• Tidak ada hasil yang ditemukan

PENGARUH PERIODE PEMBAHARUAN LUKA TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NURUL HAQIQI

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "PENGARUH PERIODE PEMBAHARUAN LUKA TERHADAP PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS PENYADAPAN KOPAL DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT NURUL HAQIQI"

Copied!
66
0
0

Teks penuh

(1)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

NURUL HAQIQI

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(2)

DI HUTAN PENDIDIKAN GUNUNG WALAT

NURUL HAQIQI

SKRIPSI

Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN

FAKULTAS KEHUTANAN

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

2011

(3)

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi saya yang berjudul Pengaruh Periode Pembaharuan Luka terhadap Produktivitas dan Kualitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Semua sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan manapun tidak diterbitkan dari penulis lain dan disebutkan dalam teks serta dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir skripsi ini.

Bogor, Desember 2011

Nurul Haqiqi

(4)

Walat

Nama : Nurul Haqiqi

NRP : E14070030

Menyetujui : Dosen Pembimbing

Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS NIP. 19641102 198803 1 002

Mengetahui :

Ketua Departemen Manajemen Hutan

Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP. 19630401 199403 1 001

(5)

NURUL HAQIQI. E14070030. Pengaruh Periode Pembaharuan Luka terhadap Produktivitas dan Kualitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat. Dibimbing oleh GUNAWAN SANTOSA.

Salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dapat dirasakan memiliki manfaat yang besar bagi kebutuhan industri saat ini adalah kopal (getah yang berasal dari pohon Agathis sp.). Kopal biasanya digunakan untuk bahan cat, plastik, tinta cetak, tekstil dan lain-lain. Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) merupakan salah satu hutan yang dapat membantu industri pengguna kopal dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat berasal dari jenis Agathis loranthifolia.

Cara untuk meningkatkan produktivitas penyadapan kopal adalah dengan melakukan penyempurnaan teknik/metode sadapan, penggunaan stimulansia dan mengetahui periode pembaharuan luka sadapan yang optimal. Metode penyadapan yang digunakan di HPGW adalah metode Quarre dan stimulansia yang direncanakan adalah ETRAT. Kemudian untuk periode pembaharuan luka sadapan yang dilakukan di HPGW masih berdasarkan penyesuaian waktu kerja oleh para penyadap dan belum ada penetapan periode pelukaan yang sebaiknya digunakan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian mengenai periode pembaharuan luka sadapan yang bertujuan untuk mengetahui produktivitas dan kualitas kopal yang dihasilkan.

Penelitian ini menggunakan 20 contoh pohon Agathis dan masing-masing pohon diberikan 4 perlakuan yaitu periode pengambilan getah selama 3 hari sekali, 5 hari sekali, 7 hari sekali dan 9 hari sekali. Kemudian getah ditimbang (sebelum dan setelah penyimpanan dalam gudang) dan dilakukan pengujian kualitas secara visual berdasarkan SNI no. 01-5009.10-2001 meliputi uji bau, uji warna, uji kekeringan, uji ukuran butir dan uji kebersihan.

Periode pembaharuan luka sadapan memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata produktivitas kopal pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan produktivitas kopal rata-rata tertinggi yaitu pada periode 3 hari sebesar 4,72 g/quarre/hari dan terendah yaitu pada periode 9 hari sebesar 1,59 g/quarre/hari. Sedangkan pada periode 5 hari produktivitas rata-ratanya sebesar 3,49 g/quarre/hari dan pada periode 7 hari sebesar 2,70 g/quarre/hari.

Kopal periode pembaharuan luka sadapan 3 hari dan 5 hari termasuk dalam kualitas Pertama sedangkan kopal periode pembaharuan luka sadapan 7 hari dan 9 hari termasuk kualitas Utama. Jika disesuaikan dengan jumlah pohon, kemampuan penyadap, jumlah pekerja (penyadap) yang ada di Hutan Pendidikan Gunung Walat maka periode 7 hari merupakan periode yang paling efektif.

Kata kunci : periode penyadapan, produktivitas kopal, kualitas kopal, penyadapan kopal

(6)

NURUL HAQIQI. E14070030. The Influence of Tapping Period on the Productivity and Quality of Copal Tapping in Gunung Walat University Forest. Supervised by GUNAWAN SANTOSA.

One of the Non Timber Forest Products which had a large use for industrial needs at the moment is copal (resins that comes from the Agathis sp. tree ). Copal is usually used for paint, plastic, printing ink, textile, and others. Gunung Walat University Forest is one of the forests that can help copal-using industries in fulfilling its raw material needs. The copals in the Gunung Walat University Forest comes from the Agathis loranthifolia kind.

The method to increase copal tapping productivity is by completing tapping technique/method, the use of stimulants and knowing the optimum period of tapping. The tapping methods that applied in Gunung Walat University Forest is the Quarre method and the stimulants that will be planed is ETRAT. However for the tapping period that applied in Gunung Walat University Forest are still based on the adjustment of work hours by the tappers and have not yet established which period is best utilized. Therefore, research about tapping period is required which objective is to detect the productivity and quality of copal produced.

This research uses 20 Agathis trees sample and each tree was given 4 treatments which is resin-collecting once in every 3, 5, 7, and 9 days. The resins weighted (before and after storage in warehouse) and quality tested visually based on SNI no 01-5009.10-2001 including odor test, color test, parched test, grain size test and hygiene test.

The tapping period can give significant influence on average copal productivity on a confidence level of 95% (α = 0,05) with the highest average total copal productivity on a 3 day period of 4,72 g/quarre/day and the lowest on a 9 day interval with 1,59 g/quarre/day. Whereas on a 5 day period, the average productivity was 3,49 g/quarre/day and on a 7 day period 2,70 g/quarre/day.

The copal tapping period of 3 and 5 days are in the First quality, whereas the copal tapping period of 7 and 9 days are in the Prime quality. If adjusted with the number of trees, tapping ability, the number of workers (tappers) that is in the Gunung Walat University Forest then an 7 day period is the most effective one. Key word: tapping period, copal productivity, copal quality, copal tapping

(7)

Penulis dilahirkan di kota Bogor (Jawa Barat) pada tanggal 7 Februari 1989 sebagai anak pertama dari empat bersaudara dari pasangan bapak Abdul Mulus, A.Ma dan ibu Khodijah.

Penulis memulai pendidikan di TK. Mekar Bogor pada tahun 1995 dan lulus pada tahun 1996. Kemudian melanjutkan pendidikan ke Sekolah Dasar Negeri Purbasari 1 Bogor dan lulus pada tahun 2001. Setelah itu penulis melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri 1 Dramaga Bogor sampai dengan tahun 2004. Kemudian penulis melanjutkan pendidikan ke Madrasah Aliyah Negeri 1 Bogor sampai dengan tahun 2007. Selanjutnya pada tahun 2007, penulis diterima sebagai Mahasiswa Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima sebagai mahasiswa Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan IPB.

Selain kegiatan akademis, penulis juga mengikuti beberapa organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai anggota paduan suara IPB (Agria Swara) pada tahun 2007-2008, staf Biro Kesekretariatan FMSC (Forest Management Student Club) pada tahun 2008-2009, staf PSDM Ibaddurahman Fakultas Kehutanan pada tahun 2008-2009, staf Departemen Kewirausahaan pada tahun 2009-2010 dan anggota Paduan Suara Fakultas Kehutanan (Masyarakat Rumput) pada tahun 2008-2010.

Selama pendidikan penulis telah melaksanakan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (PPEH) di Pangandaran-Gunung Sawal Ciamis, Jawa Barat; Praktek Pengelolaan Hutan (PPH) di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi, Jawa Barat; Praktek Kerja Lapang (PKL) di PT. Restorasi Ekosistem Indonesia Kabupaten Batanghari, Jambi-Sumatera Selatan serta melakukan Magang di Litbang Kehutanan Bogor (KOFFCO SYSTEM). Sebagai salah satu syarat untuk meraih gelar Sarjana Kehutanan di Institut Pertanian Bogor, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul “Pengaruh Periode Pembaharuan Luka terhadap Produktivitas dan Kualitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat” di bawah bimbingan Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS.

(8)

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan Rahmat dan Hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai persyaratan tugas akhir yang berjudul “Pengaruh Periode Pembaharuan Luka terhadap Produktivitas dan Kualitas Penyadapan Kopal di Hutan Pendidikan Gunung Walat” dengan sebaik-baiknya. Penyusunan karya ilmiah ini merupakan salah satu persyaratan kelulusan program mayor-minor Strata Satu di Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.

Karya ilmiah ini merupakan hasil penelitian yang dilakukan di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW), Sukabumi-Jawa Barat. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari sampai dengan bulan April 2011. Cara untuk meningkatkan produktivitas penyadapan kopal adalah dengan melakukan penyempurnaan teknik/metode sadapan, penggunaan stimulansia dan mengetahui periode pembaharuan luka sadapan yang optimal. Jika disesuaikan dengan jumlah pohon, kemampuan penyadap, dan jumlah pekerja (penyadap) yang ada di Hutan Pendidikan Gunung Walat maka periode 7 hari merupakan periode yang paling efektif digunakan dalam penyadapan kopal. Selain itu, periode penyadapan 7 hari menghasilkan kopal dengan kualitas Utama.

Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih banyak kekurangan karena keterbatasan yang dimiliki. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat bagi kepentingan orang banyak, baik bagi pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat pada khususnya, maupun pihak-pihak lain pada umumnya.

Bogor, Desember 2011

(9)

Penulis memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas segala curahan rahmat dan hidayah-NYA sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini sebagai tugas akhir. Terselesaikannya penyusunan karya ilmiah ini tidak terlepas dari berbagai pihak yang telah ikut mendukung dan memberikan bantuan. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih kepada :

1. Bapak, ibu dan adik-adik serta keluarga besar H. Enjang Yusuf yang telah memberikan doa dan semangatnya kepada penulis.

