• Tidak ada hasil yang ditemukan

Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Ibu yang Tergabung dalam Komunitas Potads Bandung yang Memiliki Anak Down Sydrome.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Ibu yang Tergabung dalam Komunitas Potads Bandung yang Memiliki Anak Down Sydrome."

Copied!
33
0
0

Teks penuh

(1)

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai gambaran derajat resilensi ibu yang tergabung dalam komunitas POTADS Bandung yang memiliki anak down syndrome melalui empat aspek resiliensi yaitu, social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori resiliensi dari Bonnie Benard.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang tergabung dalam komunitas POTADS Bandung yang memiliki anak down syndrome. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel ditarik secara sengaja dengan persyaratan sampel yang diperlukan serta tujuan tertentu dan sampel yang digunakan bersifat homogen. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan teori resiliensi Bonnie Benard tahun 2004. Berdasarkan pengolahan data statistik melalui uji validitas menggunakan Spearman dan uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diperoleh 91 item yang diterima dengan validitas berkisar 0,303-0,800 dan reliabilitas 0,968.

Berdasarkan pengolahan data terhadap 30 orang responden, diketahui 53,3% responden memiliki resiliensi yang tinggi, 46,6% responden memiliki resiliensi yang rendah. Responden dengan resiliensi yang tinggi akan menunjukkan nilai yang juga tinggi pada sebagian besar aspek resiliensi, responden dengan resiliensi yang rendah akan menunjukkan nilai yang juga rendah pada sebagian besar aspek resiliensi.

(2)

Abstract

This research aims to determine the degree of resilience overview mothers who incorporated in the community POTADS Bandung who have down syndrome children through four aspects of resilience. Basic theory used in this research is the theory of the resilience of Bonnie Benard.

The method used in this research is descriptive method . The sample in this study are mothers who incorporated in the community POTADS Bandung who have down syndrome children. The sampling technique used is purposive samplimg, the sample is pulled intentionally with the requirements of samples required and the particular purpose and the samples is homogeneous. Measuring instrument used was a questionnaire constructed by researchers based on the theory of resilience from Bonnie Benard, 2004. Based on statistical data processing by using Spearman validity test and reliability test using Cronbach Alpha obtained 91 items accepted by the validity ranged from 0.303 to 0.800 and reliability 0.968.

Based on the data processing of the 30 respondents, 53.3% of respondents are known to have high resilience, 46.6% of respondents have a low resilience. Respondents with high resilience will show the value that is also high in the fourth aspect of resilience, respondents with low resilience will show the value that is also low in the fourth aspect of resilience.

(3)

DAFTAR ISI

Halaman Judul

Halaman Pengesahan Pembimbing

Halaman Pernyataan Orisinilitas Skripsi

Halaman Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian

Halaman Abstrak

Halaman Abstract

KATA PENGANTAR ... i

DAFTAR ISI ... iii

DAFTAR TABEL ... vi

DAFTAR BAGAN ... vii

DAFTAR LAMPIRAN ... L-1 BAB I PENDAHULUAN ... 1

1.1 Latar Belakang Masalah ... 1

1.2 Identifikasi Masalah ... 12

1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12

1.3.1 Maksud Penelitian ... 12

1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13

1.4 Kegunaan Penelitian ... 13

1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13

1.4.2 Kegunaan Praktis ... 13

1.5 Kerangka Pikir ... 14

1.6 Asumsi Penelitian ... 19

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 20

(4)

2.1.1 Pengertian Resiliensi ... 20

2.1.2 4 Aspek Resiliensi (Personal Strengths) ... 20

2.1.3 3 Aspek Protective Factor ... 25

2.2 Down Syndrome ... 27

2.2.1 Pengertian Down Syndrome ... 27

2.2.2 Penyebab Down Syndrome ... 30

2.2.3 3 Tipe Down Syndrome ... 31

2.2.4 Karakteristik Down Syndrome ... 32

2.2.5 Masalah Medis dan Masalah Perkembangan Anak Down Syndrome ... 33

BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38

3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 38

3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 38

3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39

3.3.1 Variabel Penelitian ... 39

3.3.2 Definisi Konseptual ... 39

3.3.3 Definisi Operasional ... 39

3.4 Alat Ukur ... 43

3.4.1 Alat Ukur Resiliensi ... 43

3.4.2 Prosedur Pengisian ... 44

3.4.3 Sistem Penilaian ... 45

3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 46

3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46

3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 46

3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 47

(5)

3.5.1 Populasi Sasaran ... 47

3.5.2 Karakteristik Populasi ... 47

3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 47

3.6 Teknik Analisis ... 47

BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49

4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 49

4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 54

4.3 Pembahasan ... 57

4.4 Diskusi ... 62

BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65

5.1 Kesimpulan ... 65

5.2 Saran ... 65

5.2.1 Saran Teoritis ... 66

5.2.2 Saran Praktis ... 66

DAFTAR PUSTAKA ... 54

DAFTAR RUJUKAN ... 55

LAMPIRAN

1. Tabel Data Mentah

2. Tabel Hasil Penelitian

3. Perhitungan Statistik

4. Contoh Kuesioner dan Letter of Concent

5. Profile POTADS

6. Persetujuan Pengambilan Data

7. Biodata Peneliti

(6)

