• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ekspresi Nilai Budaya Dalam Lirik Lagu-Lagu Populer Batak Toba Dengan Penekanan Pada Hubungan Anak Dengan Orangtua

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2017

Membagikan "Ekspresi Nilai Budaya Dalam Lirik Lagu-Lagu Populer Batak Toba Dengan Penekanan Pada Hubungan Anak Dengan Orangtua"

Copied!
28
0
0

Teks penuh

(1)

BAB II

LATAR BELAKANG SOSIAL BUDAYA MASYARAKAT BATAK TOBA

Bab ini akan membahas tentang latar belakang sosial budaya masyarakat

Batak Toba secara umum dan secara spesifik pada masyarakat Batak Toba di kota

Medan. Uraian dimaksud akan penulis mulai dengan deskripsi geografis Tanah

Batak di Sumatera Utara. Dalam konteks ini juga penulis akan menjelaskan deskripsi

geografis kota Medan sebagai daerah tujuan migrasi orang Batak. Pada bagian ini

penulis memfokuskan sejarah/latarbelakang kedatangan orang Toba ke kota Medan.

Selanjutnya penulis akan menguraikan tentang sistem kepercayaan tradisi leluhur

Toba, kepercayaan masyarakat Batak Toba yang mengalami perkembangan dengan

masuknya pengaruh Barat yang mengubah cara berpikir masyarakat terhadap

pendidikan menjadi berubah. Bagian akhir bab ini akan menguraikan konsep budaya

masyarakat Batak Toba. Konsep budaya yang dimaksud disini adalah konsep

kebudayaan yang penting dan sangat mendasar yang berhubungan dengan kehidupan

sosial sehari-hari, antara lain: adat, marga, dalihan na tolu, pardongansaripeon

(perkawinan) dalam masyarakat Batak Toba, dan bagaimana sistem pewarisan

(tading-tading) dalam masyarakat tersebut.

2.1.GAMBARAN UMUM WILAYAH BATAK TOBA

Tanah Batak merupakan tempat pemukiman orang Batak (halak Batak).

Sebutan Tanah Batak menunjukkan wilayah yang didiami masyarakat ini dikenal

dalam bahasa Batak Toba dengan “Tano Batak” yang artinya Tanah Batak. Tanah

Batak meliputi daerah Danau Toba, Pulau Samosir, daerah Silindung, Humbang,

(2)

luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300 m di atas

wilayah ini luasnya lebih kurang 10.000 km2 dan berada pada ketinggian 700-2.300

meter di atas permukaan laut17

Pembagian wilayah Toba pada masa penjajahan .

membentuk

wilayah yang disebut

Sebagian besar orang Toba mendiami daerah pegunungan Sumatera Utara,

mulai dari perbatasan Daerah Istimewa Aceh di utara sampai ke perbatasan dengan

Riau dan Sumatera Barat di sebelah selatan. Wilayah Toba terletak antara 1°30’-2°

4’Lintang Utara dan 98°-100° Bujur Timur di punggung Bukit Barisan dengan

ketinggian 906-1500 m dpl (diatas permukaan air laut) dengan sejumlah dataran

17

(3)

tinggi dan gunung-gunung yang tinggi berkisar antara 1500-2000m dan beriklim sejuk

(20°C) (Situmorang, 1993:28).

Wilayah Toba berbatasan dengan

• Utara berbatasan dengan kabupaten Dairi dan Kabupaten Karo

• Timur berbatasan dengan Simalungun

• Selatan berbatasan dengan Tapanuli Selatan

• Barat berbatasan dengan Tapanuli Tengah.

Daerah Toba, komoditi utamanya dihasilkan dari sektor pertanian, sektor ini

merupakan sektor yang besar potensinya dikembangkan. Sektor ini juga tulang

punggung perekonomian daerah sebagai penghasil nilai tambah, devisa dan penyedia

lapangan kerja kepada penduduknya. Mengingat sebagian besar penduduk Toba

menggantungkan hidupnya dari sektor pertanian. Daerah Toba mempunyai potensi

sumber daya alam, sumber daya manusia yang saling melengkapi untuk

pengembangan pada sektor ini. Produk yang dihasilkan berupa kopi, jagung,

sayur-mayur, buah-buahan.

Dewasa ini pembangunan di daerah Toba sudah banyak kemajuan.

Infrastruktur sudah baik melalui pembangunan di berbagai sektor, sehingga roda

perekonomian di tanah Batak membaik. Salah satunya adalah pembangunan bandara

silangit yang memudahkan akses ke daerah Toba melalui jalur udara. Sekolah-sekolah

mulai dibangun, pembangunan sarana pelayanan kesehatan yang memadai dan

(4)

Gambar 1

Peta daerah pembagian suku bangsa di Sumatera Utara

Sumber

2014)

2.2.GAMBARAN UMUM WILAYAH dan MIGRASI BATAK TOBA ke KOTA MEDAN

Kota Medan adalah

merupakan kota terbesar di Pul

antara 3”30’ – 3”43’ LU dan 98”35’ – 98”44’ BT dengan luas wilayah 265,10 km18

Kota Medan dihuni oleh beberapa etnik yang sebagian adalah penduduk asli

dan sebagian lagi adalah pendatang. Penduduk asli termasuk etnik Batak (Toba,

Simalungun, Karo, Pakpak, dan Mandailing), Nias, dan Melayu. Sementara itu .

Kota Medan dikelilingi oleh Kabupaten Deli Serdang, sebelah selatan, timur, barat

kota Medan. Di sebelah utara berbatasan dengan Selat Malaka.

18

(5)

kelompok etnis pendatang antara lain, etnis Jawa, Cina, dan Tamil. Etnik Batak

sendiri merupakan etnik dengan jumlah penduduk yang relatif besar. Berikut jumlah

penduduk Sumatera Utara yang tersebar di berbagai wilayah di Sumatera Utara.

Orang Batak sendiri merupakan etnik dengan jumlah penduduk yang relatif besar,

sekitar 30% dari jumlah total penduduk Provinsi Sumatera Utara. Total pendudukan

Sumatera Utara yakni ± 3,672,443 jiwa. Tabel 1 berikut ini merupakan gambaran

penduduk yang ada di wilayah Sumatera Utara.

Tabel 1

Jumlah penduduk Sumatera Utara menurut Kab/Kota

No Kbptn/Kota Jml Pend. No Kbptn/Kota Jml Pend.