2. Dr. Ir. Gunawan Santosa, MS. selaku dosen pembimbing atas nasehat, arahan dan bimbingannya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

3. Resti Meilani, S.Hut, MSi. selaku dosen penguji perwakilan dari Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata yang telah memberikan masukan dalam penulisan karya ilmiah ini.

4. Dr. Ir. Ahmad Budiaman, MSc. selaku ketua sidang dalam ujian komprehensif yang telah memberikan saran terkait penulisan karya ilmiah ini.

5. Pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) yang telah memberikan kesempatan dan bantuan dalam pelaksanaan penelitian.

6. Teman-teman seperjuangan yaitu Ika Nugraha D, Ika Octavia A.P, Rika Rizqy A, Herlina Wati, Novia Indriati, Choirida Ema W, Diajeng W.P, Tri Rohidayanti, Melati Nuswantari, Rahma Amalia serta teman-teman Manajemen Hutan 44 atas dukungan, bantuan dan semangatnya.

7. Nina Indah K, S.Hut, Annisa H, S.Hut, Luffi H, S.Hut, Ani W, S.Hut, Silvia Hermawati, SP, Gustian Taufik M, S.IK, Ridi Arif (FKH 44), Feby Lusianti (BDP 44) dan Pipit Ulfatillah J, A.Md. atas bantuan dan semangatnya dalam menyelesaikan karya ilmiah ini.

8. Semua pihak yang telah membantu yang tidak bisa disebutkan satu per satu. Bogor, Desember 2011 Penulis

(10)

DAFTAR ISI

Halaman KATA PENGANTAR ... i DAFTAR ISI ... ii DAFTAR TABEL ... iv DAFTAR GAMBAR ... v DAFTAR LAMPIRAN ... vi BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1 1.2 Perumusan Masalah ... 2 1.3 Tujuan ... 3 1.4 Manfaat Penelitian ... 3

BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu ... 4

2.2 Pohon Agathis sp. ... 4 2.3 Penyadapan Kopal ... 5 2.4 Produktivitas Kopal ... 7 2.5 Kualitas Kopal ... 8 2.6 Peranan Stimulansia ... 9 2.7 Manfaat Kopal ... 10

BAB III. METODE PENELITIAN 3.1 Waktu dan Tempat ... 11

3.2 Alat dan Bahan ... 11

3.3 Metode Penelitian ... 11

3.3.1 Jenis Data ... 12

3.3.2 Prosedur Kerja ... 12

3.3.3 Rancangan Percobaan ... 16

(11)

BAB IV. KEADAAN UMUM LOKASI PENELITIAN

4.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat ... 19

4.2Letak Geografis dan Luas Areal ... 20

4.3Keadaan Vegetasi ... 21

4.4Jenis Tanah dan Topografi ... 21

4.5Iklim ... 22

4.6Sosial dan Ekonomi Masyarakat ... 22

BAB V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Keadaan Lokasi Penelitian ... 23

5.2 Produktivitas Kopal Berbagai Macam Periode Pembaharuan Luka Sadapan ... 24

5.2.1 Produktivitas Kopal Sebelum dan Setelah Penyimpanan 24 5.2.2 Persentase Penyusutan Kopal ... 30

5.3 Kualitas Kopal Secara Uji Visual ... 31

5.4 Kekurangan dan Kelebihan Masing-Masing Periode Pembaharuan Luka Sadapan ... 35

BAB VI. KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan ... 38

6.2 Saran ... 38

DAFTAR PUSTAKA ... 39

(12)

DAFTAR TABEL

No. Halaman

1. Persyaratan khusus mutu kopal ... 16 2. Bagan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan ... 17 3. Analysis of Variance ( ANOVA) ... .. 17 4. Analisis ragam pengaruh periode pembaharuan luka terhadap

produktivitas penyadapan kopal ... 29 5. Hasil Uji Duncan pengaruh periode pembaharuan luka terhadap

produktivitas penyadapan kopal ... 30 6. Persentase pengujian kualitas kopal menurut ukuran butir ... 32 7. Data hasil pengujian kualitas kopal secara visual ... 33 8. Kekurangan dan kelebihan masing-masing periode pembaharuan

(13)

DAFTAR GAMBAR

No. Halaman

1. Penyadapan kopal dengan metode Quarre ... 13

2. Posisi atau arah perlakuan penyadapan dengan sistem putar ... 13

3. Penimbangan berat kopal dan penyimpanan kopal dalam gudang ... 14

4. Contoh uji warna kopal ... 15

5. Contoh uji ukuran butir ... 15

6. Sketsa lokasi HPGW ... 21

7. Kondisi tegakan Agathis di lokasi penelitian ... 23

8. Produktivitas rata-rata kopal sebelum penyimpanan (g/quarre/hari) 25 9. Kecenderungan produktivitas rata-rata kopal periode 3, 5, 7, 9 hari (g/quarre/hari) ... 27

10. Produktivitas rata-rata kopal setelah penyimpanan (g/quarre/hr) .... 28

11. Persentase penyusutan kopal ... 30

12. Contoh warna kopal periode 3, 5, 7 dan 9 hari ... 34

13. Contoh kopal yang masih lengket ... 35

(14)

DAFTAR LAMPIRAN

No. Halaman

1. Data produktivitas kopal periode 3 hari sebelum penyimpanan ... 42

2. Data produktivitas kopal periode 5 hari sebelum penyimpanan ... 43

3. Data produktivitas kopal periode 7 hari sebelum penyimpanan ... 44

4. Data produktivitas kopal periode 9 hari sebelum penyimpanan ... 45

5. Data produktivitas kopal periode 3 hari setelah penyimpanan ... 46

6. Data produktivitas kopal periode 5 hari setelah penyimpanan ... 47

7. Data produktivitas kopal periode 7 hari setelah penyimpanan ... 48

8. Data produktivitas kopal periode 9 hari setelah penyimpanan ... 49

9. Rekapitulasi rata-rata produktivitas kopal ... 50

10. Persentase penyusutan kopal ... 51

11. Hasil analisis ragam dan Uji Duncan pengaruh periode pembaharuan luka sadapan ... 52

(15)

BAB I

PENDAHULUAN

1.1Latar Belakang

Saat ini sektor kehutanan memandang hutan sebagai sistem sumberdaya alam yang bersifat multi fungsi dan multi kepentingan sehingga pemanfaatannya diarahkan untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Pemanfaatannya tersebut tidak hanya berupa kayu yang dapat dimanfaatkan untuk kebutuhan masyarakat, akan tetapi produk Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) juga merupakan salah satu hasil hutan yang memiliki keunggulan tersendiri.

Salah satu Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) yang dapat dirasakan memiliki manfaat yang besar bagi kebutuhan industri saat ini adalah kopal (getah yang berasal dari pohon Agathis sp. famili Araucariaceae). Menurut Ando dan Wiyono (1988) dalam Santosa (2006), kopal merupakan senyawa harsa (resin) alami yang mempunyai senyawa yang kompleks, tidak larut dalam air, rapuh, larut dalam beberapa pelarut organik, meleleh bila dipanaskan dan mudah terbakar dengan mengeluarkan asap. Kopal biasanya digunakan untuk bahan cat, vernis, plastik, tinta cetak, spiritus, tekstil dan lain-lain. Pada tahun 1939 Indonesia mengekspor 88% kopal dari produksi dunia. Dari 88% ekspor negara, 70% berasal dari Maluku dan sisanya dari Sulawesi (Manuputty 1955). Pada tahun 2009, produksi kopal di Indonesia sebanyak 414 ton (Statistik Kehutanan Indonesia 2011).

Dalam memenuhi kebutuhan industri pengguna kopal, perlu dilakukan suatu usaha agar pohon Agathis (Agathis loranthifolia) di Hutan Pendidikan Gunung Walat dapat memproduksi kopal yang lebih banyak. Cara-cara yang perlu dipertimbangkan dalam meningkatkan produktivitas penyadapan kopal adalah penggunaan stimulansia, penyempurnaan teknik/metode sadapan (keahlian para penyadap kopal) dan penentuan periode pengambilan getah yang optimal. Teknik/metode sadapan berpengaruh terhadap cara pemungutan kopal dilapangan. Menurut Santosa (2011), penggunaan stimulansia dapat memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dalam saluran getah serta mempengaruhi tekanan turgor dinding sel

(16)

sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lama.

Metode penyadapan yang biasanya digunakan di HPGW adalah metode Quarre dan stimulansia yang direncanakan adalah ETRAT (campuran ethylene dan stimulansia organik) , namun untuk periode pembaharuan luka sadapan yang dilakukan di HPGW masih berdasarkan penyesuaian waktu kerja oleh para penyadap dan belum ada penetapan periode pelukaan yang sebaiknya digunakan. Oleh karena itu, diperlukan adanya penelitian mengenai periode pembaharuan luka sadapan. Selain mempengaruhi produktivitas kopal, periode pembaharan luka sadapan juga mempengaruhi kualitas kopal.

1.2Perumusan Masalah

Hutan Pendidikan Gunung Walat merupakan salah satu hutan penghasil kopal dari pohon Agathis (Agathis loranthifolia) yang dapat membantu industri pengguna kopal dalam memenuhi kebutuhan bahan bakunya. Saat ini, produksi jumlah kopal yang dihasilkan di HPGW masih belum maksimal. Oleh karena itu, dibutuhkan suatu cara agar produktivitas kopal dapat meningkat. Salah satu cara untuk meningkatkan produktivitas penyadapan kopal adalah dengan melakukan penyempurnaan teknik/metode sadapan (keahlian para penyadap kopal), penggunaan stimulansia dan mengetahui periode pembaharuan luka sadapan yang optimal .

Metode Quarre merupakan metode/teknik penyadapan yang digunakan di HPGW dan stimulansia yang direncanakan untuk meningkatkan produktivitas kopal yaitu ETRAT, akan tetapi belum ada penentuan periode pelukaan yang optimal sehingga diperlukan adanya penelitian. Penentuan periode pelukaan sangat diperlukan karena mempengaruhi produktivitas kopal dan kualitas kopal.

(17)

1.3 Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Mengetahui pengaruh berbagai periode pembaharuan luka terhadap produktivitas kopal.

