• Tidak ada hasil yang ditemukan

Bab 2. Landasan Teori. Persahabatan sangat mengutamakan sebuah rasa perhatian yang khusus kepada

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "Bab 2. Landasan Teori. Persahabatan sangat mengutamakan sebuah rasa perhatian yang khusus kepada"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

Bab 2 Landasan Teori

2.1 Konsep persahabatan secara umum

Persahabatan sangat mengutamakan sebuah rasa perhatian yang khusus kepada seorang teman atau sahabat, yang mana rasa perhatian yang khusus ini bisa dikategorikan sama dengan cinta. Para filosofi Yunani kuno membagi tiga macam pemikiran yang disebut denga cinta : agape, eros, dan philia. Agape adalah jenis cinta yang tidak memerlukan respon balik dari seseorang atau suatu objek yang menjadi sasaran pernyataan cintanya. Pemikiran ini diilhami dari tradisi agama Kristen tentang ajaran kasih Tuhan terhadap manusia, yang mengajarkan bahwa kasih Tuhan merupakan kasih tak terbatas dan tak bersyarat. Namun sebaliknya eros dan philia secara umum dimengerti dengan jenis cinta yang bereaksi terhadap kebaikan dari seseorang atau objek tersebut, dan biasanya khususnya terhadap barang atau sesuatu yang ia punya, kebaikannya, ataupun kecantikannya. Perbedaanya adalah kalau eros merupakan jenis cinta yang bersadarkan pada nafsu dan hasrat kepada seseorang atau objek tersebut, dan khasnya adalah yang berhubungan dengan sexualitas. Sedangkan kalau philia secara umum merupakan jenis cinta yang berdasarkan rasa menghargai dan rasa kasih sayang antara satu dengan yang lain. Tidak hanya kepada teman saja, tapi bisa juga terhadap keluarga, teman bisnis, dan sesama kampung halaman (Price, 1989 : 13). Dari ketiga klasifikasi dari cinta diatas, kita dapat simpulkan bahwa cinta philia merupakan jenis cinta yang paling mendekati dengan sebuah persahabatan.

Karena alasan tersebut, kadang-kadang cinta dan persahabatan dikategorikan menjadi sebuah topik, padahal keduanya memiliki arti yang sangat berbeda. Cinta adalah sebuah

(2)

sikap khusus tertentu terhadap seseorang tertentu, yang mana sikap itu dapat menunjukan seseorang itu apakah membalas cintanya atau tidak, dan apakah kita mempunyai hubungan dengan seseorang tersebut. Sedangkan persahabatan adalah sebuah hubungan yang didasari oleh rasa perhatian tertentu terhadap seseorang tertentu dengan apa adanya orang tersebut (Hoffman, 1997 : 92). Karena dalam sebuah persahabatan kadang-kadang kita akan mengalami kekecewaan, yang ditimbulkan oleh karena kebaikan yang kita berikan mendapatkan balasan yang tidak setimpal dari sahabat kita. Dan contoh lainnya adalah dalam persahabatan lain jenis. Dalam persahabatan ini kadang-kadang rentan dari suatu hanya persahabatan saja, namun pada akhirnya menimbulkan rasa cinta. Hal ini baik apa bila rasa cinta yang terjadi dari dua pihak yang bersangkutan. Namun kalau rasa cinta yang timbul hanya dari satu pihak saja, hubungan ini akan menjadi tidak sehat. Jadi artinya sebuah persahabatan tidak hanya sebuah masalah apakah kebaikannya ataupun cintanya itu terbalas atau tidak, tetapi yang lebih utama adalah suatu keterlibatan interaksi yang signifikan dengan seseorang tersebut.

Aristoteles dalam Ross ( 2005 : 23 ), membagi 3 jenis persahabatan yaitu, persahabatan berdasarkan kesenangan (pleasure), kegunaan (utility), dan kebaikan (virtue) seseorang. Walaupun agak sulit untuk memahami ketiga perbedaan ini, namun pada dasarnya pemikiran tentang kesenangan, kegunaan, dan kebaikan ini adalah alasan kita memiliki beberapa cara membentuk hubungan persahabatan.. Contohnya, kita mau bersahabat dengannya karena ia bisa memberikan kesenangan untuk kita, atau karena ia dapat berguna untuk kita, ataupun juga karena ia memiliki karakter yang baik. Kalau kita lihat tampaknya ketiga macam pemikiran persahabatan ini lebih memperhatikan

(3)

tentang persahabatan yang dasarnya lebih memperhatikan sahabat kita tadi dengan pemahaman tentang persahabatan yang berdasarkan kesenangan (pleasure) dan kegunaan (utility), yaitu apakah mungkin kita bisa lebih meperhatikan kepetingan sahabat kita kalau kita hanya ingin mendapat kesenangan dan kegunaan dari sahabat kita. Kalau kita hanya mau mengambil keuntungan saja dari sahabat kita, sangat jelas bahwa kita tidak akan bisa memikirkan kepentingan sahabat kita, dan akhirnya hubungannya tidak akan menjadi hubungan persahabatan sama sekali. Dapat kita simpulkan bahwa persahabatan yang berdasarkan kesenangan dan kegunaan itu merupakan sebuah jenis persahabatan yang kurang baik. Namun sebaliknya dengan jenis persahabatan yang berdasarkan kebaikan (virtue), karena hubungan persahabatan ini termotivasi oleh kebaikan dari karakter sahabat kita, maka hubungan persahabatan jenis ini yang paling baik dari jenis persahabatan sebelumnya.

Seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, philia adalah jenis cinta yang rasa perhatiannya yang paling berhubungan dengan hubungan persahabatan. Dan kata philia sendiri kadang-kadang diartikan sebagai persahabatan (Rorty, 1993 : 73). Badhwar (1993 : 88) juga menyatakan hubungan persahabatan tidak hanya antar sahabat saja, namun hubungan antar orang tua dan anak juga bisa disebut dengan hubungan persahabatan. Namun hubungan persahabatan antara anak dan orang tua dan hubungan persahabatan memiliki perbedaan yang sigfinikan. Namun yang akan lebih difokuskan di penelitian ini adalah hubungan persahabatan antar sahabat.

2.2 Konsep ”kelompok” Menurut Chie Nakane

Orang Jepang biasanya berinteraksi dengan kelompok-kelompok yang sama sesuai dengan dimana ia beraktivitas sehari-hari. Kalau ia masih dalam lingkungan sekolah

(4)

atau kuliah, kelompok interaksinya hanya berasal dari kelompok sekolahnya atau tempat kuliahnya saja. Dan itupun hanya terjadi apabila ada suatu kesamaan antar kelompoknya itu. Begitu juga dengan dunia kerja. Sangat jarang sekali orang Jepang memperkenalkan orang lain yang diluar dari kelompoknya itu sebagai “kelompok saya”. Karena dalam kelompoknya ini memiliki tingkat keintiman yang tinggi, sampai-sampai kelompok ini menjadi keluarga kedua bagi mereka yang tergabung dalam kelompok ini, dan biasanya memiliki tingkat kesetiaan dan kepercayaan yang tinggi. Dan kelompok-kelompok ini bisa terjadi atas dasar sebuah hubungan persahabatan (Nakane, 1991 : 125).

Nakane (1991 : 126), menyatakan dalam bukunya bahwa orang Jepang sangat bergantung dan berharap kepada sahabat-sahabatnya. Tidak ada garis-garis batas yang jelas antara tanggung jawab seseorang dengan tanggung jawab orang lain. Sehingga dalam sebuah percakapan Jepang yang sederhana sering ditemukan percakapan seperti berikut : ”Aku memahami persaanmu. Serahkan hal itu kepadaku, akan kukerjakan sebaik-baiknya” .

Ciri khas lain dalam hubungan persahabatan di Jepang adalah bahwa kelompok sahabatnya pasti akan membela sahabatnya yang tanpa sengaja melakukan kesalahan. Bahkan dalam hal-hal yang serius, sekalipun sesungguhnya tidak ada alasan yang masuk akal untuk dapat mempertanggung jawabkan tindakan atau perbuatannya itu, kelompoknya akan tetap melindungi dengan kekuasaan yang mereka miliki dan mereka tidak segan-segan untuk mencari alasan untuk membenarkannya. Mereka memihak kepadanya secara gigih belum tentu karena ia benar, tetapi semata-mata atas dasar bahwa ia termasuk kelompok mereka (Nakane, 1991 : 127).

(5)

2.3 Psikologi remaja

Kata “remaja” berasal dari bahasa latin yaitu adolescere yang berarti to grow atau to grow maturity. Banyak tokoh yang memberikan definisi tentang remaja, seperti DeBrun (Rice, 1990 : 30) mendefinisikan remaja sebagai periode pertumbuhan antara masa kanak-kanak dengan masa dewasa. Menurut Papalia dan Olds (2001 : 10), masa remaja adalah masa transisi perkembangan antara masa kanak-kanak dan masa dewasa yang pada umumnya dimulai pada usia 12 atau 13 tahun dan berakhir pada usia akhir belasan tahun atau awal dua puluhan tahun.

Sedangkan Hurlock (1990 : 33) membagi masa remaja menjadi masa remaja awal (13 hingga 16 atau 17 tahun) dan masa remaja akhir (16 atau 17 tahun hingga 18 tahun). Masa remaja awal dan akhir dibedakan oleh Hurlock karena pada masa remaja akhir individu telah mencapai transisi perkembangan yang lebih mendekati masa dewasa. Papalia & Olds (2001 : 23) berpendapat bahwa masa remaja merupakan masa antara kanak-kanak dan dewasa. Sedangkan Anna Freud (Hurlock, 1990 : 40) berpendapat bahwa pada masa remaja terjadi proses perkembangan meliputi perubahan-perubahan yang berhubungan dengan perkembangan psikoseksual, dan juga terjadi perubahan dalam hubungan dengan orangtua dan cita-cita mereka, dimana pembentukan cita-cita merupakan proses pembentukan orientasi masa depan.