1 Nias 132.329 17 T.Tinggi 145 180

2 Mand. Natal 403.394 18 Medan 2 109 339

3 Tapsel 264 108 19 Binjai 246 010

4 Taput 278 897 20 Nias Selatan 289 876

5 Tapteng 310 962 21 Humbang 171 687

6 Tobasa 172 933 22 Pakpak Bharat 40 481

7 Labuhan Batu 414 417 23 Samosir 119 650

8 Asahan 667 563 24 Serdang Bedagai 592 922

9 Simalungun 818 104 25 Batu Bara 374 535

10 Dairi 269 848 26 Pdg. Lawas Utara 223 049

11 Karo 350 479 27 Padang Lawas 223 480

(6)

13 Langkat 966 133 29 Lab. Batu Selatan 277 549

14 Sibolga 84 444 30 Nias Utara 127 530

15 Tanjung Balai 154 426 31 Nias Barat 81 461

16 P.siantar 234 885 32 Padang sidimpuan 191 554

Sumber: Sensus Penduduk 2010-Badan Pusat Statistik

Kota Medan adalah sebuah kota yang penduduknya terdiri dari berbagai sub

etnik dengan latar belakang kebudayaan yang berbeda-beda. Sebagai kota yang

heterogen, kota Medan adalah sebuah kota yang hidup dari segi ekonomi maupun

kultural. Orang Toba sudah mulai masuk ke kota ini sejak 1920-an walaupun dengan

jumlah yang sedikit. Migrasi besar-besaran terjadi pada tahun 1940-an.

Orang Batak Toba di kota Medan dewasa ini kendati bukan sebagai kultur

dominan tapi keberadaan (eksistensi) mereka sangat nyata di kota Medan. Saat ini

banyak terdapat gedung serbaguna yang hampir setiap akhir pekan selalu diisi oleh

kegiatan adat. Dimana kegiatan adat itu menampilkan berbagai kegiatan sosial,

interaksi antara satu orang dengan yang lain. Bahwa pesta adat itu, disamping

menjalankan norma adat warisan leluhur, juga merupakan wadah untuk bertemu

muka dengan sanak saudara. Hal ini yang memperpanjang atau memperlanggeng

hubungan kekerabatan orang Batak Toba.

Orang Batak Toba berusaha keras untuk dapat hidup bertahan (survive) di kota

Medan dengan cara meleburkan diri terhadap pola dan tatanan hidup pada

masyarakat pribumi pertama yang tinggal di kota Medan tetapi, hal yang dapat dilihat

adalah mereka tetap hidup berkelompok dengan membuat perkumpulan komunitas.

Ini sebagai reaksi menjaga, memelihara identitas, membentuk sarana interaksi sosial.

(7)

kelompok satu daerah asal (sahuta) dari tingkat pemuda hingga jenjang ke keluarga

yang sudah menikah. Hubungan komunikasi diantara sesamanya dapat dipupuk terus

melalui kumpulan-kumpulan marga.

2.2.1. MIGRASI BATAK TOBA KE KOTA MEDAN

Pendidikan sudah masuk sekitar tahun 1860-an ke tanah Batak yang dibawa

oleh para misionaris kristen (RMG)19

Sekolah yang diselenggarakan saat itu, masih setara SD/SMP. Orang yang

berkesempatan untuk melajutkan sekolah ke tingkat yang lebih tinggi, harus keluar

dari desa. Kemudian dari situlah mulai muncul konsep hamajuon (kemajuan),

konsep inilah yang mendorong orang Toba untuk mendapatkan pendidikan dan

mendorong orang Toba keluar dari desa. Mendorong mereka mendapatkan . Ketika penyebaran agama kristen mengalami

perkembangan, umumnya dibarengi dengan pembukaan sekolah. Adanya kesatuan

antara sekolah dan gereja tidak terlepas dari keinginan orang Toba yang kuat untuk

bisa sekolah. Seperti Aritonang menjelaskan dalam bukunya:

“faktor penunjang utamanya adalah kesatuan gereja dengan

sekolah karena gereja yang bertumbuh itu merupakan Gereja

Rakyat, maka dalam ungkapan “kesatuan gereja dan sekolah” itu

terkandung pengertian bahwa rakyat memberi dukungan

sepenuhnya bagi sekolah karena dalam diri mereka tertanam rasa

memiliki atas sekolah-sekolah itu.” (Aritonang, 1988:31)

19

(8)

pendidikan di luar kota untuk bisa mendapatkan pekerjaan melalui pendidikan yang

dimilikinya.

Dalam buku Migran Batak Toba di Luar Tapanuli Utara (1998: 1-273)

migrasi orang Toba sudah dimulai sejak tahun 1900-an keluar dari kampung

halamannya di Tapanuli dan kota Medan merupakan salah satu tujuan migrasi orang

Toba. Orang Toba melakukan migrasi ke daerah Simalungun, Pematang Siantar,

Dairi, Asahan, Labuhan Batu, Karo, Serdang, Medan dan kota lainnya. Semua daerah

tersebut didatangi oleh orang Toba untuk membuka perkampungan yang baru akibat

dari luas lahan persahawahan yang semakin sempit di Tapanuli. Sementara itu

cita-cita untuk selalu mengejar 3H (hamoraon, hagabeon, hasangapon) tidak pernah

padam dalam diri setiap orang Toba. Berbagai keterbatasan yang dihadapi di

Tapanuli mendorong orang Toba untuk meninggalkan kampung halamannya.

Di Medan sendiri, pada tahun 1905 sudah ada 14.250 jiwa penduduk Medan

termasuk orang Toba yang jumlahnya relatif kecil (Purba O.H.S, 1997:98). Sumber

yang sama menyebutkan pada tahun 1919 diperkirakan tidak kurang dari 200 orang

Batak Toba sudah tinggal di Medan yang terdiri dari para pemuda dan yang sudah

berkeluarga. Pada sumber lain disebutkan dalam tahun 1930, hanya ada 820 orang

Batak Toba di kota Medan, tetapi dalam 1981 terdapat 182.686 orang Batak Toba.

Secara kuantitatif populasi Batak Toba meningkat 222 kali lipat (Pelly, 1994:84).

Orang Toba yang melakukan migrasi ke daerah Medan awalnya untuk mencari

pekerjaan di daerah perkebunan di Langkat, dan Deli Serdang. Di tahun berikutnya,

orang Toba yang datang ke Medan bukan hanya untuk mencari pekerjaan tetapi juga

untuk melanjutkan pendidikan. Dan pada tahun 1940-an merupakan timing-nya orang

(9)

2.3.KEPERCAYAAN DAN AGAMA 2.3.1. KEPERCAYAAN

Kepercayaan yang dianut oleh masyarakat tradisional Batak Toba adalah

kepercayaan yang mengakar pada tradisi leluhur. Dengan kata lain, sebelum

kedatangan missionaris Kristen yang berasal dari Jerman di bawah institusi

Rheinische Mission Gesellfschaft (RMG), orang Batak Toba percaya terhadap

Mulajadi Na Bolon sebagai dewa tertinggi mereka, pencipta 3 (tiga) dunia: dunia atas

(banua ginjang), dunia tengah (banua tonga) dan dunia bawah (banua toru). Sebagai

Debata Mulajadi Na Bolon, ia tinggal di langit dan merupakan maha pencipta20

2.3.2. AGAMA

.

