• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK THINK-PAIR-SQUARE.

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "MENINGKATKAN KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN KOMUNIKASI MATEMATIS SISWA SMP MELALUI PEMBELAJARAN KOOPERATIF DENGAN TEKNIK THINK-PAIR-SQUARE."

Copied!
108
0
0

Teks penuh

(1)

halaman 1.5 Definisi Operasional ... 1.6 Hipotesis Penelitian ... BAB II KAJIAN PUSTAKA ...

2.1 Pembelajaran Kooperatif... 2.2 Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik TPS ... 2.3 Kemampuan Pemahaman Matematis ... 2.4 Kemampuan Komunikasi Matematis ………... 2.5 Pembelajaran Konvensional ………... 2.6 Teori Belajar yang Mendukung ... 2.7 Penelitian yang Relevan ...

(2)

3.1 Metode Penelitian ... 3.2 Desain Penelitian ... 3.3 Populasi dan Sampel ... 3.4 Variabel Penelitian ………. 3.5 Instrumen Penelitian ...

3.5.1 Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis ... 3.5.1.1 Analisis Validitas ... 3.5.1.2 Analisis Reliabilitas ... 3.5.1.3 Analisis Daya Pembeda ... 3.5.1.4 Analisis Indeks Kesukaran ... 3.5.2 Lembar Observasi ... 3.5.3 Angket untuk Siswa ... 3.5.4 Angket untuk Guru ... 3.6 Pengembangan Bahan Ajar ... 3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian ... 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian ... 3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian ... 3.8 Teknik Pengumpulan Data ... 3.9 Teknik Pengolahan Data ...

(3)

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.2 Hasil Postes Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.3 Hasil Gain Kemampuan Pemahaman dan

Komunikasi Matematis Kelas Eksperimen dan Kontrol ... 4.1.4 Hasil Angket untuk Siswa ... 4.1.5 Hasil Observasi ……... 4.1.6 Hasil Angket untuk Guru ………... 4.2 Temuan dan Pembahasan ...

4.2.1 Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi

(4)

DAFTAR TABEL

halaman Tabel 3.1 Kriteria Skor Kemampuan Pemahaman Matematis ...

Tabel 3.2 Kriteria Skor Kemampuan Komuniklasi Matematis ……… Tabel 3.3 Klasifikasi Koefisien Validitas ... Tabel 3.4 Hasil Perhitungan dan Interpretasi Validitas Tes ... Tabel 3.5. Klasifikasi Derajat Reliabilitas ... Tabel 3.6 Hasil Perhitungan dan Derajat Reliabiltas Tes ... Tabel 3.7 Klasifikasi Daya Pembeda ...

(5)

Tabel 3.9 Klasifikasi Indeks Kesukaran ... Tabel 3.10 Hasil Perhitungan dan Interpretasi Indeks Kesukaran ... Tabel 3.11 Klasifikasi Gain Ternormalkan (G) ...

Tabel 4.1. Statistik Deskriptif Skor Data Pretes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan

Kontrol ... Tabel 4.2 Uji Normalitas Skor Pretes ... Tabel 4.3 Uji Homogenitas Varians Skor Pretes ………... Tabel 4.4 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Pretes .. Tabel 4.5 Uji Kesamaan Rata-rata Skor Pretes ... Tabel 4.6 Statistik Deskriptif Skor Data Postes Kemampuan

Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan

Kontrol ………... Tabel 4.7 Uji Normalitas Skor Postes ………... Tabel 4.8 Uji Homogenitas Varians Skor Postes ... Tabel 4.9 Rekapitulasi Uji Normalitas dan Homogenitas Skor Postes .. Tabel 4.10 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Postes ………... Tabel 4.11 Statistik Deskriptif Data Gain Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan Kontrol ... Tabel 4.12 Uji Normalitas Skor Gain Ternormalkan ……… Tabel 4.13 Uji Homogenitas Varans Skor Gain Ternormalkan …... Tabel 4.14 Uji Perbedaan Rata-rata Skor Gain Ternormalkan ...

Tabel 4.15 Sikap Siswa terhadap Pembelajaran Matematika di Sekolah

(6)

dengan Teknik TPS ...

Tabel 4.17 Sikap Siswa terhadap Soal-soal Pemahaman dan

Komunikasi Matematis ...

83

DAFTAR GAMBAR

(7)

DAFTAR LAMPIRAN

halaman

LAMPIRAN A 1. RENCANA PEMBELAJARAN ... 2. BAHAN AJAR ... LAMPIRAN B 1. KISI-KISI TES KEMAMPUAN PEMAHAMAN

DAN KOMUNIKASI MATTEMATIS ... 2. TES KEMAMPUAN PEMAHAMAN DAN

KOMUNIKASI MATEMATIS ... 3. LEMBAR OBSERVASI KEGIATAN SISWA ….. 4. KISI-KISI ANGKET UNTUK SISWA ... 5. LEMBAR ANGKET UNTUK SISWA ... 6. LEMBAR ANGKET UNTUK GURU ... LAMPIRAN C 1. HASIL UJI COBA TES KEMAMPUAN

PEMAHAMAN MATEMATIS ...

100 115

144

146 149 150 151 153

(8)

KOMUNIKASI MATEMATIS ... LAMPIRAN D 1. SKOR HASIL PRETES ... 2 SKOR HASIL POSTES ... 3 SKOR HASIL GAIN ... LAMPIRAN E 1. ANALSIS DATA PRETES ...

2. ANALSIS DATA POSTES ... 3. ANALSIS DATA GAIN ... LAMPIRAN F 1. PERHITUNGAN SKOR SKALA SIKAP SISWA ...

2. VALIDITAS SKALA SIKAP SISWA ... 3. SKOR SIKAP NETRAL DAN SIKAP SISWA …….

(9)
(10)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Ilmu pengetahuan dan teknologi sangat berperan dalam upaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia suatu bangsa. Dengan adanya peningkatan sumber daya manusia, diharapkan bangsa kita mampu bersaing dengan bangsa-bangsa lain di dunia.

Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan sumber daya manusia adalah peningkatan mutu pendidikan, baik prestasi belajar siswa maupun kemampuan guru dalam melaksanakan proses belajar-mengajar. Peningkatan mutu pendidikan diarahkan untuk meningkatkan kualitas manusia seutuhnya melalui olahhati, olahpikir, olahrasa, dan olahraga agar memiliki daya saing dalam menghadapi tantangan global.

Matematika merupakan salah satu disiplin ilmu yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir dan berargumentasi, memberikan kontribusi dalam penyelesaian masalah sehari-hari dan dunia kerja, serta memberikan dukungan dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Kebutuhan akan aplikasi matematika saat ini dan masa depan tidak hanya untuk keperluan sehari-hari, tetapi terutama dalam dunia kerja, dan untuk mendukung perkembangan ilmu pengetahuan (Hudoyo, 1998).

(11)

kognitif, afektif, maupun psikomotor. Pembelajaran matematika diberikan juga di sekolah menengah agar siswa mampu menghadapi perubahan keadaan dalam kehidupan yang selalu berkembang melalui latihan bertindak atas dasar pemikiran secara logis, rasional, kritis, cermat, jujur, dan efektif.

Sejalan dengan fungsi dan perlunya pembelajaran matematika, selanjutnya secara rinci para ahli di bidang pendidikan matematika merumuskan lima kemampuan matematis yang harus dikuasai siswa dari tingkat dasar sampai menengah. Kelima kemampuan matematis tersebut adalah pemahaman, penalaran, komunikasi, pemecahan masalah, dan memiliki sikap menghargai kegunaan matematika dalam kehidupan (Depdiknas, 2006).

Ruseffendi (1991) menyatakan bahwa selama ini dalam proses pembelajaran matematika di kelas, pada umumnya siswa mempelajari matematika hanya diberi tahu oleh gurunya dan bukan melalui kegiatan eksplorasi. Kegiatan belajar seperti ini membuat siswa cenderung belajar menghafal dan tanpa memahami atau mengerti apa yang diajarkan oleh gurunya. Berdasarkan hal tersebut, Kramarski dan Slettenhaar (Ansari, 2004) menyatakan bahwa dalam model pembelajaran seperti di atas, umumnya aktivitas siswa mendengar dan menonton guru melakukan kegiatan matematik, kemudian guru menyelesaikan soal sendiri dan memberi soal latihan untuk diselesaikan oleh siswanya.

(12)

konsep, karena siswa kurang aktif. Dampaknya kurang mengundang sikap kritis dalam diri siswa, sehingga jika siswa diberi soal yang berbeda dengan soal yang telah diselesaikan oleh gurunya, maka siswa akan merasa sukar untuk menyelesaikan, karena mereka tidak memahami konsep Sumarmo (1999).

