BAB II
STUDI PUSTAKA
2.1 TINJAUAN UMUM
Di Indonesia , dahulu perencanaan jembatan jalan raya menggunakan peraturan PPPJJR 1987, konsep perencanaanya masih mengandalkan desain elastis (ASD). Akan tetapi pada tahun 1992 mulai dijajaki dengan memakai peraturan yang baru yakni BMS 1992 yang merupakan hasil kerjasama antara DPU-RI dengan Australian International Development Assistance Bureau, yang mempunyai konsep desain kekuatan batas (LRFD).
2.2. DESAIN ASD (ALLOWABLE STRESS DESIGN)
Desain ini sudah lama dipakai baik di Indonesia maupun di luar negeri, filosofi perencanaanya sudah dipakai kurang lebih 120 tahun. Perencanaan struktur bajanya masih menggunakan konsep desain elastis atau desain ASD (Allowable Stress Design) atau WSD (Woking Stress Design) yang menitik beratkan pada beban kerja (Service Load) dengan menganggap struktur tetap elastis. Konsep ini mempunyai batasan keamanan struktur berupa tegangan dasar
ijin sebesar (σ=
SF y
σ
), dan tidak menggunakan faktor beban atau faktor reduksi kekuatan. Untuk analisanya penulis menggunakan beberapa literatur yang dipakai, antara lain :
1. PPPJJR 1987
2. PPBBI 1984
3. SNI 03-1729-2002, dan lain-lain.
2.2.1 Pembebanan Struktur pada Desain ASD dengan PPPJJR
Pada desain ASD, penentuan beban yang bekerja pada jembatan disesuaikan dengan PPPJJR “Pedoman Perencanaan Pembebanan Jembatan
Jalan Raya” SKBI 1.3.28.1987 Dirjen Bina Marga DPU. Di bawah ini akan di bahas mengenai beban-beban yang berhubungan dengan perencanaan bangunan atas jembatan yaitu :
2.2.1.1 Beban Primer
Beban primer atau muatan primer adalah beban atau muatan yang merupakan muatan utama dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan. Yang termasuk muatan primer adalah :
a. Beban Mati
Yaitu merupakan beban yang berasal dari berat sendiri jembatan atau bagian jembatan yang ditinjau, termasuk segala unsur tambahan yang dianggap merupakan satu kesatuan tetap dengannya.
Dalam menentukan besarnya muatan mati tersebut, harus dipergunakan nilai berat isi untuk bahan bangunan dibawah ini :
1. Baja tuang 7,85 t / m3
2. Alumunium paduan 2,80 t / m3
3. Beton bertulang 2,50 t / m3
4. Beton biasa, beton cyclop 2,20 t / m3
5. Pasangan batu 2,00 t / m3
6. Kayu 1,00 t / m3
7. Tanah, pasir, kerikil (dalam keadaan padat)2,00 t / m3
8. Perkerasan jalan beraspal 2,00 – 2,50 t / m3
9. Air 1,00 t / m3
b. Beban Hidup
Muatan hidup adalah semua muatan yang berasal dari berat kendaraan-kendaraan bergerak/ lalu lintas dan atau berat pejalan kaki yang dianggap bekerja pada jembatan.
1. Macam-macam Beban Hidup
Muatan hidup pada jembatan yang harus ditinjau dinyatakan dalam dua macam, yaitu muatan “T” yang merupakan beban terpusat untuk lantai kendaraan dan muatan “D” yang merupakan beban jalur untuk gelagar.
2. Lantai Kendaraan dan lajur Lalu Lintas
Lajur lalu lintas ini mempunyai lebar minimum 2,75 meter dan lebar maksimum 3,75 meter. Lebar lajur minimum ini harus untuk menentukan muatan “D” per lajur. Jumlah lajur lalu lintas untuk lantai kendaraan dengan lebar 5,50 meter atau lebih ditentukan menurut Tabel 2.1 ,untuk selanjutnya ini digunakan dalam menentukan muatan “D” pada perhitungan reaksi perletakan.
Tabel 2.1 Jumlah lajur Lalu Lintas
NO LEBAR LANTAI KENDARAAN JUMLAH LAJUR LALU LINTAS
1 5,50 sampai 8,25 m 2
2 Lebih dari 8,25 m sampai dengan
11,25 m 3
3 Lebih dari 11,25 m sampai dengan
15,00 m 4
4 Lebih dari 15,00 m sampai dengan
18,75 m 5
5 Lebih dari 18,75 m sampai dengan
32,50 m 6
Catatan : Daftar tersebut di atas hanya digunakan dalam menentukan jumlah lajur pada jembatan.
3. Beban “T”
Untuk perhitungan kekuatan lantai kendaraan atau sistem lantai kendaraan jembatan, harus digunakan beban “T” seperti dijelaskan berikut ini :
Beban “T” adalah muatan yang merupakan kendaraan truk semitriller yang mempunyai beban roda ganda (dual wheel load) sebesar 10 ton, dengan ukuran-ukuran seperti gambar berikut: a1 = a2 = 30 cm
b1 = 12,50 cm
b2 = 50,00 cm
Gambar 2.1 Ketentuan beban “T” yang terjadi pada jembatan jalan raya
4. Beban “D”
- Untuk perhitungan kekuatan gelagar-gelagar harus digunakan
beban “D”. Beban “D” atau beban jalur adalah susunan beban pada setiap jalur lalu lintas yang terdiri dari beban terbagi rata sebesar “q” ton per meter panjang per jalur, dan beban garis “P” ton per jalur lalu lintas tersebut.
Besar “q” ditentukan sebagai berikut :
q = 2,2 t/m’ untuk L < 30 m
q = 2,2 t/m’ – 1,1/60 *(L – 30) t/m’ untuk 30 m < L < 60 m
q = 1,1 *(1+30/L) t/m’ untuk L > 60 m
L = panjang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan sesuai tabel III (PPPJJR hal 11)
t/m’ = ton per meter panjang, per jalur
400 500 275 175 50 50 kerb 0,25 Ms Ms Ms 275 cm 275 cm a1 b1 a2 b2 0,5Ms 0,5Ms 0,125Ms
Beban terbagi rata q t/m'
1 Jalur
P
q
Beban garis P = 12 ton
5,5 1/2 p p 1/2 q 5,5 1/2 p 1/2 q q
- Ketentuan penggunaan beban “D” dalam arah melintang jembatan
adalah sebagai berikut :
¾ Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan sama atau lebih kecil
dari 5,50 meter, muatan “D” sepenuhnya (100%) harus dibebankan pada seluruh lebar jembatan.
¾ Untuk jembatan dengan lebar lantai kendaraan lebih besar dari 5,50
meter, muatan “D” sepenuhnya (100%) dibebankan pada lebar jalur 5,50 meter sedang lebar selebihnya dibebani hanya separuh dari muatan “D” (50%).
Gambar 2.3 Ketentuan penggunaan beban “D” pada jembatan jalan raya Gambar 2.2 Distribusi beban “D” yang bekerja pada jembatan jalan raya
- Dalam menentukan beban hidup (beban terbagi rata dan beban garis) perlu diperhitungkan ketentuan bahwa :
Muatan hidup per meter lebar lajur lalu lintas jembatan menjadi sebagai berikut :
Beban terbagi rata =
meter meter ton q 75 , 2 / Beban garis = meter ton P 75 , 2
Angka pembagi 2,75 meter di atas selalu tetap dan tidak tergantung pada lebar lajur lalu lintas.
5. Beban pada Trotoir, Kerb dan Sandaran
¾ Konstruksi trotoir harus diperhitungkan terhadap beban hidup
sebesar 500 kg/m2. Dalam perhitungan kekuatan gelagar karena
pengaruh beban hidup pada trotoir, diperhitungkan beban sebesar 60% beban hidup trotoir.
