BAB I PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Pendidikan Nasional berdasarkan Pancasila, bertujuan untuk
meningkatkan ketakwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa, kecerdasan, dan
keterampilan, mempertinggi budi pekerti, memperkuat kepribadian dan
mempertebal semangat kebangsaan dan cinta tanah air, agar dapat
menumbuhkan manusia pembangunan yang dapat membangun dirinya sendiri,
serta bersama-sama bertanggung jawab atas pembangunan bangsa (Garis-garis
Besar Haluan Negara/GBHN, bidang pendidikan).Supaya lebih memberi
gambaran yang dimaksud, hendaknya dapat diperiksa dalam GBHN tentang
tujuan pendidikan Nasional Indonesia.
Aspek-aspek kepribadian yang hendak dibangun, tidak berbeda dengan
ciri-ciri yang dikehendaki bagi pribadi seorang muslim. Oleh karena itu, dasar
pembentukan pribadi muslim adalah ajaran Islam dan aspek-aspek kepribadian
yang dibangunnya sudah tentu dilandasi dengan versi ajaran Islam.
Pada saat akanmengkaji dengan teliti, sebenarnya konsep pribadi
muslim yang seutuhnya hendak dibangun oleh bangsa Indonesia tidak berbeda
secara konsepsional, hanya berbeda dalam nilai-nilai yang membentuk pribadi
tersebut. Bagi pribadi muslim, nilai-nilai yang membentuknya ialah nilai-nilai
yang bersumber dari agama Islam (Zuhairini, dkk. 2009: 199).
Fenomena sosial yang telah diteliti oleh para ahli perencanaan
tahap kemajuan ilmu dan teknologi canggih, selalu membawa perubahan sosial
yang sepadan dan bahkan lebih besar daripada perkiraan serta peramalannya.
Dampak positif dan negatifnya terhadap kehidupan manusia terkadang tidak
dapat terkontrol, terarah oleh lembaga sosial dan kultural serta moral yang
sengaja dibangun oleh masyarakat seperti sekolah (Arifin, 2009: 34).
Teknologi pendidikan sebagai suatu cara mengajar yang dihasilkan
khusus untuk keperluan pendidikan dan dapat dimanfaatkan dalam pendidikan,
seperti internet, tv, radio, dan telepon genggam. Pada satu sisi, perkembangan
dunia Ilmu Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) yang demikian mengagumkan
itu memang membawa manfaat yang luar biasa bagi kemajuan peradaban umat
manusia. Jenis-jenis pekerjaan yang sebelumnya menuntut kemampuan fisik
yang cukup besar, kini relatif sudah bisa digantikan oleh perangkat
mesin-mesin otomatis. Demikian juga ditemukannya formulasi-formulasi baru
kapasitas komputer, seolah-olah sudah mampu menggeser posisi kemampuan
otak manusia dalam berbagai bidang ilmu dan aktifitas manusia. Ringkas kata
kemajuan IPTEK yang telah kita capai sekarang benar-benar telah diakui dan
dirasakan memberikan banyak kemudahan dan kenyamanan bagi kehidupan
umat manusia. Sumbangan IPTEK terhadap peradaban dan kesejahteraan
manusia tidaklah dapat dipungkiri. Namun manusia tidak bisa pula menipu diri
sendiri akan kenyataan bahwa IPTEK mendatangkan dampak negatif dan
positif bagi manusia (Nasution. 2012: 2).
Akibat dari dampak negatif iptek, dalam bidang moral dan spiritual
terkendali lagi. Oleh karena itu, masyarakat kini sedang dihinggapi kerawanan
sosial dan kultural yang obat penyembuhannnya sedang dicari oleh para ahli
dari berbagai bidang keilmuan yang sedang melakukan diagnosis, namun
proses diagnosisnya kalah cepat dari serbuan penyakit baru yang saling
menyusul, sehingga kronitas penyakit tersebut tidak dapat dibendung lagi.
Sehingga semakin membengkaklah akumulasi virus teknososial yang
ditularkan oleh kepesatan kemajuan iptek itu sendiri.
Iptek telah menjadi tumpuan harapan manusia, sehingga dapat
mengharapkan suatu bentuk kehidupan yang paling baik berkat kemajuan yang
telah diraih, namun pada gilirannya justru menanggung risiko yang makin
kompleks dan mencemaskan batin. Itulah peta kehidupan umat manusia masa
kini dan masa depan yang hanya mengandalkan kemampuan intelektualitas dan
logika, tanpa memperhatikan perkembangan mental-spiritual dan nilai-nilai
agama.
