Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 12 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW
UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Anik Tri Haryani 1) dan Tiara OliviarizkyToersina 2).
1). 2) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun
email : triharyanianik@yahoo.com, toersinatiara@yahoo.com
Abstract
The question at issue in family law concerns the origins of the paternity of a child born out of wedlock focused on the legal relationship between the father, while the legal relationship with the mother almost never be a problem because the relationship has created its own without having to be preceded by acts anyway. Whereas under Article 43 Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 mentions that a child born out of wedlock has only civil relationship with her mother and her mother's family. Provisions of article is when moderation it will contain meaning that the law bestows the burden and risk for birth children from outside the mating relationship to the mother and her child.With the birth of the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010 about judicial review of Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and is expected right off his mating position under the law or in the community can be followed fairly and without discrimination. Rights as children who have been laid out in Act No. 39 of 1999.
Keywords : Foreign children married, Civil Rights Unmarried Son Out, Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010.
PENDAHULUAN Latar Belakang
Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihara manusia dari
kejahatan, dan menumbuhkan
kesungguhan mencari rejeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.1 BW (Burgerlijk Wetboek) tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai perkawinan secara jelas. Hanya saja, dalam Pasal 26 BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan batasan perkawinan sebagai berikut :
1 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme
dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, h. 28 – 29.
Undang-undang tidak memandang
soal perkawinan hanya dalam
hubungan -hubungan perdata.
Undang-Undang Perkawinan
merumuskan pengertian perkawinan
dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sementara itu, di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai berikut :
1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum
masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu.
2) Tiap-tiap perkawinan dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 13
Dengan demikian, dapat
disimpulkan bahwa bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya suatu
perkawinan adalah agama yang
dianut oleh kedua calon mempelai.2
Perkawinan tersebut juga harus
dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini merupakan tindakan
administratif sebagaimana yang
tertuang dalam Pasal 34 ayat (1)3 dan
ayat (2)4 serta Pasal 37 ayat (1)5 dan
ayat (4)6 Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2006 Tentang Administrasi
Kependudukan (selanjutnya disebut
sebagai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006).
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut seperti halnya BW (Burgerlijk Wetboek) juga menganut asas monogami. Hanya saja, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan
karena hukum dan agamanya
mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan
2R. Subekti, Ringkasan Tentang Hukum
Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, h. 3.
3
Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 menyatakan bahwa
perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan
peraturan perundang-undangan wajib
dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.
4
Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 menyatakan bahwa
berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.
5
Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor
23 Tahun 2006 menyatakan bahwa
perkawinan warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.
6
Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada instansi pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.
memenuhi berbagai persyaratan
tertentu dan diputuskan oleh
Pengadilan.7 Oleh karena itu,
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini dikatakan menganut asas monogami terbatas (asas monogami terbuka). Lebih lanjut mengenai syarat-syarat untuk berpoligami diatur dalam Pasal 3 ayat (2)8, Pasal 49, dan Pasal 510 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Asas hukum lain yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut adalah sebagai berikut :11
7
Penjelasan Umum Butir 4 Huruf c jo Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
8
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila
dikehendaki oleh pihak-pihak yang
bersangkutan. 9
Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.
10
Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undnag-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri, b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, (2) persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.
11
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, h. 50 – 51.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 14 1. Asas persetujuan kedua belah
pihak.
Perkawinan yang merupakan
ikatan lahir batin, harus
berdasarkan persetujuan kedua
belah pihak yang akan
melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun.
2. Asas proporsional.
Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup
bersama dalam masyarakat,
masing-masing pihak berhak
melakukan perbuatan hukum,
dengan pembagian tugas dimana
suami sebagai kepala rumah
tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.
3. Asas persatuan dan pemisahan. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta
bersama suami-istri yang
penggunaannya harus ada
persetujuan salah satu pihak,
sedangkan harta benda yang
dibawa oleh suami istri dikuasai
masing-masing kecuali kalau
ditentukan lain dalam perjanjian.
Dengan berlakunya
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka asas persatuan bulat sudah dihapus.
Dengan adanya suatu perkawinan maka akan memberikan beberapa akibat hukum perkawinan antara lain, akibat hukum terhadap hubungan suami istri, akibat hukum terhadap
hubungan hukum atas harta
kekayaan, serta akibat hukum
terhadap kedudukan anak.