2. Mengetahui pengaruh periode pembaharuan luka terhadap kualitas kopal yang dihasilkan.

1.4Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini dapat digunakan oleh pihak Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) sebagai informasi atau acuan dalam menentukan periode pelukaan optimal penyadapan kopal guna meningkatkan produktivitas dan kualitas kopal yang baik sehingga dapat membantu memenuhi bahan baku industri pengguna kopal.

(18)

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2. 1 Pengertian Hasil Hutan Bukan Kayu

FAO (1995) dalam Hidayati (2005) menyatakan bahwa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) adalah komoditi baik berupa barang yang diperoleh dari makhluk hidup (terkecuali kayu) maupun jasa yang dihasilkan dari hutan dan lahan lainnya.

FAO memperkirakan 80% dari populasi penduduk di negara berkembang menggunakan HHBK untuk kebutuhan bagi kesehatan dan nutrisi. Peran HHBK untuk saat ini pun semakin lama semakin meningkat. Pada tahun 1999 diperkirakan nilai perdagangan HHBK di dunia mencapai US$1,100 juta, dengan rata-rata tingkat pertumbuhan pasarnya 20%/tahun (Dephut 2009).

Contoh HHBK menurut Statistik Kehutanan Indonesia (2011) yaitu rotan, gondorukem, damar, terpentin, kopal, arang, gaharu, kemendangan, minyak kayu putih, madu, kokon, dan benang sutera.

2.2 Pohon Agathis sp.

Agathis sp. merupakan famili Araucariaceae dengan nama daerah Damar sigi, Kayu sigi (Sumatra); Damar, Ki dammar (Jawa); Bindang, Damar bindang, Damar pilau (Kalimantan); Damar, Damar kapas, Damar warna, Hulu sinua (Sulawesi); Damar puti, Damar raja, Koano, Kolano (Maluku); Damar putih, Damar papeda, Kesi, Kosima (Irian Jaya). Daerah penyebarannya Sumatra Barat, Sumatra Utara, seluruh Kalimantan, Jawa, Sulawesi, Maluku, dan Irian Jaya. Tinggi pohon dapat mencapai 55m. Panjang Batang bebas cabang 12-25 m, diameter 150 cm atau lebih, bentuk batang silindris dan lurus. Tajuk berbentuk kerucut dan berwarna hijau dengan percabangan mendatar melingkari batang. Kulit luar berwarna kelabu sampai coklat tua, mengelupas kecil-kecil berbentuk bundar atau bulat telur. Pohon tidak berbanir dan mengeluarkan damar yang lazim disebut kopal (Martawijaya et al. 2005).

(19)

Whitmore (1977) menyatakan bahwa kopal merupakan eksudat dari kulit pohon Damar yang merupakan cairan kental berwarna jernih atau putih yang semakin lama semakin keras setelah terkontaminasi dengan udara. Menurut SNI (2001), kopal adalah getah padat yang diperoleh dari pohon Agatis (Agathis sp.), yang umumnya berwarna kuning bening atau kuning pucat.

Menurut Tantra (1976) dalam Hendrayus (1992), Agathis di Indonesia terdiri dari 3 jenis, yaitu:

1. Agathis loranthifolia Salisb, Agathis philippinensis Warb, Agathis celebica Warb, Agathis macrostachys Warb, Agathis hamii M. Dr, Agathis beckingi M. Dr. dan Agathis alba, yang ditanam di Jawa dengan sinonim Agathis dammara Rich.

2. Agathis borneensis Warb dengan sinonim Agathis baccani Warb, Agathisendertii M. Dr, Agathis latifolia M. Dr, Agathis rhomboidalis Warb, Agathis flevescens Ridl.

3. Agathis labillardieri Warb yang tumbuh di Irian Jaya.

2. 3 Penyadapan Kopal

Riyanto (1980) menyatakan bahwa ada 4 macam cara penyadapan kopal, yaitu :

1. Cara primitif, yaitu cara yang dilakukan dengan memukuli kulit Agathis dengan batu pada batang setinggi 1,0 m sampai dengan 1,5 m. Kulit yang luka mengeluarkan getah dan mengalami peradangan kondisi demikian dapat menyebabkan pembusukan dan kanker batang.

2. Cara tradisional, yaitu cara penyadapan yang menggunakan kudi (semacam parang dengan bagian tengah membentuk busur) sebagai alatnya. Bagian tengah alat ini digunakan untuk membuat luka sadapan dengan mencacah secara acak pada sekeliling pohon setinggi 1,0 m sampai dengan 1,5 m. Setelah enam hari kopal mengental dan dipungut sekaligus dilakukan pembaharuan sadapan. Cara ini meninggalkan bekas-bekas kallus yang tumbuh tidak teratur dan juga dapat menyebabkan pembusukan batang.

(20)

3. Cara Penyadapan menurut PK No. 13/1977 Unit I Jawa Tengah

Menurut petunjuk kerja penyadapan ini, pohon dimulai pada umur 35 tahun dengan diameter batang telah mencapai 50 cm. Luka dibuat dengan membagi batang menjadi dua irisan sadapan yang berlawanan arah, irisan pertama lebarnya 1,0 cm dengan kedalaman setebal kulit, panjang sekitar 40 cm membentuk sudut 60° terhadap arah tegak. Irisan satu dengan lainnya berjarak 15 cm, dimana titik irisan pertama berjarak 60 cm dari permukaan tanah, pembaharuan setiap minggu selebar 0,5 cm. Kelemahan metode ini yaitu waktu pengerjaan relatif lama dan menurunnya hasil kopal yang diperoleh.

4. Cara koakan, yaitu cara penyadapan yang menggunakan alat sadap berupa kadukul dengan mencacah pada bagian permukaan batang pohon pada ketinggian 0,5 m sampai dengan 1 m dari pangkal pohon dan berukuran 10 cm x 5 cm. Cara ini dikembangkan sejak pertengahan tahun 1979 oleh KPH Banyumas Timur.

Menurut Vlies dan Tames dalam Manuputty (1955), saluran-saluran damar terdapat pada kulit bagian dalam, berjalan tangensial antara kambium dan kambium gabus. Kulit bagian dalam Agathis terlihat saluran-saluran dammar yang lebar dan terang. Jika dilukai tentu terdapat aliran yang keras oleh karena banyak saluran dammar yang terpotong.

Salverda (1937) dalam Manuputty (1955) menyatakan bahwa jumlah saluran kopal yang berada dalam kulit yang masih hidup itu, semakin ke dalam semakin bertambah. Jika suatu luka dibuat pada kulit dalam, maka sesudah beberapa detik kopal mengalir dari saluran-saluran dan merupakan titik-titik pada permukaan luka itu. Jika kopal mengeras, saluran dammar itu menjadi tersumbat dan luka itu harus diperbaharui setelah kopal diambil.

Saluran kopal searah dengan putaran batang yang besarnya 10° sampai dengan 18° kearah kanan atau rata-rata 14° dari arah vertikal (Riyanto 1980).

Menurut Manuputty (1955), istilah kopal dapat dibedakan dari damar (berasal dari suku Dipterocarpaceae), perbedaan tersebut yaitu pada kopal tidak terdapat lubang-lubang udara, sulit dihaluskan, larut dalam alkohol, tidak larut dalam minyak tanah dan terpentin serta akan menyala besar jika terbakar. Sedangkan damar mempunyai banyak lubang udara, bisa dihaluskan, tidak larut

(21)

dalam alkohol, larut dalam minyak tanah dan terpentin serta akan meleleh atau menetes bila terbakar.

Penyembuhan luka pada penyadapan dengan kambium tidak terpotong menunjukkan hasil sebesar 94,4%, sedangkan jika kambiumnya terpotong penyembuhan luka tersebut hanya 11,1%. Pada penyadapan tradisional dalam periode yang sama belum terjadi penyembuhan luka. Hal ini disebabkan karena kedua cara sebelumnya kambium pohon terpotong, padahal kambium tersebut berfungsi sebagai pembentuk xylem dan floem (Sumantri dan Sastrodimedjo 1976).

2.4Produktivitas Kopal

Menurut Riyanto (1980), potensi kopal secara kuantitatif pada dasarnya dipengaruhi dua faktor pokok, yaitu :

1. Faktor pasif yang terdiri dari kualitas tempat tumbuh, umur pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik dan ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut.

2. Faktor aktif yang terdiri dari kuantitas dan kualitas tenaga sadap, perlakuan kimia, dan pelakuan mekanis, seprti penutupan luka dengan plastik.

Menurut Dulsalam dan Sumantri (1985), tutup plastik hitam dan tutup plastik putih dapat melindungi luka sadapan dari sinar matahari yang mengakibatkan getah tidak cepat beku.

Menurut Soenarno et al. (1984), faktor yang mempengaruhi hasil sadap getah kopal adalah teknik/sistem penyadapan, keadaan sosial dan ekonomi penyadap, lingkungan tumbuh dan faktor genetis.

Vlies dan Tammes (1940) dalam Hendrayus (1992) menyatakan bahwa aliran kopal pada waktu penyadapan dipengaruhi oleh berbagai faktor diantaranya jumlah pelukaan dalam satu pohon, interval waktu pembaharuan luka, waktu penyadapan dan perlakuan pada permukaan luka sadap.

(22)

2. 5 Kualitas kopal

Menurut SNI (2001) No 01-5009.10-2001, penetapan mutu kopal dapat dilakukan dengan cara uji visual dan uji laboratorium. Penetapan mutu kopal berdasarkan uji visual meliputi uji warna, kebersihan, bau, ukuran butir kopal dan kekeringan. Penetapan mutu kopal berdasarkan uji laboratorium meliputi bilangan asam, bilangan penyabunan, titik lunak, kadar abu dan kadar kotoran. Uji laboratorium dilaksanakan apabila diperlukan atau untuk pembuatan contoh standar mutu kopal.

Cara uji visual : 1. Prinsip

Pengujian dilakukan secara visual, dengan menggunakan uji organoleptik. 2. Peralatan

Contoh standar mutu kopal, timbangan dan saringan/ayakan dengan ukuran 1 cm x 1 cm, bambu, lembaran plastik, alat pemukul (palu) dan alat penampi (tampah) dan seng rata.