Sumarmo (1987) menemukan bahwa keadaan skor kemampuan siswa dalam pemahaman masih rendah dan siswa masih banyak mengalami kesukaran dalam pemahaman relasional. Wahyudin (1999) juga menemukan bahwa rata-rata tingkat penguasaan matematika siswa cenderung rendah. Hasil temuan-temuan di atas dapat dijadikan gambaran umum mengenai hasil belajar matematika di tingkat pendidikan menengah.

Kemampuan komunikasi matematis merupakan salah satu kemampuan yang harus dikuasai siswa dalam proses pembelajaran. Kemampuan komunikasi matematis adalah penting karena matematika pada dasarnya adalah bahasa yang sarat dengan notasi dan istilah sehingga konsep yang terbentuk dapat dipahami oleh siswa jika mempunyai kemampuan komunikasi. Matematika bukan hanya sekedar alat bantu berfikir, menemukan pola, menyelesaikan masalah, atau menggambarkan kesimpulan, tetapi juga sebagai suatu bahasa untuk mengkomunikasikan berbagai macam ide secara jelas, tepat, dan ringkas. Namun di sisi lain, dalam pelaksanaan pembelajaran matematika sehari-hari, guru jarang memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengkomunikasikan ide-idenya.

(13)

dalam belajar. Hal ini di dukung juga oleh Wahyudin (1999) bahwa sebagian besar siswa tampak mengikuti dengan baik setiap penjelasan atau informasi dari guru, siswa sangat jarang mengajukan pertanyaan pada guru sehingga guru asyik sendiri menjelaskan apa yang telah disiapkannya, dan siswa hanya menerima saja yang disampaikan oleh guru. Pada kondisi seperti ini, siswa hampir tidak mempunyai kesempatan untuk menemukan dan membangun pengetahuannya sendiri dan mengakibatkan siswa kurang memiliki kemampuan nalar yang logis, analitis, kritis, dan kreatif.

Hal ini mengakibatkan siswa akan mengalami kesulitan dalam memberikan penjelasan yang benar dan logis atas jawabannya. Hal ini sesuai dengan pendapat Cai, Lane, dan Jakabcsin (Ansari, 2004) yang mengemukakan bahwa karena siswa jarang diminta untuk berargumentasi dalam pelajaran matematika, akibatnya sangat asing bagi mereka untuk berbicara tentang matematika.

(14)

Berdasarkan pendapat yang telah dikemukakan, komunikasi matematis merupakan kemampuan yang harus dimiliki siswa. Namun, menurut hasil penelitian yang dilakukan Firdaus (2005), ditemukan bahwa kemampuan komunikasi matematis siswa masih tergolong kurang. Terdapat lebih dari separuh siswa memperoleh skor kemampuan kurang dari 60% dari skor ideal, sehingga kualitas kemampuan komunikasi matematis belum dalam kategori baik. Temuan ini serupa dengan temuan pada penelitian terdahulu yang telah dilakukan Ansari (2004).

Kurangnya kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis memperlihatkan bahwa proses pembelajaran yang dilaksanakan saat ini belum menunjukkan hasil yang memuaskan semua pihak. Agar kemampuan komunikasi matematis siswa dapat berkembang, kemampuan pemahaman matematis siswa juga perlu ditingkatkan. Sebagaimana yang diungkapkan oleh Cai, Lane, dan Jakabsin (Ansari,2004) bahwa untuk mengembangkan kemampuan komunikasi matematis siswa diperlukan kemampuan pemahaman matematis. Dari penjelasan di atas, kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis merupakan hal yang penting dan perlu ditingkatkan dalam pembelajaran matematika. Karenanya, guru dalam memilih model pembelajaran perlu mempertimbangkan tugas matematika dan suasana belajar yang dapat memotivasi dan mendorong siswa untuk mencapai kemampuan tersebut.

(15)

interaksi di antara dalam kelompoknya. Melalui kegiatan diskusi, percakapan dalam mengungkapkan ide-ide matematika dapat membantu siswa mengembangkan pikirannya, sehingga siswa yang terlibat dalam perbedaan pendapat atau mencari solusi dari suatu permasalahan akan memahami konsep matematika dengan lebih baik dan dapat meningkatkan kemampuan komunikasi matematisnya. Hal ini sejalan dengan pendapat Kramarski (Rohaeti, 2003) yang menyatakan bahwa interaksi siswa dalam kelompok dapat mempertinggi pemahaman siswa terhadap tugas dan memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan komunikasi matematis. Selain dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, pembelajaran kooperatif juga memiliki kelebihan yang sangat bermanfaat bagi siswa. Kelebihan tersebut diantaranya siswa dapat belajar memanfaatkan kelebihan dan mengisi kekurangan siswa lain, belajar menghargai pendapat yang berbeda, dan mengembangkan keterampilan untuk bekerja sama dan kolaborasi dalam suatu kelompok.

(16)

kooperatif dengan teknik Think-Pair-Square melibatkan kelompok belajar yang terdiri dari empat orang.

Berdasarkan uraian di atas, penulis telah melakukan penelitian yang berjudul “Meningkatkan Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis Siswa SMP melalui Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS)”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

2. Apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

3. Apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional?

(17)

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan permasalahan yang telah dirumuskan, maka penelitian ini bertujuan untuk:

1. Mengetahui apakah kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

2. Mengetahui apakah kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

3. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional

4. Mengetahui apakah peningkatan kemampuan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada yang mendapat pembelajaran konvensional.

1.4 Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan yang berarti bagi peneliti, guru, dan siswa. Manfaat dan masukan itu antara lain:

1. Untuk Peneliti

(18)

2. Untuk Guru

Memberi alternatif model pembelajaran matematika untuk dapat dikembangkan menjadi lebih baik sehingga dapat dijadikan salah satu upaya untuk meningkatkan prestasi belajar siswa.

3. Untuk Siswa

Memberi pengalaman baru bagi siswa dan mendorong siswa untuk terlibat aktif dalam pembelajaran matematika di kelas, sehingga selain dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, juga membuat pembelajaran matematika menjadi lebih bermakna dan bermanfaat.

1.5 Definisi Operasional

1. Kemampuan pemahaman matematis adalah kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

2. Kemampuan komunikasi matematis adalah kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dengan kata-kata sendiri, dan kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika. 3. Pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang memberikan kesempatan

(19)

4. Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS adalah rangkaian pembelajaran yang terdiri dari:

a. Think

Siswa diberi waktu dan kesempatan untuk berpikir dan bekerja secara individual, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak dipahami atau berhubungan dengan tugas.

b. Pair

Siswa berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan pada waktu tahap think.

c. Square

Pasangan siswa bergabung dengan pasangan lain dalam kelompoknya untuk mendiskusikan tugas-tugas yang belum dapat diselesaikan dan menetapkan jawaban akhir kelompok. Kemudian diadakan diskusi kelas. 5. Pembelajaran konvensional adalah pembelajaran yang biasa dilakukan oleh

(20)

1.6 Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang akan diuji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Kemampuan pemahaman matematis siswa yang memperoleh pembelajaran

kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional..

2. Kemampuan komunikasi matematis siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

3. Peningkatan kemampuan pemahaman matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional.

(21)

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

2.1 Pembelajaran Kooperatif

Stahl (1994) berpendapat bahwa pembelajaran kooperatif adalah pembelajaran yang dapat meningkatkan belajar siswa lebih baik, dan meningkatkan sikap tolong menolong dalam perilaku sosial. Suryadi (1999) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah salah satu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan berpikir siswa.

Suherman (2003) mengungkapkan bahwa pembelajaran kooperatif mencakupi suatu kelompok kecil siswa yang bekerja sebagai tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas, atau mengerjakan sesuatu untuk tujuan bersama. Pembelajaran kooperatif menekankan pada kehadiran teman sebaya yang berinteraksi antar sesamanya yang saling ketergantungan sebagai sebuah tim dalam menyelesaikan atau membahas suatu masalah atau tugas.

Slavin (1985) menyebutkan bahwa pembelajaran kooperatif adalah suatu model pembelajaran yang memberi kesempatan kepada siswa untuk belajar dan bekerja dalam kelompok kecil secara kolaboratif yang anggotanya empat sampai enam orang, dengan struktur kelompok heterogen.

(22)

siswa dapat menyumbangkan ide kepada kelompoknya dan menimbulkan rasa saling membutuhkan antar anggota yang satu dengan yang lain. Selain itu, guru juga harus memiliki pemahaman yang baik tentang pembelajaran kooperatif dan memberikan pengarahan kepada siswa ketika akan melaksanakan model pembelajaran ini.

