• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II PENDEKATAN TEORITIS

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II PENDEKATAN TEORITIS"

Copied!
18
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

PENDEKATAN TEORITIS

2.1 Tinjauan Pustaka

2.1.1 Konversi Lahan di Jawa

Tanah merupakan sumber hidup bagi manusia yang berkembang dan melakukan segala aktivitas di atasnya. Sumberdaya alam seperti air, tumbuhan, dan lainnya yang diperlukan untuk menghidupi manusia di bumi juga semua berada di atas tanah. Dari hal tersebut, kita dapat melihat bahwa tanah mempunyai fungsi yang sangat penting untuk manusia. Manusia diberi hak untuk mengolah dan memelihara. Namun, dalam pengelolaan tanah ini, terdapat tumpang tindih kepentingan.

Masyarakat mengolah tanah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya disamping menggunakan tanah untuk tempat tinggal. Sementara itu, pihak swasta sebagai pemodal tentu saja ingin mengembangkan usahanya, dan dalam pengembangan usaha ini, tak jarang menggunakan sumberdaya yang ada dan menggunakan tanah sebagai tempat mengembangkan usahanya. Oleh karena itu, peran pemerintah yang mengeluarkan kebijakan untuk memfasilitasi berbagai kepentingan tersebut menjadi sangat penting. Pemerintah disamping harus dapat mempertahankan tanah sebagai resapan air agar tidak terjadi banjir dan memastikan masyarakat dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dari sumberdaya alam, pembangunan juga harus tetap dilakukan pemerintah. Namun, kemiskinan dan hutang negara banyak mempengaruhi kebijakan pemerintah yang kini cenderung liberal, sehingga untuk pembangunan Indonesia diserahkan kepada pihak swasta. Pihak swasta yang ada di Indonesia melihat hal ini sebagai peluang untuk mengembangkan usahanya dengan mudah. Maka, eksploitasi sumberdaya alam dan konversi lahanpun tak terhindarkan lagi, dan kini telah banyak lahan yang berubah fungsinya.

Menurut Bulkin (2005), pengalaman pembangunan negara-negara sedang berkembang yang melibatkan swasta menunjukkan bahwa meskipun pada tahap awal terlihat sukses. Namun, dalam pelaksanaannya banyak mengalami hambatan, terbengkalai, dan tidak sesuai dengan yang diharapkan. Proyek-proyek pembangunan biasanya memerlukan pembebasan lahan yang luas dan dapat

(2)

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan di sekitarnya. Permasalahan ini biasanya tidak sederhana, bahkan sampai ke proses pengadilan, terutama apabila sudah melibatkan banyak pihak. Bila hal ini terjadi, pembangunan proyek akan mengalami keterlambatan cukup lama yang mengakibatkan penyelesaian proyek tertunda.

Pembangunan dan perekonomian negara yang tidak stabil mempengaruhi banyaknya industri yang masuk ke Indonesia. Menurut Kustiawan (1997), fenomena konversi lahan merupakan dampak proses transformasi struktur ekonomi (dari pertanian ke industri) dan demografis (dari pedesaan ke perkotaan) yang pada gilirannya menuntut pula adanya transformasi alokasi sumber daya lahan dari pertanian ke non-pertanian. Konversi lahan akibat perubahan struktur agraria dari pertanian ke non pertanian banyak dialami oleh lahan di pedesaan yang berada di pinggiran kota (urban periphery). Konversi sawah di daerah urban adalah akibat perluasan pemukiman dan pembangunan pemukiman tersebut akan diikuti pembangunan prasarana ekonomi. Kawasan pinggiran kota ini adalah daerah Kabupaten/Kota yang belum terencana dan dihuni oleh penduduk asli dengan kegiatan perdesaan, sehingga desakan pergeseran pembangunan perumahan ke kawasan tersebut mengakibatkan wajah pola pembangunan perumahan yang sporadis dan tidak tertata. Hal ini mendorong munculnya permasalahan baru seperti kesenjangan sosial dan kekumuhan (slum area) di kawasan pinggian (Budiyono, et. al., 2006).

Hasil penelitian Pakpahan (1994) dan Sumaryanto, et. al. (1995) menunjukkan bahwa luas lahan sawah yang terkonversi di Pulau Jawa adalah sebagai berikut: di Jawa Barat pada periode 1987-1991 adalah 37.000 hektar, Jawa Tengah (1981-1986) adalah 40.300 hektar, DI. Yogyakarta (1986-1990) adalah 2.9 ribu hektar, dan Jawa Timur (1987-1993) adalah 58.000 hektar. Dengan demikian rata-rata luas lahan sawah di Pulau Jawa yang beralih fungsi sekitar 22.200 hektar per tahun. Data ini dapat digambarkan oleh tabel berikut:

(3)

Tabel 1. Perkiraan Luas Lahan Sawah di Pulau Jawa Beralih Fungsi ke Penggunaan Lain

Propinsi Periode Total Luas Lahan

(hektar)

Luas Lahan yang Beralih Fungsi (hektar) Jawa Barat 1987 - 1991 37.033 7.046 Jawa Tengah 1981 - 1986 40.327 6.721 Yogyakarta 1986 - 1990 2.910 224 Jawa Timur 1987 - 1993 57.996 8.285

Sumber: Sumaryanto dan Suhaeti (1997)

Biro Pusat Statistik mengemukakan luas baku lahan sawah pada tahun 2000 sekitar 3,4 juta hektar. Selama kurun waktu 1981-1998 total konversi lahan sawah di Jawa mencapai satu juta hektar, dan pada periode yang sama percetakan lahan sawah baru sekitar 518 ribu hektar, sehingga neraca lahan sawah di Jawa berkurang 483 ribu hektar. Besaran konversi lahan sawah tersebut relatif sama dengan hasil pantauan satelit yang dilakukan oleh Pusat Penelitian dan Pengambangan Tanah dan Agrokimat (Puslitbangtanak).