3. Prosedur pengujian secara visual a. Uji warna

Membandingkan warna contoh kopal dengan warna contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup).

b. Uji ukuran butiran

Kopal diayak dengan saringan/ayakan ukuran 1 cm x 1 cm, di atas lembaran plastik. Kopal yang lolos dari ayakan disebut kopal butir kecil, sedangkan yang tidak lolos disebut kopal butir besar.

c. Uji kekeringan

Kopal diayak dengan saringan/ayakan akuran 1 cm x 1 cm. Butir kopal yang lolos dari ayakan menunjukkan butir kopal telah kering angin, sedangkan yang tidak lolos dan terlihat menggumpal/lengket, selanjutnya ditampi dengan alat penampi untuk memisahkan kopal butir besar yang kering udara dengan kopal yang masih basah/lembab, yang ditunjukkan dengan adanya butir kopal yang menggumpal/ lengket. Untuk memperbaiki mutu kopal, kopal yang masih basah/lembab dihamparkan di atas kepang

(23)

dari bambu untuk dikeringkan lebih lanjut. Kopal yang masih menggumpal/lengket sebelumnya dihancurkan dengan menggunakan alat pemukul.

d. Uji kebersihan

Membandingkan contoh kopal dengan kebersihan contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup).

e. Uji bau

Contoh kopal di uji dengan indra penciuman hingga tercium bau khas kopal.

Menurut Koppel (1988), sebelum dikirimkan ke Amerika Serikat dan Eropa, kopal mengalami pengolahan diantaranya dilakukan sortasi besarnya potongan-potongan dan mengeluarkan kotoran-kotoran atau mengerik bagian luar kopal dari debu terutama potongan-potongan yang besar agar menjadi bersih sehingga harga menjadi lebih tinggi. Apabila kopal dalam keadaan lengket dikumpulkan, maka dengan sendirinya akan banyak potongan-potongan rekahan yang ikut serta. Kopal yang lengket itu akan menggumpal menjadi satu dengan cepat dan menjadi bongkahan-bongkahan yang besar.

2. 6 Peranan Stimulansia

Penggunaan stimulansia dapat memberikan efek panas terhadap getah sehingga getah lebih lama dalam keadaan cair dan mudah mengalir keluar dalam saluran getah serta mempengaruhi tekanan turgor dinding sel sehingga getah cepat keluar dan saluran getah dapat terbuka dalam waktu yang relatif lama. ETRAT merupakan formulasi terbaru dimana mengandung ZPT (Ethylene) dan stimulansia organik dalam satu larutan. Dengan demikian ETRAT mempunyai 2 fungsi yaitu meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. Ethylene adalah senyawa berbentuk gas, senyawa ini dapat memaksa pematangan buah, menyebabkan daun tanggal dan merangsang penuaan. Tanaman sering meningkatkan produksi ethylene sebagai respon terhadap strees dan sebelum mati.   Pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan ethylene di dalam tanaman ( ethylene endogen) dan adanya stress (pembuatan luka sadap). Dengan demikian peningkatan produksi getah

(24)

dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (eksogen) yang mana akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan (Santosa 2011).

Stimulansia pada hakekatnya berfungsi sebagai perangsang etilen pada tanaman dan selanjutnya menaikkan tekanan osmosis serta tekanan turgor yang menyebabkan aliran getah bertambah cepat dan lebih lama. Etilen pada hakekatnya adalah suatu hormon pertumbuhan yang banyak berperan pada perubahan suatu tanaman, antara lain terjadi perubahan dalam membran yang permeabel dari dinding saluran getah sehingga selama ada aliran getah, air masuk dalam saluran getah dan jaringan-jaringan disekitarnya (Moir 1970 dalam Hidayati 2005).

Menurut Whitmore (1977), bahan kimia yang dapat digunakan untuk merangsang keluarnya getah kopal antara lain asam sulfat, kreosot, seng sulfida, amoniak dan lain sebagainya.

2.7 Manfaat kopal

Menurut Sutisna et al. (1998), kopal digunakan sebagai bahan pernis, linoleum, dupa, cat, dll. Menurut Komesakh dan Pertadiredja (1973) dalam Hendrayus (1992), penyadapan pohon Agathis mulai berkembang sejak tahun 1870 saat industri cat dan vernis mulai berkembang di Eropa dan Amerika.

Menurut Radjiman (1997) dalam Santosa (2006), manfaat kopal adalah untuk pembuatan bahan vernis, linoleum, pembuatan cat reflektor, bahan cat jalan raya, minyak cat, kemenyan obor, bahan untuk membuat kulit dan pencegah gigitan pacet.

Menurut Sumadiwangsa (1973) dalam Santosa (2006), kopal digunakan untuk bahan cat, vernis, spiritus, lak merah, email, plastik, vernis bakar, bahan sizing, bahan pelapis untuk tekstil, linoleum, water proofing, tinta cetak, perekat dan cairan pengering.

(25)

3. 1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan pada tanggal 21 Februari sampai dengan 9 April 2011 di Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat.

3. 2 Alat dan Bahan

Alat yang digunakan adalah golok, pisau sadap (kudikoni), paku, palu, talang-penampung kopal, plastik (12 cm × 25 cm), sprayer, timbangan digital, kawat penyaring (1cm×1cm), pita ukur, tally sheet, kuas, kompas, GPS, kamera digital, trash bag, alat penampi (tampah plastik) dan alat tulis. Alat yang digunakan untuk pengolahan data adalah kalkulator dan komputer dengan program statistik software SPSS 16. Sedangkan bahan yang digunakan adalah pohon Agathis (Agathis loranthifolia), cat berwarna putih dan ETRAT 12.40 (produk dari CV. Permata Hijau Lestari).

3. 3 Metode Pengumpulan Data

Penelitian ini dilakukan dengan cara menyadap 20 pohon contoh Agathis yang berdiameter minimal 38 cm dengan menggunakan metode Quarre dan diberi ETRAT (12.40). Setiap pohon contoh mewakili 4 perlakuan yaitu pembaharuan luka periode 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari. Kemudian arah penyadapan masing-masing perlakuan dilakukan sistem putar. Penelitian ini dilakukan selama 45 hari dengan masing-masing jumlah pengulangan hasil panen yaitu untuk periode 3 hari sebanyak 15 kali panen, perode 5 hari sebanyak 9 kali panen, periode 7 hari sebanyak 6 kali panen dan periode 9 hari sebanyak 5 kali panen. Selain itu, kopal hasil penyadapan akan diuji kualitasnya secara visual yaitu dengan uji warna, uji kekeringan, uji bau, uji kebersihan dan uji butiran.

(26)

3.3.1 Jenis Data

Jenis data yang diperlukan dalam penelitian ini adalah data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data-data yang diperoleh langsung di lapangan, seperti berat kopal (g/quarre/hari) yang diperoleh dari hasil penyadapan. Sedangkan data sekunder merupakan data-data yang sudah ada sebelumnya berdasarkan arsip/informasi yang ada di HPGW, seperti sejarah HPGW, letak dan luas areal, keadaan lokasi dan kondisi tegakan serta kondisi sosial masyarakat.

3.3.2 Prosedur Kerja

Prosedur kerja dibagi-bagi kedalam beberapa tahapan utama yaitu : 1. Persiapan lokasi penyadapan, alat dan bahan.

2. Penyadapan kopal dengan metode Quarre.

Langkah-langkah penyadapan kopal dengan metode Quarre adalah sebagai berikut :

a. Pembersihan kulit bagian batang yang akan disadap setebal 3 mm, lebar 20 cm dan tinggi 70 cm, ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah.

b. Pembuatan bidang sadap pada pohon contoh yang sudah dibersihkan dengan menggunakan kapak. Ukuran bidang sadap 10 cm×10 cm. Bidang sadapan pertama dibuat pada ketinggian 20 cm di atas permukaan tanah. Kedalaman pembaharuan luka sadapan 2 cm (tidak mengenai kayu) dengan lebar 10 cm.

c. Pemasangan talang-penampung getah pada bagian bawah luka sadapan pertama.

d. Pemberian ETRAT (12.40) dengan cara menyemprotkannya pada luka sadapan sebanyak 1 cc/ koakan (satu kali semprotan).

e. Penandaan masing-masing perlakuan di kulit kayu pada setiap pohon (periode 3 hari, periode 5 hari, periode 7 hari dan periode 9 hari) menggunakan spidol permanen.

f. Selanjutnya pembaharuan luka sadapan dilakukan sesuai perlakuan (3 hari sekali, 5 hari sekali, 7 hari sekali dan 9 hari sekali). Pembaharuan luka

(27)

sadapannya ke arah atas dengan lebar 10 cm dan tinggi 1 cm dari luka sadapan pertama.

Gambar 1 Penyadapan kopal dengan metode Quarre.

Kemudian dalam penyadapan kopal dilakukan 4 perlakuan pada masing-masing pohon. Posisi atau arah perlakuan tersebut dengan menggunakan sistem putar yang searah jarum jam. Penggambarannya adalah sebagai berikut :

P.3 P.9 Utara 55555li P.9 P.5 P.7 P.3 P.7 P.7 P.5 Pohon 1 Pohon 2

Gambar 2 Posisi atau arah perlakuan penyadapan dengan sistem putar. Keterangan :

P.3 = Periode pelukaan 3 hari P.5 = Periode pelukaan 5 hari P.7 = Periode pelukaan 7 hari P.9 = Periode pelukaan 9 hari

(28)

Pohon 1 dilakukan perlakuan yang dimulai dengan pelukaan periode 3 hari ke arah utara, periode pelukaan 5 hari ke arah timur, periode pelukaan 7 hari ke arah selatan dan periode pelukaan 9 hari ke arah barat. Kemudian untuk pohon selanjutnya yaitu pohon 2, pelukaan berputar searah jarum jam yang dimulai dengan periode pelukaan 9 hari ke arah utara sehingga untuk periode pelukaan yang 3 hari bergeser menjadi ke arah timur, periode pelukaan 5 hari ke arah selatan dan periode pelukaan 7 hari ke arah barat, begitu pula pergeseran pada pohon-pohon berikutnya.