Transisi perkembangan pada masa remaja berarti sebagian perkembangan masa kanak-kanak masih dialami namun sebagian kematangan masa dewasa sudah dicapai. Bagian dari masa kanak-kanak itu antara lain proses pertumbuhan biologis misalnya tinggi badan masih terus bertambah. Sedangkan bagian dari masa dewasa antara lain proses kematangan semua organ tubuh termasuk fungsi reproduksi dan kematangan kognitif yang ditandai dengan mampu berpikir secara abstrak. Yang dimaksud dengan

(6)

perkembangan adalah perubahan yang terjadi pada rentang kehidupan. Perubahan itu dapat terjadi secara kuantitatif, misalnya pertambahan tinggi atau berat tubuh; dan kualitatif, misalnya perubahan cara berpikir secara konkret menjadi abstrak.

Pada diri remaja, pengaruh lingkungan dalam menentukan perilaku diakui cukup kuat. Walaupun remaja telah mencapai tahap perkembangan kognitif yang memadai untuk menentukan tindakannya sendiri, namun penentuan diri remaja dalam berperilaku banyak dipengaruhi oleh tekanan dari kelompok teman sebaya. Kelompok teman sebaya diakui dapat mempengaruhi pertimbangan dan keputusan seorang remaja tentang perilakunya. Kelompok teman sebaya merupakan sumber referensi utama bagi remaja dalam hal persepsi dan sikap yang berkaitan dengan gaya hidup. Bagi remaja, teman-teman menjadi sumber informasi misalnya mengenai bagaimana cara berpakaian yang menarik, musik atau film apa yang bagus, dan sebagainya.

Masa remaja adalah suatu masa perubahan. Pada masa remaja terjadi perubahan yang cepat baik secara fisik, maupun psikologis. Menurut Gunarsa (1990:12) ada beberapa perubahan yang terjadi selama masa remaja.

1. Peningkatan emosional yang terjadi secara cepat pada masa remaja awal yang dikenal dengan sebagai masa storm & stress. Peningkatan emosional ini merupakan hasil dari perubahan fisik terutama hormon yang terjadi pada masa remaja. Dari segi kondisi sosial, peningkatan emosi ini merupakan tanda bahwa remaja berada dalam kondisi baru yang berbeda dari masa sebelumnya. Pada masa ini banyak tuntutan dan tekanan yang ditujukan pada remaja, misalnya mereka diharapkan untuk tidak lagi bertingkah seperti anak-anak, mereka harus lebih mandiri dan bertanggung jawab. Kemandirian dan tanggung jawab ini akan

(7)

terbentuk seiring berjalannya waktu, dan akan nampak jelas pada remaja akhir yang duduk di awal-awal masa kuliah.

2. Perubahan yang cepat secara fisik yang juga disertai kematangan seksual. Terkadang perubahan ini membuat remaja merasa tidak yakin akan diri dan kemampuan mereka sendiri. Perubahan fisik yang terjadi secara cepat, baik perubahan internal seperti sistem sirkulasi, pencernaan, dan sistem respirasi maupun perubahan eksternal seperti tinggi badan, berat badan, dan proporsi tubuh sangat berpengaruh terhadap konsep diri remaja.

3. Perubahan dalam hal yang menarik bagi dirinya dan hubungan dengan orang lain. Selama masa remaja banyak hal-hal yang menarik bagi dirinya dibawa dari masa kanak-kanak digantikan dengan hal menarik yang baru dan lebih matang. Hal ini juga dikarenakan adanya tanggung jawab yang lebih besar pada masa remaja, maka remaja diharapkan untuk dapat mengarahkan ketertarikan mereka pada hal-hal yang lebih penting. Perubahan juga terjadi dalam hubungan dengan orang lain. Remaja tidak lagi berhubungan hanya dengan individu dari jenis kelamin yang sama, tetapi juga dengan lawan jenis, dan dengan orang dewasa. 4. Perubahan nilai, dimana apa yang mereka anggap penting pada masa

kanak-kanak menjadi kurang penting karena sudah mendekati dewasa.

5. Kebanyakan remaja bersikap ambivalen dalam menghadapi perubahan yang terjadi. Di satu sisi mereka menginginkan kebebasan, tetapi di sisi lain mereka takut akan tanggung jawab yang menyertai kebebasan tersebut, serta meragukan kemampuan mereka sendiri untuk memikul tanggung jawab tersebut.

(8)

2.4 Giri dan ‘ ninjou’

Penulis akan menjelaskan konsep ini satu persatu-satu.

