• Tidak ada hasil yang ditemukan

HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010"

Copied!
11
0
0

Teks penuh

(1)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 12 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR KAWIN PASCA JUDICIAL REVIEW

UNDANG-UNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DALAM PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 46/PUU-VIII/2010 Anik Tri Haryani 1) dan Tiara OliviarizkyToersina 2).

1). 2) Dosen Fakultas Hukum Universitas Merdeka Madiun

email : triharyanianik@yahoo.com, toersinatiara@yahoo.com

Abstract

The question at issue in family law concerns the origins of the paternity of a child born out of wedlock focused on the legal relationship between the father, while the legal relationship with the mother almost never be a problem because the relationship has created its own without having to be preceded by acts anyway. Whereas under Article 43 Paragraph (1) of Law Number 1 of 1974 mentions that a child born out of wedlock has only civil relationship with her mother and her mother's family. Provisions of article is when moderation it will contain meaning that the law bestows the burden and risk for birth children from outside the mating relationship to the mother and her child.With the birth of the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010 about judicial review of Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and is expected right off his mating position under the law or in the community can be followed fairly and without discrimination. Rights as children who have been laid out in Act No. 39 of 1999.

Keywords : Foreign children married, Civil Rights Unmarried Son Out, Article 2 paragraph (2) and Article 43 paragraph (1) of Act No. 1 of 1974 and the Constitutional Court's Decision No. 46/PUU-VIII/2010.

PENDAHULUAN Latar Belakang

Menurut Soetojo Prawirohamidjojo, tujuan utama dari sebuah perkawinan adalah untuk memperoleh keturunan, memenuhi nalurinya sebagai manusia, membentuk dan mengatur rumah tangga atas dasar cinta dan kasih sayang, memelihara manusia dari

kejahatan, dan menumbuhkan

kesungguhan mencari rejeki yang halal dan memperbesar tanggung jawab.1 BW (Burgerlijk Wetboek) tidak memberikan definisi atau pengertian mengenai perkawinan secara jelas. Hanya saja, dalam Pasal 26 BW (Burgerlijk Wetboek) memberikan batasan perkawinan sebagai berikut :

1 Soetojo Prawirohamidjojo, Pluralisme

dalam Perundang-Undangan Perkawinan di Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986, h. 28 – 29.

Undang-undang tidak memandang

soal perkawinan hanya dalam

hubungan -hubungan perdata.

Undang-Undang Perkawinan

merumuskan pengertian perkawinan

dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 sebagai berikut : Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sementara itu, di dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan sebagai berikut :

1) Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum

masing-masing agamanya dan

kepercayaannya itu.

2) Tiap-tiap perkawinan dicatat

menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

(2)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 13

Dengan demikian, dapat

disimpulkan bahwa bahwa untuk menentukan sah atau tidaknya suatu

perkawinan adalah agama yang

dianut oleh kedua calon mempelai.2

Perkawinan tersebut juga harus

dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pencatatan perkawinan ini merupakan tindakan

administratif sebagaimana yang

tertuang dalam Pasal 34 ayat (1)3 dan

ayat (2)4 serta Pasal 37 ayat (1)5 dan

ayat (4)6 Undang-Undang Nomor 23

Tahun 2006 Tentang Administrasi

Kependudukan (selanjutnya disebut

sebagai Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006).

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut seperti halnya BW (Burgerlijk Wetboek) juga menganut asas monogami. Hanya saja, apabila dikehendaki oleh yang bersangkutan

karena hukum dan agamanya

mengizinkan, seorang suami dapat beristri lebih dari seorang dengan

2R. Subekti, Ringkasan Tentang Hukum

Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, 1990, h. 3.

3

Pasal 34 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 menyatakan bahwa

perkawinan yang sah berdasarkan ketentuan

peraturan perundang-undangan wajib

dilaporkan oleh penduduk kepada instansi pelaksana di tempat terjadinya perkawinan paling lambat 60 (enam puluh) hari sejak tanggal perkawinan.

4

Pasal 34 ayat (2) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 menyatakan bahwa

berdasarkan laporan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pejabat pencatatan sipil mencatat pada register akta perkawinan dan menerbitkan kutipan akta perkawinan.

5

Pasal 37 ayat (1) Undang-Undang Nomor

23 Tahun 2006 menyatakan bahwa

perkawinan warga Negara Indonesia di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di Negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan Republik Indonesia.