3. Pengukuran penyusutan berat kopal

Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut : a. Penimbangan kopal sebelum penyimpanan dalam gudang

Kopal dalam seng penampung dimasukkan kedalam plastik ukuran 12 cm × 25 cm. Penimbangan kopal dengan menggunakan timbangan digital. Berat kopal (g) = (berat kopal dan plastik)-berat plastik bersih

b. Penimbangan kopal setelah penyimpanan dalam gudang

Kopal yang sudah disimpan dalam gudang penyimpanan, kemudian ditimbang kembali menggunakan timbangan digital.

Berat kopal (g) = (berat kopal dan plastik)-berat plastik bersih

Gambar 3 Penimbangan berat kopal dan penyimpanan kopal dalam gudang. c. Perhitungan persentasi penyusutan

Penyusutan (%)= (berat awal-berat setelah penyimpanan)× 100% berat awal

(29)

4. Pengujian kualitas kopal

Pengujian kualitas kopal secara visual berdasarkan SNI No. 01-5009.10-2001 (2001), yaitu dengan uji warna, uji ukuran butir, uji kebersihan, uji bau dan uji kekeringan pada akhir periode. Langkah-langkah yang dilakukan adalah sebagai berikut :

a. Uji warna

Membandingkan warna contoh kopal dengan warna contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup).

Gambar 4 Contoh uji warna kopal. b. Uji ukuran butiran

Kopal diayak dengan saringan/ayakan ukuran 1 cm x 1 cm, di atas lembaran plastik. Kopal yang lolos dari ayakan disebut kopal butir kecil, sedangkan yang tidak lolos disebut kopal butir besar.

(30)

c. Uji kekeringan

Kopal diayak dengan saringan/ayakan akuran 1 cm x 1 cm. Butir kopal yang lolos dari ayakan menunjukkan butir kopal telah kering angin, sedangkan yang tidak lolos terlihat menggumpal/lengket, selanjutnya ditampi dengan alat penampi untuk memisahkan kopal butir besar yang kering udara dengan kopal yang masih basah/lembab.

d. Uji kebersihan

Membandingkan contoh kopal dengan kebersihan contoh standar mutu kopal pada tempat yang terang (dengan penerangan yang cukup).

e. Uji bau

Contoh kopal di uji dengan indra penciuman hingga tercium bau khas kopal. Kemudian penentuan kualitas kopal U (utama) dan P (pertama) dilakukan dengan persyaratan yang sesuai pada tabel 1 berdasarkan SNI (Standar Nasional Indonesia) No. 01-5009.10-2001 tahun 2001.

Tabel 1 Persyaratan khusus mutu kopal Jenis Uji Satuan

Persyaratan Kualitas Kopal

U (Utama) P (Pertama) 1. Uji Visual

a. Warna - Kuning bening - pucat -

b. Ukuran butir - Besar Kecil

c. Kekeringan - Kering angin -

2. Uji Laboratorium

a. Kadar kotoran % Maks 2,0 Maks 5,0 b. Kadar abu % Maks 0.25 Maks 0,5

3.3.3 Rancangan Percobaan

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Rancangan Acak Lengkap (Completely Randomize Design) dimana respon tersebut terdiri dari berbagai macam perlakuan yaitu pembaharuan luka sadapan periode 3 hari, 5 hari, 7 hari dan 9 hari. Bagan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan disajikan dalam tabel 2.

(31)

Tabel 2 Bagan rancangan acak lengkap dengan 4 perlakuan Ulangan Pohon

Contoh

Periode Pembaharuan Luka Sadapan 3 hari 5 hari 7 hari 9 hari

1 YI1k YII1k YIII1k YIV1k

2 YI2k YII2k YIII2k YIV2k

3 YI3k YII3k YIII3k YIV3k

4 YI4k YII4k YIII4k YIV4k

5 YI5k YII5k YIII5k YIV5k

…. …. …. …. ….

20 YI20k YII20k YIII20k YIV20k

Rata-rata YI YII YIII YIV

Keterangan :

Yijk = Produktivitas kopal pada perlakuan ke-i, ulangan ke-j dan periode panen ke-k

i = I, II, III, IV

I : Pembaharuan luka sadapan periode 3 hari II : Pembaharuan luka sadapan periode 5 hari III : Pembaharuan luka sadapan periode 7 hari IV : Pembaharuan luka sadapan periode 9 hari j = Ulangan pohon contoh (1,2,3,…,20)

k = Frekuensi panen kopal (1,2,3,…,15) 3.3.4Analisis Data

Pengaruh faktor perlakuan berdasarkan periode pembaharuan luka terhadap peningkatan produktivitas kopal dapat dilakukan dengan analisis ragam atau Analysis of Variance (ANOVA).

Tabel 3 Analysis of Variance (ANOVA) Sumber Derajat Bebas (dB) Jumlah Kuadrat (JK) Kuadrat Tengah (KT) Fhit Regresi t-1 JKR KTR KTR/KTS Sisa t(r-1) JKS KTS Total tr-1 JKT Hipotesis :

Pengujian terhadap pengaruh periode pembaharuan luka H0 : τ1 = τ2 = …….τi = 0

(32)

H1 : sekurangnya ada satu τi ≠ 0

Terima H0 : Perbedaan taraf perlakuan tidak memberikan pengaruh nyata

terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05). Terima H1 : Sekurang-kurangnya ada taraf perlakuan yang memberikan

pengaruh nyata terhadap respon percobaan pada selang kepercayaan 95% (α=0,05).

Hasil uji F-hitung yang diperoleh dari ANOVA dibandingkan dengan F-tabel pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05) dengan kaidah :

1. Jika F-hitung < F-tabel maka H0 diterima, H1 ditolak sehingga perlakuan

memberikan pengaruh tidak nyata terhadap produktifitas kopal pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).

2. Jika F-hitung > F-tabel, maka H0 ditolak, H1 diterima sehingga perlakuan

memberikan pengaruh nyata terhadap produktifitas kopal pada selang kepercayaan 95% (α = 0,05).

Pengaruh faktor perlakuan berdasarkan periode pembaharuan luka terhadap peningkatan produktivitas kopal dilakukan dengan Analisis Ragam atau Analysis of Variance (ANOVA) dengan tingkat kepercayaan 95%. Apabila perlakuan memberikan pengaruh nyata terhadap produktivitas kopal, maka dilakukan pengujian lanjut dengan Uji Duncan menggunakan Software SPSS 16 untuk mengetahui kelompok perlakuan yang berbeda nyata dalam meningkatkan produktivitas kopal.

(33)

1.1 Sejarah Hutan Pendidikan Gunung Walat

Berdasarkan SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005, fungsi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) dengan luas 395 Ha adalah sebagai Kawasan Hutan Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) dan pengelolaannya diserahkan kepada Fakultas Kehutanan IPB. KHDTK HPGW mengemban tujuan khusus yakni sebagai Hutan Pendidikan dan Pelatihan (Hutan Diklat). HPGW dikelola sebagai media implementasi Tridharma Fakultas Kehutanan IPB yang meliputi fungsi pendidikan, penelitian dan pengabdian masyarakat.

Sejarah awal berdirinya HPGW dimulai pada tahun 1951. Pada tahun tersebut kawasan Hutan Gunung Walat sudah mulai ditanami pohon damar (Agathis loranthifolia). Hutan yang ditanam pada tahun 1951-1952 tersebut saat ini telah berwujud sebagai tegakan hutan damar yang lebat di sekitar basecamp. Kemudian pada tahun 1967, Institut Pertanian Bogor (IPB) melakukan penjajakan kerjasama dengan Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat dan Direktorat Jenderal Kehutanan Departemen Pertanian untuk mengusahakan Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan.

Pada tahun 1968 Direktorat Jenderal Kehutanan memberikan bantuan pinjaman Kawasan Hutan Gunung Walat kepada IPB untuk digunakan seperlunya bagi pendidikan kehutanan yang dikelola oleh Fakultas Kehutanan IPB. Kemudian tahun 1969 diterbitkan Surat Keputusan Kepala Jawatan Kehutanan Daerah Tingkat I Jawa Barat No. 7041/IV/69 tertanggal 14 Oktober 1969 yang menyatakan bahwa Hutan Gunung Walat seluas 359 Ha ditunjuk sebagai Hutan Pendidikan yang pengelolaannya diserahkan kepada IPB.

SK Menteri Pertanian RI No. 008/Kpts/DJ/I/73 tentang penunjukan komplek Hutan Gunung Walat menjadi Hutan Pendidikan Gunung Walat (HPGW) pada tahun 1973 diterbitkan. Pengelolaan kawasan hutan Gunung Walat seluas 359 Ha dilaksanakan oleh IPB dengan status hak pakai sebagai hutan pendidikan dan dikelola Unit Kebun Percobaan IPB dengan jangka waktu 20 tahun. Pada tahun 1973 penanaman telah mencapai 53%. Tahun 1980 seluruh

(34)

wilayah HPGW telah berhasil ditanami berbagai jenis tanaman, yaitu damar (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), kayu afrika (Maesopsis eminii), mahoni (Swietenia macrophylla), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp.), sengon (Paraserianthes falcataria), meranti (Shorea sp.), dan mangium (Acacia mangium).

Berdasarkan SK Menteri Kehutanan No. 687/Kpts-II/1992 tentang penunjukan komplek hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan, pengelolaan kawasan hutan gunung walat sebagai hutan pendidikan dilaksanakan bersama antara Fakultas Kehutanan IPB dan Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kehutanan/Balai Latihan Kehutanan (BLK) Bogor. Keputusan ini mulai berlaku sejak tanggal 24 Januari 1993. Barulah pada tahun 2005 status hukum HPGW diperkuat dengan adanya SK Menhut No. 188/Menhut-II/2005 (Badan Eksekutif HPGW 2009).