Dari data-data tersebut, dapat diketahui bahwa laju konversi lahan dari tahun ke tahun meningkat. Konversi lahan terjadi hampir di seluruh bagian di Indonesia, baik di Pulau Jawa maupun di luar Pulau Jawa. Namun, laju konversi lahan yang tercepat adalah di Pulau Jawa. Menurut Pakpahan, et. al. (1994), hal ini disebabkan terkonsentrasinya penduduk pulau ini dan merupakan akibat logis dari pertumbuhan sektor industri dan jasa di Jawa yang jauh lebih tinggi dari pulau-pulau lainnya. Sementara seperti yang telah diketahui bersama bahwa, Pulau Jawa adalah pulau yang subur dan menghasilkan produksi beras tersebar di Indonesia. Pulau Jawa adalah penghasil 60 persen dari produksi beras nasional (Pakpahan, et. al., 1994) sehingga fenomena konversi lahan sawah di Jawa harus diwaspadai sebagai salah satu ancaman terhadap pelestarian swasembada beras.

Menurut Sumaryanto (2001), pola konversi lahan dapat ditinjau dari beberapa aspek. Pertama, alih fungsi secara langsung oleh pemilik lahan yang bersangkutan. Lazimnya motif tindakan ada tiga, yakni untuk pemenuhan kebutuhan akan tempat tinggal, dalam rangka meningkatkan pendapatan melalui alih usaha, dan kombinasi seperti misalnya untuk membangun rumah tinggal yang sekaligus dijadikan tempat usaha. Pola konversi seperti ini terjadi di sembarang

(4)

tempat, kecil-kecil dan tersebar. Kedua, alih fungsi yang diawali dengan alih penguasaan. Pemilik menjual kepada pihak lain yang akan memanfaatkannya untuk usaha nonsawah atau kepada makelar. Dampak konversi terhadap eksistensi lahan sawah sekitarnya berlangsung cepat dan nyata. Ketiga, menurut prosesnya konversi lahan sawah dapat pula terjadi secara gradual dan seketika (instant). Alih fungsi secara gradual lazimnya disebabkan fungsi sawah tidak optimal. Umumnya hal seperti ini terjadi akibat degradasi mutu irigasi atau usaha tani padi di lokasi tersebut tidak dapat berkembang karena kurang menguntungkan. Alih fungsi secara instant pada umumnya berlangsung di wilayah sekitar urban, yakni berubah menjadi lokasi pemukiman atau kawasan industri.

2.1.2 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Konversi Lahan

Konversi lahan umumnya diakibatkan oleh adanya krisis ekonomi yang menyebabkan tingginya angka pengangguran sehingga pendapatan masyarakat menurun. Masyarakat yang hanya memiliki aset berupa lahan sawah menjualnya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Faktor-faktor yang mempengaruhi konversi lahan adalah sebagai berikut:

2.1.2.1 Faktor Ekonomi

Faktor ekonomi yang menentukan alih fungsi lahan sawah ke pertanian dan non pertanian, yaitu nilai kompetitif padi menurun, petani merespon dinamika pasar, lingkungan, dan daya saing usahatani meningkat, kedekatan lokasi sawah dengan pusat ekonomi, dan pajak lahan yang tinggi sangat nyata mempengaruhi laju konversi lahan (Ilham, et. al., 2006). Selain itu, menurut Sihaloho (2004), pertumbuhan penduduk menyebabkan kebutuhan tempat tinggal yang makin meningkat. Implikasinya adalah kebutuhan pemukiman juga meningkat. Kebutuhan akan tempat tinggal ini juga dapat dilihat dari perubahan hak atas tanah yang terjadi khususnya dalam proses jual beli lahan yang dimanfaatkan untuk pemukiman.

Keterdesakan ekonomi yang menginginkan adanya perubahan paling tidak dipilih masyarakat karena sudah berpuluh tahun tinggal di desa tanpa ada perubahan. Hasil pertanian tidak dapat memenuhi kebutuhan keluarga sehingga

(5)

dipandang perlu untuk melakukan perubahan, seperti memiliki usaha baru. Mayoritas penduduk yang menjual tanahnya ingin mendapatkan modal untuk usaha lain yaitu untuk melakukan industri rumah tangga (Sihaloho, 2004).