DAFTAR TABEL

Tabel Kisi-kisi Alat ukur ... 44

Tabel Gambaran Subjek Penelitian ... 50

(7)

DAFTAR BAGAN

Bagan Kerangka Pikir Resiliensi ... 19

(8)

BAB I PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang Masalah

Perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan hal yang

penting bagi orang tua khususnya ibu. Perkembangan fisik dan psikologis anak berkaitan

dengan perkembangan kognitif, afektif serta psikomotor, sesuai dengan tahap usia

perkembangannya. Walaupun demikian proses perkembangan pada setiap anak

berbeda-beda. Setiap anak memiliki kekurangan dan keistimewaan tersendiri dalam dirinya,

termasuk dalam ketidakmampuan anak untuk dapat berkembang sesuai dengan usia

perkembangannya.

Dewasa ini permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak semakin

beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin

kritisnya individu terhadap tahap perkembangan hidup lingkungannya. Beragam

permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak ditemukan dari hasil penelitian

yang dilakukan para ahli terhadap perilaku anak yang dianggap tidak sesuai dengan

perilaku yang seharusnya anak tampilkan di usianya. Terdapat beberapa permasalahan

dalam perkembangan anak, diantaranya tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa,

down syndrome, anak dengan gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan kesulitan belajar, anak dengan gangguan kesehatan, dan lainnya. Pada penelitian ini akan

membahas mengenai anak down syndrome.

Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu

(9)

pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan

pertumbuhan fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012).

Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial – ekonomi, dan

mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan cacat

intelektual dan fisik dan terkait masalah medis. Down syndrome merupakan suatu

kondisi yang hadir pada saat lahir, yang mempengaruhi fisik dan perkembangan mental.

Meskipun tidak ada dua orang dengan down syndrome yang sama persis, namun mereka

memiliki beberapa bentuk fisik umum yang sama (Dr. Surekha Ramachandran; tahun

tidak dicantumkan).

Anak dengan down syndrome memiliki bentuk wajah yang sama, cenderung

memiliki otot yang lebih rendah, dan biasanya belajar berjalan dan berbicara sedikit lebih

lambat dari anak-anak lain seusianya. Seseorang dengan down syndrome biasanya

memiliki kepala yang sedikit lebih kecil dan rata pada bagian belakangnya; up-slanted

eyes; kulit ekstra lipatan di sudut bagian dalam mata; telinga, hidung dan mulut yang kecil; bertubuh pendek; tangan dan kaki yang kecil serta beberapa kelainan intelektual.

Kelainan down syndrome biasanya mempengaruhi setiap sel dalam tubuh, sehingga

mengakibatkan seseorang memiliki berbagai masalah medis. Pengobatan untuk down

syndrome lebih spesifik dapat diberikan khususnya pada kebutuhan yang bersifat individual. Misalnya, seorang anak down syndrome mungkin perlu operasi jantung untuk

memperbaiki cacat jantungnya.

Anak dengan down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat

daripada kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam

kaitannya dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama

(10)

dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain

seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya.

Di lingkungan sosialnya, anak down syndrome biasanya sangat ramah. Walaupun

demikian anak down syndrome dapat merasa terisolasi secara sosial karena perbedaan

mereka, adanya ketidakdewasaan secara sosial dan juga perasaan sulit untuk bersaing

dengan anak lain seusianya secara fisik, emosi dan kognitif.

Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa permasalahan yang dimiliki

anak down syndrome yang sangat beragam, dimana anak memiliki keterbatasan fisik dan

mental juga membutuhkan pendampingan yang baik dari orang sekitar terutama dalam hal

ini ibu. Ibu yang memiliki anak down syndrome harus mendampingi anak mulai saat anak

lahir hingga anak dewasa. Saat didiagnosa mengalami down syndrome, ibu biasanya harus

mendampingi anak untuk melakukan beberapa tes yang berkaitan dengan kondisi tumbuh

kembang anak.

Anak dengan down syndrome akan melakukan terapi sejak usia dini untuk melatih

otot dan gerak motorik yang bersangkutan dengan gerakan dasar. Selain itu ibu juga harus

beradaptasi dengan kondisi anak yang berbeda dari anak lain yang seusia. Dimana hal ini

mengharuskan ibu membawa anak untuk mengikuti beragam terapi agar anak mampu

beraktivitas. Tidak jarang ibu harus mengorbankan waktu dan kesibukan pribadinya untuk

mendampingi anak atau sekedar mengantarkan anak ke sekolah atau tempat terapi. Ibu

juga harus menghadapi reaksi lingkungan berkaitan dengan anak down syndromenya.

Ibu sebagai seorang individu memiliki aktivitas sosial tertentu, seperti pergi bekerja,

mengikuti berbagai keagiatan arisan, atau sekedar berkumpul dengan teman-temannya.

Selain itu, sebagai ibu rumah tangga, ibu juga harus mampu menyediakan segala

(11)

Aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga ataupun sebagai karyawan saja tidak

jarang melelahkan dan juga menjenuhkan. Dengan memiliki seorang anak down syndrome

ibu harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Ibu harus belajar untuk menata

perasaannya, menerima kenyataan bahwa salah seorang anaknya mengalami down

syndrome. Ibu juga harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dimana jika sewaktu-waktu ada yang bertanya mengenai kondisi anaknya yang down syndrome. Ibu juga harus

mulai memberi pengertian pada anak normalnya mengenai kondisi yang dialai saudaranya.

