan memposisikan kedudukan
masing-masing sumber literatur yang telah diperoleh satu sama lain dan menjelaskan posisi
serta latar belakang dari setiap penulis sumber tersebut.
Bab III Metode Penelitian, berisi pemaparan kegiatan dan cara yang dilakukan
dalam penyusunan skripsi. Metode yang digunakan adalah metode penelitian sejarah,
di mana langkah-langkahnya terbagi menjadi heuristik atau pengumpulan sumber,
kritik terhadap sumber, interpretasi sumber, hingga tahap historiografi. Bab ini
berfungsi untuk meyakinkan pembaca bahwa setiap sumber yang digunakan sudah
diuji melalui tahapan-tahapan yang akademis sehingga dapat dipertanggungjawabkan.
Bab IV Eksistensi Mugyousha sebagai Kebangkitan Generasi Pengangguran
Terbuka di Jepang tahun 1990-2003. Bab empat ini berisi pemaparan mengenai latar
masyarakat Jepang selama fenomena ini terjadi pada tahun 1990-2003, pengertian
dari konsep Mugyousha sebagai pengangguran terbuka, dampak kehadiran
Mugyousha, dan kebijakan pemerintah Jepang yang bertujuan untuk mengatasi laju
perkembangan Mugyousha.
Bab V Kesimpulan dan Saran, terdapat uraian mengenai penafsiran dan
pemaknaan peneliti terhadap hasil jawaban penelitian. Bab ini juga berisi uraian padat
mengenai kesimpulan peneliti terhadap seluruh pembahasan yang ditulis pada
bab-bab sebelumnya.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Metode Penelitian
Pada bab ini akan dipaparkan langkah-langkah di dalam penyusunan
penulisan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan kajian masalah skripsi yang
berjudul “Mugyousha: Fenomena Generasi Pengangguran Terbuka di Jepang Tahun
1990-2003”. Di dalam penyusunan skripsi ini peneliti menggunakan metode
penelitian historis yang berkaitan erat dengan kajian ruang dan waktu di masa lampau
dan merupakan konsep di dalam penelitian sejarah.
Penjelasan mengenai metode diberikan oleh Wirartha (2006, hlm. 76) yang
menyatakan pendapat bahwa:
Metode penelitian terdiri atas dua kata, metode dan penelitian. Metode berasal dari bahasa Yunani yaitu methodos yang berarti cara atau jalan untuk mencapai sasaran atau tujuan dalam pemecahan suatu permasalahan. Kata yang mengikutinya adalah penelitian yang berarti suatu usaha untuk mencapai sesuatu dengan metode tertentu, dengan cara hati-hati, sistematik, dan sempurna terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Jadi, metode penelitian adalah suatu cara atau prosedur untuk memperoleh pemecahan terhadap permasalahan yang sedang dihadapi. Metode penelitian mencangkup alat dan prosedur penelitian.
Pandangan lain adalah pembahasan mengenai metode sejarah yang
diungkapkan oleh Gottschalk (1986, hlm. 32):
…dinamakan metode sejarah disini adalah proses menguji dan menganalisa
secara kritis rekaman dan peninggalan masa lampau. Rekontruksi yang imajinatif daripada masa lampau berdasarkan data yang diperolah dengan menempuh proses itu disebut historiografi (penulisan sejarah). Dengan mempergunakan metode sejarah dan historiografi (yang sering dipersatukan dengan nama metode sejarah) sejarawan berusaha untuk merekontruksi sebanyak-banyaknya daripada masa lampau manusia.
Bersumber kepada pendapat Gray (dalam Sjamsuddin, 2007, hlm. 89-90;
Supardan, 2009, hlm. 289-290, 307) menyatakan bahwa paling tidak terdapat enam
1. Memilih suatu pembahasan topik yang sesuai,
2. Mengusut semua evidensi (bukti) yang didapatkan dari berbagai data yang relevan dengan topik bahasan,
3. Membuat catatan-catatan yang berhubungan dengan topik bahasan yang dianggap penting dan relevan. Isi dari catatan-catatan tersebut dapat berupa data-data yang ditemukan saat penelitian sedang berlangsung, 4. Melakukan kritik terhadap sumber dan data yang telah diperoleh dengan
cara melakukan evaluasi secara kritis terhadap semua evidensi (bukti) yang telah dikumpulkan,
5. Menyusun data-data hasil penelitian secara sistematis dengan pola yang baik dan benar, termasuk di dalamnya pencatatan fakta-fakta,
6. Menyajikan data-data hasil penelitian semenarik mungkin sehingga mampu menarik perhatian dari para pembaca. Penyajian data-data ini juga harus mampu memberikan pemahaman bagi para pembacanya hingga penyajiannya harus bersifat komunikatif.