Perbandingan pengaturan terhadap akibat hukum perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dilihat sebagai berikut :12
12 Anik Tri Haryani dan Tiara Oliviarizky
Toersina, Hak Mewaris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) Pasca Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor 46/Puu-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret 2013, h. 3.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 15 Akibat Hukum Perkawinan Menurut BW (Burgerlijk Wetboek) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Hubungan suami istri
Diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118 BW (Burgerlijk Wetboek)
Diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Harta Kekayaan Diatur dalam Pasal 119
sampai dengan Pasal 167 BW (Burgerlijk Wetboek)
Diatur dalam Pasal 29, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Kedudukan Anak Diatur dalam Pasal 250 sampai dengan Pasal
271a BW (Burgerlijk
Wetboek) untuk anak sah dan Pasal 272, Pasal 273, dan Pasal
283 sampai dengan
Pasal 289 BW (Burgerlijk
Wetboek).
Diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Dalam sebuah perkawinan yang
ideal, kehadiran seorang anak
memberikan peranan yang penting
dalam sebuah kehidupan rumah
tangga, karena tujuan awal pada saat melangsungkan perkawinan adalah untuk membangun mahligai rumah
tangga yang bahagia, untuk
mempersatukan dua keluarga besar, serta untuk meneruskan keturunan, namun kenyataan yang ada tidaklah selalu demikian. Beberapa orang tua telah tega membuang dan bahkan membunuh anaknya sendiri demi menutupi aib dirinya dan keluarganya, dikarenakan kelahiran si anak yang berasal dari hubungan di luar nikah yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya.
Banyak persoalan yang
melatarbelakangi terjadinya kehamilan di luar pernikahan, antara lain sebab-sebab yang berasal dari faktor lingkungan, pendidikan, kemapanan ekonomi, dan kemapanan sosial.
Beberapa faktor yang
melatarbelakangi kehamilan dan
kelahiran anak luar kawin antara lain :13
1. Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang diijinkan untuk melangsungkan perkawinan.
2. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan. 3. Karena perbedaan keyakinan dan
kepercayaan.
4. Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).
5. Karena tidak mendapat restu orang tua.
6. Karena si laki-laki terikat
perkawinan dengan wanita lain dan
tidak mendapat ijin untuk
melakukan poligami.
7. Karena adanya pergaulan bebas. 8. Karena terjadinya prostitusi.
Kelahiran seorang anak merupakan
sebuah peristiwa hukum yang
menimbulkan banyak akibat hukum, antara lain dari peristiwa kelahiran dapat menimbulkan hubungan waris,
hubungan keluarga, hubungan
perwalian dan hubungan-hubungan
13
D. Y. Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012, h. 9.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 16
lainnya yang berkaitan dengan
lahirnya subyek hukum baru ke dunia
dengan segala status dan
kedudukannya di mata hukum.14
Dalam hukum waris, kelahiran anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki peringkat tertinggi dalam pewarisan. Menurut hukum keluarga, kelahiran seorang
anak akan menjadi awal dari
timbulnya hak dan kewajiban
alimentasi orang tua kepada anaknya. Sedangkan dalam hal perwalian, akan timbul hak dan kewajiban pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya.
Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih
berada dalam kandungan.15 Jika si
anak ternyata lahir dalam keadaan
meninggal, maka hak-hak itu
dianggap tidak pernah ada16, hal
tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi di dalam kandungan sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum
berdasarkan perkawinan orang
tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin.
14 Ibid, h. 3.
15 Pasal 2 ayat (1) BW (Burgerlijk
Wetboek) menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.
16 Pasal 2 ayat (2) BW (Burgerlijk
Wetboek) menyatakan bahwa mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.
Secara alamiah tidak ada
perbedaan mendasar antara anak
yang dilahirkan dalam suatu
perkawinan yang sah dengan anak
yang lahir di luar perkawinan.
Keduanya merupakan subyek hukum yang harus dilindungi oleh Negara dan undang-undang. Perbedaan status dan kedudukan yang diciptakan oleh hukum semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan sepihak dan parsial. Seharusnya hal itu tidak
terjadi agar setiap anak dapat
memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita dan masa depan seorang anak.
Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit dan sensitif. Namun terlepas dari kerumitan yang terjadi, hukum harus melihat persoalan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah sebagai permasalahan yang harus dipecahkan, mengingat dampak dari
persoalan tersebut bukan hanya
berhubungan dengan hukum tetapi
juga menimbulkan permasalahan
sosial yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar
perkawinan hanya mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa undang-undang melimpahkan semua beban dan resiko atas lahirnya anak di
luar perkawinan tersebut hanya
kepada ibu dan anaknya, sedangkan ayahnya belum tersentuh secara
hukum. Padahal tidak mungkin
seorang anak terlahir ke dunia tanpa ada peran seorang laki-laki sebagai
ayah biologisnya. Dilihat dari
kepentingan si anak dan ibunya, ketentuan Pasal 43 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
mengandung ketidakadilan karena si anak dan ibunya tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan siapa
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 17 ayah biologis si anak. Sedangkan
menurut undang-undang, hak-hak
keperdataan si anak baru lahir bagi si anak jika ada pengakuan dari ayah
biologisnya. Hal tersebut
menunjukkan ketidakseimbangan
perlakuan hukum yang diberikan oleh undang-undang, karena status dan kedudukan hukum si anak hanya digantungkan pada pengakuan ayah biologisnya.