Model pembelajaran kooperatif dapat membantu siswa untuk meningkatkan sikap positif pada matematika. Melalui kerja sama dalam kelompok, para siswa membangun rasa percaya diri pada diri mereka untuk dapat menyelesaikan suatu permasalahan. Seperti yang diungkapkan oleh Malone dan Krismanto (1997) bahwa siswa mempunyai perkembangan sifat yang positif dan persepsi yang baik tentang belajar matematika dalam pengelompokan, dan merekomendasikan penggunaan kegiatan kelompok dalam belajar matematika untuk mendorong motivasi siswa dalam pembelajaran.

(23)

Malone dan Krismanto (1997) mengungkapkan bahwa pembentukan kelompok yang disukai siswa adalah berdasarkan keheterogenan kemampuan siswa. Artinya, dalam setiap kelompok terdiri dari siswa yang berkemampuan tinggi, sedang dan kurang. Dengan kelompok yang heterogen, diharapkan siswa yang pandai dapat membimbing atau membantu siswa yang lain yang belum mengerti dan siswa yang kurang pandai tidak merasa enggan untuk bertanya.

Menurut Ibrahim (2000), model pembelajaran kooperatif dikembangkan untuk mencapai setidak-tidaknya tiga tujuan penting dalam pembelajaran, yaitu: 1. Meningkatkan hasil belajar akademik

(24)

2. Penerimaan terhadap perbedaan individual

Pembelajaran kooperatif memberi peluang kepada siswa yang berbeda latar belakang dan kondisi untuk belajar saling bergantung atas tugas-tugas bersama dan saling menghargai. Pembentukan kelompok yang heterogen, akan memberikan kesempatan kepada siswa untuk saling menerima, saling mengajar, saling mendukung, dan meningkatkan relasi dan interaksi antar agama, budaya dan gender.

3. Pengembangan keterampilan sosial

Tujuan penting dari pembelajaran kooperatif adalah untuk mengajarkan kepada siswa keterampilan bekerja sama dan kolaborasi. Hal ini penting untuk dimiliki siswa ketika berada dalam masyarakat dengan budaya yang semakin beragam, atau dunia kerja yang sebagian besar dilakukan dalam organisasi yang saling bergantung satu sama lain.

Banyak keuntungan yang dapat dipetik dalam pembelajaran kooperatif, akan tetapi tidak semua belajar dalam kelompok dapat dianggap sebagai pembelajaran kooperatif. Siswa yang duduk berkelompok tetapi mengerjakan tugas-tugas secara individual atau menugaskan seseorang dalam anggota kelompok untuk menyelesaikan seluruh tugas, tidak dapat dikatakan sebagai belajar kooperatif.

Johnson dan Johnson (Lie, 2004) mengemukakan lima unsur pembelajarn kooperatif agar dapat mencapai hasil yang maksimal, yaitu:

(25)

Setiap anggota kelompok harus memiliki perasaan bahwa keberhasilan individu merupakan keberhasilan bagi kelompoknya dan begitu pula sebaliknya. Hal ini menuntut guru untuk dapat menciptakan suasana belajar yang dapat mendorong siswa untuk sling membutuhkan dan bergantung satu sama lain di dalam kelompoknya.

2. Tanggung jawab perseorangan

Setiap anggota kelompok diberi tanggung jawab secara individual untuk mengerjakan bagian tugasnya sendiri, mengetahui apa yang harus dipelajari, dan mengetahui apa yang ditargetkan kelompoknya. Hal bertujuan agar setiap individu merasa dituntut untuk memberikan andil bagi keberhasilan kelompok dan merasa bertanggung jawab untuk melakukan yang terbaik.

3. Tatap muka

Setiap anggota kelompok bertemu muka dan berdiskusi. Dengan interaksi tatap muka, siswa dapat melakukan dialog, dan menghargai perbedaan pendapat dengan memanfaatkan kelibihan dan mengisi kekurangan anggotanya.

4. Komunikasi antar anggota

(26)

5. Evaluasi proses kelompok

Guru perlu menjadwalkan waktu khusus bagi kelompok untuk mengevaluasi proses kerja kelompok dan hasil kerja sama mereka agar selanjutnya dapat bekerja sama dengan lebih efektif.

2.2 Pembelajaran Kooperatif dengan Teknik Think-Pair-Square (TPS)

Ibrahim (2000) mengemukakan beberapa tipe pembelajaran kooperatif, yaitu Student-Teams-Achievement-Division (STAD), Teams-Games-Tournament (TGT), Jigsaw, Investigasi Kelompok, pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural.

STAD merupakan model pembelajaran kooperatif yang paling sederhana. Kelompok terdiri dari 4-5 siswa dengan kemampuan heterogen. Dalam pelaksanaannya, setiap siswa dalam kelompok mempelajari materi pelajaran, dan dilanjutkan dengan saling membantu dan berdiskusi di antara anggota kelompok.

TGT merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada siswa dengan kemampuan akademik yang sama, untuk bersaing secara sehat dalam sebuah turnamen akademik. Sebelum mengikuti turnamen akademik, siswa diberi kesempatan untuk belajar dalam kelompoknya.

(27)

kelompok asal untuk menjelaskan dan mendiskusikan kepada teman-teman dalam kelompoknya.

Investigasi Kelompok merupakan model pembelajaran kooperatif yang memberikan kesempatan kepada kelompok untuk terlibat dalam menentukan pokok bahasan yang akan dipelajari dan dianalisis. Selanjutnya, kelompok mempresentasikan hasil analisisnya ke seluruh kelas.

Pembelajaran kooperatif dengan pendekatan struktural lebih menekankan pada penggunaan struktur tertentu yang dirancang untuk mempengaruhi pola interaksi siswa. Salah satu struktur yang terkenal adalah teknik think-pair-share. Tahap pertama yang harus dilakukan yaitu think. Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk berpikir dan merespon pertanyaan atau masalah yang diberikan. Tahap kedua yaitu pair, siswa diminta untuk mendiskusikan jawaban dengan pasangannya. Kemudian tahap terakhir yaitu share, siswa berbagi jawaban dengan seluruh kelas.

(28)

Pada tahap ini siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami, memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang tidak dipahami atau informasi yang berhubungan dengan tugas. Kegiatan membuat/menulis catatan setelah membaca merangsang aktivitas berpikir sebelum, selama dan setelah membaca. Kegiatan ini bertujuan agar setiap siswa dapat memberikan respon terhadap ide-ide yang terdapat pada LKS, untuk kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa sendiri.

Kemampuan membaca, dan membaca secara komprehensif (reading comprehension) secara umum dianggap berpikir, meliputi membaca baris demi baris atau membaca yang penting saja. Seringkali suatu teks bacaan diikuti oleh panduan, bertujuan untuk mempermudah diskusi dan mengembangkan pemahaman siswa.

Selanjutnya tahap pair atau tahap berpasangan. Pada tahap ini, siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban atau hal-hal yang telah ditulis pada tahap think. Dengan berpasangan, partisipasi aktif siswa dalam kelompok dapat lebih dioptimalisasikan.

(29)

mereka ketahui tentang soal yang diberikan untuk memperoleh kesepakatan dari penyelesaian soal tersebut.

Dengan adanya tahap pair dan square, terjadi lebih banyak interaksi untuk berdiskusi sehingga dapat lebih meningkatkan dan mengoptimalisasikan partisipasi aktif siswa dalam kelompok. Selain itu, siswa juga akan memiliki lebih banyak kesempatan untuk berkontribusi dalam kelompoknya, dan interaksi antara siswa juga menjadi lebih mudah (Lie, 2004). Jadi, diharapkan tidak ada lagi siswa yang tidak aktif dalam kelompoknya.

Aspek penting yang terjadi selama proses pair dan square adalah berkomunikasi dengan menggunakan kata-kata dan bahasa yang mereka pahami. Pada fase ini memungkinkan siswa untuk terampil berbicara. Berkomunikasi dalam suatu diskusi dapat membantu kolaborasi dan meningkatkan aktivitas siswa. Hal ini mungkin terjadi karena ketika siswa diberi kesempatan untuk berkomunikasi dalam matematika, sekaligus mereka berpikir bagaimana cara mengungkapkannya dalam tulisan. Oleh karena itu keterampilan berkomunikasi dapat membantu kemampuan siswa mengungkapkan ide-ide yang dimiliki melalui tulisan. Pada saat berkomunikasi atau berdialog dengan siswa lain dalam kelompoknya, mereka mengkonstruksi berbagai ide untuk dikemukakan melalui dialog.

