EFEK SUPLEMENTASI KITOSAN TERHADAP PERFORMANS ITIK PETELUR
Oleh: Muhammad Amrullah Pagala 1)
ABSTRACT
An experiment was conducted to study the effect of Chitosan as substitution on the performance of duck. As a threatment in this study was carried out four level of chitosan supplemented i.e 0%, 0,5%, 1,0% and 1,5%. with six repeated The study was carried out experiment by using 24 female ducklings. Statistical analysis were carried out according to completely random design procedures. The study showed that supplemented level of chitosan until 1,5% was positive effect to decrease of the weight gain, and result feed conversion steel good.
Key words : Chitosan, feed comsumption, weight gain, feed conversion.
PENDAHULUAN
Itik adalah jenis unggas yang memiliki potensi yang cukup besar untuk dikembangkan khususnya sebagai salah satu sumber penyediaan daging dan saat ini ternak itik mulai dipopulerkan di beberapa negara lain di Asia untuk menjadi ternak komp-lementer bagi ternak ayam, pemeliharaannya cukup mudah dibandingkan pemeliharaan ayam ras atau ayam kampung. Dewasa ini preferensi masyarakat di tanah air terhadap daging dan telur itik lebih tinggi dibandingkan dengan ayam, namun demikian terdapat beberapa kendala utama yang menjadi faktor pembatas dalam pengembangan ternak ini yakni diperhadapkan dengan masih tingginya biaya pakan sehingga saat ini penyediaan bahan baku pakan lokal menjadi demikian penting dan sifatnya mendesak, terutama bila dikaitkan dengan harga pakan unggas yang terus mengalami kenaikan dari waktu ke waktu. Hal ini mudah dimaklumi karena bahan baku dalam pakan umumnya adalah impor, sehingga sudah saatnya sekarang melakukan upaya alternatif berupa penyediaan bahan baku lokal.
Salah satu bahan baku lokal yang banyak terdapat di Indonesia adalah limbah cangkang udang yang diketahui mengandung kitosan. Limbah cangkang udang mudah
sekali membusuk dan sukar terdegradasi dengan sendirinya sehingga dapat menjadi bahan pencemaran lingkungan. Selain itu penggunaan ruangan dari limbah cangkang cukup besar. Oleh karenanya perlu diupayakan pemanfaatannya. Cangkang udang basah mempunyai kadar air 60-65% dan apabila dikeringkan maka cangkang udang kering mengandung 50% protein kasar, 11% kalsium 1,95% fosfor kandungan kapur yang cukup tinggi memungkinkan bahan ini lebih cocok untuk bahan pakan ternak yang membutuhkan kalsium tinggi seperti unggas petelur. Penelitian Rahardjo (1985) dalam Sinurat (2001) menunjukkan bahwa pemberian tepung kepala udang hingga 30% dalam ransum itik petelur menghasilkan produksi telur dan efisiensi pakan lebih baik, disamping itu adanya pigmen astaxanthin dalam kulit udang menjadikan warna kuning telur lebih baik(kuning kemerahan).
Namun demikian penggunaan limbah cangkang udang dalam ransum perlu dibatasi penggunaannya karena limbah cangkang udang memiliki serat kasar yang cukup tinggi, sehingga perlu dilakukan proses pengolahan terlebih dahulu. . Limbah kulit udang ini setelah di ekstraksi akan dihasilkan senyawa kitin dan kitosan. Kemungkinan adanya faktor pembatas seperti zat anti nutrisi
dipertimbangkan dalam pemanfaatannya terutama perlu tidaknya bahan tersebut diolah sebelum dapat digunakan sebagai pakan (Mathius dan Sinurat, 2001).
Dengan pendekatan dan pemanfaatan teknologi yang tepat, potensi limbah ini dapat
diolah lebih lanjut menjadi senyawa polisakarida (polysaccharidae), dimana di dalamnya termasuk kitin [(C8H13NO5)n],
kitosan [(C6H11NO4)n] dan glukosamin
(C8H13NO5).
Gambar 1. Kitosan yang diekstrak dari kulit udang Kitosan adalah turunan dari kitin yang
merupakan konstituen organik yang sangat penting pada hewan golongan orthopoda, annelida, mollusca, coelanterata dan nematoda. Kitin biasanya berkonyugasi dengan protein dan tidak hanya terdapat pada kulit dan kerangkanya saja, tetapi juga terdapat pada trachea, insang, dinding usus, dan pada bagian dalam kulit pada cumi-cumi (Sepherd et al., 1997). Sejumlah kitin disintesis dari kopepoda laut (Austin et al., 1981 dalam ChonKyun Rha, 1984). Diperkirakan produksi dunia per tahunnya akan kitin mencapai 150.000 ton. Lebih lanjut dikatakan bahwa penggunaan kitin maupun kitin sangat penting dalam bidang biomedikal dan bioteknologi (ChoKyun Rha, 1984).