6

Pasal 37 ayat (4) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 menyatakan bahwa pencatatan perkawinan sebagaimana dimaksud ayat (1) dan ayat (2) dilaporkan oleh yang bersangkutan kepada instansi pelaksana di tempat tinggalnya paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak yang bersangkutan kembali ke Indonesia.

memenuhi berbagai persyaratan

tertentu dan diputuskan oleh

Pengadilan.7 Oleh karena itu,

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini dikatakan menganut asas monogami terbatas (asas monogami terbuka). Lebih lanjut mengenai syarat-syarat untuk berpoligami diatur dalam Pasal 3 ayat (2)8, Pasal 49, dan Pasal 510 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Asas hukum lain yang dianut oleh Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tersebut adalah sebagai berikut :11

7

Penjelasan Umum Butir 4 Huruf c jo Penjelasan Pasal 3 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

8

Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila

dikehendaki oleh pihak-pihak yang

bersangkutan. 9

Pasal 4 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Dalam hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, sebagaimana tersebut dalam Pasal 3 ayat (2) undang-undang ini, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya, (2) Pengadilan dimaksud dalam ayat (1) pasal ini hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila : a. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri, b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan.

10

Pasal 5 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa : (1) Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) undnag-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : a. Adanya persetujuan dari istri atau istri-istri, b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup istri-istri dan anak-anak mereka, c. Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap istri-istri dan anak-anak mereka, (2) persetujuan yang dimaksud pada ayat (1) huruf a pasal ini tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri atau istri-istrinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari istrinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari Hakim Pengadilan.

11

Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012, h. 50 – 51.

(3)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 14 1. Asas persetujuan kedua belah

pihak.

Perkawinan yang merupakan

ikatan lahir batin, harus

berdasarkan persetujuan kedua

belah pihak yang akan

melangsungkan perkawinan, tidak boleh ada paksaan dari pihak manapun.

2. Asas proporsional.

Kedudukan suami istri adalah seimbang dalam kehidupan rumah

tangga dan pergaulan hidup

bersama dalam masyarakat,

masing-masing pihak berhak

melakukan perbuatan hukum,

dengan pembagian tugas dimana

suami sebagai kepala rumah

tangga dan istri sebagai ibu rumah tangga.

3. Asas persatuan dan pemisahan. Semua harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta

bersama suami-istri yang

penggunaannya harus ada

persetujuan salah satu pihak,

sedangkan harta benda yang

dibawa oleh suami istri dikuasai

masing-masing kecuali kalau

ditentukan lain dalam perjanjian.

Dengan berlakunya

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ini maka asas persatuan bulat sudah dihapus.

Dengan adanya suatu perkawinan maka akan memberikan beberapa akibat hukum perkawinan antara lain, akibat hukum terhadap hubungan suami istri, akibat hukum terhadap

hubungan hukum atas harta

kekayaan, serta akibat hukum

terhadap kedudukan anak.

Perbandingan pengaturan terhadap akibat hukum perkawinan dalam BW (Burgerlijk Wetboek) dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dapat dilihat sebagai berikut :12

12 Anik Tri Haryani dan Tiara Oliviarizky

Toersina, Hak Mewaris Anak Luar Kawin Menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) Pasca Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 46/Puu-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret 2013, h. 3.

(4)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 15 Akibat Hukum Perkawinan Menurut BW (Burgerlijk Wetboek) Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Hubungan suami istri

Diatur dalam Pasal 103 sampai dengan Pasal 118 BW (Burgerlijk Wetboek)

Diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Harta Kekayaan Diatur dalam Pasal 119

sampai dengan Pasal 167 BW (Burgerlijk Wetboek)

Diatur dalam Pasal 29, Pasal 35 sampai dengan Pasal 37, dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Kedudukan Anak Diatur dalam Pasal 250 sampai dengan Pasal

271a BW (Burgerlijk

Wetboek) untuk anak sah dan Pasal 272, Pasal 273, dan Pasal

283 sampai dengan

Pasal 289 BW (Burgerlijk

Wetboek).

