• Tidak ada hasil yang ditemukan

BAB I PENDAHULUAN. anak, khususnya anak laki-laki karena bagi orang Batak anak laki-laki akan mewarisi

N/A
N/A
Protected

Academic year: 2021

Membagikan "BAB I PENDAHULUAN. anak, khususnya anak laki-laki karena bagi orang Batak anak laki-laki akan mewarisi"

Copied!
19
0
0

Teks penuh

(1)

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Dalam suatu perkawinan, hal yang paling dinantikan adalah kehadiran seorang anak, khususnya anak laki-laki karena bagi orang Batak anak laki-laki akan mewarisi marga, hak tanah, milik, nama dan jabatan hal ini disebabkan karena suku Batak Toba menganut sistem kekerabatan secara patrilineal.

Anakkhon hi do hamora di ahu adalah ungkapan suku bangsa Batak Toba untuk menyatakan bahwa anak adalah harta yang tertinggi baginya. Anak dalam keluarga adalah kebahagiaan, perkawinan salah satu tujuannya adalah mendapat keturunan terutama adalah anak laki-laki sebab anak laki-laki merupakan pewaris marga, harta, dan penerus budaya Dalihan na tolu, jadi, apabila dalam suatu keluarga tidak ada anak laki-laki maka itu merupakan aib yang dapat mengancam punahnya silsilah keluarga tersebut karena marga tidak akan diturunkan lagi (www.wikipedia.co.au/nilai_budaya?_batak-toba diakses pada 11-Agustus-2009)

Nilai anak dalam prinsip hidup suku bangsa Batak Toba meliputi hagabeon, hamoraon, hasangapon. Kehidupan menjadi sempurna bila ketiganya telah tercapai. Hagabeon adalah keturunan yang banyak (laki-laki dan perempuan). Anak yang banyak akan membentuk keturunan yang besar yang merupakan kekuatan di hari depan. Bukan hanya dari jumlah anak yang banyak tetapi mutu sang anak juga diperhatikan pada masyarakat suku Batak Toba.

Orang tua menginginkan anak-anak yang lahir itu rajin bekerja dan bijaksana, menjadi panutan/teladan bagi masyarakat. Itulah sebabnya orang tua menyekolahkan anak-anaknya sampai setinggi-tingginya. Segala upaya dilakukan untuk dapat

▸ Baca selengkapnya: di sebuah desa berpenduduk 10000 orang 15 diantaranya adalah laki-laki buta warna

(2)

membiayai pendidikan anak. Dengan pendidikan yang baik si anak akan mendapat pekerjaan atau kedudukan yang baik sekaligus membawa nama baik keluarga.

Anak menunjukkan hamoraon merupakan kekayaaan utama bagi suku bangsa Batak Toba. Bila keluarga memiliki anak banyak terutama anak laki-laki disebut mora. Hamoraon tidak dilihat dari segi material. Keluarga yang kaya materi tetapi tidak ada anak laki-laki tidak disebut mora, keluarga sederhana dan memiliki anak laki-laki akan disebut mora.

Anak menunjukkan hasangapon (kemuliaan), seorang yang sangap (dimuliakan) adalah orang yang memiliki prestise yang tinggi, antara lain memahami adat, menerapkan adat dan aktif dalam kegiatan sosial masyarakat akan tetapi orang tersebut harus memiliki anak laki-laki, bila tidak memiliki anak laki-laki maka tidak disebut sangap. Jadi pada diri anaklah Hagabeon, Hasangapon, Hamoraon itu.

Masyarakat Batak Toba menganut sistem keturunan adalah patrilineal yaitu menurut garis keturunan laki-laki (ayah). Garis laki-laki diteruskan oleh anak laki-laki dan menjadi musnah atau hilang kalau tidak ada lagi anak laki-laki yang dilahirkannya. Sistem keturunan patrilineal menjadi tulang punggung masyarakat Batak dalam melanjutkan keturunan, marga, kelompok suku, yang semuanya saling berhubungan menurut garis laki-laki. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga karena merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga.

Marga adalah kelompok kekerabatan yang terdiri dari semua keturunan dari seorang leluhur yang diperhitungkan malalui garis keturunan pria atau wanita. Berbicara tentang marga, marga hanya bisa diturunkan oleh seorang laki-laki kepada keturunannya baik laki-laki maupun perempuan. Anak-anak yang lahir akan meneruskan marga dari ayahnya dan bukan dari marga ibunya seperti pada adat

(3)

Minangkabau. Salah satu alasan itulah mengapa hanya anak laki-laki yang berhak atas harta warisan. Anak laki-laki penyambung garis silsilah si pewaris, sedangkan anak perempuan ketika menikah ia akan bergabung dengan keluarga suami, melahirkan anak-anak yang akan meneruskan marga suami.

