• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB II KAJIAN TEORITIK

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB II KAJIAN TEORITIK"

Copied!
17
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

KAJIAN TEORITIK

A. Deskripsi Konseptual

1. Pembelajaran Treffinger

Model pembelajaran Treffinger adalah model pembelajaran yang mengarah pada kemampuan berpikir kreatif. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model yang menangani masalah kreativitas secara langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan, yang melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap levelnya. Dengan melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap tingkat dari model ini, Treffinger menunjukkan saling hubungan dan ketergantungan antara keduannya untuk mendorong belajar kreatif (Munandar, 1999).

Menurut Darminto (2010) model pembelajaran Treffinger merupakan salah satu model pembelajaran yang bersifat developmental dan lebih mengutamakan aspek proses.Treffinger mengusulkan sebuah model praktis untuk menggambarkan tiga level yang berbeda dari belajar kreatif, dengan mempertimbangkan dimensi dari kognitif dan afektif di setiap level. Menggambarkan susunan tiga tingkat yang dimulai dengan unsur-unsur dasar dan menanjak ke fungsi-fungsi berpikir kreatif yang lebih majemuk (Nisa, 2011). Dengan kreativitas yang dimiliki siswa, berarti siswa mampu menggali potensi dalam menemukan ide-ide serta

(2)

menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi dengan melibatkan proses berpikir. Selain siswa akan terlibat dalam kegiatan membangun keterampilan pada tahap pertama dan kedua untuk kemudian menangani masalah kehidupan nyata pada tahap ketiga.

Pembelajaran dengan mengimplementasikan model Treffinger dapat menumbuhkan kreativitas siswa dalam menyelesaikan masalah, dengan ciri-ciri sebagai berikut: a) lancar dalam menyelesaikan masalah; b) mempunyai lebih dari satu ide jawaban; c) berani mempunyai jawaban "baru"; (d) menerapkan ide yang dibuatnya melalui diskusi dan bermain peran; e) membuat cerita dan menuliskan ide penyelesaian masalah; f) mengajukan pertanyaan atau argumen sesuai dengan konteks yang dibahas; g) menyesuaikan diri terhadap masalah dengan mengidentifikasi masalah; h) percaya diri, dengan bersedia menjawab pertanyaan; h) mempunyai rasa ingin tahu dengan bertanya; i) memberikan masukan dan terbuka terhadap pengalaman dengan bercerita; j) kesadaran dan tanggung jawab untuk menyelesaikan masalah; k) santai dalam menyelesaikan masalah; l) aman dalam menuangkan pikiran; m) mengimplementasikan soal cerita dalam kehidupannya, dan mencari sendiri sumber untuk menyelesaikan masalah (Haryono dalam Nisa, 2011).

Darminto (2010) menyatakan bahwa model pembelajaran

Treffinger memiliki tiga tahap kegiatan operasional yaitu: a) orientasi,

(3)

berpikir, serta c) pengembangan kemampuan memecahkan masalah. Dalam setiap tahapnya memiliki tujuan konkret untuk meningkatkan kemampuan kognitif dan afektif yang diharapkan.

Berikut langkah-langkah pembelajaran Treffinger menurut Munandar (2009) adalah sebagai berikut :

a. Tingkat I ( Basic Tools)

Dalam tahap basic tool atau teknik kreatifitas meliputi keterampilan berpikir divergen dan teknik-teknik kreatif. Tingkat I merupakan dasar dimana belajar kreatif berkembang. Keterampilan dan teknik-teknik ini mengembangkan kelancaran dan kelenturan berpikir serta kesediaan mengungkapkan pemikiran kreatif kepada orang lain.

Kemampuan kognitif yang diharapkan pada tingkat I adalah kelancaran, kelenturan, keaslian, kognisi dan ingatan. Sedangkan kemampuan afektif yang diharapkan adalah rasa ingin tahu, kesediaan untuk menjawab, keterbukaan terhadap pengalaman, kesediaan menerima kesamaan atau kedwiartian (ambiguity), kepekaan terhadap masalah dan tantangan, percaya diri, kesadaran, dan keberanian mengambil resiko.