¾ Kerb yang terdapat pada tepi-tepi lantai kendaraan harus
diperhitungkan untuk dapat menahan beban horisontal ke arah melintang jembatan sebesar 500 kg/m yang bekerja pada puncak kerb yang bersangkutan atau pada tinggi 25 cm di atas permukaan lantai kendaraan apabila kerb yang bersangkutan lebih tinggi dari 25 cm.
¾ Tiang-tiang sandaran pada setiap tepi trotoir harus diperhitungkan
untuk dapat menahan beban horizontal sebesar 100 kg/m, yang bekerja pada tinggi 90 cm di atas lantai trotoir.
c. Beban Kejut
Untuk memperhitungkan pengaruh-pengaruh getaran-getaran dan pengaruh-pengaruh dinamis lainnya, tegangan-tegangan akibat beban garis “P” harus dikalikan dengan koefisien kejut yang akan memberikan hasil maksimum, sedangkan beban merata “q” dan beban “T” tidak dikalikan dengan koefisien kejut.
Koefisien kejut ditentukan dengan rumus :
(
L)
k + + = 50 20 1Dimana : k = Koefisien kejut
L = Panjang bentang dalam meter, ditentukan oleh tipe konstruksi jembatan (keadaan statis) dan kedudukan muatan garis “P”
Koefisien kejut tidak diperhitungkan terhadap bangunan bawah apabila bangunan bawah dan bangunan atas tidak merupakan satu kesatuan. Bila bangunan bawah dan bangunan atas merupakan satu kesatuan maka koefisien kejut diperhitungkan terhadap bangunan bawah.
2.2.1.1 Beban Sekunder
Beban sekunder atau muatan sekunder adalah muatan pada jembatan yang merupakan muatan sementara yang selalu diperhitungkan dalam perhitungan tegangan pada setiap perencanaan jembatan. Yang termasuk muatan sekunder adalah beban angin.
Pengaruh beban angin yang ditetapkan sebesar 150 kg/m2 dalam arah
horisontal terbagi rata pada bidang vertikal jembatan, dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Dalam menghitung luas bagian-bagian sisi jembatan yang terkena angin dapat digunakan ketentuan sebagai berikut:
1. Ketentuan tanpa beban hidup
- Untuk jembatan rangka diambil sebesar 30% luas bidang sisi jembatan
yang langsung terkena angin, ditambah 15% luas bidang sisi lainnya.
2. Keadaan dengan beban hidup
- Untuk jembatan diambil sebesar 50% terhadap luas bidang diatas.
- Untuk beban hidup diambil sebesar 100% luas bidang sisi yang langsung
2.2.2 Penyaluran Beban/ Distribusi Gaya
2.2.2.1 Beban Mati
1. Beban Mati Primer
Beban mati yang digunakan dalam perhitungan kekuatan gelagar-gelagar (baik gelagar tengah maupun gelagar pinggir) adalah berat sendiri pelat dan sistem lainnya yang dipikul langsung oleh masing-masing gelagar tersebut.
2. Beban Mati Sekunder
Beban mati sekunder yaitu kerb, trotoir, tiang sandaran dan lain-lain, yang dipasang setelah pelat di cor, dan dapat dianggap terbagi rata di semua gelagar.
2.2.2.2 Beban Hidup
1. Beban “T”
Dalam menghitung kekuatan lantai akibat beban “T” dianggap bahwa beban tersebut menyebar ke bawah dengan arah 45 derajat sampai ke tengah-tengah tebal lantai.
2. Beban “D”
Dalam menghitung momen dan gaya lintang dianggap bahwa gelagar-gelagar mempunyai jarak dan kekuatan yang sama atau hampir sama sehingga penyebaran beban “D” melalui lantai kendaraan ke gelagar-gelagar harus dihitung dengan cara sebagai berikut :
3. Perhitungan momen dan perhitungan gaya lintang
a. Gelagar memanjang tengah
Beban hidup yang diterima oleh tiap gelagar memanjang tengah adalah sebagai berikut :
Beban merata : q’ = q/2,75 x α x s
Beban garis : P’ = P/2,75 x α x s
Dimana :
s = jarak gelagar yang berdekatan (yang ditinjau) dalam
meter, diukur dari sumbu ke sumbu.
α = 0,75 bila kekuatan gelagar melintang diperhitungkan.
α = 1,00 bila kekuatan gelagar melintang tidak
diperhitungkan.
b. Gelagar memanjang pinggir
Beban hidup yang diterima oleh gelagar memanjang pinggir adalah
beban hidup tanpa memperhitungkan faktor distribusi (α = 1,00).
Bagaimana pun juga gelagar memanjang pinggir harus direncanakan minimum sama kuat dengan gelagar memanjang tengah. Dengan demikian beban hidup yang diterima oleh tiap gelagar memanjang pinggir tersebut adalah sebagai berikut :
Beban merata : q’ = q/2,75 x s’
Beban garis : P’ = P/2,75 x s’
Dimana :
s’ = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar memanjang
pinggir.
c. Gelagar melintang tengah.
Beban hidup yang diterima oleh gelagar melintang tengah adalah sebagai berikut :
Beban merata : q’ = q x s
Beban garis : P’ = P
Dimana :
s = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar melintang
tengah.
d. Gelagar melintang pinggir
Beban hidup yang diterima oleh gelagar melintang pinggir adalah sebagai berikut :
Beban merata : q’ = q x s’
Beban garis : P’ = P
Dimana :
s’ = lebar pengaruh beban hidup pada gelagar melintang
2.2.3 Kombinasi Beban
Karena tidak menggunakan faktor beban, kombinasi beban desain ASD disesuaikan dengan konsep AISC-ASD 1989, yakni dengan persamaan-persamaan seperti di bawah ini :
1. DL Dimana : DL = beban mati
2. DL + LL LL = beban hidup 3. DL + LL + WL WL = beban angin 4. DL + LL + EL EL = beban gempa 5. DL + EL 6. DL + WL 2.2.4 Kelangsingan Penampang
Kelangsingan (λ) penampang adalah ukuran dari kecenderungan untuk
menekuk pada lentur atau beban aksial atau kombinasi keduanya. Suatu unsur dengan kelangsingan besar akan lebih mudah menekuk dibanding unsur dengan kelangsingan kecil.
2.2.4.1 Kelangsingan Penampang Elemen Lentur
Nilai kelangsingan elemen lentur adalah t b =
λ
dimana: b = lebar bersih dari elemen pelat tekan kearah luar dari permukaan elemen pelat pendukung
t = tebal elemen
2.2.4.2 Kelangsingan Penampang Elemen Tekan
Nilai kelangsingan elemen tekan adalah r Lk =
λ ≤ 200
dimana: Lk = panjang tekuk elemen tekan = K*L r = jari-jari girasi profil = imin
K = koefisien tekuk, besarnya seperti di bawah ini:
Tumpuan ujung sendi-sendi K = 1 sendi-jepit K = 0,7
2.2.4.3 Kelangsingan Penampang Elemen Tarik
Nilai kelangsingan elemen tarik adalah r L =
λ ≤ 300...batang sekunder
dimana: L = panjang elemen tarik
r L =
λ ≤ 240...batang primer
r = jari-jari girasi profil
2.2.5 Kekompakan Penampang
Penampang kompak adalah penampang yang mampu mengembangkan kekuatan lentur plastis penuh dan memikul pengaruh persendian plastis tanpa
menekuk. Penampang ini mempunyai persyaratan yaitu λ ≤ λp, sedangkan
penampang tak kompak yaitu λp ≤λ≤λr
2.2.5.1 Daya Dukung Komponen Struktur Tekan
Jika penampang profil dinyatakan kompak, maka daya dukung komponen struktur tekan dapat dihitung sebagai berikut (PPBBI 1984):
N = Ag ω σ λg = y f E * 7 , 0 * π λs = g λ λ Untuk λs ≤ 0,183 maka ω = 1 Untuk 0,183 ≤λs≤ 1,0 maka ω = s λ − 593 , 1 41 , 1 Untuk λs≥ 1,0 maka ω = 2,381* λs2
Dimana : N = gaya tekan batang
Ag = luas penampang bruto
λg = kelangsingan batas
λs = rasio kelangsingan
fy = tegangan leleh baja
σ = tegangan dasar ijin baja
E = modulus elastis baja (E = 2*105 Mpa)
2.2.5.2 Daya Dukung Komponen Struktur Tarik
Tegangan rata-rata pada suatu penampang yang melaluai lobang dari suatu batang tarik tidak boleh lebih besar dari 0,75 kali tegangan dasar. Besarnya tegangan rata-rata tersebut adalah (PPBBI 1984)
n r A N = σ ≤ 0,75*σ.