Diatur dalam Pasal 42 sampai dengan Pasal 44 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Dalam sebuah perkawinan yang

ideal, kehadiran seorang anak

memberikan peranan yang penting

dalam sebuah kehidupan rumah

tangga, karena tujuan awal pada saat melangsungkan perkawinan adalah untuk membangun mahligai rumah

tangga yang bahagia, untuk

mempersatukan dua keluarga besar, serta untuk meneruskan keturunan, namun kenyataan yang ada tidaklah selalu demikian. Beberapa orang tua telah tega membuang dan bahkan membunuh anaknya sendiri demi menutupi aib dirinya dan keluarganya, dikarenakan kelahiran si anak yang berasal dari hubungan di luar nikah yang tidak dibenarkan oleh ajaran agama dan etika yang berlaku di masyarakat pada umumnya.

Banyak persoalan yang

melatarbelakangi terjadinya kehamilan di luar pernikahan, antara lain sebab-sebab yang berasal dari faktor lingkungan, pendidikan, kemapanan ekonomi, dan kemapanan sosial.

Beberapa faktor yang

melatarbelakangi kehamilan dan

kelahiran anak luar kawin antara lain :13

1. Karena usia pelaku masih di bawah batas usia yang diijinkan untuk melangsungkan perkawinan.

2. Karena belum siap secara ekonomi untuk melangsungkan perkawinan. 3. Karena perbedaan keyakinan dan

kepercayaan.

4. Karena akibat dari tindak pidana (pemerkosaan).

5. Karena tidak mendapat restu orang tua.

6. Karena si laki-laki terikat

perkawinan dengan wanita lain dan

tidak mendapat ijin untuk

melakukan poligami.

7. Karena adanya pergaulan bebas. 8. Karena terjadinya prostitusi.

Kelahiran seorang anak merupakan

sebuah peristiwa hukum yang

menimbulkan banyak akibat hukum, antara lain dari peristiwa kelahiran dapat menimbulkan hubungan waris,

hubungan keluarga, hubungan

perwalian dan hubungan-hubungan

13

D. Y. Witanto, Hukum Keluarga : Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012, h. 9.

(5)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 16

lainnya yang berkaitan dengan

lahirnya subyek hukum baru ke dunia

dengan segala status dan

kedudukannya di mata hukum.14

Dalam hukum waris, kelahiran anak merupakan peristiwa hadirnya ahli waris yang akan menduduki peringkat tertinggi dalam pewarisan. Menurut hukum keluarga, kelahiran seorang

anak akan menjadi awal dari

timbulnya hak dan kewajiban

alimentasi orang tua kepada anaknya. Sedangkan dalam hal perwalian, akan timbul hak dan kewajiban pada saat orang tua si anak tidak sanggup memikul tanggung jawab terhadap anaknya.

Undang-undang telah menjamin hak seorang anak sejak ia masih

berada dalam kandungan.15 Jika si

anak ternyata lahir dalam keadaan

meninggal, maka hak-hak itu

dianggap tidak pernah ada16, hal

tersebut menunjukkan bahwa hukum telah memandang bayi di dalam kandungan sebagai subyek hukum yang memiliki hak-hak keperdataan. Seorang anak yang lahir sebagai akibat dari hubungan biologis yang dilakukan oleh seorang laki-laki dan perempuan akan menyandang status dan kedudukan di mata hukum

berdasarkan perkawinan orang

tuanya. Suatu perkawinan yang sah akan melahirkan seorang anak yang memiliki status dan kedudukan yang sah di mata hukum, sedangkan seorang anak yang lahir dari suatu hubungan yang tidak sah tanpa adanya perkawinan yang sah, maka anak tersebut akan menyandang status sebagai anak luar kawin.

14 Ibid, h. 3.

15 Pasal 2 ayat (1) BW (Burgerlijk

Wetboek) menyatakan bahwa anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya.

16 Pasal 2 ayat (2) BW (Burgerlijk

Wetboek) menyatakan bahwa mati sewaktu dilahirkannya, dianggaplah ia tak pernah telah ada.

Secara alamiah tidak ada

perbedaan mendasar antara anak

yang dilahirkan dalam suatu

perkawinan yang sah dengan anak

yang lahir di luar perkawinan.

Keduanya merupakan subyek hukum yang harus dilindungi oleh Negara dan undang-undang. Perbedaan status dan kedudukan yang diciptakan oleh hukum semata-mata hanya untuk melindungi kepentingan sepihak dan parsial. Seharusnya hal itu tidak

terjadi agar setiap anak dapat

memperoleh kesempatan yang sama dalam meraih cita-cita dan masa depan seorang anak.

