Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai gambaran derajat resilensi ibu yang tergabung dalam komunitas POTADS Bandung yang memiliki anak down syndrome melalui empat aspek resiliensi yaitu, social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Dasar teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori resiliensi dari Bonnie Benard.
Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode deskriptif. Sampel dalam penelitian ini adalah ibu yang tergabung dalam komunitas POTADS Bandung yang memiliki anak down syndrome. Teknik penarikan sampel yang digunakan adalah purposive sampling, yaitu sampel ditarik secara sengaja dengan persyaratan sampel yang diperlukan serta tujuan tertentu dan sampel yang digunakan bersifat homogen. Alat ukur yang digunakan berupa kuesioner yang dikonstruksi oleh peneliti berdasarkan teori resiliensi Bonnie Benard tahun 2004. Berdasarkan pengolahan data statistik melalui uji validitas menggunakan Spearman dan uji reliabilitas menggunakan teknik Alpha Cronbach diperoleh 91 item yang diterima dengan validitas berkisar 0,303-0,800 dan reliabilitas 0,968.
Berdasarkan pengolahan data terhadap 30 orang responden, diketahui 53,3% responden memiliki resiliensi yang tinggi, 46,6% responden memiliki resiliensi yang rendah. Responden dengan resiliensi yang tinggi akan menunjukkan nilai yang juga tinggi pada sebagian besar aspek resiliensi, responden dengan resiliensi yang rendah akan menunjukkan nilai yang juga rendah pada sebagian besar aspek resiliensi.
Abstract
This research aims to determine the degree of resilience overview mothers who incorporated in the community POTADS Bandung who have down syndrome children through four aspects of resilience. Basic theory used in this research is the theory of the resilience of Bonnie Benard.
The method used in this research is descriptive method . The sample in this study are mothers who incorporated in the community POTADS Bandung who have down syndrome children. The sampling technique used is purposive samplimg, the sample is pulled intentionally with the requirements of samples required and the particular purpose and the samples is homogeneous. Measuring instrument used was a questionnaire constructed by researchers based on the theory of resilience from Bonnie Benard, 2004. Based on statistical data processing by using Spearman validity test and reliability test using Cronbach Alpha obtained 91 items accepted by the validity ranged from 0.303 to 0.800 and reliability 0.968.
Based on the data processing of the 30 respondents, 53.3% of respondents are known to have high resilience, 46.6% of respondents have a low resilience. Respondents with high resilience will show the value that is also high in the fourth aspect of resilience, respondents with low resilience will show the value that is also low in the fourth aspect of resilience.
DAFTAR ISI
Halaman Judul
Halaman Pengesahan Pembimbing
Halaman Pernyataan Orisinilitas Skripsi
Halaman Pernyataan Publikasi Laporan Penelitian
Halaman Abstrak
Halaman Abstract
KATA PENGANTAR ... i
DAFTAR ISI ... iii
DAFTAR TABEL ... vi
DAFTAR BAGAN ... vii
DAFTAR LAMPIRAN ... L-1 BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Identifikasi Masalah ... 12
1.3 Maksud dan Tujuan Penelitian ... 12
1.3.1 Maksud Penelitian ... 12
1.3.2 Tujuan Penelitian ... 13
1.4 Kegunaan Penelitian ... 13
1.4.1 Kegunaan Teoritis ... 13
1.4.2 Kegunaan Praktis ... 13
1.5 Kerangka Pikir ... 14
1.6 Asumsi Penelitian ... 19
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 20
2.1.1 Pengertian Resiliensi ... 20
2.1.2 4 Aspek Resiliensi (Personal Strengths) ... 20
2.1.3 3 Aspek Protective Factor ... 25
2.2 Down Syndrome ... 27
2.2.1 Pengertian Down Syndrome ... 27
2.2.2 Penyebab Down Syndrome ... 30
2.2.3 3 Tipe Down Syndrome ... 31
2.2.4 Karakteristik Down Syndrome ... 32
2.2.5 Masalah Medis dan Masalah Perkembangan Anak Down Syndrome ... 33
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ... 38
3.1 Rancangan dan Prosedur Penelitian ... 38
3.2 Bagan Prosedur Penelitian ... 38
3.3 Variabel Penelitian dan Definisi Operasional ... 39
3.3.1 Variabel Penelitian ... 39
3.3.2 Definisi Konseptual ... 39
3.3.3 Definisi Operasional ... 39
3.4 Alat Ukur ... 43
3.4.1 Alat Ukur Resiliensi ... 43
3.4.2 Prosedur Pengisian ... 44
3.4.3 Sistem Penilaian ... 45
3.4.4 Data Pribadi dan Data Penunjang ... 46
3.4.5 Validitas dan Reliabilitas Alat Ukur ... 46
3.4.5.1 Validitas Alat Ukur ... 46
3.4.5.2 Reliabilitas Alat Ukur ... 47
3.5.1 Populasi Sasaran ... 47
3.5.2 Karakteristik Populasi ... 47
3.5.3 Teknik Penarikan Sampel ... 47
3.6 Teknik Analisis ... 47
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ... 49
4.1 Gambaran Subjek Penelitian ... 49
4.2 Gambaran Hasil Penelitian ... 54
4.3 Pembahasan ... 57
4.4 Diskusi ... 62
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 65
5.1 Kesimpulan ... 65
5.2 Saran ... 65
5.2.1 Saran Teoritis ... 66
5.2.2 Saran Praktis ... 66
DAFTAR PUSTAKA ... 54
DAFTAR RUJUKAN ... 55
LAMPIRAN
1. Tabel Data Mentah
2. Tabel Hasil Penelitian
3. Perhitungan Statistik
4. Contoh Kuesioner dan Letter of Concent
5. Profile POTADS
6. Persetujuan Pengambilan Data
7. Biodata Peneliti
DAFTAR TABEL
Tabel Kisi-kisi Alat ukur ... 44
Tabel Gambaran Subjek Penelitian ... 50
DAFTAR BAGAN
Bagan Kerangka Pikir Resiliensi ... 19
BAB I PENDAHULUAN
1.1Latar Belakang Masalah
Perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun psikologis merupakan hal yang
penting bagi orang tua khususnya ibu. Perkembangan fisik dan psikologis anak berkaitan
dengan perkembangan kognitif, afektif serta psikomotor, sesuai dengan tahap usia
perkembangannya. Walaupun demikian proses perkembangan pada setiap anak
berbeda-beda. Setiap anak memiliki kekurangan dan keistimewaan tersendiri dalam dirinya,
termasuk dalam ketidakmampuan anak untuk dapat berkembang sesuai dengan usia
perkembangannya.