Sedangkan menurut Gottschalk (1986, hlm. 18) untuk membuat suatu
penulisan sejarah bertumpu terhadap empat kegiatan pokok:
1. Mengumpulkan bahan-bahan kajian yang relevan dan sesuai dengan kurun waktu objek kajian yang sedang diteliti, baik yang berbentuk tulisan ataupun lisan.
2. Memilih sumber-sumber yang dapat dipakai dan tidak diperlukan dalam proses penyusunan penelitian dari objek yang sedang diteliti.
3. Memberikan analisis atau kesimpulan terhadap bahan-bahan yang telah diseleksi untuk digunakan selama proses penyusunan penelitian.
4. Dilakukan penyusunan berupa hasil tulisan dari hasil penelitian yang dilakukan agar dapat dimanfaatkan oleh berbagai kalangan, baik umum ataupun pihak akademisi.
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 86-89) untuk menulis karya tulis ilmiah
dengan tema sejarah, seorang penulis sejarah harus memiliki beberapa rambu-rambu
yang diperlukan di dalam melakukan kegiatan penelitian sejarah hingga tahap
penulisannya, di antaranya sejarawan diharuskan untuk:
1. Memiliki kemampuan untuk mengekspresikan secara baik ilmu pengetahuan yang dimilikinya baik secara lisan maupun tertulis, hingga hasil karya ilmiahnya dapat dipahami oleh berbagai lapisan masyarakat yang memiliki latar belakang pendidikan yang berbeda-beda.
2. Memiliki kemampuan untuk memahami dan berbicara di dalam beberapa bahasa selain bahasa Indonesia, termasuk di dalamnya bahasa asing ataupun bahasa daerah.
4. Memiliki pemahaman terhadap sumber-sumber yang telah diperolehnya, baik pengertian yang tersurat maupun pengertian yang tersirat, hingga dapat mengembangkan kemampuan imajinasi dan sikap empatinya terhadap kajian yang sedang diteliti.
5. Memiliki sikap profesional sebagai seorang peneliti, sehingga bisa membedakan penelitiannya sebagai suatu penelitian ilmiah bukan hanya sekedar hobi.
6. Memiliki pengalaman hidup dengan latar belakang pendidikan yang baik sejak kecil.
7. Memiliki pandangan hidup untuk selalu menyatakan dan menuliskan kejadian yang sebenarnya tanpa ada yang ditutupi.
Di dalam melakukan proses penulisan karya tulis skripsi ini, peneliti telah
berusaha untuk melaksanakan semua poin rambu-rambu yang harus diikuti. Alasan
utama di dalam dilakukannya rambu-rambu tersebut berkaitan erat dengan proses
penelitian yang sedang dilakukan peneliti mengenai suatu fenomena yang anomali
yang terjadi di kalangan generasi muda Jepang yang lebih dikenal dengan
Mugyousha. Peristiwa anomali tersebut lalu peneliti kategorikan sebagai tindakan
yang sosiopatis, hal ini karena terjadinya fenomena tersebut tidak diterima di
tengah-tengah kalangan masyarakat Jepang. Di dalam penelitian ini, peneliti tidak bermaksud
untuk menghakimi apakah fenomena Mugyousha tersebut salah ataupun benar
ataupun dampaknya akan menjadi positif ataupun negatif. Maksud peneliti di dalam
menulis fenomena tersebut hanya untuk menjelaskan peristiwa terjadinya suatu
fenomena yang unik, dan karenanya penulisan ini pun dilakukan dengan hati-hati
dengan menggunakan metode yang tepat.