2.4.1 Konsep Giri

Manusia dalam kehidupan sehari-harinya senantiasa melakukan hubungan satu dengan yang lain. Dalam hubungan seperti itu, manusia membentuk masyarakat, berkembang saling mempengaruhi, saling membantu, saling mencintai, bahkan saling bersaing. Hubungan 0kejiwaan diantara manusia ini disebut dengan human relations. Atau dalam bahasa Jepangnnya disebut ningen kankei (Soepardjo, 1999 : 62). Di Jepang, konsep ningen kankei lebih banyak digunakan didalam hubungan manusia terutama didalam manajemen perusahaan Jepang. Namun jika dilihat dari jenis hubungan antarpersonal hubungan ini bisa dikelompokan dalam hubungan yang bersifat persahabatan.

Salah satu konsep dalam ningen kankei adalah giri dan ‘ ninjou’, yang merupakan konsep budaya Jepang yang sangat khas. Dapat dikatakan, mustahil seseorang dapat memahami haluan berpikir bangsa Jepang tanpa memahami konsep giri dan ‘ ninjou’ lebih dulu. Ryoen Minamoto, menyatakan bahwa konsep giri pada awalnya memiliki arti perasaan berhutang budi, memberi reaksi terhadap kepercayaan, sifat dan kehormatan. Giri terhadap perasaan berhutang budi, existensinya adalah kenyataan sosial yang tidak hanya terdapat pada masyarakat feodal tetapi juga terdapat pada masyarakat secara umum. Sedangkan giri dalam arti memberi reaksi terhadap kepercayaan merupakan dasar terbentuknya perasaan berhutang budi. Sedangkan giri sebagai pemeliharaan kehormatan pribadi direalisasikan dengan menjaga nama baik,

(9)

Menurut Davies dan Osamu Ikeno (2002 : 95), ’giri’ merupakan kunci dalam memahami konsep budaya Jepang dan karakteristik tertentu pola perilaku di antara masyarakat Jepang traditional yang timbul dari sikap moral tugas dan kewajiban sosial. Giri menurut Befu dalam Yayan (1996 : 24-25) adalah kata ’giri ’(義理) terdiri dari dua karakter kanji yaitu ’gi ’ (義) yang memiliki arti keadilan, kebenaran, kewajiban, moralitas, kemanusiaan, kesetiaan, perasaan hormat, dan ’ ri ’(理) yang memiliki arti alasan, logika, prinsip. Dalam penggunaanya, ’ giri ’merujuk kepada suatu tanggung jawab, kehormatan, berhutang budi, dan kewajiban sosial.

Giri mempunyai kekuatan untuk memaksa anggota masyarakat agar terikat dalam aktivitas-aktivitas yang saling berbalasan. Menjalankan ’giri’ dengan baik berarti seseorang itu memiliki nilai moral yang tinggi, dan menolak kewajiban timbal balik berarti meniadakan kepercayaan dari mereka yang mengharapkan timbal balik, yang pada akhirnya akan menghilangkan bantuan dari mereka untuk melalaikan hubungan ’giri ’ tersebut.

Secara harafiah’ giri’ merupakan sebuah kewajiban sosial yang bersifat etis dan moral, yang mengharuskan bangsa Jepang untuk bersikap seperti yang diharapkan oleh masyarakat dalam bersosialisasi dengan individu-individu lain. ’Giri ’ mengacu pada suatu hubungan sosial yang terdiri atas suatu set norma-norma sosial yang menugaskan setiap pemilik status untuk melakukan suatu peran tertentu. Lebih khususnya, ’giri ’merupakan suatu cara dalam menjalin hubungan individu tertentu.

Seperti dikatakan oleh Minami (1993:187)

義理とか義というのは、社会生活のなかで自分が他人に対して、どのような 関係にたっており、したがってどのようにふるまうべきであるかについての 約束である。

(10)

Terjemahan :

Giri atau gi adalah janji untuk bersikap dengan tata krama yang pantas seperti dimana seseorang berdiri dalam hubungan dengan orang lain dalam struktur sosial masyarakat.

Dengan kata lain ’giri’ juga turut berperan dalam hubungan manusia dengan manusia lain di dalam masyarakat dan mengatur sikap seseorang agar bisa diterima oleh orang lain. Tidak hanya dalam masyarakat tetapi juga dalam keluarga yang tidak begitu akrab seperti paman, bibi atau ibu mertua, karena ’ giri ’ ditujukan untuk semua orang dan menuntut seseorang itu untuk memenuhi kewajibannya tersebut karena ia telah mendapat sebuah kebaikan dari orang lain. Dengan begitu ’ giri ’ terhadap orang lain telah membuat setiap manusia di dalam masyarakat hidup dalam hubungan timbal balik yang sudah sepantasnya. Hal ini bertujuan untuk membentuk kelompok masyarakat yang harmonis karena memiliki tata krama yang sudah seharusnya mereka lakukan. Tanpa melakukan ’giri ’, seorang berkebangsaan Jepang akan sulit menjalani hidupnya karena pasti akan mendapat cemooh dari orang lain.