Dengan adanya perbedaan status dan kedudukan yang demikian maka
dikeluarkanlah judicial review atas
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, sehingga
kemudian terdapat beberapa
perubahan terhadap hak dan
kedudukan anak luar kawin, salah
satunya adalah akibat hukum
perkawinan terhadap hak menuntut warisan bagi anak luar kawin.
Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian-uraian fakta tersebut, maka dapat disimpulkan
mengenai rumusan permasalahan
sebagai berikut :
1. Bagaimanakah hak dan kedudukan anak luar kawin menurut hukum perdata?
2. Apakah ada perbedaan mengenai hak keperdataan anak luar kawin
sebelum dan sesudah
dikeluarkannya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010? Tujuan Penelitian
Penulisan penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu adalah untuk menganalisa eksistensi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasca dikeluarkannya
Peraturan Mahkamah Konstitusi
Nomor 46/PUU-VIII/2010, khususnya terkait dengan hak keperdataan anak luar kawin.
Manfaat Penulisan Penelitian
Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :
1. Bagi lembaga, yakni lembaga
perkawinan dan lembaga
administrasi penduduk diharapkan
meningkatkan perhatiannya
terhadap hak dan kedudukan anak
luar kawin pasca judicial review
Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 oleh
Mahkamah Konstitusi yang
tertuang dalam Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
2. Bagi kalangan akademis dan
praktisi diharapkan dapat
memberikan bahan pembelajaran
di bidang hukum perdata,
khususnya hak keperdataan yang berkaitan dengan anak luar kawin.
Dengan adanya penulisan
penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas isu-isu hukum yang berkaitan dengan hak
keperdataan anak luar kawin.
Sehingga dengan adanya Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010, hak dan
kedudukan keperdataan anak luar kawin menjadi lebih jelas.
3. Bagi masyarakat umum, penulisan penelitian ini diharapkan dapat
memberikan pemahaman
mengenai hak dan kedudukan hukum anak luar kawin di mata hukum. Sehingga nantinya stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin, baik di mata hukum maupun di mata masyarakat umum bisa sedikit mereda dan bahkan menghilang. Karena semua perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anak-anak yang lahir di luar perkawinan telah menjadi fenomena yang tidak kunjung ada solusinya. Padahal
sesungguhnya, anak-anak luar
kawin ini tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan tidak pula
diberikan kesempatan untuk
memilih akan terlahir dalam
perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan.
Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah
Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 18
hukum, prinsip-prinsip hukum,
maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi.17
Dalam penelitian ini, pendekatan yang
digunakan adalah pendekatan
undang-undang (statute approach)
dan pendekatan konseptual
(conceptual approach).
Pendekatan undang-undang
(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan
isu hukum yang sedang ditangani.18
Fakta yang ada dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan yang masih berlaku. Memahami kandungan filosofi yang
ada di belakang undang-undang
tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan
filosofis antara undang-undang
dengan permasalahan hukum yang
dihadapi. Undang-undang dan
regulasi yang digunakan dalam
penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BW (Burgerlijk Wetboek), serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.
Selanjutnya dalam penulisan
penelitian ini setelah menggunakan
pendekatan undang-undang (statute
approach), yang digunakan kemudian
adalah pendekatan konseptual
(conceptual approach). Pendekatan
konseptual (conceptual approach)
beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang
di dalam ilmu hukum.19 Dalam
penulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual approach) yang
digunakan adalah
pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam hukum perdata, khususnya
hukum perkawinan serta hukum
tentang perlindungan anak. 2. Bahan Hukum
17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 35.
18
Ibid., h. 93.
19Ibid., h. 95.
Untuk memecahkan suatu rumusan masalah, diperlukan adanya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber-sumber tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bahan-bahan hukum
primer dan bahan-bahan hukum
sekunder. Bahan hukum primer
merupakan bahan hukum yang
bersifat autoritatif, artinya mempunyai
kekuasaan.20 Bahan-bahan hukum
primer terdiri dari
perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
perundang-undangan, dan putusan-putusan
hakim.21 Bahan-bahan hukum
sekunder berupa semua publikasi
tentang hukum yang bukan
merupakan dokumen-dokumen
resmi.22
Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian, maka sumber hukum dalam penulisan penelitian ini meliputi :
a. Bahan hukum primer adalah
bahan-bahan hukum yang
mengikat, yakni peraturan
perundang-undangan yang
memiliki relevansi dengan
permasalahan-permasalahan hukum yang diteliti dan dibahas.