Di dalam penulisan karya tulis ilmiah yang berkaitan dengan kajian bidang
sejarah, tentulah harus memiliki kerangka berpikir yang logis dan sistematis.
Terdapat langkah-langkah ilmiah yang harus dipakai peneliti. Secara umum menurut
Ismaun (2005, hlm. 48-51), langkah- langkah penelitian sejarah tersebut terdiri dari:
1. Heuristik, yaitu proses mencari dan megumpulkan data yang dapat
membantu dalam proses penelitian sejarah berupa sumber-sumber sejarah
yang relevan yang dilakukan setelah dilakukan proses pencarian literatur.
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 110-129) di dalam proses pencarian
Jerman dapat dilakukan seorang peneliti di beberapa tempat di antaranya
di perpustakaan, arsip, ataupun museum, dan hasil datanya sendiri dapat
berupa kronik, autobiografi, memoir, surat kabar, publikasi umum,
surat-surat pribadi, catatan harian, notulen rapat, ataupun sastra.
2. Kritik sumber yang didasari etos ilmiah yang menginginkan, menemukan,
dan mendekati kebenaran. Setelah menemukan sumber sejarah yang
diperlukan lalu harus ditentukan bagian-bagian yang sesuai dan diperlukan
dalam proses penelitian, dengan demikian diperlukan proses seleksi
terhadap data-data dan sumber-sumber yang telah diperoleh. Sjamsuddin
(2007, hlm. 131-132) menyatakan bahwa kegiatan ini harus dilakukan
seorang sejarawan baik terhadap bahan materi (ekstern) sumber maupun
terhadap isi dari sumber-sumber penelitian sehingga karya penulisan
sejarah merupakan suatu hasil produksi yang dapat
dipertanggungjawabkan karena melalui proses yang ilmiah.
3. Interpretasi atau tahap penafsiran yang di dalam bahasa Jerman dikenal
dengan sebutan auffassung mulai dilakukan untuk memecahkan masalah
yang lebih berat. Dianggap berat karena disadari ataupun tidak pada
tahapan ini sejarawan harus mampu untuk menafsirkan data-data yang
sudah berhasil untuk disaring untuk dikisahkan sebagai suatu karya tulis
ilmiah. Karena data yang tersedia bukan hanya berada pada satu sumber,
maka sejarawan selain harus mampu menyusun hasil data-data yang telah
dikumpulkan juga harus mampu untuk bersikap tidak memihak pada salah
satu sumber dan mengisahkan hasil penelitian dengan objektif dan
mengurangi sedikit mungkin kekeliruan yang mungkin terjadi.
4. Historiografi atau dalam bahasa Jerman disebut darstellung adalah
tahapan terakhir yang kegiatannya adalah mengadakan sintesis sejarah
dengan cara menuliskan hasil penafsiran yang sudah dilakukan
sebelumnya menjadi suatu karya tulis ilmiah. Menurut Sjamsuddin (2007,
hlm. 236) bahwa wujud dari penulisan karya tulis tersebut merupakan
penulisan tersebut dalam proses presentasi. Sehingga hasil akhir dari
penyusunan karya tulis tersebut adalah dapat dibaca oleh berbagai
kalangan masyarakat.
Berdasarkan penjelasan langkah-langkah penelitian yang dijelaskan oleh Gray
dan Ismaun tersebut, maka proses penyusunan karya tulis ilmiah ini dilakukan. Untuk
mempertajam analisis di dalam penyusunan skripsi juga telah digunakan pendekatan
multidisipliner yang meminjam beberapa konsep dari ilmu-ilmu sosial lainnya,
seperti Ekonomi, Geografi, Sosiologi, Antropologi, dan Psikologi. Dilakukannya
pendekatan multidisipliner oleh peneliti berkaitan erat dengan tema penelitian yang
peneliti mengenai sejarah sosial yang menekankan terhadap penyatuan kolaborasi
antara model penelitian sinkronik dan diakronik. Adapun perbedaan dari kedua model
tersebut, mengutip pendapat Kuntowijoyo (1994, hlm. 36-38) adalah:
Dalam sebuah model yang sinkronis masyarakat digambarkan sebagai sebuah sistem yang terdiri dari struktur dan bagiannya. Pendekatan struktural dan fungsional dalam ilmu-ilmu sosial menyaran pada model sinkronis yang melihat potret masyarakat dalam keadaan statis, dalam keadaan waktu nol… sebuah model sinkronis lebih mengutamakan lukisan yang meluas dalam ruang dengan tidak memikirkan terlalu banyak mengenai dimensi waktunya. Sebaliknya model yang diakronis lebih mengutamakan memajangnya lukisan yang berdimensi waktu, dengan sedikit saja luasan ruangan. Model sinkronis kebanyakan digunakan oleh ilmu-ilmu sosial seperti sosiologi, politik, ekonomi, antropologi, dan juga arkeologi, sedangkan model diakronis
digunakan oleh ilmu sejarah… Model diakronis akan menjadi pelengkap yang sempurna bagi penulisan yang sinkronis.
Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu Ekonomi adalah skarsitas, produksi,
konsumsi, investasi, uang, bank, dan perpajakan yang berfungsi untuk membantu
menjelaskan mengenai kondisi ekonomi masyarakat Jepang yang mendorong
timbulnya fenomena Mugyousha. Sedangkan untuk konsep-konsep yang dipinjam
dari ilmu Geografi adalah tempat, sensus penduduk, lingkungan, kota, mortalitas, dan
wilayah, yang membantu di dalam menganalisis masalah-masalah yang berkaitan
dengan keadaan alam di Jepang.
Peneliti juga menggunakan konsep-konsep dari ilmu Sosiologi seperti
dan globalisasi, yang digunakan peneliti untuk memahami lebih mendalam kehidupan
sosial masyarakat Jepang untuk menganalisis latar belakang yang mendorong
munculnya fenomena Mugyousha dan membantu perkembangan tersebut tetap eksis
dan bertahan. Sedangkan untuk konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu Antropologi
di antaranya adalah evolusi, kebudayaan, enkulturasi, dan tradisi, yang berfungsi
untuk memahami nilai-nilai tradisional yang telah dipakai oleh masyarakat Jepang
selama ini dan bertahan hingga sekarang.
Konsep-konsep yang dipinjam dari ilmu sosial terakhir yaitu psikologi di
antaranya adalah motivasi, sikap, persepsi, konsep diri, pikiran, dan kepribadian yang
berfungsi untuk memahami lebih jauh pola pikir masyarakat Jepang, baik yang peduli
dan masih melaksanakan berbagai nilai-nilai tradisional masyarakat Jepang ataupun
bagi generasi muda Jepang yang mulai merasa tidak cocok untuk mengikuti nilai dan
tradisi mereka.
Untuk teknik pengumpulan data yang digunakan adalah teknik studi
kepustakaan dan studi dokumentasi. Digunakannya kedua teknik tersebut untuk
memperoleh data didasari oleh pertimbangan bahwa objek kajian penelitian yang
sedang diteliti merupakan fenomena yang terjadi di negara lain dan akan cukup sulit
untuk menggunakan teknik wawancara. Di dalam proses pencarian buku-buku yang
relevan, peneliti telah banyak melakukan kunjungan di berbagai tempat baik di
Bandung ataupun di Jakarta.
Berdasarkan pemaparan di atas, maka terdapat beberapa langkah yang
digunakan untuk melaksanakan kegiatan penelitian sehingga menjadi karya tulis yang
sesuai dengan tuntutan ilmiah. Adapun langkah- langkah tersebut terbagi menjadi:
B. Persiapan Penelitian
Di dalam proses persiapan penelitian terdapat beberapa langkah yang harus
dilakukan sebelum melakukan penelitian lebih lanjut, di antaranya;
1. Penentuan dan Pengajuan Tema Penelitian
Menurut Tan (1994, hlm. 15-17) di dalam melakukan penelitian
yang akan dilakukan dan ketersediaan data-data selama penelitian
berlangsung. Hal senada juga diungkapkan oleh Gottschalk (1986, hlm.