Persoalan mengenai kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit dan sensitif. Namun terlepas dari kerumitan yang terjadi, hukum harus melihat persoalan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah sebagai permasalahan yang harus dipecahkan, mengingat dampak dari

persoalan tersebut bukan hanya

berhubungan dengan hukum tetapi

juga menimbulkan permasalahan

sosial yang dapat mengganggu

kelangsungan hidup anak-anak yang lahir di luar perkawinan yang sah.

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyatakan bahwa “anak yang dilahirkan di luar

perkawinan hanya mempunyai

hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.” Ketentuan pasal tersebut mengandung makna bahwa undang-undang melimpahkan semua beban dan resiko atas lahirnya anak di

luar perkawinan tersebut hanya

kepada ibu dan anaknya, sedangkan ayahnya belum tersentuh secara

hukum. Padahal tidak mungkin

seorang anak terlahir ke dunia tanpa ada peran seorang laki-laki sebagai

ayah biologisnya. Dilihat dari

kepentingan si anak dan ibunya, ketentuan Pasal 43 ayat (1)

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

mengandung ketidakadilan karena si anak dan ibunya tidak diberikan kesempatan untuk membuktikan siapa

(6)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 17 ayah biologis si anak. Sedangkan

menurut undang-undang, hak-hak

keperdataan si anak baru lahir bagi si anak jika ada pengakuan dari ayah

biologisnya. Hal tersebut

menunjukkan ketidakseimbangan

perlakuan hukum yang diberikan oleh undang-undang, karena status dan kedudukan hukum si anak hanya digantungkan pada pengakuan ayah biologisnya.

Dengan adanya perbedaan status dan kedudukan yang demikian maka

dikeluarkanlah judicial review atas

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang terdapat dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, sehingga

kemudian terdapat beberapa

perubahan terhadap hak dan

kedudukan anak luar kawin, salah

satunya adalah akibat hukum

perkawinan terhadap hak menuntut warisan bagi anak luar kawin.

Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian-uraian fakta tersebut, maka dapat disimpulkan

mengenai rumusan permasalahan

sebagai berikut :

1. Bagaimanakah hak dan kedudukan anak luar kawin menurut hukum perdata?

2. Apakah ada perbedaan mengenai hak keperdataan anak luar kawin

sebelum dan sesudah

dikeluarkannya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010? Tujuan Penelitian

Penulisan penelitian ini mempunyai tujuan yang ingin dicapai yaitu adalah untuk menganalisa eksistensi Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 pasca dikeluarkannya

Peraturan Mahkamah Konstitusi

Nomor 46/PUU-VIII/2010, khususnya terkait dengan hak keperdataan anak luar kawin.

Manfaat Penulisan Penelitian

Penulisan penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat :

1. Bagi lembaga, yakni lembaga

perkawinan dan lembaga

administrasi penduduk diharapkan

meningkatkan perhatiannya

terhadap hak dan kedudukan anak

luar kawin pasca judicial review

Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 oleh

Mahkamah Konstitusi yang

tertuang dalam Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010.

2. Bagi kalangan akademis dan

praktisi diharapkan dapat

memberikan bahan pembelajaran

di bidang hukum perdata,

khususnya hak keperdataan yang berkaitan dengan anak luar kawin.

Dengan adanya penulisan

penelitian ini diharapkan dapat memberikan jawaban atas isu-isu hukum yang berkaitan dengan hak

keperdataan anak luar kawin.

Sehingga dengan adanya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010, hak dan

kedudukan keperdataan anak luar kawin menjadi lebih jelas.

3. Bagi masyarakat umum, penulisan penelitian ini diharapkan dapat

memberikan pemahaman

mengenai hak dan kedudukan hukum anak luar kawin di mata hukum. Sehingga nantinya stigma negatif yang saat ini disandang oleh anak-anak luar kawin, baik di mata hukum maupun di mata masyarakat umum bisa sedikit mereda dan bahkan menghilang. Karena semua perlakuan yang tidak manusiawi terhadap anak-anak yang lahir di luar perkawinan telah menjadi fenomena yang tidak kunjung ada solusinya. Padahal

sesungguhnya, anak-anak luar

kawin ini tidak pernah meminta untuk dilahirkan dan tidak pula

diberikan kesempatan untuk

memilih akan terlahir dalam

perkawinan-perkawinan yang tidak dicatatkan.