Bahan hukum primer dalam
penulisan penelitian ini antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974, BW (Burgerlijk Wetboek),
serta Putusan Mahkamah
Konstitusi Nomor
46/PUU-VIII/2010.
b. Bahan hukum sekunder adalah
bahan yang memberikan
penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi, buku-buku literatur, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta komentar-komentar para ahli atas putusan
pengadilan. Terutama yang
berkaitan dengan hak dan
kedudukan anak luar kawin dalam hal hak keperdataan.
20
Ibid.. h. 141.
21Ibid. 22Ibid.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 19 3. Prosedur Pengumpulan Bahan
Hukum
Prosedur pengumpulan bahan
hukum untuk penelitian ini dilakukan
dengan 3 (tiga) cara, yakni
inventarisasi, kategorisasi, dan
analisa.
Tahap-tahap penulisan penelitian ini meliputi :
a. Tahap pertama.
Inventarisasi sumber-sumber
bahan hukum positif dan bahan-bahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Dalam tahap ini dilakukan proses identifikasi dengan cara : 1) Penetapan kriteria identifikasi untuk
menyeleksi norma-norma hukum positif.
2) Seleksi terhadap norma-norma
yang diidentifikasi sebagai norma hukum positif.
3) Pengorganisasian terhadap norma-norma hasil identifikasi ke dalam sistem yang komprehensif.
b. Tahap kedua.
Mengidentifikasi sumber-sumber
bahan hukum positif dan bahan-bahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Apabila berkaitan dengan rumusan masalah yang sedang
dibahas dapat dilakukan
pengutipan jika diperlukan. 4. Analisa Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, semua bahan hukum, baik sumber bahan hukum primer maupun sumber bahan hukum
sekunder, dianalisis dengan
menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang menganalisis ketentuan-ketentuan hukum sebagai suatu hal
yang umum kemudian ditarik
kesimpulan yang bersifat khusus. PEMBAHASAN
Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin
Idealnya seorang anak yang
dilahirkan ke dunia akan mendapatkan
seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya.
Namun tidak demikian dalam
pandangan hukum, seorang anak dapat dilahirkan ke dunia tanpa keberadaan seorang ayah secara yuridis bahkan dapat pula terjadi
tanpa keberadaan kedua orang
tuanya sama sekali. Persoalan
mengenai hak dan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit. Namun terlepas dari semua kerumitan tersebut, hukum melihat persoalan
kedudukan anak luar kawin
merupakan problematika yang harus
diselesaikan dengan serius,
mengingat dampaknya yang tidak hanya berhubungan dengan hukum semata dan segala aspek yang
menyertainya, namun juga
menimbulkan persoalan-persoalan
sosial yang dapat mengganggu
kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan di luar pernikahan.
Keberadaan seorang anak tidak
bisa dilepaskan dari lingkungan
keluarga yang membesarkannya.
Begitu pula dalam ruang lingkup hukum, seorang anak akan selalu
tersangkut paut erat dengan
persoalan hukum keluarga. Hukum keluarga meliputi beberapa persoalan, antara lain :23
1. Hubungan anak dengan orang tuanya.
2. Hubungan anak dengan keluarga. 3. Pemeliharaan anak piatu.
4. Mengambil anak atau mengangkat anak (adopsi).
Pokok persoalan dalam hukum
keluarga menyangkut asal usul
keturunan seorang anak yang lahir di
luar perkawinan bertumpu pada
hubungan hukum antara si anak dengan ayah biologisnya, sedangkan hubungan hukum dengan pihak ibu
23 Soekanto, Meninjau Hukum Adat
Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, CV. Rajawali, Jakarta, 2001, h. 108.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 20
hampir tidak pernah menjadi
persoalan karena hubungan itu telah tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan apapun24, kecuali terhadap apa yang
disebutkan dalam BW (Burgerlijk
Wetboek) yang menganut prinsip pengakuan mutlak dimana seorang ibu biologis tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan anaknya
tanpa tindakan pengakuan25.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun
Kompilasi Hukum Islam tidak
mengenal adanya lembaga
pengakuan anak oleh ibu kandung
karena undang-undang telah
menentukan bahwa anak yang lahir
demi hukum langsung memiliki
hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan pihak keluarga ibunya. Hal ini
berdasarkan pertimbangan bahwa
tidak terlalu sulit untuk menentukan
siapa ibu biologis si anak
dibandingkan untuk menentukan siapa ayah biologisnya tanpa didahului oleh adanya perkawinan.