Dewasa ini permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak semakin
beragam. Hal ini didukung oleh berkembangnya ilmu pengetahuan, serta semakin
kritisnya individu terhadap tahap perkembangan hidup lingkungannya. Beragam
permasalahan yang berkaitan dengan perkembangan anak ditemukan dari hasil penelitian
yang dilakukan para ahli terhadap perilaku anak yang dianggap tidak sesuai dengan
perilaku yang seharusnya anak tampilkan di usianya. Terdapat beberapa permasalahan
dalam perkembangan anak, diantaranya tunarungu, tunanetra, tunagrahita, tunadaksa,
down syndrome, anak dengan gangguan perilaku, anak berbakat, anak dengan kesulitan belajar, anak dengan gangguan kesehatan, dan lainnya. Pada penelitian ini akan
membahas mengenai anak down syndrome.
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu
pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan
pertumbuhan fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012).
Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial – ekonomi, dan
mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan cacat
intelektual dan fisik dan terkait masalah medis. Down syndrome merupakan suatu
kondisi yang hadir pada saat lahir, yang mempengaruhi fisik dan perkembangan mental.
Meskipun tidak ada dua orang dengan down syndrome yang sama persis, namun mereka
memiliki beberapa bentuk fisik umum yang sama (Dr. Surekha Ramachandran; tahun
tidak dicantumkan).
Anak dengan down syndrome memiliki bentuk wajah yang sama, cenderung
memiliki otot yang lebih rendah, dan biasanya belajar berjalan dan berbicara sedikit lebih
lambat dari anak-anak lain seusianya. Seseorang dengan down syndrome biasanya
memiliki kepala yang sedikit lebih kecil dan rata pada bagian belakangnya; up-slanted
eyes; kulit ekstra lipatan di sudut bagian dalam mata; telinga, hidung dan mulut yang kecil; bertubuh pendek; tangan dan kaki yang kecil serta beberapa kelainan intelektual.
Kelainan down syndrome biasanya mempengaruhi setiap sel dalam tubuh, sehingga
mengakibatkan seseorang memiliki berbagai masalah medis. Pengobatan untuk down
syndrome lebih spesifik dapat diberikan khususnya pada kebutuhan yang bersifat individual. Misalnya, seorang anak down syndrome mungkin perlu operasi jantung untuk
memperbaiki cacat jantungnya.
Anak dengan down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat
daripada kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam
kaitannya dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama
dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain
seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya.
Di lingkungan sosialnya, anak down syndrome biasanya sangat ramah. Walaupun
demikian anak down syndrome dapat merasa terisolasi secara sosial karena perbedaan
mereka, adanya ketidakdewasaan secara sosial dan juga perasaan sulit untuk bersaing
dengan anak lain seusianya secara fisik, emosi dan kognitif.
Berdasarkan penjelasan sebelumnya, dapat terlihat bahwa permasalahan yang dimiliki
anak down syndrome yang sangat beragam, dimana anak memiliki keterbatasan fisik dan
mental juga membutuhkan pendampingan yang baik dari orang sekitar terutama dalam hal
ini ibu. Ibu yang memiliki anak down syndrome harus mendampingi anak mulai saat anak
lahir hingga anak dewasa. Saat didiagnosa mengalami down syndrome, ibu biasanya harus
mendampingi anak untuk melakukan beberapa tes yang berkaitan dengan kondisi tumbuh
kembang anak.
Anak dengan down syndrome akan melakukan terapi sejak usia dini untuk melatih
otot dan gerak motorik yang bersangkutan dengan gerakan dasar. Selain itu ibu juga harus
beradaptasi dengan kondisi anak yang berbeda dari anak lain yang seusia. Dimana hal ini
mengharuskan ibu membawa anak untuk mengikuti beragam terapi agar anak mampu
beraktivitas. Tidak jarang ibu harus mengorbankan waktu dan kesibukan pribadinya untuk
mendampingi anak atau sekedar mengantarkan anak ke sekolah atau tempat terapi. Ibu
juga harus menghadapi reaksi lingkungan berkaitan dengan anak down syndromenya.
Ibu sebagai seorang individu memiliki aktivitas sosial tertentu, seperti pergi bekerja,
mengikuti berbagai keagiatan arisan, atau sekedar berkumpul dengan teman-temannya.
Selain itu, sebagai ibu rumah tangga, ibu juga harus mampu menyediakan segala
Aktivitasnya sebagai seorang ibu rumah tangga ataupun sebagai karyawan saja tidak
jarang melelahkan dan juga menjenuhkan. Dengan memiliki seorang anak down syndrome
ibu harus beradaptasi dengan kondisi yang ada. Ibu harus belajar untuk menata
perasaannya, menerima kenyataan bahwa salah seorang anaknya mengalami down
syndrome. Ibu juga harus beradaptasi dengan lingkungan sekitarnya, dimana jika sewaktu-waktu ada yang bertanya mengenai kondisi anaknya yang down syndrome. Ibu juga harus
mulai memberi pengertian pada anak normalnya mengenai kondisi yang dialai saudaranya.