Giri ’telah menjadi sebuah aturan tak tertulis yang harus dilakukan oleh orang Jepang dalam hidup bersama individu lain, meskipun mereka adalah keluarga sendiri. Seperti dikatakan oleh De Mente (1997:5) bahwa secara keseluruhan faktor kontrol dalam hubungan setiap pribadi di Jepang disatukan ke dalam kata ’giri’, yang diterjemahkan sebagai ‘kewajiban, tanggung jawab dan keadilan’. Sehingga seluruh kehidupan manusia dalam masyarakat Jepang telah diatur oleh sebuah ’ giri ’.

(11)

Minami (1993:159) juga mengatakan bahwa bangsa Jepang memberikan pelayanan kepada masyarakat dengan cara mematuhi ’giri ’secara terus menerus. Bahkan ketika seorang itu tidak mengetahui mengenai ’ giri ’ akan dikatakan sebagai manusia yang egois dan tidak mengenal apa itu hutang budi, karena itu ’ giri ’ sangat penting dalam menjaga sikap seseorang di dalam masyarakat. Hal ini juga ditujukan agar orang tersebut bisa diterima dalam masyarakat karena pada hakikatnya manusia adalah mahluk sosial yang sejak dilahirkan sudah membutuhkan pergaulan dengan orang-orang untuk memenuhi kebutuhannya (Gerungan, 2000:24).

Menurut Minamoto (1996 : 23) ’ giri ’merupakan kewajiban sosial yang memiliki beragam makna, tergantung pada situasi dan kondisinya. ’ Giri ’ adalah sikap membalas kebaikan yang diterima dari orang lain, diluar orang-orang yang berhubungan secara kekerabatan seperti hubungan orang tua dan anak, suami dan istri.

Menurut Benedict (2000 : 141) ’giri ’ adalah suatu kewajiban untuk mengembalikan atau membalas semua pemberian yang telah diterima dengan nilai yang sama harganya dari apa yang telah diterima sebelumnya. Hubungan antara kedua belah pihak tersebut pun tidak hanya berlaku diantara mereka yang memiliki hubungan khusus, tetapi juga antara teman ataupun kolega dan relasi.

Pendapat ’giri ’ menurut Honmiyou dalam Rahayu (2006 : 17) adalah :

義理は社会関係において相互扶助の源を強調する日本的倫理と深くかか わっています。この観念ゆえに日本人は日本人としての責務をはたすの です。

Terjemahan

Suatu konsep yang sangat berhubungan dengan etika-etika jepang yang menekankan pada hubungan manusia yang saling menguntungkan di dalam

(12)

masyarakat. Karena adanya konsep inilah, orang Jepang mengemban kewajiban atau tanggung jawab sebagai orang Jepang.

Sementara itu menurut Davies dan Osamu (2002:97) terdapat bahwa sekarang ini konsep ’ giri ’masih memainkan peranan penting dalam masyarakat Jepang modern dalam ragam tentang pemberian hadiah. Meskipun pernyataan terwujud dalam bentuk pemberian barang, pada hakikatnya ’ giri ’ tidak hanya berupa pemberian barang. Seperti diungkapkan Benedict (1996:116) bahwa ’giri ’untuk dunia berarti memiliki kewajiban membayarkan hutangnya pada seseorang yang telah memberikan bantuan seperti pemberian uang, kemurahan hati atau kontribusi dalam pekerjaan.

Diungkapkan pula oleh Gillespie dalam Sugiura (1993:95) bahwa:

Giri…does not have any equivalent concept in English (although in Japan considered) the most valued standard in human relationship: master-subordinate, parent-child, husband-wife, brothers and sisters, friends and sometimes even enemies and business connections. If pressed to define it, giri involves caring for others from whom one has received a debt of gratitude and a determination to realize their happiness, sometimes even by self-sacrifising.

Terjemahan

Giri…tidak memiliki konsep yang sama dalam bahasa Inggris (walaupun dalam Jepang) standar paling dihargai dalam hubungan manusia: atasan-bawahan, orangtua-anak, suami-istri, kakak dan adik, teman-teman, dan terkadang sesama musuh dan rekan bisnis. Jika ditekankan untuk mendefinisikan hal ini, giri melibatkan kepedulian pada orang lain dari seseorang yang sudah menerima hutang terima kasih dan penentuan untuk mewujudkan kebahagiaan mereka Menurut Davies dan Osamu (2002:98) juga mengungkapkan bahwa seseorang yang menerima hadiah tanpa memberikan hadiah sebagai timbal baliknya, ia akan dianggap sebagai orang yang bodoh dalam hal kewajiban sosial.