(30)

Dengan tahap-tahap yang dilalui dalam pembelajaran ini diharapkan bahwa pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Setelah tahap think, pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Siswa atau kelompok lain diberi kesempatan untuk menanggapi dan mengemukakan pendapatnya masing-masing. Dengan kegiatan ini, siswa dibiasakan untuk dapat mengkomunikasikan ide-idenya secara bertanggung jawab, dan bagi kelompok atau siswa yang tidak dapat menyelesaikan tugasnya, tidak akan tertinggal. Dengan demikian, melalui kegiatan ini siswa juga dapat meningkatkan pemahamannya tentang suatu konsep dan melihat bagaimana cara mengkomunikasikan matematika dengan benar.

Kelebihan-kelebihan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini, di antaranya adalah (Lie, 2004):

1. Merupakan teknik yang sederhana dalam pembelajaran koopertif dan mudah dilaksanakan dalam kelas, sehingga model pembelajaran ini dapat dilakukan secara mendadak dan mudah digunakan dalam kelas dengan jumlah siswa yang banyak.

2. Dengan anggota kelompok berempat, guru akan lebih mudah memonitor dan mudah dipecah menjadi berpasangan, dan lebih banyak tugas yang dapat dilakukan.

(31)

4. Optimalisasi partisipasi siswa dan member kesempatan kepada siswa untuk dikenali dan menunjukkan partisipasi mereka kepada orang lain.

5. Siswa diberi kesempatan untuk berdiskusi dan berpasangan dengan siswa yang lebih pandai atau lemah, daripada cara klasikal yang hanya satu orang atau beberapa orang saja yang berbicara.

6. Kegiatan guru dalam proses belajar-mengajar semakin berkurang. Guru berperan sebagai fasilitator yang mengarahkan dan memotivasi siswa untuk belajar mandiri serta menumbuhkan rasa tanggung jawab.

Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS ini juga memiliki kekurangan, yaitu membutuhkan pengaturan waktu dan sosialisasi yang baik, serta dapat menyulitkan proses pengambilan suara (Lie, 2004). Untuk mengatasi kekurangan tersebut, maka hal-hal yang harus diperhatikan adalah:

1. Guru harus pandai mengatur waktu yang tersedia seefisien mungkin sesuai dengan tingkat kesulitan materi.

2. Meminta siswa untuk terlebih dahulu mempelajari materi di rumah.

(32)

2.3 Kemampuan Pemahaman Matematis

Terdapat beberapa terjemahan dari kata pemahaman, Sumarmo (1987) menyatakan bahwa pemahaman merupakan arti dari kata understanding. Ruseffendi (1991) menyebutkan bahwa pemahaman terjemahan dari comprehension, sedangkan Ansari (2004) mengatakan pemahaman sebagai terjemahan dari istilah knowledge. Beragamnya terjemahan kata pemahaman di atas, menunjukkan bahwa pemahaman telah menjadi salah satu fokus para peneliti dalam mengkaji lebih lanjut dalam penelitian pendidikan matematika.

Konsep-konsep dalam matematika tersusun secara sistematis, logis dan hierarkis dari yang paling sederhana ke yang paling kompleks. Dengan kata lain, pemahaman dan penguasaan suatu materi/konsep merupakan prasyarat untuk dapat menguasai materi/konsep selanjutnya. Oleh karena itu, dapat dimengerti bahwa kemampuan pemahaman matematis merupakan hal yang penting dalam pembelajaran matematika.

(33)

Gilbert (Rahman, 2004) menyatakan bahwa pemahaman adalah kemampuan menjelaskan suatu situasi dengan kata-kata yang berbeda dan dapat menginterpretasikan atau menarik kesimpulan dari tabel, data, grafik, dan sebagainya. Menurut Skemp (Sumarmo, 2005), pemahaman digolongkan menjadi dua jenis, yaitu pemahaman instrumental dan pemahaman relasional. Pemahaman instrumental adalah pemahaman atas konsep/prinsip tanpa kaitan dengan yang lainnya dan dapat menerapkan rumus dalam perhitungan sederhana. Pada pemahaman relasional, termuat suatu skema atau struktur yang dapat digunakan pada penyelesaian masalah yang lebih luas dan dapat mengaitkan suatu konsep/prinsip dengan konsep/prinsip lainnya.

Kilpatrick & Findell (Ester, 2007) mengemukakan indikator pemahaman konsep antara lain kemampuan siswa dalam:

1. Menyatakan ulang konsep yang telah dipelajari

2. Menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika 3. Menerapkan konsep secara algoritma

4. Memberikan contoh dan bukan contoh dari konsep 5. Mengaitkan berbagai konsep

6. Mengklarifikasikan objek-objek berdasarkan dipenuhi atau tidaknya persyaratan yang membentuk konsep tersebut

(34)

keterampilan memecahkan masalah merupakan kompetensi yang harus dicapai siswa. Upaya untuk meningkatkan minat siswa terhadap pelajaran matematika adalah dengan mengaplikasikan konsep/materi dalam matematika untuk menyelesaikan soal-soal yang berhubungan dengan kehidupan sehari-hari, sehingga siswa mengetahui kegunaan matematika dan menjadi lebih menarik. Sebagaimana diungkapkan Ruseffendi (1991) bahwa agar berminat terhadap matematika paling tidak siswa harus melihat kegunaannya.

Dalam penelitian ini, kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

2.4 Kemampuan Komunikasi Matematis

Secara umum, komunikasi dapat diartikan sebagai proses menyampaikan pesan dari seseorang kepada orang lain baik secara langsung (lisan) maupun tidak langsung (melalui media). Abdulhak (Ansari, 2004) memaknai komunikasi sebagai proses penyampaian pesan dari pengirim pesan kepada penerima pesan melalui saluran tertentu dan untuk tujuan tertentu.

Sumarmo (2005) mengemukakan kemampuan yang tergolong pada komunikasi matematis, yaitu :

1. Menyampaikan suatu situasi, gambar, diagram, atau benda nyata ke dalam bahasa, simbol, idea, atau model matematis.

(35)

3. Mendengarkan, berdiskusi, dan menulis tentang matematika.

4. Membaca dengan pemahaman suatu representasi matematika tertulis.

5. Membuat konjektur, menyusun argumen, merumuskan definisi, dan generalisasi.

6. Mengungkapkan kembali suatu uraian atau paragraf matematika ke dalam bahasa sendiri.

Menurut Schulman (Ansari, 2004), komunikasi matematis merupakan: 1) kekuatan sentral bagi siswa dalam merumuskan konsep dan strategi mattematika; 2) modal keberhasilan bagi siswa terhadap stratregi dan penyelesaian dalam eksplorasi dan investigasi matematis; dan 3) wadah bagi siswa dalam berkomunikasi dengan temannya untuk memperoleh informasi, membagi pikiran dan penemuan, curah pendapat, menilai dan mempertajam ide untuk meyakinkan orang lain

(36)

Kenyataan bahwa masih banyak guru yang menggunakan model pembelajaran konvensional, menyebabkan siswa kurang memiliki kesempatan untuk mengungkapkan ide-ide matematika, memberi penjelasan atas jawabannya, atau menanggapi pendapat orang lain. Hal tersebut menyebabkan siswa tidak dapat mengembangkan kemampuan komunikasi matematisnya. Oleh karena itu, dalam pembelajaran matematika hendaknya guru selalu mendorong kemampuan siswa dalam komunikasi. Sebagaimana diungkapkan Pugalee (2001) bahwa dalam pembelajaran siswa perlu dibiasakan untuk memberikan argumen atas setiap jawabannya dan memberikan tanggapan atas jawaban orang lain. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengembangkan keterampilan komunikasi dalam matematika menjadi sebuah sifat dasar dari pengembangan program matematika yang baik, dan sebagai hasilnya siswa akan senang mengekspresikan hasil pemikirannya.

Dalam penelitian ini, kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud adalah kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel, atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dari suatu gambar atau grafik yang diberikan dengan kata-kata sendiri, kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

2.5 Pembelajaran Konvensional

(37)

cenderung pasif dalam pasif dalam menerima pelajaran. Guru menyajikan materi pelajaran dalam bentuk jadi. Artinya, guru lebih banyak berbicara dan menerangkan materi pelajaran, memberi contoh-contoh soal, dan menjawab semua permasalahan yang dihadapi siswa. Sedangkan siswa hanya menerima materi pelajaran dan menghafalnya, serta banyak mengerjakan latihan soal. Jadi, kebermaknaan belajar siswa rendah.