2.1.2.2 Faktor Sosial

Menurut Witjaksono (1996) dalam Ilham, et. al. (2006), ada lima faktor sosial yang mempengaruhi alih fungsi lahan, yaitu perubahan perilaku, hubungan pemilik dengan lahan, pemecahan lahan, pengambilan keputusan, dan apresiasi pemerintah terhadap aspirasi masyarakat. Dua faktor terakhir berhubungan dengan sistem pemerintahan. Terbukanya wawasan penduduk pedesaan terhadap dunia baru di luar lingkungannya akibat prasarana dan sarana transportasi dan komunikasi yang memadai menyebabkan perubahan perilaku masyarakat desa. Hubungan antara pemilik lahan dengan buruhnya diikat dalam ikatan kekeluargaan meskipun status mereka berbeda satu sama lain. Sistem waris menyebabkan kepemilikan lahan yang semakin menyempit. Bentuk lain yang berhubungan dengan pemecahan lahan adalah lembaga perkawinan yang umumnya berlaku di lingkungan masyarakat petani di pedesaan.

Semakin tinggi laju pertumbuhan rumah tangga pertanian pengguna lahan menyebabkan semakin besarnya penyusutan luas lahan sawah. Semakin besar perubahan luas penguasaan lahan per-rumah tangga pertanian pengguna lahan, semakin besar pengaruhnya terhadap laju penyusutan luas lahan sawah (Kustiawan, 1997). Makin banyak jumlah anggota keluarga yang ditanggung petani, maka semakin banyak kebutuhan sehari-hari yang harus dipenuhi sedangkan lahan mereka tetap tidak luas. Penghasilan dari pertanian tidak bisa mencukupi kebutuhan sehari-hari. Akhirnya, masalah ini menekan mereka untuk tidak bercocok tanam lagi dan mengkonversi lahan mereka (Munir, 2008).

Menurut Munir (2008), faktor internal yang menyebabkan konversi lahan salah satunya adalah faktor pendidikan. Konversi lahan dilakukan oleh petani yang belum pernah mengenyam pendidikan. Petani yang berpendidikan akan lebih bijak dalam mengambil keputusan untuk mengkonversi lahan atau tidak. Dengan analisis kualitatif, pendidikan tidak menentukan konversi lahan, namun berhubungan dengan latar belakang ekonomi keluarga. Petani berpendidikan

(6)

rendah berasal dari keluarga kurang mampu. Mereka berpikir dengan mengkonversi lahan bisa mencukupi kebutuhan mereka.

2.1.2.3 Kebijakan

Menurut Sihaloho (2004), dalam faktor-faktor pendorong terjadinya konversi lahan pertanian terdapat faktor makro yang meliputi kebijakan pemerintah yang memberikan iklim kondusif bagi transformasi peruntukan suatu kawasan dan pertumbuhan penduduk alamiah dan non-alamiah. Menurut Munir (2008), dukungan pemerintah daerah bagi pertanian mempengaruhi petani untuk memutuskan mengkonversi lahannya atau tidak. Ketika petani tidak mendapat dukungan dari pemerintah, seolah-olah pertanian yang mereka usahakan tidak berarti. Permasalahan meningkat dan langkanya harga saprotan juga mempengaruhi sehingga mereka mengambil keputusan untuk berhenti bercocok tanam. Ditambah lagi dengan adanya privatisasi pembangunan kawasan industri, pembangunan pemukiman skala besar dan kota baru, serta deregulasi investasi dan perizinan dapat menyebabkan konversi lahan (Kustiawan, 1997).

Pihak swasta yang berinvestasi pun memiliki andil besar dalam terjadinya konversi lahan. Pihak swasta yang menawarkan membeli tanah dan tidak jarang disertai paksaan dan iming-iming pekerjaan. Namun sekarang, banyak petani yang tidak mau merelakan tanahnya dengan mudah kepada pengusaha karena mereka mengetahui tanah yang dikonversi itu hasilnya jauh lebih menguntungkan (Munir, 2008).

2.1.3 Dampak Konversi Lahan

Konversi lahan pertanian menjadi pemukiman mempunyai dampak positif dan negatif. Menurut Putri (2008), dampak positif dari pembentukan pemukiman yaitu menyebabkan meningkatnya nilai ekonomis yaitu melalui sewa menyewa kontarakan. Namun peningkatan nilai ekonomis ini hanya diterima oleh pemilik tempat sewa tempat tinggal. Konversi lahan juga dapat meningkatnya tingkat kesejahteraan rumah tangga petani, ditunjukkan perubahan pola hidup yang menjadi konsumtif (Munir, 2008). Dari sudut pandang sosial ekonomi, sebagian dari mereka justru mengalami perbaikan kesejahteraan, terutama bagi pemilik

(7)

lahan yang sejak semula merupakan bagian dari lapisan atas penduduk setempat. Walaupun begitu, kecenderungan konversi lahan memang banyak memberikan dampak negatif daripada positif.