Sianturi (2003:22) lebih menjelaskan lagi, wujud pancaran kekuasaannya

Mulajadi Na Bolon adalah Debata Na Tolu yaitu Batara Guru dengan wujud

kebijakan (hahomion) lambang warna hitam, kesucian (habonaron) disebut Debata

Sori dengan lambang warna putih, Debata Balabulan sumber kekuatan (hagogoon)

lambang merah.

Masuknya kekristenan memberikan paradigma berpikir yang baru kepada

masyarakat Batak Toba. Kedatangan para misionaris kristen ke tanah Batak

memberikan nuansa baru. Para misionaris tersebut banyak mengalami tantangan.

Sebagai jalan alternatif, para misionaris melakukan pendekatan budaya, misalnya

dengan mendirikan Rumah Sakit dan pendidikan formal (sekolah). Melalui ini

masyarakat Batak Toba mulai tertarik dengan kegiatan para misionaris dan mengikuti

pendidikan formal. Pendidikan yang dibawa para misionaris membawa perubahan

sosial budaya dan pandangan masyarakat tentang pendidikan secara universal.

20

(10)

Lumbantobing dalam bukunya (Makna Wibawa Jabatan Dalam Gereja Batak)

menjelaskan dengan detail tentang masuknya agama kristen di Tanah Batak. Kristen

datang melalui misionaris dari Eropa yang mengirimkan tiga pemberita injil yaitu

Richard Burton, Nathaniel Ward dan Evans penyebar pertama yang datang membawa

agama Kristen ke Tanah Batak. Mereka bertiga sengaja diutus gereja baptis Inggris

sebagai penginjil ke Indonesia khususnya ke Tanah Batak, Sumatera (Lumbantobing,

1996:65).

Setibanya mereka di Bengkulu pada Tahun 1820, Burton ditempatkan di

Sibolga, Evans bertugas di Padang, sedangkan Ward di Bengkulu. Namun setelah 4

Tahun menginjil disana, mereka bertiga mengalihkan penginjilan ke arah Tanah

Batak, karena diketahui daerah tersebut sebagaian besar penduduknya masih kafir

atau belum memiliki agama.

Holland mengirim Van Asselt untuk bekerja sebagai penginjil di sumatera.

Dia tiba di Padang pada bulan Desember 1856, Gubernur Sumatera Barat

mempekerjakannya sebagai pengawas produksi perkebunan kopi milik pemerintah

Belanda di Angkola sekaligus untuk misi penginjilannya. Setibanya di Sipirok

kawasan Angkola, dia menunaikan tugas penginjilan. Inilah usaha pertama kali yang

berhasil dilakukan di Tanah Batak. Dengan berbagai usaha dia berhasil membaptis

Jakobus Tampubolon dan Simon Siregar sebagai orang pertama masuk agama Kristen

di Sipirok bahkan diseluruh kawasan Tanah Batak.

Pekabaran injil (PI) yang paling kuat dan membuahkan hasil adalah usaha

yang dilakukan Ludwiq Ingwer Nommensen. Dia adalah pendeta yang diutus

Rheinische Mision Gesellschaft (RMG) suatu organisasi misionaris Jerman di kota

Bremen. Ia tiba dikota Padang pada tanggal 14 Mei 1862 setelah menempuh

(11)

dengan misi ke Barus. Pengijilan tersebut terus berkesinambungan hingga ke daerah

Batak Toba, Silindung, Tukka, Bungabondar, Simangambat, Huta Banjar, Sigotom.

Pekerjaan Nommensen untuk mengabarkan injil di tanah Batak sangatlah sulit,

dia harus mengalami banyak penolakan, menghadapi ancaman pencobaan

pembunuhan dan hinaan. Diperlakukan begitu tidak membuat Nommensen menyerah,

tetapi bersikap tetap ramah dan lemah lembut. Menurut Nommensen benteng

keberhalaan21

Melihat sikap Nommensen yang tetap baik akhirnya ada beberapa orang yang

takluk dan hormat padanya. Nommensen mulai membuka pelajaran katekisasi

Batak yang kukuh tidak dapat ditaklukkan dengan kekerasan. Tetapi

harus dengan kesabaran, kesopanan, kerendahan hati dan kasih sayang secara tulus.

Dengan cara tersebut, Nommensen berharap pertahanan tersebut dapat diruntuhkan.

22 yang

pertama. Awalnya muridnya hanya beberapa orang lama kelamaan bertambah banyak

setelah sekolah itu banyak tersiar tentang keberadaannya. Berikutnya, para penganut

agama suku berbondong-bondong minta diterima sebagai jemaat. Mereka berbalik

menyatakan bahwa melalui pendidikannya mereka mendapat sahala23

Timbulnya doktrin terhadap pendidikan meyakini orang Toba bahwa melalui

pendidikan, ambisi dan cita-cita dapat terwujud yang bermuara para cita-cita orang

Toba yaitu 3H. Hal ini memotivasi para orangtua untuk menyekolahkan anak-anaknya . Menurut

perhitungan mereka melalui pendidikan akan mendapat kesempatan bekerja yang

memberikan upah besar, kuasa dan kehormatan. Hal ini sesuai dengan cita-cita

masyarakat Batak Toba hamoraon, hagabeon, dan hasangapon (3H).

21

Benteng keberhalaan yang penulis maksud adalah sesuatu yang dipakai masyarakat Batak Toba untuk mempertahankan/membentengi diri dari pengaruh luar

22 Katekisasi adalah kegiatan pengajaran dan bimbingan iman tentang iman kristen yang dilakukan oleh gereja, diberikan kepada orang-orang sebelum mereka diterima jadi orang Kristen. Martin Luther, Katekismus Besar (Jakarta:bpk Gunung Mulia, 2001)

23

Sahala adalah kemuliaan, kharisma, hikmat, kewibawaan, kebesaran otoritas, penuh kesaktian.

Setiap orang memilikinya, tetapi tidak sama besarnya untuk semua orang

(12)

setinggi-tingginya. Kebanyakan anak yang mengecap pendidikan menyebar ke daerah

lain untuk mendapatkan peluang pekerjaan yang lebih baik. Pandangan masyarakat

terhadap kekayaan juga mengalami perubahan, yang tadinya kekayaan diukur dari

materi berubah menjadi diukur dari keberhasilan anak juga. Keberhasilan anak

menjadi kekayaan yang berorientasi kepada penghargaan moralitas kepada orangtua.