41-42) yang menyatakan bahwa sebagai seorang pemula maka tema yang
diajukan pertama kali akan lebih baik jika berbentuk pertanyaan bukan
berbentuk suatu tema penelitian. Pertanyaan yang diajukan untuk diteliti
terdiri dari empat perangkat, pertama yaitu perangkat pertanyaan yang bersifat
geografis sehingga penelitian dapat fokus untuk mencangkup suatu wilayah
tertentu, kedua bersifat biografis sehingga penelitian dapat dilakukan dengan
lebih terfokus pada kelompok manusia tertentu, ketiga bersifat kronologis dan
interogatif sehingga penelitian dapat dilakukan pada cangkupan waktu
kejadian tertentu, dan yang terakhir yang bersifat fungsional dan berhubungan
dengan minat dari peneliti sendiri.
Peneliti pun melaksanakan proses penentuan dan pengajuan tema
penelitian berdasarkan penjelasan tersebut. Untuk langkah pertama, peneliti
telah menentukan Jepang sebagai perangkat pertanyaan yang bersifat
geografis. Alasannya karena Jepang adalah kawasan di benua Asia yang
sangat unik karena termasuk sebagai negara maju, namun kehidupan
sehari-harinya penuh dengan nilai-nilai tradisional. Langkah kedua, sebagai
perangkat pertanyaan yang bersifat biografis, peneliti memfokuskan kajian
penelitian terhadap fenomena degenerasi bangsa yang dikenal dengan sebutan
Mugyousha. Alasannya karena fenomena ini terjadi pada generasi muda
Jepang yang tidak mau melaksanakan nilai-nilai tradisional yang biasanya
dilakukan oleh masyarakat Jepang. Hal ini menjadi kajian yang semakin
menarik karena artinya keberadaan fenomena Mugyousha tersebut
bertentangan dengan pola hidup dan kebiasaan masyarakat Jepang.
Langkah ketiga, peneliti telah merumuskan cangkupan waktu yang
digunakan dalam penelitian ini, yaitu sejak awal munculnya fenomena
Mugyousha akibat resesi ekonomi di Jepang pada tahun 1990 hingga tahun
2003 ketika pemerintah Jepang mulai serius mengangani fenomena
kehidupan. Terakhir, yaitu langkah keempat yang dilihat dari sifat penelitian
yang fungsional dan berhubungan dengan minat peneliti. Berbekal latar
belakang tersebut peneliti lalu mencoba mengajukan tema penelitian tersebut
pada Tim Pertimbangan Penulisan Skripsi (TPPS) Pendidikan Sejarah, dan
setelah dinyatakan lolos diperbolehkan untuk dilanjutkan hingga tahap
penyusunan proposal.
2. Penyusunan Rancangan Penelitian
Pada tahapan penyusunan rancangan penelitian ini, peneliti mulai
dengan mengumpulkan data dan fakta yang berhubungan erat dengan tema
yang akan diteliti. Tahapan ini dimulai pertama kali dengan kegiatan
membaca berbagai sumber tertulis yang berhubungan dengan objek penelitian.
Setelah data dan fakta mulai terbentuk dan dapat disusun menjadi sebuah
proposal penelitian, hasilnya harus diajukan kembali kepada TPPS Jurusan
Pendidikan Sejarah. Apabila proposal yang diajukan tersebut disetujui, maka
tahap selanjutnya, proposal tersebut akan mendapatkan kesempatan untuk
mengikuti proses seminar, yaitu proses mempresentasikan hasil rancangan
penelitian yang telah disusun di hadapan para dosen dan mahasiswa lainnya.
Selama proses penyusunan rancangan penelitian (proposal) yang akan
didaftarkan kepada TPPS Pendidikan Sejarah peneliti telah mendapat banyak
bantuan melalui kegiatan kuliah mata pelajarannya bernama Seminar
Penulisan Karya Ilmiah yang memiliki tim dosen pengajar yang terdiri dari
Dra. Murdiyah Winarti, M. Hum dan Drs. Ayi Budi Santosa, M. Si. Melalui
mata kuliah tersebut peneliti dapat memahami struktur penyusunan rancangan
penelitian atau proposal penelitian yang benar, sehingga dapat diajukan ke
TPPS. Isi dari perencanaan penelitian sendiri terdiri dari beberapa langkah
yaitu meliputi: judul penelitian, latar belakang, rumusan masalah dan
pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian pustaka,
metode penelitian, struktur organisasi, dan daftar pustaka.