Menurut ahli sosial fotorologi, Teodore Roszak yang dikutip oleh
Arifin(2011: 35), bahwa:
Seperti dikutip Agustian (2001: 8) “Tampaknya hidup normal tapi
sebenarnya kita berada di dalam keadaan sakit. (State of sick normality)”.
Masyarakat sedang mengalami krisis transisi, yang makin diperkacau oleh
pertikaian dan permusuhan serta dissosiasi.
Zohar dan Marshall mengemukakan bahwa kecerdasan spiritual adalah
kecerdasan untuk menghadapi persoalan makna atau value, yaitu kecerdasan
dan kaya, kecerdasan untuk menilai bahwa tindakan atau jalan hidup seseorang
lebih bermakna dibandingkan dengan yang lain. SQ adalah landasan yang
diperlukan untuk menfungsikanIntelligence Ouotient (IQ) dan Emotional
Quotient (EQ) secara efektif sehingga Spiritual Quotient (SQ) merupakan
kecerdasan tertinggi.Sedangkan di dalamEmotional Spiritual Quotient (ESQ),
kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi makna ibadah terhadap
setiap perilaku dan kegiatan, melalui langkah-langkah dan pemikiran yang
bersifat fitrah, menuju manusia yang seutuhnya (hanif), dan memiliki pola
pemikiran tauhidi (integralistik), serta berprinsip “hanya karena Allah”.
Menurut Pasiak (2012: 8), kecerdasan spiritual menjadi penting sekali
dimiliki oleh tiap jiwa. Meskipun dalam rentang sejarah dan waktu yang
panjang, manusia pernah mengagungkan kemampuan otak dan daya nalar (IQ).
Kemampuan berpikir dianggap sebagai primadona. Potensi diri yang lain
dimarginalkan. Pola pikir dan cara pandang yang demikian telah melahirkan
akademik tetapi gagal dalam pekerjaan dan kehidupan sosialnya. Sehingga
memiliki kepribadian yang terbelah (split personalty) dimana tidak terjadi
integrasi antara otak dan hati.Membicarakan spiritual dalam pandangan Islam,
spirit dalam bahasa Arabnya ruh dan spiritual (ruhaniyah), tidak pernah
dilepaskan dengan aspek Ketuhanan (Ulfa Rahmawati: Jurnal Penelitian).
Ramadhan adalah bulan penggemblengan diri dan bulan yang dipilih
Allah SWT untuk menempa jiwa hamba-Nya yang beriman dengan beragam
perintah. Puasa ramadhan menempa jiwa agar tidak kalah oleh nafsu. Perintah
Nuzulul Qur’an supaya kembali mencerna kedahsyatan Al-Qur’an serta
beragam keutamaan lain yang bertebaran di dalam bulan suci Ramadhan.
Semua itu mengerucut pada satu tujuan, yaitu agar orang beriman memiliki
kualitas hidup yang lebih tinggi, yaitu takwa (Rif’an. 2010: v).
Pada saat meneladani sifat Tuhan Yang Maha Mengetahui, orang yang
berpuasa hendaknya terus menerus berupaya menambah ilmunya, dalam upaya
tersebut dituntut agar dapat menggunakan secara maksimal seluruh potensi
yang dianugrahkan Allah SWT kepadanya untuk meraih sebanyak mungkin
ilmu yang berkaitan dengan benda tetapi juga ilmu yang bersifat non empiris
yang hanya dapat diraih dengan kesucian jiwa dan kejernihan kalbu. Seorang
ilmuan harus mengantarkannnya kepada iman yang akan mendorongnya
memberi nilai-nilai spiritual terhadap ilmu yang diraihnya, mulai dari motivasi
hingga tujuan dan pemanfaatannya. Melalui meneladani sifat-sifat Allah SWT
dengan puasa akan dapat membentuk kepribadian yang berilmu dan
membingkainya dalam perilaku positif karena puasa bisa menjadikan seseorang
bukan hanya cerdas secara spiritual, dan emosional, tetapi juga kecerdasan
secara intelektual.
Kecerdasan spiritual melahirkan kemampuan untuk menemukan makna
hidup serta memperhalus budi pekerti kemudian akan melahirkan indra keenam
bagi manusia. Dimensi spiritual mengantarkan manusia percaya kepada yang
gaib dan merupakan tangga agar harus dilalui untuk meningkatkan diri dari
tingkat binatang yang tidak mengetahui kecuali dapat dijangkau oleh
akan jauh lebih besar, lebih luas daripada wilayah kecil dan terbatas yang
hanya dapat dijangkau oleh indra. Kecerdasan inilah yang mengatur manusia
menuju sesuatu realitas yang maha sempurna, tanpa cacat, tanpa batas dan
tanpa akhir yakni Allah Yang Maha Agung (Willya: 2015).