Selain itu tidak menutup kemungkinan aktivitas anak down syndrome dapat

menghalanginya untuk beraktivitas, seperti mendampingi anak down syndrome terapi serta

mengikuti evaluasi yang diberikan tempat terapi. Menghadapi dan mendampingi anak

down syndrome akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan disertai dengan tekanan pada masing-masing simptom yang kemungkinan muncul pada masing-masing

anak down syndrome.

Perilaku khas yang mungkin muncul pada masing-masing anak down syndrome

berbeda-beda, seperti misalnya pada usia 1 tahun anak down syndrome masih tetap belajar

merangkak dengan kondisi kaki yang terlihat lemah. Selain itu, berkurangnya perilaku

khas yang muncul pun akan berbeda-beda waktu dan tingkatan keparahannya. Namun

dalam jangka waktu tertentu ibu harus tetap mendampingi dan menghadapi anak down

syndrome, dimana hal ini jelas akan berpengaruh pada perannya sebagai ibu rumah tangga dan fungsi dirinya di lingkungan sosial.

Oleh karena itu, ibu yang memiliki anak down syndrome membutuhkan kemampuan

untuk bertahan di tengah kondisi yang serba menekan. Kemampuan bertahan ini

dibutuhkan, agar ibu tetap dapat menjalani kehidupan sebagai pribadi dan juga

menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Selain itu, kemampuan bertahan ini

(12)

rasa percaya diri serta pemikiran yang positif. Kemampuan untuk dapat bertahan di tengah

kondisi serba menekan yang dibutuhkan ibu itu adalah resiliensi.

Resiliensi (personal strength) merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat

menyesuaikan diri dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak

halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004).

Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang

merupakan karakteristik individu. Sering juga disebut dengan aset internal atau kompetensi

individu, yang juga dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan

dalam hidup. Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving

skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap

individu melalui penyediaan dukungan dan peluang.

Menghadapi anak down syndrome bukanlah suatu hal yang mudah, oleh karena itu

seorang ibu yang memiliki anak down syndrome diharapkan memiliki derajat resiliensi

yang tinggi. Karakteristik ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi diantaranya, ibu

mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain mengenai anak

down syndrome di dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang tertekan dan

mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah berdasarkan apa yang

dibutuhkan anak down syndrome (social competence).

Ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi juga mampu membuat suatu

perencanaan dalam menyelesaikan permasalahan fisik, seperti rasa lelah yang dimiliki saat

membimbing dan menjaga anak down syndrome serta permasalahan sosial seperti penilaian

negatif yang seringkali diberikan lingkungan (sense of purpose and bright future). Selain

(13)

alternative dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Seperti ketika ibu harus menghadapi anak down syndrome dengan perilaku anak yang hiperaktif dan impulsive,

atau anak yang memiliki keterbatasan tertentu, ibu mampu berinisiatif membentuk suatu

permainan yang menarik perhatian anak dalam menyelesaikan tugas (problem solving

skills). Selain itu Ibu pun mampu mengenal dirinya sebagai pribadi yang baik dengan keyakinan akan kemampuan diri yang dimilikinya, sehingga Ibu mampu mengatasi segala

bentuk kemarahan dan rasa putus asa serta menggantinya dengan sebuah keyakinan bahwa

dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi (autonomy).

Untuk melengkapi data yang peneliti inginkan, maka peneliti memilih satu komunitas

orang tua yang memiliki anak down syndrome di Bandung untuk dijadikan tempat

penelitian. Komunitas yang peneliti pilih adalah Potads (Persatuan Orang Tua Anak Down

Syndrome) Bandung. Potads Bandung merupakan cabang daerah dari Yayasan Potads yang berpusat di Jakarta. Potads yang berpusat di Jakarta didirikan pada tahun 2009, dan

pertama kali hadir di Bandung pada tahun 2012. Komunitas Potads Bandung secara rutin

berkumpul setiap tiga bulan sekali untuk melakukan sharing dan konsultasi dengan

narasumber pilihan dalam mendukung tumbuh kembang anak mereka.

Potads sendiri memiliki tujuan utama untuk memberdayakan orang tua anak down

syndrome agar selalu bersemangat untuk membantu tumbuh kembang anak spesialnya secara maksimal, sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang mandiri atau bahkan bisa

berprestasi sehingga dapat diterima masyarakat luas. Hal ini dilakukan karena anak dengan

down syndrome memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.

Visi dari Potads adalah menjadi pusat informasi dan konsultasi terlengkap tentang

down syndrome di Indonesia. Sedangkan misi dari Potads ialah memiliki pusat informasi yang bisa diakses 24 jam baik melalui surat/telepon/internet ataupun media komunikasi

(14)

ilmiah maupun dari pengalaman orang lain. Menyebarluaskan informasi mengenai down

syndrome kepada anggota yang membutuhkan tempat-tempat yang akan diakses oleh para orangtua yang memiliki anak dengan down syndrome seperti Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas sampai Posyandu. Memberikan konsultasi secara kelompok

maupun individu sesuai kebutuhan, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendukung

penyebarluasan informasi tentang down syndrome kepada masyarakat luas, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendorong masyrakat untuk lebih peduli dan

menghargai sehingga mereka dapat memberi kesempatan yang sama untuk berkembang

dalam berbagai bidang (pendidikan/seni dan budaya dan lain-lain).