Dari sudut pandang hukum positif,
perkawinan merupakan sebuah
perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang
melangsungkannya, walaupun
perikatan yang timbul bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III BW (Burgerlijk Wetboek), karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak dan kewajiban
dalam hukum keluarga.26 Perkawinan
kemudian diatur dalam
24 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.
25
Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya.
26
D. Y. Witanto, Op. Cit., h. 131.
Undang Nomor 1 Tahun 1974.
Perkawinan berdasarkan
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974
terdapat 2 (dua) unsur, yaitu unsur religius dan unsur administratif. Unsur religius dari perkawinan terdapat
dalam Pasal 1 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur religius dari perkawinan juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang
menyatakan bahwa perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurt hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan unsur administratif terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Hak Keperdataan Anak Luar Kawin
Sebelum Dan Sesudah
Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010
Setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki kedudukan yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah diatur
dalam Pasal 28 B ayat (2)27 dan Pasal
28 D ayat (1)28 Undang-Undang Dasar
1945. Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Negara pada prinsipnya melindungi hak-hak setiap
anak dan melarang adanya
pengelompokkan status dan
27 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.
28 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang
Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 21 kedudukan terhadap seorang anak,
khususnya terhadap anak-anak yang lahir dalam di luar perkawinan yang
sah. Sehingga apabila terjadi
perbedaan status dan kedudukan anak di mata hukum, sesungguhnya Negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi bagian dari warga negaranya.
Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah :
Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak
langsung didasarkan pada
pembedaan manusia atas dasar
agama, suku, ras, etnik, kelompok,
golongan, status sosial, status
ekonomi, jenis kelamin, bahasa,
keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau
penghapusan pengakuan,
pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar
dalam kehidupan baik individual
maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun
1999 mengatur secara khusus
mengenai hak asasi anak, baik kedudukannya sebagai warga Negara maupun sebagai manusia antara lain terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Apabila dikaitkan dengan hak dan kedudukan anak luar kawin dengan ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, maka tidak
ada satu pun ketentuan yang
menyebutkan bahwa
ketentuan-ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.
Berkenaan dengan persoalan
tersebut, Mahkamah Konstitusi
kemudian memberikan pendapat
dalam pertimbangan hukum sebagai berikut :
Tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual
yang menyebabkan terjadinya
kehamilan dan kelahiran anak
tersebut dari tanggung jawabnya
sebagai seorang bapak dan
bersamaan dengan itu hukum
meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.
Kemudian apabila kita melihat pada
judicial review Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut :
Anak yang dilahirkan di luar
perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai
ayahnya yang dapat dibuktikan
berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.
Rumusan tersebut mengandung makna bahwa hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum terjadi secara otomatis. Tapi
berbeda dengan hubungan
keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan
sendirinya. Pihak-pihak yang
berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya.
KESIMPULAN
a. Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan
hanya mempunyai hubungan
perdata dengan ibunya dan
Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 22 tersebut apabila ditelaah maka
akan mengandung makna bahwa
undang-undang melimpahkan
beban dan risiko atas lahirnya anak dari hubungan di luar kawin hanya kepada ibu dan anaknya.
b. Hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum
terjadi secara otomatis. Tapi
berbeda dengan hubungan
keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan
sendirinya. Pihak-pihak yang
berkepentingan harus
membuktikan terlebih dahulu
bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya.
SARAN
Dengan lahirnya Putusan Mahkamah
Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010
tentang judicial review terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diharapkan hak dan kedudukan anak luar kawin di mata hukum maupun di
masyarakat dapat ditindaklanjuti
dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sebagaimana hak-hak asasi anak yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.
DAFTAR PUSTAKA
Meliala, Djaja S., Hukum Perdata
Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian
Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.
Prawirohamidjojo, Soetojo,
Pluralisme dalam
Perundang-Undangan Perkawinan di
Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986.
Subekti, R, Ringkasan Tentang
Hukum Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, 1990.
Soekanto, Meninjau Hukum Adat
Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Rajawali, Jakarta, 2001. Tri Haryani, Anik, Oliviarizky Toersina,
Tiara: Hak Mewaris Anak Luar
Kawin menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret 2013.
Witanto, D. Y., Hukum Keluarga :
Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012.
PERATURAN
PERUNDANG-UNDANGAN :
Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.