Di dalam prosesnya, penyusunan rancangan penelitian (proposal) yang
saran ataupun peminjaman buku sumber dari para dosen jurusan Pendidikan
Sejarah dan beberapa teman sesama mahasiswa yang mengontrak mata kuliah
yang sama. Untuk menambah sumber rujukan yang dibutuhkan di dalam
rangka penyusunan rancangan penelitian, peneliti juga telah melakukan
kunjungan ke berbagai perpustakaan di universitas-universitas lainnya di
Bandung dan Jakarta selain di Perpustakaan Pusat Universitas Pendidikan
Indonesia.
Setelah proposal berhasil diseminarkan dan disetujui, maka penelitian
tersebut telah sah dan dapat dilanjutkan kepada tahap bimbingan dengan
dosen yang telah ditunjuk untuk menjadi pembimbing di dalam penyusunan
skripsi. Tahap terakhir yang harus dilakukan peneliti sebelum bisa melakukan
proses pada tahap bimbingan adalah dengan membuat Surat Keputusan yang
dibuat TPPS dan diketahui oleh Ketua Jurusan Pendidikan Sejarah
Setelah Surat Keputusan dengan nomor 010/TPPS/JPS/PEM/2013
keluar dan disahkannya Dr. Agus Mulyana, M. Hum sebagai dosen
pembimbing I dan Dra. Lely Yulifar, M. Pd sebagai dosen pembimbing II,
maka proses bimbingan skripsi mulai dapat dilaksanakan. Di dalam proses
perbaikan seminar sendiri terdapat beberapa masukan yang diberikan baik
oleh Dosen Pembimbing I maupun Dosen Pembimbing II, di antaranya bahwa
sumber-sumber skripsi harus dimiliki langsung oleh peneliti, harus
ditambahnya jumlah buku-buku sumber yang dijadikan referensi, dan
diperbaikinya latar belakang proposal penelitian sebelum memasuki tahap
penyusunan bab satu.
3. Proses Bimbingan
Skripsi adalah karya tulis ilmiah yang menggambarkan kemampuan
akademik peneliti dalam memahami hasil bacaan yang terkait dengan objek
penelitian dan melaporkan hasil penelitiannya berdasarkan kegiatan
perencanaan, pelaksanaan, dan hasil penelitian ilmiah yang dilakukan melalui
proses bimbingan dengan para dosen pembimbing (UPI, 2013, hlm. 10;
peneliti (mahasiswa) dengan dosen pembimbingnya, oleh karena itu tahapan
proses bimbingan sangatlah penting untuk dilakukan.
Di dalam melakukan proses bimbingan, peneliti mendapatkan banyak
sekali kritik dan masukan baik mengenai isi dari materi skripsi ataupun tata
cara penulisan ilmiah yang baik dan benar. Melalui proses bimbingan ini
peneliti juga telah banyak belajar sedikit demi sedikit mengenai merumuskan
masalah yang baik, menarik, dan tepat pada sasaran. Peneliti juga sangat
berterimakasih kepada para dosen pembimbing yang dengan sabar
menjelaskan konsep-konsep ilmu sosial yang masih asing dipahami oleh
peneliti. Hal ini berkaitan erat dengan pendekatan yang dilakukan peneliti
selama proses pembuatan skripsi, yaitu dengan dilakukannya proses
pendekatan antara ilmu sejarah dan ilmu-ilmu sosial lain atau dikenal dengan
rapprochement. Supardan (2009, hlm. 336) dalam bukunya menjelaskan
bahwa:
Dengan adanya rapprochement antara ilmu-ilmu sosial dan sejarah, diharapkan akan terhindar dari kemacetan-kemacetan dan kekeringan kajian dalam studi sejarah. Ibarat suatu sistem, di mana sejarah bersifat diakronis perlu pula diimbangi dengan pendekatan sinkronis, atau sebaliknya. Namun yang jelas, dalam mendefinisikan unsur-unsur sistem tersebut yang saling mempengaruhi tidak ada satu faktor atau dimensi yang deterministik. Artinya unsur-unsur tersebut saling memengaruhi dan saling ketergantungan, serta bersama-sama mendukung fungsi sistem itu.