Dimana: An = luas penampang bersih/ efektif
N = gaya tarik batang
σr = tegangan rata-rata
Dalam suatu potongan jumlah lobang tidak boleh lebih besar daripada 15% luas penampang utuh.
Tabel 2.2 Perbandingan Maksimum Lebar terhadap Tebal untuk Elemen Tertekan
Jenis elemen Perbandingan lebar terhadap tebal (λ) Perbandingan maksimum untuk penampang kompak (λp) Perbandingan maksimum untuk penampang tak kompak (λr)
Pelat sayap balok I dan kanal dalam lentur
b/t 170/ fy 370/ fy− fr
Pelat sayap dari komponen struktur tekan
b/t - 250/ fy
Bagian-bagian pelat badan dalam tekan akibat lentur
h/tw 1680/ fy 2550/ fy
Sumber SNI 2002
2.3. Pembebanan Struktur Dengan Bridge Management System
Merupakan konsep baru dalam desain struktur, konsep desain ini pertama kali diperkenalkan di Amerika pada tahun 1986 dengan terbitnya AISC-LRFD. Di Indonesia khususnya untuk desain jembatan, konsep tersebut mulai dipakai tahun 1992 dengan ditandainya kerjasama antara Dinas Pekerjaan Umum
keluarnya Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan atau lebih dikenal dengan nama Bridge Management System (BMS 1992).
Menurut para ahli, konsep ini lebih rasional karena antara lain menggunakan angka keamanan (faktor beban) yang berbeda untuk setiap macam beban, dan kekuatan penampang (faktor resistensi/ reduksi) yang berbeda untuk setiap kondisi pembebanan. Konsep ini merupakan teori kekuatan batas (Limit State Design) yakni perencanaan pada pembebanan sesaat sebelum terjadi
keruntuhan dengan batasan mencapai tegangan leleh (σy), sedangkan untuk
analisa strukturnya dapat dipakai analisa elastis (jika penampang profil baja tidak kompak) dan analisa plastis (jika penampang profil baja kompak).
Perhitungan didasarkan pada desain faktor resistensi beban dengan asumsi bahwa dalam keadaan apapun struktur harus memiliki kekuatan yang cukup, baik sisi kekuatan maupun ketahanannya sehingga mampu berfungsi dengan baik selama umur rencana. Desain harus menyediakan cadangan diatas yang diperlukan untuk menanggung beban layan, yaitu kemungkinan terjadinya kelebihan beban. Kelebihan beban bisa saja terjadi akibat perubahan fungsi struktur, akibat terlalu rendahnya taksiran atas efek-efek beban karena penyederhanaan berlebihan dalam analisis strukturnya dan akibat variasi-variasi dalam prosedur konstruksinya. Disamping itu harus ada persediaan yang cukup terhadap kemungkinan kekuatan material yang lebih rendah. Penyimpangan dalam dimensi batang walaupun masih dalam batas toleransi yang bisa diterima, dapat mengakibatkan suatu batang memiliki kekuatan yang lebih rendah dari yang telah diperhitungkan sebelumnya. Sedangkan beberapa literatur yang dipakai antara lain:
1. PPTJ 1992 atau BMS 1992
2. SNI 03-1729-2002, dan lain-lain.
2.3.1 Pembebanan Struktur
Penentuan beban yang bekerja pada struktur jembatan ini disesuaikan dengan “Peraturan Perencanaan Teknik Jembatan” (PPTJ) 1992 atau yang lebih
dikenal sebagai “Bridge Management System” (BMS) 1992, ada dua kategori aksi berdasarkan lamanya beban bekerja :
a. Aksi tetap atau beban tetap
Merupakan aksi yang bekerja sepanjang waktu dan bersumber pada sifat bahan, cara jembatan dibangun dan bangunan lain yang mungkin menempel pada jembatan.
b. Aksi transien atau beban sementara
Merupakan aksi yang bekerja dengan jangka waktu yang pendek, walaupun mungkin sering terjadi.
Menurut BMS 1992, beban dibedakan menjadi :
1. Beban Permanen :
a) Beban sendiri
b) Beban mati tambahan
2. Susut dan rangkak
3. Tekanan tanah
4. Beban lalu lintas
5. Beban lingkungan, dan lain-lain.
2.3.1.1 Beban Permanen
1. Beban Sendiri
Beban sendiri dari bagian bangunan yang dimaksud adalah berat dari bagian tersebut dan elemen-elemen struktural yang dipikulnya, atau berat sendiri adalah berat dari bagian jembatan yang merupakan elemen struktural ditambah dengan elemen non struktural yang dianggap tetap. Berat isi dari berbagai bahan adalah sebagai berikut :
Tabel 2.3 Berat Isi untuk Berat Sendiri
Bahan Berat/Satuan Isi
kN/m3
Aspal Beton 22,0 Beton Bertulang 25,0
Baja 77,0
2. Beban Mati Tambahan
Beban mati tambahan adalah berat seluruh bahan yang membentuk suatu beban pada jembatan yang merupakan elemen non struktural dan mungkin besarnya berubah selama umur rencana. Beban mati tambahan diantaranya:
- Perawatan permukaan khusus.
- Pelapisan ulang dianggap sebesar 50 mm aspal beton (hanya
digunakan dalam kasus menyimpang dan dianggap nominal 22 kN/m3).
- Sandaran, pagar pengaman dan penghalang beton.
- Tanda-tanda.
- Perlengkapan umum seperti pipa air dan penyaluran (dianggap
kosong atau penuh).
2.3.1.2 Beban Lalu Lintas
1. Beban Kendaraan Rencana
a. Aksi kendaraan
Beban kendaraan tediri dari tiga komponen :
- Komponen vertikal
- Komponen rem
- Komponen sentrifugal (untuk jembatan melengkung)
b. Jenis kendaraan
Beban lalu lintas untuk rencana jembatan jalan raya terdiri dari pembebanan lajur “D” dan pembebanan truk “T”. Pembebanan lajur “D” ditempatkan melintang pada lebar penuh dari jalur lalu lintas pada jembatan dan menghasilkan pengaruh pada jembatan yang ekivalen dengan rangkaian kendaraan sebenarnya. Jumlah total pembebanan lajur “D” yang ditempatkan tergantung pada lebar jalur pada jembatan. Pembebanan truk “T” adalah kendaraan berat tunggal (semitriller) dengan tiga gandar yang ditempatkan dalam kedudukan jembatan pada lajur lalu lintas rencana. Tiap gandar terdiri dari dua pembebanan bidang kontak yang dimaksud agar mewakili pengaruh roda kendaraan berat.
Hanya satu truk “T” yang boleh ditempatkan per spasi lajur lalu lintas rencana.
Umumnya, pembebanan “D” akan menentukan untuk bentang sedang sampai panjang dan pembebanan “T” akan menentukan untuk bentang pendek dan sistem lantai.