Metode Penelitian 1. Pendekatan Masalah

Penelitian hukum adalah suatu proses untuk menemukan aturan

(7)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 18

hukum, prinsip-prinsip hukum,

maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi.17

Dalam penelitian ini, pendekatan yang

digunakan adalah pendekatan

undang-undang (statute approach)

dan pendekatan konseptual

(conceptual approach).

Pendekatan undang-undang

(statute approach) dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan

isu hukum yang sedang ditangani.18

Fakta yang ada dikaitkan dengan peraturan perundang-undangan yang mengaturnya dan yang masih berlaku. Memahami kandungan filosofi yang

ada di belakang undang-undang

tersebut akan dapat menyimpulkan mengenai ada tidaknya benturan

filosofis antara undang-undang

dengan permasalahan hukum yang

dihadapi. Undang-undang dan

regulasi yang digunakan dalam

penelitian ini adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, BW (Burgerlijk Wetboek), serta Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Selanjutnya dalam penulisan

penelitian ini setelah menggunakan

pendekatan undang-undang (statute

approach), yang digunakan kemudian

adalah pendekatan konseptual

(conceptual approach). Pendekatan

konseptual (conceptual approach)

beranjak dari pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin yang berkembang

di dalam ilmu hukum.19 Dalam

penulisan ini, pendekatan konseptual (conceptual approach) yang

digunakan adalah

pandangan-pandangan dan doktrin-doktrin di dalam hukum perdata, khususnya

hukum perkawinan serta hukum

tentang perlindungan anak. 2. Bahan Hukum

17 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian

Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007, h. 35.

18

Ibid., h. 93.

19Ibid., h. 95.

Untuk memecahkan suatu rumusan masalah, diperlukan adanya sumber-sumber penelitian. Sumber-sumber-sumber tersebut dapat dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu bahan-bahan hukum

primer dan bahan-bahan hukum

sekunder. Bahan hukum primer

merupakan bahan hukum yang

bersifat autoritatif, artinya mempunyai

kekuasaan.20 Bahan-bahan hukum

primer terdiri dari

perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

perundang-undangan, dan putusan-putusan

hakim.21 Bahan-bahan hukum

sekunder berupa semua publikasi

tentang hukum yang bukan

merupakan dokumen-dokumen

resmi.22

Sesuai dengan pendekatan yang digunakan dalam penulisan penelitian, maka sumber hukum dalam penulisan penelitian ini meliputi :

a. Bahan hukum primer adalah

bahan-bahan hukum yang

mengikat, yakni peraturan

perundang-undangan yang

memiliki relevansi dengan

permasalahan-permasalahan hukum yang diteliti dan dibahas.

Bahan hukum primer dalam

penulisan penelitian ini antara lain, Undang-Undang Nomor 1 Tahun

1974, BW (Burgerlijk Wetboek),

serta Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor

46/PUU-VIII/2010.

b. Bahan hukum sekunder adalah

bahan yang memberikan

penjelasan mengenai bahan hukum primer yang meliputi, buku-buku literatur, kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, serta komentar-komentar para ahli atas putusan

pengadilan. Terutama yang

berkaitan dengan hak dan

kedudukan anak luar kawin dalam hal hak keperdataan.

20

Ibid.. h. 141.

21Ibid. 22Ibid.

(8)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 19 3. Prosedur Pengumpulan Bahan

Hukum

Prosedur pengumpulan bahan

hukum untuk penelitian ini dilakukan

dengan 3 (tiga) cara, yakni

inventarisasi, kategorisasi, dan

analisa.

Tahap-tahap penulisan penelitian ini meliputi :

a. Tahap pertama.

Inventarisasi sumber-sumber

bahan hukum positif dan bahan-bahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Dalam tahap ini dilakukan proses identifikasi dengan cara : 1) Penetapan kriteria identifikasi untuk

menyeleksi norma-norma hukum positif.

2) Seleksi terhadap norma-norma

yang diidentifikasi sebagai norma hukum positif.

3) Pengorganisasian terhadap norma-norma hasil identifikasi ke dalam sistem yang komprehensif.

b. Tahap kedua.

