• Tidak ada hasil yang ditemukan

MENGUAK MISTERI SK REKLAMASI JILID 2 1

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "MENGUAK MISTERI SK REKLAMASI JILID 2 1"

Copied!
9
0
0

Teks penuh

(1)

MENGUAK MISTERI SK REKLAMASI JILID 2

1

Oleh: I Wayan Gendo Suardana2

I. Sekapur Sirih

Polemik terkait upaya reklamasi perairan Teluk Benoa berawal dari serangkaian kebijakan yang dikeluarkan Gubernur Bali, mulai dari terbitnya SK Nomor 2138/02-CL/HK/2012 (tentang Rencana Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa) yang dikeluarkan secara diam-diam pada 2 6 Desember 2012, lantas mendapat penolakan dari masyarakat baik dari individu, LSM, Akademisi, dan Anggota DPRD, selanjutnya sampai menerbitkan Surat Keputusan Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (sering disebut sebagai SK Reklamasi Jilid 2) sekaligus mencabut SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 (sering disebut SK Reklamasi jilid 1).

Hal yang menarik dari keputusan Gubernur ini tentu saja tatkala kita “paksa” untuk menempatkan posisi kedua SK itu dalam aras argumentasi Gubernur yang sedari awal menghindari penyebutan SK Reklamasi baik pada SK Reklamasi jilid 1 maupun SK jilid 2. Sebagaimana diketahui secara umum, pada SK Gubernur Bali Nomor 2138/02-C/HK/2012 Izin dan Hak Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa (SK jilid 1), Gubernur Bali sangat menghindari penyebutan SK pelaksanaan reklamasi atau setidak-tidaknya menyebut SK Reklamasi. Beliau hanya menyebut bahwa SK 2138/02-C/HK/2012 tersebut sebagai SK kajian lanjutan. Baru pada dialog terbuka (3 Agustus 2013) Gubernur secara tegas menyebutkan bahwa SK tersebut sebagai SK Lokasi Reklamasi (lebih sering disebut sebagai SK izin prinsip). Walaupun pada akhirnya di rapat terbuka itu pula pihak Gubernur Bali dan SKPD terkait tidak mampu mempertanggungjawabkan argumentasinya, kecuali secara diam-diam mengakui bahwa SK tersebut sejatinya adalah SK pelaksanaan reklamasi.

Demikian pula terhadap SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa Provinsi Bali. SK ini tidak semata-mata digunakan untuk mencabut SK Reklamasi jilid 1, tetapi melahirkan kembali hak baru kepada PT. TWBI berupa Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa. Pihak Pemprov Bali kerap menyatakan bahwa SK tersebut adalah izin penelitian bagi PT. TWBI dan tidak ada sangkut-pautnya dengan reklamasi. Namun demikian penulis tetap berpendapat bahwa SK tersebut adalah SK yang terkait dengan

1 Makalah ini disampaikan pada Diskusi Publik “Pro Kontra Sk Reklamasi Jilid 2” diselelnggarakan oleh DLC

bekerjasama dengan Aji Denpasar di Hotel Inna Grand Bali Beach pada 18 September 2013

(2)

reklamasi. Penyebutan SK Reklamasi jilid 2 tentu saja bukan tanpa alasan karena penyebutan tersebut sejatinya berdasarkan argumentasi yang dapat dipertanggungjawabkan.

II. SK Reklamasi Jilid 2 ataukah SK Izin Penelitian?

Beberapa argumentasi yang menunjukkan bahwa S K Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK Reklamasi jilid 2 dan/atau setidak-tidaknya dimaksudkan sebagai bagian dari kegiatan reklamasi adalah sebagai berikut:

1. Bersumber dari surat permohonan PT. TWBI (sama dengan sumber penerbitan SK reklamasi jilid 1)

Bahwa penerbitan hak baru berupa izin studi kelayakan pada SK reklamasi jilid 2 bersumber pada permohonan dan proses-proses yang sama dengan SK Reklamasi jilid 1. SK tersebut sekaligus mencabut SK reklamasi jilid 1, dan sama sekali tidak ada permohonan dan proses apapun yang mendasari terbitnya SK reklamasi jilid 2 tersebut. Artinya, SK tersebut berasal dari surat permohonan PT. TWBI kepada Gubernur Bali dengan nomor 009/TWBI/L/XI/2012 tentang permohonan audiensi tertanggal 5 November 2012, yang pada paragraf 2 menyebutkan: “Bersama ini kami mengajukan Permohonan Izin Pemanfaatan dan Pengembangan Kawasan Perairan Teluk Benoa, Bali seluas kurang lebih ±838 Ha (delapan ratus tiga puluh delapan hektar). Dari total area tersebut akan dibentuk pulau baru, pendalaman alur, penataan sendimentasi dan penghijauan.”