Nasution (1982: 209) mengemukakan kelemahan dan keunggulan dari pembelajaran konvensional adalah

1. Kurikulum disajikan secara linear.

2. Kurikulum dijadikan bahan acuan yang harus diikuti.

3. Aktivitas pembelajaran terikat pada buku pegangan (buku teks).

4. Siswa dianggap sesuatu yang kosong (kertas putih), dan guru menggoreskan pengetahuan diatasnya.

5. Guru bertindak sebagai sumber informasi.

6. Penilaian dilakukan dengan pemberian tes hasil belajar yang terpisah dari proses belajar mengajar.

7. Siswa banyak bekerja secara individual.

(38)

2.6 Teori Belajar yang Mendukung

Teori belajar yang mendasari pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS adalah teori belajar yang berpandangan konstruktivisme. Pandangan ini menekankan peran aktif siswa dalam membangun pengetahuannya.

Teori belajar konstruktivisme dari Piaget mengatakan bahwa pengetahuan seseorang terbentuk berdasarkan keaktifan orang itu sendiri dalam berhadapan dengan persoalan, bahan, atau lingkungan baru. Hal tersebut berarti orang itu sendirilah yang aktif membentuk pengetahuannya. Konstruktivisme menurut Piaget ini disebut konstruktivisme personal karena lebih menekankan keaktifan seseorang secara individu dalam mengkonstruksi pengetahuannya.

Menurut Piaget (Suparno, 2001) pengetahuan tidak diberikan dalam bentuk jadi, tetapi siswa membentuk pengetahuan sendiri melalui proses asimilasi dan akomodasi. Proses asimilasi terjadi apabila struktur pengetahuan baru dibentuk berdasarkan pengetahuan yang sudah ada. Proses akomodasi merupakan proses menerima pengalaman baru yang tidak sesuai dengan pengetahuan lama sehingga terjadi ketidakseimbangan (disequilibrium). Untuk mencapai keseimbangan (equilibrium), struktur pengetahuan lama dimodifikasi dan disesuaikan dengan pengetahuan baru tersebut.

(39)

Dari beberapa pendapat tentang konstruktivisme, dapat dikatakan bahwa teori konstruktivisme menegaskan bahwa pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari guru kepada siswa, tetapi siswa aktif dalam membangun pengetahuannya. Namun, ada perbedaan pandangan antara Piaget dan Vygotsky. Menurut Piaget pengetahuan baru dibentuk melalui konstruktivisme seseorang yang sedang berpikir secara individu, sedangkan menurut Vygotsky pengetahuan baru dibentuk melalui konstruksi pribadi yang berinteraksi dengan lingkungannya.

Berdasarkan uraian mengenai teori belajar dari Piaget dan Vygotsky, maka ciri-ciri pembelajaran yang berbasis pada konstruktivisme sangat sesuai dengan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS yang diterapkan dalam penelitian ini. Dalam pembelajaran ini, diawali dengan siswa secara individu mengkonstruksi pengetahuannya melalui kegiatan think, dilanjutkan dengan kegiatan berdiskusi dengan teman pasangannya dalam kelompok melalui kegiatan pair, dan dengan pasangan lain dalam kelompoknya melalui kegiatan square, kemudian mempresentasikan hasil pembentukan konsep atau pengetahuan ke seluruh kelas.

2.7 Penelitian yang Relevan

(40)

pemahaman dan komunikasi yang semakin meningkat daripada siswa yang belajar secara konvensional. Akan tetapi, penerapan strategi TTW dalam penelitian ini belum efektif karena rata-rata kemampuan pemahaman dan komunikasi untuk siswa–siswa yang belajar dengan strategi tersebut belum mencapai nilai cukup. Ada sejumlah penyebabnya, yaitu kurangnya pengetahuan prasyarat, proses pembelajaran yang dilakukan selama ini cenderung berpusat pada guru, kurangnya kemampuan membaca dan berdiskusi, serta jumlah siswa dalam satu kelas yang cenderung banyak.

Rohaeti (2003) menggunakan metode Introducing the new concepts, Metacognitive questioning, Practising, Reviewing and Reducing difficulties, Obtaining mastery, Verification, and Enrichment (IMPROVE) untuk mengetahui peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP. Hasil penelitiannya adalah kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang pembelajarannya dengan menggunakan metode IMPROVE lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya menggunakan cara biasa. Rata-rata pemahaman matematis siswa yang menggunakan metode IMPROVE berada dalam kualifikasi sedang, dan yang menggunakan cara biasa dalam kualifikasi kurang. Demikan juga untuk kemampuan komunikasi matematis, siswa yang pembelajarannya menggunakan metode IMPROVE kemampuan komunikasi matematisnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa.

(41)

teknik TPS lebih baik daripada siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa (konvensional). Rata-rata pemahaman matematis siswa yang menggunakan pembelajaran kooperatif berada dalam kualifikasi sedang, dan yang menggunakan cara biasa dalam kualifikasi kurang. Demikan juga untuk kemampuan komunikasi matematis, siswa yang pembelajarannya menggunakan pembelajaran kooperatif kemampuan komunikasi matematisnya lebih baik dibandingkan dengan siswa yang pembelajarannya dengan cara biasa.

(42)

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Metode Penelitian

Dalam latar belakang masalah telah diuraikan bahwa pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS diduga dapat meningkatkan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Dengan kata lain, terdapat hubungan sebab akibat antara pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dengan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

Karena penelitian ini untuk melihat hubungan sebab akibat antara pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS dengan peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa SMP, maka metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode eksperimen.

3.2 Desain Penelitian

(43)

diperlukan kelas lain atau kelompok siswa yang menggunakan metode lama atau yang biasa dilakukan sebelumnya sebagai pembanding. Kelas pembanding ini disebut sebagai kelas kontrol. Hasil dari kelas kontrol ini akan menjadi pembanding dari kelas eksperimen untuk mengetahui apakah hasil kelas eksperimen lebih tinggi dari kelas kontrol.

Dalam penelitian ini terdapat dua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol. Kelas yang mendapat perlakuan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS disebut kelas eksperimen, dan kelas pembanding yang menggunakan pembelajaran yang biasa dilakukan sehari-hari atau pembelajaran konvensional disebut kelas kontrol.

Untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, pada kedua kelas tersebut dilakukan pretes dan postes. Pretes diberikan sebelum proses pembelajaran dalam penelitian ini dimulai, sedangkan postes setelah seluruh proses pembelajaran selesai.

Penelitian ini adalah penelitian kuasi-eksperimen. Desain penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah desain yang melibatkan dua kelompok dengan pretes dan postes. Pengambilan kelompok tidak dilakukan secara acak. Desain ini disebut desain kelompok kontrol non-ekivalen (Ruseffendi, 2003), yang gambarnya adalah sebagai berikut:

(44)

dengan: O = pretes dan postes

X = kelas yang mendapat perlakuan pembelajaran dengan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

3.3 Populasi dan Sampel

Penelitian ini adalah studi eksperimen yang dilaksanakan di SMP Negeri 14 Bandar Lampung. Populasi dalam penelitian ini meliputi seluruh siswa kelas VIII SMPN 14 semester 1 tahun pelajaran 2009/2010. Sampel penelitiannya adalah dua kelas VIII dari delapan kelas paralel yang ada. Pemilihan sampel dilakukan dengan teknik purposive sampling. Dari dua kelas tersebut, satu kelas merupakan kelas eksperimen dan satu kelas lainnya merupakan kelas kontrol. Jumlah siswa pada kelompok eksperimen 32 orang dan pada kelompok kontrol 32 orang siswa, sehingga jumlah siswa pada kedua kelas sampel adalah 64 orang. Adapun alasan pemilihan sampel sebagai berikut.

1. SMP Negeri 14 Bandar Lampung termasuk kategori sedang dalam perolehan nilai UN tahun pelajaran 2008/2009, sehingga memungkinkan adanya siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah. Sehingga kondisi ini cocok untuk menerapkan pembelajaran kooperatif.

(45)

Langkah-langkah pembelajaran yang dilakukan di kelas eksperimen adalah sebagai berikut:

1. Guru menginformasikan tujuan pembelajaran yang ingin dicapai, materi yang akan dipelajari, dan tugas-tugas yang akan dikerjakan siswa. Untuk memotivasi siswa, guru mengaitkan materi yang dipelajari dengan kehidupan sehari-hari.

2. Membentuk kelompok heterogen yang terdiri dari empat siswa berdasarkan nilai matematika semester sebelumya. Kelompok terdiri dari siswa berkemampuan tinggi, sedang, dan rendah.

3. Kepada setiap siswa, guru membagikan teks bacaan yang berupa Lembar Kegiatan Siswa (LKS) yang berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan. 4. Siswa melakukan tahap think, yaitu sebelum bekerjasama dan berdiskusi

dengan kelompoknya, setiap siswa diberi kesempatan untuk membaca, memahami, memikirkan kemungkinan jawaban, dan membuat catatan tentang hal-hal yang berhubungan dengan tugas.