Dalam masyarakat Batak Toba, suatu perkawinan akan mengalami atau memunculkan permasalahan apabila dalam perkawinan tersebut tidak lahir seorang anak pun atau adanya kegagalan dalam mendapatkan anak laki-laki. Bagi kehidupan keluarga Batak, keturunan itu sangat penting terutama dalam menurunkan marganya. Dahulu, jika dalam sebuah perkawinan tidak melahirkan keturunan atau tidak juga mendapatkan anak laki-laki, maka si suami akan melakukan poligami yaitu suatu perkawinan yang memperbolehkan masing-masing jenis baik pria maupun wanita mempunyai lebih dari seorang istri atau suami berdasarkan adat. Saat ini bentuk perkawinan ini jarang dilakukan, walaupun satu keluarga itu tidak mempunyai anak atau hanya mempunyai anak perempuan saja. Perangin angin (2004) mengemukakan bahwa salah satu alasannya adalah karena rasa saling mencintai dan menerima keadaan dengan pasrah serta pengaruh agama kristiani yang dianut masyarakat Batak Toba melarang keras untuk berpoligami.

Agama Kristiani masuk ke wilayah Nusantara dibawa oleh Misionaris Belanda khususnya aliran Protestan. Protestan lahir dari suatu gerakan yang menegakkan ajaran yang di duga sudah mulai melenceng. Tokoh reformator gereja seperti Martin Luther, Johanes Calvin, Zwingly yang kesemuanya dari Eropa. Aliran Kristen Protestan sangat menekankan ajaran agama menurut kitab suci, namun disamping itu juga sangat menekankan aspek kesejahteraan bagi jemaatnya. Etika Protestan yang menggali Alkitab menyimpulkan bahwa ajakan-ajakannya, telah mendorong

(4)

jemaatnya menjadi lebih maju salah satunya meninggalkan kebiasaan perkawinan poligami.

Sekarang ini ada pilihan bagi pasangan-pasangan suami istri yang sama sekali tidak mempunyai keturunan atau tidak mempunyai anak laki-laki salah satunya adalah mengambil anak angkat (mengadopsi anak). Pengangkatan anak sering diistilahkan dengan adopsi. Adopsi berasal dari Adoptie (dalam bahasa Belanda) atau adoptions (dalam bahasa Inggris) adoptions artinya pengangkatan atau pemungutan, jadi Pengangkatan anak disebut adoptions of a child, yaitu mengangkat anak orang lain sebagai anak sendiri.

Ter Haar menyatakan ada beberapa alasan dalam pengangkatan anak di beberapa daerah, antara lain :

1) Motivasi perbuatan adopsi dilakukan adalah karena rasa takut bahwa keluarga yang bersangkutan akan punah (Fear of extinction of afamily);

2) Rasa takut akan meninggal tanpa mempunyai keturunan dan sangat kuatir akan hilang garis keturunannya (Fear of diving childless and so suffering the axtinction of the line of descent).

Dari motivasi di atas terkandung asas mengangkat anak untuk meneruskan garis keturunan. Di daerah Tapanuli, Nias, Gayo, Lampung, Maluku, Kepulauan Timor dan Bali yang menganut garis patrilineal, pengangkatan anak pada prinsipnya hanya pengangkatan anak laki-laki dengan tujuan utamanya adalah untuk meneruskan keturunan.

Pengangkatan anak secara hukum adat yang dilakukan di beberapa daerah seperti pada masyarakat Batak Karo yang menganut sistem patrilineal yaitu, setelah anak itu diangkat menjadi anak oleh orang tua angkatnya, maka hubungan

(5)

kekeluargaan dengan ayah kandungnya menjadi terputus sama sekali dan anak tersebut menjadi masuk kedalam Clan ayah angkatnya. Di daerah Jawa Barat, di samping mewaris harta gono gini (kaya reujeung) dari orang tua kandungnya sendiri. Dalam hukum perdata hal tersebut dikenal dengan sebutan anak angkat menerima air dari dua sumber. Di Bali perbuatan mengangkat anak adalah perbuatan hukum yang melepaskan anak itu dari pertalian kekeluargaan dengan orang tuanya sendiri dan memasukkan anak itu ke dalam keluarga bapak angkat, sehingga anak tersebut berstatus seperti anak kandung, untuk meneruskan turunan bapak angkatnya. Di daerah Rejang (Bengkulu) anak angkat mempunyai kedudukan sebagai anak kandung dari orang tua angkatnya dan merupakan ahli waris mereka sepenuhnya (Masalah-masalah Hukum Perdata Adat, 1981)

Permasalahan yang menarik dalam hal ini adalah bagaimana kedudukan anak angkat tersebut dalam pembagian harta warisan yang dimiliki oleh orang tua angkatnya, khususnya pada masyarakat yang menganut sistem keturunan patrilineal.