Dampak konversi lahan sawah dapat dipandang dari dua segi (Ilham, et. al., 2006). Dari segi fungsinya, lahan sawah diperuntukan untuk memproduksi padi. Dengan demikian adanya konversi lahan sawah ke fungsi lain akan menurunkan produksi padi nasional. Dari segi bentuknya perubahan lahan sawah ke pemukiman, perkantoran, prasarana jalan dan lainnya berimplikasi besarnya kerugian akibat sudah diinvestasikannya dana untuk mencetak sawah, membangun waduk dan sistem irigasi. Dampak lain dari alih fungsi lahan pertanian adalah kesempatan kerja pertanian menurun sejalan dengan menurunnya lahan pertanian yang tersedia, kesempatan kerja yang terkait secara langsung maupun tidak langsung dengan kegiatan produksi padi, dan degradasi lingkungan (Sumaryanto, Hermanto, dan Pasandaran 1996 dalam Ilham, et. al., 2006). Berikut adalah dampak-dampak yang ditimbulkan dari adanya konversi lahan:

2.1.3.1 Pertanian

Dampak terhadap struktur agraria akibat konversi lahan antara lain melalui perubahan pola penguasaan lahan dan perubahan orientasi nilai atas lahan dari segi nilai sosial, nilai kepentingan umum, dan nilai ekonomi. Dampak pertanian meliputi ketimpangan distribusi kepemilikan lahan termasuk perubahan status akses terhadap lahan, petani yang menjual tanahnya dan membeli tanah di tempat lain umumnya masih mempertahankan petani penggarap lahan yang dimilikinya dengan sistem maro atau mertelu (Sihaloho, 2004).

Mengkaji permasalahan tentang fungsi lahan sawah terkait erat dengan mengkaji masalah pangan, khususnya beras. Hal ini berpijak dari fakta bahwa suatu komunitas mengubah ekosistem hutan atau lahan kering menjadi sawah adalah dalam rangka menciptakan lingkungan biosifik yang paling optimal bagi bertumbuhkembangnya tanaman padi. Rusaknya jaringan irigasi, pencemaran, dan rusaknya keseimbangan ekologi sawah yang disebabkan konversi lahan, menyebabkan produktivitas padi menurun, dan hal ini akan menyebabkan terancamnya ketahanan pangan.

(8)

Konversi lahan sawah dianggap dapat menjadi ancaman terhadap upaya mempertahankan swasembada beras nasional (Kustiawan, 1997). Berkurangnya lahan sawah berarti ada produksi padi yang hilang (Pakpahan, et. al., 1994). Menurut Sumaryanto, et. al. 2001, ketahanan pangan nasional mutlak tergantung pada padi atau beras. Berbeda dengan penurunan produksi yang disebabkan oleh serangan hama, penyakit, kekeringan ataupun banjir, berkurangnya produksi padi akibat konversi lahan sawah adalah bersifat permanen.

Hilangnya lahan, menurunnya produksi padi, dan isu terancamnya ketahanan pangan sangat berpengaruh terhadap aspek sosial, ekonomi, dan politik di Indonesia. Pangan adalah kebutuhan primer manusia, dan akan selalu dibutuhkan selama manusia hidup. Akibat pangan yang terancam tersebut, pemerintah mengeluarkan kebijakan impor beras. Sedangkan kebijakan impor beras ini justru mematikan petani Indonesia karena beras impor yang dijual lebih murah dibandingkan beras yang dihasilkan oleh petani Indonesia. Akhirnya membuat jurang kemiskinan yang semakin dalam sehingga kesenjangan miskin dan kaya terlihat jelas. Sedangkan dari segi politik, kebijakan impor beras ini melibatkan elit-elit pejabat yang memainkan tender dan menunjukkan hilangnya peran negara dalam kapasitasnya sebagai pengurus urusan rakyatnya (pemenuhan kebutuhan pokok) serta memperjelas bagaimana sistem kapitalisme liberal yang dianut pemerintahan Indonesia tidak memberikan solusi terhadap permasalahan ketahanan pangan yang terjadi di Indonesia.

2.1.3.2 Sosial

Dampak sosial meliputi kesenjangan antara masyarakat pendatang dengan warga setempat. Hal ini dilihat dari kemampuan ekonomi yang berbeda dan secara sosial budaya tidak terjadi interaksi antar pihak. Pertumbuhan kota-kota besar dengan cepat mengubah lahan perdesaan menjadi perkotaan. Perubahan yang cenderung eksponensial ini diimbangi oleh kesiapan sosial dan ekonomi dari masyarakat yang semula menempati wilayah tersebut, akibatnya mereka cenderung tersingkir oleh aktivitas investasi baru yang masuk kewilayahnya, kemudian mengalami marjinalisasi. Konversi lahan telah menyebabkan perubahan pada berbagai aspek kehidupan masyarakat. Perubahan yang dimaksud

(9)

berhubungan dengan perubahan struktur agraria, proses marjinalisasi atau kemiskinan dan pelaku konversi (warga masyarakat) tersubordinasi oleh pihak pemanfaat konversi. Secara khusus implikasi dari perubahan struktur agraria adalah perubahan pola penguasaan agraria, pola nafkah, pola hubungan produksi, dan perubahan orientasi nilai terhadap sumberdaya agraria.

Sebaliknya, masuknya modal baru yang saling berlomba dalam situasi dimana Pemerintah Daerah biasanya kurang siap dengan kebijaksanaan pengembangan wilayahnya, rencana tata ruang serta pengarahan melalui pengembangan prasarana terpadu, membawa perkembangan tata ruang yang ruang tertata, dan pemanfaatan lahan yang tidak optimal (Budiyono, et. al., 2006).

2.1.3.3 Ekonomi

Dampak negatif akibat konversi lahan ternyata lebih banyak dibandingkan dampak positifnya, seperti yang telah disebutkan sebelumnya, terutama dalam segi ekonomi. Untuk golongan bawah (terutama buruh tani dan petani gurem) yang terjadi adalah sebagian besar dari mereka tidak dapat secara otomatis beralih pekerjaan/usaha ke sektor nonpertanian sehingga yang terjadi kemudian adalah kondisi semakin sempitnya peluang usaha yang mereka hadapi. Pada saat yang sama, terjadi pula perubahan budaya dari masyarakat agraris ke budaya urban. Yang terjadi kemudian adalah meningkatnya kriminalitas (Sumaryanto, et. al., 2001).