(13)

2.4.2 Konsep ‘ ninjou’

Selanjutnya yang dinamakan ‘ ninjou’ didalam kamus besar kojien didefinisikan sebagai kebaikan hati, tenggang rasa, kasih sayang, getaran alami hati manusia. Pada awalnya istilah ‘ ninjou’ berasal dari kata nasake yang berarti kasih sayang. ’ ninjou’ adalah perasaan kasih sayang manusia yang dicurahkan kepada sesamanya. Perasaan ini adalah perasaan yang murni dari hati yang paling dalam dan dipunyai oleh setiap umat manusia di dunia ini. ‘ ninjou’ dilakukan oleh seseorang terutama bila ia melihat orang lain sedang dalam kesulitan dan membutuhkan pertolongan (Doi, 2002 : 33).

Jadi konsep ini bisa menjadi dasar juga dalam sebuah persahabatan. Yang mana kita ketahui kepercayaan merupakan unsur yang paling penting dalam suatu hubungan dari sahabatnya. Dan ‘ ninjou’ bertugas sebagai rasa ikhlas dalam membalas giri yang akan menjadi hubungan persahabatan. Giri mewakili rasa terbeban seorang sahabat untuk membalas kebaikan diberikan kepada orang yang telah berbuat baik padanya.

Menurut Minamoto (1996 : 69) menyatakan ‘ ninjou’ adalah keinginan atau ambisi manusia dan perasaan emosi yang berkerja secara alami, yang mempengaruhi keprbadian manusia di dunia.

Menurut Befu dalam Yayan (1996 :26-27) ‘ ninjou’ (人情) terdiri dari dua karakter kanji, yaitu ’nin’ (人) yang memiliki arti orang atau manusia, dan, ’ jou ’ (情) yang memiliki arti emosi, perasaan hati, cinta kasih, simpati, ketulusan. Dalam penggunaannya kata ‘ ninjou’ merujuk kepada kecenderungan perasaan peri kemanusiaan, kebaikan hati, dan keinginan-keinginan yang bersifat alamiah.

Seseorang yang telah menerima ‘ ninjou’ dari orang lain tidak akan bisa melupakannya. Kebaikan yang diterimanya akan tertanam didalam hati dan suatu saat ia

(14)

harus dapat membalas kebaikan itu. Maka sejak saat itu, akan timbul jalinan hubungan manusia diantara kedua pihak. ‘ ninjou’ merupakan rasa kemanusiaan dan perasaan kasih sayang kepada sesama. Perasaan ini murni timbul dari lubuk hati yang terdalam yang dimiliki oleh setiap individu di dunia. Perasaan yang timbul jika seseorang melihat orang lain mengalami kesulitan atau kesusahan dan membutuhkan pertolongan. Meskipun giri dan ‘ ninjou’ memiliki arti yang kuno pada jaman modern Jepang, tetapi konsep ini sangat penting sebagai pemandu dalam melakukan hubungan dengan individu lainnya.

Benedict (2000 : 104 ) menyatakan bahwa orang Jepang beranggapan orang yang berbudi luhur tidak mengatakan bahwa mereka tidak berhutang apa-apa kepada siapapun. Mereka selalu merasa memiliki hutang, dan hutang-hutang tersebut adalah suatu kewajiban moral yang harus dibayar kembali.

2.5 Giri dan ‘ ninjou’ menurut Takeo Doi

Secara umum ’giri ’dan ‘ ninjou’ dapat ditafsirkan sebagai tangung jawab dalam hubungan antar manusia dan perasaan manusia. Dalam bukunya Takeo Doi (1992 : 28) bahwa ‘ ninjou’ dan ’giri ’mengesankan perilaku yang mempunyai hubungan erat dengan amae. Amae sendiri adalah sebuah kosa kata Jepang yang sanga khas. Secara kasar amae berarti memiliki ketergantungan dengan orang lain. Dan menurutnya pun kedua konsep ini tidak saling bertentangan, bahkan nampaknya dipakai dalam semacam hubungan organik antara satu dengan yang lain. ‘ ninjou’ tidak hanya mencakup ungkapan perasaan manusia secara keseluruhan, namun merupakan rangkaian emosi yang khas dirasakan oleh orang Jepang. Sehingga dalam kehidupan sehari-harinya orang

(15)

Sedangkan ’giri’ adalah sebuah perasaan terlibat dalam suatu hubungan yang – berbeda dengan sifat hubungan orang tua dan anak atau antara saudara, dalam hubungan mana ‘ ninjou’ timbul secara spontan- kalaupun melibatkan ‘ ninjou’, yang tidak timbul secara alami, tetapi dibuat-buat. Ini berarti bahwa hubungan yang mengandung ’ giri’, apakah itu dengan kaum keluarga, antara tuan dan pegawai, antara guru dan murid, antara teman sejawat atau antara tetangga, termasuk dalam kerangka dimana yang bersangkutan secara resmi diperbolehkan untuk merasakan ‘ ninjou’.