Catatan: tidak ada satupun surat permohonan yang baru dari PT. TWBI bagi penerbitan SK reklamasi jilid 2 ini.

2. Bersumber dari Dokumen FS LPPM Unud dan Rekomendasi DPRD Bali a. Kajian Studi kelayakan (FS) Unud.

Penerbitan SK reklamasi jilid 2 juga bersumber pada dokumen hukum yang sama yakni dokumen studi kelayakan (FS) LPPM Unud yang telah dipresentasikan di Bappeda Bali pada 12 November 2012 (sesuai surat undangan rapat dari Bappeda Bali No. 005/3367/Bapedda tertanggal 8 November 2012) dan pada 14 Desember 2012 (sesuai surat undangan rapat dari Bappeda Bali No. 005/4149/Bapedda tertanggal 10 Desember 2012).

(3)

2012.

Rekomendasi DPRD yang semula dijadikan sebagai pedoman penerbitan SK Reklamasi jilid 1, kembali digunakan oleh Pemprov Bali sebagai alasan untuk menerbitkan SK reklamasi jilid 2 (walaupun tidak disebutkan secara tersurat). Namun pernyataan Pemprov Bali melalui Karo Hukum di media massa telah pula menunjukan bahwa rekomendasi ini menjadi salah satu aspek penting atas penerbitan SK reklamasi jilid 2. Selengkapnya sebagai berikut:

“Rekomendasi DPRD terdahulu belum dicabut dan kami tidak berani bertentangan dengan itu. Jadi kami berikan PT. TWBI melanjutkan kajian.” (sumber: Bali Tribune, Rabu 21 Agustus 2013, hal. 15 “Tak Mau Langgar SK Dewan, Investor Diberi Celah).

3. Frase “Studi Kelayakan” hanya dikenal dalam Perpres 122/2012 Tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

Jika dicermati secara seksama, frase yang mengatur mengenai studi kelayakan dalam lingkup UU 27 tahun 2007 hanyalah pada Perpres 122 Tahun 2012 sebagai turunan dari Pasal 34 yang mengatur mengenai kegiatan reklamasi.

Studi kelayakan adalah salah satu bagian dari perencanaan reklamasi sebagaimana yang dinyatakan dalam pasal 3 ayat (2) Perpres 122 tahun 2012 yang menyatakan:

“perencanaan reklamasi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan melalui kegiatan:

a. Penentuan lokasi;

b. Penyusunan rencana induk c. Studi kelayakan; dan d. Penyusunan rencana detail

Demikian pula pada frase Studi Kelayakan ini diatur pada Pasal 13 ayat (1), ayat (2), ayat (3), ayat (4). Selanjutnya pada Bab III mengenai perizinan Reklamasi dari Pasal 15 s/d 21 menyebutkan frase studi kelayakan tersebut.

(4)

bagian dari izin lokasi. Selengkapnya sebagai berikut:

“(5) setiap pemegang izin lokasi dalam jangka waktu paling lambat 2 (dua) tahun wajib menyusun:

a. Rencana induk

b. Studi kelayakan; dan c. Rencana detail reklamasi

4. Mengenai jangka waktu berlaku SK selama 2 tahun.

Sebagaimana yang telah disampaikan di atas, pada Pasal 17 ayat (5) telah mengatur bahwa terkait dengan penyusunan studi kelayakan diberikan waktu selama 2 tahun kepada pemegang izin lokasi. Hal ini sesuai dengan diktum keenam SK reklamasi jilid 2 yang memberikan waktu yang sama, yakni selama 2 (dua) tahun.

Berdasarkan keempat argumentasi tadi sangat sulit untuk tidak menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sebagai SK yang sejatinya adalah SK yang berhubungan erat dengan kegiatan reklamasi, sehingga SK tersebut pantas disebut sebagai SK Reklamasi jilid 2.

SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 Bukan Sebatas Izin Penelitian Lalu bagaimana dengan pernyataan Gubernur dan SKPD terkait yang bersikukuh bahwa S K Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 bukanlah SK terkait dengan reklamasi, namun sebatas izin melakukan penelitian? Hal ini berulang kali disampaikan oleh Pemprov Bali-termasuk oleh Gubernur Bali, yang menyatakan bahwa SK ini adalah izin penelitian (bahkan disebut sebagai survei) dan boleh dilakukan oleh siapapun; “oh, tidak mesti (bekerjasama dengan perguruan tinggi setempat, Red.). Yang lakukan survei siapapun boleh” (sumber: Bali Express edisi 4 September 2013, hal. 11 – sambungan dari berita hal. 1-). Lagi-lagi kita “dipaksa” untuk membedah; apakah benar SK ini adalah sebatas SK penelitian dan dapat dilakukan oleh siapa saja?

Sekilas, S K Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sangat sumir kaitannya dengan reklamasi. Selain karena muatan SK ini menjauhkan kata-kata yang bermakna reklamasi dan tidak pula mencantumkan Perpres No. 122 tahun 2012 tentang Reklamasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, SK ini juga memuat konsideran menimbang yang menggunakan muatan bab VII UU 27 tahun 2007 yang mengatur kegiatan “penelitian dan pengembangan” .

(5)

menyatakan:

“Bahwa studi kelayakan adalah prasyarat yang dibutuhkan dalam pemanfaatan, pengembangan dan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi, ramah lingkungan, dan menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal.” (garis bawah; penulis)

Selanjutnya bandingkan dengan Pasal 42 ayat (2) UU 27 Tahun 2007 yang menyatakan”

“Pemerintah mengatur, mendorong, dan/atau menyelenggarakan penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil agar lebih efektif, efisien, ekonomis, berdaya saing tinggi dan ramah lingkungan, serta menghargai kearifan tradisi atau budaya lokal.

(garis bawah; penulis)

Jika kedua frase tersebut disandingkan, maka terlihat jelas bahwa SK Gubernur tersebut mengadopsi secara setengah-setengah Pasal 42 ayat (2) UU 27 Tahun 2007. Sehingga secara sekilas SK tersebut nampak sesuai dengan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana diatur dan dimaksud dalam pasal tersebut.

Namun jika dicermati secara mendalam, frase di luar yang penulis garisbawahi sebaliknya menjadi penunjuk utama dari perbedaan makna, kandungan dan tujuan antara konsideran huruf (b) SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 dan Pasal 42 ayat (2) UU 27 tahun 2007 tersebut. Perbedaannya adalah; a) pada konsideran menimbang huruf (b) dimaksud menitikberatkan pada studi kelayakan; sedangkan b) pada pasal 42 ayat (2) adalah menitikberatkan pada penyelenggaraan penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi.

Tentu saja antara studi kelayakan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) adalah dua kegiatan yang berbeda makna dan tujuan. Studi kelayakan atau Feasibilty Study adalah kegiatan menilai/studi sejauh mana manfaat yang diperoleh dengan melaksanakan suatu usaha/proyek. Pengertian layak dalam penilaian studi kelayakan adalah menyangkut kemungkinan dari gagasan usaha/proyek yang akan dilaksanakan memberikan manfaat/benefit, baik dalam arti financial benefit atau social benefit/economic benefit.

Sedangkan kegiatan penelitian dan pengembangan sebagaimana dimaksud Pasal 42 ayat (2) adalah penyelenggaraan kegiatan untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi. Jika melihat ayat (1), semakin nampak apa makna dan tujuan dari kegiatan penelitian dan pengembangan tersebut:

(6)

Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (garis bawah; penulis), Pemerintah melakukan penelitian dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi serta pengembangan sumber daya manusia di bidang pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil secara berkelanjutan.”

Maka berdasarkan perbandingan tersebut, nampaklah jurang perbedaan antara studi kelayakan dengan kegiatan penelitian dan pengembangan. Studi kelayakan berkaitan dengan layak atau tidaknya sebuah proyek, sedangan kegiatan penelitian dan pengembangan adalah dalam upaya: 1) “Untuk meningkatkan kualitas perencanaan dan implementasi Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dan 2) Untuk menghasilkan pengetahuan dan teknologi yang dibutuhkan dalam pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau- Pulau Kecil.

Jika demikian maka argumentasi dari Gubernur Bali beserta SKPD nya yang menyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 hanyalah sebatas izin penelitian (apalagi survei) dan menyatakan bahwa SK dimaksud tidak terkait dengan reklamasi adalah kekeliruan besar.