Teknik-teknik yang digunakan adalah sebagai berikut : 1) Memberikan Pemanasan (Warning Up)

Dalam teknik pemanasan kegiatan yang dilakukan yaitu dengan mengajukan pertanyaan yang menimbulkan minat dan

(4)

rasa ingin tahu siswa dan mendorong siswa mengajukan pertanyaan terhadap suatu masalah.

2) Sumbang Saran (Brainstorming)

Sumbang saran dilakukan dalam kelompok kecil ataupun dilakukan secara individu. Jika dilakukan dalam kelompok kecil, cara yang dilakukan adalah salah seorang siswa mencatat dan menghitung jumlah jawaban yang diberikan. Setiap anggota kelompok harus mentaati aturan sumbang saran. Aturan yang harus diperhatikan dalam sumbang saran menurut Osborn (Munandar, 2009) adalah :

a) Kritik tidak dibenarkan atau ditangguhkan b) Kebebasan dalam memberikan gagasan c) Gagasan sebanyak mungkin

d) Kombinasi dan peningkatan gagasan

Untuk memudahkan proses kegiatan yang dilakukan, guru dapat memberikan kerangka pemikiran yang berkaitan dengan masalah untuk meningkatkan kelenturan pemikiran yang merupakan salah satu aspek dari berpikir kreatif.

3) Pertanyaan yang Memacu Gagasan (Idea Spurring Question) Guru memberikan suatu masalah terbuka dengan jawaban lebih dari satu penyelesaian. Penggunaan teknik ini menyarankan macam-macam kemungkinan dan meningkatkan kelenturan pemikiran siswa.

(5)

b. Tingkat II (Practice with Process)

Practice with Process yaitu teknik-teknik kreativitas yang

memberikan kesempatan kepada siswa untuk menerapkan keterampilan yang dipelajari pada tingkat I dalam situasi praktis, berupa penggunaan gagasan kreatif dalam situasi kompleks yang melibatkan proses pemikiran, perasaan, ketegangan dan konflik. Kemampuan kognitif yang diharapkan pada tingkat II meliputi penerapan, analisis, sintesis, penilaian (evaluasi), transformasi dari beraneka produk dan isi, keterampilan metodologis atau penelitian, pemikiran yang melibatkan analogi dan kiasan (metafor). Sedangkan kemampuan afektif yang diharapkan meliputi keterbukaan terhadap perasaan-perasaan dan konflik yang majemuk, mengarahkan perhatian pada masalah, penggunaan khayalan dan tamsil, meditasi dan kesantaian (relaxation), serta pengembangan keselamatan psikologis dalam berkreasi atau mencipta.

Salah satu teknik yang digunaka pada tahap ini adalah syntetic. Pada teknik ini siswa dilatih untuk berpikir berdasarkan analogi dalam pemecahan masalah. Langkah pertama yang harus dilakukan adalah merumuskan masalah yang ada pada suatu permasalahan yang ada agar semua terlihat jelas. Kegiatan selanjutnya berlangsung dengan seluruh kelas yang dipimpin oleh guru atau dalam kelompok kecil yang dipimpin oleh siswa.

(6)

c. Tingkat III (Working with Real Problem)

Working with Real Problem yaitu teknik-teknik kreatif tingkat

III yang menerapkan keterampilan yang dipelajari pada dua tingkat pertama terhadap tantangan dunia nyata. Siswa tidak hanya belajar keterampilan berpikir kreatif, tetapi juga mengkontruksi pengetahuan atau informasi kedalam dunia nyata. Pada tingkat ini merupakan tahap pada penggunaan proses perasaan dan pemikiran kreatif untuk memecahkan masalah secara mandiri.

Kemampuan kognitif yang diharapkan pada tingkat III meliputi Belajar mandiri dan penemuan, pengarahan diri, pengelolaan sumber, dan pengembangan produk. Sedangkan kemampuan afektif yang diharapkan meliputi pembribadian nilai-nilai, sikap dan komitmen terhadap kehidupan produktif, mengarah pada aktualisasi/perwujudan diri. Dalam ranah pengenalan, hal ini berarti keterlibatan dalam mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang mandiri dan diarahkan sendiri.

Langkah-langkah pembelajaran Treffinger yang digunakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :

a. Pendahuluan

1) Guru menyampaikan dan menjelaskan tujuan pembelajaran yang akan dicapai.

2) Guru menjelaskan secara garis besar materi yang akan dipelajari.