Berdasarkan hasil survey awal yang peneliti lakukan pada 9 orang ibu yang memiliki

anak down syndrome di komunitas Potads Bandung, banyak hal yang ibu ceritakan

mengenai kehidupan sehari-harinya bersama keluarga dan lingkungan serta pengalaman

ibu setelah bergabung dalam komunitas Potads Bandung. Ibu merasakan banyak

keuntungan atau hal positif setelah bergabung dalam komunitas ini. Banyak support moral

serta ajakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan anak down syndrome

disampaikan baik melalui pertemuan rutin yang dilakukan setiap tiga bulan sekali pada

ataupun melalui grup whatsapp. Komunikasi yang cukup intents melalui grup whatsapp

seringkali dilakukan, sehingga timbul perasaan ‘tidak merasa sendiri’ pada masing-masing

ibu yang peneliti wawancara.

Perasaan tidak sendiri ibu rasakan karena selain support secara moral, banyak

informasi yang didapat setelah bergabung dalam komintas ini. Diantaranya adanya

informasi mengenai tempat terapi anak down syndrome yang bagus di Bandung, dokter

tumbuh kembang anak yang juga bagus di Bandung, cara terapi baru yang bisa diberikan

untuk membantu anak down syndrome dalam beraktivits ataupun sekedar informasi

(15)

merasa lebih percaya diri untuk mengikutsertakan anak down syndrome dalam melakukan

berbagai kegiatan sosial.

Pada survey awal ini peneliti melakukan wawancara dengan 9 orang ibu. Ibu yang

memiliki anak down syndrome dalam komunitas ini rata-rata seorang pekerja, 5 orang ibu

bekerja sebagai karyawan swasta, 1 orang ibu sebagai dokter, 1 orang ibu sebagai

wiraswastawan, dan 2 orang ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara antara

peneliti dan para ibu ini, 90% ibu mengetahui bahwa anak mereka mengalami down

syndrome setelah anak itu dilahirkan dan 10% mengetahuinya sewaktu usia kandungannya memasuki 3 bulan kehamilan melalui usg 3 dimensi.

Sebanyak 5 orang ibu yang peneliti wawancara, pada awalnya tidak mengetahui dan

tidak memahami yang dimaskud dengan down syndrome, sehingga ibu merasa bingung,

takut akan hal yang harus dilakukan dengan anak down syndrome. Bahkan terdapat satu

orang ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome setelah 4 hari

anak dibawa pulang, dan harus kembali ke rumah sakit ketika anak mengalami kuning.

Pada saat itu dokter anak yang menangani mengatakan pada ibu bahwa anaknya

mengalami down syndrome. Rasa bingung, tidak percaya, menolak keberadaan anak,

mempertanyakan keadilan Tuhan pun menjadi hal pertama yang semua ibu rasakan pada

saat mengetahui bahwa anak yang mereka lahirkan mengalami down syndrome.

Berikut ini peneliti sajikan hasil wawancara yang didapatkan dari 9 orang ibu yang

tergabung dalam komunitas Potads Bandung. Wawancara yang peneliti lakukan pada 9

orang ibu ini, dikaitkan dengan 4 aspek resiliensi. Aspek pertama adalah social

competence, merupakan kemampuan seseorang untuk terampil dan mampu bersikap dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang lain. Setelah melaui proses yang

bersifat individual pada masing-masing ibu yang memiliki anak down syndrome di

(16)

tentang kondisi anak down syndrome baik di lingkungan keluarga, rumah ataupun tempat

ibu bekerja. Keterbukaan dan penerimaan secara positif yang berawal dari dirinyalah yang

pada akhirnya mempermudah ia, anak down syndrome serta anggota keluarga lainnya

dapat beradaptasi di lingkungan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan didapatkan hasil,

90 % dalam hal social competence.

Aspek kedua adalah problem solving skills yang merupakan kemampuan seseorang

dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi. Tidak jarang ibu melihat ketidaksesuaian

proses terapi dengan potensi anak. 80% ibu mampu menentukan terapi pada

masing-masing anak sesuai dengan kebutuhan anak pada saat itu, dan tidak ragu untuk

memberhentikan salah satu terapi. Hal ini bertujuan agar anak dapat melakukan terapi yang

dikira sesuai, misal memberhentikan fisioterapi untuk lebih fokus pada terapi wicara.

Sedangkan 20% Ibu pada populasi tersebut diatas lebih mengikuti proses terapi yang sudah

ditentukan tempat terapi atau sekolah dimana anak berada. Oleh karena itu, berdasarkan

hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu yang memiliki anak down syndrome yang

tergabung dalam komunitas Potads Bandung mampu mencari jalan keluar bagi kegiatan

anak down syndrome.