Sistem keturunan patrilineal dianut oleh masyarakat Batak Toba yang menarik sistem pewarisan dari pihak laki-laki. Di daerah Batak Toba yang menganut sistem kekerabatan patrilineal, anak laki-laki merupakan penerus keturunan ataupun marga dalam silsilah keluarga. Anak laki-laki sangat berarti kehadirannya dalam suatu keluarga. Pada masyarakat Batak Toba, apabila suatu keluarga tidak mempunyai anak laki-laki, maka ia dapat mengangkat seorang anak laki-laki yang disebut dengan anak naniain dengan syarat anak laki-laki yang diangkat haruslah berasal dari lingkungan keluarga atau kerabat dekat orang yang mengangkat.

Pengangkatannya haruslah dilaksanakan secara terus terang yaitu dilakukan di hadapan dalihan na tolu dan pemuka-pemuka adat yang bertempat tinggal di desa sekeliling tempat tinggal orang yang mengangkat anak. Apabila syarat-syarat

(6)

pengangkatan anak sebagaimana diuraikan di atas telah terpenuhi, maka anak tersebut akan menjadi ahli waris dari orang tua angkatnya dan tidak lagi mewaris dari orang tua kandungnya.

Sementara itu, ketentuan pokok dalam hukum warisan Batak Toba adalah bahwa anak laki-laki merupakan pewaris harta peninggalan bapaknya. Janda dengan, atau tanpa, anak laki-laki tidak dapat mewarisi. Anak laki-laki dari ibu yang berlainan dalam suatu perkawinan bigami merupakan kelompok tersendiri, sebagaimana dengan anak laki-laki dari bapak yang berlainan tetapi dari ibu yang sama, seperti yang terdapat dalam perkawinan ganti tikar. Anak sulung (sihahaan), yang menggantikan bapak, dan anak bungsu (siampudan atau sianggian) yang mengurus orang tua di usia senja, menempati kedudukan khusus dalam hukum waris dibandingkan dengan anak-anak yang di tengah (silitonga) (Vergoewen:1986).

Demikian juga halnya dengan anak angkat. Ia juga berhak atas warisan sebagai anak bukan orang asing. Sepanjang perbuatan pengangkatan anak atau adopsi telah menghapuskan perangainya sebagai orang asing dan menjadikannya sebagai anak maka anak angkat berhak atas warisan sebagai seorang anak. Itulah titik pangkalnya hukum adat. Namun boleh jadi, bahwa terhadap kerabatnya kedua orangtua yang mengangkat anak, anak tersebut tetap asing dan tidak mendapatkan apa-apa dari harta benda orang tua angkatnya. Mengangkat anak sebagai perbuatan tunai selalu menimbulkan hak sepenuhnya atas warisan (Ter Haar :247).

Anak angkat mendapat warisan dari orang yang mengangkatnya dan akan menjadi ahli waris. Dalam hal pengangkatan anak, apabila anak yang diangkat laki-laki maka anak tersebut harus merujuk pada marga orang tua yang mengangkatnya. Sehingga sistem keturunan akan tetap dapat dilanjutkan. Hal ini sesuai dengan hukum

(7)

adat yang berlangsung pada kehidupan masyarakat Batak Toba yaitu Sistem Dalihan na tolu yang terdiri dari tiga buah batu, ketiga hubungan itu adalah:

1. Dongan sabutuha (teman semarga) 2. Hula-Hula (keluarga dari pihak istri) 3. Boru (keluarga dari pihak laki-laki)

Posisi kekerabatan sebagai dongan sabutuha, sebagai boru dan sebagai hula-hula tidak statis, tetapi bergerak terus, adakalanya sebagai hula-hula-hula-hula tetapi di kala lain dia menjadi boru, bergantung pada acara adat apa yang sedang di gelar. Sistem dalihan na tolu tersebut merupakan hukum yang mengatur tata kehidupan masyarakat suku Batak Toba seperti halnya dengan pengangkatan anak tersebut.

Berbeda halnya dengan anak laki-laki dari seorang perempuan yang berada dalam suatu ikatan perkawinan yang tidak resmi tidak akan mendapat warisan. Jika orang yang meninggal tidak memiliki keturunan, dan juga tidak memiliki bapak ataupun kakek maka harta warisan berpindah ke sanak koletoral (panean). Pihak yang terpenting di antara mereka adalah saudara kandung orang yang meninggal, seandainya tidak ada maka menyusul paman dan sepupu dari kakek yang sama dan begitu seterusnya. Jika orang yang meninggal tidak lagi memiliki isteri ataupun anak perempuan maka panean dapat mengambil seluruh harta peninggalan. Namun jika orang yang meninggal memiliki isteri dan anak peempuan maka panean harus merelakan sebagaian dari harta warisan itu untuk diberikan kepada mereka, selain itu panean juga harus menyerahkan apa yang menjadi hak anak-anak perempuan itu, baik saat itu juga maupun dikemudian hari. (Vergoewen, 1986 : 337-338).