(7)

3) Guru membagi siswa menjadi beberapa kelompok yang terdiri dari 4-5 orang siswa.

b. Kegiatan Inti

1) Basic Tools

a) Guru membagikan lembar kerja kelompok (LKK), melalui LKK tersebut siswa diberikan masalah terbuka.

b) Siswa berdiskusi dengan kelompoknya dan menuliskan ide atau gagasannya terkait masalah terbuka yang diberikan. c) Selama kegiatan diskusi guru memantau dan mengarahkan

siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKK. d) Salah satu perwakilan kelompok membacakan hasil yang

telah diperoleh.

2) Practice with Process

a) Guru memberikan masalah yang lebih kompleks kepada masing- masing kelompok untuk didiskusikan melalui lembar kerja kelompok (LKK).

b) Setiap siswa bersama kelompoknya berdiskusi. Selama kegiatan diskusi guru memantau dan mengarahkan siswa yang mengalami kesulitan dalam mengerjakan LKK.

c) Salah satu perwakilan kelompok mempresentasikan hasil diskusinya dan kelompok yang lain memberi tanggapan. d) Guru mengecek hasil yang telah diperoleh siswa untuk

(8)

e) Guru memberikan reward pada masing-masing kelompok.

3) Working with Real Problem

a) Guru memberikan soal mandiri.

b) Guru membimbing siswa penyelesaian secara mandiri. c) Siswa bersama dengan guru menyimpulkan jawaban yang

benar dan tepat. 4) Penutup

a) Guru membimbing siswa untuk membuat kesimpulan materi yang telah dipelajari.

b) Guru memberi pekerjaan rumah (PR).

Kelebihan dan kekurangan pembelajaran Treffinger menurut Huda (2013) adalah sebagai berikut :

Kelebihan :

a. Memberi kesempatan kepada siswa untuk memahami konsep-konsep dengan cara menyelesaikan suatu permasalahan.

b. Membuat siswa aktif dalam pembelajaran.

c. Mengembangkan kemampuan berpikir siswa karena disajikan masalah pada awal pembelajaran dan memberi keleluasaan kepada siswa untuk mencari arah penyelesaiannya sendiri.

d. Mengembangkan kemampuan siswa untuk mendefinisikan masalah, mengumpulkan data, menganalisis data, membangun hipotesis, dan percobaan untuk memecahkan suatu permasalahan.

(9)

e. Membuat siswa dapat menerapkan pengetahuan yang sudah dimilikinya ke dalam situasi baru.

Kekurangan :

a. Perbedaan level pemahaman dan kecerdasan siswa dalam menghadapi masalah.

b. Ketidaksiapan siswa untuk menghadapi masalah baru yang dijumpai di lapangan.

c. Model ini mungkin tidak terlalu cocok diterapkan untuk siswa taman kanak-kanak atau kelas-kelas awal sekolah dasar.

d. Membutuhkan waktu yang tidak sebentar untuk mempersiapkan siswa melakukan tahap-tahap di atas.

2. Kemampuan Berpikir Divergen

Kemampuan berpikir divergen merupakan kemampuan yang berkaitan dengan kreativitas dan penting dikuasai siswa terutama dalam pembelajaran matematika. Menurut Munandar (Haryanto, 2006) berpikir divergen adalah berpikir kreatif, berpikir untuk memberikan bermacam kemungkinan jawaban berdasarkan informasi yang diberikan dengan penekanan pada kuantitas, keragaman, dan orijinalitas jawaban. Berpikir divergen terjadi ketika adanya stimulus yang mendorong pencarian jawaban lebih dari satu, memungkinkan banyaknya ide atau solusi suatu permasalahan (Widowati, 2008).

Haryanto (2006) menyatakan bahwa cara berpikir divergen secara umum memiliki karakteristik; a) lateral, artinya memandang suatu

(10)

persoalan dari beberapa sisi; b) divergen menyebar ke berbagai arah untuk menentukan banyak jawaban; c) holistik dan sistemik, bersifat menyeluruh (global); d) intuitif-imajinatif; e) independen; f) tidak teramalkan (unpredictable). Selain itu menurut Munandar (Widowati, 2008) berpikir divergen diasosiasikan dalam empat karakteristik, yaitu:

fluency (kemampuan secara cepat menghasilkan banyak ide atau solusi

suatu persoalan), flexibility (kapasitas untuk tanggap pada berbagai pendekatan terhadap permasalahan yang berkelanjutan), originality (kecenderungan untuk menghasilkan ide yang berbeda dari orang lain pada umumnya), dan elaboration (kemampuan untuk berpikir melalui kedetailan ide dan mewujudkannya).