Aspek ketiga adalah autonomy yang merupakan kemampuan seseorang dalam usaha

mengembangkan diri terhadap identitas diri dan kepercayaan akan keyakinan diri untuk

dapat bertindak secara independent dalam mengontrol lingkungannya. Masing-masing ibu

bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome memberi kekuatan dan keyakinan bahwa

Tuhan telah memilih ibu untuk mampu dan yakin dalam mendampingi anak down

syndrome. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu memiliki keyakinan pendampingan tersebut. Ibu bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome dalam

kehidupannya membuat dirinya dekat dengan Tuhan, dan dari situ timbullah rasa percaya

(17)

masalah lainnya. Ibu pun memiliki kepercayaan diri untuk dapat tetap berada di suatu

komunitas ataupun di lingkungan tertentu, seperti kantor tempatnya bekerja.

Aspek keempat ialah sense of purpose and bright yang merupakan kemampuan

seseorang untuk mengetahui dan memahami tujuan keberadaan dirinya di tengah-tengah

lingkungan. 9 orang ibu yang peneliti wawancara mengatakan bahwa mereka memahami

keberadaannya di tengah keluarga, terutama bagi anak down syndrome melalui proses dan

pengalaman yang masing-masing ibu alami. Pemahaman akan tujuan keberadaannya di

lingkungan tergambar dari tanggung jawab ibu dalam mendampingi anak down syndrome

dan tanggung jawab ibu terhadap kewajibannya di rumah dan di kantor. Melalui hasil yang

peneliti dapatkan dari wawancara dengan ibu, didapatkan hasil sebanyak 98% dalam sense

of purpose and bright future.

Peneliti juga mendapatkan hasil bahwa peran keluarga, terutama suami serta peran

teman-teman komunitas menjadi hal yang paling penting. Dukungan moral berupa

perhatian, bantuan dan pemberian informasi mengenai down syndrome sangatlah ibu

butuhkan, terutama ketika tiga sampai lima tahun pertama perkembangan anak. Tiga

sampai lima tahun pertama dirasa berat, karena pada tahun-tahun ini anak masih harus

banyak melakukan terapi dan pendampingan untuk beraktivitas. Terapi yang dilakukan

tahun pertama lebih fokus pada motorik anak, supaya anak dapat beraktivitas dengan

mudah seperti berjalan, berlari dan duduk. Selain itu fokus terapi juga pada kemampuan

anak untuk dapat berbicara dengan baik.

Keberadaan ibu di tengah lingkungan pekerjaan pun tidak dapat terlepas dari

kehidupannya. 7 dari ibu yang memiliki anak down syndrome dalam komunitas Potads

Bandung, merupakan seorang karyawati di suatu perusahaan. Pendampingan anak down

(18)

syndrome berangkat sekolah. Oleh karena kepentingan tersebut, maka ibu pun akhirnya mampu untuk terbuka di lingkungan kerjanya. Begitupun dengan ibu rumah tangga, ibu

memiliki keberanian untuk terbuka di tengah lingkungan rumahnya. Karena

kemampuannya untuk terbuka inilah yang membuat ia dan anak-anak pun dapat

beradaptasi di lingkungan dengan baik.

Kegiatan terapi yang harus dilakukan pada setiap anak down syndrome berbeda-beda

karena potensi dan kemampuan anak berbeda. Hal ini menuntut ibu untuk mampu mencari

tahu dan teliti melihat potensi yang anak down syndrome miliki serta menuntut ibu

memiliki hubungan yang baik dengan para terapis. Perkembangan proses terapi pada

masing-masing anak biasanya ibu dapatkan setiap tiga bulan sekali. Pada setiap pertemuan

ibu dengan terapis biasanya ada komunikasi langsung melalui penyampaian evaluasi

perkembangan anak.

Rasa lelah dan jenuh seringkali ibu rasakan bukan hanya berasal dari anak down

syndrome, tetapi juga dari hal lain seperti kewajibannya mendampingi anaknya yang lain di rumah. Aktivitas yang harus ibu hadapi memang bukan suatu hal yang menyenangkan

dan mudah, namun semuanya itu mampu ibu redam. Hal ini dilakukan karena keinginan

dan keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu membantu anak down syndrome dan

dirinya sendiri keluar dari permasalahan.

Dengan memiliki derajat resiliensi yang tinggi maka ibu yang memiliki anak down

syndrome akan mampu untuk bertahan dalam situasi yang menekan. Sedangkan apabila ibu yang memiliki anak down syndrome derajat resiliensinya rendah, maka ia akan

cenderung mudah putus asa dalam menghadapi situasi yang menekan.

Dari hasil survey awal yang peneliti lakukan serta penjabaran mengenai resiliensi di

atas, peneliti melihat bahwa ketahanan atau resiliensi yang ibu miliki memang berawal

(19)

ibu memaknai permasalahan yang ada. Sehingga dalam menghadapi dan mengatasai

permasalahan dapat sesuai dengan apa yang memang harus dilakukan. Pada survey awal

peneliti melihat pentingnya derajat resiliensi yang tinggi dimiliki oleh ibu dengan anak

down syndrome, karena hal ini akan membantu ibu dalam mendampingi anak down syndrome serta membantu ibu untuk mengembangkan ketahanan diri yang memang telah dimiliki. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai derajat resiliensi

ibu yang memiliki anak down syndrome, khususnya Ibu yang tergabung di dalam

komunitas Potads Bandung.