Masuknya injil ke tanah Batak juga mengubah paradigma berpikir masyarakat

Batak Toba. Sadar atau tidak sadar para misionaris telah menjadi wakil budaya

bangsanya. Merekalah yang memperkenalkan dan memasukkan unsur-unsur budaya

Barat ke dalam tata kehidupan masyarakat Batak Toba tanpa lebih jauh menyadari

atau memikirkan akibatnya. Misalnya membangun rumah gereja menurut gaya

Jerman, yang berbeda dengan gaya bangunan Batak dengan atapnya yang indah

melengkung. Juga kebiasaan menempatkan lonceng di menara gereja, alat

kelengkapan gereja Jerman, dijadikan juga sebagai persyaratan untuk gereja Batak

(Lumbantobing, 1996: 78)

Purba dalam artikelnya “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan

Tortor” sejak peradaban Barat masuk ke tanah Batak sudah banyak terjadi perubahan

dalam tata-laksana adat, sehingga banyak ketentuan adat lama yang dihilangkan atau

jadi kurang dihargai. Salah satu dampaknya adalah berubahnya konsepsi atau

pemahaman masyarakat Batak Toba tentang tradisi gondang sabangunan, tortor dan

adat. Tradisi tersebut mengalami proses pendekontekstualisasi (melepaskan tradisi

secara sistematis dari praktek adat dan kepercayaan pra-Kristen), dan

perekontekstualisasi (memberikan fungsi dan konteks baru pada tradisi tersebut)24

24

Mauly Purba, “Gereja dan Adat: Kasus Gondang Sabangunan Dan Tortor,” Jurnal Antropologi Indonesia, No. 62 (Mei-Agustus, 2000), hal 25-41.

(13)

menerima agama baru (diluar kekristenan). Hal ini merupakan paduan antara

keinginan untuk merubah hidup dan gigihnya pekerjaan para zending.

2.4.Adat

Adat selalu menjadi isu sosial yang selalu diperbincangkan baik para

akademia, dan orang biasa, semua memahami dengan makna yang berbeda-beda. Ada

yang mendefenisikan sebagai norma dan hukum agama yang menjaga hubungan

antara tuhan, manusia, nenek moyang dan keturunan mereka, yang lain menyebutkan

adat sebagai sistem yang sengaja dibuat untuk menjaga keseimbangan dari kekuatan

roh lain dan melindungi manusia antara satu dengan yang lain. Antropolog, Bruner,

mengamati bahwa adat tidak hanya mencakup hukum perkawinan, warisan, dan harta

benda tetapi juga kemelut kehidupan. Adat adalah rangkaian atau tatanan

norma-norma sosial dan religius yang mengatur kehidupan sosial, hubungan manusia dengan

leluhurnya, hubungan vertikal kepada sang Pencipta, serta pelaksanaan

upacara-upacara ritual keagamaan25

Adat adalah sistem sosial yang terus berubah, prinsip-prinsip etika dan dan

praktek-praktek agama yang mengatur kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat.

Termasuk mengatur dalam hal pengolahan lahan, pengelolaan pertanian dan irigasi,

sistem pewarisan dan sistem perkawinan. Dalam hal etika sosial adat mengarahkan

masyarakat untuk bersikap yang lebih baik lagi terhadap saudara kerabat dan

lingkungan sekitar

.

26

25

Mauly Purba, “Results Of Contact Between The Toba Batak People, German Missionaries, And Dutch Government Officials: Musical And Social Change,” Jurnal Etnomusikologi, No 2 (September, 2005), hal 118-143)

26

Ibid

. Hal ini berhubungan dengan sistem kekerabatan, adat sebagai

(14)

Ketika adat dipraktekkan di perayaan-perayaan, itu disebut ulaon adat atau

pesta adat. Namun, istilah pesta adat tidak harus bingung dengan hukum adat yang

mengontrol sehari-hari kehidupan sosial. Pesta adat adalah kegiatan sosial khas resmi

diatur oleh hukum adat. Adat juga bersifat exclusive yang maksudnya adalah sesuatu

yang resmi, sesuatu sangat terorganisir dan terstruktur, bagian dari kehidupan sosial,

tetapi tidak terjadi setiap hari. Pesta adat memiliki fungsi tertentu, seperti untuk

merayakan hari pernikahan, untuk menyambut bayi yang baru lahir, untuk merayakan

pemakaman, untuk mulai mendirikan sebuah desa baru atau rumah, untuk merayakan

pindah ke rumah baru, untuk merayakan musim padi, untuk merayakan panen, atau

hanya untuk ibadah roh leluhur, dewa, dan kekuatan supranatural lainnya.

2.5.SISTEM KEKERABATAN

Tata cara kehidupan masyarakat Batak Toba secara tradisional diatur dalam

sebuah sistem sosial kemasyarakatan yang disebut dalihan na tolu. Dalihan na tolu

secara harfiah mengandung arti “tiga tungku”. Di atas ketiga tungku itulah tatanan

sosial masyarakat disandarkan. Konsep dasar dalihan na tolu, tingkat tertinggi yang

dihayati sebagai sistem kognitif yang memberikan pedoman bagi orientasi nilai setiap

orang batak. Bidang Sosial-dalihan na tolu adalah pengetahuan kolektif yang

menetukan perspektif dan defenisi terhadap realiatas. Kebudayaan-dalihan na tolu

adalah potensi yang bisa didayagunakan untuk mengetahui memahami mengambil

sikap terhadap apa yang dipahami dan diketahui itu. Dalihan na tolu adalah sistem

nilai sekaligus sebagai sistem aturan mengenai nilai-nilai tersebut. Sebagai sistem,

yang betumpu pada tiga aktor ini menanamkan kepribadian yang mandiri dan sangat

(15)

Prinsip dalihan na tolu merupakan akar kuat dalam bermasyarakat dan

berinteraksi dengan keluarga yang menjadi ciri khas spesifik masyarakat Batak yang

tidak dimiliki oleh suku bangsa lain. Prinsip itu juga diterapkan dalam kehidupan

sehari hari. Komunitas Batak yang ada di Brisbane Austaralia juga mengangap bahwa

mereka adalah satu keluarga sehingga sudah layaknya saling menghormati, dan saling

mendukung di negeri orang. Pertemuan-pertemuan, saling berkomunikasi dan

beribadah merupakan salah satu kunci untuk dapat bertahan di negeri orang27

Masyarakat Batak Toba juga melihat bagaimana pentingnya hubungan sesama

marga sebagai saudara yang berasal dari keturunan yang sama. Begitu juga dengan

boru merupakan hal yang penting bagi masyarakat Batak Toba. Boru dianggap pihak .