Hal lain yang menguatkan argumentasi di atas adalah dengan mengupas aktor atau subyek hukum sebagai berikut:

 Pada kegiatan reklamasi, subyek hukum yang dibenarkan melakukan kegiatan relamasi adalah pemerintah, pemerintah daerah dan setiap orang (garis bawah; penulis) (vide pasal 3 Perpres 122 tahun 2012). Pengertian setiap orang adalah orang perseorangan dan/atau badan hukum (vide; pasal 1 angka 18 Perpres 122 tahun 2012); sedangkan

 Pada penyelenggaraan penelitian dan pengembangan sebagaimana yang dimaksud pada pasal 43 menyatakan:

“Penelitian dan pengembangan Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil dapat dilaksanakan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, perguruan tinggi, lembaga swadaya masyarakat, lembaga penelitian dan pengembangan swasta, dan/atau perseorangan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.”

Memperhatikan kedua hal tersebut di atas, maka terlihat jelas bahwa PT. TWBI bukanlah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil, mengingat PT. TWBI bukanlah lembaga penelitian dan pengembangan swasta. PT. TWBI adalah perusahaan yang bergerak di bidang pengembangan, pembangunan, dan jasa pengelolaan usaha yang berhubungan dengan property (vide: Bab I FS LPPM Unud hal. 1). Maka dalam konteks ini PT. TWBI adalah subyek hukum yang dapat melakukan kegiatan reklamasi (termasuk studi kelayakan) namun tidak dibenarkan untuk melakukan kegiatan penelitian dan

(7)

pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil. Oleh karenanya argumentasi Gubernur Bali yang menyatakan penelitian dapat dilakukan siapa saja telah gugur dengan sendirinya. Artinya SK tersebut adalah SK studi kelayakan reklamasi dan bukan sebatas izin penelitian dan pengembangan pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.

III.Perbuatan Melawan Hukum oleh Penguasa

Pembahasan mengenai kedudukan SK tersebut di atas bukanlah sebatas untuk menguak posisi SK Reklamasi jilid 2, namun mempunyai arti yang lebih dalam. Bilamana telah terkuak bahwa SK tersebut sejatinya adalah SK izin studi kelayakan yang tersangkut-paut dengan kegiatan reklamasi Teluk Benoa –bagian dari izin lokasi (vide Pasal 15 jo Pasal 16 UU 27 tahun 2007)-, tentu saja penerbitan SK tersebut mengandung konsekuensi hukum.

Hal ini terkait dengan status hukum kawasan perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (vide: pasal 53 ayat (2) jo. Pasal 55 yat (4) dan ayat (5) Perpres No. 45 tahun 2011 Tentang Tata Ruang Kawasan Perkotaan Sarbagita)

Pasal 55 ayat (5) huruf b menyebutkan selengkapnya sebagai berikut:

“kawasan konservasi di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana dimaksud pada ayat (4) terdiri atas:

b. kawasan konservasi perairan di perairan kawasan Sanur di Kecamatan Denpasar, Kota Denpasar, Perairan Kawasan Teluk Benoa (huruf tebal dan garis bawah; penulis) sebagian di Kecamatan Denpasar Selatan, Kota Denpasar dan sebagian di Kecamatan Kuta Selatan , Kabupaten Badung, dan perairan Kawasan Kuta di Kecamatan Kuta Kabupaten Badung.”

Sebagai kawasan konservasi maka Perairan Teluk Benoa seyogyanya adalah kawasan yang terlarang untuk kegiatan-kegiatan reklamasi. Hal tersebut diatur dalam Pasal 2 ayat (3) Perpres No. 122 tahun 2012 tentang Reklamasi di Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang menyatakan: “Reklamasi tidak dapat dilakukan pada kawasan konservasi (garis bawah; penulis) dan alur laut”

Jika Gubernur tunduk dan taat dengan peraturan tata ruang serta tunduk dengan pengaturan reklamasi maka 2 Peraturan Presiden tersebut di atas cukup untuk menjadi alas hukum bagi Gubernur Bali menghentikan segala upaya-upaya untuk mereklamasi Teluk Benoa.

Keterkaitan pembahasan di atas dengan kedudukan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 sangat erat. Sebagaimana yang telah dijelaskan di atas, bahwa SK tersebut mengatur tentang studi kelayakan adalah sebagai bagian dari perencanaan reklamasi

(8)

sebagaimana yang diatur dalam Perpres 122 tahun 2012.