Mengidentifikasi sumber-sumber

bahan hukum positif dan bahan-bahan hasil karya ilmiah ahli hukum yang memiliki relevansi terhadap permasalahan-permasalahan hukum yang sedang dianalisa dan dibahas. Apabila berkaitan dengan rumusan masalah yang sedang

dibahas dapat dilakukan

pengutipan jika diperlukan. 4. Analisa Bahan Hukum

Dalam penelitian ini, semua bahan hukum, baik sumber bahan hukum primer maupun sumber bahan hukum

sekunder, dianalisis dengan

menggunakan metode deduktif, yaitu metode yang menganalisis ketentuan-ketentuan hukum sebagai suatu hal

yang umum kemudian ditarik

kesimpulan yang bersifat khusus. PEMBAHASAN

Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin

Idealnya seorang anak yang

dilahirkan ke dunia akan mendapatkan

seorang laki-laki sebagai ayahnya dan seorang perempuan sebagai ibunya.

Namun tidak demikian dalam

pandangan hukum, seorang anak dapat dilahirkan ke dunia tanpa keberadaan seorang ayah secara yuridis bahkan dapat pula terjadi

tanpa keberadaan kedua orang

tuanya sama sekali. Persoalan

mengenai hak dan kedudukan anak yang lahir di luar perkawinan yang sah merupakan persoalan yang rumit. Namun terlepas dari semua kerumitan tersebut, hukum melihat persoalan

kedudukan anak luar kawin

merupakan problematika yang harus

diselesaikan dengan serius,

mengingat dampaknya yang tidak hanya berhubungan dengan hukum semata dan segala aspek yang

menyertainya, namun juga

menimbulkan persoalan-persoalan

sosial yang dapat mengganggu

kelangsungan hidup anak-anak yang dilahirkan dari suatu hubungan di luar pernikahan.

Keberadaan seorang anak tidak

bisa dilepaskan dari lingkungan

keluarga yang membesarkannya.

Begitu pula dalam ruang lingkup hukum, seorang anak akan selalu

tersangkut paut erat dengan

persoalan hukum keluarga. Hukum keluarga meliputi beberapa persoalan, antara lain :23

1. Hubungan anak dengan orang tuanya.

2. Hubungan anak dengan keluarga. 3. Pemeliharaan anak piatu.

4. Mengambil anak atau mengangkat anak (adopsi).

Pokok persoalan dalam hukum

keluarga menyangkut asal usul

keturunan seorang anak yang lahir di

luar perkawinan bertumpu pada

hubungan hukum antara si anak dengan ayah biologisnya, sedangkan hubungan hukum dengan pihak ibu

23 Soekanto, Meninjau Hukum Adat

Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, CV. Rajawali, Jakarta, 2001, h. 108.

(9)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 20

hampir tidak pernah menjadi

persoalan karena hubungan itu telah tercipta dengan sendirinya tanpa harus didahului dengan perbuatan apapun24, kecuali terhadap apa yang

disebutkan dalam BW (Burgerlijk

Wetboek) yang menganut prinsip pengakuan mutlak dimana seorang ibu biologis tidak secara otomatis akan menjadi ibu yang memiliki hubungan perdata dengan anaknya

tanpa tindakan pengakuan25.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 maupun

Kompilasi Hukum Islam tidak

mengenal adanya lembaga

pengakuan anak oleh ibu kandung

karena undang-undang telah

menentukan bahwa anak yang lahir

demi hukum langsung memiliki

hubungan keperdataan dengan pihak ibu dan pihak keluarga ibunya. Hal ini

berdasarkan pertimbangan bahwa

tidak terlalu sulit untuk menentukan

siapa ibu biologis si anak

dibandingkan untuk menentukan siapa ayah biologisnya tanpa didahului oleh adanya perkawinan.

Dari sudut pandang hukum positif,

perkawinan merupakan sebuah

perikatan yang melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang

melangsungkannya, walaupun

perikatan yang timbul bukan termasuk dalam ruang lingkup hukum perikatan sebagaimana diatur dalam Buku III BW (Burgerlijk Wetboek), karena hak dan kewajiban yang lahir dari sebuah perkawinan adalah hak dan kewajiban

dalam hukum keluarga.26 Perkawinan

kemudian diatur dalam

24 Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 43

Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.

25

Sebagaimana yang diatur dalam Pasal 280 BW (Burgerlijk Wetboek) yang menyatakan bahwa dengan pengakuan yang dilakukan terhadap anak luar kawin, timbullah hubungan perdata antara si anak dan bapak atau ibunya.

26

D. Y. Witanto, Op. Cit., h. 131.

Undang Nomor 1 Tahun 1974.