Dalihan na tolu merupakan sebuah sistem hubungan sosial yang berlandaskan

pada tiga pilar dasar kemasyarakatan, yaitu: hula-hula (pihak keluarga pemberi istri),

boru (pihak keluarga penerima istri), dan dongan tubu (sesama saudara lelaki dari

rahim ibu yang sama).

Bagi masyarakat Batak Toba, hula-hula dianggap memiliki status yang tinggi,

baik dilihat dari cara bagaimana kelompok Batak Toba ditempatkan secara sosial

maupun dilihat dari cara penghormatan yang diberikan oleh kedua unsur kedua

dalihan na tolu. Orang Batak Toba juga memberikan sebutan kepada hula-hula, yaitu

debata na tarida yang artinya “tuhan yang tampak”. Pandangan ini merupakan

cerminan sikap bagaimana orang Batak menghormati hula-hulanya. Hula-hula ini

dianggap sebagai pemberi berkat dan ditempatkan pada posisi yang lebih tinggi.

Tingginya penghormatan terhadap hula-hula ini juga dapat dilihat dalam kehidupan

berkeluarga, interaksi sosial masyarakat ataupun dalam pelaksanaan upacara adat.

27

(16)

yang selalu berperan di dalam keberlangsungan berbagai pekerjaan. Tanpa kehadiran

boru, suatu upacara adat tidak akan dapat dilaksanakan. Kendatipun demikian, boru

juga merupakan pihak yang harus diberi perhatian, dilindungi dan dijaga perasaannya.

2.5.1. Hula-hula

Kedudukan pemberi anak hula-hula dianggap sebagai pemberi kehidupan dan

penyalur berkat, karena itu harus dihormati. Hula-hula disebut juga parrajaon, artinya

dirajakan, dan mereka sangat dihormati oleh borunya. Rasa hormat terhadap

hula-hula tercermin dalam falsafah dalihan na tolu, bahwa somba marhula-hula-hula-hula artinya

seseorang yang mempunyai hula-hula harus hormat dan patuh kepada hula-hula

walaupun kedudukannya dari segi jabatan dan kepangkatan di luar adat lebih tinggi,

namun tetap harus menghormati hula-hulanya. Penghormatan terhadap hula-hula itu

karena mereka dianggap sebagai tempat meminta berkat yang disebut pasu-pasu,

sehingga hula-hula dalam masyarakat Batak Toba dianalogikan sebagai perwujudan

“tuhan yang kelihatan”.

Tidak jarang kita lihat boru pergi mengunjungi hula-hula yang tujuannya

untuk menerima berkat dari Tuhan melalui doa dari pihak hula-hula. Keadaan ini

seolah-olah memberi gambaran bahwa berkat atau pasu-pasu akan tercapai apabila

hula-hula mendoakan borunya. Fungsi hula-hula dalam kehidupan masyarakat Batak

Toba dapat dirinci atas 3 (tiga) bagian, yaitu28

 Dalam suatu musyawarah dan mufakat untuk sebuah rencana, hula-hula

adalah sebagai tempat meminta nasihat dan bantuan moral agar terlaksananya

suatu upacara adat.

:

28

(17)

 Pada saat upacara adat berlangsung, hula-hula bertugas memimpin upacara

memberkati dan berdoa, agar acara adat tidak mendapat hambatan.

 Sebagai juru damai dalam suatu perselisihan, misalnya dalam hal pembagian

harta warisan. Hula-hula yang bersusah payah untuk mendamaikan, tanpa

memihak, sering menjadi pertimbangan untuk selesainya suatu permasalahan.

2.5.2. Boru

Boru merupakan tiang beban pelaksana setiap horja dalam hubungan formal

dan nonformal. Penerima boru dalam suatu horja berada pada posisi yang lebih

rendah dari hula-hula. Dalam posisi ini kelompok hula-hula harus mengasihi dan

bersikap mengayomi boru yang tercermin dari filsafat elek marboru (baik kepada

boru). Pada upacara adat pihak boru bertindak sebagai parhobas yaitu orang yang

bertugas mempersiapkan segala sesuatu yang berhubungan dengan kelancaran

jalannya pesta. Jika masyarakat Batak Toba, hendak melaksanakan suatu horja, pada

saat musyawarah kelompok dongan sabutuha, pendapat dan pertimbangan dari boru

juga diminta, terutama mengenai sanggup atau tidaknya rencana keputusan

dilaksanakan. Pendapat boru ini sangat penting, karena apa saja keputusan sidang,

pelaksananya adalah boru. Jadi dapat dikatakan peranan utama dari boru dalam adat

adalah memberi sumbangan tenaga, materi, dan pemikiran pada setiap upacara adat.

Selain itu, boru juga memegang peranan penting dalam mendamaikan hula-hulanya

apabila terjadi perselisihan.

2.5.3. Dongan Sabutuha

Sehubungan dengan kekerabatan dongan sabutuha, dongan sabutuha adalah

(18)

pelaksanaan upacara adat lebih luas lagi, setiap marga yang dianggap satu nenek

moyang juga termasuk dalam klasifikasi dongan sabutuha. Dari kata “dongan”, yang

artinya adalah teman sudah dapat diartikan bahwa kedudukan mereka adalah sejajar.

Sabutuha adalah “satu ayah” dan “satu ibu”.

Misalnya adalah sebagai berikut, yang namanya org Batak tidak pernah akan

lupa akan budaya aslinya yaitu senang berkumpul dan senang menari serta bernyanyi.

Sekalipun sudah puluhan tahun di negeri orang, budaya Batak tidak bisa lekang,

malah semakin ada kepedulian akan keinginan bahwa orang Batak harus tetaplah

menjaga prinsip dalihan natolu yang salah satunya adalah manat mardongan

sabutuha. Ada anggapan bahwa setiap orang Batak yang berdomisili di luar negeri

(swiss) adalah dongan sabutuha, sehingga dirasa perlu untuk saling bertegur sapa dan

berkumpul dalam sebuah acara. Begitulah mereka tidak lupa akan tradisi yang turun

temurun29

Filsafat yang mengatakan somba marhula-hula, elek marboru, manat

mardongan tubu merupakan modus umum dalam rangka menjaga keharmonisan diantara . Dongan sabutuha itu haruslah seia sekata, ringan sama dijinjing berat

sama dipikul, sebagai keluarga kandung seibu-sebapak. Fungsi dongan sabutuha di

dalam pelaksanaan suatu upacara adat adalah sama dengan suhut (pemilik pesta).

Hubungan antara kerabat semarga harus hati-hati dan dijaga sedemikian rupa suaya

tetap langgeng dan serasi yang didasari oleh falsafah manat mardongan tubu yang

artinya hati-hati terhadap teman semarga, maksudnya ialah harus hati-hati dalam

bertindak melaksanakan sesuatu dan juga dalam berbicara. Artinya dalam

merencanakan upacara adat, tidaklah dapat bertindak menurut kehendak sendiri, tetapi

harus melalui musyawarah dengan dongan sabutuha.