5. Setelah tahap think selesai, maka dilanjutkan dengan tahap pair. Pada tahap ini siswa diminta untuk berpasangan dengan salah seorang teman dalam kelompoknya untuk mendiskusikan kemungkinan jawaban, atau hal-hal yang telah ditulis dalam catatan pada tahap think.

(46)

7. Setelah tahap think, pair, dan square selesai, diadakan diskusi kelas. Kelompok-kelompok dengan jawaban yang benar tetapi memiliki cara penyelesaian yang berbeda, atau jawaban yang salah, diberi kesempatan mempresentasikan hasil kerja kelompoknya di depan kelas. Siswa atau kelompok lain menanggapi atau mengemukakan pendapatnya.

8. Kegiatan akhir pembelajaran adalah membuat refleksi dan kesimpulan atas materi yang dipelajari (feedback). Guru perlu memberikan feedback terhadap apa yang telah dilakukan oleh kelompok dan hasil kerja kelompok. Selain itu juga memperbaiki kesalahan-kesalahan atau kekurangan-kekurangan selama pembelajaran berlangsung.

9. Selama kegiatan pembelajaran ini, guru berkeliling kelas untuk mengamati aktivitas siswa dan mengontrol jalannya diskusi. Jika ada kelompok yang mengalami kesulitan, guru melakukan intervensi dengan memberikan bantuan seperlunya.

(47)

3.4 Variabel Penelitian

Variabel dalam penelitian ini terdiri dari variabel bebas dan variabel terikat. Adapun variabel bebas ialah perlakuan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS pada kelas eksperimen. Variabel terikat ialah hasil belajar siswa yaitu kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis.

3.5 Instrumen Penelitian

1. Tes kemampuan pemahaman matematis 2. Tes kemampuan komunikasi matematis

3. Format observasi terhadap aktivitas siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

4. Angket untuk siswa yang memperoleh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

5. Angket untuk guru.

3.5.1 Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

(48)

Sebelum soal tes disusun, kisi-kisi soal dibuat terlebih dahulu, dilanjutkan dengan menentukan kriteria penskoran yang akan digunakan untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa.

Tes kemampuan pemahaman matematis siswa disusun sedemikian rupa sehingga siswa menjawab sesuai dengan indikator kemampuan pemahaman matematis yang dimaksud yaitu menyajikan konsep dalam berbagai macam bentuk representasi matematika, memberikan contoh dan bukan contoh dari suatu konsep, dan menerapkan konsep secara algoritma.

Tes kemampuan komunikasi matematis disusun sedemikian rupa sehingga siswa menjawab sesuai dengan indikator kemampuan komunikasi matematis yang dimaksud yaitu kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi dengan gambar, tabel atau grafik, kemampuan siswa dalam menjelaskan ide atau situasi dengan kata-kata sendiri, dan kemampuan siswa dalam menyatakan suatu situasi ke dalam bentuk model matematika.

(49)

Tabel 3.1

Kriteria Skor Kemampuan Pemahaman Matematis

Skor Kriteria

4 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika secara lengkap

b. Penggunaan algoritma secara lengkap dan benar, dan melakukan perhitungan dengan benar

3 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika hampir lengkap

b. Penggunaan algoritma secara lengkap, namun mengandung sedikit kesalahan dalam perhitungan

2 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal mattematika kurang lengkap

b. Penggunaan algoritma, namun mengandung perhitungan yang salah

1 Menunjukkan kemampuan pemahaman:

a. Penggunaan konsep dan prinsip terhadap soal matematika sangat terbatas

b. Jawaban sebagian besar mengandung perhitungan yang salah 0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada tidak menunjukkan pemahaman

(50)

Tabel 3.2

Kriteria Skor Kemampuan Komunikasi Matematis

Skor Menulis 0 Tidak ada jawaban, kalaupun ada menunjukkan tidak memahami konsep

sehingga informasi yang diberikan tidak berarti apa-apa 1 Hanya sedikit dari

Skor maksimal: 4 Skor maksimal: 3 Skor maksimal: 3

(51)

3.5.1.1 Analisis Validitas

Validitas merupakan tingkat keabsahan atau ketepatan suatu tes. Suatu instrumen dikatakan valid (absah atau sahih) bila instrumen itu mampu mengevaluasi apa yang seharusnya dievaluasi (Suherman dan Kusumah, 1990).

Validitas suatu instrumen hendaknya dilihat dari berbagai aspek. Dalam penelitian ini, analisis penelitian yang dilakukan meliputi validitas isi dan validitas butir soal.

Validitas isi berkenaan dengan ketepatan materi yang dievaluasikan. Dengan kata lain, materi yang dipakai sebagai alat evaluasi merupakan sampel representatif dari pengetahuan yang harus dikuasai siswa (Suherman dan Kusumah, 1990). Validitas isi yang dinilai adalah kesesuaian antara butir soal dengan kisi-kisi soal, penggunaan bahasa atau gambar dalam soal, dan kebenaran materi atau konsep, kemudian hasilnya dikonsultasikan dengan dosen pembimbing.

Validitas butir soal digunakan untuk mengetahui dukungan suatu butir soal terhadap skor total. Dengan demikian, dari hasil perhitungan validitas ini dapat diselidiki lebih lanjut butir-butir soal yang mendukung dan yang tidak mendukung. Dukungan setiap butir soal dinyatakan dalam bentuk korelasi, sehingga untuk mendapatkan validitas butir soal bisa digunakan rumus Product Moment Pearson, yaitu:

rxy = ∑ . – ∑ ∑

∑ ∑ ∑ ∑

,

(52)

rxy = koefisien validitas, xi = skor butir soal, yi = skor total,

n = jumlah siswa.

Hasil perhitungan koefisien korelasi diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi koefisien validitas yang dapat dilihat pada Tabel 3.3.

Tabel 3.3

Klasifikasi Koefisien Validitas

Besarnya rxy Klasifikasi

0,80 < rxy≤ 1,00 Validitas sangat tinggi (sangat baik) 0,60 < rxy≤ 0,80 Validitas tinggi (baik)

0,40 < rxy ≤ 0,60 Validitas sedang (cukup) 0,20 < rxy ≤ 0,40 Validitas rendah (kurang) 0,00 < rxy≤ 0,20 Validitas sangat rendah rxy ≤ 0,00 Tidak valid

Sumber: (Suherman dan Kusumah, 1990).

Kemudian untuk mengetahui apakah antara dua variabel, dalam hal ini adalah skor butir soal dan skor total, terdapat hubungan (dependen) atau tidak terdapat hubungan (independen), dilakukan tes siginifikan korelasi dengan uji-t. Hipotesis nol yang diuji adalah kedua variabel independen, sedangkan hipotesis alternatifnya adalah kedua variabel dependen. Uji-t yang digunakan yaitu:

thitung =

r

xy , Sudjana (2005),

dengan:

(53)

Untuk taraf signifikan = 0,05, H0 diterima jika –ttabel < thitung < ttabel, selain itu H0 ditolak.

Hasil perhitungan dan interpretasi validitas butir soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Validitas Tes

Jenis Tes No

3.5.1.2 Analisis Reliabilitas

Reliabilitas soal merupakan ukuran yang menyatakan tingkat keajegan atau kekonsistenan dari soal tes. Menurut (Suherman dan Kusumah, 1990), suatu alat evaluasi dikatakan reliabel jika hasil evaluasi tersebut relatif tetap jika digunakan untuk subjek yang sama pada waktu yang berbeda.

(54)

r11 =

1 −

∑ , (Suherman dan Kusumah, 1990),

dengan:

r11 = derajat reliabilitas, n = jumlah butir soal,

2 = variansi skor butir soal,

"

2 = variansi skor total.

Perhitungan derajat reliabilitas soal dilakukan dengan menggunakan program Anates.

Hasil perhitungan derajat reliabilitas kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi derajat reliabilitas yang dapat dilihat pada Tabel 3.5.