Perkawinan berdasarkan

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

terdapat 2 (dua) unsur, yaitu unsur religius dan unsur administratif. Unsur religius dari perkawinan terdapat

dalam Pasal 1 Undang-Undang

Nomor 1 Tahun 1974 adalah sebuah ikatan lahir dan batin antara seorang laki-laki dan seorang perempuan sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Unsur religius dari perkawinan juga terdapat dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang

menyatakan bahwa perkawinan

adalah sah apabila dilakukan menurt hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Sedangkan unsur administratif terdapat dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang menyatakan bahwa tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Hak Keperdataan Anak Luar Kawin

Sebelum Dan Sesudah

Dikeluarkannya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010

Setiap anak yang dilahirkan ke dunia memiliki kedudukan yang sama sebagai makhluk Tuhan Yang Maha Esa sebagaimana yang telah diatur

dalam Pasal 28 B ayat (2)27 dan Pasal

28 D ayat (1)28 Undang-Undang Dasar

1945. Berdasarkan ketentuan tersebut menunjukkan bahwa Negara pada prinsipnya melindungi hak-hak setiap

anak dan melarang adanya

pengelompokkan status dan

27 Pasal 28 B ayat (2) Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap anak berhak atas kelangsungan hidup tumbuh dan berkembang serta berhak atas perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.

28 Pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang

Dasar 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.

(10)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 21 kedudukan terhadap seorang anak,

khususnya terhadap anak-anak yang lahir dalam di luar perkawinan yang

sah. Sehingga apabila terjadi

perbedaan status dan kedudukan anak di mata hukum, sesungguhnya Negara telah melakukan diskriminasi terhadap anak yang menjadi bagian dari warga negaranya.

Menurut ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, bahwa yang dimaksud dengan diskriminasi adalah :

Setiap pembatasan, pelecehan, atau pengucilan yang langsung ataupun tak

langsung didasarkan pada

pembedaan manusia atas dasar

agama, suku, ras, etnik, kelompok,

golongan, status sosial, status

ekonomi, jenis kelamin, bahasa,

keyakinan politik, yang berakibat pengurangan, penyimpangan, atau

penghapusan pengakuan,

pelaksanaan atau penggunaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar

dalam kehidupan baik individual

maupun kolektif dalam bidang politik, ekonomi, hukum, sosial, budaya, dan aspek kehidupan lainnya.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun

1999 mengatur secara khusus

mengenai hak asasi anak, baik kedudukannya sebagai warga Negara maupun sebagai manusia antara lain terdapat dalam Pasal 52, Pasal 53, Pasal 54, Pasal 55, Pasal 56, Pasal 57, Pasal 58, Pasal 59, Pasal 60, Pasal 61, Pasal 62, Pasal 63, Pasal 64, Pasal 65, dan Pasal 66. Apabila dikaitkan dengan hak dan kedudukan anak luar kawin dengan ketentuan-ketentuan mengenai hak asasi anak yang terdapat dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999, maka tidak

ada satu pun ketentuan yang

menyebutkan bahwa

ketentuan-ketentuan tersebut hanya berlaku bagi anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah.

Berkenaan dengan persoalan

tersebut, Mahkamah Konstitusi

kemudian memberikan pendapat

dalam pertimbangan hukum sebagai berikut :

Tidak tepat dan tidak adil manakala hukum menetapkan bahwa anak yang lahir dari suatu kehamilan karena hubungan seksual di luar perkawinan hanya memiliki hubungan dengan perempuan tersebut sebagai ibunya. Adalah tidak tepat dan tidak adil pula jika hukum membebaskan laki-laki yang melakukan hubungan seksual

yang menyebabkan terjadinya

kehamilan dan kelahiran anak

tersebut dari tanggung jawabnya

sebagai seorang bapak dan

bersamaan dengan itu hukum

meniadakan hak-hak anak terhadap lelaki tersebut sebagai bapaknya.

Kemudian apabila kita melihat pada

judicial review Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 oleh Mahkamah Konstitusi yang berbunyi sebagai berikut :

Anak yang dilahirkan di luar

perkawinan mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya serta dengan laki-laki sebagai

ayahnya yang dapat dibuktikan

berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan/atau alat bukti lain yang menurut hukum mempunyai hubungan darah, termasuk hubungan perdata dengan keluarga ayahnya.

Rumusan tersebut mengandung makna bahwa hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum terjadi secara otomatis. Tapi

berbeda dengan hubungan

keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan

sendirinya. Pihak-pihak yang

berkepentingan harus membuktikan terlebih dahulu bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya.