29

(19)

ketiga pihak tersebut (Zuska, 1995:20). Posisi orang dalam kaitannya dengan asas

dalihan na tolu tidak pernah tetap. Seseorang dapat bertukar posisi dan menjadi

anggota salah satu tungku tergantung dengan siapa orang itu berhubungan dan

bagaimana hubungan kekerabatannya (Dalimunthe, 1995:15).

2.6.SISTEM PERKAWINAN

Pernikahan adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau

dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara

hukum agama, hukum negara, dan hukum adat. Pernikahan juga suatu hal yang sakral

dan penting dalam kehidupan dua insan yang bertukar ikrar, termasuk keluarga

mereka yang akan menyatu melalui kedua mempelai. Hubungan perkawinan dalam

masyarakat Batak Toba adalah hubungan asymetric connubium (perkawinan sepihak),

perkawinan yang tidak boleh timbal balik (Maria, 1995:18). Misalnya pemuda marga

Pasaribu mengambil gadis marga Tambunan, pemuda marga Tambunan tidak boleh

mengambil gadis dari marga Pasaribu tetapi harus dari marga purba, demikian

seterusnya.

Pada dasarnya pernikahan di dalam kebudayaan Batak pernikahan yang ideal

bagi orang Batak Toba ialah antara seorang pemuda dengan putri saudara laki-laki

ibunya. Sistem ini dinamakan marboru ni tulang atau kawin “pariban”. Demikian

juga bila seorang pemudi kawin dengan putra saudara perempuan ayah atau maranak

ni namboru, disebut juga kawin “pariban”. Dulu sebenarnya maksud orang Batak

menjodohkan anak mereka untuk menjaga keutuhan harta keturunan mereka, agar

harta yang mereka miliki jatuh kepada saudaranya sendiri bukan pada orang lain,

untuk memperat kekeluargaan, pertalian dengan keluarga ayah/ibu tidak terputus.

(20)

Sebaliknya, kawin dengan putri dari saudara perempuan ayah atau boru ni

namboru merupakan hal terlarang. Larangan ini sesuai dengan struktur sosial dalihan

na tolu bahwa bahwa hanya boru yang boleh mengambil istri dari kelompok

hula-hula. Pelanggaran atas larangan ini akan dihukum berat (pengusiran dari desa, tidak

diakui sebagai anggota marga dan dilarang mengikuti upacara adat). Orang Batak

Toba memperkuat hukum adat ini dengan ungkapan: “dang tarpaulak aek tu julu”

atau tidak dapat dilalirkan kembali ke hulu. Dalam persoalan ini hula-hula (keluarga

mempelai perempuan) adalah sumber asal boru. Oleh karena itu, tidak mungkin

proses itu diputar balik. Artinnya, boru menjadi sumber keturunan (secara simbolik

adalah pohon kehidupan) bagi hula-hula. Secara ideologis hula-hula merupakan

personifikasi dewata Batara Guru dan banua ginjang (dunia atas), sedangkan boru

adalah personifikasi dewata Balabulan dan banua toru (dunia bawah). Itulah sebabnya

kedudukan yang tinggi dari hula-hula tidak dapat dijungkirbalikkan, sama seperti

menukarkan kedudukan dewata Batara Guru dengan Balabulan. Secara realigi hal ini

tidak diperbolehkan dan tidak dimungkinkan. Karena itu adat yang menjadi bagian

dan kepercayaan keagamaan harus mematuhinya.

Dilihat dari sudut pelaksanaan upacara perkawinan yang melibatkan banyak

pihak, maka prinsip pertanggungjawaban adalah milik kelompok sosial. Setiap unsur

pendukung struktur dan sistem sosial dalihan na tolu terlibat secara langsung dengan

bertanggung jawab sesuai kedudukan sosial adatnya. Dengan demikian yang

berkepentingan tidak hanya kedua pengantin atau kedua pihak orangtua dan kerabat

dekat, namun juga setiap unsur dalihan na tolu dari kedua kelompok sosial tersebut.

Keterlibatan semua unsur dalihan na tolu terwujud dalam tanggungjawab

masing-masing kepada pengantin, kedua orangtua pengantin, serta tiap-tiap unsur dalihan na

(21)

Dalam upacara perkawian peranan kerabat dalihan na tolu dari kedua pihak

mempunyai peranan penting. Orangtua pengantin wanita tidak boleh sendirian

menerima uang mahar (tuhor) dari pihak laki-laki, mereka haurs mengundang secara

lengkap kerabat dalihan na tolu dan membagi tuhor tersebut sesuai dengan adat.

Pihak pengantin laki-laki, sinamot harus dibayar bersama-sama oleh kerabat dalihan

na tolu pihak laki-laki. Orangtua perempuan bersama dalihan na tolu harus

menyerahkan kain adat/ulos kepada orangtua laki dan kepada kedua mempelai.

Dimaksudkan sebagai lambang ikatan yang erat antara dalihan na tolu dengan

menantu baru antara kerabat kedua belah pihak, sekaligus sebagai pelambang

keharmonisan yang didambakan oleh kedua mempelai (Maria, 1995:18).

Batak mengenal dua perkawinan, kawin lari/mangalua dan kawin secara biasa

mengikuti semua prosedur yang ada yaitu kawin lari dan kawin resmi. Kawin lari

adalah membentuk rumah tangga tanpa upacara adat umumnya, hal ini terjadi karena

adanya ketidak setujuan dari satu pihak, tetapi sering terjadi karena tidak adanya

biaya. Karena untuk mendakan pesta, dibutuhkan biaya yg tidak sedikit. Secara adat

pasangan ini dianggap belum resmi kawin. Untuk meresmikan harus melalui upacara

adat yang disebut dengan mangadati (diadatkan). Selama belum diadatkan pasangan

ini belum boleh menyelenggarakan upacara adat. Perkawinan biasa adalah

membentuk rumah tangga yang baru dengan mengikuti prosedur adat yang

mendahului hadirnya upacara dan beberapa perkataan adat (marhata) antara kerabat

dalihan kedua belah pihak. Suatu upacara perkawinan dianggap resmi bila dihadiri

oleh semua unsur dari dalihan natolu dan diselengrakan menurut prinsip dalihan.

Menyangkut sistem perkawinan pada masyarakat Batak Toba, akan menjadi

hal yang menarik perhatian, serta mungkin akan menjadi suatu pertanyaan apabila

(22)

mengharapkan anaknya harus menikah dengan paribannya, sedangkan si anak tidak

mau, dan masih banyak lagi fenomena yang terjadi pada masyarakat Batak Toba yang

menyangkut dengan pernikahan.