Selain itu tidak menutup kemungkinan aktivitas anak down syndrome dapat
menghalanginya untuk beraktivitas, seperti mendampingi anak down syndrome terapi serta
mengikuti evaluasi yang diberikan tempat terapi. Menghadapi dan mendampingi anak
down syndrome akan berlangsung dalam jangka waktu yang panjang dan disertai dengan tekanan pada masing-masing simptom yang kemungkinan muncul pada masing-masing
anak down syndrome.
Perilaku khas yang mungkin muncul pada masing-masing anak down syndrome
berbeda-beda, seperti misalnya pada usia 1 tahun anak down syndrome masih tetap belajar
merangkak dengan kondisi kaki yang terlihat lemah. Selain itu, berkurangnya perilaku
khas yang muncul pun akan berbeda-beda waktu dan tingkatan keparahannya. Namun
dalam jangka waktu tertentu ibu harus tetap mendampingi dan menghadapi anak down
syndrome, dimana hal ini jelas akan berpengaruh pada perannya sebagai ibu rumah tangga dan fungsi dirinya di lingkungan sosial.
Oleh karena itu, ibu yang memiliki anak down syndrome membutuhkan kemampuan
untuk bertahan di tengah kondisi yang serba menekan. Kemampuan bertahan ini
dibutuhkan, agar ibu tetap dapat menjalani kehidupan sebagai pribadi dan juga
menjalankan perannya sebagai seorang ibu dan istri. Selain itu, kemampuan bertahan ini
rasa percaya diri serta pemikiran yang positif. Kemampuan untuk dapat bertahan di tengah
kondisi serba menekan yang dibutuhkan ibu itu adalah resiliensi.
Resiliensi (personal strength) merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat
menyesuaikan diri dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak
halangan dan rintangan (Bonnie Benard, 2004).
Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang
merupakan karakteristik individu. Sering juga disebut dengan aset internal atau kompetensi
individu, yang juga dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan
dalam hidup. Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving
skills, autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap
individu melalui penyediaan dukungan dan peluang.
Menghadapi anak down syndrome bukanlah suatu hal yang mudah, oleh karena itu
seorang ibu yang memiliki anak down syndrome diharapkan memiliki derajat resiliensi
yang tinggi. Karakteristik ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi diantaranya, ibu
mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain mengenai anak
down syndrome di dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang tertekan dan
mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah berdasarkan apa yang
dibutuhkan anak down syndrome (social competence).
Ibu yang memiliki derajat resiliensi yang tinggi juga mampu membuat suatu
perencanaan dalam menyelesaikan permasalahan fisik, seperti rasa lelah yang dimiliki saat
membimbing dan menjaga anak down syndrome serta permasalahan sosial seperti penilaian
negatif yang seringkali diberikan lingkungan (sense of purpose and bright future). Selain
alternative dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi. Seperti ketika ibu harus menghadapi anak down syndrome dengan perilaku anak yang hiperaktif dan impulsive,
atau anak yang memiliki keterbatasan tertentu, ibu mampu berinisiatif membentuk suatu
permainan yang menarik perhatian anak dalam menyelesaikan tugas (problem solving
skills). Selain itu Ibu pun mampu mengenal dirinya sebagai pribadi yang baik dengan keyakinan akan kemampuan diri yang dimilikinya, sehingga Ibu mampu mengatasi segala
bentuk kemarahan dan rasa putus asa serta menggantinya dengan sebuah keyakinan bahwa
dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi (autonomy).
Untuk melengkapi data yang peneliti inginkan, maka peneliti memilih satu komunitas
orang tua yang memiliki anak down syndrome di Bandung untuk dijadikan tempat
penelitian. Komunitas yang peneliti pilih adalah Potads (Persatuan Orang Tua Anak Down
Syndrome) Bandung. Potads Bandung merupakan cabang daerah dari Yayasan Potads yang berpusat di Jakarta. Potads yang berpusat di Jakarta didirikan pada tahun 2009, dan
pertama kali hadir di Bandung pada tahun 2012. Komunitas Potads Bandung secara rutin
berkumpul setiap tiga bulan sekali untuk melakukan sharing dan konsultasi dengan
narasumber pilihan dalam mendukung tumbuh kembang anak mereka.
Potads sendiri memiliki tujuan utama untuk memberdayakan orang tua anak down
syndrome agar selalu bersemangat untuk membantu tumbuh kembang anak spesialnya secara maksimal, sehingga mereka mampu menjadi pribadi yang mandiri atau bahkan bisa
berprestasi sehingga dapat diterima masyarakat luas. Hal ini dilakukan karena anak dengan
down syndrome memiliki hak yang sama dengan anak-anak lainnya.
Visi dari Potads adalah menjadi pusat informasi dan konsultasi terlengkap tentang
down syndrome di Indonesia. Sedangkan misi dari Potads ialah memiliki pusat informasi yang bisa diakses 24 jam baik melalui surat/telepon/internet ataupun media komunikasi
ilmiah maupun dari pengalaman orang lain. Menyebarluaskan informasi mengenai down
syndrome kepada anggota yang membutuhkan tempat-tempat yang akan diakses oleh para orangtua yang memiliki anak dengan down syndrome seperti Rumah Sakit/Klinik/Puskesmas sampai Posyandu. Memberikan konsultasi secara kelompok
maupun individu sesuai kebutuhan, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendukung
penyebarluasan informasi tentang down syndrome kepada masyarakat luas, menyelenggarakan kegiatan-kegiatan yang mendorong masyrakat untuk lebih peduli dan
menghargai sehingga mereka dapat memberi kesempatan yang sama untuk berkembang
dalam berbagai bidang (pendidikan/seni dan budaya dan lain-lain).