2. Beban Lajur “D”
Beban lajur “D” terdiri dari :
a. Beban terbagi rata (UDL) dengan intensitas q kPa, dengan q tergantung
pada panjang yang dibebani total (L) sebagai berikut :
L ≤ 30 m q = 8,0 kPa
L ≥ 30 m kPa
L q=8,0*⎢⎣⎡0,5+15⎥⎦⎤
Beban UDL boleh ditempatkan dalam panjang terputus agar terjadi pengaruh maksimum. Dalam hal ini, L adalah jumlah dari panjang masing-masing beban terputus tersebut. Beban UDL ditempatkan tegak lurus terhadap arah lalu lintas.
b. Beban garis (KEL) sebesar p kN/m, ditempatkan pada kedudukan
sembarang sepanjang jembatan dan tegak lurus pada arah lalu lintas. Besar P = 44,0 kN/m. Pada bentang menerus, KEL ditempatkan dalam kedudukan lateral sama yaitu tegak lurus arah lalu lintas pada dua bentang agar momen lentur negatif menjadi maksimum.
Intensitas beban “b” kurang dari 5,5 m b 5,5 50 100 100% b
Intensitas beban
“b” lebih dari 5,5 m
Penempatan alternatif
Gambar 2.4 Skema Penyebaran Muatan “D”
3. Beban Truk “T”
Hanya satu truk yang harus ditempatkan dalam tiap lajur lalu lintas rencana untuk panjang penuh dari jembatan. Truk “T” harus ditempatkan di tengah lajur lalu lintas. Lajur-lajur ini ditempatkan dimana saja antara kerb. Untuk lebih jelasnya lihat gambar berikut :
Gambar 2.5 Penyebaran Beban Truk T
Selain untuk perhitungan sistim pelat lantai, beban “T” juga berpengaruh pada gelagar memanjang dengan faktor distribusi sebagai berikut:
5,5 5 m 4-9 m 2,75 m 1,75 m 0,5 m kerb 50 kN 200 kN 200 kN 275 cm 200 mm 125 mm 500 mm 0,5 m 200 mm 500 mm 200 mm 25 kN 100 kN 100 kN
Tabel 2.4 Faktor Distribusi untuk Pembebanan Truk “T”
Jenis Bangunan Atas Jembatan Jalur Tunggal Jembatan Jalur Majemuk
Pelat lantai beton: - balok baja I atau balok beton pratekan
- balok beton bertulang - balok kayu S/4,2 S/4,0 S/4,8 S/3,4 S/3,6 S/4,2 Lantai papan kayu S/2,4 S/2,2 Lantai baja gelombang
tebal 50 mm atau lebih S/3,3 S/2,7 Kisi-kisi baja:
- kurang dari tebal 100 mm - tebal 100 mm atau lebih
S/2,6 S/3,6
S/2,4 S/3,0
Catatan: 1. Dalam hal ini beban pada tiap balok memanjang adalah reaksi beban roda dengan menganggap lantai antara gelagar sebagai balok sederhana 2. S adalah jarak rata-rata antara balok memanjang (m)
3. Balok geser dihitung untuk beban roda dengan reaksi 2S yang disebarkan oleh S/faktor > 0,5
Sedangkan penyebaran bidang kontak roda terhadap gelagar memanjang
mempunyai sudut 22,5o, lihat gambar berikut:
4. Faktor Beban Dinamik
Faktor beban dinamik (DLA) berlaku pada “KEL” lajur “D” dan truk “T” untuk simulasi kejut dari kendaraan bergerak pada struktur jembatan. Faktor beban dinamik adalah untuk S.L.S dan U.L.S dan untuk semua bagian struktur
Gambar 2.6 Penyaluran Beban Bidang Kontak “T” α 22,5o
Gelagar memanjang
Gelagar memanjang Bidang kontak roda
sampai pondasi. Untuk truk “T” nilai DLA adalah 0,3, untuk “KEL” nilai DLA diberikan dalam tabel berikut :
Tabel 2.5 Nilai Faktor Beban Dinamik
Bentang Ekivalen LE(m) DLA (untuk kedua keadaan batas)
LE ≤ 50 0,4
50 < LE < 90 0,525 – 0,0025 LE
LE ≥ 90 0,3
Catatan : 1. Untuk bentang sederhana LE = Panjang bentang aktual
2. Untuk bentang menerus LE = Lrata−rata•Lmaksimum
5. Beban Pejalan Kaki
Intensitas beban pejalan kaki untuk jembatan jalan raya tergantung pada luas beban yang dipikul oleh unsur yang direncanakan. Bagaimanapun, lantai dan gelagar yang langsung memikul pejalan kaki harus direncanakan untuk 5 kPa. Intensitas beban untuk elemen lain, diberikan dalam tabel berikut :
Tabel 2.6 Intensitas Beban Pejalan Kaki untuk Trotoir Jembatan Jalan Raya
Luas Terpikul Oleh Unsur (m2) Intensitas Beban Pejalan Kaki
Nominal (kPa)
A < 10 5
10 < A < 100 5,33 – A/30
A > 100 2
Bila kendaraan tidak dicegah naik ke kerb oleh penghalang rencana, trotoir juga harus direncanakan agar menahan beban terpusat 20 kN
2.3.1.3 Beban Lingkungan
Yang termasuk beban lingkungan untuk keperluan perencanaan bangunan atas jembatan adalah beban angin. Gaya angin pada bangunan atas tergantung pada luas ekivalen diambil sebagai luas padat jembatan dalam arah tegak lurus sumbu memanjang jembatan. Untuk jembatan rangka luas ekivalen ini diambil 30% luas yang dibatasi oleh unsur rangka terluar.
Angin harus dianggap bekerja secara merata pada seluruh banguna atas. Gaya nominal ultimit dan daya layan jembatan akibat angin tergantung kecepatan angin rencana seperti berikut:
TEW = 0,0006*CW*(VW)2*Ab kN , dimana:
VW = kecepatan angin rencana (m/det) untuk keadaan batas yang ditinjau
CW = koefisien seret (lihat tabel 2.5)
Ab = luas koefisien bagian samping jembatan (m2)
Apabila suatu kendaraan sedang berada diatas jembatan, beban garis merata tambahan arahhorisontal harus diterapkan pada permukaan lantai seperti rumus berikut:
TEW = 0,0012*CW*(VW)2 kN/m , dimana CW = 1,2
Tabel 2.7 Koefisien Seret (CW)
Tipe Jembatan CW
Bangunan atas masif 2,1 1,5 1,25 Bangunan atas rangka 1,2
Tabel 2.8 Kecepatan Angin Rencana (VW)
Keadaan batas
Lokasi Sampai 5 km dari
pantai > 5km dari pantai
Daya layan 30 m/s 25 m/s
Ultimit 35 m/s 30 m/s
2.3.2 Kombinasi Beban
Karena menggunakan faktor beban, kombinasi beban desain LRFD disesuaikan dengan konsep AISC-LRFD 1993, yakni dengan persamaan-persamaan seperti di bawah ini :
1. 1,4 DL Dimana : DL = beban mati
2. 1,2 DL + 1,6 LL LL = beban hidup 3. 1,2 DL + 0,5 LL + 1,3 WL WL = beban angin 4. 1,2 DL + 0,5 LL + 1,0 EL EL = beban gempa 5. 0,9 DL + 1,0 EL 6. 0,9 DL + 1,3 WL 7. 1,2 DL + 1,0 EL 8. 1,2 DL + 1,3 WL
2.3.3 Faktor Beban
Menurut BMS 1992 faktor beban dapat dilihat pada tabel dibawah ini : Tabel 2.9 Faktor Beban Keadaan Batas Ultimate
Jenis Beban Faktor Beban Keadaan Batas Ultimit
Keterangan Faktor Beban
Berat sendiri Baja
Beton cor ditempat
1,1 1,3
Beban mati tambahan Kasus umum Kasus khusus
2,0 1,4 Beban lajur “D” - 2,0 Beban truk “T” - 2,0 Beban pejalan kaki - 2,0
Beban angin - 1,2
2.3.4 Faktor Reduksi
Menurut BMS 1992, faktor reduksi untuk baja dapat dilihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2.10 Faktor Reduksi Kekuatan U.L.S. untuk Baja
Situasi Rencana Faktor Reduksi
Unsur yang memikul lentur 0,90 Unsur yang memikul tekan aksial 0,90 Unsur yang memikul tarik aksial 0,90 Penghubung geser 1,00 Hubungan baut 0,70
Sedangkan faktor reduksi untuk beton menurut SKSNI T15-1991-03 adalah: Tabel 2.11 Faktor Reduksi untuk Beton