Tabel 3.5

Klasifikasi Derajat Reliabilitas

Besarnya r11 Klasifikasi

r11 ≤ 0,20 Derajat reliabilitas sangat rendah 0,20 < r11≤ 0,40 Derajat reliabilitas rendah

0,40 < r11≤ 0,70 Derajat reliabilitas sedang 0,70 < r11≤ 0,90 Derajat reliabilitas tinggi 0,90 < r11≤ 1,00 Derajat reliabilitas sangat tinggi

Sumber: Suherman dan Kusumah (1990)

(55)

Tabel 3.6

Hasil Perhitungan dan Derajat Reliabiltas Tes

Jenis Tes Derajat

Reliabilitas Kategori

Pemahaman Matematis 0,71 Tinggi

Komunikasi Matematis 0,78 Tinggi

3.5.1.3 Analisis Daya Pembeda

Daya pembeda suatu butir soal adalah kemampuan suatu soal untuk membedakan antara siswa yang pandai (menguasai materi yang ditanyakan) dengan siswa yang kurang pandai (belum/ tidak menguasai materi yang ditanyakan). Daya pembeda suatu butir soal menyatakan seberapa jauh kemampuan butir soal tersebut mampu membedakan antara siswa yang dapat menjawab soal dan siswa yang tidak dapat menjawab soal (Suherman dan Kusumah, 1990). Daya pembeda dihitung dengan membedakan subjek menjadi dua kelompok setelah diurutkan menurut peringkat perolehan skor hasil tes. Kelompok itu adalah 50% kelompok atas dan 50% kelompok bawah. Rumus yang digunakan untuk daya pembeda tiap butir soal sebagai berikut:

DP = #$% #$&

# % atau DP =

#$% #$& # &

(Suherman dan Kusumah, 1990), dengan:

DP = Daya pembeda

(56)

JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar, JSA = Jumlah siswa kelompok atas,

JSB = Jumlah siswa kelompok bawah.

Hasil perhitungan daya pembeda diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi daya pembeda yang dapat dilihat pada Tabel 3.7.

Tabel 3.7

Hasil perhitungan dan interpretasi daya pembeda soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis dapat dilihat pada Tabel 3.8.

Tabel 3.8.

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Daya Pembeda

(57)

3.5.1.4 Analisis Indeks Kesukaran

Analisis indeks kesukaran tiap butir soal dihitung berdasarkan jawaban seluruh siswa yang mengikuti tes. Skor hasil tes yang diperoleh siswa diklasifikasikan atas benar dan salah seperti pada analisis daya pembeda. Rumus yang digunakan untuk menghitung indeks kesukaran adalah sebagai berikut:

IK =#$% ( #$&

# % ( # & , (Suherman dan Kusumah, 1990)

dengan:

IK = Indeks Kesukaran,

JBA = Jumlah siswa kelompok atas yang menjawab soal dengan benar, JBB = Jumlah siswa kelompok bawah yang menjawab soal dengan benar, JSA = Jumlah siswa kelompok atas,

JSB = Jumlah siswa kelompok bawah.

Hasil perhitungan indeks kesukaran diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi indeks kesukaran yang dapat dilihat pada Tabel 3.9.

Tabel 3.9

Klasifikasi Indeks Kesukaran

Besarnya IK Klasifikasi

(58)

Hasil perhitungan indeks kesukaran soal tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang telah diujicobakan dapat dilihat pada Tabel 3.10.

Tabel 3.10

Hasil Perhitungan dan Interpretasi Indeks Kesukaran

Jenis Tes No

Lembar observasi diberikan kepada pengamat untuk memperoleh gambaran secara langsung aktivitas belajar siswa dan bertujuan untuk membuat refleksi terhadap proses pembelajaran dan keterlaksanaan model pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS.

3.5.3 Angket untuk Siswa

(59)

melalui jawaban yang sudah disediakan, atau melengkapi kalimat dengan jalan mengisi (Ruseffendi, 2003).

Angket dalam penelitian ini digunakan untuk mengungkap respon yang berkenaan dengan pembelajaran matematika, pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, dan pengaruh pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS terhadap kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Angket ini dibuat dengan berpedoman pada bentuk skala Likert dengan empat pilihan jawaban. Tes skala sikap ini diberikan kepada siswa kolompok eksperimen setelah semua kegiatan pembelajaran berakhir yaitu setelah postes.

Agar pernyataan dalam angket ini memenuhi persyaratan yang baik, maka terlebih dahulu meminta pertimbangan dosen pembimbing untuk memvalidasi isi setiap itemnya. Pada angket disediakan empat skala pilihan yaitu: Sangat Setuju (SS), Setuju (S), Tidak Setuju (TS) dan Sangat Tidak Setuju (STS). Pilihan netral (N) tidak digunakan, untuk menghindari jawaban aman, sekaligus mendorong siswa untuk menunjukkan keberpihakannya terhadap pernyataan yang diajukan.

(60)

3.5.4 Angket untuk Guru

Angket diberikan kepada guru untuk dimintai tanggapannya tentang pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS yang digunakan selama penelitian. Guru diminta tanggapannya tentang model pembelajaran pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, saran dan kritikan yang dilakukan dalam penelitian. Pemberian angket diberikan setelah seluruh proses penelitian dilakukan. Angket diberikan kepada guru matematika di sekolah tempat penelitian yang bertindak sebagai pengamat.

3.6 Pengembangan Bahan Ajar

Bahan ajar yang digunakan dalam penelitian ini berisi tugas-tugas yang harus diselesaikan oleh siswa dan mengerjakannya dalam diskusi kelompok. Selain itu, tugas-tugas disusun sedemikian rupa sehingga bisa memenuhi indikator-indikator kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis yang ditentukan dalam penelitian ini.

Materi yang dipilih dalam penelitian ini adalah materi kelas VIII SMP yaitu pokok bahasan fungsi. Materi ini merujuk pada Kurikulum 2006.

3.7 Prosedur Pelaksanaan Penelitian 3.7.1 Tahap Persiapan Penelitian

(61)

instrumen yang disertai dengan proses bimbingan dengan dosen pembimbing, mengujicobakan instrumen penelitian, mengolah data hasil uji coba, dan membuat rencana pembelajaran untuk kelas eksperimen dan kelas kontrol.

3.7.2 Tahap Pelaksanaan Penelitian

Pada tahap ini, kegiatan diawali dengan menentukan sekolah yang akan dijadikan tempat penelitian. Kemudian menentukan dua kelas VIII yang memiliki kemampuan homogen. Dilanjutkan dengan penentuan kelas eksperimen dan kelas kontrol.

Kegiatan selanjutnya adalah mengadakan pretes pada kelas eksperimen dan kelas kontrol untuk mengetahui kemampuan awal siswa mengenai kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Setelah pretes dilakukan, dilanjutkan dengan melaksanakan pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS pada kelas eksperimen dan pembelajaran konvensional pada kelas kontrol. Pada kelas eksperimen, selama pembelajaran berlangsung dilakukan observasi. Bertindak sebagai observer adalah guru matematika di sekolah.

(62)

v

Gambar 3.1 Alur Kegiatan Penelitian Pembuatan Proposal Penelitian

Seminar Proposal

Perbaikan Proposal

Tes Awal

Tes Akhir Observasi

Pengolahan dan Analisis Data

Kesimpulan

Penyusunan, Uji Coba dan Analisis Instumen

Kelas Eksperimen: Pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS

Kelas Kontrol: Pembelajaran konvensional

(63)

3.8 Teknik Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan melalui tes, format observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru.

Tes terdiri dari soal untuk mengukur kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis. Tes ini diberikan kepada siswa kelas eksperimen dan kontrol, sebelum dan sesudah pembelajaran berlangsung.

Format observasi diisi oleh guru matematika yang bertindak sebagai observer untuk mengetahui aktivitas siswa kelas eksperimen selama proses pembelajaran.

Angket untuk siswa diberikan kepada kelas eksperimen setelah keseluruhan proses pembelajaran selesai. Angket ini bertujuan untuk mengetahui sikap siswa terhadap terhadap pembelajaran matematika di sekolah, sikap siswa terhadap pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS, dan sikap siswa terhadap soal-soal pemahaman dan komunikasi matematis.

(64)

3.9 Teknik Pengolahan Data

Ada dua jenis data yang diolah dalam penelitian ini, yaitu data kuntitatif dan kualitatif. Data kuantitatif adalah data hasil tes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, sedangkan data kualitatif adalah data hasil observasi, angket untuk siswa, dan angket untuk guru.

3.9.1 Data Hasil Tes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Data yang diperoleh dari hasil pretes dan postes dianalisis untuk mengetahui besarnya peningkatan kemampuan berpikir kritis dan kreatif siswa kelas eksperimen dan kelas kontrol. Besarnya peningkatan dihitung dengan rumus gain ternormalkan (normalized gain), yaitu:

G = )*+,,+, +.* – ) ,+, +.*

-/0 1/2/ )*++134- +.* - – ) -,-+, +.* - , (Meltzer, 2002).