Masyarakat Batak Toba yang terdapat di daerah Desa Bagan Batu, Kecamatan Bagan Sinembah, Kabupaten Rokan Hilir, Riau. Di daerah tersebut terdapat beberapa pasang keluarga yang mempunyai anak angkat. Mereka mengangkat anak

(8)

(mengadopsi anak) dengan berbagai alasan. Ada yang mengangkat anak laki-laki karena semua anak kandungnya perempuan, ada yang memang sudah lama menikah tapi belum juga dikaruniai seorang anak dan ada juga yang mengangkat anak kerabatnya, berdasarkan hal-hal tersebut maka mendorong penulis untuk melakukan penelitian bagaimana sebenarnya realitas posisi anak angkat tersebut dalam sistem pewarisan adat Batak Toba dengan tujuan untuk mengetahui bagaimana kedudukan anak angkat tersebut dalam hak dan kewajiban sebagai bagian masyarakat Batak Toba yang ada di Desa Bagan Batu Kecamatan Bagan Sinembah Kabupaten Rokan Hilir, Riau.

1.2 Perumusan Masalah.

Perumusan masalah diperlukan untuk menentukan jalannya penelitian, berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka sebagai rumusan masalah adalah sebagai berikut:

a. Posisi anak angkat dalam masyarakat Batak Toba di Desa Bagan Batu? b. Bagaimana pembagian hak waris dan apa saja kewajiban anak angkat pada

masyarakat Batak Toba di Bagan Sinembah ?

1.3 Ruang Lingkup Masalah

Meskipun penelitian ini akan berusaha untuk melihat gambaran menyeluruh dari sistem pengangkatan anak pada masyarakat Batak khususnya pada suku bangsa Batak Toba pada suatu wilayah yang dipilih atau ditentukan dan efektifitasnya terhadap usaha untuk mempermudah menyelesaikan persoalan dalam menentukan hak-hak waris yang diperoleh agar nantinya dapat membantu dalam penyelesaian bila terjadinya konflik, namun karena keterbatasan penyusun dalam hal waktu, tenaga dan

(9)

biaya, serta untuk menjaga penilaian agar lebih terarah dan fokus, maka diperlukan adanya pembatasan masalah.

Dengan pertimbangan tersebut, maka penelitian ini dibatasi pada hal yang berkenaan dengan bagaimana kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba dan akibat hukumnya pada harta benda orang tua angkatnya. Dalam hal ini penulis akan melihat bagaimana si anak angkat dapat menjadi anak yang sah di mata hukum dalam memperoleh harta benda orang tua angkatnya, serta perlakuan keluarga angkatnya pada dirinya. Kecuali itu, penulis juga mencoba memperhatikan pandangan masyarakat terhadap permasalahan tersebut.

1.4 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian dilakukan di Desa Bagan Batu, Kec. Bagan Sinembah, Kab. Rokan Hilir, Riau. Lokasi ini dipilih karena di daerah tersebut terdapat pasangan-pasangan suami istri yang mengadopsi anak dan sebagai bagian dari masyarakat suku Batak Toba.

1.5 Tujuan dan Manfaat Penelitian.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menjelaskan kedudukan anak angkat di masyarakat Batak toba dalam lingkungan orang tua angkat dan kedudukannya memperoleh hak dan kewajiban. Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangsih berdasarkan hasil penelitian dalam upaya reformasi hukum yang jelas dalam penyelesaian hak dan kewajiban anak angkat yang tidak diskriminatif dalam masyarakat Batak Toba mengingat sifat hukum waris yang pluralis.

(10)

1.6 Tinjauan Pustaka

Menurut Malinowski (1967) hukum bersahaja bukan merupakan suatu sistem homogen yang mencakup perangkat aturan seragam yang sempurna, yang kesemuanya didasarkan pada suatu prinsip yang dikembangkan kedalam suatu sistem yang konsisten. Ter Haar (1985), juga mengatakan hakekatnya hukum adat mencakup seluruh peraturan-peraturan yang menjelma didalam keputusan–keputusan para pejabat hukum dalam arti yang luas yang mempunyai kewibawaan dan pengaruh, serta yang di dalam pelaksanaannya berlaku secara spontan dan dipatuhi dengan segenap hati oleh mereka yang diatur oleh keputusan-keputusan yang mengenai suatu persengketaan, akan tetapi juga keputusan-keputusan yang diambil berdasarkan kerukunan dan musyawarah (jadi diluar persengketaan), keputusan-keputusan tersebut diambil atas dasar nilai-nilai yang hidup dan sesuai dengan jiwa warga masyarakat di mana keputusan tadi diambil.

Menurut Soepomo (1977), hukum adat merupakan hukum yang tidak tertulis dalam arti yang luas sekali, yaitu dalam arti hukum kebiasaan yang tidak tertulis yang juga mencakup ketatanegaraan dan peradilan, maka juga agak mengabaikan yang tertulis dari hukum adat. Hal ini dapat dimengerti mengingat bahwa memang bagian yang tertulis dalam hukum adat sangat sedikit sekali.