Menurut Isaksen, Dorval & Treffinger (Sudiarta, 2005) mendefinisikan bahwa berpikir divergen sebagai kemampuan untuk mengkonstruksi atau menghasilkan berbagai respon yang mungkin, ide-ide, opsi-opsi atau alternatif-alternatif untuk suatu permasalahan atau tantangan. Kemampuan berpikir divergen penting dalam memecahkan permasalahan matematika dengan mengkontruksi berbagai kemungkinan jawaban yang masuk akal dengan multi solusi.

Menurut Guilford ( Kwon, dkk 2006) berpikir divergen merupakan suatu tindakan yang beragam dalam memecahkan suatu masalah bukan dengan satu jawaban tetapi berpikir dengan perspektif yang berbeda. Berpikir divergen paling tidak menekankan: a) adanya proses interpretasi dan evaluasi terhadap berbagai ide-ide; b) proses motivasi

(11)

untuk memikirkan berbagai kemungkinan ide yang masuk akal, dan c) pencarian terhadap kemungkinan-kemungkinan yang tak biasanya (non rutin) dalam mengkonstruksi ide-ide unik (Sudiarta, 2005).

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kemampuan berpikir divergen adalah kemampuan dalam mengkontruksi atau menghasilkan lebih dari satu ide atau alternatif jawaban yang masuk akal dan tak biasa (non rutin) sebagai suatu solusi dalam pemecahan masalah. Untuk mengukur kemampuan berpikir divergen siswa pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa indikator sebagai berikut :

a. Memberikan lebih dari satu alternatif jawaban yang masuk akal berdasarkan informasi yang diberikan.

b. Memberikan jawaban secara detail / rinci.

c. Memberikan kemungkinan-kemungkinan jawaban yang tak biasa (non rutin) dalam mengkonstruksi ide-ide unik.

3. Disposisi Matematis

Salah satu faktor yang mempengaruhi proses dan hasil belajar matematika siswa adalah disposisi matematis. Menurut Katz (1993) disposisi merupakan kecenderungan untuk berperilaku secara sadar

(consciusly), teratur (frecuently), dan sukarela (voluntary) untuk

mencapai tujuan tertentu. Sedangkan menurut Sumarmo (2012) disposisi matematis (mathematical disposition) yaitu keinginan, kesadaran, kecenderungan dan dedikasi yang kuat pada diri siswa untuk berpikir dan

(12)

berbuat secara matematik dengan cara yang positif dan didasari dengan iman, taqwa, dan ahlak mulia.

Disposisi matematik siswa dapat dilihat ketika siswa menghadapi soal-soal atau tugas apakah mereka mempunyai minat, dan rasa percaya diri untuk mencoba menyelesaikan dengan berbagai alternatif dan merefleksikan pemikiran mereka sendiri. Disposisi diperlukan siswa saat menghadapi permasalahan atau soal matematika yang menantang. Agar siswa tidak mudah menyerah dan berusaha untuk menyelesaikan masalah matematis diperlukan disposisi matematis yang tinggi. Beberapa sikap yang dapat menumbuhkan disposisi matematis adalah antusias dalam belajar matematika, tidak mudah menyerah dalam menghadapi soal, percaya diri, rasa ingin tahu, dan berusaha mencari alternatif dalam memecahkan masalah. Sikap dan kebiasaan berpikir yang baik pada hakekatnya akan membentuk dan menumbuhkan disposisi matematis

(mathematical disposition)(Sugilar, 2013).

Polking (Sumarmo, 2012) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan : a) rasa percaya diri dalam menggunakan matematik, memecahkan masalah, memberi alasan dan mengkomunikasikan gagasan; b) fleksibilitas dalam meyelidiki gagasan matematik dan berusaha mencari metode alternatif dalam memecahkan masalah; c) tekun mengerjakan tugas matematik; d) minat, rasa ingin tahu dan daya temu dalam melakukan tugas matematik; e) cenderung memonitor, merefleksikan performance dan penalaran mereka sendiri; f)

(13)

menilai aplikasi matematika kesituasi lain dalam matematika dan pengalaman sehari-hari; g) apresiasi peran matematika dalam kultur dan nilai, matematika sebagai alat, dan sebagai bahasa.