Untuk mengetahui lebih lanjut mengenai hubungan antara ’ giri’ dan ‘ ninjou’, menurut Takeo Doi (1992 : 30) ada baiknya kita membahas sedikit hubungan antara giri dan on. Dalam budaya Jepang apabila kita sudah menerima kebaikan hati (‘ ninjou’) dari orang lain, berarti kita sudah menerima on (hutang budi). Dan akibatnya on menyebabkan timbulnya hubungan atau perasaan ’ giri ’. Dengan kata lain, on berarti bahwa seseorang telah mengalami suatu beban psikologi sebagai akibat dari penerimaan kebaikan hati orang lain, sedangkan ’ giri ’ berarti bahwa on telah mengakibatkan hubungan saling berkegantungan. Hal ini menjelaskan bahwa ’ giri ’ dan ‘ ninjou’ sebenarnya tidak bertentangan. Yang dimaksudkan sebagai bentrokan antara ’giri ’ dan ‘ ninjou’ memang dapat terjadi didalam suatu keadaan dimana seseorang telah menerima on dari sejumlah orang yang saling bertentangan, sehingga untuk memenuhi giri terhadap satu pihak akan berarti tidak memenuhi giri terhadap pihak yang lain. Tentu saja yang paling baik bagi orang yang bersangkutan adalah kalau ia dapat mempertahankan kehendak baik dari semua orang itu, dan ketidak mampuan untuk melakukan hal tersebut lah yang dapat menimbulkan bentrokan tersebut.

Dan mana yang telah di jelaskan di atas tadi, Takeo Doi menjelaskan bahwa giri dan ‘ ninjou’ memiliki kaitan yang erat dengan amae. Jadi jika menekankan ‘ ninjou’ berarti

(16)

menegaskan amae. Sementara itu, dengan menekankan ’giri ’ ditegaskan hubungan manusia yang timbul melalui amae. Atau apabila kita ganti kata amae dengan ‘menggantungkan diri’, dengan demikian dapat dikatakan bahwa ‘ ninjou’ menyambut baik sikap menggantung atau mempercayakan diri. Sedangkan ’giri ’ mengikat orang-orang dalam suatu hubungan ketergantungan.

2.6 Teori Penokohan

Penokohan merupakan satu bagian penting dalam membangun sebuah cerita. Tokoh-tokoh tersebut tidak saja berfungsi untuk memainkan cerita, tetapi juga berperan untuk menyampaikan ide, motif, plot, dan tema (Fananie, 2000 :86). Istilah ”penokohan” lebih luas pengertiannya daripada ”tokoh” dan ”perwatakan” sebab ia sekaligus mencakup masalah siapa tokoh cerita, bagaimana perwatakan, dan bagaimana penempatan dan pelukisnya dalam sebuah cerita sehingga sanggup memberikan gambaran yang jelas kepada pembaca.

Menurut Nurgiyantoro (2002 : 166), mengatakan bahwa :

Penokohan dan karakteristik, sering juga disamakan artinya yaitu menunjuk pada penempatan tokoh-tokoh tertentu dengan watak-watak tertentu dalam sebuah cerita; pelukisan gambaran yang jelas teknik perwujudan dan pengembangan tentang tokoh yang ditampilkan dalam sebuah cerita.

Sedangkan istilah tokoh menurut Nurgiyantoro (2002 : 165), menjelaskan bahwa : Istilah ”tokoh” adalah menunjuk pada orangnya atau perilaku ceritanya dan istilah tokoh cerita. Dapat juga dikatakan sebagai orang-orang yang ditampilkan dalam suatu karya naratif atau drama, yang oleh pembaca ditafsirkan memiliki kualitas moral dan kecenderungan tertentu seperti yang diekspresikan dalam ucapan dan apa yang dilakukan dalam tindakan.

(17)

Tokoh cerita menempati posisi strategis sebagai pembawa dan penyampai pesan, amanat, dan moral atau sesuatu yang sengaja ingin disampaikan kepada pembaca (Nurgiyantoro, 2002 : 167). Menurutnya juga (Nurgiyantoro, 2002 : 176), menjelaskan bahwa, seorang tokoh dapat dibagi dalam beberapa kategori yakni :

1. Dilihat dari segi peranan dan tingkat pentingnya tokoh dalam sebuah cerita, ada yang disebut tokoh utama dan tokoh tambahan. Tokoh utama tergolong penting karena dimunculkan secara terus-menerus sehingga terasa mendominasi seluruh rangkaian cerita. Adapun tokoh yang diunculkan sekali atau beberapa kali dalam cerita dan itupun dalam porsi yang relatif singkat, maka ia disebut sebagai tokoh tambahan.