Pesantren sebagai lembaga pendidikan Islam merupakan suatu lembaga
pemdidikan yang unik, karena kehidupan di pesantrean mempunyai
keistimewaan tersendiri, kharisma seorang kiai dijadikan tauladan dan
pembentukan tersendiri. Peran dan sosok seorang kiai ikut berpengaruh dalam
membentuk kepribadian dan karakter bagi santrinya. Karena pesantren itu yang
merumuskan tentang eksistensi masa depan pesantren yang bersangkutan. Kiai
sebagai pemimpin berperan banyak dalam menentukan pendidikan yang
dikehendaki di masa depan dan disisi lain pembelajaran pesantren mengarah
pada pengembangan intelektualitas berpadu dengan pembangunan akhlak. Pada
dasarnya memang pesantren itu sendiri dalam semangatnya adalah pancaran
kepribadian pendirinya, maka tidak heran kalau timbul anggapan bahwa
hampir semua pesantren itu merupakan hasil usaha pribadi atau individual
(Madjid, 1997: 6).
Menurut Mastuhu yang dikutip oleh Nafi (2007: 49) bahwa:
“Pesantren sebagai sebuah lembaga pendidikan mempunyai tujuan yang
dirumuskan dengan jelas sebagai acuan program pendidikan yang diselenggarakannya. Tujuan utama pesantren adalah untuk mencapai hikmah atau wisdom(kebijaksanaan) berdasarkan ajaran Islam yang dimaksudkan untuk meningkatkan pemahaman tentang arti kehidupan
serta realisasi dari peran dan tanggung jawab sosial”
Pondok pesantren Al-Iksan Beji adalah salah satu lembaga pendidikan
Pondok Pesantren Al-Ikhsan dipimpin oleh seorang kiai dan dibantu oleh
pengasuh yang bertugas membimbing dan mengawasi semua kegiatan santri.
Secara sistematis santri terbiasa hidup dengan nilai dan etika yang berlaku
sertaharus dipatuhi. Hubungan pengasuh dan santri yang erat akan
menumbuhkan suatu ikatan persaudaraan yang kuat, hal tersebut dapat
membantu pengasuh dalam merealisasikan suatu program yang telah
direncanakan untuk membentuk pribadi santri sebagai seorang muslim
yangberilmu, berbudi luhur, dan mandiri serta memiliki kecerdasan spiritual
yang tinggi.
Berdasarkan latar belakang masalah diatas, peneliti tertarik untuk
mengambil judul tentang “Membangun Kecerdasan Spiritual Melalui Kegiatan
Pada Bulan Ramadhan di Pondok Pesantren Al-Ikhsan Beji Banyumas”.
B.Rumusan Masalah
1. Apa saja kegiatan pada bulan Ramadhan di pondok pesantren Al-Ikhsan
Beji, Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas?
2. Bagaimana langkah-langkah membangunan kecerdasan spiritual melalui
kegiatan di bulan Ramadhan pada santri pondok pesantren Al-Ikhsan Beji,
Kedungbanteng, Kabupaten Banyumas?
C.Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kegiatan amaliah Ramadhan di pondok pesantren
Al-Ikhsan Beji Banyumas.
2. Untuk mengetahui langkah-langkah membangunan kecerdasan spiritual
Al-D.Manfaat Penelitian
Melalui penelitian inidiharapkan dapat memberikan kontribusi secara
teoritis dan praktis:
1. SecaraTeoritis
Dapat memberi pengetahuan atau informasi secara teori, sehingga
dapat digunakan sebagai wacana dalam membangun kecerdasan spiritual.
2. SecaraPraktis
a. BagiSantri
Santri dapat menjadikan skripsi ini sebagai wahana informasi
dan motivasi mereka untuk membangun kecerdasan spiritual.
b. BagiGuru
Guru dapat menjadikan sebagai tolak ukur dalam pembangunan
kecerdasan spiritual santri.
c. BagiPondok Pesantren
Dapat dijadikan sebagai wacana atau gambaran bagi pondok
pesantren dalam membangun kecerdasan spiritual santri.
d. BagiPeneliti
Menambah pengetahuan dan pengalaman baru khususnya