Situasi Rencana Faktor Reduksi
Beban lentur 0,80 Gaya tekan aksial 0,80 Gaya tarik aksial 0,65 Gaya lintang dan torsi 0,60
2.3.5 Kelangsingan Penampang
Kelangsingan (λ) penampang adalah ukuran dari kecenderungan untuk
menekuk pada lentur atau beban aksial atau kombinasi keduanya. Suatu unsur dengan kelangsingan besar akan lebih mudah menekuk dibanding unsur dengan kelangsingan kecil. 250 * fy t b ⎟ ⎠ ⎞ ⎜ ⎝ ⎛ = λ
dimana: b = lebar bersih dari elemen pelat tekan kearah luar dari permukaan elemen pelat pendukung
t = tebal elemen
fy = tegangan leleh elemen
2.3.5.1 Kekuatan Unsur Tehadap Lentur
Kekuatan unsur terhadap momen lentur ultimit rencana (Mu) tergantung
pada tekuk setempat dari elemen pelat yang membentuk penampang unsur. Dapat
ditentukan dengan rumus Mu ≤ Ø*Mn. Jika unsur berpenampang kompak, yakni
penampang yang mampu mengembangkan kekuatan lentur plastis penuh dan
memikul pengaruh persendian plastis tanpa menekuk, atau dengan persyaratan λ≤
λp, maka besarnya momen nominal adalah sama dengan momen plastis (Mn =
Mp). Besarnya momen plastis sendiri (buku “metode plastis, analisa dan desain”
Wahyudi, Sjahril A. Rahim) adalah : Mp = Z*fy, Z = f*S
Dimana : Z = modulus plastis penampang
f = faktor bentuk penampang ( penampang I - f=1,12)
S = modulus elastis penampang
Ø = faktor reduksi kekuatan bahan
Mu = momen ultimit unsur
Tabel 2.12 Nilai Batas Kelangsingan Elemen Pelat
Deskripsi Ujung-ujung
didukung Tegangan sisa Batas plastisλp Batas lelehλy
Tekanan merata Satu HR 9 16 Tekana maksimum
pada ujung tidak didukung, tekanan nol atau tarikan pada ujung didukung
Satu HR 9 25
Tekanan merata Dua HR 30 45 Tekanan pada satu
ujung, tarikan pada
ujung lain Dua Any/ tiap 82 115 Penampang bulat
berongga - HR,CF 50 120
Catatan HR= Hot Rolled sumber BMS 1992
2.3.5.2 Kekuatan Unsur badan
Kekuatan unsur terhadap gaya geser ultimit rencana (Vu) ditentukan oleh
ketahanan badan seperti kekuatan geser badan. Dapat dinyatakan dengan rumus: Vu≤Ø*Vn λw≤ 82, maka Vn = 0,6*fy*Aw (BMS 1992)
Dimana : Vu = kekuatan geser ultimit unsur
Vn = kekuatan geser nominal penampang
Ø = faktor reduksi kekuatan bahan
Aw = luas elemen badan
2.3.5.3 Kekuatan Unsur terhadap Tekan
Unsur yang memikul gaya tekan cukup besar dapat runtuh dalam salah satu dari dua cara yakni tekuk setempat dari elemen pelat yang membentuk penampang melintang dan tekuk lentur dari seluruh unsur. Jika penampang suatu unsur dinyatakan kompak, maka rumus yang dipakai adalah:
Nu≤Ø*Nn Nn = Kf*An*fy (BMS 1992)
Dimana : Nu = gaya tekan aksial terfaktor
Nn = gaya tekan aksial nominal penampang
Ø = faktor reduksi kekuatan bahan
Kf = faktor bentuk = g e A A
, untuk penampang kompak Kf =1
2.3.5.4 Kekuatan Unsur terhadap Tarik
Kekuatan unsur terhadap gaya tarik ultimit rencana (Nu) ditentukan oleh
persyaratan sebagai berikut:
Nu≤Ø*Nt nilai Nt diambil terkecil dari Nt = Ag*fy (BMS1992) Nt = 0,85*kt*An*fu
Dimana : Nu = gaya tarik aksial terfaktor
Nt = gaya tarik aksial nominal penampang
Ø = faktor reduksi kekuatan bahan
Ag = luas penampang penuh
An = luas penampang bersih
fu = tegangan tarik/ putus bahan
fy = tegangan leleh bahan
kt = faktor koreksi untuk pembagian gaya
= untuk hubungan yang simetris kt = 1
= untuk hubungan yang asimetris kt = 0,85 atau 0,9
= hubungan penampang I atau kanal pada kedua sayap kt = 0,85
2.4 PERENCANAAN STRUKTUR ATAS
Struktur atas merupakan struktur dari jembatan yang terletak pada bagian atas dari jembatan, seperti sandaran, trotoar, lantai kendaraan, gelagar-gelagar dan rangka.
2.4.1 Perencanaan Sandaran
Sandaran merupakan pembatas antara daerah trotoar dan kendaraan dengan tepi jembatan, yang berfungsi sebagai pengaman bagi pemakai lalu lintas maupun pejalan kaki yang melewati jembatan tersebut. Konstruksi sandaran terdiri dari :
1. Tiang sandaran (Raill Post), biasanya dibuat dari konstruksi beton
bertulang untuk jembatan dengan balok girder beton, sedangkan untuk jembatan rangka tiang sandaran menyatu dengan struktur rangka utama.
2. Sandaran (Hand Raill), biasanya dari pipa besi, kayu dan beton bertulang.
2.4.1.1 Desain PPPJJR
Menurut PPPJJR 1987 Beban yang bekerja pada sandaran adalah beban sebesar 100 kg/m yang bekerja dalam arah horizontal setinggi 0,9 meter. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menghitung panjang sandaran yang menumpu pada rangka jembatan:
a. Menentukan tinggi total rangka jembatan (Ht)
b. Menghitung tinggi sandaran dari as rangka jembatan terbawah (hs) c. Menentukan panjang per segmen rangka jembatan (b)
d. Menghitung panjang sandaran dengan perbandingan segitiga (ls)
2. Menentukan mutu dan profil sandaran (pipa baja)
3. Menghitung pembebanan (q=100 kg/m + berat profil)
4. Analisa struktur (momen dan gaya lintang)
M = 1/8*q*l2 D = (q*l)/2
5. Cek kekuatan (tegangan)
W M =
σ ≤σ dimana : σ = tegangan yang terjadi
σ = tegangan ijin dasar
M = momen luar
W = momen tahanan penampang
l ls
Gambar 2.7 Panjang Sandaran Pada Jembatan
H
b
hs
ls
Aw D =
τ ≤τ dimana : τ = tegagan geser yang terjadi
τ = tegangan geser ijin = 0,58*σ
D = gaya lintang
Aw = luas pada badan penampang
6. Cek kekakuan (lendutan)
∆ > = ∆ 500 L
dimana: ∆ = lendutan yang terjadi
∆ = lendutan ijin I E l q * * 384 * * 5 4 = ∆ l = bentang q = beban merata
E = modulus elastisitas bahan I = momen Inersia
2.4.1.2 BMS 1992
Menurut BMS 1992 sandaran untuk pejalan kaki harus direncanakan untuk dua pembebanan rencana daya layan yaitu q=0,75 kN/m, yang bekerja secara bersamaan dalam arah menyilang dan vertikal pada sandaran. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menghitung panjang sandaran yang menumpu pada rangka jembatan:
idem
2. Menentukan mutu dan profil sandaran (pipa baja)
3. Menghitung dua pembebanan arah V dan H (q=0,75 kN/m *faktor beban)
4. Menghitung resultante dari dua beban V dan H (R=
[quV/cosα]+[quH/cosα]+berat profil)
5. Analisa struktur (momen dan gaya lintang)
Mu = 1/8*qu*l2 Vu =(qu*l)/2
6. Cek kapasitas
¾ Kapasitas momen lentur nominal
Mn = momen nominal penampang
Ø = faktor reduksi elemen lentur
¾ Kapasitas geser
Vu ≤ Ø*Vn dimana: Vn = kuat geser nominal
Vu = gaya geser perlu
Ø = faktor reduksi kuat geser
7. Cek kekakuan (lendutan)
Sama dengan desain ASD yaitu tanpa faktor beban.