Pendapat lain menurut Kilpatrick, Swafford, dan Findell (Syaban, 2013) yang menamakan disposisi matematis sebagai productive

disposition (disposisi produktif), yakni pandangan terhadap matematika

sebagai sesuatu yang logis, dan menghasilkan sesuatu yang berguna dengan menunjukkan gairah dalam belajar matematika, menunjukkan perhatian yang serius dalam belajar, menunjukkan kegigihan dalam menghadapi permasalahan, menunjukkan rasa percaya diri dalam belajar dan menyelesaikan masalah, menunjukkan rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan untuk berbagi dengan orang lain. Selain itu menurut Standar 10 NCTM (2000) (Sumarmo, 2012) mengemukakan bahwa disposisi matematik menunjukkan : rasa percaya diri, ekspektasi dan metakognisi, gairah dan perhatian serius dalam belajar matematika, kegigihan dalam menghadapi dan menyelesaiakan masalah, rasa ingin tahu yang tinggi, serta kemampuan berbagi pendapat dengan orang lain.

Dari berbagai pengertian di atas maka dapat disimpulkan bahwa disposisi matematik merupakan kecenderungan berpikir dan bertindak secara matematik dengan cara yang positif seperti ketertarikan, apresiasi, dan dedikasi yang kuat terhadap matematika. Untuk mengukur disposisi matematis siswa pada penelitian ini, peneliti menggunakan beberapa indikator sebagai berikut :

(14)

a. Rasa percaya diri dalam menyelesaikan masalah matematika, mengkomunikasika ide-ide matematis dan memberikan argumentasi. b. Menerapkan metode alternatif dalam menyelesaikan masalah.

c. Gigih, tekun dalam menyelesaikan tugas-tugas matematika. d. Mempunyai minat, dan rasa ingin tahu dalam belajar matematika. e. Mengevaluasi dan merefleksi proses berpikir dan kinerja.

f. Menilai/mengaplikasikan kegunaan matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

g. Berbagi pendapat dengan orang lain. B. Hasil Penelitian Relevan

Hasil penelitian dari Isnaini, dkk (2016) menunjukkan bahwa model pembelajaran Treffinger sangat potensial untuk diterapkan dalam pembelajaran matematika dalam meningkatkan kemampuan berpikir kreatif dan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Hasil penelitian dari Sari (2015) menunjukkan bahwa model pembelajaran Treffinger berpengaruh signifikan terhadap kemampuan berpikir kritis mahasiswa dan model pembelajaran Treffinger berpengaruh signifikan terhadap kemampuan berpikirkreatif mahasiswa.

Persamaan penelitian ini dengan peneltian Isnaeni,dkk (2016) dan Sari (2015) tersebut adalah variabel bebasnya, yaitu menggunakan pembelajaran

Treffinger. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian relevan adalah

penelitian menggunakan pembelajaran Treffinger terhadap variabel terikatnya yaitu disposisi matematis siswa.

(15)

Hasil penelitian dari Sugilar (2013) menunjukkan bahwa kemampuan berpikir kreatif siswa yang mengikuti pembelajaran generatif lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran matematika secara konvensional dan disposisi matematik siswa yang mengikuti pembelajaran matematika melalui pembelajaran generatif lebih baik daripada siswa yang mengikuti pembelajaran matematika secara konvensional. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Sugilar (2013) adalah variabel terikatnya, yaitu disposisi matematis siswa. Sedangkan perbedaannya adalah pada variabel bebasnya, yaitu pembelajaran Treffinger.

C. Kerangka Pikir

Hasil belajar matematika dipengaruhi oleh dua aspek, yaitu kognitif dan afektif. Salah satu aspek kognitif adalah kemampuan berpikir divergen. Kemampuan berpikir divergen merupakan kemampuan dalam mengkontruksi atau menghasilkan lebih dari satu ide atau alternatif jawaban yang masuk akal dan tak biasa (non rutin) sebagai suatu solusi dalam pemecahan masalah. Sedangkan aspek lainnya yaitu aspek afektif. Salah satu aspek afektif adalah disposisi matematis. Disposisi matematis adalah kecenderungan berpikir dan bertindak secara matematik dengan cara yang positif seperti ketertarikan, apresiasi, dan dedikasi yang kuat terhadap matematika.