Kitin adalah kitin yang terdeasetilasi sebanyak mungkin dan dapat larut dalam asam. Kitin mempunyai sifat mudah terurai dan tidak mempunyai sifat beracun, sehingga sangat ramah terhadap lingkungan. Umumnya kitin diisolasi melalui rangkaian proses produksi. Pertama, demineralisasi atau proses penghilangan mineral menggunakan asam. Kedua, deproteinasi atau proses penghilangan protein menggunakan basa. Struktur kimia dari kitin sebagai berikut:
Kitosan mengandung Nitrogen 6,98% jauh lebih tinggi dibanding polimer sintetik yang hanya 1,25% sehingga sangat menarik untuk dipakai sebagai agen pengkelat, selain itu kitosan merupakan bahan alam yang lebih bersifat biocompatible dan biodegradable sehingga banyak diaplikasikan dalam bidang pertanian dan lingkungan, biomedis serta pangan. Dalam bidang biomedis sebagai senyawa anti tumor dan antikolesterol (Toharizman,2007).
Cangkang atau karapas udang merupakan limbah yang dapat mencemari lingkungan jika tidak dimanfaatkan atau diolah. Pengolahan cangkang udang yang dapat member nilai tambah yakni dengan mengolahnya menjadi serbuk yang kemudian diolah lebih lanjut menjadi kitin dan kitosan
yang merupakan bahan industri bernilai ekonomi tinggi yang dapat digunakan untuk keperluan kosmetik,industri pangan, pertanian dan lingkungan. Kitosan dapat digunakan juga sebagai makanan kesehatan antara lain untuk menurunkan kadar kolesterol dengan cara mengikat lemak makanan yang masuk ke dalam tubuh (Aninomous, 2007)
Telah dilakukan pula penelitian yang mengungkapkan bahwa serat kitosan dapat menghambat penyerapan lemak baik secara in vitro maupun in vivo baik pada hewan percobaan seperti tikus maupun pada tubuh manusia. Penelitian oleh suatu tim di Laboratorium Biokimia IPB (2002) menunjukkan bahwa secara in vitro (dalam tabung) molekul kitosan dapat mengikat molekul kolesterol sampai 18,6%. Uji yang dilakukan pada tikus percobaan menunjukkan bahwa penambahan kitosan 5% pada pakan selama 20 minggu dapat mengurangi level kolesterol darah hingga 65%. Pada penelitian selanjutnya disimpulkan bahwa pada kondisi normal kitosan mampu menyerap 4 - 5 kali lemak dibandingkan serat lain. Dalam suatu pengujian uji klinik dilaporkan bahwa kadar kolesterol berkurang hingga 32% setelah menggunakan kitosan selama lima minggu (Han et al., 1999; Nadrazky, 2006). Mekanisme pengikatan lemak oleh kitosan belum dimengerti secara utuh dan menyeluruh. Sejumlah pengamatan penelitian mendukung terjadinya dua mekanisme dasar pengikatan. Pertama, melibatkan tarik menarik dua muatan yang berlawanan, layaknya tarikan kutub magnet. Jadi, kitosan yang mempunyai gugus bermuatan positif akan
menarik muatan negatif dari asam lemak dan membentuk ikatan yang tak bisa dicerna. Kedua, penetralan muatan. Dalam model ini kitosan menyelubungi sisi aktif lemak dan melindunginya dari serangan dan penguraian enzim-enzim lipida (Rismana, 2003).
Berdasarkan hal tersebut di atas, dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui respons itik petelur dalam memanfaatkan ransum yang telah ditambahkan ekstrak limbah cangkang udang berupa kitosan pada level yang berbeda terhadap pertambahan bobot badan, konsumsi dan konversi ransum.
METODOLOGI
Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Mei sampai dengan Nopember 2009 di Kecamatan Pondidaha Kabupaten Konawe Sulawesi Tenggara. Penelitian dilakukan secara eksperimental menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) (Steel and Torrie,1991), sebagai perlakuan digunakan 4 macam ransum yang telah disuplementasi kitosan dimana setiap perlakuan diulang sebanyak 6 kali, sehingga banyaknya unit percobaan adalah 4 x 6 = 24 unit percobaan.