Nilai pernikahan bagi masyarakat Batak Toba adalah pertumbuhan.

Pernikahan adalah alat untuk melanjutkan keturunan yang tentunya kelahiran

keturunan sangat penting bagi masyarakat Batak Toba. Orang/keluarga yang tidak

memiliki keturunan adalah suatu ‘kekurangan’ di dalam masyarakat Batak Toba. Hal

ini dianggap karena tidak bisa meneruskan silsilah. Keluarga yang tidak memiliki

keturunan merupakan aib bagi keluarga. Keluarga tersebut akan biasanya akan

dikucilkan dalam kehidupan bermasyarakat.

2.7.SISTEM PEWARISAN

Warisan adalah hak peralihan dan penerusan harta benda dari suatu generasi

ke generasi berikutnya. Ketentuan ahli waris menurut hukum adat adalah berdasarkan

sistem kekeluargaan. Masyarakat Batak Toba yang mendasarkan pada hubungan

genealogik yang patrilineal. Susunan kekeluargaan tersebut sangat erat hubungannya

dengan sistem pewarisan, bahwa hanya anak laki-laki saja yang berhak mewarisi harta

peninggalan orangtuanya. Masyarakat Batak Toba percaya bahwa seorang bapak

dianggap akan terus hidup dalam turunannya yang laki-laki.

Dalam pembagian warisan orang tua yang mendapatkan warisan adalah anak

laki-laki sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari orang tua suaminya

atau dengan kata lain pihak perempuan mendapatkan warisan dengan cara hibah.

Pembagian harta warisan untuk anak laki-laki juga tidak sembarangan, karena

pembagian warisan tersebut ada kekhususan yaitu anak laki-laki yang paling kecil

(23)

khusus. Anak perempuan hanya menerima ulos, suatu pemberian untuk dibawa pergi

pada saat ia kawin dan mengikuti suaminya. Ulos tersebut menjadi miliknya dan milik

anak cucunya.

Hak anak tiri ataupun anak angkat dapat disamakan dengan hak anak kandung.

Karena sebelum seorang anak diadopsi atau diangkat, harus melewati proses adat

tertentu yang bertujuan bahwa orang tersebut sudah sah secara adat menjadi marga

dari orang yang mengangkatnya. Tetapi memang ada beberapa jenis harta yang tidak

dapat diwariskan kepada anak tiri dan anak angkat yaitu Pusaka turun-temurun

keluarga. Karena yang berhak memperoleh pusaka turun-temurun keluarga adalah

keturunan asli dari orang yang mewariskan.

Dalam Ruhut-ruhut ni adat Batak (Peraturan Adat batak) jelas di sana

diberikan pembagian warisan bagi perempuan yaitu, dalam hal pembagian harta

warisan bahwa anak perempuan hanya memperoleh: Tanah (Hauma pauseang), Nasi

Siang (Indahan Arian), warisan dari Kakek (Dondon Tua), tanah sekadar (Hauma

Punsu Tali). Dalam adat Batak yang masih terkesan kuno, peraturan adat istiadatnya

lebih terkesan ketat dan lebih tegas, itu ditunjukkan dalam pewarisan, anak

perempuan tidak mendapatkan apapun. Dan yang paling banyak dalam mendapat

warisan adalah anak bungsu atau disebut siapudan yaitu berupa Tanak Pusaka,

Rumah Induk atau Rumah peninggalan orang tua dan harta yang lain nya dibagi rata

oleh semua anak laki-lakinya. Anak siapudan juga tidak boleh untuk pergi

meninggalkan kampung halamannya, karena anak siapudan tersebut sudah dianggap

sebagai penerus ayahnya, misalnya jika ayahnya Raja Huta atau Kepala Kampung,

maka itu turun kepada anak bungsunya (Siapudan).

Jika kasusnya orang yang tidak memiliki anak laki-laki maka hartanya jatuh

(24)

apapun dari harta orang tuanya. Dalam hukum adatnya mengatur bahwa saudara ayah

yang memperoleh warisan tersebut harus menafkahi segala kebutuhan anak

perempuan dari si pewaris sampai mereka berkeluarga.

Dan akibat dari perubahan zaman, peraturan adat tersebut tidak lagi banyak

dilakukan oleh masyarakat Batak. Khususnya yang sudah merantau dan

berpendidikan. Selain pengaruh dari hukum perdata nasional yang dianggap lebih adil

bagi semua anak, juga dengan adanya persamaan gender dan persamaan hak antara

laki-laki dan perempuan maka pembagian warisan dalam masyarakat adat Batak Toba

saat ini sudah mengikuti kemauan dari orang yang ingin memberikan warisan. Jadi

hanya tinggal orang-orang yang masih tinggal di kampung atau daerahlah yang masih

menggunakan waris adat seperti di atas.

2.8.HAL-HAL PENTING DALAM ADAT BATAK MENYANGKUT MARGA 2.8.1. Sistem Sapaan

Untuk mengetahui hubungan kekerabatan antara seseorang dengan lainnya

dilakukan dengan menelusuri silsilah leluhur beberapa generasi di atasnya yang

disebut martarombo/martutur. Masyarakat Batak yang tidak tahu martutur dianggap

kurang baik oleh masyarakat Batak lainnya. Bila dua orang Batak kebetulan berasal

dari marga yang sama bertemu di perantauan dapat diduga keduanya akan berusaha

mencari hubungan kekerabatan dengan menarik garis keturunan. Hal yang

dibicarakan adalah nama opung dan kampung asal. Dari dialog ini mereka dapat

menentukan hubungan kekerabatan siapa yang harus memanggil saudara tua, atau

saudara muda melalui ikatan nenek moyang leluhur.

Nama marga biasanya ditempatkan dibelakang nama panggilan seseorang,

(25)

ditarik secara patrilineal. Demikian pentingnya fungsi marga dalam adat Batak Toba

sehingga keberadan individu tidak terlepas dari konteks marga. Orang Batak yang

hidup tanpa mengetahui dan mengenai marganya bagikan kacang lupa kulitnya

(cunningham dalam Dalimunthe, 1995).

Pola interaksi antar marga dan inter marga tercermin juga dalam dalihan na tolu:

 Tungku1: pihak yang memberikan anak perempuannya untuk dinikahkan

dengan laki-laki dari marga lain

 Tungku2: pihak yang menerima anak perempuan dari marga tertentu yang

menikah dengan laki-laki dari marga mereka

 Tungku3: mereka yang dilahirkan dan berasal dari satu keturunan dan puya

marga yang sama.