Berdasarkan hasil survey awal yang peneliti lakukan pada 9 orang ibu yang memiliki
anak down syndrome di komunitas Potads Bandung, banyak hal yang ibu ceritakan
mengenai kehidupan sehari-harinya bersama keluarga dan lingkungan serta pengalaman
ibu setelah bergabung dalam komunitas Potads Bandung. Ibu merasakan banyak
keuntungan atau hal positif setelah bergabung dalam komunitas ini. Banyak support moral
serta ajakan untuk melakukan berbagai kegiatan yang melibatkan anak down syndrome
disampaikan baik melalui pertemuan rutin yang dilakukan setiap tiga bulan sekali pada
ataupun melalui grup whatsapp. Komunikasi yang cukup intents melalui grup whatsapp
seringkali dilakukan, sehingga timbul perasaan ‘tidak merasa sendiri’ pada masing-masing
ibu yang peneliti wawancara.
Perasaan tidak sendiri ibu rasakan karena selain support secara moral, banyak
informasi yang didapat setelah bergabung dalam komintas ini. Diantaranya adanya
informasi mengenai tempat terapi anak down syndrome yang bagus di Bandung, dokter
tumbuh kembang anak yang juga bagus di Bandung, cara terapi baru yang bisa diberikan
untuk membantu anak down syndrome dalam beraktivits ataupun sekedar informasi
merasa lebih percaya diri untuk mengikutsertakan anak down syndrome dalam melakukan
berbagai kegiatan sosial.
Pada survey awal ini peneliti melakukan wawancara dengan 9 orang ibu. Ibu yang
memiliki anak down syndrome dalam komunitas ini rata-rata seorang pekerja, 5 orang ibu
bekerja sebagai karyawan swasta, 1 orang ibu sebagai dokter, 1 orang ibu sebagai
wiraswastawan, dan 2 orang ibu rumah tangga. Berdasarkan hasil wawancara antara
peneliti dan para ibu ini, 90% ibu mengetahui bahwa anak mereka mengalami down
syndrome setelah anak itu dilahirkan dan 10% mengetahuinya sewaktu usia kandungannya memasuki 3 bulan kehamilan melalui usg 3 dimensi.
Sebanyak 5 orang ibu yang peneliti wawancara, pada awalnya tidak mengetahui dan
tidak memahami yang dimaskud dengan down syndrome, sehingga ibu merasa bingung,
takut akan hal yang harus dilakukan dengan anak down syndrome. Bahkan terdapat satu
orang ibu yang mengetahui bahwa anaknya mengalami down syndrome setelah 4 hari
anak dibawa pulang, dan harus kembali ke rumah sakit ketika anak mengalami kuning.
Pada saat itu dokter anak yang menangani mengatakan pada ibu bahwa anaknya
mengalami down syndrome. Rasa bingung, tidak percaya, menolak keberadaan anak,
mempertanyakan keadilan Tuhan pun menjadi hal pertama yang semua ibu rasakan pada
saat mengetahui bahwa anak yang mereka lahirkan mengalami down syndrome.
Berikut ini peneliti sajikan hasil wawancara yang didapatkan dari 9 orang ibu yang
tergabung dalam komunitas Potads Bandung. Wawancara yang peneliti lakukan pada 9
orang ibu ini, dikaitkan dengan 4 aspek resiliensi. Aspek pertama adalah social
competence, merupakan kemampuan seseorang untuk terampil dan mampu bersikap dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang lain. Setelah melaui proses yang
bersifat individual pada masing-masing ibu yang memiliki anak down syndrome di
tentang kondisi anak down syndrome baik di lingkungan keluarga, rumah ataupun tempat
ibu bekerja. Keterbukaan dan penerimaan secara positif yang berawal dari dirinyalah yang
pada akhirnya mempermudah ia, anak down syndrome serta anggota keluarga lainnya
dapat beradaptasi di lingkungan. Berdasarkan wawancara yang dilakukan didapatkan hasil,
90 % dalam hal social competence.
Aspek kedua adalah problem solving skills yang merupakan kemampuan seseorang
dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi. Tidak jarang ibu melihat ketidaksesuaian
proses terapi dengan potensi anak. 80% ibu mampu menentukan terapi pada
masing-masing anak sesuai dengan kebutuhan anak pada saat itu, dan tidak ragu untuk
memberhentikan salah satu terapi. Hal ini bertujuan agar anak dapat melakukan terapi yang
dikira sesuai, misal memberhentikan fisioterapi untuk lebih fokus pada terapi wicara.
Sedangkan 20% Ibu pada populasi tersebut diatas lebih mengikuti proses terapi yang sudah
ditentukan tempat terapi atau sekolah dimana anak berada. Oleh karena itu, berdasarkan
hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu yang memiliki anak down syndrome yang
tergabung dalam komunitas Potads Bandung mampu mencari jalan keluar bagi kegiatan
anak down syndrome.
Aspek ketiga adalah autonomy yang merupakan kemampuan seseorang dalam usaha
mengembangkan diri terhadap identitas diri dan kepercayaan akan keyakinan diri untuk
dapat bertindak secara independent dalam mengontrol lingkungannya. Masing-masing ibu
bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome memberi kekuatan dan keyakinan bahwa
Tuhan telah memilih ibu untuk mampu dan yakin dalam mendampingi anak down
syndrome. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan bahwa 80% Ibu memiliki keyakinan pendampingan tersebut. Ibu bercerita bahwa kehadiran anak down syndrome dalam
kehidupannya membuat dirinya dekat dengan Tuhan, dan dari situ timbullah rasa percaya
masalah lainnya. Ibu pun memiliki kepercayaan diri untuk dapat tetap berada di suatu
komunitas ataupun di lingkungan tertentu, seperti kantor tempatnya bekerja.