Ransum basal yang digunakan adalah ransum komersial dengan merk RK-24 -AA produksi PT Charoen Pokphand Indonesia. Kitosan diperoleh dengan cara diekstrak dari cangkang/kulit udang. Hasil analisis ransum basal yang dilakukan di Laboratorium Kimia Fakultas MIPA Universitas Haluoleo Kendari dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Komposisi formulasi bahan baku ransum
Bahan baku Komposisi
R1 R2 R3 R4 Dedak halus(%) 21,95 21,95 21,95 21,95 Jagung (%) 43,91 43,91 43,91 43,91 Konsentrat (%) 34,14 34,14 34,14 34,14 Kitosan (%) 0 0,05 0,10 0,15
Tabel 2. Kandungan nutrisi bahan baku ransum ternak itik *
Nutrisi ransum Kadar (%)
Protein 14,85
Lemak 4,49
Serat kasar 14,49
Kadar air 8,57
Kadar abu 19,80
Keterangan: *) Hasil analisis proksimat Lab. Fakultas Perikanan dan Kelautan Unhalu
Ransum perlakuan dibuat dengan cara menambahkan ransum basal dengan tepung kitosan dalam berbagai level. Ransum perlakuan tersebut adalah sebagai berikut: R1 = ransum basal + 0% kitosan; R2 = ransum basal + 0,5% kitosan; R3 = ransum basal + 1,0% kitosan; R4 = ransum basal + 1,5% kitosan.
Data yang diperoleh diolah dengan analisis ragam (anova). Bila terdapat pengaruh perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan uji Beda Nyata terkecil (Steel and Torrie, 1991) penelitian ini dilakukan dengan mengukur beberapa variabel seperti: (1) Pertambahan bobot badan, (2) Konsumsi ransum dan (3) Konversi ransum.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Pengaruh Perlakuan Terhadap
Pertambahan Bobot Badan
Pertambahan bobot badan ternak itik yang diberi ransum dengan penambahan suplementasi kitosan pada level yang berbeda disajikan pada Tabel 3.
Tabel 3. Pertambahan bobot badan (g ekor1 mg-1) ternak itik yang diberi suplementasi kitosan dalam ransum
PBB Perlakuan
R1 R2 R3 R4
Rataan 25 18 16,5 15
Keterangan : R1 : Ransum Kontrol; R2 : Ransum + 0,5% Kitosan; R3 : Ransum + 1% Kitosan; R4 : Ransum + 1,5% Kitosan
Berdasarkan Tabel 3 terlihat bahwa rataan pertambahan bobot badan itik dengan
suplementasi kitosan dalam ransum berkisar 15 – 25 g ekor-1mg-1. Rataan PBB pada itik yang disuplementasi kitosan cenderung menurun dibandingkan dengan kontrol dengan penurunan bobot badan yang semakin rendah seiring dengan meningkatnya level kitosan dalam ransum. Hal ini disebabkan serat kitosan yang menghambat penyerapan lemak oleh tubuh ternak, dengan kata lain kitosan dapat mengikat dan menyerap lemak dengan efisien sehingga berdampak pada berkurangnya PBB ternak itik. Hal ini ditegaskan oleh penelitian di Laboratorium IPB, pada kondisi normal kitosan mampu menyerap 4 – 5 kali lemak dibandingkan dengan serat lain (Nadrazky, 2006).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa suplementasi kitosan dalam ransum memberikan pengaruh yang sangat nyata (P>0,01) terhadap pertambahan bobot badan itik. Hasil Uji lanjut dengan metode Beda Nyata terkecil (BNT) menunjukkan perbedaan yang nyata antara kontrol (tanpa pemberian kitosan) terhadap semua level pemberian kitosan baik R2, R3 maupun R4. Pengaruh Perlakuan Terhadap Konsumsi Pakan
Tabel 4. Rataan konsumsi (g ekor-1mg-1) ternak itik yang diberi suplementasi kitosan dalam ransum
Konsumsi pakan
Perlakuan
R1 R2 R3 R4
Rataan 705,75 701,18 704,53 704,32 Keterangan : R1 : Ransum kontrol; R2 : Ransum + 0,5% Kitosan; R3 : Ransum + 1% Kitosan; R4 : Ransum + 1,5% kitosan
Berdasarkan Tabel 4, terlihat bahwa rataan konsumsi pakan itik yang disuplementasi kitosan setiap minggunya berkisar antara 701, 18 – 705,75 g/ekor/mg. Rataan Konsumsi relatif lebih tinggi pada R1 (Kontrol) sedangkan pada perlakuan dengan penambahan level kitosan cenderung lebih rendah, Namun secara keseluruhan pengaruh penambahan kitosan dalam ransum tidak terlalu mempengaruhi konsumsi ransum itik.
Berdasarkan hasil analisis ragam suplementasi kitosan dalam ransum tidak
memberikan pengaruh yang nyata (P< 0,05) terhadap konsumsi pakan itik.