2.4.2 Perencanaan Trotoar
Trotoar berfungsi untuk memberikan pelayanan yang optimal kepada pejalan kaki baik dari segi keamanan maupun kenyamanan. Konstruksi trotoar direncanakan sebagai pelat beton yang terletak di atas plat lantai tepi jembatan yang dalam perhitungan diasumsikan sebagai konstruksi kantilever yang tertumpu pada gelagar memanjang. Dilihat dari ukurannya konstruksi trotoar dianggap sebagai plat satu arah.
2.4.2.1 Desain PPPJJR
Menurut PPPJJR 1987 konstruksi trotoar menerima beban hidup merata
sebesar qh=500 kg/m2. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan mutu beton (fc) dan mutu tulangan (fy) yang dipakai.
2. Menentukan dimensi plat trotoar yang direncanakan (h, L, b)
3. Menghitung pembebanan (qh=500 kg/m2) tanpa berat sendiri plat
trotoar, karena seluruhnya menumpu pada plat lantai jembatan.
4. Analisa struktur (momen)
M = 0,5*q*l2
5. Menghitung tulangan (desain plat satu arah)
Penulangan pelat trotoir berdasarkan buku “beton bertulang Ir.Gideon Kusuma dkk” dengan urutan sebagai berikut :
a. Tulangan utama (arah x)
d = h – p M/b*d2 ρ ρ
dimana :
d = tinggi efektif trotoir M = momen
h = tebal trotoir ρ = rasio tulangan
p = tebal selimut beton As = Luas tulangan analisa
b = lebar trotoir per meter Ast = Luas tulangan terpakai
b. Tulangan pembagi/ susut (arah y)
Menurut SKSNI T15-1991-03 dalam arah tegak lurus terhadap tulangan utama harus disediakan tulangan pembagi sebesar:
Untuk fy=240 Mpa : As=25%*b*h
Untuk fy=400 mpa : As=18%*b*h
2.4.2.2 Desain LRFD
Menurut BMS 1992 trotoar harus direncanakan untuk menahan beban rencana ultimit sebesar qu=15 kN/m yang bekerja sepanjang bagian atas trotoar. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan mutu beton (fc) dan mutu tulangan (fy) yang dipakai
2. Menentukan dimensi plat trotoar yang direncanakan (h, L, b)
3. Menghitung pembebanan (qu=15 kN/m) tanpa berat sendiri plat trotoar,
karena seluruhnya menumpu pada plat lantai jembatan.
4. Analisa struktur (momen)
Mu = 0,5*qu*l2
5. Menghitung tulangan (desain plat satu arah)
idem
2.4.3 Perencanaan Pelat Lantai
Pelat lantai berfungsi sebagai konstruksi penahan beban lalu lintas. Konstruksi pelat lantai dicor dan menumpu seluruhnya pada metal dek, sehingga pelat lantai hanya menahan beban tekan saja dari beban lalu lintas dan tidak mengalami lentur karena sudah ditahan oleh metal dek tadi. Artinya perencanaan tulangan pelat lantai hanya pada daerah tekan saja.
Sebenarnya konstruksi pelat lantai bagian tengah diasumsikan tertumpu menerus pada gelagar-gelagar di empat sisi-sisinya, sedangkan pada bagian tepi dianggap sebagai konstruksi kantilever yang menumpu pada gelagar memanjang.
2.4.3.1 Perencanaan Metal Dek
Metal dek di sini hanya berfungsi sebagai cetakan plat lantai permanen sekaligus sebagai penahan lentur plat lantai. Dan tidak direncanakan sebagai konstruksi komposit, karena tidak dipasangnya elemen penyatu antara beton dengan baja sebagai penahan gelincir/ geser antar bahan di atas (shear connector). Metal dek yang dipakai dalam jembatan ini mempunyai ukuran dan spesifikasi sebagai berikut:
1. Mutu baja σy = 360 Mpa
2. Tinggi total hr = 10 cm
3. Tebal tp = 4,5 mm
4. Tinggi puncak Yt = 5,359 cm
5. Tinggi bawah Yb = 4,641 cm
6. Momen inersia I = 344,195 cm4
Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menghitung pembebanan
a. Beban mati, berupa berat sendiri metal dek, berat sendiri pelat lantai, dan
beban perkerasan
b. Beban hidup, berupa beban truk “T” dan beban air hujan
c. Beban angin pada kendaraan (dikonversikan ke beban truk “T”)
2. Analisa struktur (momen)
3. Memilih momen yang menentukan (terbesar) antara kombinasi
(DD+LL) atau (DD+LL+WL)
Gambar 2.8 Penampang Metal dek
8cm 16cm 8cm 9cm 8cm 16cm 8cm hr:10cm 9cm GN Yt Yb
4. Cek kekuatan (tegangan)
a. Pada serat atas
σts = (M*Yt)/ I < σijin
b. Pada serat bawah
σbs = (M*Yb)/ I < σijin
5. Cek kekakuan (lendutan) idem
2.4.3.2 Desain PPPJJR
Menurut PPPJJR 1987 beban pada pelat lantai jembatan berupa beban truk “T” yang merupakan beban roda ganda sebesar 10 ton, dari kendaraan truk semitriller. Beban ini mempunyai bidang kontak pada pelat (30*50 cm2) dan
disebarkan 45o kearah bawah sampai ketengah-tengah tebal pelat. Adapun
langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan mutu beton (fc) dan mutu tulangan (fy) yang dipakai
2. Menentukan tebal plat yang direncanakan (tebal total + tebal ekivalen)
3. Menghitung pembebanan
a. Beban mati, berupa beban perkerasan dan beban trotoar b. Beban hidup, berupa beban truk “T” dan beban air hujan c. Beban angin pada kendaraan (dikonversikan ke beban truk “T”)
4. Analisa struktur (momen), perencanaan pelat dua arah seperti pada buku
beton bertulang Ir.Gideon Kusuma dkk (metode amplop dan koefisien momen)
5. Memilih momen yang menentukan (terbesar) antara kombinasi
(DD+LL) atau (DD+LL+WL)
6. Menghitung tulangan dua arah pada daerah serat atas/tekan saja (idem)
2.4.3.3 Desain BMS
Menurut BMS 1992 beban pada pelat lantai jembatan berupa beban truk “T” yang merupakan beban roda ganda sebesar 100 kN, dari kendaraan truk semitriller. Beban ini mempunyai bidang kontak pada pelat (20*50 cm2) dan
disebarkan 45o kearah bawah sampai ketengah-tengah tebal pelat. Adapun
1. Menentukan mutu beton (fc) dan mutu tulangan (fy) yang dipakai
2. Menentukan tebal plat yang direncanakan (tebal total + tebal ekivalen)
3. Menghitung pembebanan
a. Beban mati, berupa beban perkerasan dan beban trotoar (*faktor beban) b. Beban hidup, berupa beban truk “T” (*faktor beban dan beban dinamik)
dan beban air hujan (*faktor beban)
c. Beban angin pada kendaraan (dikonversikan ke beban truk “T”) *faktor beban
4. Analisa struktur (momen), perencanaan pelat dua arah seperti pada buku
beton bertulang Ir.Gideon Kusuma dkk (metode amplop dan koefisien momen)
5. Memilih momen yang menentukan (terbesar) antara kombinasi
(1,2DD+1,6LL) atau (1,2DD+0,5LL+1,3WL)
6. Menghitung tulangan dua arah pada daerah serat atas/tekan saja (idem)
2.4.4 Perencanaan Gelagar Memanjang
Gelagar memanjang berfungsi menahan beban pelat lantai, beban perkerasan, beban lalu lintas “D” dan beban air hujan , kemudian menyalurkannya ke gelagar utama/melintang. Gelagar ini tidak direncanakan sebagai struktur komposit karena bentangnya pendek (l=5m) namun tetap saja diberikan elemen pengikat (baut) antara profil gelagar dengan metal dek yang berfungsi juga sebagai pengikat lateral gelagar memanjang.