Aspek keempat ialah sense of purpose and bright yang merupakan kemampuan
seseorang untuk mengetahui dan memahami tujuan keberadaan dirinya di tengah-tengah
lingkungan. 9 orang ibu yang peneliti wawancara mengatakan bahwa mereka memahami
keberadaannya di tengah keluarga, terutama bagi anak down syndrome melalui proses dan
pengalaman yang masing-masing ibu alami. Pemahaman akan tujuan keberadaannya di
lingkungan tergambar dari tanggung jawab ibu dalam mendampingi anak down syndrome
dan tanggung jawab ibu terhadap kewajibannya di rumah dan di kantor. Melalui hasil yang
peneliti dapatkan dari wawancara dengan ibu, didapatkan hasil sebanyak 98% dalam sense
of purpose and bright future.
Peneliti juga mendapatkan hasil bahwa peran keluarga, terutama suami serta peran
teman-teman komunitas menjadi hal yang paling penting. Dukungan moral berupa
perhatian, bantuan dan pemberian informasi mengenai down syndrome sangatlah ibu
butuhkan, terutama ketika tiga sampai lima tahun pertama perkembangan anak. Tiga
sampai lima tahun pertama dirasa berat, karena pada tahun-tahun ini anak masih harus
banyak melakukan terapi dan pendampingan untuk beraktivitas. Terapi yang dilakukan
tahun pertama lebih fokus pada motorik anak, supaya anak dapat beraktivitas dengan
mudah seperti berjalan, berlari dan duduk. Selain itu fokus terapi juga pada kemampuan
anak untuk dapat berbicara dengan baik.
Keberadaan ibu di tengah lingkungan pekerjaan pun tidak dapat terlepas dari
kehidupannya. 7 dari ibu yang memiliki anak down syndrome dalam komunitas Potads
Bandung, merupakan seorang karyawati di suatu perusahaan. Pendampingan anak down
syndrome berangkat sekolah. Oleh karena kepentingan tersebut, maka ibu pun akhirnya mampu untuk terbuka di lingkungan kerjanya. Begitupun dengan ibu rumah tangga, ibu
memiliki keberanian untuk terbuka di tengah lingkungan rumahnya. Karena
kemampuannya untuk terbuka inilah yang membuat ia dan anak-anak pun dapat
beradaptasi di lingkungan dengan baik.
Kegiatan terapi yang harus dilakukan pada setiap anak down syndrome berbeda-beda
karena potensi dan kemampuan anak berbeda. Hal ini menuntut ibu untuk mampu mencari
tahu dan teliti melihat potensi yang anak down syndrome miliki serta menuntut ibu
memiliki hubungan yang baik dengan para terapis. Perkembangan proses terapi pada
masing-masing anak biasanya ibu dapatkan setiap tiga bulan sekali. Pada setiap pertemuan
ibu dengan terapis biasanya ada komunikasi langsung melalui penyampaian evaluasi
perkembangan anak.
Rasa lelah dan jenuh seringkali ibu rasakan bukan hanya berasal dari anak down
syndrome, tetapi juga dari hal lain seperti kewajibannya mendampingi anaknya yang lain di rumah. Aktivitas yang harus ibu hadapi memang bukan suatu hal yang menyenangkan
dan mudah, namun semuanya itu mampu ibu redam. Hal ini dilakukan karena keinginan
dan keyakinan yang kuat bahwa dirinya mampu membantu anak down syndrome dan
dirinya sendiri keluar dari permasalahan.
Dengan memiliki derajat resiliensi yang tinggi maka ibu yang memiliki anak down
syndrome akan mampu untuk bertahan dalam situasi yang menekan. Sedangkan apabila ibu yang memiliki anak down syndrome derajat resiliensinya rendah, maka ia akan
cenderung mudah putus asa dalam menghadapi situasi yang menekan.
Dari hasil survey awal yang peneliti lakukan serta penjabaran mengenai resiliensi di
atas, peneliti melihat bahwa ketahanan atau resiliensi yang ibu miliki memang berawal
ibu memaknai permasalahan yang ada. Sehingga dalam menghadapi dan mengatasai
permasalahan dapat sesuai dengan apa yang memang harus dilakukan. Pada survey awal
peneliti melihat pentingnya derajat resiliensi yang tinggi dimiliki oleh ibu dengan anak
down syndrome, karena hal ini akan membantu ibu dalam mendampingi anak down syndrome serta membantu ibu untuk mengembangkan ketahanan diri yang memang telah dimiliki. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk mengetahui mengenai derajat resiliensi
ibu yang memiliki anak down syndrome, khususnya Ibu yang tergabung di dalam
komunitas Potads Bandung.
Peneliti melihat dengan resiliensi mampu beradaptasi dengan kondisi yang ada serta
dapat mengatasi masalah yang sedang dihadapi, karena ibu mampu memandang suatu
masalah secara objektif dan positif, sehingga dalam mencari pemecahan masalahnya juga
dapat dilakukan secara objektif. Oleh karena itu peneliti menganggap bahwa resiliensi
merupakan hal yang tepat dimiliki seseorang untuk dapat dianggap mampu beradaptasi
dan menghadapi permasalahan, karena seseorang akan mampu atau berani menerima,
memahami dan menghadapi masalah atau tekanan yang ada secara positif dan optimis.
1.2Identifikasi Masalah
Dari penelitian ini peneliti ingin mengetahui gambaran mengenai derajat resiliensi Ibu
yang memiliki anak down sindrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung.
1.3Maksud dan Tujuan Penelitian 1.3.1 Maksud Penelitian
Maksud dari penelitian ini adalah untuk memperoleh gambaran mengenai derajat
resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas
1.3.2 Tujuan Penelitian
1. Tujuan dari penelitian ini adalah ingin mengetahui mengenai gambaran derajat
resiliensi ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas
Potads Bandung melalui empat aspek yang ada dalam resiliensi yaitu social
competence, problem solving skills, autonomy, & sense of purpose and bright future.