Peneliti melihat dengan resiliensi mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta

dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi, karena ibu mampu memandang suatu

masalah secara objektif dan positif, sehingga dalam mencari pemecahan masalahnya juga

dapat dilakukan secara objektif. Oleh karena itu peneliti menganggap bahwa resiliensi

merupakan hal yang tepat dimiliki seseorang untuk dapat dianggap mampu beradaptasi

dan menghadapi permasalahan, karena seseorang akan mampu atau berani menerima,

memahami dan menghadapi masalah atau tekanan yang ada secara positif dan optimis.

1.2Identifikasi Masalah

Dari penelitian ini peneliti ingin mengetahui gambaran mengenai derajat resiliensi Ibu

yang memiliki anak down sindrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung.

1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian

Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat

resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas

(20)

1.3.2 Tujuan Penelitian

1. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui mengenai gambaran derajat

resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas

Potads Bandung melalui empat aspek yang ada dalam resiliensi yaitu social

competence, problem solving skills, autonomy, & sense of purpose and bright future.

2. Tujuan lain dari penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran derajat resiliensi

ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas Potads

Bandung melalui faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap resiliensi ibu yang

memiliki anak down syndrome.

1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Toeritis

1. Memberikan wawasan mengenai resiliensi guna menambah pengetahuan pada

bidang ilmu Psikologi.

2. Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti

lebih lanjut mengenai resiliensi.

1.4.2 Kegunaan Praktis

1. Memberikan informasi bagi ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung

mengenai resiliensi ibu bagi anak down syndrome.

2. Membantu ibu yang tergabung dalam komunitas Potadas Bandung untuk dapat

mengoptimalkan resiliensi yang dimiliki dalam merawat, membimbing dan

(21)

3. Membantu ibu yang memiliki anak down syndrome lainnya, diluar komunitas

Potads Bandung untuk dapat memahami resiliensi ibu yang memiliki anak down

syndrome.

1.5Kerangka Pemikiran

Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu

terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi

pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan

fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012).

Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang selalu menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial – ekonomi,

dan mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan

cacat intelektual dan fisik dan terkait masalah medis (Dr. Surekha Ramachandran; tahun

tidak dicantumkan).

Anak down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat daripada

kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam kaitannya

dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama

terpengaruh. Ada pola tertentu pada bagian kognitif dan perilaku yang diamati dari anak

dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain

seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya. Dalam merawat, membimbing

dan mendidik anak down syndrome akan membutuhkan suatu kemampuan untuk

beradaptasi dan bertahan. Kemampuan untuk bertahan dengan keadaan yang dihadapi

merupakan hal yang sangat dibutuhkan ibu yang memiliki anak down syndrome.

(22)

Resiliensi merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat menyesuaikan diri

dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan

rintangan (Bonnie Benard, 2004). Resiliensi pada ibu yang memiliki anak down syndrome

tidak terlepas dari protective factor yang mempengaruhinya, yaitu terdiri dari : family

protective factor, school protective factor, dan community protective factor.

Family protective factor merupakan faktor yang berasal dari keluarga inti. Faktor ini merupakan organisasi dasar dalam sejarah kehidupan manusia dan bentuk terbaik dalam

memberikan dukungan kepada ibu yang memiliki anak down syndrome. Seperti dukungan

dari orang terdekat yaitu suami, ataupun dukungan dari orang tua serta saudara kandung

yang ibu miliki. Bagaimana suami, orang tua serta saudara kandung ibu dapat

memberikan dukungan serta dampak positif pada ibu untuk tetap mampu bertahan dalam

merawat dan membesarkan anak down syndrome. Dengan adanya bantuan dari suami dan

dukungan dari keluarga maka akan membantu ibu untuk dapat beradaptasi menerima

keberadaan dan kondisi anak down syndrome. Sehingga ibu mampu melihat dan

memahami permasalahan dengan sikap dan pemikiran yang positif.

School protective factor adalah semua pihak sekolah yang dapat menyediakan sumber perlindungan alternative dalam memberikan dukungan. Perlindungan dalam memberi

dukungan dari pihak sekolah itu contohnya, adanya bantuan dari kepala sekolah ataupun

guru yang mengajar anak down syndrome, dengan cara memberikan feedback mengenai

perkembangan anak di sekolah, ataupun adanya perlakuan yang layak terhadap anak down

syndrome dari pihak sekolah. Adanya dukungan serta perlingdungan yang sekolah berikan maka akan membantu ibu dalam menumbuhkan keyakinan dalam dirinya bahwa anak

down syndrome akan memiliki masa depan yang lebih baik dan lebih mandiri.

(23)

dan berkembang dengan baik. Mencintai, bekerja dan menerima kenyataan saat

menghadapi tekanan. Komunitas ini bisa tetangga, teman yang juga memiliki anak down

syndrome, psikolog, psikiater dan terapis sehingga ibu dapat berbagi rasa dan meyakini bahwa dirinya mampu untuk merawat dan membimbing anak down syndrome hingga

dewasa.

Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang

merupakan karakteristik individu. Hal ini sering juga disebut aset internal atau kompetensi

individu, dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup.

Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills,

autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap

individu melalui penyediaan dukungan dan peluang.

Social competence, kita dapat melihat seberapa besar keterampilan dan sikap ibu yang memiliki anak down syndrome dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang

lain. Dalam hal ini, ibu dapat menunjukan kemampuan untuk menjalin hubungan yang

baik dengan orang lain tanpa mempermasalahkan kondisi anak down syndrome. Seperti

misalnya, ibu mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain

mengenai anak down syndrome dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan

siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang

tertekan. Serta mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah

berdasarkan apa yang dibutuhkan anak down syndrome.

Problem solving skills, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi.

Misalnya, Ibu yang memiliki derajat problem solving skills yang tinggi mampu berinisiatif

(24)

belajar yang dibuat seperti bermain. Hal lainnya, ibu yang mengalami kesulitan finansial

karena kebutuhan anak down syndrome akan terus mencari usaha untuk menemukan jalan

keluar agar tetap dapat memenuhi kebutuhan anak down syndrome (seperti kebutuhan

obat dalam rangka terapi). Namun, jika ibu yang memiliki problem solving skills rendah

akan diam tanpa melakukan usaha apapun untuk memenuhi kebutuhan anak down

syndrome.

Autonomy, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam usaha mengembangkan diri terhadap identitas diri dan

kepercayaan akan keyakinan diri untuk dapat bertindak secara independent dalam

mengontrol lingkungannya. Misal, ibu dengan autonomy yang tinggi mampu mengatasi

segala bentuk kemarahan dan rasa putus asa bahkan menggantinya dengan sebuah

keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Namun, jika ibu

memiliki autonomy yang rendah akan tergantung pada orang lain dalam mengatasi

permasalahannya.

Sense of purpose and bright future, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome untuk mengetahui dan memahami tujuan

keberadaan dirinya di tengah-tengah lingkungan. Misalnya, ibu memiliki kekhawatiran

mengenai masa depan anak down syndrome. Jika ibu memiliki sense of purpose and

bright future yang tinggi maka dapat terlihat dari adanya harapan ibu bahwa suatu saat nanti anaknya yang down syndrome akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan tetap

mampu berfungsi secara baik di lingkungan sosialnya. Sedangkan jika ibu yang memiliki

sense of purpose and bright future yang rendah maka akan mudah putus asa dan merasa sudah tidak ada lagi harapan bagi anak down syndrome untuk berkembang menjadi lebih

(25)

Semakin tinggi derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome, maka ibu

akan mampu menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan.

Derajat resiliensi dikatakan tinggi apabila ibu dengan anak down syndrome memiliki

social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose yang tinggi. Sedangkan semakin rendah derajat resiliensinya, maka ibu akan cenderung kurang mampu

untuk menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan maupun rintangan, dan

akan cenderung mudah putus asa dalam mengahadapi permasalahan yang ada. Derajat

resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome dikatakan rendah apabila social

competence, problem solving, autuonomy dan sense of purpose yang dimiliki rendah. Untuk gambaran lebih jelas dan singkat, dapat dilihat di bagan kerangka pemikiran di

bawah ini:

Bagan1.1 Kerangka Pikir Protective Factor :

- Family protective factor - School protective factor - Community protective factor

Ibu yang memiliki

anak down syndrome

RESILIENSI

Tinggi

Rendah

(26)

1.6Asumsi Penelitian

- Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung memiliki

resiliensi yang tinggi berdasarkan empat aspek resiliensi, yaitu social competence,

problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.

- Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung dengan

resiliensi yang tinggi, maka akan menunjukkan nilai yang tinggi pada keempat

aspeknya (social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose

and bright future) , begitupun sebaliknya.

- Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah family protective factor, school

(27)

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan kepada 30 orang ibu yang

memiliki anak down syndrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung, maka dapat

disimpulkan bahwa :

1.) Sebanyak 53,3% ibu yang tergabung di dalam komunitas Potads Bandung yang

memiliki anak down syndrome memiliki resiliensi yang tinggi.

2.) Ibu yang tergabung di dalam komunitas Potads Bandung yang memiliki anak down

syndrome dengan resiliensi yang tinggi, menunjukkan nilai yang tinggi pada empat aspek resiliensi (social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of

purpose and bright future).

3.) Ibu yang memiliki anak down syndrome yang tergabung di dalam komunitas Potads

Bandung dengan resiliensi yang rendah, menunjukkan nilai yang rendah juga pada

empat aspek resiliensi.

4.) Pada penelitian ini, terdapat protective factor (family ptotective factor, school

protective factor dan community protective factor) yang ibu hayati. Faktor yang cenderung berkaitan dengan tingginya resiliensi tersebut adalah dukungan keluarga

dan bantuan suami (family protective factor) serta dukungan teman (community

protective factor).

5.) Protective factor yang tidak ibu hayati membuat reseliensi ibu tinggi adalah school

(28)

5.2 Saran

5.2.1 Saran Teoretis

 Bagi peniliti selanjutnya, yang tertarik untuk meneliti keterkaitan hubungan antar

aspek dan sub aspek dalam resiliensi.

 Bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti resiliensi pada ibu yang memiliki anak

down syndrome, disarankan untuk meneliti resiliensi ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung yang memiliki anak down syndrome berusia 0 s/d 12

tahun.