Masyarakat yang awalnya menggantungkan perekonomiannya pada lahan pertanian, kini tergantung pada sektor industri akibat konversi lahan. Menurut Kustiawan (1997), konversi lahan sawah terkait dengan dampak sosial-ekonominya dalam skala mikro rumah tangga pertanian terutama dalam kaitannya dengan pergeseran struktur ketenagakerjaan dan penguasaan pemilikan lahan pertanian di pedesaan. Usaha tani padi merupakan aktivitas ekonomi yang banyak menyediakan lapangan kerja. Oleh sebab itu, konversi lahan sawah bukan hanya menyebabkan hilangnya kesempatan kerja dan pendapatan petani penggarap tetapi juga buruh tani. Jika dilihat ke depan, usaha tani padi menciptakan kesempatan kerja dan pendapatan pada usaha penggilingan beras dan industri makanan dan minuman. Sedangkan bila dilihat ke belakang, menciptakan kesempatan kerja

(10)

pada usaha penyewaan traktor, industri traktor, industri pupuk, dan sebagainya. Alih fungsi lahan sawah juga menciptakan sejumlah kesempatan kerja dan pendapatan pada pihak lain. Tiap hektar lahan sawah yang terkonversi ke nonpertanian (industri misalnya) mempunyai nilai output, pendapatan, maupun kesempatan kerja yang tercipta pada umumnya jauh lebih besar namun kenyataannya masyarakat lokal (pemilik tanah semula dan buruh tani) banyak sekali yang tidak dapat menikmati kesempatan kerja dan pendapatan dari aktivitas ekonomi yang baru tersebut (Sumaryanto, et. al., 2001). Hal ini disebabkan petani tidak mempunyai kapasitas dan keahlian yang membuat mereka mampu bersaing di sektor industri.

2.1.3.4 Politik

Dampak politik dari konversi lahan menurut Sihaloho (2004), selain akumulasi modal yang dilakukan pemodal untuk meningkatkan usaha tani juga terdapat praktek memanfaatkan dominasi modal kepada pihak-pihak yang berkuasa di sisi lainnya. Sebagai pihak yang menguasai modal, mereka mengembangkan usahanya dengan leluasa dan menyelesaikan semua kerugian sumberdaya yang diakibatkan oleh mereka dengan kekuasaan modal yang dimiliki.

Pembangunan pemukiman maupun industri di atas lahan yang awalnya adalah lahan pertanian menyebabkan rusaknya sistem irigasi. Anggaran pembangunan yang dialokasikan untuk pembangunan irigasi (konstruksi baru) merefleksikan nilai investasi yang dibutuhkan. Nilai investasi yang dibutuhkan untuk menghasilkan satu hektar lahan sawah beririgasi teknis semakin mahal seiring dengan makin tingginya harga tanah dan makin sedikitnya sumber-sumber air yang potensial. Jika biaya yang diperlukan untuk pemeliharaan sistem irigasi dan pengembangan kelembagaan pendukung juga diperhitungkan maka investasi yang selama ini telah kita tanamkan untuk mengembangkan suatu ekosistem sawah diperkirakan sekitar dua kali lipat dari angka-angka tersebut. Secara implisit hal-hal tersebut harus diperhitungkan sebagai bagian dari kerugian akibat konversi lahan sawah (Sumaryanto, 2001).

(11)

pertanian. Menurut Nasoetion dan Winoto (1996) dalam Ilham, et. al., 2006, biaya investasi pengembangan struktur sosial terutama dalam bentuk pengembangan sistem kelembagaan pertanian, yang menjadi soko guru sistem produksi beras di Indonesia sangat mahal.

2.1.3.5Ekologi

Dampak ekologi dari konversi lahan dapat berupa pencemaran. Pencemaran atau polusi oleh Jayadinata (1999) dalam Putri (2008), dinyatakan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau suatu proses menghasilkan hasil sampingan yang merusak sistem buatan manusia. Apalagi jika dengan lahan yang terbatas dan jumlah penduduk yang perbandingannya tidak seimbang dengan luas lahan ditambah oleh sikap masyarakat yang kurang memperhatikan lingkungan terutama dalam hal pembuangan sampah. Fungsi utama dari lahan yaitu sebagai daerah resapan air kini tidak berfungsi kembali dengan semestinya. Dampak ekologi jangka panjang yang paling dirasakan yaitu timbulnya bencana banjir setiap tahunnya. Timbulnya pemukiman menyebabkan sistem penyerapan air terganggu, dipicu juga oleh limbah sampah rumah tangga dari pemukiman.

Lahan pertanian yang telah banyak berubah fungsi tidak diimbangi oleh pencetakan kembali lahan pertanian baru. Menurut Sumaryanto, et. al. (2001), sekali lahan sawah berubah fungsi, berarti tak lagi lahan tersebut dapat menjadi sawah kembali. Semakin tinggi produktivitas lahan sawah yang terkonversi, semakin tinggi pula kerugian yang terjadi. Penurunan kualitas dalam konteks ini menyangkut tingkat ketersediaan air dan kesuburan tanah. Ada pula kerugian yang sifatnya tidak langsung, yakni turunnya produktivitas lahan sawah di sekitarnya sebagai akibat degradasi ekologi lahan sawah.