2. Tujuan lain dari penelitian ini adalah ingin mengetahui gambaran derajat resiliensi
ibu yang memiliki anak down sydrome yang tergabung dalam komunitas Potads
Bandung melalui faktor-faktor lain yang berpengaruh terhadap resiliensi ibu yang
memiliki anak down syndrome.
1.4Kegunaan Penelitian 1.4.1 Kegunaan Toeritis
1. Memberikan wawasan mengenai resiliensi guna menambah pengetahuan pada
bidang ilmu Psikologi.
2. Memberikan masukan informasi bagi peneliti lain yang tertarik untuk meneliti
lebih lanjut mengenai resiliensi.
1.4.2 Kegunaan Praktis
1. Memberikan informasi bagi ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung
mengenai resiliensi ibu bagi anak down syndrome.
2. Membantu ibu yang tergabung dalam komunitas Potadas Bandung untuk dapat
mengoptimalkan resiliensi yang dimiliki dalam merawat, membimbing dan
3. Membantu ibu yang memiliki anak down syndrome lainnya, diluar komunitas
Potads Bandung untuk dapat memahami resiliensi ibu yang memiliki anak down
syndrome.
1.5Kerangka Pemikiran
Down syndrome adalah suatu kondisi keterbelakangan perkembangan fisik dan mental anak yang diakibatkan adanya abnormalitas perkembangan kromsom. Kromosom itu
terbentuk akibat kegagalan sepasang kromosom untuk saling memisahkan diri saat terjadi
pembelahan. Kelainan pada kromosom itu berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan
fisik dan mental anak (E. Kosasih; 2012).
Down syndrome adalah pengaturan kromosom alami yang selalu menjadi bagian dari kondisi manusia. Secara universal hadir di ras, jenis kelamin atau garis sosial – ekonomi,
dan mempengaruhi sekitar satu dari 800 kelahiran di seluruh dunia, yang menyebabkan
cacat intelektual dan fisik dan terkait masalah medis (Dr. Surekha Ramachandran; tahun
tidak dicantumkan).
Anak down syndrome biasanya belajar dan berkembang lebih lambat daripada
kebanyakan anak lain karena perkembangan mereka cenderung tertunda dalam kaitannya
dengan usia kronologis. Namun, tidak semua bidang perkembangan sama-sama
terpengaruh. Ada pola tertentu pada bagian kognitif dan perilaku yang diamati dari anak
dengan down syndrome, yang terlihat berbeda pada pola perkembangan anak-anak lain
seusianya dan anak-anak dengan cacat intelektual lainnya. Dalam merawat, membimbing
dan mendidik anak down syndrome akan membutuhkan suatu kemampuan untuk
beradaptasi dan bertahan. Kemampuan untuk bertahan dengan keadaan yang dihadapi
merupakan hal yang sangat dibutuhkan ibu yang memiliki anak down syndrome.
Resiliensi merupakan kemampuan seorang individu untuk dapat menyesuaikan diri
dan berfungsi dengan baik di tengah situasi yang menekan atau banyak halangan dan
rintangan (Bonnie Benard, 2004). Resiliensi pada ibu yang memiliki anak down syndrome
tidak terlepas dari protective factor yang mempengaruhinya, yaitu terdiri dari : family
protective factor, school protective factor, dan community protective factor.
Family protective factor merupakan faktor yang berasal dari keluarga inti. Faktor ini merupakan organisasi dasar dalam sejarah kehidupan manusia dan bentuk terbaik dalam
memberikan dukungan kepada ibu yang memiliki anak down syndrome. Seperti dukungan
dari orang terdekat yaitu suami, ataupun dukungan dari orang tua serta saudara kandung
yang ibu miliki. Bagaimana suami, orang tua serta saudara kandung ibu dapat
memberikan dukungan serta dampak positif pada ibu untuk tetap mampu bertahan dalam
merawat dan membesarkan anak down syndrome. Dengan adanya bantuan dari suami dan
dukungan dari keluarga maka akan membantu ibu untuk dapat beradaptasi menerima
keberadaan dan kondisi anak down syndrome. Sehingga ibu mampu melihat dan
memahami permasalahan dengan sikap dan pemikiran yang positif.
School protective factor adalah semua pihak sekolah yang dapat menyediakan sumber perlindungan alternative dalam memberikan dukungan. Perlindungan dalam memberi
dukungan dari pihak sekolah itu contohnya, adanya bantuan dari kepala sekolah ataupun
guru yang mengajar anak down syndrome, dengan cara memberikan feedback mengenai
perkembangan anak di sekolah, ataupun adanya perlakuan yang layak terhadap anak down
syndrome dari pihak sekolah. Adanya dukungan serta perlingdungan yang sekolah berikan maka akan membantu ibu dalam menumbuhkan keyakinan dalam dirinya bahwa anak
down syndrome akan memiliki masa depan yang lebih baik dan lebih mandiri.
dan berkembang dengan baik. Mencintai, bekerja dan menerima kenyataan saat
menghadapi tekanan. Komunitas ini bisa tetangga, teman yang juga memiliki anak down
syndrome, psikolog, psikiater dan terapis sehingga ibu dapat berbagi rasa dan meyakini bahwa dirinya mampu untuk merawat dan membimbing anak down syndrome hingga
dewasa.
Resiliensi dalam diri individu dapat dimanifestasikan dalam personal strength yang
merupakan karakteristik individu. Hal ini sering juga disebut aset internal atau kompetensi
individu, dihubungkan dengan perkembangan yang sehat dan keberhasilan dalam hidup.