Hukum waris Islam yang dibawa Nabi Muhammad SAW telah mengubah hukum waris Arab pra-Islam dan sekaligus merombak struktur hubungan kekerabatan, bahkan merombak sistem pemilikan masyarakat tersebut atas harta benda, khususnya harta pusaka. Sebelumnya, dalam masyarakat Arab ketika itu, wanita tidak diperkenankan memiliki harta benda --kecuali wanita dari kalangan elite-- bahkan wanita menjadi sesuatu yang diwariskan, selain itu syarat menjadi ahli waris adalah sehat jasmani dan rohani serta tidak kehilangan haknya atas harta waris.

(11)

Islam merinci dan menjelaskan melalui Al-Qur'an Al-Karim bagian tiap-tiap ahli waris dengan tujuan mewujudkan keadilan didalam masyarakat. Meskipun demikian, sampai kini persoalan pembagian harta waris masih menjadi penyebab timbulnya keretakan hubungan keluarga. Ternyata, disamping karena keserakahan dan ketamakan manusianya, kericuhan itu sering disebabkan oleh kekurangtahuan ahli waris akan hakikat waris dan cara pembagiannya.

Kekurang pedulian umat Islam terhadap disiplin ilmu waris memang tidak dipungkiri, bahkan kondisi sosial telah mengisyaratkannya: "Betapa banyak manusia sekarang mengabaikan ilmu faraid,” sebagai tambahan Hadits riwayat Muslim mengatakan bahwa : “bahagikanlah (bagikanlah) harta itu antara orang-orang yang berhak, menurut kitab Allah.”

Ayat Alquran juga menjelaskan tentang pembagian warisan secara implisit, yang terkandung dalam surat Al-Baqarah (2):182 :

182. (Akan tetapi) barangsiapa khawatir terhadap orang yang berwasiat itu, berlaku berat sebelah atau berbuat dosa, lalu ia mendamaikan[113] antara mereka, maka tidaklah ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang ([113]. Mendamaikan ialah menyuruh orang yang berwasiat berlaku adil dalam mewasiatkan sesuai dengan batas-batas yang ditentukan syara'.)

Selain itu, dalam Islam juga dikenal hukum mengenai waris dan pembagian warisan yang disebut dengan Al-Faroi’dl, Ilmu artinya pengetahuan, Al-Faroi'dl artinya bagian-bagian tertentu. Jadi Ilmu Al-Faroi'dl secara garis besar merupakan pengetahuan untuk membagikan harta warisan atau Ilmu Pembagian Pusaka.

Menurut Hadits Riwayat Ahmad, Tirmidzi, dan Nasaie :

"Belajarlah Al-Qur'an dan ajarkanlah kepada manusia, dan belajarlah Faro'idl dan ajarkanlah, karena sesungguhnya aku seorang yang akan mati, dan ilmu akan terangkat, dan bisa jadi ada dua orang yang berselisih dan mereka tidak bertemu

(12)

Buku Al-Faro'idl ini berisi cara perhitungan pembagian warisan secara jelas menurut syariat, sangat jelas dan disertai dalil-dalil Al-Quran dan Hadits sehingga sangat mudah untuk dipraktekan walaupun bagi umat Islam yang sama sekali buta akan ilmu pembagian waris ini. Metode perhitungannya berdasarkan logika yang detil tanpa pecahan desimal dan semua perhitungan matematika didalammya sangat sederhana dan hanya menggunakan pecahan biasa.

Hassan (1999) ini menjelaskan identitas, nama, atau istilah dari para calon penerima harta warisan (ahli waris) yang pada akhirnya setelah diproses secara syariat akan tersaring siapa yang berhak menerima warisan dan siapa yang tidak berhak (terhijab) dan jumlah persentase dari masing-masing ahli waris, adapun syarat utama penerima waris adalah sehat secara jasmani dan rohani serta tidak kehilangan haknya sebagai penerima waris. Setelah perhitungan selesai, persentase tersebut dikalikan dengan total warisan yang akan dibagikan (setelah dikurangi hutang, wasiat, biaya pemakaman, dan lain-lain).

Dalam pembagian waris secara hukum Islam juga dapat berdasarkan atas kesepakatan yang tercapai dengan mengutamakan pembagian yang adil, hal ini sejalan dengan pendapat Shihab (2004:86-87) yang mengatakan bahwa :

“... jika seluruh ahli waris –sekali lagi seluruh mereka—sepakat untuk membaginya dengan cara lain maka pada prinsipnya ini dapat dibenarkan, karena ketika itu, masing-masing pemilik hak merelakan haknya.”

Hukum adat yang secara tak langsung juga berhubungan dengan kebudayaan, kebudayaan mempunyai kedudukan dan peranan yang sangat penting didalam kehidupan manusia. Sehari-hari orang tidak mungkin tidak berurusan dengan hasil kebudayaan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Setiap orang mempergunakan dan bahkan kadang-kadang merusak hasil kebudayaan. Kebudayaan tersebut mencakup kesemuanya yang didapatkan atau dipelajari oleh manusia sebagai

(13)

warga masyarakat dari alam dan bahkan masyarakat itu sendiri. Karena kebudayaan terdiri dari segala sesuatu yang dipelajari dari pola-pola perikelakuan yang normatif yang mencakup segala cara-cara atau pola-pola berfikir, merasakan dan berkehendak. Kebudayaan merupakan struktur normatif atau disebut oleh Ralph Linton sebagai Design For Living. Artinya kebudayaan merupakan suatu Blue Print Of Behavior yang memberikan pedoman-pedoman tentang apa yang harus dilakukan, boleh dilakukan dan yang dilarang. (Soekanto:1974; 1-2).