Menurut Sumaryanto (2001), dampak negatif lain akibat konversi lahan sawah merupakan akibat lanjutan dari rusaknya ekosistem sawah. Tak dapat diingkari bahwa untuk wilayah tropis maka fungsi sawah pada musim penghujan bukan sekedar lahan yang dipergunakan untuk budi daya padi, tetapi juga merupakan hamparan yang efektif untuk menampung kelebihan air limpasan. Secara teknis, areal pesawahan telah dikembangkan sedemikian rupa sehingga sebagian dari air limpasan tertampung di areal pesawahan dengan tinggi genangan

(12)

yang tidak berdampak negatif terhadap pertumbuhan tanaman padi.

Adapun kasus di Cimacan seperti yang diungkapkan oleh Bachriadi dan Lucas (2001) yaitu sekitar 31.6 hektar lahan sawah dikonversi lahan pertanian menjadi non pertanian (lapangan golf) dan diambil alih oleh pihak swasta. Lapangan golf adalah monoculture ecosystem, dan seperti kita ketahui bahwa sistem seperti ini berdampak negatif terhadap lingkungan hidup setempat. Pembangunan lapangan golf mengakibatkan terjadinya penggundulan hutan, penggalian tanah, dan pemadatan tanah yang dapat menimbulkan banjir di musim hujan. Penggundulan hutan akan mempengaruhi kemampuan tanah untuk menyimpan air, meningkatkan erosi tanah, dan menyebabkan terjadinya pendangkalan daerah aliran sungai. Setelah tanah diratakan buldoser, diuruk pasir, dipadatkan, dan ditanami rumput, sebagian besar pasir yang digunakan mengalir kembali ke sungai bersama air hujan. Pasir itu kemudian mengendap di kolam air yang ditumbuhi teratai di tengah-tengah hutan.

Upaya pencegahan yang dilakukan justru berakibat lebih besar. Sungai lebih keruh dan sering banjir. Air hujan yang mengalir ke sungai itu juga bercampur dengan sisa bahan kimia sehingga mencemari sungai. Sisa bahan kimia tersebut berasal dari pupuk, pestisida, serta obat-obatan beracun lain yang digunakan unutk mengeraskan dan menyuburkan tanah, serta mencegah timbulnya rumput liar dan hama. Padahal banyak penduduk memanfaatkan air sungai itu untuk mandi, bahkan sebagai sumber air minum sehingga timbul wabah muntaber. Di musim kemarau, untuk menjaga agar rumput lapangan golf tampak hijau, pengelola mengambil air dari sungai. Akibatnya penduduk kekurangan air di akhir musim kemarau. Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) Cianjur juga protes karena air minum yang diambil dari Sungai Cikundul menjadi keruh.

Konversi lahan menjadi lapangan golf ini juga berdampak negatif terhadap ekologi Taman Nasional Gunung Pangrango (TNGP). Padahal sejak 1989 TNGP ditetapkan sebagai cagar alam. Pembangunan lapangan golf menggangu keseimbangan alam. Selain itu, demi menyambung hidup, petani yang tergusur terpaksa merusak lingkungan dan melanggar hukum. Petani banyak yang mencuri tanaman langka di TNGP, seperti beraneka jenis pakis, jenis tanaman bibit bonsai, anggrek, dan tumbuhan hias untuk dijual.

(13)

Kawasan seluas 15.000 hektar TNGP ini berfungsi sebagai daerah tangkapan hujan bagi daerah sekitarnya (Sukabumi, Bogor, Cianjur, Jakarta). Fungsi ini berjalan baik bila kondisi kawasan penyangganya (buffer zone), seperti perkebunan teh di kawasan Puncak juga baik. Masalah muncul karena pemerintah pusat dan Pemda Tingat II Cianjur tidak melaksanakan konsep tata ruang kawasan Bogor-Puncak-Cianjur secara konsisten. Mereka membolehkan berbagai proyek agrowisata dikembangkan di atas lahan yang telah diterapkan sebagai kawasan penyangga. Indonesia telah memiliki peraturan tentan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang mewajibkan pelaksana proyek membuat penyajian informasi lingkungan untuk memperoleh ijin lokasi.

Beberapa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) seperti Skephi bersuara keras terhadap akibat buruk pembangunan lapangan golf terhadap lingkungan. Untuk memelihara rumput lapangan golf -yang seringkali harus diimpor- digunakan pestisida, herbisida, dan obat-obatan lain. Pestisida yang kemudian larut dalam air dan mengalir ke saluran air atau sungai akan menyebabkan tanaman air, ikan, dan hewan ampibi lain mati. Penggunaan pupuk secara berlebihan, yang kemudian larut dalam air, akan menyebabkan kanal menjadi dangkal dan tersumbat kerana tumbuhan liar menjadi subur. Untuk mempertahankan rumput tetap subur diperlukan banyak air. Penggunaan air yang besar ini dapat mengganggu debit air tanah di sekitar lapangan golf. Pembangunan lapangan golf membuat struktur dan susunan kimia tanah rusak. Hal ini disebabkan untuk mempertahankan kadar air tanah dan kelembaban digunakan berbagai bahan penguruk, seperti karang, ijuk, busa, dan dilakukan penggalian.