Sebagaimana yang ditegaskan Pasal 2 ayat (1) Perpres 122 tahun 2012 terkait ruang lingkup perpres tersebut, selengkapnya dinyatakan: “Ruang lingkup Peraturan Presiden ini meliputi perencanaan dan pelaksanaan reklamasi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil”

Frase ini bermakna bahwa kegiatan reklamasi bukan semata-mata hanya pada tahapan pelaksanaan reklamasi namun mencakup pula perencanaan reklamasi. Jika dihubungkan dengan pasal 3 ayat (2) huruf c Perpres No. 122 tahun 2012 maka termaktub tegas bahwa studi kelayakan adalah kegiatan yang merupakan bagian dari reklamasi. Oleh karenanya, Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa sebagaimana yang dimaksud dalam SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 nyata-nyata adalah kegiatan reklamasi.

Selanjutnya jika dihubungkan kembali dengan status kawasan Perairan Teluk Benoa sebagai kawasan konservasi (vide pasal 55 Perpres No. 45 th 2011) dikaitkan dengan larangan melakukan kegiatan reklamasi pada kawasan konservasi (vide; Perpres No. 12 tahun 2012) maka dapat dinyatakan bahwa SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 adalah keputusan yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan terkait tata ruang i.c Perpres No. 45 tahun 2011), bertentangan dengan pengaturan mengenai reklamasi i.c Perpres No. 122 tahun 2012 sehingga hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

Bahkan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gubernur terkait dengan penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 yang bertentangan dengan pemanfaatan ruang dapat pula berakibat hukum pidana tata ruang sebagaimana yang diatur ketentuan pemidanaan tata ruang pada UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

IV.Kesimpulan dan Rekomendasi

Berdasarkan seluruh uraian di atas, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. B a h w a SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa sejatinya adalah kegiatan perencanaan reklamasi dan termasuk dalam ruang lingkup pengaturan Perpres 12 tahun 2012. SK tersebut tidak dapat dikategorikan sebagai izin penelitian pengembangan sebagaimana yang diatur dalam Bab VII UU 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil.

(9)

2. Oleh karena SK tersebut termasuk sebagai kegiatan reklamasi dan obyeknya adalah kawasan Konservasi Perairan Teluk Benoa yang terlarang direklamasi (vide Perpres No. 45 tahun 2011 dan Perpres No. 122 tahun 2012), maka SK Gubernur tersebut adalah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, baik dengan UU No. 26 tahun 2007 jo. Perpres 45 tahun 2012 dan UU No. 27 tahun 2007 jo. Perpres No. 122 tahun 2012. Oleh karenanya hal tersebut dapat dikategorikan sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa.

3. Bahwa perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Gubernur Bali dalam penerbitan SK Gubernur Bali Nomor 1727/01-B/HK/2013 tentang Izin Studi Kelayakan Rencana Pemanfaatan, Pengembangan dan Pengelolaan Wilayah Perairan Teluk Benoa mengandung konsekuensi pidana tata ruang sebagaimana yang diatur dan ditentukan oleh UU No. 26 tahun 2007 Tentang Penataan Ruang.

Referensi

Dokumen terkait

Penelitian ini juga tidak menemukan perbedaan yang bermakna kadar timbal dalam darah pekerja yang pada siang hari beristirahat di pinggir jalan raya dengan pekerja yang beristirahat

Hasil penelitian menunjukan bahwa proses pemesinan menggunakan parameter sesuai kondisi di lapangan membutuhkan waktu yang lebih singkat dan biaya pemesinan lebih rendah

1. Sumber daya pariwisata seperti alam, sejarah, budaya dan lainnya, pengembangan yang dilakukan masyarakat saat ini hendaknya dengan memperhatikan manfaat yang

Simpan di dalam bekas asal atau bekas lain yang diluluskan yang diperbuat daripada bahan yang sesuai, tutup ketat apabila tidak digunakan.. Bekas kosong mengandungi sisa produk

Jika Anda sudah mantap dengan alat serta bahan yang tersedia, marilah kita akan memulai membahas secara khusus tentang perangkat lunak atau software Audacity yang

Persentase turnover yang melebihi standar yaitu diatas 10% tergolong sangat tinggi, sehingga hal ini menjadi perhatian yang serius bagi pihak manajemen terutama

Hasil penelitian menunjukkan rerata kandungan serat chiffon cake paling tinggi diperoleh pada chiffon cake mocaf de- ngan nilai 4,34 mg/100gr. Hal ini dikare- nakan

Peningkatan konsentrasi malam lebah sebagai substitusi minyak jarak dalam formula pembuatan lipstik akan menghasilkan lipstik dengan kekerasan dan titik leleh yang