Pada hakekatnya kebudayaan itu mempunyai tiga perwujudan, yaitu: pertama wujud kebudayaan sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya. Kedua kebudayaan dapat mewujudkan diri sebagai kompleks aktivitas kelakuan berpola dari manusia dalam masyarakat. Ketiga kebudayaan dapat berwujudkan benda-benda hasil karya manusia. Wujud yang pertama dari kebudayaan dapat dijumpai dalam alam yang idealis dari warga masyarakat dimana kebudayaan yang bersangkutan itu hidup, wujud partama dari kebudayaan ini lebih dikenal dengan sebutan kebudayaan idiil yang berfungsi sebagai tata kelakuan yang mengatur, mengendalikan, serta memberikan arah kelakuan dalam perbuatan masyarakat (Koentjaraningrat: 1974; 15).

Searah dengan pendapat tersebut khususnya yang mengenai hukum adat Indonesia dikatakan bahwa; sebagai sesuatu pernyataan kebudayaan orang Indonesia asli maka tampak pada pembangunan hidup dan tingkah lakunya. Orang Indonesia pada umumnya merasa dirinya sebagian dari alam sekitarnya, dan di dalam tingkah lakunya dia harus memperhitungkan kekuatan-kekuatan diluar kemampuan manusia yang tidak tampak.

Soepomo (1977:81-82) menyatakan bahwa hukum waris itu memuat peraturan-peraturan yang mengatur proses menuruskan serta mengoperkan

(14)

barang-barang harta benda dan barang-barang-barang-barang yang tidak berwujud (Immateriale goedaren) dari suatu angkatan manusia (“generation”) kepada turunannya. Proses ini telah mulai dalam masih hidup. Proses tersebut tidak menjadi “akut” oleh sebab orang tua meninggal dunia. Memang meninggalnya bapak atau ibu adalah suatu peristiwa yang penting bagi proses itu, akan tetapi sesungguhnya tidak mempengaruhi secara radikal proses penerusan dan pengoperan harta benda dan harta bukan benda tersebut.

Hukum adat waris di Indonesia sangat dipengaruhi oleh prinsip garis keturunan yang berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan, yang merupakan prinsip patrilineal murni, patrilineal beralih-alih (altenerend), matrilineal maupun bilateral (walaupun sukar ditegaskan dimana berlakunya di Indonesia), ada pula prinsip unilateral berganda atau (double-unilateral). Prinsip-prinsip garis keturunan terutama berpengaruh pada penetapan ahli waris maupun bagi harta peninggalan yang diwariskan (baik yang materil maupun yang immaterial).

Hukum adat waris mengenal adanya tiga sistem kewarisan, yaitu:

a). Sistem kewarisan individual yang merupakan sistem kewarisan dimana para ahli waris mewarisi secara perongan, (Batak, Jawa, Sulawesi dan lain-lain).

b). Sistem kewarisan kolektif, dimana para ahli waris secara kolektif (bersama-sama) mewarisi harta peninggalan yang tidak dapat dibagi-bagi pemiliknya kepada ahli waris (Minangkabau).

c). Sistem kewarisan mayoritas, yaitu sistem kewarisan yang menentukan bahwa harta peninggalan pewaris hanya diwarisi oleh seorang anak. Sistem mayorat ada dua macam, yaitu:

I). Mayoritas laki-laki, yaitu apabila anak laki-laki tertua pada saat pewaris meninggal atau anak laki-laki tersulung (atau keturunan laki-laki) merupakan ahli waris tunggal dari sipewaris, seperti di Lampung.

(15)

II). Mayoritas perempuan, yaitu apabila anak perempuan tertua pada saat pewaris meninggal dunia, adalah waris tunggal, misalnya pada masyarakat Tanah Sumendo di Sumatera Selatan.

Apabila sistem kewarisan dihubungkan dengan prinsip garis keturunan maka (Hazairin, www.google.com/hukum_waris_dan_aplikasi/php_01_hazairin) :

“Sifat individual atau kolektif maupun mayorat dalam hukum kewarisan tidak perlu langsung menunjuk kepada bentuk masyarakat dimana hukum kewarisan itu berlaku, sebab sistem kewarisan yang individual bukan saja dapat ditemui dalam masyarakat yang bilateral, tetapi dapat juga dijumpai dalam masyarakat yang patrilineal seperti di tanah Batak, malahan di tanah batak itu di sana-sini mungkin pula dijumpai sistem mayoritas dan sistem kolektif yang terbatas”.