Dampak ekologi ini dalam jangka panjang akan sangat mempengaruhi perubahan struktur agraria. Dengan demikian, berubah pula pola penghidupan masyarakat. Hilangnya fungsi tanah sebagai resapan air akan menyebabkan banjir yang tidak terkendali dan rusaknya sumberdaya alam. Hal ini berakibat masyarakat lebih memilih untuk berpindah ke tempat yang sumberdaya alamnya masih dapat mencukupi kebutuhan hidup mereka secara baik dengan membuka lahan. Sumberdaya tersebut pada umumnya berada di areal yang sebenarnya diperuntukkan bagi konservasi. Akibatnya rusaknya sumberdaya alam semakin meluas.

(14)

2.2 Kerangka Pemikiran

Perubahan struktur agraria dari lahan pertanian ke pemukiman atau industri menyebabkan perubahan fungsi lahan. Lahan pertanian yang berfungsi sebagai penopang pangan negara berubah fungsinya menjadi tempat usaha dan perputaran ekonomi. Pada umumnya konversi lahan terjadi di areal pedesaan yang berada di pinggiran kota atau urban. Perubahan desa menjadi kota ini juga diikuti dengan perubahan perilaku masyarakatnya dan perubahan kepemilikan lahan. Begitu pula kebijakan pemerintah yang mempunyai peran penting dalam keputusan masyarakat untuk mengkonversi lahannya, diantaranya kebijakan pemerintah dalam subsidi pupuk atau bibit yang dapat mendukung keberlangsungan sektor pertanian. Jika pemerintah menghapuskan atau mengurangi subsidi tersebut, petani pun merasa pemerintah tidak mendukung pertanian sehingga mereka lebih cenderung menjual tanah pertaniannya. Ketiga hal tersebut yang secara umum mempengaruhi konversi lahan yang ada di Indonesia. Konversi lahan terutama di Pulau Jawa dari tahun ke tahun meningkat. Tentu saja hal ini berdampak banyak terhadap berbagai aspek.

Konversi lahan berdampak positif terhadap peningkatan nilai ekonomis dengan sistem sewa menyewa. Namun tentu saja, dampak negatif lebih banyak dibanding dampak positif. Konversi lahan berdampak terhadap beberapa aspek, diantaranya aspek sosial, ekonomi, politik, dan ekologi. Kesenjangan antar masyarakat di desa menjadi indikator dampak konversi lahan terhadap aspek sosial, yaitu pihak yang mengkonversi lahan derajatnya menjadi turun dalam hal stuktur kepemilikan dan penguasaan lahan dan sebaliknya. Kemudian aspek ekonomi dapat diukur dengan keterkaitan antara luas lahan, produktivitas, dan pendapatan. Aspek politik diukur dengan perizinan investasi yang dikeluarkan pemerintah daerah setempat dengan tujuan pembangunan. Terancamnya ekologi mempunyai indikator, diantaranya daya dukung lingkungan menurun, terganggunya sistem resapan air, dan peluang banjir meningkat. Beberapa aspek tersebut tentu saja berkaitan satu sama lain. Kerugian yang ditimbulkan oleh konversi lahan terhadap ekologi setempat menyebabkan sistem yang lain terganggu (Gambar 1).

(15)

Gambar 1.Bagan Alur Berfikir Dampak Konversi Lahan Terhadap Keberlanjutan Ekologi

Keterangan: Hubungan Ada Keterkaitan

2.3 Hipotesa Pengarah

Adapun hipotesis pengarah yang membantu peneliti dalam mengarahkan dan memudahkan pencarian data dan proses pengujian hipotesis, antara lain:

1. Diduga terdapat hubungan antara kedekatan lokasi desa dengan pusat ekonomi, kebutuhan hidup, pendapatan dari hasil pertanian, dan pertumbuhan penduduk dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan; Ekologi - kondisi sungai - kondisi udara - daya dukung lingkungan - sistem resapan air - peluang banjir Politik - perizinan investasi Ekonomi - tingkat pendapatan - luas lahan - produktivitas pertanian Sosial - Kesenjangan antar masyarakat di Desa Dampak Konversi Lahan Pertanian ke non-pertanian Pemukiman (Kompleks perumahan) Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Konversi lahan

- Ekonomi - Sosial - Kebijakan

(16)

2. Diduga terdapat hubungan antara perubahan perilaku masyarakat dan perubahan hubungan kepemilikan lahan dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan;

3. Diduga terdapat hubungan antara dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian dengan keputusan petani untuk mengkonversi lahan;

4. Diduga konversi lahan berdampak negatif terhadap aspek sosial masyarakat yang mengkonversi lahan, yaitu kesenjangan antar masyarakat desa;

5. Diduga konversi lahan berdampak negatif terhadap aspek ekonomi yaitu luas lahan menurun berakibat produktivitas pertanian menurun dan pendapatan pun menurun;

6. Diduga konversi lahan berdampak negatif pada aspek politik, yaitu banyaknya investasi yang masuk ke Desa Mulyaharja;

7. Diduga konversi lahan berdampak negatif pada aspek ekologi yaitu menurunnya daya dukung lingkungan, terganggunya sistem resapan air, dan meningkatnya peluang banjir sehingga produktivitas hasil pertanian menurun; dan