1.2 Letak Geografis dan Luas Areal

HPGW terletak 2,4 km dari poros jalan Sukabumi-Bogor (desa segog). Dari simpang Ciawi berjarak 46 km dan dari Sukabumi 12 km. Secara Geografis Hutan Pendidikan Gunung Walat berada pada 106°48'27''BT sampai 106°50'29''BT dan -6°54'23''LS sampai -6°55'35''LS. Secara administrasi pemerintahan HPGW terletak di wilayah Kecamatan Cibadak, Kabupaten Sukabumi. Sedangkan secara administrasi kehutanan termasuk dalam wilayah Dinas Kehutanan Kabupaten Sukabumi.

Luas kawasan Hutan Pendidikan Gunung Walat adalah 359 Ha, terdiri dari tiga blok, yaitu Blok Timur (Cikatomas) seluas 120 Ha, Blok Barat (Cimenyan) seluas 125 Ha, dan Blok Tengah (Tangkalak) seluas 114 Ha (Badan Direksi HPGW 2009).

(35)

Gambar 6 Sketsa lokasi HPGW.

1.3 Keadaan Vegetasi

Tegakan Hutan di HPGW didominasi tanaman damar (Agathis loranthifolia), pinus (Pinus merkusii), puspa (Schima wallichii), sengon (Paraserianthes falcataria), mahoni (Swietenia macrophylla) dan jenis lainnya seperti kayu afrika (Maesopsis eminii), rasamala (Altingia excelsa), sonokeling (Dalbergia latifolia), gamal (Gliricidae sp.), meranti (Shorea sp.), dan mangium (Acacia mangium). Di HPGW paling sedikit terdapat 44 jenis tumbuhan, termasuk 2 jenis rotan dan 13 jenis bambu. Selain itu terdapat jenis tumbuhan obat sebanyak 68 jenis.

Potensi tegakan hutan ± 10.855 m3 kayu damar, 9.471 m3 kayu pinus, 464 m3 puspa, 132 m3 sengon, dan 88 m3 kayu mahoni. Pohon damar dan pinus juga menghasilkan getah kopal dan getah pinus. Di HPGW juga ditemukan lebih dari 100 pohon plus damar, pinus, kayu afrika sebagai sumber benih dan bibit unggul (Badan Eksekutif HPGW 2009).

1.4 Jenis Tanah dan Topografi

Jenis tanah di HPGW bersifat kompleks mulai dari podsolik, latosol dan litosol dari batu endapan dan bekuan daerah bukit, sedangkan bagian di barat daya terdapat areal peralihan dengan jenis batuan Karst, sehingga di wilayah tersebut

(36)

terbentuk beberapa gua alam karst (gamping). HPGW terletak pada ketinggian 460-715 m dpl. Topografi bervariasi dari landai sampai bergelombang terutama di bagian selatan, sedangkan ke bagian utara mempunyai topografi yang semakin curam (Badan Eksekutif HPGW 2009).

1.5 Iklim

Klasifikasi iklim HPGW menurut Schmidt dan Ferguson termasuk tipe B dan banyaknya curah hujan tahunan berkisar antara 1600-4400 mm. Suhu udara maksimum di siang hari 29° C dan minimum 19° C di malam hari (Badan Eksekutif HPGW 2009).

1.6 Sosial dan ekonomi Masyarakat

Penduduk di sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat umumnya memiliki mata pencaharian sebagai petani, peternak, tukang ojek, pedagang hasil pertanian dan bekerja sebagai buruh pabrik. Pertanian yang dilakukan berupa sawah lahan basah dan lahan kering. Jumlah petani penggarap yang dapat ditampung dalam program agroforestry HPGW sebanyak 300 orang petani penggarap.

Penyadap getah pinus berjumlah 32 penyadap dengan karakteristik yang beragam baik dari segi pendidikan dan umur. Mayoritas penyadap berdomisili di desa sekitar Hutan Pendidikan Gunung Walat yakni Desa Nangerang, Desa Citalahap, Desa Cipereu dan Desa Cijati. Penghasilan rata-rata yang diperoleh penyadap dari hasil menyadap getah pinus adalah Rp. 400.000-Rp. 500.000/bulan (Badan Eksekutif HPGW 2009).

(37)

5.1 Kondisi Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan di petak penelitian permanen penyadapan getah Agathis Hutan Pendidikan Gunung Walat (Cibadak-Sukabumi) dengan luasan petak yang digunakan yaitu 0,02 Ha. Keadaan topografi relatif datar dan sebagian besar kondisi pohon sehat. Pada penelitian ini digunakan pohon dari jenis Agathis loranthifolia berdiameter antara 39 cm sampai dengan 76 cm sebanyak 20 pohon.

Pohon-pohon yang digunakan merupakan pohon-pohon yang sebelumnya sudah dilakukan penyadapan. Adapun hambatan yang biasanya terjadi di lapangan yaitu talang yang tidak menempel di pohon sehingga getah tidak tertampung. Kemudian kondisi cuaca di lokasi penelitian dalam kedaan musim hujan. Hal ini berpengaruh terhadap kegiatan pemungutan kopal dan produktivitas kopal yang dihasilkan.

(38)

5.2 Produktivitas Kopal Berbagai Macam Periode Pembaharuan Luka Sadapan

5.2.1 Produktivitas Kopal Sebelum dan Setelah Penyimpanan

Penelitian pengaruh periode pembaharuan luka sadapan ini dibagi kedalam beberapa interval jumlah hari yaitu pada periode 3 hari, periode 5 hari, periode 7 hari dan periode 9 hari. Dimana masing-masing periode menunjukkan jumlah hari pada saat kopal akan dipanen. Penelitian ini dilakukan selama 45 hari dengan menggunakan 20 pohon contoh. Setiap periode pengambilan getah memiliki jumlah panen yang berbeda-beda.Untuk periode 3 hari dilakukan 15 kali panen, periode 5 hari dilakukan 9 kali panen, periode 7 hari dilakukan 6 kali panen dan periode 9 hari dilakukan 5 kali panen. Meskipun pengulangan pemanenannya berbeda-beda, namun satuan yang menjadi acuan dalam perhitungan adalah g/quarre/hari.

Salah satu cara yang digunakan untuk membantu meningkatkan produktivitas kopal pada penelitian ini yaitu dengan penggunaan ETRAT 12.40 yang disemprotkan pada luka sadapan setiap kali panen. Menurut Santosa (2011), ETRAT merupakan formulasi terbaru, dimana formulasi tersebut mengandung ZPT (Ethylene) dan stimulansia organik dalam satu larutan. Dengan demikian ETRAT mempunyai 2 fungsi yaitu meningkatkan kapasitas produksi getah dan memperlancar keluarnya getah. Pembentukan getah di dalam tanaman dapat ditingkatkan dengan mengaktifkan ethylene di dalam tanaman ( ethylene endogen) dan adanya stress (pembuatan luka sadap). Dengan demikian peningkatan produksi getah dapat dilakukan dengan memberikan zat yang mengandung ethylene (eksogen) yang mana akan merangsang pembentukan ethylene endogen pada tanaman sehingga proses metabolisme sekunder dapat ditingkatkan. ETRAT tersebut mengandung 100 ppm Etilen dan 150 ppm Asam Sitrat. Saat ini, ETRAT hanya diproduksi oleh CV. Permata Hijau Lestari dengan harga Rp 12.000 /liter.

Hasil panen kopal dari setiap periode pembaharuan luka sadapan ditimbang menggunakan timbangan digital, baik pada saat sebelum penyimpanan dalam gudang maupun setelah penyimpanan dalam gudang. Berikut adalah hasil panen rata-rata produktivitas kopal sebelum penyimpanan di gudang.

(39)

Gambar 8 Produktivitas rata-rata kopal sebelum penyimpanan (g/quarre/hari). Pada gambar 8 dapat dilihat bahwa produktivitas rata-rata kopal sebelum penyimpanan dalam gudang menunjukkan kecenderungan semakin lama periode pembaharuan luka sadapan maka semakin rendah produktivitas kopal yang dihasilkan. Hasil tersebut dapat dilihat, untuk periode 3 hari menghasilkan produktivitas rata-rata tertinggi sebesar 5,19 g/quarre/hari dan periode 9 hari menghasilkan produktivitas rata-rata terendah sebesar 1,69 g/quarre/hari. Sedangkan pada periode 5 hari produktivitas rata-ratanya sebesar 3,76 g/quarre/hari dan pada periode 7 hari sebesar 2,91 g/quarre/hari.

Menurut Vlies dan Tames (1940) dalam Hendrayus (1992), aliran kopal pada waktu penyadapan dipengaruhi oleh interval waktu pembaharuan luka sadapan dimana pada awal setelah pelukaan aliran kopal dari pelukaan tersebut sangat besar, tetapi semakin lama semakin berkurang kira-kira 12 jam sesudahnya. Aliran ini bisa berhenti atau bisa terus keluar dengan jumlah kopal yang sedikit sampai kira-kira 4 hari. Diduga pada hari ke-4 kopal mulai membeku karena hubungan dengan udara luar dan dipercepat oleh sinar matahari.

Periode 3 hari menghasilkan produktivitas kopal rata-rata yang lebih tinggi dibandingkan periode yang lain. Hal ini dikarenakan pembaharuan luka periode 3 hari lebih sering dilakukan penyadapan dan pemberian ETRAT (12.40) sehingga aliran kopal akan terus keluar. Kemudian proses pembekuan atau pengerasan kopal selama interval waktu penyadapan dipengaruhi oleh cahaya matahari dan udara luar. Dimana proses keluarnya kopal yang dihasilkan

0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 3 5 7 9 5,19 3,76 2,91 1,69 Produktivitas rata-rata (g/quarre/hari)

PeriodePembaharuan Luka 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 

(40)

tergantung pada saluran keluarnya getah. Kopal yang sudah mengering di permukaan sadapan akan menutup keluarnya getah yang baru sehingga menyebabkan saluran kopal menjadi tersumbat.

Menurut Riyanto (1980), potensi kopal secara kuantitatif pada dasarnya dipengaruhi dua faktor pokok, yaitu :

1. Faktor pasif yang terdiri dari kualitas tempat tumbuh, umur pohon, kerapatan tegakan, sifat genetik dan ketinggian tempat tumbuh dari permukaan laut.