2. Berdasarkan fungsi tokoh didalam cerita dapat dibedakan tokoh sentral dan tokoh bawahan. Tokoh sentral disebut juga sebagai tokoh protagonis karena ia memegang pimpinan dalam sebuah cerita. Sedangkan yang disebut dengan tokoh bawahan adalah tokoh yang tidak sentral kedudukannya dalam cerita, tetapi kehadirannya sangat menunjang atau mendukung tokoh utama.

Untuk kasus kepribadian seorang tokoh, pemaknaan itu dilakukan berdasarkan kata-kata (verbal) dan tingkah laku (non verbal).

1. Metode verbal (melalui dialog atau percakapan)

Menurut Mido (1994 : 27) mengatakan bahwa karakter tokoh dapat ditampilkan melalui percakapan-percakapan antara tokoh satu dengan tokoh lainnya dan apa yang dikatakan seseorang dapat menunjukan siapa dia sebenarnya.

Menurut Nurgiyantoro (2002 : 201), percakapan yang dilakukan oleh tokoh cerita dimaksudkan untuk menggambarkan sifat tokoh yang bersangkutan. Tidak

(18)

semua percakapan menunjukan sikap tokoh. Namun percakapan yang efektif dan baik adalah yang menunjukan sifat atau watak dari tokoh pelakunya.

Dalam keadaan yang wajar, dialog atau percakapan harus berlangsung dengan baik, tidak dibuat-buat dan tanpa menyembunyikan maksud atau tujuan yang sebenarnya agar dapat menetapkan watak seseorang (Mido, 1994 : 30). Dengan adanya dialog-dialog yang dikemukakan pengarang, pembaca dapat mengetahui sejauh mana moralitas, mentalitas, pemikiran, dan watak tokohnya (Fananie, 2000 : 90).

2. Metode non verbal (melalui deskripsi perbuatan)

Menurut Mido (1994 : 28), metode non verbal adalah menggambarkan watak atau karakter tokoh cerita dengan cara mendeskripsi tindak-tanduk atau perbuatan yang dilakukan oleh seorang tokoh cerita. Non verbal juga merupakan cara penyampaian info tanpa menggunakan bahasa. Cara penyampaian ini sampai kepada kita melalui saluran terlihat, yang termasuk perilaku ekspresif, seperti ekspresi wajah, isyarat, postur, dan penampilan. Selain itu, untuk menunjukan unsur-unsur karakter seorang tokoh, metode ini adalah metode yang paling efektif. Salah satunya adalah senyuman, karena senyuman adalah salah satu isyarat nonverbal atau gesture manusia dalam berkomunikasi. Dan dalam setiap senyuman terjadi peningkatan pesan positif yang komunikatif.

2.7 Teknik Montase

(19)

memiliki arti memotong-motong, memilah-milah, serta menyambung-nyambung gambar sehingga menjadi kesatuan yang utuh.

Teknik montase di dalam bidang perfilman digunakan untuk memperlihatkan antar hubungan atau asosiasi gagasan. Sehingga pada dasarnya, teknik montase mengambil sebuah kegiatan yang terdapat pada sebuah film, menggabung-gabungkannya dan membentuk kesatuan yang utuh sehingga mampu dimengerti oleh orang umum.

Teknik montase juga seringkali digunakan untuk menciptakan suasana. Teknik ini juga digunakan dalam penyajian ekacakap karena pikiran-pikiran yang susul-menyusul. Teknik montase pun bisa menyajikan kesibukan latar seperti hiruk pikuk kota atau suatu kekalutan.

Referensi

Dokumen terkait

(2012), dengan sedikit modifikasi yakni menambah variabel kepemilikan terkonsentrasi, serta sampel yang digunakan lebih dikhususkan pada perusahaan yang ada di negara

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Dalam setiap kemasan produk hasil produksi Auditee yang akan dipasarkan untuk ekspor telah dibubuhi Tand V Legal dengan

Semua mononom pangkat genap akan membentuk kurva yang memiliki sifat seperti pada mononom pangkat dua yaitu simetris terhadap sumbu-y, berada di atas sumbu-x

Syukur Alhamdulillah, penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan Rahmat, Nikmat, Karunia serta Hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyusun Skripsi dengan

Abstrak: Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dampak program pembinaan usaha kecil menengah subsektor perikanan di wilayah pesisir terhadap peningkatan

Sejalan dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor: 1/6/PBI/1999 tanggal 20 September 1999 tentang Penugasan Direktur Kepatuhan dan Penerapan Standar Pelaksanaan Fungsi

UPAYA BARACK OBAMA DALAM MENGATASI CITRA BURUK AMERIKA SERIKAT DI DUNIA ISLAM AKIBAT ISLAMOPHOBIA DI..

SRT akan mencakup enam fungsi kerja sebagai berikut: (i) penyebaran informasi terkait program yang ada, dan terutama pada program jaminan sosial yang baru saja diluncurkan,