Resiliensi memiliki empat aspek, yaitu social competence, problem solving skills,
autonomy dan sense of purpose and bright future. Kekuatan dan ketahanan yang paling tepat, dilihat sebagai kemungkinan pengembangan yang dapat terlibat dalam setiap
individu melalui penyediaan dukungan dan peluang.
Social competence, kita dapat melihat seberapa besar keterampilan dan sikap ibu yang memiliki anak down syndrome dalam membangun ketertarikan yang positif dengan orang
lain. Dalam hal ini, ibu dapat menunjukan kemampuan untuk menjalin hubungan yang
baik dengan orang lain tanpa mempermasalahkan kondisi anak down syndrome. Seperti
misalnya, ibu mampu mendengarkan dan menanggapi secara positif pendapat orang lain
mengenai anak down syndrome dalam berelasi. Menjalani hubungan pertemanan dengan
siapa saja tanpa takut didiskriminasi, mampu berempati dan menghibur dirinya yang
tertekan. Serta mampu menolong anak down syndrome untuk keluar dari masalah
berdasarkan apa yang dibutuhkan anak down syndrome.
Problem solving skills, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam mengatasi masalah yang harus dihadapi.
Misalnya, Ibu yang memiliki derajat problem solving skills yang tinggi mampu berinisiatif
belajar yang dibuat seperti bermain. Hal lainnya, ibu yang mengalami kesulitan finansial
karena kebutuhan anak down syndrome akan terus mencari usaha untuk menemukan jalan
keluar agar tetap dapat memenuhi kebutuhan anak down syndrome (seperti kebutuhan
obat dalam rangka terapi). Namun, jika ibu yang memiliki problem solving skills rendah
akan diam tanpa melakukan usaha apapun untuk memenuhi kebutuhan anak down
syndrome.
Autonomy, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome dalam usaha mengembangkan diri terhadap identitas diri dan
kepercayaan akan keyakinan diri untuk dapat bertindak secara independent dalam
mengontrol lingkungannya. Misal, ibu dengan autonomy yang tinggi mampu mengatasi
segala bentuk kemarahan dan rasa putus asa bahkan menggantinya dengan sebuah
keyakinan bahwa dirinya mampu mengatasi permasalahan yang dihadapi. Namun, jika ibu
memiliki autonomy yang rendah akan tergantung pada orang lain dalam mengatasi
permasalahannya.
Sense of purpose and bright future, kita dapat melihat seberapa besar kemampuan seorang ibu yang memiliki anak down syndrome untuk mengetahui dan memahami tujuan
keberadaan dirinya di tengah-tengah lingkungan. Misalnya, ibu memiliki kekhawatiran
mengenai masa depan anak down syndrome. Jika ibu memiliki sense of purpose and
bright future yang tinggi maka dapat terlihat dari adanya harapan ibu bahwa suatu saat nanti anaknya yang down syndrome akan dapat meningkatkan kualitas hidupnya dan tetap
mampu berfungsi secara baik di lingkungan sosialnya. Sedangkan jika ibu yang memiliki
sense of purpose and bright future yang rendah maka akan mudah putus asa dan merasa sudah tidak ada lagi harapan bagi anak down syndrome untuk berkembang menjadi lebih
Semakin tinggi derajat resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome, maka ibu
akan mampu menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan dan rintangan.
Derajat resiliensi dikatakan tinggi apabila ibu dengan anak down syndrome memiliki
social competence, problem solving, autonomy dan sense of purpose yang tinggi. Sedangkan semakin rendah derajat resiliensinya, maka ibu akan cenderung kurang mampu
untuk menghadapi situasi yang menekan atau banyak halangan maupun rintangan, dan
akan cenderung mudah putus asa dalam mengahadapi permasalahan yang ada. Derajat
resiliensi ibu yang memiliki anak down syndrome dikatakan rendah apabila social
competence, problem solving, autuonomy dan sense of purpose yang dimiliki rendah. Untuk gambaran lebih jelas dan singkat, dapat dilihat di bagan kerangka pemikiran di
bawah ini:
Bagan1.1 Kerangka Pikir Protective Factor :
- Family protective factor - School protective factor - Community protective factor
Ibu yang memiliki
anak down syndrome
RESILIENSI
Tinggi
Rendah
1.6Asumsi Penelitian
- Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung memiliki
resiliensi yang tinggi berdasarkan empat aspek resiliensi, yaitu social competence,
problem solving skills, autonomy dan sense of purpose and bright future.
- Ibu yang memiliki anak down syndrome di komunitas Potads Bandung dengan
resiliensi yang tinggi, maka akan menunjukkan nilai yang tinggi pada keempat
aspeknya (social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of purpose
and bright future) , begitupun sebaliknya.
- Faktor-faktor yang mempengaruhi resiliensi adalah family protective factor, school
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengolahan data yang telah dilakukan kepada 30 orang ibu yang
memiliki anak down syndrome yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung, maka dapat
disimpulkan bahwa :
1.) Sebanyak 53,3% ibu yang tergabung di dalam komunitas Potads Bandung yang
memiliki anak down syndrome memiliki resiliensi yang tinggi.
2.) Ibu yang tergabung di dalam komunitas Potads Bandung yang memiliki anak down
syndrome dengan resiliensi yang tinggi, menunjukkan nilai yang tinggi pada empat aspek resiliensi (social competence, problem solving skills, autonomy dan sense of
purpose and bright future).
3.) Ibu yang memiliki anak down syndrome yang tergabung di dalam komunitas Potads
Bandung dengan resiliensi yang rendah, menunjukkan nilai yang rendah juga pada
empat aspek resiliensi.
4.) Pada penelitian ini, terdapat protective factor (family ptotective factor, school
protective factor dan community protective factor) yang ibu hayati. Faktor yang cenderung berkaitan dengan tingginya resiliensi tersebut adalah dukungan keluarga
dan bantuan suami (family protective factor) serta dukungan teman (community
protective factor).