Pada hakekatnya subjek hukum waris adalah pewaris dan ahli waris. Pewaris adalah seseorang yang meninggalkan harta warisan,serta ahli waris adalah seseorang yang atau beberapa orang yang merupakan penerima harta warisan. Pada umumnya yang menjadi ahli waris adalah mereka yang menjadi besar dan hidup sangat dekat dengan peninggal warisan. Pertama pada dasarnya yang menjadi ahli waris adalah anak-anak dari si peninggal harta dan yang berikutnya adalah anak adopsi atau anak angkat.

Pembagian warisan yang dilakukan di lokasi penelitian dengan kemajemukan hukum, artinya: Hukum adat berkolaborasi dengan hukum agama islam, karena masyarakat Batak Toba yang ada di Bagan Sinembah mayoritas islam.

Kemajemukan hukum menurut Masinambow (2000,5-6) menyatakan bahwa hukum merupakan salah satu aspek kebudayaan, atau dapat dilakukan sebagai suatu objek otonom yang terpisah dengan kebudayaan, jadi kemajemukan hukum yaitu pandangan bahwa dalam dunia pragmatis sedikit-dikitnya dua sistem norma atau dua sistem aturan terwujud di dalam interaksi sosial, sedangkan pada pihak lain pandangan itu bertolak dari kemajemukan hukum dan mengkaji bagaimana hukum itu

(16)

berperan dan menyesuaikan diri didalam kondisi seperti itu, yang terutama dipikirkan adalah bagaimana aspek-aspek budaya dari satu kelompok sosial berbeda dengan kelompok sosial yang lain.

1.7 Metode Penelitian.

Penelitian ini adalah suatu penelitian kualitatif yang meneliti suatu fenomena sosial tertentu yang terjadi ditengah-tengah masyarakat, khususnya mengenai persoalan kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba. Oleh karena itu peneliti menggunakan beberapa teknik pengumpulan data yang akan digunakan dilapangan antara lain :

Tipe penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif dengan sebuah model studi kasus. Studi kasus adalah strategi penelitian yang terfokus pada pemahaman terhadap sesuatu yang dinamis yang melibatkan satu kasus atau lebih dengan tingkat analisa yang berbeda-beda dan dapat memberikan gambaran terhadap suatu masalah. Ketika menggunakan model studi kasus, masalah yang diteliti adalah suatu realitas sosial yang benar-benar terjadi di masyarakat sehingga masalah tersebut dapat dideskripsikan dari awal sampai akhir. Oleh karena itu penelitian ini menggunakan model studi kasus `alasannya adalah agar dapat lebih memahami dan mengerti permasalahan penelitian sehingga mampu memberikan satu gambaran yang lebih dalam tentang kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba.

1.7.1 Tehnik Pengumpulan Data

Data dapat dibagi atas 2 (dua) kelompok yaitu data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dari lapangan, sedangkan data sekunder merupakan data yang diperoleh dari buku, jurnal, studi kepustakaan dll. Data primer di peroleh melalui wawancara mendalam dengan informan. Informan adalah orang

(17)

yang memberikan informasi sesuai dengan apa yang dibutuhkan oleh peneliti. Informan dalam penelitian ini terdiri dari informan pangkal, informan pokok/kunci dan informan biasa.

Informan pangkal adalah orang yang dianggap memiliki pengetahuan lebih banyak tentang masalah yang diteliti yaitu kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba misalnya notaris dan pemuka-pemuka adat dan agama.

Informan pokok/kunci adalah orang tua angkat dan anak angkat, Informan pangkal dan informan pokok/kunci diperoleh data mengenai kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba. Untuk membuktikan data dan memperkuat data yang diperoleh dari informan pangkal dan informan pokok maka diwawancarai juga informan biasa seperti orang tua kandung dan masyarakat sekitar lingkungan tempat tinggal mereka.

1.7.2 Wawancara

Informasi yang telah diperoleh dari para informan untuk melengkapi data-data dilakukan melalui proses wawancara. Metode wawancara yang digunakan adalah wawancara yang bersifat bebas dan mendalam (depth Interview).

Wawancara yang bersifat mendalam adalah proses memperoleh keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab sambil bertatap muka antara peneliti dan informan, dimana peneliti dan informan terlibat percakapan yang cukup lama. Pelaksanaan wawancara tersebut tidak hanya dilakukan sekali atau dua kali saja melainkan berulang-ulang dengan intensitas yang tinggi. Sebelum mengumpulkan data dilapangan dengan metode wawancara tersebut, peneliti menyusun pedoman wawancara (interview guide) sebagai pedoman di lapangan. Hal ini bertujuan agar

(18)

proses wawancara antara peneliti dengan informan berjalan dengan lancar karena pedoman wawancara dapat digunakan untuk mengarahkan fokus dari pertanyaan ketika mengumpulkan data.