Hasil perhitungan gain kemudian diinterpretasikan dengan menggunakan klasifikasi dari Hake (Guntur, 2004), yaitu:

Tabel 3.11

Klasifikasi Gain Ternormalkan(G)

Besarnya G Klasifikasi

(65)

Tujuan menghitung statistif deskriptif adalah untuk menganalisis data berdasarkan nilai terendah, tertinggi, rata-rata, dan deviasi standar.

b. Menguji Normalitas

Uji normalitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berasal dari populasi yang berdistribusi normal. Tes statistik menggunakan SPSS 13.0 for Windows dengan uji Kolmogorov-Smirnov. Kriteria pengambilan keputusan menurut Trihendradi (2009) adalah bila nilai signifikansi lebih kecil dari 12 maka distribusinya tidak normal, sedangkan jika nilai signifikansinya lebih besar dari 12 maka distribusinya adalah normal.

c. Menguji Homogenitas

Uji homogenitas bertujuan untuk mengetahui apakah data yang diperoleh berasal dari populasi yang memiliki variansi homogen (sama). Rumusan statistik hipotesisnya adalah sebagai berikut:

H0 = 6e2 = 6k2 H1 = 6e2≠6k2

6e2 = variansi populasi skor kelas eksperimen dan kontrol homogen.

6k2 = variansi populasi skor kelas eksperimen dan kontrol tidak homogen.

(66)

jika nilai signifikansinya lebih besar dari 12 maka distribusi kedua varians homogen.

(67)

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional; apakah peningkatan kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa yang mendapat pembelajaran kooperatif dengan teknik TPS lebih baik daripada siswa yang mendapat pembelajaran konvensional. Berikut akan disajikan uraian mengenai hasil penelitian dan pembahasan.

4.1 Hasil Pengolahan Data

Data yang diolah dan dianalisis dalam penelitian ini adalah data pretes dan postes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis siswa, hasil observasi selama proses pembelajaran di kelas eksperimen, angket untuk siswa, dan angket untuk guru.

4.1.2 Hasil Pretes Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Matematis

Siswa Kelas Eksperimen dan Kontrol

(68)

kontrol. Setelah dilakukan pengolahan data hasil pretes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis, diperoleh skor terendah ( min), skor tertinggi ( maks), rata-rata , dan deviasi standar (s) data pretes kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hasil pengolahan data dapat dilihat pada Tabel 4.1.

Tabel 4.1

Statistik Deskriptif Skor Data Pretes

Kemampuan Pemahaman dan Komunikasi Kelas Eksperimen dan Kontrol Jenis

Kemampuan

Skor Ideal

Kelas eksperimen Kelas Kontrol

min maks s min maks s

Pemahaman matematis

20 2 6 3,69 0,93 2 5 3,41 2,10

Komunikasi matematis

20 2 6 3,50 1,16 2 5 3,250 0,98

Berdasarkan Tabel 4.1 di atas kemampuan pemahaman matematis kelas eksperimen dan kontrol hampir sama. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai skor terendah, skor tertinggi, dan skor rata-rata kedua kelas yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan skor ideal (20), maka rata-rata skor kelas eksperimen adalah 18,45% dan kelas kontrol adalah 17,5%.

Demikian pula kemampuan komunikasi matematis kelas eksperimen tidak jauh berbeda dengan kelas kontrol. Hal tersebut dapat dilihat pada nilai skor terendah, skor tertinggi, dan skor rata-rata kedua kelas yang hampir sama. Jika dibandingkan dengan skor ideal (20), maka rata-rata skor kelas eksperimen adalah 17,5% dan kelas kontrol adalah 16,25%.

(69)

Analisis selanjutnya adalah untuk mengetahui benar tidaknya kemampuan awal pemahaman dan komunikasi matematis antara kelas eksperimen dan kontrol yang relatif sama, perlu dilakukan uji kesamaan rata-rata. Sebelum uji kesamaan rata-rata, terlebih dahulu dilakukan uji normalitas dan homogenitas varians.

Pengujian normalitas menggunakan SPSS 13.0 for Windows. Kriteria pengujian adalah bila nilai signifikansi kurang dari 1

2 maka distribusinya tidak

normal, sedangkan bila nilai signifikansi lebih besar dari 1

2 maka distribusinya

adalah normal.

H0 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi normal H1 : Sampel berasal dari populasi yang berdistribusi tidak normal

Pengolahan data dilakukan dengan menggunakan SPSS 13.0 for Windows. Setelah diolah, ternyata nilai signifikansi output SPSS uji data pretes kemampuan pemahaman dan komunikasi matematis kedua kelas lebih besar daripada 0,025. Jadi H0 diterima, artinya data yang diperoleh berasal dari populasi berdistribusi normal. Hasil uji normalitas disajikan pada Tabel 4.2. Hasil perhitungan selengkapnya dapat dilihat pada Lampiran E.

Tabel 4.2

Eksperimen 0,052 Terima H0 Normal

Kontrol 0,198 Terima H0 Normal

Komunikasi Matematis

Eksperimen 1,275 Terima H0 Normal

(70)

Pada Tabel 4.2 untuk kedua aspek nilai signifikansi output SPSS lebih besar dari 1

2 , dengan demikian hipotesis H0 diterima, artinya bahwa:

1) populasi skor pretes kemampuan pemahaman matematis kelompok eksperimen dan kontrol keduanya berdistribusi normal.

2) populasi skor pretes kemampuan komunikasi matematis kelompok eksperimen dan kontrol keduanya berdistribusi normal.

Setelah dilakukan uji normalitas, dilanjutkan uji homogenitas variansi yang bertujuan untuk menguji variansi populasi skor kelas eksperimen dan kontrol homogen atau tidak. Untuk uji homogenitas menggunakan SPSS 13.0 for Windows, dengan kriteria pengujian jika nilai signifikansi output SPSS lebih kecil

dari 1

2 maka distribusinya tidak homogen, sedangkan jika nilai signifikansinya

lebih besar dari 1

2 maka distribusi kedua varians homogen.

Untuk pengujian ini, pasangan hipotesis nol dan tandingannya adalah: H0 : 2 = 2 , variansi populasi skor kelas eksperimen dan kontrol homogen. H1 : 2 ≠ 2, variansi populasi skor kelas eksperimen dan kontrol tidak

homogen.

(71)

Tabel 4.3

Uji Homogenitas Varians Skor Pretes

Aspek

Kemampuan Kelompok

Varians

(S2) Sig Kesimpulan Keterangan

Pemahaman Matematis

Eksperimen 0,867

0,428 Terima H0 Homogen Kontrol 1,023

Komunikasi Matematis

Eksperimen 1,35

0,285 Terima H0 Homogen Kontrol 0,968

Pada Tabel 4.3 ternyata:

1) pada aspek pemahaman matematis, nilai signifikansi output SPSS lebih besar dari maka H0 diterima artinya varians populasi skor kemampuan pemecahan masalah matematis kedua kelompok homogen. 2) pada aspek komunikasi matematis, nilai signifikansi output SPSS lebih

besar dari maka H0 diterima artinya varians populasi skor kemampuan komunikasi matematis kedua kelompok homogen.

Gambar

gambar atau grafik yang diberikan dengan kata-kata sendiri, kemampuan siswa
Tabel 3.1
Gambar, diagram, atau tabel yang dibuat
Tabel 3.3 Klasifikasi Koefisien Validitas
+7

Referensi

Dokumen terkait

Hal itu menunjukkan bahwa keberadaan kawasan Ekowisata Mangrove Bandar Bakau Kota Dumai ini telah dengan sangat baik dan sangat tinggi dalam melindungi sumberdaya

Di Jawa Barat sendiri, Pekan Olahraga Daerah (PORDA) XII- 2014 yang dilaksanakan di Kabupaten Bekasi Merupakan Momentum yang sangat berharga menyongsong PON ke

Mencermati pendapat di atas bermakna bahwa mengomel dan memarahi adalah perwujudan dari perasaan seseorang yang merasa dirinya sebagai korban. Orang yang dimarahi juga

Jenderal Agraria telah diletakkan dasarnya dengan instruksi pengisian.. daftar A dan

Pembelajaran Pupuh Sekar Ageung Raehan Berbasis Pendekatan Saintifik Untuk Meningkatkan Kepekaan Laras Di SMA Negeri 8 Cirebon.. Universitas Pendidikan Indonesia |

Polychaeta pada kawasan mangrove muara sungai kali Lamong-pulau Galang memiliki komposisi spesies yang berbeda di setiap stasiun dan kedalaman substrat..

Pengaruh Konsentrasi Pelarut (n-Heksana) terhadap Rendemen Hasil Ekstraksi Minyak Biji Alpukat untuk Pembuatan Krim Pelembab Kulit (Suratmin Utomo).. PENGARUH KONSENTRASI

Hal ini berarti uang dari pidana denda yang dibayarkan oleh korporasi pelaku pembuangan limbah B3 harus disetor ke kas negara dan pencairanya untuk pemulihan lingkungan