5.2.2 Saran Praktis

 Hasil penelitian ini dapat membantu ibu dalam komunitas Potads Bandung untuk

mengadakan sharing kelompok yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan

ibu beradaptasi, berelasi sosial, mengatasi masalah serta berfikir secara positif di

tengah situasi yang menekan pendampingan anak down syndrome.

 Memberikan informasi guna kepentingan lebih lanjut komunitas Potads Bandung,

seperti menjadikan penelitian ini sebagai topik dalam seminar atau pembekalan

(29)

TERGABUNG DALAM KOMUNITAS POTADS BANDUNG

YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME

SKRIPSI

Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung

Oleh :

REISKE ARNANDRA NRP : 0730194

UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI

(30)

Puji syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, bimbingan, dan

penyertaan-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Studi

Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome yang

Tergabung Dalam Komunitas Potads Bandung”. Penelitian ini disusun untuk memenuhi

persyaratan menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha

Bandung.

Selama menyusun penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi

Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome yang Tergabung Dalam Komunitas Potads

Bandung”, peneliti banyak menemukan kesulitan baik dalam persiapan, penyusunan, maupun

penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak,

akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi oleh peneliti. Oleh karena itu, pada kesempatan

ini peneliti menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya

kepada:

1. Dra. Irena P. Edwina M.Si., Psik., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen

Maranatha yang sudah memberi kesempatan peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan

penelitian hingga selesai.

2. Tim dosen mata kuliah Usulan Penelitian Lanjutan yang telah memberi kesempatan

peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan penelitian.

3. Efnie Indriani M.Psi., Psik., selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan

masukan dengan sabar dan penuh ketelitian, support, serta waktunya untuk

(31)

memberikan masukan, kesabaran serta waktunya untuk menyampaikan feedback kepada

peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.

5. Tim dosen yang telah memberi kesempatan peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan

penelitian.

6. Ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung sebagai responden, yang telah

sangat kooperatif untuk membantu peneliti memperoleh data penelitian.

7. Kedua orangtua tersayang, Papa dr. M. F. Hendra Bharata Sp.O.G.,(K), M.Kes., M.H.Kes

dan Mama Irena Endang Ratnawati yang telah memberikan support dan doa terbesar

selama penelitian.

8. Kakak-kakak tersayang, Bunda Roscky Irstanti, S.Psi., Mommy Veronica R. Marieta,

S.S., A Irfan Nurocmat, S.Kom., dan Abang Leo Adiperkasa, S.H. yang tidak lelah

mendampingi, memberikan banyak masukan dan support selama penelitian.

9. Kekasihku, Aditya Taruna, S.H., M.Kn., dan keluarga tercinta yang selalu mensupport

sejak awal penelitian hingga selasai.

10. Teman-teman Psikologi Maranatha yang membantu peneliti dalam penyelesaian tugas

penelitian ini.

Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh

karena itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritiknya untuk memperbaiki

kekurangannya. Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para

pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.

Bandung, Maret 2016

(32)

DAFTAR PUSTAKA

Benard, Bonnie.(2004). Resiliency ; What We Have Learned. San Fransisco : WestEd.

Guiö, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo.

Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Cetakan 1. Bandung : Yrama Widya.

Nazir, Mohammad. (1988). Metode Penelitian. Cetakan ketiga. Jakarta : Ghalia Indonesia.

(33)

DAFTAR RUJUKAN

FP-UKM. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi : Juli 2015. Bandung.

POTADS. 2004. Persatuan Orang tua Anak dengan Down Syndrome. (Online). (http://www.Potads.org.id/contact, diakses Februari 2016).

Prihatini, Dini. 2015. Memahami Down Syndrome. (Online). Edisi 982. (http://www.perspektifbaru.com/wawancara/982, diakses Februari 2016).

Gambar

Tabel Gambaran Hasil Penelitian ........................................................................................

Referensi

Dokumen terkait

[r]

Penelitian ini merupakan penelitian kelas dengan menggunakan metode kuasi eksperimen, data yang penulis kumpulkan berupa informasi tentang proses pembelajaran siswa

rouxii asal Ragi Gedang merupakan kapang yang memiliki kemampuan tertinggi mereduksi aflatoksin sebesar 99,7% sedangkan isolat khamir adalah Saccharomyces sp.. Isolat kapang

PHPTriad adalah software installer PHP secara instant yang berjalan pada lingkungan Windows, setelah menginstal PHPTriad anda tidak saja telah menginstal PHP, akan tetapi

[r]

Router dapat digunakan untuk menghubungkan banyak jaringan kecil ke sebuah jaringan yang lebih besar, yang disebut dengan internetwork , atau untuk membagi sebuah jaringan

dalam selembar kertas, l paragraf tentang konsep karya ujian praktek hari ini, dan teori Nirmana apa saja yang terdapatdaram kmyaanda.. lfrha$wa yang tidakmengumpulkan tugas

Kulit tersusun atas tiga lapisan, yaitu epidermis (lapisan luar/kulit ari), dermis (lapisan dalam/kulit jangat, dan hipodermis (jaringan ikat dibawah kulit).. Kulit dibagi menjadi