Sebagai contoh penulis akan cantumkan untuk memperjelas sistem marga

dalam masyarakat Batak Toba. Penulis adalah bermarga, yang dalam hal ini adalah

boru, yaitu boru Tambunan, berjumpa dengan boru Tambunan juga lalu bersapaan

dan pasti akan martutur. Marga Tambunan terbagi lagi kedalam sub marga yang lebih

kecil kedalam tiga bagian yaitu Pagar Aji, Lumban Pea, Lumban Raja. Penulis masuk

dalam sub marga Pagar Aji. Dalam partuturan tadi dapat diketahui bahwa lawan

bicara penulis tadi boru Tambunan dari sub marga Lumban Pea. Dia akan memanggil

atau menyebut penulis dengan sebutan kakak dan saya menyebut dia dengan adik.

Karena dia berasal dari sub marga Lumban Pea yang dalam silsilah Silahisabungan

adalah adik dari Pagar Aji. Pagar Aji merupakan sub marga Tambunan yang paling

besar. Dilihat dari generasi itu, maka dia pantas memanggil kakak terhadap penulis

(26)

kami pun dalam pembicaraan akan menyesuaikan diri pada silsilah Silahisabungan

sesuai dengan moral kekerabatan dalihan na tolu.

Pada dasarnya, sekalipun dikalangan suku Batak terjadi banyak perselisihan,

mereka tetap sadar bahwa mereka adalah satu keluarga besar yang hidup menurut satu

adat yang harus dijunjung tinggi. Mereka yakin bahwa semua orang Batak merupakan

turunan dari satu nenek moyang, yaitu si Raja Batak (Lumbantobing, 1996:28).

Karena itulah, apabila terjadi pertemuan antara dua orang Batak yang baru saling

mengenal, yang pertama mereka ingin tahu adalah soal marga; supaya dapat

menentukan sikap terhadapnya sesuai dengan kedudukannya dalam tata laksana adat.

Kebiasaan itu dianggap suatu keharusan, seperti yang diungkapkan dalam sebuah

peribahasa:

Jolo tinitip sanggar, bahen huru-huruan,

jolo sinungkun marga, asa binoto partuturan

Artinya:

Dipotong dahulu pimping, untuk dijadikan sangkar

ditanya dahulu marga, agar jelas hubungan kekeluargaan

Orang Batak tidak menganggap dirinya sebagai pribadi yang berdiri sendiri,

tetapi sebagai bagian dari satu kesatuan Bangso Batak. Oleh karena itu, dia kan

berpikir dalam bentuk “kami”, bukan dalam bentuk “aku”, karena dia merasa dirinya

satu dengan semua orang Batak. Faktor pengikat yang terpenting dalam sistem

pemikiran seperti itu adalah hubungan darah dan kesamaan negeri asal (bona pasogit)

(27)

sebagai anggota dari satu keluarga besar yang wajib mengalami setiap kesenangan

dan kesusahan secara bersama-sama.

Penutup

Dari uraian diatas penulis dapat menyimpulkan bahwa Tanah Batak adalah

kampung halaman orang Toba, yang masih membutuhkan perhatian semua pihak

terlebih para perantau yang sukses di tanah rantau untuk perlu membenahi bona

pasogitnya.

Demikian juga dengan kota Medan, sebuah kota yang berpenduduk heterogen

yang menerima keberadaan orang Toba untuk hidup dan menetap hingga sekarang. Di

kota Medan orang Toba bertumbuh dengan semua kebudayaan dan adat istiadatnya.

Kebudayaan Batak Toba merupakan sebuah bentuk gagasan yang diwarisi masyarakat

pemiliknya dengan membuat tindakan terhadap nilai-nilai budaya. Konsep

masyarakat Batak Toba tentang kehidupan manusia adalah bahwa kehidupannya

selalu terkait dan diatur oleh nilai-nilai adat. Adat merupakan kewajiban yang ditaati

dan dijalankan. Adat bukan hanya sekedar kebiasaan atau tertib sosial, melainkan

sesuatu yan mencakupi seluruh dimensi kehidupan:jasmanai, dan rohani, masa kini

dan masa depan, hubungan dengan sesama maupun hubungan dengan ‘sang pencipta’.

Sistem kekerabatan yang ada dalam kebuadayaan orang Toba (dalihan na tolu)

menggambarkan keseimbangan. Dalihan na tolu sebagai lambang aturan hidup dan

sikap hidup orang Toba. Perlu keseimbangan yang absolut dalam tatanan hidup

diantara unsur-unsur dalihan na tolu. Untuk menjaga keseimbangan tersebut orang

Toba tidak hanya berada dalam satu posisi saja. Semua orang Toba akan pernah jadi

hula-hula, akan menjadi boru, dan menjadi dongan tubu. Intinya adalah adanya ajaran

(28)

Dalam pembagian warisan dalam kebudayaan orang Toba, yang mendapatkan

warisan adalah anak laki-laki, sedangkan anak perempuan mendapatkan bagian dari

suaminya. Pembagian harta warisan untuk laki-laki tidak sembarangan karena

pembagian warisan tersebut dikhususkan kepada anak laki-laki terkecil yang disebut

siapudan. Dewasa ini, adat seperti itu tidak lagi sepenuhnya dilakukan, maka

pembagian warisan sudah berdasarkan keinginan dari keluarga masing-masing, yang

perempuan berhak mendapatkan warisan orangtuanya. Hal positif yang boleh diambil

Gambar

Gambar 1
Tabel 1

Referensi

Dokumen terkait

KEDUDUKAN ANAK ANGKAT PADA MASYARAKAT BATAK TOBA DALAM PEMBAGIAN HARTA WARISAN DI.. KECAMATAN SUMBUL

Ketidakmampuan untuk berbuat, kehidupan yang diceritakan pada lagu ini adalah keadaan yang sangat memilukan, sebagai anak tidak ada lagi artinya, karena tidak memiliki

pembagian harta warisan baik anak laki-laki ataupun perempuan memiliki porsi yang sama.. Pembagian yang sama tersebut terjadi karena dengan alasan menghindari adanya

kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki – laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat Batak perantauan terhadap harta peninggalan/ warisan almarhum

Namun saat ini ada kecendrungan terjadi perubahan bentuk pemberian harta warisan pada anak laki dan perempuan di masyarakat Batak Toba yang berada di perkotaan, pemberian

Ada yang mengangkat anak laki-laki karena semua anak kandungnya perempuan, ada yang memang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak dan ada juga yang mengangkat

1) Kedudukan janda dengan ada anak baik anak laki-laki ataupun anak perempuan karena kematian suami pada masyarakat batak toba kristen terhadap

Boru Panggoaran (Anak sulung perempuan) juga tergolong sebagai penguat atau peneguh bagi orang tuanya, karena hal ini terlihat setelah berumah tangga bahwa anak