Model pembelajaran yang memungkinkan dikembangkannya kemampuan berpikir divergen dan disposisi matematis dalam pembelajaran matematika adalah pembelajaran Treffinger. Model pembelajaran ini merupakan salah satu model yang menangani masalah kreativitas secara

(16)

langsung dan memberikan saran-saran praktis bagaimana mencapai keterpaduan, yang melibatkan keterampilan kognitif dan afektif pada setiap levelnya.

Pembelajaran Treffinger merupakan model yang sangat mendukung kemampuan berpikir divergen dan disposisi matematis siswa untuk berkembang. Langkah dari proses pembelajaran Treffinger mampu mendukung indikator kemampuan berpikir divergen dan berkaitan dengan indikator disposisi matematis siswa. Salah satu proses pembelajaran

Treffinger yaitu ketika menuliskan ide atau gagasan terkait dengan masalah

terbuka, siswa dituntut untuk mengembangkan kemampuan berpikir divergen dan ketika itu pula disposisi matematis siswa akan berkembang seperti menerapkan metode alternatif dalam menyelesaikan masalah dimana hal tersebut merupakan salah satu indikator disposisi matematis.

Jadi keterkaitan kemampuan berpikir divergen dan disposisi matematis siswa terletak dari masing-masing indikatornya, dimana kemampuan berpikir divergen mampu mengembangkan siswa dalam mengkontruksi atau menghasilkan lebih dari satu ide atau alternatif jawaban yang masuk akal dan tak biasa (non rutin) sebagai suatu solusi dalam pemecahan masalah. Sedangkan disposisi matematis mampu mengembangkan siswa dalam menghadapi soal-soal atau tugas apakah mereka mempunyai minat, dan rasa percaya diri untuk mencoba menyelesaikan dengan berbagai alternatif dan merefleksikan pemikiran mereka sendiri. Selain itu, pembelajaran Treffinger juga sangat mendukung

(17)

perkembangan kemampuan berpikir divergen dan disposisi matematis siswa, dimana pembelajaran Treffinger dapat mengembangkan kreativitas yang dimiliki siswa, sehingga siswa mampu menggali potensi dalam menemukan ide-ide,menemukan solusi dari permasalahan yang dihadapi dengan melibatkan proses berpikir, dan dapat menilai/mengaplikasikan kegunaan matematika dalam bidang lain dan dalam kehidupan sehari-hari.

D. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Pembelajaran Treffinger berpengaruh terhadap kemampuan berpikir

divergen siswa.

Referensi

Dokumen terkait

Shooting dengan umpan pendek adalah salah satu bentuk latihan shooting yang dilakukan dengan bola yang diberikan oleh pengumpan dengan jarak pendek atau 2 meter dari tempat

a bastion of academic freedom) dalam membina kehidupan serta nilai-nilai akademik, ke depan, Institut harus dapat menyiapkan suatu sistem kelembagaan untuk keberdayaan

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat Ujian Akhir Program Studi DIII Kebidanan.. Disusun Oleh: Nuranisah

Creswell, ahli psikologi pendidikan dari University of Nebraska, Lincoln (Creswell, 1994:150-1) metode pendekatan kualitatif merupakan sebuah proses.. Untuk mengungkapkan

Kehadiran serangga permukaan tanah dibutuhkan untuk membantu dalam proses dekomposisi.Tujuan penelitian yang dilakukan adalah untuk mengetahui komposisi dan keanekaragaman

Hati membuat kolesterol, sangat banyak, sekitar ¾ gram sehari, dari berbagai sumber, termasuk asetat, suatu garam organik yang terbentuk pada metabolisme normal, kolesterol diet dan

Definisi konseptual dalam penelitian ini mencakup variabel bebas yang terdiri dari motivasi berprestasi, disiplin kerja dan kompetensi pedagogik, sedangkan variabel terikat

Contoh berikut ini membandingkan dengan perhitungan biaya tradisional dan mendemonstrasikan distorsi biaya produk yang dapat terjadi di sistem traisional.. Dual