KESIMPULAN

a. Berdasarkan Pasal 43 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 menyebutkan bahwa anak yang dilahirkan di luar perkawinan

hanya mempunyai hubungan

perdata dengan ibunya dan

(11)

Sosial Volume 14 Nomor 2 September 2013 HAK KEPERDATAAN ANAK LUAR 22 tersebut apabila ditelaah maka

akan mengandung makna bahwa

undang-undang melimpahkan

beban dan risiko atas lahirnya anak dari hubungan di luar kawin hanya kepada ibu dan anaknya.

b. Hubungan keperdataan antara si anak dengan pihak ibu demi hukum

terjadi secara otomatis. Tapi

berbeda dengan hubungan

keperdataan si anak dengan pihak ayahnya tetap tidak terjadi dengan

sendirinya. Pihak-pihak yang

berkepentingan harus

membuktikan terlebih dahulu

bahwa si ayah tersebut adalah ayah biologisnya.

SARAN

Dengan lahirnya Putusan Mahkamah

Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

tentang judicial review terhadap Pasal 2 ayat (2) dan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 diharapkan hak dan kedudukan anak luar kawin di mata hukum maupun di

masyarakat dapat ditindaklanjuti

dengan adil dan tanpa diskriminasi. Sebagaimana hak-hak asasi anak yang telah diatur di dalam Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999.

DAFTAR PUSTAKA

Meliala, Djaja S., Hukum Perdata

Dalam Perspektif BW, Nuansa Aulia, Bandung, 2012.

Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian

Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2007.

Prawirohamidjojo, Soetojo,

Pluralisme dalam

Perundang-Undangan Perkawinan di

Indonesia, Airlangga University Press, Jakarta, 1986.

Subekti, R, Ringkasan Tentang

Hukum Keluarga dan Hukum Waris, PT. Intermasa, Jakarta, 1990.

Soekanto, Meninjau Hukum Adat

Indonesia : Suatu Pengantar Untuk Mempelajari Hukum Adat, Rajawali, Jakarta, 2001. Tri Haryani, Anik, Oliviarizky Toersina,

Tiara: Hak Mewaris Anak Luar

Kawin menurut Hukum Waris BW (Burgerlijk Wetboek) pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010, Jurnal Sosial Vol. 14 No. 1 Maret 2013.

Witanto, D. Y., Hukum Keluarga :

Hak dan Kedudukan Anak Luar Kawin Pasca Keluarnya Putusan MK Tentang Uji Materiil UU Perkawinan, Prestasi Pustaka, Jakarta, 2012.

PERATURAN

PERUNDANG-UNDANGAN :

Kitab Undang-Undang Hukum

Perdata.

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.

Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 46/PUU-VIII/2010.

Referensi

Dokumen terkait

Langkah-langkah ini di tentukan oleh langkah-langkah sebelumnya merupakan lanjutan dari masalah atau diagnosa yang telah diidentifikasi atau di antisipasi. Rencana asuhan yang

Apalagi dengan semakin lamanya umur jaringan irigasi, maka sarana penunjang pertanian ini akan mengalami kerusakan baik kerusakan ringan maupun kerusakan berat yang dapat

Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa penelitian ini telah mencapai tujuannya yaitu concurrency control dapat mengatur operasi-operasi di dalam semua transaksi yang

Berdasarkan hasil pengujian hipotesis yang dilakukan, maka menunjukan bahwa terdapat pengaruh positif inovasi terhadap word of mouth, oleh karena t-value yang dihasilkan

Dapat disimpulkan bahwa variabel profesionalisme – dimensi pengabdian pada profesi berpengaruh secara signifikan terhadap tingkat materialitas, sehingga apabila

KEDELAPAN : Satuan Kerja Perangkat Daerah/Unit Kerja Perangkat Daerah (SKPD/UKPD) yang belum menyelesaikan kewajiban sebagaimana dimaksud pada diktum diktum KESATU, diktum KEDUA

Penelitian ini menganalisis Rencana Pelaksanaan Pembelajaran (RPP) yang disusun oleh guru IPA di kelas VII serta pelaksanaan pembelajaran IPA di kelas VII. Teknik

Kriteria unjuk kerja merupakan bentuk pernyataan yang menggambarkan kegiatan yang harus dikerjakan untuk memperagakan hasil kerja/karya pada setiap elemen