Pengaruh Perlakuan Terhadap Konversi Pakan
Tabel 5. Konversi ransum ternak itik yang diberi suplementasi kitosan dalam ransum
Konversi Pakan Perlakuan
R1 R2 R3 R4
Konsumsi (g ekor-1mg-1) 705,75 701,18 704,53 704,32
Bobot badan (g ekor-1mg-1) 25,00 18,00 16,50 15,00
Konversi ransum 0,035 0,026 0,023 0,021
Keterangan : R1 : Ransum kontrol; R2 : Ransum + 0,5% Kitosan; R3 : Ransum + 1% Kitosan; R4 : Ransum + 1,5% Kitosan
Data Tabel 5 menunjukkan nilai konversi pakan itik berkisar 0,021 - 0,035 hal ini memberi indikasi bahwa konversi ransum itik yang digunakan selama penelitian cukup efisien karena nilai konversi ransum yang cukup kecil dibawah nilai 1, Hasil ini juga menunjukkan bahwa untuk memperoleh bobot badan 1 kg pada itik dibutuhkan 0,021 kg ransum. Hasil analisis ragam memperlihatkan rataan konversi ransum pada setiap perlakuan tidak berpengaruh nyata.
KESIMPULAN
Berdasarkan data hasil penelitian
dapat diambil kesimpulan bahwa
supplementasi berbagai level kitosan dalam ransum itik memberikan pengaruh yang nyata terhadap penurunan pertambahan bobot badan itik. Hal ini disebabkan karena kemampuan kitosan dalam penyerapan lemak tubuh, sehingga memberikan pengaruh signifikan dalam produksi telur. Supplementasi kitosan dalam ransum itik hingga 1,5% masih menghasilkan konversi ransum itik yang cukup baik.
DAFTAR PUSTAKA
Aninomous, 2007. Kitin dan Kitosan. Jurusan teknologi Pangan dan Gizi. IPB Bogor.
Chon Kyun Rha. 1984. Chitosan as biomedical. Di dalam : Biotechnology in the Marine Sciences. Proceedings of First Annual MIT Sea Grant Lecture and Seminar. Colwell, R.R., Sinskey, A.J., Pariser, E.R. (Eds.). John Wiley & Sons, Inc. Canada.
Gaspersz, V. 1991. Metode Perancangan Percobaan. CV ARMICO Bandung. Han LK, Kimura Y Okuda H. Reduction in fat
storage during chitin-chitosan treatment in mice fed a high-fat diet. Int J Obes Relat Metab Disord. 1999;23:174-179.
Joseph, G, Uhi TH., Rukmiasih., Wahyuni, I., Randa, SY., Hafid, H., Parakkasi, A. 2002. Status Kolesterol itik Mandalung dengan Pemberian Serat Kasar dan Vitamin E. Seminar Nasional Tknologi Peternakan dan Veteriner. Ciawi, Bogor. Mooners. 2007. All about chitosan.
www.silvercolloidal.net
Nadrazky, B. 2006. Chitosan research.
http://www.nadraszky.com/cgi-bin/mt/mt-tb.cgi/940.(15 Desember 2010).
North MO. 1978. Coercial Chicken Production Manual Second Adition. AVI Publishing Company IUC West Port Conneticcut. Nur, I. 2006. Manfaat kitin dari cangkang rajungan
(Portunus pelagicus) untuk pengendalian infeksi bakteri Aeromonas hydrophila
pada ikan mas (Cyprinus carpio). Laporan Penelitian Dosen Muda. Universitas Haluoleo.
Ranto dan Sitanggang, M. 2005. Panduan Lengkap Beternak Itik. Agromedia Pustaka. Jakarta.
Rismana, E. 2003. Serat Kitosan Mengikat Lemak.
http://www.kompas.com/kompas-cetak/0301/09/iptek/(5 Desember 2010). Rochima, E. 2005. Aplikasi Kitin Terdeasetilasi
Termostabil dari Bacillus papandayan
K29-14 Asal Kawah Kamojang Jawa barat pada Pembuatan Kitosan. Tesis. Fateta IPB.
Schlundt, D. Chitosan. The Health Phychology Home Page. Vanderbilt University. Sepherd, R., S. Reader. A. Faishaw.
1997. Chitosan Functional
Properties.Glycoconjugate Journal. Sopiah, N., dan J.P. Susanto. 2002. Isolasi dan
identifikasi bakteri proteolitik terhadap
deproteinasi limbah cangkang rajungan pada proses pembuatan chitin. Jurnal Sains dan Teknologi Indonesia. Vol.4, hal: 9 -14.
Sudibya, 1998. Manipulasi kadar kolesterol dan asam lemak omega3 telur ayam melalui penggunaan kepala udang dan ikan lemuru (Disertasi) IPB.
Warsito dan Eni Siti Rohaeni. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Widayati dan Wida Lestari. 1996. Limbah Untuk Pakan Ternak. Trubus Agrisarana. Surabaya.
Wiryowidagdo S, Sitanggang M. 2002. Tanaman Obat Untung Penyakit Jantung, Darah Tinggi dan Kolesterol.