C. Pelaksanaan Penelitian
Di dalam proses penulisan skripsi, isi dari karya tulis ilmiah tersebut harus
bersifat sistematis dan logis. Oleh karena itu, untuk mencapai syarat tersebut, selama
pelaksanaan penelitian berlangsung peneliti telah melakukan beberapa tahapan
penelitian di dalam metode historis. Seperti dijelaskan oleh Ismaun (2005, hlm.
48-51) bahwa tahapan tersebut terdiri dari pengumpulan sumber (heuristik), kritik
sumber baik yang eksternal maupun internal, interpretasi hasil penyelsian sumber,
1. Pengumpulan Sumber (Heuristik)
Tahapan pengumpulan sumber atau disebut dengan heuristik adalah
suatu tahapan penting yang dilakukan untuk mencari berbagai sumber yang
memuat data-data yang membantu di dalam proses penyusunan skripsi.
Data-data yang diperoleh berfungsi sebagai alat bukti yang membantu peneliti
untuk mempertanggungjawabkan hasil tulisannya. Tahapan heuristik sangat
diperlukan bagi sejarawan yang mempelajari manusia dengan menggunakan
dokumen-dokumen yang memiliki potensi untuk mengungkapkan gejala
sosial dalam masa lampau (Kartodirdjo, 1994, hlm 45-46).
Menurut Sjamsuddin (2007, hlm. 86) proses heuristik adalah proses
yang sangat melelahkan karena selain menyita waktu, tenaga, pikiran, dan
biaya, juga terkadang sangat sulit dilakukan, terutama jika sumber-sumber
yang kita inginkan tidak tersedia di manapun. Karena kendala-kendala
tersebut maka akan sangat baik jika sebelum melakukan proses pencarian ke
berbagai tempat, seorang peneliti terlebih dahulu memusatkan pikirannya
untuk membuat strategi mengenai cara memperoleh sumber tersebut. Selain
itu juga harus dipikirkan tempat untuk memperoleh data tersebut dan besar
biaya yang harus dikeluarkan selama proses pencarian sumber tersebut.
Pada prakteknya, setelah tema penelitian yang diajukan peneliti
disetujui oleh tim TPPS Pendidikan Sejarah dan sebelum proposal diajukan
kembali, peneliti telah melakukan pencarian sumber-sumber yang lebih luas
dan relevan di Bandung dan Jakarta. Sebenarnya beberapa sumber literatur
yang dibutuhkan sudah dimiliki oleh peneliti sebagai koleksi pribadi, namun
pencarian sumber-sumber penelitian yang lebih luas telah membawa peneliti
untuk mencari di berbagai perpustakaan di kota Bandung maupun di kota
Jakarta. Mengenai pencarian sumber di kota Jakarta, peneliti haturkan
terimakasih terhadap bantuan teman peneliti yang berkuliah di Jurusan Fisika
Universitas Indonesia Depok, karena atas bantuannya peneliti dapat
mengunjungi berbagai perpustakaan yang ada di Jakarta. Beberapa tempat
a. Perpustakaan Kedutaan Besar Jepang Jakarta, di perpustakaan ini peneliti
menemukan buku yang telah banyak membantu peneliti di dalam
memahami lebih jauh nilai-nilai dan kepribadian masyarakat Jepang.
b. Perpustakaan Japan Foundation Jakarta, peneliti terbantu sekali dengan
diperolehnya sumber mengenai pembahasan fenomena Mugyousha di
Jepang melalui Social Science Japan Journal.
c. Perpustakaan Pusat Universitas Pendidikan Indonesia Bandung, peneliti
dibantu dengan adanya berbagai sumber yang memuat materi mengenai
Jepang terutama dilihat dari perkembangan faktor ekonomi dan
budayanya.
d. Perpustakaan Pusat Universitas Indonesia Jakarta, membantu peneliti
untuk memperoleh berbagai data mengenai pola kehidupan generasi muda
Jepang dewasa ini yang ditulis dalam berbagai surat kabar dan majalah,
serta data-data mengenai pola kebudayaan masyarakat Jepang.
e. Perpustakaan Sejarah Batu Api Jati Nangor, telah membantu penulis untuk
melengkapi data-data yang memuat berbagai penjelasan mengenai
perkembangan kebudayaan dan pola berpikir masyarakat Jepang, dan
f. Perpustakaan Museum Asia Afrika Bandung, yang membantu peneliti
untuk melengkapi data mengenai pendidikan di Jepang.