Untuk melengkapi dan memperkuat data yang sudah ada, peneliti juga menggunakan metode wawancara yang bersifat bebas yaitu wawancara yang dilakukan peneliti kepada informan tanpa ada persiapan terlebih dahulu dan biasanya wawancara tersebut dilakukan apabila peneliti secara kebetulan bertemu dengan si informan. Walaupun wawancara ini dilakukan secara bebas, tetapi kebebasan ini tidak terlepas dari pokok permasalahan yang akan ditanyakan kepada informan. Dengan metode tersebut, peneliti dapat mengumpulkan data-data yang dibutuhkan yang berkaitan dengan kedudukan anak angkat pada masyarakat Batak Toba.

Dalam melakukan wawancara ini, langkah pertama adalah peneliti menyaring daftar para informan yang dalam keluarganya terdapat anak angkat, yaitu yang sesuai dengan kriteria dan ketentuan dalam masalah penelitian. Setelah peneliti merasa yakin dengan informan yang ada maka wawancara dilakukan secara bertahap pada masing-masing keluarga informan dan ini dilakukan secara berkali-kali sampai data yang diperlukan terkumpul. Wawancara mendalam yang ditujukan kepada informan pangkal untuk memperoleh data mengenai latar belakang sejarah desa, adat istiadat masyarakat setempat dan data-data mengenai kependudukan. Wawancara mendalam yang di tujukan kepada informan kunci yaitu para orang tua angkat dan anak-anak angkatnya untuk memperoleh informasi tentang :

- Persoalan mendasar tentang alasan mereka melakukan pengangkatan anak

- Cara pengangkatan anak yang mereka lakukan berdasarkan hukum adat atau hukum nasional

(19)

- Bagaimana kedudukan anak angkat daharta warisan yang akan dibagikan dalam keluarga mereka

- Berapa bagian yang harus mereka berikan kepada anak angkat dan berapa besar bagian yang akan anak angkat dapatkan dari pembagian harta warisan tersebut.

Sedangkan wawancara mendalam yang dilakukan pada informan biasa dilakukan untuk review informasi dan mempertegas keabsahan data dari informan kunci juga untuk memperoleh informasi tentang bagaimana tanggapan mereka terhadap permasalahan kedudukan anak angkat dalam pembagian harta warisan tersebut.

Untuk melengkapi data yang telah terkumpul dari lapangan, peneliti kemudian mencari data kepustakaan dengan satu tujuan untuk mendapatkan landasan teori yang kuat, melalui pendapat para ahli yang berkaitan dengan masalah yang telah diteliti. Hal ini dapat ditemukan dari beberapa buah literatur, yang terdiri dari buku-buku, internet, artikel-artikel dan majalah-majalah tertentu yang sesuai dengan permasalahan yang diteliti.

1.7.3 Analisis Data

Data-data yang diperoleh melalui kegiatan pengumpulan data akan dianalisa secara kualitatif. Keseluruhan data yang diperoleh dari observasi dan wawancara tersebut di olah setelah dianalisis pada tiap-tiap data yang dikumpulkan. Kemudian menguraikan pada bagian-bagian permasalahan dengan membuat sub-sub judul pada bab-bab dalam penulisan penelitian. Analisa data yang dilakukan sesuai dengan kajian Antropologis dengan melihat permasalahan yang ada.. Analisa data dilakukan mulai pada saat meneliti atau selama proses pengumpulan data berlangsung hingga penulisan laporan penelitian selesai.

Referensi

Dokumen terkait

Perbandingan antara target, realisasi dan capaian pada indikator utama Sasaran Terwujudnya Rencana dan Kebijakan Pembangunan yang Terintegrasi dengan Rencana Tata Ruang Kota

Tujuan penelitian ini adalah untuk membangun sebuah model yaitu goal program- ming dalam meminimumkan debit air irigasi dan meminimumkan penyimpangan pelepasan waduk pada

Dari tujuh karakteristik responden Desa Cinagara dan Desa Pasir Buncir hanya dua karakter yang akan diuji dengan menggunakan pengujian regresi linear berganda, diduga dua

Garda Oto meraih penghargaan Service Quality Award 2013 untuk ke tujuh kali berturut-turut, yang menggunakan dimensi penilaian, yaitu Perceived Service Value (PSV)

Setelah dirawat inap selama 3 hari, dilakukan pembukaan perban dan terlihat luka bekas inisisi pada Boli sudah mulai mengering, tidak ditemukan adanya seroma

Kecerdasan kognitif seorang anak sangat beragam dan mempengaruhi bagaimana proses pendektan atau pembentukan prilaku dan kognitif sosial

Responden dalam penelitian tentang Hubungan Persepsi Pengguna Layanan Tentang Mutu Pelayanan Unit Rawat Inap VIP (Gryatama) Dengan Minat Pemanfaatan Ulang di BRSU

Lemo atau kilemo (Litsea cubeba Persoon L.) termasuk ke dalam marga Lauraceae dengan nama daerah Kilemo (Jawa Barat), Krangean (Jawa Tengah) dan Antarasa (Sumatera