5.) Protective factor yang tidak ibu hayati membuat reseliensi ibu tinggi adalah school
5.2 Saran
5.2.1 Saran Teoretis
Bagi peniliti selanjutnya, yang tertarik untuk meneliti keterkaitan hubungan antar
aspek dan sub aspek dalam resiliensi.
Bagi peneliti yang tertarik untuk meneliti resiliensi pada ibu yang memiliki anak
down syndrome, disarankan untuk meneliti resiliensi ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung yang memiliki anak down syndrome berusia 0 s/d 12
tahun.
5.2.2 Saran Praktis
Hasil penelitian ini dapat membantu ibu dalam komunitas Potads Bandung untuk
mengadakan sharing kelompok yang berkaitan dengan pengembangan kemampuan
ibu beradaptasi, berelasi sosial, mengatasi masalah serta berfikir secara positif di
tengah situasi yang menekan pendampingan anak down syndrome.
Memberikan informasi guna kepentingan lebih lanjut komunitas Potads Bandung,
seperti menjadikan penelitian ini sebagai topik dalam seminar atau pembekalan
TERGABUNG DALAM KOMUNITAS POTADS BANDUNG
YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME
SKRIPSI
Diajukan untuk menempuh sidang sarjana pada Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha Bandung
Oleh :
REISKE ARNANDRA NRP : 0730194
UNIVERSITAS KRISTEN MARANATHA FAKULTAS PSIKOLOGI
Puji syukur peneliti ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas berkat, bimbingan, dan
penyertaan-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan penelitian yang berjudul “Studi
Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome yang
Tergabung Dalam Komunitas Potads Bandung”. Penelitian ini disusun untuk memenuhi
persyaratan menempuh sidang sarjana di Fakultas Psikologi Universitas Kristen Maranatha
Bandung.
Selama menyusun penelitian dengan judul “Studi Deskriptif Mengenai Derajat Resiliensi
Ibu yang Memiliki Anak Down Syndrome yang Tergabung Dalam Komunitas Potads
Bandung”, peneliti banyak menemukan kesulitan baik dalam persiapan, penyusunan, maupun
penyelesaiannya. Tetapi berkat bantuan, bimbingan, serta dukungan dari berbagai pihak,
akhirnya kesulitan-kesulitan ini dapat diatasi oleh peneliti. Oleh karena itu, pada kesempatan
ini peneliti menyampaikan penghargaan dan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada:
1. Dra. Irena P. Edwina M.Si., Psik., selaku dekan Fakultas Psikologi Universitas Kristen
Maranatha yang sudah memberi kesempatan peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan
penelitian hingga selesai.
2. Tim dosen mata kuliah Usulan Penelitian Lanjutan yang telah memberi kesempatan
peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan penelitian.
3. Efnie Indriani M.Psi., Psik., selaku dosen pembimbing utama yang telah memberikan
masukan dengan sabar dan penuh ketelitian, support, serta waktunya untuk
memberikan masukan, kesabaran serta waktunya untuk menyampaikan feedback kepada
peneliti dalam menyelesaikan penelitian ini.
5. Tim dosen yang telah memberi kesempatan peneliti untuk mengikuti dan menyelesaikan
penelitian.
6. Ibu-ibu yang tergabung dalam komunitas Potads Bandung sebagai responden, yang telah
sangat kooperatif untuk membantu peneliti memperoleh data penelitian.
7. Kedua orangtua tersayang, Papa dr. M. F. Hendra Bharata Sp.O.G.,(K), M.Kes., M.H.Kes
dan Mama Irena Endang Ratnawati yang telah memberikan support dan doa terbesar
selama penelitian.
8. Kakak-kakak tersayang, Bunda Roscky Irstanti, S.Psi., Mommy Veronica R. Marieta,
S.S., A Irfan Nurocmat, S.Kom., dan Abang Leo Adiperkasa, S.H. yang tidak lelah
mendampingi, memberikan banyak masukan dan support selama penelitian.
9. Kekasihku, Aditya Taruna, S.H., M.Kn., dan keluarga tercinta yang selalu mensupport
sejak awal penelitian hingga selasai.
10. Teman-teman Psikologi Maranatha yang membantu peneliti dalam penyelesaian tugas
penelitian ini.
Peneliti menyadari bahwa masih terdapat banyak kekurangan dalam penelitian ini. Oleh
karena itu, peneliti sangat mengharapkan saran dan kritiknya untuk memperbaiki
kekurangannya. Akhir kata, peneliti berharap penelitian ini dapat bermanfaat bagi para
pembaca dan pihak-pihak lain yang memerlukannya.
Bandung, Maret 2016
DAFTAR PUSTAKA
Benard, Bonnie.(2004). Resiliency ; What We Have Learned. San Fransisco : WestEd.
Guiö, W. (2002). Metodologi Penelitian. Jakarta : PT. Grasindo.
Kosasih, E. (2012). Cara Bijak Memahami Anak Berkebutuhan Khusus. Cetakan 1. Bandung : Yrama Widya.
Nazir, Mohammad. (1988). Metode Penelitian. Cetakan ketiga. Jakarta : Ghalia Indonesia.
DAFTAR RUJUKAN
FP-UKM. 2015. Panduan Penulisan Skripsi Sarjana. Edisi Revisi : Juli 2015. Bandung.
POTADS. 2004. Persatuan Orang tua Anak dengan Down Syndrome. (Online). (http://www.Potads.org.id/contact, diakses Februari 2016).
Prihatini, Dini. 2015. Memahami Down Syndrome. (Online). Edisi 982. (http://www.perspektifbaru.com/wawancara/982, diakses Februari 2016).