8. Diduga ada keterkaitan antara dampak sosial, ekonomi, dan poltik terhadap aspek ekologi.

2.4 Definisi Konseptual

Adapun hal-hal yang dibatasi antara lain:

1. Konversi lahan adalah peristiwa perubahan fungsi lahan di luar kegiatan pertanian, baik sebagian, maupun keseluruhan. Dalam hal ini, konversi lahan yang dimaksud ialah proses perubahan fungsi lahan pertanian menjadi fungsi non-pertanian (pembangunan kompleks perumahan); 2. Faktor ekonomi yang mempengaruhi konversi lahan yaitu kedekatan

lokasi dengan dengan pusat ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan keterdesakan ekonomi dalam hal daya saing usahatani, kebutuhan akan tempat tinggal, dan hasil pertanian tidak mencukupi; 3. Faktor sosial yang mempengaruhi konversi lahan yaitu perubahan pola

(17)

masyarakat dan hubungan kepemilikan lahan;

4. Faktor kebijakan yang mempengaruhi konversi lahan yaitu dukungan pemerintah terhadap sektor pertanian. Termasuk diantaranya kebijakan subsidi bibit dan pupuk, serta kebijakan impor beras;

5. Kesenjangan antara masyarakat adalah pihak yang mengkonversi lahan derajatnya menjadi turun dalam hal stuktur kepemilikan dan penguasaan lahan dan sebaliknya, serta masyarakat yang tidak mempunyai tanah cenderung tak bisa akses dalam politik desa (menjadi elit desa maupun kemampuan untu menyuarakan pendapat);

6. Perizinan investasi berkaitan dengan kebijakan pemerintah desa untuk menerima investasi dari pihak luar desa akibat pembangunan pemukiman yang pada umumnya diikuti pembangunan ekonomi;

7. Daya dukung lingkungan adalah kemampuan lingkungan hidup untuk mendukung perikehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya atau kemampuan suatu tempat dalam menunjang kehidupan mahluk hidup secara optimum dalam periode waktu yang panjang. Daya dukung 1lingkungan dapat pula diartikan kemampuan lingkungan memberikan kehidupan organisme secara sejahtera dan lestari bagi penduduk yang mendiami suatu kawasan;

8. Sistem resapan air adalah sistem lapisan tanah yang mampu menyerap air, yang mempunyai daya tahan tanah untuk menahan curah hujan. Pembangunan di area resapan menyebabkan tanah tidak mampu ditembus oleh kelembaban karena dipenuhi beton-beton menyebabkan hilangnya daerah resapan air; dan

9. Peluang banjir adalah kemungkinan meluapnya air dan tidak tertampungnya air hujan oleh daerah resapan air.

2.5 Definisi Operasional

1. Tingkat pendapatan rumah tangga adalah total pendapatan rata-rata responden yang diperoleh selama satu bulan.

Pengukuran:

(18)

2. sedang: Rp 1.000.000 – Rp 2.000.000 3. tinggi: > Rp 2.000.000

2. Luas lahan yang dimiliki adalah ukuran lahan yang dimiliki oleh responden dalam satuan hektar.

Pengukuran:

1. Sempit : 0,01-0,49 hektar 2. Sedang : 0,5-0,99 hektar 3. Luas : ≥ 1 hektar

3. Produktivitas pertanian berkaitan dengan jumlah produksi per luasan lahan.

Pengukuran:

1. Rendah : < 4500 kilogram per hektar 2. Sedang : 4500-5000 kilogram per hektar 3. Tinggi : > 5000 kilogram per hektar

Gambar

Gambar 1. Bagan Alur Berfikir Dampak Konversi Lahan   Terhadap Keberlanjutan Ekologi

Referensi

Dokumen terkait

- Dapat mempelajari dan mengetahui faktor-faktor yang mepengaruhi perbedaan perkecambahan kacang hijau pada perbedaan pemberian nutrisi.. 1.4

Keperluan : Mengikuti Liga Bulutangkis antar PTN-PTS

Alasan belum disediakannya menurut 11 orang guru BK diantaranya: (1) beberapa rekan kerja guru bidang studi di sekolahnya menilai materi terkait pelecehan seksual dianggap

Berdasarkan bentuk garis pantai pada lokasi penelitian dapat diketahui ancaman vegetasi mangrove yang disebabkan oleh ancaman gelombang dengan parameter bentuk garis

Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dijelaskan sebelumnya, maka permasalahan pada perusahaan adalah jumlah kecelakaan kerja yang terjadi selama kurun waktu 5 tahun

Respon eksplan terhadap media juga bervariasi, pada media yang sama untuk kultivar yang berbeda dapat membentuk kalus, umbi mikro maupun tunas berakar.. Respon yang

perencanaan pembangunan infrastruktur. b) KLHS dijadikan sebagai alat kajian lingkungan dalam RPIJM adalah karena RPIJM bidang Cipta Karya berada pada tataran

Jamur Termitomyces (Gambar 4) Jamur Termitomyces berbentuk seperti payung, diameter payung 3,5-8,5 cm, tinggi 4,5-10 cm, bagian tengah berbentuk kerucut, sifat