2.4.4.1 Desain PPPJJR
Menurut PPPJJR 1987 untuk perhitungan gelagar-gelagar pada beban hidup lalu lintas yang digunakan adalah beban “D” saja. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan (metode amplop/ penyaluran beban pada
a. Beban mati, berupa beban sendiri profil, beban perkerasan, beban pelat lantai dan beban metal dek
b. Beban hidup, berupa beban “D” dan beban air hujan (analisa dan penyebarannya terhadap gelagar memanjang seperti pada penjelasan awal pada PPPJJR 1987)
c. Perataan beban (mencari h’) pada beban trapesium
P1 = 1/2*h*h = 1/2h2 P2 = (1/2L-h)*h = (1/2Lh-h2) RA = P1+ P2 = 1/2h2 + (1/2Lh-h2) = (1/2Lh-1/2h2) M = RA*1/2L – P1*(1/2L-2/3h) – P2*(1/2L-h)*1/2 = (1/2Lh-h2)*1/2L - 1/2h2*(1/2L-2/3h - (1/2Lh-h2)* (1/4L-1/2h) = 1/4L2h– 1/4Lh2– 1/4Lh2+ 1/3h3– 1/8L2h– 1/4Lh2+ 1/4Lh2– 1/2h3 = 1/8L2h – 1/6h3 M = 1/8h’L2 1/8h’L2 = 1/8L2h – 1/6h3 ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = ⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = − = 2 2 3 23 23 3 4 1 3 4 8 / 1 6 / 1 8 / 1 ' L h h L h h L h h L h Lx Ly 45o 1/2Lx
Gambar 2.9 Penyaluran Beban ke Tumpuan
h
L
Gambar 2.10 Perataan Beban Gelagar Memanjang
h’ 2/3h
P1 P2 P2 P1
⎟⎟ ⎠ ⎞ ⎜⎜ ⎝ ⎛ − = 23 3 4 1 ' L h h h
3. Analisa struktur (momen dan gaya lintang) yang paling menentukan/
terbesar
Mmax = (1/8*q*l2)+(1/4*p*l) D = (q*l)/2 + (p)
4. Cek kekompakan penampang (seperti penjelasan awal pada SNI 2002)
5. Cek kekuatan (tegangan)
a. Pada serat atas
σts = (Mmax*Yt)/ Is < 0,66*σy
b. Pada serat bawah
σbs = (Mmax*Yb)/ Is < 0,66*σy
6. Cek kekakuan (lendutan) idem
2.4.4.2 Desain BMS
Menurut BMS 1992 untuk perhitungan gelagar memanjang pada beban hidup lalu lintas yang digunakan adalah beban “D” dan beban “T”. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan (metode amplop/ penyaluran beban pada
gelagar terdekat)
a. Beban mati, berupa berat sendiri profil, beban perkerasan, beban pelat lantai dan beban metal dek (*faktor beban)
b. Beban hidup, berupa beban “D”, beban “T”dan beban air hujan (*faktor beban), analisa dan penyebarannya terhadap gelagar memanjang seperti pada penjelasan awal pada BMS 1992
c. Perataan beban (mencari h’) idem
3. Analisa struktur (momen dan gaya lintang) yang paling menentukan/
terbesar
4. Cek kekompakan penampang (seperti penjelasan awal pada BMS 1992)
2.4.5 Perencanaan Gelagar Melintang
Gelagar melintang berfungsi menahan beban pelat lantai, beban perkerasan, beban lalu lintas “D”, beban reaksi gelagar memanjang dan beban air hujan , kemudian menyalurkannya ke rangka utama jembatan. Gelagar ini direncanakan sebagai struktur komposit karena bentangnya panjang (l±9m). Ditandai dengan adanya hubungan antara profil gelagar dengan pelat lantai beton
berupa paku (stud) yang berfungsi sebagai penghubung geser (shear connector)
untuk pengikat lateral gelagar.
2.4.5.1 Desain PPPJJR
Menurut PPPJJR 1987 untuk perhitungan gelagar-gelagar pada beban hidup lalu lintas yang digunakan adalah beban “D” saja. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan (metode amplop/ penyaluran beban pada
gelagar terdekat) idem
a. Beban mati, berupa beban sendiri profil, beban perkerasan, beban pelat lantai, beban metal dek dan beban reaksi gelagar memanjang
b. Beban hidup, berupa beban “D” dan beban air hujan (analisa dan penyebarannya terhadap gelagar memanjang seperti pada penjelasan awal pada PPPJJR 1987)
c. Perataan beban (mencari h’) pada beban segitiga
h
L
Gambar 2.11 Perataan Beban Gelagar Melintang
h’ h’
L P P
Untuk segitiga sama kaki Untuk segitiga siku P = 1/2*1/2L*h = 1/4Lh P = 1/2*L*h RA = P = 1/4Lh RA = P*(2/3L/L) M = RA*1/2L – P*1/6L = 1/2Lh*(2/3L/L) = 1/4Lh*1/2L– 1/4Lh*1/6L = 2/6Lh = 1/8L2h – 1/24L2h = 1/12L2h M = RA*1/3L M = 1/8h’L2 = 2/6Lh *1/3L = 2/18L2h 1/8h’L2 = 1/12L2h = 1/9L2h h L h L h 2/3 8 / 1 12 / 1 ' 2 2 = = M = 1/8h’L2 h h'=2/3 1/8h’L2= 1/9L2h h L h L h 8/9 8 / 1 9 / 1 ' 2 2 = = h h'=8/9
3. Analisa struktur (momen dan gaya lintang) yang paling menentukan/
terbesar
4. Mencari ukuran-ukuran komposit (be, n, Ytk, Yc, Ys, Ybk, Ik)
a. Menghitung lebar efektif pelat beton (be), menurut BMS 1992 diambil nilai terkecil dari:
- Untuk gelagar tengah
be ≤ L/5, be ≤ 12*tmin, be ≤ A - Untuk gelagar tepi
be ≤ (L/10)+c, be ≤ 6*tmin, be ≤ (a/2)+c
Dimana : A = jarak antar gelagar melintang
tmin = tebal pelat lantai minimum
c = jarak bebas tepi pelat b. Menghitung nilai n, n =
Ec Es
Dimana : Es = modulus elastis baja (2*105Mpa)
Ec = modulus elastis beton (4700* fcMpa)
Yc = jarak antara serat teratas beton sampai garis netral Ys = jarak antara serat teratas baja sampai garis netral Ybk = jarak garis netral bagian bawah penampang komposit
Ybk =
(
) (
)
As Ac Yb As Yd Ac + + * *Ac = luas beton efektif = tb
n be
*
tb = tebal pelat beton
As = luas profil
Is = momen inersia profil
Yd = jarak titik berat pelat beton terhadap serat terbawah Yb = jarak titik berat profil terhadap serat terbawah Ytk = jarak garis netral bagian atas penampang komposit
Ik = momen inersia komposit
= Is + (As*es2)+(Ac*ec2)+(1/12*
n be
*tb3)
5. Cek kekompakan penampang (seperti penjelasan pada SNI 2002)
6. Cek kekuatan (tegangan)
¾ Tegangan lentur:
a. Pada saat prakomposit
- Pada serat atas
σts = (MD*Yt)/Is < 0,66*σy
- Pada serat bawah
σbs = (MD*Yb)/Is < 0,66*σy
b. Pada saat postkomposit
- Pada serat atas
σtc = (MD+L*Yc)/(n*Ik) < 0,45*fc
σbc = (MD+L*Ys)/(n*Ik) < 0,45*fc
σts = (MD+L*Ys)/Ik < 0,66*σy
- Pada serat bawah
¾ Tegangan geser:
Menghitung statis momen terhadap sumbu komposit (GN)
- Pada plat beton Sx1 = tb*(be/n)*ec
- Pada profil baja Sx2 = As*es