2. Faktor aktif yang terdiri dari kuantitas dan kualitas tenaga sadap, perlakuan kimia, dan pelakuan mekanis seperti penutupan luka dengan plastik. 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 7.000 8.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Produktivitas kopal rata-rata (g/quarre/hari) Panen ke.. Produktivitas kopal rata-rata periode 3 hari 0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 6.000 1 2 3 4 5 6 7 8 9 Produktivitas kopal rata-rata (g/quarre/hari) Panen ke.. Produktivitas kopal rata-rata periode 5 hari   8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00   6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 

(41)

Gambar 9 Kecenderungan produktivitas rata-rata kopal periode 3, 5, 7, 9 hari (g/quarre/hari).

Pada gambar 9 terlihat bahwa produktivitas kopal rata-rata untuk setiap kali panen dari masing-masing periode pembaharuan luka sadapan pun berbeda-beda. Namun, terdapat pola kecenderungan peningkatan dan penurunan produktivitas kopal yang dihasilkan. Hal ini berkaitan dengan proses kerja dari ETRAT dan proses metabolisme sekunder dari pohon Agathis itu sendiri.

Produktivitas kopal rata-rata pada panen pertama cenderung meningkat. Hal ini disebabkan getah yang keluar pada saat panen pertama merupakan getah deposit yang ada dalam pohon. Kemudian untuk panen kedua cenderung mengalami penurunan karena pada kondisi ini pohon masih belum stabil untuk membentuk getah kembali. Menurut Santosa (2011), produktivitas yang masih rendah pada awal periode penyadapan sampai dengan 12 hari disebabkan

0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 3.000 3.500 4.000 1 2 3 4 5 6 Produktivitas kopal rata-rata (g/quarre/hari) Panen ke.. Produktivitas kopal rata-rata periode 7 hari 0.000 0.500 1.000 1.500 2.000 2.500 1 2 3 4 5 Produktivitas kopal rata-rata (g/quarre/hari) Panen ke.. Produktivitas kopal rata-rata periode 9 hari   4,00 3,50 3,00 2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00      2,50 2,00 1,50 1,00 0,50 0,00

(42)

pemberian ZPT memerlukan waktu untuk mempengaruhi metabolisme sekunder. ZPT (ethylene) membutuhkan waktu untuk merubah bentuk dari cair menjadi gas di dalam jaringan tanaman. Setelah itu proses untuk membangkitkan ethylene di dalam tanaman pun memerlukan waktu hingga tercapainya proses metabolisme sekunder (pembentukan getah) dapat berjalan dengan stabil.

Kopal yang sudah dipanen kemudian disimpan dalam gudang penyimpanan selama akhir masa periode panen. Untuk periode 3 hari, penyimpanan dilakukan mulai dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-42, periode 5 hari mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-40, periode 7 hari mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-35 dan periode 9 hari mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-36. Berikut adalah produktivitas kopal rata-rata setelah penyimpanan dalam gudang.

Gambar 10 Produktivitas rata-rata kopal setelah penyimpanan (g/quarre/hari).

Pada gambar 10 dapat dilihat bahwa hasil produktivitas kopal rata-rata setelah penyimpanan di gudang mengalami penurunan jika dibandingkan dengan produktivitas kopal rata-rata sebelum penyimpanan dalam gudang. Produktivitas kopal rata-rata setelah penyimpanan yang tertinggi yaitu pada periode 3 hari sebesar 4,72 g/quarre/hari dan produktivitas yang terendah yaitu pada periode 9 hari sebesar 1,59 g/quarre/hari. Sedangkan untuk periode 5 hari produktivitasnya sebesar 3,49 g/quarre/hari dan periode 7 hari sebesar 2,70 g/quarre/hari. Rata-rata penurunan produktivitasnya sebesar 0,47 g/quarre/hari (P.3hr); 0,27 g/quarre/hari

0.000 1.000 2.000 3.000 4.000 5.000 3 5 7 9 4,72 3,49 2,70 1,59 Produktivitas Rata-Rata (g/quarre/hari)

Periode Pembaharuan Luka

    5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00 

(43)

(P.5hr); 0,21 g/quarre/hari (P.7 hr) dan 0,10 g/quarre/hari (P.9 hr). Penurunan produktivitas tersebut dikarenakan kopal mengalami penyusutan pada saat disimpan dalam gudang.

Untuk mengetahui pengaruh periode pembaharuan luka sadapan terhadap produktivitas kopal maka dilakukan pengolahan data statistik terhadap produktivitas kopal rata-rata setelah penyimpanan. Hasil pengujian analisis ragam menunjukkan bahwa periode pembaharuan luka sadapan memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata produktivitas kopal yang dihasilkan dengan tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05), terlihat pada tabel 4 bahwa F hitung sebesar 41,62 lebih besar dibandingkan F tabel sebesar 2,77. Kemudian hasilnya pun signifikan dengan nilai P-value yang kurang dari 0,0001.

Tabel 4 Analisis ragam pengaruh periode pembaharuan luka terhadap produktivitas penyadapan kopal

Sumber

Keragaman db

Jumlah Kuadrat

Kuadrat

Tengah Fhitung F0,05 P-value

Model 3 78,51 26,17 41,62 2,77 <0,0001

Derajat Kesalahan 56 35,22 0,63

Total 59 113,73

Nyata = Fhitung >F0,05

Berdasarkan hasil analisis ragam yang menunjukkan bahwa periode pembaharuan luka sadapan memberikan pengaruh nyata terhadap rata-rata produktivitas kopal maka analisis dilanjutkan menggunakan Uji Duncan untuk mengetahui kelompok periode pembaharuan luka sadapan yang berbeda nyata.

(44)

Tabel 5 Hasil Uji Duncan pengaruh periode pembaharuan luka terhadap produktivitas penyadapan kopal

Perlakuan Jumlah

Data Produktivitas Rata-Rata (g/quarre/hari)

Uji Duncan (α=0,05) 3 hari 15 4,72 A 5 hari 15 3,45 B 7 hari 15 2,65 C 9 hari 15 1,59 D

Berdasarkan hasil Uji Duncan pada tabel 5, periode pembaharuan luka sadapan mempunyai pengaruh yang berbeda-beda (berbeda nyata) dari setiap perlakuan terhadap produktivitas kopal (g/quarre/hari). Terlihat dari hasil Uji Duncan yang terbagi dalam 4 kelas yaitu A, B, C dan D. Periode pembaharuan luka sadapan yang terbaik menghasilkan produktivitas tertinggi yaitu periode 3 hari sebesar 4,72 g/quarre/hari.

5.2.2 Persentase Penyusutan Kopal

Penyusutan kopal terjadi ketika hasil produksi kopal masih dalam keadaan lengket kemudian disimpan dalam gudang penyimpanan sampai kopal mengering sehingga produktivitasnya menurun. Gambar 14 menunjukkan persentase penyusutan kopal yang terjadi sesuai kondisi lingkungan dan suhu adara yang ada di Hutan Pendidikan Gunung Walat.

Gambar 11 Persentase penyusutan kopal. 9,21 6,97 6,96 5,59 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 3 5 7 9 Persentase Penyusutan (% )

Periode Pembaharuan Luka 10,00 9,00 8,00 7,00 6,00 5,00 4,00 3,00 2,00 1,00 0,00

(45)

Pada gambar 11 terlihat bahwa persentase penyusutan tertinggi terjadi pada periode 3 hari sebesar 9,21 % dan persentase penyusutan terendah terjadi pada periode 9 hari sebesar 5,59 %. Kemudian untuk periode 5 hari sebesar 6,97 % dan periode 7 hari sebesar 6,96 %.

Pada periode 5, 7, 9 hari kopal mengalami penyusutan yang lebih rendah dibandingkan periode 3 hari. Hal ini dikarenakan kopal yang dipanen sudah menjadi kering udara ketika masih di pohon sehingga penyusutan yang terjadi di dalam gudang tidak terlalu besar. Persentase penyusutan pun dipengaruhi oleh keadaan kopal pada saat awal panen (sebelum disimpan dalam gudang). Produktivitas dari masing-masing panen berbeda-beda, tergantung dari kondisi pohon atau kondisi lingkungan yang ada pada saat melakukan penyadapan (faktor pasif/aktif).

Besarnya persentase penyusutan yang terjadi pada periode 5, 7 dan 9 hari tidak berbeda terlalu jauh dikarenakan pada saat penelitian terdapat faktor eksternal dan faktor internal yang mempengaruhi penyusutan.

Untuk periode 3 hari, penyimpanan dilakukan mulai dari hari ke-0 sampai dengan hari ke-42, periode 5 hari mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-40, periode 7 hari mulai dari hari 0 sampai hari 35 dan periode 9 hari mulai dari hari ke-0 sampai hari ke-36. Kopal yang masih basah/lengket akan mengalami penyusutan lebih besar. Berdasarkan lamanya hari penyimpanan, rata-rata kopal akan mengering setelah penyimpanan dalam gudang selama 24-28 hari.

5.3 Kualitas Kopal Secara Uji Visual

Pengujian kualitas kopal secara visual menurut SNI 01-5009.10-2001 (2001) menggunakan parameter uji warna, ukuran butir, kekeringan, bau dan kebersihan kopal. Pengujian kualitas secara visual ini bersifat terbatas. Pengujian ini hanya berdasarkan apa yang dilihat langsung oleh seorang pengelola produksi di lapangan, karena untuk pengujian lebih lanjut masih ada tahapan uji kualitas kopal di laboratorium seperti uji bilangan asam, bilangan penyabunan, titik lunak, kadar abu dan kadar kotoran.