2. Kritik Sumber
Kritik sumber adalah suatu kegiatan bertujuan untuk membantu
sejarawan di dalam menganalisis mengenai keakuratan isi data yang termuat
dalam sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Sjamsuddin (2007, hlm.
131-132) menjelaskan bahwa tujuan diadakannya kegiatan kritik sumber adalah:
Kritik sumber umumnya dilakukan terhadap sumber-sumber pertama. Kritik ini menyangkut verifikasi sumber yaitu pengujian mengenai kebenaran atau ketepatan (akurasi) dari sumber itu. Dalam metode sejarah dikenal dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal.
Di dalam melakukan kegiatan penelitian yang bersifat ilmiah, tidak
boleh ada anggapan bahwa perumusan masalah yang dipertanyakan adalah
suatu hal yang baru dan tidak terpikirkan oleh orang lain. Sedangkan setiap
melakukan pemeriksaan terhadap sumber-sumber penelitian dapat
mempengaruhi pola pikir originalitas peneliti dan menghilangkan aslinya.
Menurut Tan (1994, hlm. 18-19) di dalam memeriksa data-data di buku-buku
sumber yang dibaca, harus diingat beberapa fungsinya, yaitu:
a. Untuk memperdalam pengetahuan tentang masalah yang diteliti b. Untuk menegaskan kerangka teoritis yang dijadikan landasan pikiran c. Untuk mempertajam konsep-konsep yang digunakan sehingga
mempermudah perumusan hipotesis- hipotesis
d. Untuk menghindarkan terjadinya pengulangan dari suatu penelitian
Seperti yang sudah dijelaskan oleh Sjamsuddin (2007, hlm. 132)
bahwa di dalam metode penulisan sejarah kegiatan kritik sumber dikenal
dengan cara melakukan kritik eksternal dan kritik internal. Menurut
Gottschalk (1986, hlm. 80-84) kritik eksternal adalah penelitian yang
dilakukan untuk memeriksa otentisitas dari sumber-sumber yang telah
ditemukan yang dilihat dari masalah-masalah seperti dokumen palsu,
dokumen yang cacat, dan restorasi teks. Sedangkan menurut Sjamsuddin
(2007, hlm. 133-134) menyatakan bahwa:
Adapun yang dimaksud dengan kritik eksternal ialah suatu penelitian atas asal-usul dari sumber, suatu pemeriksaan atas catatan atau peninggalan itu sendiri untuk mendapatkan semua informasi yang mungkin, dan untuk mengetahui apakah pada suatu waktu sejak asal mulanya sumber itu telah diubah oleh orang-orang tertentu atau tidak. Kritik eksternal harus menegakkan fakta dari kesaksian.
Kartodirdjo (1994, hlm. 59) juga menambahkan bahwa:
yang merupakan tujuan penelitian. Analisa mendetail yang dilakukan untuk meneliti dokumen serta menemukan fakta, terutama masuk bidang metodologi sejarah dan lazim disebut kritik historis.
Pada prakteknya, peneliti cukup mengalami beberapa kesulitan di
dalam memahami proses kritik eksternal yang baik, hal ini dikarenakan kritik
eksternal ini sebenarnya belum memiliki aturan baku yang mengatur
mengenai hal-hal yang harus dibuktikan sebelum suatu sumber boleh dipakai
atau tidak dalam suatu penelitian. Untuk mencari otentisitas dalam kritik
sumber dapat dilakukan dengan beberapa langkah yang cukup membantu,
yaitu: langkah pertama adalah mengidentifikasi penulis dari sumber yang
dipakai, langkah kedua adalah dengan mencari tanggal dari penulisan
(komposisi) atau dihasilkan (produksi), dan langkah terakhir atau langkah
yang ketiga adalah dengan mencari informasi mengenai originalitas dari
penulisan (Sjamsuddin, 2007, hlm. 134-137).
Untuk membantu di dalam melakukan kriti