Sx = Sx1+ Sx2 Ik tw Sx DD L * * + = τ < 0,58*σ
7. Cek kekakuan (lendutan) idem
2.4.5.2 Desain BMS
Menurut BMS 1992 untuk perhitungan gelagar melintang pada beban hidup lalu lintas yang digunakan adalah beban “D”saja. Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan (metode amplop/ penyaluran beban pada
gelagar terdekat)
a. Beban mati, berupa berat sendiri profil, beban perkerasan, beban pelat lantai, beban metal dek (*faktor beban) dan beban reaksi gelagar memanjang
b. Beban hidup, berupa beban “D”dan beban air hujan (*faktor beban) c. Perataan beban (mencari h’) idem
be/n
Yt
Gambar 2.12 Ukuran-Ukuran Komposit dan Tegangan Elastis Postkomposit
Ytk Ybk Ys Yb Yc GN ec es tb Yd σtc= 0,45*fc σts≤ 0,66*σy σbs≤ 0,66*σy
3. Analisa struktur (momen dan gaya lintang) yang paling menentukan/ terbesar
4. Cek kapasitas momen positif pada penampang komposit dengan
distribusi tegangan plastis (AISC-LRFD)
a. Cek kekompakan penampang (seperti penjelasan pada BMS 1992) b. Menghitung lebar efektif pelat beton (be) idem
c. Menghitung besar gaya tekan beton (C) diambil nilai terkecil dari:
- Ac = be*tb Ac = luas beton
- C1 = As*fy As = luas profil
- C2 = 0,85*fc*Ac tb = tebal pelat beton
d. Menghitung jarak-jarak centroid gaya-gaya yang bekerja Tinggi tekan efektif pada pelat beton (a = C/(0,85*fc*be)
d1 = hr + (a/2) hr = tinggi metal dek
d2 = 0 karena pada profil baja direncanakan tidak ada tekan
d3 = H/2 H = tinggi profil
e. Menghitung kapasitas penampang
- Terhadap kapasitas lentur
Py = fy*As
Mn = C*(d1+d2)+Py*(d3-d2)
Mu ≤ Ø*Mn
- Terhadap kapasitas geser
Vu≤Ø*Vn λw≤ 82, maka Vn = 0,6*fy*Aw (BMS 1992)
be
Yt
Gambar 2.13 Distribusi Tegangan Plastis
Ytk Ybk Yb GN d1 d3 tb C Py σc=0,85*fc σts=fy σts=fy
5. Cek kekakuan/ lendutan (idem)
2.4.5.3 Perencanaan Penghubung Geser (Shear Connector)
Menurut AISC-LRFD kekuatan nominal paku/ stud (Qn) adalah: Qn = SF Ec fc As* * * 0005 , 0 kN
Untuk perencanaan struktur komposit penuh, maka gaya geser horisontal ditentukan oleh kapasitas tekan beton (Vhc) atau kapasitas tarik baja (Vhs), diambil yang terkecil:
Vhc = SF tb be fc* * * 85 , 0 Vhs = SF fy As*
Karena metal dek tidak direncanakan sebagai komposit (hr = 100 mm, terlalu tinggi dari yang ditetapkan AISC, maks 3’= 76 mm), maka dalam perhitungan penghubung geser maupun struktur komposit pada gelagar melintang, pengaruhnya tidak diperhitungkan, sehingga jumlah paku n =
Qn Vh
.
Pemasangan paku : memanjang s ≥ 6*d
melintang s ≥ 4*d
2.4.6 Perencanaan Rangka Baja
Rangka baja berfungsi menahan semua beban yang bekerja pada jembatan dan menyalurkannya pada tumpuan untuk disalurkan ke tanah dasar melalui pondasi.
2.4.6.1 Desain ASD
Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan yang terjadi:
a. Beban mati berupa berat sendiri profil, beban trotoir, beban pelat lantai,
beban perkerasan, beban gelagar-gelagar, beban ikatan angin, dan lain-lain.
b. Beban hidup berupa beban satu satuan/ beban berjalan yang dikonversikan terhadap beban “D”
c. Beban akibat tekanan angin (dari hasil perhitungan ikatan angin)
d. Semua beban dikonversikan per joint/ simpul rangka
3. Menghitung gaya-gaya batang, dengan manual maupun bantuan program
(SAP) untuk tiap pembebanan
4. Menghitung kombinasi beban yang terjadi akibat DD,LL,WL, ambil
gaya yang terbesar untuk batang tekan atau batang tarik
5. Cek kekuatan/ tegangan (idem)
6. Menghitung alat penyambung
2.4.6.2 Desain LRFD
Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan yang terjadi:
a. Beban mati berupa berat sendiri profil, beban trotoir, beban pelat lantai,
beban perkerasan, beban gelagar-gelagar, beban ikatan angin, dan lain-lain (*faktor beban)
b. Beban hidup berupa beban satu satuan/ beban berjalan yang dikonversikan terhadap beban “D” (*faktor beban)
e. Beban akibat tekanan angin (*faktor beban)
f. Semua beban dikonversikan per joint/ simpul rangka
3. Menghitung gaya-gaya batang, dengan manual maupun bantuan program
(SAP) untuk tiap pembebanan
4. Menghitung kombinasi beban yang terjadi akibat DD,LL,WL, ambil
gaya yang terbesar untuk batang tekan atau batang tarik
5. Cek kekuatan/ tegangan (idem)
2.4.7 Perencanaan Ikatan Angin
Ikatan angin berfungsi untuk menahan gaya yang diakibatkan oleh tekanan angin samping, sehingga struktur dapat lebih kaku. Untuk pekerjaan jembatan Kali Tuntang Gubug ini, yang direncanakan hanya ikatan angin bagian atas saja, karena tekanan angin bawah sudah dianggap ditahan oleh gelagar-gelagar.
2.4.7.1 Desain PPPJJR
Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan akibat tekanan angin yang terjadi:
( seperti penjelasan awal PPPJJR1987), semua beban dikonversikan per joint/ simpul ikatan angin, dimana konstruksi ikatan angin dianggap sebagai konstruksi sederhana yang terletak pada dua tumpuan sendi-rol
3. Menghitung gaya-gaya batang, dengan manual maupun bantuan program
(SAP)
4. Menentukan batang tekan atau batang tarik
5. Cek kekuatan/ tegangan dan kelangsingan (idem)
6. Menghitung alat penyambung
2.4.7.2 Desain BMS
Adapun langkah-langkah perencanaannya adalah:
1. Menentukan profil yang digunakan beserta mutu bajanya (σy)
2. Menghitung pembebanan akibat tekanan angin yang terjadi*faktor beban
( seperti penjelasan awal BMS 1992), semua beban dikonversikan per joint/ simpul ikatan angin, dimana konstruksi ikatan angin dianggap sebagai konstruksi sederhana yang terletak pada dua tumpuan sendi-rol
3. Menghitung gaya-gaya batang, dengan manual maupun bantuan program
(SAP)
4. Menentukan batang tekan atau batang tarik
5. Cek kekuatan/ tegangan dan kelangsingan (idem)