(46)

Tabel 6 Persentase pengujian kualitas kopal menurut ukuran butir Ukuran Butir Periode 3 Hari (%) Periode 5 Hari (%) Periode 7 Hari (%) Periode 9 Hari (%) Besar 87,98 86,95 71,09 74,14 Kecil 12,02 13,05 28,91 25,86

Pada tabel 6 terlihat bahwa persentase ukuran butiran kopal yang tertinggi yaitu pada periode 3 hari sebesar 87,98 % dan persentase ukuran butiran kopal yang terendah yaitu pada periode 7 hari sebesar 71,09 %. Hal-hal yang mempengaruhi ukuran butir kopal ini berdasarkan hasil pengukuran dan pengamatan di lapangan adalah pengaruh bentuk cetakan penampung kopal, keterampilan penyadap kopal, pemakaian jenis alat sadap dan kekeringan kopal.

Bentuk cetakan penampung kopal dapat menghasilkan bentuk kopal yang berbeda-beda. Cetakan penampung kopal pada metode Quarre berbentuk balok berukuran 5 cm × 10 cm × 1 cm sehingga ukurannya bisa lebih dari 1cm × 1cm × 1cm (ukuran standar kopal yang tergolong besar menurut SNI). Kemudian keterampilan penyadap kopal pada saat pemungutan kopal juga mempengaruhi ukuran butir kopal. Penyadap yang sudah mahir akan mudah dan terampil dalam melakukan pemungutan kopal dilapangan sehingga kopal tidak mudah hancur, misalnya ketika melepaskan kopal dari cetakan penampung getah dan pemungutan getah yang masih menempel di pohon.

Alat sadap yang terlalu besar dan kurangnya keterampilan penggunaan alat sadap oleh penyadap kopal membuat penyadap kesulitan dalam pemungutan kopal dibagian bidang sadap. Kopal yang masih lengket akan menggumpal dan bersatu dengan kopal butiran kecil sehingga ukuran menjadi besar ketika kering udara. Kopal butiran besar merupakan kopal kulitas Utama dan kopal butiran kecil merupakan kopal kualitas Pertama. Kopal yang dijadikan perbandingan dalam penelitian ini hanya yang berukuran besar (kualitas Utama).

(47)

Tabel 7 Data hasil pengujian kualitas kopal secara visual Parameter

Uji

Periode Pembaharuan Luka Sadapan

3 Hari 5 Hari 7 Hari 9 Hari

Warna Kuning pucat Kuning pucat Kuning bening Kuning bening Kekeringan Lengket dan

menggumpal

Sedikit lengket dan menggumpal

Kering udara Kering udara

Bau Khas kopal Khas kopal Khas kopal Khas kopal Kebersihan Banyak

kotoran

Sedikit kotoran

Bersih Bersih

Kualitas Pertama Pertama Utama Utama

Secara umum kualitas kopal yang dihasilkan pada berbagai macam periode pembaharuan luka sadapan disajikan dalam tabel 7. Periode pembaharuan luka sadapan 3 hari dan 5 hari termasuk dalam kualitas Pertama sedangkan periode pembaharuan luka sadapan 7 hari dan 9 hari termasuk kualitas Utama. Berdasarkan hasil pengamatan, rata-rata kopal akan mengering setelah 24-28 hari penyimpanan dalam gudang. Pada pengujian bau, masing-masing kopal memiliki bau khas kopal.

Menurut Koppel (1988), sebelum dikirimkan ke Amerika Serikat dan Eropa, kopal mengalami pengolahan diantaranya dilakukan sortasi besarnya potongan-potongan dan mengeluarkan kotoran-kotoran atau mengerik bagian luar kopal dari debu terutama potongan-potongan yang besar agar menjadi bersih sehingga harga menjadi lebih tinggi. Apabila kopal dalam keadaan lengket dikumpulkan, maka dengan sendirinya akan banyak potongan-potongan rekahan yang ikut serta. Kopal yang lengket itu akan menggumpal menjadi satu dengan cepat dan menjadi bongkahan-bongkahan yang besar.

(48)

Gambar 12 Contoh warna kopal periode 3, 5, 7 dan 9 hari.

Pada parameter uji warna yang terlihat pada gambar 12, kopal periode 3 hari memiliki warna kuning yang lebih pucat jika dibandingkan periode yang lain. Hal ini dikarenakan kopal masih dalam keadaan basah dan lengket sehingga kotoran dari kayu atau dari batang pohon ikut masuk pada cetakan penampung ketika terjadi hujan dan akan menempel pada kopal. Kemudian perubahan warna kopal juga disebabkan oleh terjadinya proses oksidasi yang terjadi dalam gudang penyimpanan. Menurut Sumadiwangsa (1978), semakin tua warna kopal semakin tinggi titik lunak, kadar endapan dan kadar kotoran sedangkan kekentalan makin rendah pada saat pemungutannya.

(49)

Uji kekeringan dilakukan dengan cara melihat kopal yang terlihat masih lengket atau sudah kering udara. Sedangkan uji kotoran dilakukan dengan cara membandingkan banyaknya kotoran dari masing-masing contoh kopal (periode 3, 5, 7, dan 9 hari).

Gambar 13 Contoh kopal yang masih lengket.

Gambar 14 Contoh kopal yang sudah mengering.

5.4 Kekurangan dan Kelebihan Masing-Masing Periode Pembaharuan Luka Sadapan

Berdasarkan hasil penelitian ini dapat diketahui kekurangan dan kelebihan dari masing-masing periode pembaharuan luka sadapan pada periode 3 hari, periode 5 hari, periode 7 hari dan periode 9 hari. Berbagai macam pertimbangan yang dapat dilakukan penilaian baik dari segi penyadap, pengelola, maupun peneliti terhadap produktivitas, kualitas kopal dan korbanan waktu dan lain-lain.

(50)

Tabel 8 Kekurangan dan kelebihan masing-masing periode pembaharuan luka sadapan

Pertimbangan Periode Waktu Penyadapan Kopal

Periode 3 hari Periode 5 hari Periode 7 hari Periode 9 hari Produktivitas

(g/quarre/hr)

4,72 3,49 2,70 1,59

Kualitas Pertama Pertama Utama Utama

Korbanan Waktu Lebih banyak mengorbankan waktu penyadapan Cukup banyak mengorbankan waktu penyadapan Tidak banyak mengorbankan waktu penyadapan Tidak banyak mengorbankan waktu penyadapan Pengambilan getah Sulit karena masih lengket

Cukup mudah mudah mudah

Penyimpanan Perlu disimpan lebih lama dalam gudang untuk mencapai kering udara Cukup lama disimpan dalam gudang untuk mencapai kering udara Tidak perlu disimpan terlalu lama dalam gudang Tidak perlu disimpan terlalu lama dalam gudang Penyusutan (%) 9,21 6,97 6,96 5,59

Penyortiran Lebih sulit ( kopal banyak kotoran)

Cukup sulit Lebih mudah Lebih mudah

Berdasarkan tabel 8 dapat disimpulkan bahwa periode yang sebaiknya digunakan adalah periode 7 hari. Berikut ini adalah beberapa pertimbangan pemilihan periode 7 hari sebagai periode pembaharuan luka sadapan yang sebaiknya digunakan :

1. Kualitas kopal pada periode 7 hari merupakan kualitas utama.

2. Kopal yang masih menggumpal atau lengket menyulitkan penyadap dalam kegiatan pengambilan kopal di pohon dan mempunyai persen penyusutan yang lebih besar. Untuk periode 7 hari, kopal yang dihasilkan sudah mengering sehingga memudahkan penyadap dalam pemungutan kopal.

(51)

3. Jika disesuaikan dengan jumlah pohon, kemampuan penyadap, jumlah pekerja (penyadap) yang ada di Hutan Pendidikan Gunung Walat maka periode 7 hari merupakan periode yang paling efektif. Menurut Hidayah (2010), waktu standar pekerja dalam penyadapan kopal yaitu 4,08 menit/pohon dengan jumlah jam kerja penyadap selama 6 jam/hari maka jumlah pohon optimum yang dapat diberikan kepada penyadap yaitu sebanyak 88 pohon/hari. Masing-masing penyadap mempunyai jumlah pohon sadap yang berbeda-beda, pohon sadapannya antara 150 pohon sampai dengan 728 pohon. Jumlah penyadap yang tercatat sekitar 9 orang. Oleh karena itu, butuh rentang waktu dalam penyadapan agar seluruh pohon dapat tersadap dengan baik sehingga produktivitaspun akan bertambah.

Gambar

Gambar 2 Posisi atau arah perlakuan penyadapan dengan sistem putar.  Keterangan :
Gambar 7 Kondisi tegakan Agathis di lokasi penelitian.
Gambar 9 Kecenderungan produktivitas rata-rata kopal periode 3, 5, 7, 9 hari  (g/quarre/hari)
Gambar 10 Produktivitas rata-rata kopal setelah penyimpanan  (g/quarre/hari).
+6

Referensi

Dokumen terkait

Saat ini sudah berkembang alat tugal semi mekanis menggunakan pegas yang memiliki multifungsi.Fungsi tugal semi mekanis yang sudah berkembang adalah untuk

kalium heksasianoferat (II)–tembaga (II) klorida. Adanya pengikatan radioisotop tertentu pada matrik teramati dari penurunan radioaktivitas pada daerah energi radiasi γ

selama 15 hari Hasil yang diperoleh menunjukkan bahwa perlakuan pemberian pakan Artemia sp dengan dosis pengayaan Vitamin A yang berbeda tidak memberikan pengaruh

Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Angka Bentuk dan Model Volume Kayu Afrika (Maesopsis eminii Engl.) di Hutan Pendidikan Gunung Walat, Sukabumi, Jawa

Pem!inaan ekstra *aji! #apak Su&amp;i !agi kelas 1 dan 11 se&amp;ara klasikal. g.Peningkatan kegiatan :W

Mengenai pembagian kekuasaan yang telah diterapkan oleh pemerintah Negara Kesatuan Republik Indonesia menjadi acuan dalam memahami hubungan antar lembaga di Indonesia yang

Ketidaksesuaian dengan teori disebabkan karena secara teoritis apabila NPL menurun, artinya terjadi penurunan total kredit bermasalah dengan persentase lebih besar

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis isi melalui pendekatan deskriptif kuantitatif untuk mengukur berapa kandungan pesan dakwah yang ada